Studi Islam Ii Fikih Ibadah PDF
Studi Islam Ii Fikih Ibadah PDF
Fikih Ibadah
Dr. Akhmad Alim. MA
ISBN : 978-979-1324-14-4
Studi Islam II
Fikih Ibadah
KATA PENGANTAR
َٔٚ ز أْؿطٓاٚذ باهلل َٔ غسْٛعٚ ،٘ٝب إيْٛتٚ ،ْٙطتػؿسٚ ،ْ٘ٓٝطتعٚ ،ٙ حنُد،إٕ احلُد هلل
اهلل٫ إي٘ إ٫ ٕأغٗد أٚ ،٘ يٟ ٖاد٬كًٌ ؾٜ َٔٚ ،٘ َكٌ ي٬ اهلل ؾٙٗدٜ َٔ ،ات أعُايٓا٦ٝض
ٙعٗسٝٔ احلل يٜدٚ ٣ أزضً٘ اهلل تعاىل باهلد،٘يٛزضٚ ٙ عبدٟأغٗد إٔ حمُداٚ ،٘و يٜ غس٫ ٙسدٚ
تسىٚ ،ٙداٖد يف اهلل سل دٗادٚ ،١َْؿض ا٭ٚ ،١ْ ا٭َا٣أدٚ ،١ؼ ايسضاي٤ً ؾب،ً٘ٔ نٜ ايد٢ًع
٘ آي٢ًعٚ ًَ٘ٝ٘ ع٬ضٚ ات اهللًٛ ؾؿ، ٖايو٫ؼ عٓٗا إٜصٜ ٫ ًٗا نٓٗازٖاٝ ي٤كاٝ ب١ حمذ٢ًأَت٘ ع
: أَا بعد.ّٜٔ ايدٜٛ َٔ تبعِٗ بإسطإ إىلٚ ،٘أؾشابٚ
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
ًََُُِٕٛٔأْتُِ َٗطٚ ٤٫تُٖٔ إَُُٛ تٜ٫َٚ ٔ٘ٔاتٜ سَلٖ ُتكٜا اهللٛٝا اٖتكَُٛٓ َا٤ َٜٔ ٔر٤ ايٜٗٗاَٜاأٜ
ٟ٫زدَا٢ َبَحٖ ََُُِٔٓٗاٚ َدَٗاِٚ َلَ ََِٔٓٗا شًَٜػَٚ ٕ٠ََاسٔدٚ ٣ظِٞٔ َْؿَٚ ِٝهٜكًَٜ ػٟٔر٤ُِ ايٝا زَبٖهَٛٝٗا ايٖٓاعُ اٖتكَٜٗاأٜ
بّاٝٔهِِ زَقٝ ًَِٜٝإَ عٜ نٜ٭ ِزسَاَّ إٕٖ اهللٞاَٚ َٕٔ٘ٔ بَٛٝي٤ َتطَآٟٔر٤ ايٜا اهللَٛٝاٖتكٚ ّ٤ْٔطَآَٚ جٔريّاٜن
i | Studi Islam II
Fikih Ibadah
٢ٔعُٜٛ َََٔٚ ِِهٝ َبُْٛهِِ ذٝ َٜ ِػؿٔسِ يٜٚ ِِهٝ ٜهِِ أعَُِايٝ ُٜؿًِٔضِ يٜ دّاظٜ ضَ ٔدٟ٫ِٜٛا قٛٝيَٛٝقٚ ٜا اهللٛٝا اٖتكَُٛٓ َا٤ َٜٔ ٔر٤َٗا ايَٜٗاأٜ
ii | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Dari penafsiran ayat tersebut, Ibn Jauzi melihat bahwa ada dua
penyebab pokok, yang membuat rusaknya mental spiritual manusia,
sehingga menyebabkannya terjatuh dalam jurang kehancuran (ghayya),
yaitu (1) berpaling dari Allah (al-i‟radh), dalam hal ini menyia-nyiakan
shalat; karena orang yang meremehkan shalat berarti tanda orang yang
berpaling dari jalinan vertikal yaitu hablumminallah, dan (2)
memperturutkan hawa nafsu (Ittiba‟ al-syahawat), yaitu dengan
melampiaskan segala kesenangan, yang melampaui batas syari‘at, seperti
zina, khamr, dan sejenisnya yang menghalangi seseorang dari jalan
ketaatan kepada Allah.
Untuk itu, tidak ada solusi lain kecuali manusia harus kembali ke
pusat eksistensi tersebut, yaitu kembali kepada Allah (fafirru ilallah) dan
mengendalikan kembali hawa nafsu (dzam al-hawa). Dalam usaha
mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs)
melalui ibadah kepada Allah. Karena dengan usaha inilah jiwa akan
terbebas dari hal-hal yang mengotorinya dan kembali pada fitrahnya.
Menurut Ali Abduh, ibadah seperti shalat, zakat, membaca Al-Qur‘an,
berdzikir, dan ibadah lainnya, adalah sarana paling efektif untuk
menyucian jiwa seseorang.
Penulisan buku “Studi Islam 2: Fikih Ibadah” ini diharapkan dapat
menjawab problematika krisis spiritual tersebut, sehingga dapat
memberikan solusi yang memadai. Wallahu A‟lam Bisshawab.
iv | Studi Islam II
Fikih Ibadah
BAB I
1 Muttafaqun 'alaih. HR. al-Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30, lafadz hadits ini dari riwayat
Muslim.
