Anda di halaman 1dari 1

NAMA : ARDINDA PUTRI SYAWALIA

KELAS : IX - 8

Amelia

Amelia masih saja berpikir. Dia masih menghitung-hitung hari di kalender. Dia masih
belum bisa menentukan hari apa dia akan pergi dari sana. Pergi dari rumah yang telah
membuatnya terluka. Rumah yang kini hanyalah sebuah kata benda, dan bukan lagi kata
sifat. Rumah yang hanya berupa bangunan, yang tak ada kehangatan di dalamnya.
Sudah bertahun-tahun Amelia menjadi korban kekerasan orangtuanya. Tanpa tendeng
aling-aling, Amelia selalu dipukul dan dibentak ayah-ibunya tanpa mempunyai slaah
sedikit pun. Anehnya, setiap mereka menyiksa Amelia, keduanya selalu saja berkata,
“maafkan kami, nak. Maafkan kami yang tak bisa mengendalikan emosi kami.”

Amelia bingung. Apakah dia harus mendendam kepada keduanya. Atau, memaafkan
mereka dengan selapang-lapangnya dada. Yang Amelia tahu saat ini adalah dia harus
pergi dari rumah yang terkutuk ini. Dan untuk pergi dari sini, dia harus menemukan
waktu dan tempat yang tepat.

Akhirnya rencana itu pun tiba. Amelia pun akhirnya memutuskan untuk pergi di sore
hari, saaat kedua orangtuanya bekerja. Dia pun menjadikan Rumah Alya sebagai tempat
pelariannya. Dengan tas yang berisi pakaian dan makanan, dan pipinya yang bonyok
akibat dipukuli ayahnay tadi pagi, dia pun bergegas ke rumah sahabatnya itu.

Di sana, dia mencurahkan segala sakit hatinya pada sahabatnya itu. Tak terhitung lagi
air mata yang menetas dari matanya. Dia tahu bahwa sahabtnya tak akan bisa
menyembuhkan lukanya. LAgian, dia juga tak memaksa. Dia hanya ingin berbagi
kegelisahannya. Dia hanya ingin mencari tempat pelarian dari kebiadaban ayah-ibunya.

Sehabis bercerita kepada sahabatya, dia pun kelelahan dan tidurr di ranjang milik
sahabatnya itu. Dalam tidurnya, dia tengah bermimpi. Dalam mimpinya, dia berada di
dalam suatu telaga. Telag yang bersih airnya dan sejuk udaranya. Di telaga itu, muncul
sosok wanita yang tak dikenal olehnya.

“Jangan bersedih, suatu hari bahagia ‘kan menghampirimu,” ujar perempuan misterius
itu. Kemudian, Amelia pun terbangun dari tidurnya itu.

Demikianlah contoh cerita sudut pandang orang ketiga sebagai pengamat. Semoga
bermanfaat dan mampu menambah wawasan bagi para pembaca sekalian, baik itu
mengenai cerita khusunya, maupun bahasa Indonesia pada umumnya. Mohon
dimaafkan pula jika terdapat kekeliruan yang ada di dalam artikel kali ini. Sekian dan
terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai