Anda di halaman 1dari 21

POKOK BAHASAN:

1. Pengertian PBB, BPHTB, dan Bea Materai


2. Dasar Hukum PBB, BPHTB, dan Bea Materai
3. Subjek dan Objek PBB, BPHTB, dan Bea Materai
4. Tarif dan Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan PBB, BPHTB, dan Bea
Materai
5. Besarnya PPB, BPHTB, dan Bea Materai Terutang

PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN PBB, BPHTB, DAN BEA MATERAI
1.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang
muncul karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi
seseorang atau badan yang memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat
dari padanya.
Jika dilihat dari sifatnya, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang
bersifat kebendaan. Artinya, besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek
yaitu bumi dan/atau bangunan. Sedangkan keadaan subjeknya tidak ikut
menentukan besarnya barang.

1.2 Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) adalah objek pajak
yang dikenakan lantaran ada perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Pemindahan hak tersebut muncul akibat proses jual beli, tukar menukar,
hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha,
peleburan usaha, pemekaran usaha atau hadiah.

1.3 Pengertian Bea Materai


Bea materai merupakan pengenaan pajak terhadap dokumen berupa kertas
yang menurut UU akan menjadi objek bea materai. bea materai ini merupakan pajak
yang tidak langsung yang akan dipungut secara insidental jika dibuat dokumen yang

1
sering juga disebut oleh Undang-Undang Bea Meterai 1985 atas suatu keadaan,
perbuatan, atau pun peristiwa dalam masyarakat.

2. DASAR HUKUM PBB, BPHTB, DAN BEA MATERAI


2.1 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
Adapun dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
1. UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.
12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
2. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan.
3. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan.
4. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan
Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan
Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar
Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
6. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003
Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan
Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk
Kawasan Industri dan Real Estate.

2.2 Dasar Hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Adapun dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah:
1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas

2
Tanah dan Bangunan.Undang-undang ini menggantikan Ordonasi Bea Balik
Nama Staatsblad 1924 Nomor 291.
2. Peraturan Pemerintah No.111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB
karena waris dan hibah
3. Peraturan Pemerintah No.112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB
karena pemberian Hak Pengelolaan
4. Peraturan Pemerintah No.113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya
NPOPTKP BPHTB.

2.3 Dasar Hukum Bea Materai


Dasar hukum pengenaan bea materai adalah sebagai berikut:
1. Undang Undang Nomor 13 1985
Undang undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986. Sebab sebab
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 tentang bea materai
yaitu agar lebih sederhana serta lebih sempurna, agar objek lebih luas serta
lebih mudah untuk dilaksanakan karena hanya mengenal satu jenis bea
materai yaitu materai 3000 dan 6000.

2. PP No. 24 tahun 2000


Peraturan ini sebelumnya merupakan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun
1995 yaitu peraturan untuk mengatur pelaksanaan Bea Materai yang pada
akhirnya dirubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2000 yang
berisikan tentang perubahan tarif Bea Materai dan Besarnya batas
Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Materai. Peraturan ini
mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei tahun 2000.

3. SUBJEK DAN OBJEK PBB, BPHTB, DAN BEA MATERAI


3.1 Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Berikut merupakan penjelasan mengenai subjek dan objek Pajak Bumi dan
Bangunan.

3
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang termasuk dalam subjek PBB adalah :
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan
atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Dengan demikian, tanda pembayaran /pelunasaan pajak bukan merupakan bukti
pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajak.
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud no.1
sebagai Wajib Pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan
subjek Wajib Pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas Wajib Pajaknya.
Untuk lebih jelasnya, terdapat contoh yang akan meningkatkan pemahaman
terhadap objek dari PPB ini, yaitu :
a. Subjek pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan atau bangunan
milik Y bukan karena suatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan
karena perjanjian, maka X yang memanfaatkan/menggunakan bumi dan
atau bangunan ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
b. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan,
maka orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak
tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
c. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek
pajak, sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada
orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk
sebagai Wajib Pajak. Penunjukan sebagai Wajib Pajak oleh Dirjen Pajak
bukan merupakan bukti pemilikan hak.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no. 3 dapat
memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa
ia bukan Wajib Pajak terhadap objek pajak dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam no. 4 disetujui, maka
Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak

4
sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat
keterangan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebgaimana dalam no. 4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan,
maka keterangan yang diaujukan itu dianggap disetujui dan ketetapan sebagai
Wajib Pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan
pencabutan penetapan sebagai Wajib Pajak.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan


Adapun objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan bangunan.
2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan
bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman,
serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor faktor sebagai
berikut :
a. Letak
b. Peruntukan
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkungan dan lain lain
Dalam menentukan klasifikasi bangunan di perhatikan faktor-faktor sebagai
berikut:
a. Bahan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain lain
3. Pengecualian Objek Pajak
Objek pajak yang tidak dikenakan Pakak Bumi dan Bangunan adalah objek
pajak yang :
a. Digunakan semata mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak
mencari keuntungan, antara lain :
1) Di bidang ibadah, contohnya : masjid, gereja, wihara.
5
2) Di bidang kesehatan, contohnya : rumah sakit.
3) Di bidang pendidikan, contohnya : madrasah, pesantren.
4) Di bidang sosial, contohnya : panti asuhan.
5) Di bdang kebudayaan nasional, contohnya : museum ,candi.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan
ini.
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan Menteri Keuangan.
4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan,
penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang
diimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak
negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang
antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, wajar bila Pemerintah
Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan.
Mengenai bumi dan bangunan milik perseorangan dan atau bukan yang
digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian
yang diadakan.
5. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan
untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila
seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan
NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan
objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.

6
Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan contoh kasusnya :
Seorang Wajib Pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dengan nilai
Rp4.000.000,00 dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut
adalah Rp6.000.000,00. Karena NJOP berada di bawah batas NJOPTKP
(Rp6.000.000,00), maka objek pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan
Bangunan.

3.2 Subjek dan Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Adapun subjek dan objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai
berikut:

Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak
atas Tanah dan atau Bangunan. Wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau
badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan atau Bangunan.

Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


Objek BPHTB adalah perolehan ha katas tanah danatau bangunan. Perolehan ha
katas tanah dan atau bangunan meliputi :
1. Pemindahan hak karena :
a. Jual-beli
b. Tukar-menukar
c. Hibah
d. Hibah wasiat
e. Waris
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h. Penunjukkan pembeli dalam lelang
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
j. Penggabungan usaha
k. Peleburan usaha
l. Pemekaran usaha
m. Hadiah

7
2. Pemberian hak baru karena :
a. Kelanjutan pelepasan hak
b. Di luar pelepasan hak

Bukan Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


Berikut yang tidak termasuk dalam objek BPHTB adalah objek pajak yang
diperoleh :
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum.
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan
organisasi tersebut.
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama.
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf.
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

3.3 Subjek dan Objek Bea Materai


Berikut merupakan penjabaran dari subjek dan objek Bea Materai.

Subjek Bea Materai


Yang merupakan subjek bea materai adalah :
1. Pihak yang menerima atau mendapat manfaat dokumen, kecuali pihak yang
bersangkutan menentukan lain.
2. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, seperti kwitansi, bea meterai terutang oleh
penerima kwitansi.
3. Dalam hal dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, seperti surat perjanjian
dibawah tangan, maka masing-masing pihak terutang bea materai.

8
Objek Bea Materai
Pada dasarnya, objek bea materai yaitu berupa dokumen yang menyatakan
nominal hingga jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang
digunakan di pengadilan. Adapun objek bea materai antara lain :
1. Surat perjanjian dan surat-surat lain yang dibuat dengan tujuan sebagai
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2. Akta notaris beserta salinannya.
3. Akta pejabat pembuat akta tanah beserta rangkapnya.
4. Surat berharga.
5. Efek.
6. Dokumen yang digunakan untuk pembuktian di pengadilan.