1 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
2. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta
tunduk. Sedangkan menurut syara‘ (terminologi), ibadah adalah sebutan
yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa
Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang
bathin.2
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri berkata :
Yang berhak disembah hanya Allah Subhanahu wa Ta‟ala semata,
dan ibadah digunakan atas dua hal; Pertama: menyembah, yaitu
merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala dengan
melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-
Nya karena rasa cinta dan mengagungkan-Nya. Kedua: Yang
disembah dengannya, yaitu meliputi segala sesuatu yang dicintai
dan diridhahi oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala berupa perkataan
dan perbuatan, yang nampak dan tersembunyi seperti, doa, zikir,
shalat, cinta, dan yang semisalnya. Maka melakukan shalat
misalnya adalah merupakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta‟ala. Maka kita hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta‟ala
semata dengan merendahkan diri kepada-Nya, karena cinta dan
mengagungkan-Nya, dan kita tidak menyembahnya kecuali
dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya.3
Dari pengertian di atas dapat dirinci bahwa ibadah mencakup
ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja‘
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah
(senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan
dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan
lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan
shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan
hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan
dengan amalan hati, lisan dan badan.4
2 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
3. Rukun Ibadah
Setiap ibadah yang dikerjakan oleh setiap hamba, harus menenuhi
tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja‘ (harapan). Rasa
cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus
dibarengi dengan raja‘. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-
unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang
mukmin:
َُْ٘ٛٗشٔبَُٜٚ ُِِٗشٔٗبُٜ
َغعٔني
ٔ يَٓا ػَاٜ اُْٛاَٜنٚ َزَ َٖبّاٚ غبّاٜ َََْٓا زَُٛدِعٜٚ ِٔسَاتٝؼ
َ يٞ اٞٔ َٕ ؾُٛزع٢ طَاُٜ اُْٛاُْٜٖٗ ِِ ن٢إ
3 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
maka ia adalah haruriy.7 Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya
dengan hubb, khauf, dan raja‘, maka ia adalah mukmin muwahhid.‖8
4. Syarat diterimanya ibadah
Melakukan amalan ibadah merupakan sebuah kewajiban bagi
setiap muslim; karena tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah
untuk beribadah. Demikian itu sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah ‗azza wa jalla dalam Al-Qur‘an (QS. Adz Dzariyat : 56).
“Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan
untuk beribadah hanya kepadaKu.‖ (QS. Adz Dzariyat : 56)
Agar amalan ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah, maka
harus mengikuti dua syarat, berikut ini:
a. Al-Ikhlash, yaitu berniat ikhlas kepada Allah „Azza wa Jalla.
b. Al-Ittiba‟, yaitu mengikuti syariat Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi
wa Sallam.9
Dua syarat ini sebagaimana dijelaskan oleh oleh Allah dalam Al-
Qur‘an (QS. Al Kahfi: 110),
أسَدّاٜ ٘ٔٚٔ زَب٠ ٔبٔعبَا َدٝى٢ػِسُٜٜ٫َٚ ؾَأيشّاٟ٬ََُعٌَُِِ عًَٜٝٞٔ٘ ؾَٚ زَب٤آٜائكَُٛ ِسدٜ َٕاٜ َُ ِٔ نٜؾ
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah
dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun
dengan Rabb- nya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Di dalam ayat ini, Ibnu Katsir menafsirkan, bahwa maksud dari
firman Allah: ( ) adalah amal ibadah yang shaleh
merupakan bekal bagi siapa saja yang ingin berjumpa dengan Allah.
7.Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah,
yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
8. Ibn Taimiyah, al-‘Ubuudiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-
Atsar, Maktabah Darul Ashaalah 1416 H, hlm.161-162
9. Ibnu Rajab, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Saudi
Arabia: Mu’assassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 12.
4 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Amal ibadah tersebut tidak akan pernah diterima, kecuali sesuai dengan
syariat Allah, yaitu dengan mengikuti petunjuk Rasulallah Shalallahu
„Alaihi wa Sallam. Sementara maksud dari firman Allah: (
) adalah selalu ikhlas dalam beramal, yaitu hanya mencari ridha Allah
dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Kemudian Ibn Katsir menegaskan,
―Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah
dan mengikuti petunjuk Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam‖.10
Pendapat Ibn Katsir tersebut, dikuatkan dengan atsar sahabat Ali
bin Abi Thalib, Ibn Mas‘ud, Hasan, Sa‘id bin Zubair, dan sahabat yang
lainnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Sufyan Ats Tsaury berikut
ini:
"ٔ١َُٓط
ٓ اي١َٔاؾكُُٛ ٔٓ بٜ٫إ٢ ٠١ْٝٚ ٌْ ُعٚ ٍُِِْٛ قٝطتَٔك
ِ َٜ
Artinya: ―Para ulama berkata: „Tidak akan lurus perkataan kecuali
dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat
dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan
mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam”.11
Dalam menyikapi dua syarat diterimanya amalan ibadah tersebut,
manusia dibagi menjadi empat golongan. Hal itu sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin (1/95-97), yang
kesimpulannya adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Muwahid, yaitu orang yang dalam amalannya
menyempurnakan kedua syarat di atas, yakni ikhlas dan mutaba‘ah,
secara terintegrasi. Mereka adalah orang-orang menyembah kepada
Allah dengan sebenar-benarnya. Karena mereka mengikhlaskan
amalan mereka hanya kepada Allah, dengan mengikuti syari‘at
Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam. Mereka tidak beramal untuk
10Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Maktabah Darus Salam, Volume III, hlm. 120-
121
11Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim
Bajis, Saudi Arabia: Mu’assassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9, Al-Baghdadi, Iqtidha’ Al-Ilm Al-Amal,
Beirut: Maktab Al-Islami, 1397H. , hlm. 29, Ibn Bathah Al-Ukbari, Al-Ibanah, Vol. 2, hlm. 803
5 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
manusia, karena mereka mengetahui bahwa pujian manusia sama
sekali tidak bisa mendatangkan manfaat, sebagaimana cercaan
mereka sama sekali tidak bisa mendatangkan kejelekan. Akan tetapi
mereka mengikhlaskan ibadah secara zhahir dan batin untuk Allah,
serta mereka jujur dalam mengikuti sunah Nabi Muhammad
Shalallahu „Alaihi wa Sallam.
2. Kelompok Zindiq, yaitu orang yang kehilangan ikhlas dan Ittiba‘
dalam amalannya. Dengan demikian, kelompok ini melakukan
amalan hanya karena makhluk dan kepentingan duniawi, sehingga
mereka tidak lagi mementingkan Ittiba‘ sunah Rasulallah Shalallahu
„Alaihi wa Sallam dalam amalannya tersebut.
3. Kelompok Mubtadi‟ah, yaitu orang yang beramal dengan ikhlas, tapi
tanpa Ittiba‘. Hal ini berawal dari kejahilan dalam mengamalkan
syari‘at, sehingga beribadah tanpa berdasarkan ilmu. Akibatnya,
kebanyakan dari mereka terjatuh dalam kebid‘ahan, yaitu amalan-
amalan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulallah Shalallahu
„Alaihi wa Sallam. Hasilnya, amalan yang mereka lakukan tidak
menambah dekat dengan Allah, tetapi amalan tersebut akan semakin
membuat mereka jauh dari Allah.
4. Kelompok Munafik, yaitu orang yang melakukan Ittiba‘ dalam
amalannya, tetapi meninggalkan keikhlasan. Hal ini disebabkan
karena riya‘ dan mencari tujuan duniawi yang sifatnya fana, sehingga
amalan ibadahnya mengharapkan pujian manusia, dan kedudukan di
sisi mereka. Hasilnya, amalan-amalan tersebut adalah sia-sia di sisi
Allah.12
Dua syarat diterima suatu amalan ibadah tersebut, akan dijelaskan dalam
uraian berikut ini:
1. Al-Ikhlas
a. Pengertian (Ta‟rif)
Ikhlas secara bahasa (lughah) memiliki beberapa makna, di antaranya
adalah sebagai berikut:
12 Ibnu Qayyim, Bada’i Al-Fawaid, Mekah: Maktabah Nizar Musthafa, 1416H. , Vol. 4,
hlm. 952, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Vol. I, hlm. 95-97
6 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
1) Al-Tashfiyah, Al-tanqiyah, Al-Tahdzib, yaitu memurnikan sesuatu dari
segala macam campuran.
2) Al-Tauhid, yaitu mengesakan.
3) Al-Takhshish, yaitu mengkhususkan.
4) Al-Najah, yaitu selamat dari sesuatu.
5) Al-Ihsan, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan.13
Adapun secara istilah, para ulama berbeda redaksi (ibarah) dalam
menggambarkanya, tetapi pada intinya sama. Ada yang berpendapat,
ikhlas adalah memurnikan tujuan ibadah untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah
dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah
menyelamatkan ibadah dari pamer (riya‘) kepada makhluk. Ada pula
yang berpendapat, ikhlas adalah mensucikan amal dari sifat ujub, dan
segala macam penyakit hati (afat al-qulub).14
Al Harawi mengatakan: ―Ikhlas ialah, membersihkan amal dari
setiap noda. ―Ulama yang lain berkata, ‗Seorang yang ikhlas ialah
seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka
memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya
manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji
sawi (dzarrah)‖.15 Sementara Fudhail bin ‗Iyadh berkata: ―Meninggalkan
amal karena manusia adalah riya‘. Dan beramal karena manusia adalah
syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari
keduanya‖.16 Sa‘id bin Zubair mengatakan: ―ikhlas adalah mensucikan
diri dalam melakukan amal dari segala sifat riya, dan menjadikan amalan
ibadah hanya karena Allah‖.17 Al-Qurthubi berkata:‖ikhlas adalah
memurnikan amalan ibadah dari campuran kepentingan duniawi‖.18 Ibn
Hajar Al-Ashqalani berkata: ―ikhlas bermakna ihsan, yaitu seseorang
13Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, Madinah Munawarah: Dar Al-
thaibah, 1987, hlm. 184, Ibn Faris, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Libanon: Dar Al-Fikr, 1415 H. , hlm.
327, hlm. 6, Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H. , Vol. 10, hlm. 589
14Abdul Lathif, Al-Ikhlash Wa Al-Syirk Al-Ashghar, Darul Wathan, 1412 H. , www.
alabdullatif. islamlight. net, hlm. 5, Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah,
1420 H. , Vol. 4, hlm. 502
15Ibid
16Ibn Qayyim, Madarijus Salikin, Kairo: Darul Hadits, Vol. 2, hlm. 95-96
17Al-Marwazi, Ta’dzim Al-Shalat, Madinah Munawarah: Maktabah Al-Dar, 1406 H. ,
Vol. 2, hlm. 566
18Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo: Dar Al-Hadist, 1414 H. , Vol. 2, hlm.
151
7 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
melakukan amal ibadah, seakan-akan Ia melihat Allah, atau merasa
bahwa dirinya selalu dilihat oleh Allah‖.19
Dari uraian singkat pendapat para ulama di atas, dapat dikatakan
bahwa ikhlas adalah seseorang berniat dengan amal ibadahnya, hanya
untuk mendekatkan dirinya kepada Allah semata, bukan karena mencari
pujian manusia, atau mencari kepentingan duniawi. Dengan demikian,
seseorang akan selalu memperbaiki amalannya, dengan cara
mentauhidkannya dan tidak mensyirikkan amalan tersebut kepada selain
Allah.
b. Dalil-Dalil tentang Ikhlas
Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya
ikhlas dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam Al-
Qur‘an dan Al-Sunah.
Dalil-dalil dari Al-Qur‘an tentang ikhlas adalah sebagai berikut:
أسَدّاٜ ٘ٔٚٔ زَب٠ ٔبٔعبَا َدٝى٢ػِسُٜٜ٫َٚ ؾَأيشّاٟ٬ََُعٌَُِِ عًَٜٝٞٔ٘ ؾَٚ زَب٤آٜائكَُٛ ِسدٜ َٕاٜ َُ ِٔ نٜؾ
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah
dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun
dengan Rabb- nya.” (QS. Al Kahfi: 110)
ٜذَئوَٚ ٜ٠اٜا ايصٖنُِٛت٪َُٜٚ ٜ٠اًٜٖا ايؿُُُٛٝٔكَٜٚ ٤أَٜ ُسَٓؿُٜٚ٘ ايدَٜ٘ َُؼًِٔؿٔ َني ي٤ًا ايُٚ ِعبُدَٝٔاي٤ي٢ا إُٚأَٔسٝ ََاَٚ
ٔ١َُٚٝكٜ ٞ ُٔ ائٜد
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya. (QS. Al-Bayyinah: 5)
19Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H. , Vol. 10, hlm.