Bukan Objek Bea Materai


Objek yang tidak dikenakan Bea Materai diantaranya :
1. Objek yang tidak dikenai bea materai adalah dokumen yang berhubungan
dengan transaksi internal perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak, dan
juga dokumen negara. Berikut dokumen yang tidak termasuk objek bea materai,
diantaranya :
a. Dokumen yang berupa :
- Surat penyimpanan barang
- Konosemen
- Surat angkutan penumpang dan barang
- Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen surat
penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan
barang
- Bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
- Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
- Surat lainnya yang bisa disamakan dengan surat di atas
b. Segala bentuk ijazah
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran
lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat yang
diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah
dan bank.
9
e. Kwitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi dan badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut.
h. Surat gadai yang diberikan Perum Pegadaian.
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan
bentuk apapun

4. TARIF DAN TATA CARA PERHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN


PBB, BPHTB, DAN BEA MATERAI
4.1 Pajak Bumi dan Bangunan
a. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan, atas objek pajak dikenakan
tarif sebesar 0,5%.

b. Unsur-unsur Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan


Adapun unsur-unsur yang harus diperhatikan sebelum melakukan
penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah:
1. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
2. NJOP Bangunan atau Harga Bangunan
3. NJOP Tanah dan Bangunan (Harga Keseluruhan)
4. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
5. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)

c. Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan


Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
ditetapkan per wilayah berdasarkan keputusan menteri Keuangan
mendengar pertimbangan Bupati/wali kota. Adapun dasar perhitungan PBB
adalah nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya presentase NJKP adalah
sebagai berikut :

10
1. Objek pajak perkebunan adalah 40%

2. Objek pajak kehutanan adalah 40%

3. Objek pajak pertambangan adalah 40%

4. Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan) :

 Apabila NJOP – nya ≥ Rp 1.000.000.000 adalah 40%

 Apabila NJOP – nya ≤ Rp 1.000.000.000 adalah 20%

Rumus Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


PBB Terutang = Tarif 0,5 % x NJKP

Dimana :
1. NJKP adalah Nilai Jual Kena Pajak
2. NJKP = NJOP – NJOPTKP
3. NJOP adalah Nilai Jual Objek Pajak. Besaran nilai ini menjadi ukuran
yang mempengaruhi besaran Pajak Bumi dan Bangunan terutang.
Semakin tinggi NJOP, semakin tinggi pula PBB yang harus Anda
bayarkan. NJOP terdiri dari dua jenis, yaitu NJOP Bumi dan NJOP
Bangunan. Penjumlahan nilai dari kedua jenis NJOP tersebut
menjadi NJOP sebagai Dasar Pengenaan PBB.
4. NJOP sebagai Dasar Pengenaan PBB = NJOP Bumi + NJOP Bangunan
5. Nilai NJOP nantinya akan digunakan sebagai perhitungan final NJKP.
Apabila nilai NJOP lebih dari sama dengan Rp1.000.000.000,
maka NJKP -nya sebesar 40 persen. Sementara NJOP kurang dari
Rp1.000.000.000, maka NJKP –nya 20 persen.
6. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) di setiap daerah
berbeda-beda. Besaran maksimalnya adalah Rp 12 juta.

d. Tata Cara Penyetoran Pajak Bumi dan Bangunan


Terdapat dua cara penyetoran PBB yakni secara offline dan secara online.

11
Secara Offline
Penyetoran PBB secara offline dapat dilakukan melalui Bank atau
Kantor Pos dan Giro tempat pembayaran yang tercantum pada SPPT.
Wajib pajak perlu menunjukkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) PBB dan sebagai bukti pembayarannya wajib pajak akan
menerima Surat Tanda Terima Setoran (STTS). Apabila SPPT tahunan
belum diterima oleh wajib pajak, maka wajib pajak dapat menunjukkan
SPPT tahunan sebelumnya.
Jika wajib pajak membayar atau melunasi PBB melalui petugas
pemungut, sebagai bukti pembayaran akan diberikan Tanda Terima
Sementara (TTS). Selanjutnya oleh petugas pemungut dimasukkan dalam
daftar penerimaan harian (DPH PBB) dan disetorkan ke tempat pembayaran
yang telah ditentukan.
Setelah itu petugas pemungut menyetorkan hasil penerimaan PBB
dari wajib pajak ke Bank atau KPG tempat pembayaran yang ditunjuk,
sebagaimana tercantum dalam SPPT/SKP/STP dengan menggunakan DPH
dalam rangkap dengan ketentuan yang telah diberlakukan.