589
8 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Katakanlah: „Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.‘‖
(QS. Al-Zumar: 11)
٢ًِٜأعٜ ٞٔ٘ ايٚدِ٘ٔ زَبَٚ ٤ا اِبتٔػَا٤ إي٣َ ُتذِص١َُِْٕعٚ َٔٔ َُٙأسَدٕ عٔٓدٜ ََٔايَٚ
“Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya
yang harus dibalasnya, Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena mencari
keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi.‖ (QS. Al-Lail: 19 – 20)
زّاٛٝا غُهَٜيٚ ٤ِِ دَصَاٝدُ َٔٓهٜ٢ا ُْسٜٔ٘ ي٤ًدِٔ٘ ايَٛ ٔ ِِيٝعُُٔهٛٞ ُْ إَُْٖا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 9)
ََاَٚ تٔ٘ٔ ََِٔٓٗا٪ُْ َاِْٝٗدُ سَسِخَ ايدٜس٢ ُٜ َٕأََٜ نَٚ ٔ٘ٔ سَسِثُٞٔ٘ ؾٜدِ ي٢ َْص٠َٔآػٔسٞخ اي
َ ِدُ سَسٜس٢ ُٜ َٕأََٜ ن
بَٰطٌٔ َٖاَٚ َٗاٝٔا ؾُٞٛ ََا ؾََٓعٜ َسبٔطَٚ ُا ٱيٖٓاز٤ي٢ إ٠َٔ ٱ٭ػٔسٞٔيُِٗ ؾٜ ظ
َ َٜٝٔ ئٜير٤ ٱٜٔو٥ٍَِٰٚ أٝ
ًَََُٕٛٝعٜ ٞاُْٛاٜن
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu.‖ (QS.
Hud: 15-16)
9 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Dalil-dalil dari Al-Sunah tentang ikhlas adalah sebagai berikut:
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam seraya berkata, ‖Bagaimanakah
pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah
dan sanjungan, apa yang diperolehnya?‖ Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa
Sallam menjawab, ‖Dia tidak mendapatkan apa-apa. ‖ Orang itu
mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak
mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam
bersabda:
َُُِ٘ٗدٚ َٔ٘ٔ بٞٔ ابُِتػَٚ ُٟ٘ ػَائؿاٜا َٕ يٜ ََا ن٤٫٢ٌ إ٢ ََُكبٌَُ َٔ َٔ ايعٞ َٜ ٜ٫ ٜٕٖ اهلل٢إ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan,
kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah
Allah.‖20
Dari Amirul Mu‘minin, Abi Hafs Umar bin Al Khathab, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda:
ِٔ٘ٔيٛض
ُ َزَٚ ٔ اهلل٢ٜي٢اَْتِ ٖٔذِسَتُ ُ٘ إٜ َُ ِٔ نٜ ؾ.٣ََْٛ ََا٣٨٢ اَِسٌَُْٖٚٝائه٢َإٚ ٖٔاتٝٓٚ٭عَُِاٍُ بٔايٜ اٞ َُْٖا٢إ
ُُ٘ٗذِسَت٢ؾٜ شَٗا
ُ ِٓ ٔهَٜ ٕ٠أَِٜ اَِسُٜٚبَٗا أُِٝٔؿٜ َاُِْٝاَْتِ ٖٔذِسَتُ ُ٘ئدٜ َ ِٔ نَٚ ،ِٔ٘ٔيٛض
ُ َزَٚ ٔ اهلل٢ٜي٢ٗذِسَتُ ُ٘ إ٢ؾٜ
20HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri
dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At
Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8.
21HR. Muslim, no: 1907
10 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Di dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah, sesungguhnya
Rasulallah saw bersabda, Allah berfirman (hadits qudsi):
11 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Jadi, Ittiba‘ merupakan konsekuensi syahadat yang kedua yaitu
Muhammad Rasulallah, persaksian bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Sebuah ikrar yang di dalamnya terdapat pengakuan atas kerasulan
Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, syahadat
tersebut mengandung maksud bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam adalah benar, sehingga harus
diimani dan diamalkan. Oleh karena itu, wajib bagi seorang muslim
untuk ittiba‟ kepada Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa Sallam, dengan taat
terhadap apa yang diperintahkannya dan membenarkan apa yang
diberitakannya serta menjauhi apa yang dilarang dan diancamnya. Tidak
beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan.
b. Dalil-Dalil tentang Al-Ittiba‟
Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya
Ittiba‟ dalam melakukan amalan ibadah, adalah terdapat di dalam Al-
Qur‘an dan Al-Sunah.
Dalil-dalil dari Al-Qur‘an,
ِِ سَ َسدّا٢ٗط
ٔ ؿٝ ِْٜ أٞٔا ؾَُٚذٔدٜ آَُِِِٜٗ ثُ ِٖ يٝغذَسَ َب
َ َُاٝٔى ؾٜ ُُُِّٛشَهٜ ٢َٖٕ َستَُِٛٓٔ٪ُٜ اٜ يٜوٚزَبَٚ اًٜٜؾ
12 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah engkau penuhi panggilan
Allah dan RasulNya, apabila Dia memanggil kepada apa-apa yang
menghidupkan kamu.” (Al-Anfaal: 24)
ٔابٜيعٔكٞ ُد أَٜٓ٘ غَدًَٜٕٓ اي٢ٓ َ٘ إًٜا ايَٛٝاتَٓكٚ اُٛٗاَِْتِِٜ َعِٓ ُ٘ ؾََٝا ََْٗانَٚ ُُٙٚؾؼُرٜ ٍُ ُٛ ُِ ايسَٓضٝتَانََٜا آَٚ
“Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah dan
apa yang dilarang kepada kalian darinya maka jauhilah dan bertaqwalah kepada
Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
ًٜ٘ٓ اي٢َدِ عَؿٜكٜ ؾ٢َِْٔٔ عَؿَاَٚ ، ًَٜ٘ٓا َع ايٜطٜ ِد أٜكٜ ؾ٢ٔٓا َعٜطَٜ ِٔ أ
“Siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan siapa
yang durhaka kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah.‖ (HR.
Bukhari)
َِٔ ٪ٍَاٜ ق٢َبَٞأٜ ََِٔٚ ٔ٘٤ً ٍَ ايَُٛا زَضٜ ٪اٛٝايٜ ق.٢َبٜ َ ِٔ أ٤٫٢ إ، ٜ١ٖٓذ
َ يٞ َٕ اًَُٛٝدِػٜ ٢ٔأَٖتٝ ٌٗ ٝن
13 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Artinya: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
asalnya dari agama kita maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
٣ََسٝط
َ ؾٜ ِِ ٝعٔؼِ َِٔٓهَٜ َِٔ ُْٖ٘٢إْٜظ ؾِٕٞٔ َعبِدْ َسَبػ٢َإٚ ٔ١َاع٤َٛايٚ ٢َايطُِٖعٚ ٔ اهلل٣َٛكٞ َِِ ٔبتِٝهٝؾ
ٔ ِٚأٝ
14 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
٢زَُٛٝأٞغَ ٗس ايَٚ ٕ َُشَُٖد٣َ ُٖد٣َيُٗدِٞ ُس اٝ َػَٚ ٔ٘٤ًب اي
ُ ح ٔنتَا
ٔ ٜٔيشَدِٞ َس إٖٝ َػ٢إٜأَٖا َبعِ ُد ؾٜ
ٕ١ٌَٗ بٔ ِدعَٝنٚ ٠١َٕ بٔ ِدع١ٌَٗ َُشِدَثَٝنٚ َُشِدَثَاُتَٗا٢زَُٛأٝ َٞغَ ٗس ايٚ٠١ٜايًَٜٕ ق١ٌَٗ بٔ ِدعَٝنٚ َُشِدَثَاُتَٗا
15 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
3) Ukuran (al-qadr)
Dalam masalah ibadah, ukurannya harus sesuai dengan apa yang
telah diukur oleh syari‘at, maka apabila ada seseorang yang shalat
Zhuhur 6 raka‘at atau shalat magrib 7 raka‘at, maka shalat Zhuhurnya
dan Magribnya tersebut, tidak diterima karena menyelisihi syari‘at.
4) Sifat (as-sifat)
Dalam masalah ibadah, sifatnya harus sesuai dengan apa yang
telah disifati oleh syari‘at, maka ada orang yang wudhu menyelisihi sifat
wudhu Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam seperti
mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang
yang mengawali shalat dengan salam, dan mengahiri dengan takbiratul
ihram-, maka kedua ibadah seperti ini tidak akan diterima, karena
menyelisihi sunah Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam.
5) Waktu Pelaksanaannya (al-zaman/al-waqtu)
Dalam masalah ibadah, waktu pelaksanaannya harus sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari‘at, maka apabila ada orang
yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat idul Adh-ha, maka tidak
dianggap sebagai udhhiyah. Karena waktu disyari‘atkannya udhhiyah
(menyembelih) di hari Iedul Adhha adalah setelah shalat Ied, bukan
sebelumnya.
6) Tempat Pelaksanaannya (al-makan)
Dalam masalah ibadah, tempat pelaksanaannya harus sesuai
dengan apa yang telah tentukan oleh syari‘at, maka apabila ada orang
yang beri‘tikaf di kamar rumahnya atau pergi melakukan thawaf kepada
Allah di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima, karena i‘tikaf
tempat disyariatkannya adalah di masjid. Sedangkan thawaf hanya
diperbolehkan di Ka‘bah.26
d. Urgensi Niat dalam Ibadah
Islam sangat memperhatikan masalah niat, karena niat adalah ruh
amal ibadah dan inti sarinya (lubb). Perbuatan tanpa niat bagaikan jasad
16 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
tanpa ruh, sehingga dapat dikatakan amalan tanpa niat ikhlas adalah
tiada bermakna, dan menghilangkan pahala dari kebaikan yang
dilakukan. Bahkan Imam Syafi‘i menegaskan, bahwa niat adalah
mencakup sepertiga ilmu agama ini, dan merangkum 70 (tujuh puluh)
bab fiqih. Lebih dari itu, Ibnu Rajab mengatakan bahwa niat adalah pilar
agama, tanpa niat agama ini akan runtuh.27
Oleh karena itu, niat adalah fondasi dasar (asas) dari amalan
ibadah, yang dapat membedakan antara sah, dan rusaknya suatu ibadah,
atau diterima dan ditolaknya suatu amalan ibadah. Perbuatan bisa
dikatakan sah jika niatnya juga sah, begitu juga sebaliknya, jika niatnya
rusak, maka amalannya juga dikatakan rusak, tentunya hal ini sangat
menentukan kesesuaian dengan balasan yang akan diterima di dunia dan
di akhirat.28
Ibn Qayyim mengibaratkan niat yang ikhlas, bagaikan sebatang
pohon yang tertanam di dalam hati, yang cabang-cabangnya adalah
amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia
dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana
buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk
dipetik, maka buah dari niat yang berupa tauhid dan keikhlasan di dunia
pun akan tetap mengalir. Adapun syirik, kedustaan, dan riya‘ adalah
pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah
berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada,
dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah
Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan
kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim ayat 24-26 berikut ini,29
27Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim
Bajis, Saudi Arabia: Mu’assassah ar-Risalah, 1419H. , hlm. 9
28 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaq-qi’in, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, Vol. 4,
hlm. 250
29Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Fawa’id, hlm. 158
17 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ٞٔ ِسعَُٗا ؾَٜؾٚ ًَْٗا ثَابٔتِٝؾٜٕ أ١َٔبٝٓطٜ ٕ٠َػذَس
َ نٜ ٟ١َٔبٜٝٓ طٟ١ًَُٜٔ ن٬َُ٘ َج٤ًِـَ قَ َسبَ ايِِٜٝ تَسَ نٜأي
ٌََُجَٚ َُٕٚس٤تَرَنَٜ ًُِِٗ٤َيعٜ ٢ُ٘ ا٭َِجَاٍَئًٖٓاع٤ًسبُ اي٢ َِكٜٚ زَٓبَٔٗا٢ِٕذ٢ بٔإ٣ٌٖ سٔنيًَٝٗا نٜٝنٝ أِٞٔت٪ٔ ُت٤ايطَُٖا
30Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, Madinah Munawarah: Dar Al-
thaibah, 1987, hlm. 687, Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, Beirut: Daar Ihya at Turats al-’Arabi, Vol. 14,
hlm. 343
31Ibid
18 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
tersebut al-iradah diungkapkan dalam makna yang berbeda-beda dalam
konteks yang beragam pula, tetapi semua iradah (keinginan) tersebut
dikembalikan pada niat dan tujuan. Niat juga diungkapkan dengan kata
al-ibtigha‟ (tujuan, sasaran atau target). Misalnya di dalam Al-Qur‘an surat
an-Nisa‘ ayat 94, at-Tahrim ayat 1, al-Qashash ayat 55, dan Ali ‗Imran
ayat 5 dan ayat 85, dan di dalam surat al-Ra‘d ayat 22 dan al-Isra‘ ayat
28. Di dalam ayat-ayat tersebut al-ibtigha‟ muncul dalam konteks
larangan maupun perintah. Dengan demikian, perbuatan yang
diperintahkan membutuhkan niat, perbuatan yang dilarang pun juga
membutuhkan niat.