Secara Online
Untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, pembayaran
PBB juga dapat dilakukan melalui tempat pembayaran elektronik yang
disediakan bank seperti ATM/teller/fasilitas lain. Keuntungan pembayaran
PBB melalui tempat pembayaran elektronik ini adalah:
1. Melayani pembayaran PBB atas objek pajak di seluruh Indonesia
2. Tidak terikat pada hari kerja dan jam operasional bank untuk
pembayaran PBB
3. Terhindar dari antrean di bank pada saat pembayaran PBB

e. Tata Cara Pelaporan Pajak Bumi dan Bangunan


Pelaporan Pajak Bumi dan Bangunan harus terdiri dari :
1) Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SSP PBB)
2) Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SSP PBB)
berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
43/PJ/2013.
12
3) SSP PBB adalah surat setoran atas pembayaran PBB dari Wajib
Pajak ke Bank Persepsi atau Pos Persepsi.

Formulir SSP PBB ini dibuat dalam rangkap 4 (empat), dengan peruntukan
sebagai berikut:
1) Lembar ke-1:untuk Wajib Pajak;
2) Lembar ke-2:untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN) dilaporkan oleh Bank Persepsi/PosPersepsi;
3) Lembar ke-3:untuk Kantor Pelayanan Pajak dilaporkan oleh Wajib
Pajak;
4) Lembar ke-4:untuk Bank Persepsi/Pos Persepsi.

Satu formulir SSP PBB hanya dapat digunakan untuk pembayaran


PBB terutang untuk satu Tahun Pajak dengan menggunakan satu Kode
Akun Pajak dan satu Kode Jenis Setoran sebagai berikut:
1) Sektor Perkebunan Kode Akun 411313
2) Sektor Perhutanan Kode Akun 411314
3) Sektor Pertambangan untuk pertambangan mineral dan batubara
Kode Akun 411315
4) Sektor Pertambangan untuk pertambangan minyak bumi dan gas
bumi Kode Akun 411316
5) Sektor Pertambangan untuk pertambangan panas bumi Kode
Akun 411317
6) Sektor Lainnya Kode Akun 411319

Jenis Setoran diisi dengan:


 Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Kode Akun 100
 Surat Tagihan Pajak PBB Kode Akun 300
 Surat Ketetapan Pajak PBB Kode Akun 310

4.2 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


a. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Tarif BPHTB sendiri mencapai 5% dari harga jual yang dikurangi
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)

13
b. Perhitungan Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Dasar Perhitungan Tarif BPHTB adalah:
BPHTB = Tarif Pajak 5% x Dasar Pengenaan Pajak (NPOP – NPOPTKP)

Seperti diketahui, besarnya NPOPTKP di masing-masing wilayah


berbeda-beda, namun berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 pasal
87 ayat 4 ditetapkan besaran paling rendah sebesar Rp60.000.000 untuk
setiap wajib pajak.

c. Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam pasal 10
UU BPHTB yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 yang
kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor
269/PJ/2001 tanggal 2 April 2001 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
09/PJ.6/2001 tanggal 6 April 2001 yang intinya adalah sebagai berikut :
a Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak.
b Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara
melalui Bank/Kantor Pos atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk
c SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk
melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

Kewajiban Bayar pada saat :


a) Dibuat & ditandatanganinya Akta
b) Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat
c) Ditunjuknya pemenang Lelang
d) Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru
Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

14
4.3 Bea Materai
Adapun tarif atas pengenaan bea materai adalah sebagai berikut:

Dokumen Tarif

Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan


tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai Rp6.000,00
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata

Akta-akta Notaris termasuk salinannya Rp6.000,00

Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep Rp6.000,00

Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di


muka Pengadilan, yaitu:

· Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan


Rp6.000,00
· Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai
berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau
digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.