Adapun dalam pandangan Al-Sunah, niat selalu dikaitkan dengan
maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan amalan ibadah. Jika
tujuannya karena Allah maka hal itu disebut ikhlas, dan jika karena
manusia atau kepentingan duniawi, maka niat tersebut berubah menjadi
riya‘. Selain itu, Rasulallah Shalallahu „Alaihi wa Sallam menjadikan niat
sebagai salah satu syarat sahnya suatu amalan, sehingga suatu amalan
tiada bernilai pahala jika tanpa disertai dengan niat. Hal itu sebagaimana
yang dijelaskan dalam hadist Umar bin Khatthab berikut ini.
ٍَِٛض
ُ َ ضَُٔ ِعتُ ز٪ٍَاٜ َعُِٓ٘ قَٝ اهللٞٔٓابٔ زَقٜٛؼ
َ يٞ ا٢ٔ عَُُسَ ِب٣ـِٞ سَؿٞٔبَِٜٔ أَٝٓٔٔ٪ِ ُُ ٞ اي٢ِسََٜٝٔعِٔ أ
ٔ اهلل٢ٜي٢اَْتِ ٖٔذِسَتُُ٘ إٜ َُِٔ نٜ ؾ.٣ََْٛ ََا٣٨٢ٓ اَِس٢ٌََُْٝٓا ئه٢َإٚ َٔٓاتٝٔٓ٭عَُِاٍُ بٔايٜ اٞ ََُْٓا٢ إ٪ٍُِٛ كٝ َٜ ٔاهلل
شَٗا
ُ ِٓ ٔهَٜ ٕ٠أَِٜ اَِسُٜٚبَٗا أِٝؿ
ٔ ُٜ َاُِْٝاَْتِ ٖٔذِسَتُُ٘ ئدَِٜٔ نَٚ ،ِٔ٘ٔيٛض
ُ َزَٚ ٔ اهلل٢ٜي٢ٗذِسَتُُ٘ إ٢ ِٜئ٘ٔ ؾٛض
ُ َزَٚ
19 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Fungsi Niat (Fawaid al-Niyah) dalam Ibadah
Fungsi niat dalam amalan ibadah ada dua perkara, yaitu:
1. Pertama: membedakan antara ibadah dengan adat (tamyiz al-„ibadat „an
al-„adat). Misalnya seseorang duduk di masjid untuk istirahat atau
i‘tikaf, hal ini dapat dibedakan dengan niatnya. Demikian juga
menyerahkan harta kepada orang lain, apakah akadnya hibah,
hadiyah, atau wadi‘ah, atau zakat, sedekah biasa atau sebagai
kaffarat. Semua itu, akan dibedakan dengan niatnya.
2. Kedua, membedakan antara peringkat ibadah yang satu dengan
ibadah yang lainnya (tamyiz mzrztib zl-„ibadat ba‟dhuha min ba‟dhin).
Misalnya macam-macam shalat ada yang fardhu dan ada pula yang
sunnah, demikian juga apakah bersifat qadha‘ atau ada‘.32
Waktu Niat dan Tempatnya
Menukil kesepakatan ulama, Ibnu Taimiyyah mengemukakan
bahwa waktu niat itu di awal melakukan amalan ibadah. Adapun tempat
niat adalah di hati, bukan diucapkan dengan lisan,33 kecuali waktu
tertentu yang disunahkan untuk melafazkan niat, seperti ketika haji dan
umrah, dengan mengatakan: "Labbaik Allahumma Hajjan" (Ya Allah, aku
penuhi panggilan-Mu untuk haji), atau "Labbaik Allahumma 'Umratan"
(Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah), sehingga apa yang
ada dalam hati dikuatkan dengan kata-kata yang dilafazkan. Sebab
Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam melafazkan niat haji dan juga
melafazkan niat umrah. Maka demikian ini sebagai dalil disyariatkannya
melafazkan niat karena mengikuti Nabi Shalallahu „Alaihi wa Sallam.
Sebagaimana para sahabat juga melafazkan demikian itu seperti
diajarkan oleh Nabi Shalallahu „Alaihi wa Sallam dan mereka
mengeraskan suara mereka.34
20 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Besar Kecilnya Pahala Amalan Dzahir Tergantung Pada Kualitas
Niatnya
Niat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pahala amalan
dzahir yang kita lakukan, semakin niatnya ikhlas, semakin besar pula
pahala yang akan kita dapatkan. Demikian juga sebaliknya, niat yang
salah akan mempengaruhi rusaknya amalan yang kita lakukan, dan
menghapus pahalanya. Oleh karena itu, menata niat sebelum melakukan
amal adalah amat penting, sehingga amalan yang dilakukan terjaga
pahalanya dan kualitasnya. Lebih jelasnya, kita tadaburi firman Allah
berikut ini:
ِِٝ َِٔٓه٣َٛكٞ ٖ ُ٘ ايتََٝٓايٜ ِٔٔهَٜيٚ َُٖا٩ ٔدََا٫َٚ ََُٗاُٛشٝ َ٘ ي٤ًََٓا ٍَ ايٜ ِٔيٜ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
(QS. Al-Hajj: 37)
Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa amalan dzahir yang berupa
penyembelihan hewan kurban, ditentukan oleh kualitas niat dalam
hatinya yang terwujud dalam bentuk ketaqwaan, sehingga bentuk dzahir
berupa daging dan darah hewan kurban tidak sampai pada Allah, tetapi
niatnya itulah yang sampai pada keridhaan Allah. Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
21 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
٢ًُِٜٕٖٔٝ اي ٖسد٢َإٚ ،٢فٜ٬ِإػ٢َٞايٚ ٢َُِٕاٜ٢ِبٔ ََٔٔ اإلًٛٝٝكٞ ََا يف اي٢ٌُاقٜاقٌَُ ٔبتَؿٜأعَُِاٍَ َتتَؿٜ ٕٖٞ اي٢إٜؾ
٢أزِضٜ َٞايٚ ٤ِ َٔ ايطَُٖاَُٝا َبَُٜا ن٢َِٗٝتٜ٬ََِٔ ؾََٝبٚ َاسٔدّاٚ ٚ ايؿٖـٞٔا ََُُُٗا ؾَِٜٕ َكٛهٝ َٝيٜ
“Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan
perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh
ada dua orang yang berada di satu shaf sholat akan tetapi perbedaan nilai sholat
mereka berdua sejauh antara langit dan bumi”.35
Salah satu rahasia kenapa Allah menjadikan sedikit infaq yang
dikeluarkan oleh para sahabat Nabi lebih tinggi nilai pahalanya, dari
pada beribu-ribu ton emas yang kita sedekahkan. Hal itu dikarenakan,
kualitas niat para sahabat sangatlah tinggi, sementara kualitas niat kita
tidak sebanding dengan niat mereka. Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi
wa Sallam pernah bersabda,
ُٜ٘ؿٝٔا َْؿَٜيٚ ِِٖٔٔأسَدٜ ؼَ َُ ٖدًَٜأسُدٕ ذَ َٖبّا ََا بٝ ٌَ ِلَ َٔجِْٜؿٜ ِِ أٝأسَدَنٜ ٖٕٜ أِٛ ًٜٜ ؾٞٔؾشَاب
ِ ٜا أٛٗطب
ُ ا َتٜي
“Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang
dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq
mereka (kurma atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam
tangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Baydhawi mensyarah hadist ini, seraya berkata:
ََا٢٭دِسٜ َاٚ ٢ٌِكٜؿٞأسُدٕ ذَ َٖبّا ََٔ ايٝ ٢ٌِام َٔجِِٜ بٔإِْؿٝأسَدُنٜ ٍَُٓاَٜ ٜ٫ ِٔحٜيشَدٞ ا٢ََٓ ِع
“Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan
emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia
sebagaimana yang diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun
22 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
hanya menginfakan satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan
tersebut adalah karena (mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai
dengan keikhlasan yang lebih dan niat yang benar.‖36
Walhasil, niat yang berkualitas akan mempengaruhi kualitas suatu
amalan ibadah yang kita amalkan. Dengan demikian, niat adalah bagian
yang amat penting dalam struktur amal, sehingga baik tidaknya amal
adalah ditentukan pada niat pelakunya.
36Redaksi ini sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, Vol. 7, hlm. 34
23 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
BAB II
FIKIH SHALAT
24 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Sallam bersabda: Bagaimanakah pendapat kalian jika ada sebuah sungai
di hadapan pintu salah seorang di antara kalian dan dia mandi padanya
lima kali sehari, maka apakah akan ada daki yang tertinggal pada
badannya? Para shahabat berkata: Tidak ada daki yang tertinggal pada
jasadnya. Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda, "Itulah
perumpamaan shalat lima waktu di mana Allah Ta‟ala menghapuskan
kesalahan dengannya.‖37
Shalat juga merupakan pesan terakhir, yang diwasiatkan Rasulullah
Shalallahu „Alaihi wa Sallam pada umatnya, saat beliau menghadapi
sakaratul maut adalah: ―Jagalah shalat, jagalah shalat dan budak-budak
yang kalian miliki‖.
2. Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat
Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia telah
kufur. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal itu berdasarkan dalil
berikut ini :
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu „anhu, bahwa
Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda
ٔ٠٬
ٜ ٖى ايؿٝ ِس تَس٢ ٞؿٝهَٞايٚ ٔسِىٚ َٔ ايػََِٝبٚ ٢ٌُ َٔ اي ٖسدِٕٖٝ َب٢إ
Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan
kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib Radhiallahu „anhu, ia
berkata: aku mendengar Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam
bersabda:
37Shahih Bukhari 1/184 no: 528 dan shahih Muslim 1/463 no: 667
25 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
َ ِدػَ َسزٜكٜدّا ؾَُٚنَٗا عَُِدّا ََُتعٜ ََُِٔ تَسٜ ؾ، عَُِدّاٜ٠٬
ٜ ٖا ايؿٛٝ َتتِسُنٜ٫َٚ ،ّا٦ِٝغ
َ ِٔا بٔاهللٛنٝ ٢ ُتػِسٜ٫
ٔ١٤ًَُٔٞ َٔ اي
Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah
kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan
sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.
Adapun kosekwensi hukum yang berlaku karena kufur (keluar
dari Islam), yaitu :
a. Kehilangan haknya sebagai wali, karena syarat perwalian adalah
harus Islam dan adil.
b. Kehilangan haknya untuk mewarisi harta kerabatnya. Hal itu
berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid
Radhiallahu „anhu, Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
َٖرَا
“Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis,
maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun
ini…” (QS. At Taubah: 28)
d. Diharamkan makan hewan sembelihannya. karena salah satu syarat
penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang
muslim, adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka
sembelihan mereka tidak halal.
26 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
e. Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan
ampunan dan rahmat untuknya. Berdasarkan firman Allah
Subhaanahu wa Ta‟alla:
ٔ٘ٔيُٛزَضَٚ ًٜٔ٘ٓا بٔايُٚسٜؿَُِِْٜٓٗ ن٢ٔ إٙ٢قبِسٜ ٢ًَِِٜ عٝ تَك٫َٚ بَدّاٜأسَدٕ َُِِِٔٓٗ ََاتَ أٜ ٢ًَٜٓ ع٢ٌَ تُؿ٫َٚ
ًََٕٛٓٝٔشٜ ُِِٖ ٫َٚ ُِِٗيٜ ٌْٓٔ َُٖٔٓ س٫ ٢ٓازٜؿٝهٞ اي٢ٜي٢ َُٖٔٓ إُٛ تَ ِس ٔدع٬ََٜٔٓاتٕ ؾ٪ِ َُ َُُُُِٖٕٓٔٛ عًَٔ ُِت٢إٜؾ
َُٓٔٗيٜ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman
datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka,
Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tidak halal bagi
orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka …”
(QS. Al Mumtahanah: 10)
g. Keutamaan shalat berjamaah
Pahala shalat berjama`ah melebihi pahala shalat sendirian dua
puluh tujuh derajat.