Surat yang memuat jumlah uang, yang menyebutkan Tidak


penerimaan uang: dikenakan

· Yang mempunyai harga nominal sampai dengan


Rp250.000,00

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp250.000,00


Rp3.000,00
sampai dengan Rp1.000.000

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000,00 Rp6.000,00

Surat yang memuat jumlah uang, yang menyatakan pembukuan Tidak


uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank: dikenakan

· Yang mempunyai harga nominal sampai dengan


Rp250.000,00

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp250.000,00


Rp3.000,00
sampai dengan Rp1.000.000

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000,00 Rp6.000,00

Surat yang memuat jumlah uang, yang berisi pemberitahuan Tidak


saldo rekening di Bank: dikenakan

· Yang mempunyai harga nominal sampai dengan


Rp250.000,00

15
· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp250.000,00
Rp3.000,00
sampai dengan Rp1.000.000

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000,00 Rp6.000,00

Surat yang memuat jumlah uang, yang berisi pengakuan bahwa


Tidak
hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau
dikenakan
diperhitungkan:

· Yang mempunyai harga nominal sampai dengan


Rp250.000,00

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp250.000,00


Rp3.000,00
sampai dengan Rp1.000.000

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000,00 Rp6.000,00

Tidak
Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep:
dikenakan

· Yang mempunyai harga nominal sampai dengan


Rp250.000,00

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp250.000,00


Rp3.000,00
sampai dengan Rp1.000.000

· Yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000,00 Rp6.000,00

Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar
Rp3.000,00
Rp3.000,00 tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal

Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang: Rp3.000,00

· Mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,00

· Mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000,00 Rp6.000,00

Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
Rp3.000,00
tercantum dalam surat kolektif yang:

· Mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,00

· Mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000,00 Rp6.000,00

Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut di atas termasuk juga
jumlah uang ataupun harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing.
Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominal
tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri keuangan yang

16
berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen
tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai.
Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya,
seperti surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan, dibebani kewajiban untuk
membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya.

5. BESARNYA PPB, BPHTB, DAN BEA MATERAI TERUTANG


5.1 Pajak Bumi dan Bangunan
Untuk mengetahui besarnya Pajak Bumi dan Bangunan terutang dapat diketahui
dengan cara sebagai berikut:

PBB Terutang = Tarif 0,5 % x NJKP


= Tarif 0,5% x (NJOP – NJOPTKP)

Berikut merupakan contoh penghitungan PBB terutang:

Ibu Muraeni tinggal di sebuah rumah yang berlokasi di Pondok Cempaka,


Jakarta. Dengan luas bangunan 200 meter persegi dan luas tanah 250 meter persegi.
NJOP bumi dan bangunan sebesar Rp2.000.000 per meter persegi. Berapakah PBB
terutang yang harus dibayar Ibu Muraeni?

Diketahui :
1. NJOP Bangunan 200 x Rp2.000.000 = Rp400.000.000
2. NJOP Bumi 250 x Rp2.000.000 = Rp500.000.000
3. NJOP sebagai Dasar Pengenaan PBB = Rp400.000.000 + Rp500.000.000 =
Rp900.000.000
4. NJOPTKP = Rp12.000.000

Ditanya :
Berapakah PBB terutang yang harus dibayar Ibu Muraeni?

Penyelesaian :
NJOP = NJOP – NJOTKP
= Rp900.000.000 – Rp12.000.000
= Rp 888.000.000 (berarti NJKP 20%)

17
NJKP = 20% x Rp888.000.000
= Rp 177.600.000

PBB terutang = 0,5% x NJKP


= 0,5% Rp177.600.000
= Rp888.000

Jadi, PBB terutang Ibu Muraeni adalah sebesar Rp888.000

5.2 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


Dalam pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dapat
dihitung dengan cara sebagai berikut:

BPHTB = Tarif Pajak 5% x Dasar Pengenaan Pajak


= Tarif Pajak 5% x (NPOP – NPOPTKP)

Contoh Kasus
Thomas membeli tanah seharga Rp200.000.000 di Sumatra. Maka, perhitungan
tarif BPHTB-nya adalah:

Diketahui :
 NPOP :Rp200.000.000
 NPOPTKP :Rp80.000.000

Ditanya :
Tarif BPHTB yang harus dibayar

Jawab :
BPHTB yang dibayar = Tarif Pajak 5% x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak 5% x (NPOP – NPOPTKP)
= 5% x (Rp200.000.000 – Rp80.000.000)
= 5% x Rp120.000.000
= Rp6.000.000
Maka, tarif BPHTB yang harus dibayar Budi sebesar Rp6.000.000

18
5.3 Bea Materai
Pengenaan bea materai atas objek bea materai dapat dihitung sesuai dengan tariff
masing-masing objek.

Berikut merupakan contoh soal mengenai pengenaan bea materai.

PT Angin Ribut memiliki dokumen rata-rata 100 buahh perhari yang harus
bermaterai. Perusahaan ini biasanya menggunakan mesin teraan untuk
mempermudah pelunasan Bea Materai Apabila perusahaan ini lupa memateraikan
100 dokumen yang merupakan tagihan untuk kliennya yang nilai tagihan untuk
masing-masing dokumen sebesar Rp 1.000.000,00 dan dokumen trsebuut telah
dipergunakan, berapa bea materai yang harus dibayar PT Angin Ribut berikut
sanksinya?

Jawab :

Dokumen yang belum dimateraikan = 100 dokumen

Bea Materai terutang untuk 1 dokumen = Rp. 6.000,00

Bea Materai Terutang = Rp. 1.200.000,00

Bea Materai yang masih harus dibayar = Rp 1.800.000,00

Jadi, Bea Materai yang terutang dan masih harus dibayar adalah sebesar
Rp1.800.000,00

19
DAFTAR PUSTAKA

Azkia, Fathia. 2018. Kenali Lebih Dalam Pengertian BPHTB.


https://www.liputan6.com/properti/read/3530104/kenali-lebih-dalam-pengertian-
bphtb. Diakses tanggal 24 November 2019

DJP. 2017. Surat Setoran Pajak PBB. https://www.pajak.go.id. Diakses tanggal 24 November
2019

Dosenekonomi. Dasar Hukum Bea Materai di Indonesia. https://dosenekonomi.com/ilmu-


ekonomi/perpajakan/dasar-hukum-bea-materai. Diakses tanggal 24 November 2019

Mardiasmo. 2018. Perpajakan Edisi Terbaru 2018. Yogyakarta: Penerbit ANDI.


Maulida, Rani. 2018. Mengenal Pajak Bumi dan Bangunan. https://www.online-
pajak.com/pajak-bumi-dan-bangunan. Diakses 21 November 2019.

Mekari. 2018. Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. https://klikpajak.id.
Diakses tanggal 24 November 2019

Mekari. 2018. Tarif Pajak Bumi dan Bangnan. https://klikpajak.id. Diakses tanggal 24
November 2019

Sandy, Fajar Billy. 2019. Tarif dan tata cara perhitungan BPHTB. https://www.online-
pajak.com. Diakses tanggal 25 November 2019

Si Manis. 2018. “Pengertian Bea Materai, Fungsi, Subjek, Objek dan Tarif Bea Materai
Terlengkap” dalam https://www.pelajaran.co.id/2018/04/pengertian-bea-materai-
fungsi-subjek-objek-dan-tarif-bea-materai-terlengkap.html. Diakses 21 November
2019.
Priaji, Dzkwaan. PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) Dasar Hukum. http://zakwaan-
priaji.blogspot.com/2013/07/pajak-bumi-dan-bangunan-pbb-dasar-hukum.html.
Diakses 21 November 2019.

Rangga. 2019. Bea Materai. https://guruakuntansi.co.id. Diakses tanggal 25 November


2019

Rasmankhan. 2016. “Pajak Bumi Dan Bangunan (Pbb), Bphtb Dan Bea Materai” dalam
http://rasmankhan.blogspot.com/2016/03/makalah-pajak-bumi-dan-bangunan-
pbb.html. Diakses 21 November 2019.

20
Unknown. 2010. BPHT. http://pelayanan-pajak.blogspot.com. Diakses tanggal 25 November
2019

Unknown. 2012. Hukum. http://jovi-joe.blogspot.com/2012/01/blog-post.html. Diakses 21


November 2019.

21

Anda mungkin juga menyukai