27 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ٔ١َيذََُاعٞ اٝ٠٬َ ؾ:ٍَاٜضًِ قٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًٍَ اهللٔ ؾِٛ ُ عَُُسَ إٖٔ زَض٢ٔ ِ اب٢َٔع
٘٤ً اي٢٤ًَ٘ٔ ؾ٤ًٍَ ايُٛ ضَُٔعِتُ زَض٪ٍَاٜ اهلل عٓ٘ قٞإ زق٤َعِٔ ُعجَُِإ بِٔ عَؿ
٢ًٌِٝ٤اَّ ْٔؿِـَ ايٜأَُْٖا قٜهٜٕ ؾ١َ دََُاعَٞٔ ؾ٤ٔعػَاٞ اي٢٤ًَ (( َِٔ ؾ٪ٍَُٛٝكٜ َِ٤ًََضٚ ًَِٜٔ٘ٝع
ًَِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ً اي٢٤ًَ٘ٔ ؾ٤ًٍُ ايُٛاٍَ زَضٜ ق٪ ٍَاٜ اهلل عٓ٘ قٞ زقٜ٠َِسَٜ ُٖسٞٔعَ ِٔ أب
28 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
٢َٜ ثُِٖ ػَسَزَ إي٤ُُٛقٛٞأ ِسطََٔ ايَٜقٖأ ؾٛ أُْٖ٘ إذَا َتٜذَئوَٚ اٟقعِؿ
ٔ َٜٔ٢َ ٔعػِسٚ ػَ ُِطّا
١٠ َُ٘ ٔبَٗا َد َزدٜ زُؾٔعَتِ ي١٫ إٟ٠َٛٞٛ َػٝؼِطَٜ ِِٜ يٝ٠٬ٖ ايؿ١٫سدُُ٘ إ٢ ِؼُٜ ٫ ٔطذٔد
ِ َُ ٞاي
ِٞٔ٘ٔ ََا دَاَّ ؾًَٜٝ عًَِّٞ تُؿٝ١ٜٔه٥٬َُٞ اي٢ٍِِ تَ َصٜ ي٢٤ًَإذَا ؾٜ ؾ٠١َ٦ٝٔٛتِ َعُِٓ٘ ٔبَٗا َػ٤ُٛسَٚ
ٕ ََا٠٬َ ؾِِٞٔ ؾَٝصَاٍُ أسَدُنٜ ٫َٚ ،ًَُُُِِٖ٘ٗ ا ِزس٤ِ٘ٔ ايًَٜٝ عًٌَُٚٗ ِٖ ؾ٤ اي٪ ٍُِٛ كٝ َُ تٙ١٬ََُؿ
ٜ٠٬ٖ َس ايؿٜاَِْتع
“Dari Abu Hurairah Radhiallahu „anhu berkata: Rasululah Shalallahu
„Alaihi wa Sallam bersabda: Pahala shalat seseorang yang berjamaah
melebihi pahala shalat sendirian di rumahnya dan dipasarnya dua puluh
lima kali lipat. Yang demikian itu apabila ia berwudhu` dengan sebaik-
baiknya, kemudian ia pergi menuju masjid, tidak ada tujuan lain kecuali
untuk shalat berjama`ah maka tidaklah setiap langkah yang
diayunkannya melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan
untuknya satu dosa, apabila ia melakukan shalat berjama`ah maka para
malaikat senantiasa mendoakannya selama ia masih berada di tempat
shalatnya dan juga ia belum berhadats. Para Malaikat berdoa:
“Allahumma shalli `alaihi, Allahummarhamhu (Ya Allah, Ampunilah
dia dan rahmatilah).” Dan tetap ia dianggap shalat selama ia menunggu
waktu shalat berikutnya tiba.” (HR. Buhari)
Seseorang yang istiqamah shalat berjama`ah dijamin terlepas dari
sifat nifaq.
دّا َُطًُِّٔاَٜ٘ غ٤ً اي٢ٜكًَٜٞ ُِٕ أٖٙاٍَ َِٔ ضَسٜ اهلل عٓ٘ قٞدٕ زقِٛ ُطع
ِ َ ٢ِٔ اب٢َٔع
٢٤ًَِِ ؾٝهَٚٝ٘ غَ َسعَئَٓٔب٤ًإٕٖ ائٜٖ ؾ٢ٗ ٔب٣ََُٓادٜ ُِحََٝاتٔ سًٜٖٛٔ ايؿ٤٫ُ٪َٖ ٢ًَٜ عٞشَاؾٔغًُٜٝٞؾ
١ٜ ٖٓض
ُ ُِِنتٞ َِ تَسَٜٛيٚ ِِٝهٚٝٔ َْبٜ١ٖٓض
ُ ُِِنتٞ َيتَسٜ ٔ٘ٔتِٝ َبٞٔ ُُتَؼًَِّـُ ؾٞ َٖرَا ايًَُِّٞؿٜ َُاِِٜ نٝتٔهُُٛٝب
29 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ِٔ َٔ ٕطذٔد
ِ َ ٢ٜعُِٔدُ إيَٜ ُِٖزَ ثُٛٗ٥ٛشطُٔٔ اي
ِ ُٜٖٝٗسُ ؾٜٛ ََتٜ ٣ٌَََُا َِٔٔ َزدٚ ًُِِتًَٜٞكِِٜ يٝهَْٚٝٔب
.ٚ ايؿٖـٞٔاَّ ؾُٜكٜ ٢ٖ َست٢ًَُِٜٔٝٔ ايسٖدِٝ َب٣ََٗادُٜ ٔ٘ٔ ب٢َِت٪ُٜ ٌُُإَ اي ٖسدٜدِ نٜكَٜيٚ ٢امٜؿٚٓاي
.ًِ َطٙاٚز
“Dari Ibnu Mas`ud Radhiallahu „anhu berkata: Barangsiapa yang ingin
bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang muslim,
maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar
panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda
(jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama`ah merupakan
bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu
seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang
meninggalkan shalat berjama`ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan
sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu,
berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`)
dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid
melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang
diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan
dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada
seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah melainkan seorang
munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada
seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh
dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat
berjama`ah.” (HR. Muslim)
Orang yang shalat berjama`ah terbebas dari segala perangkap
syaithan
30 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
٘٤ً اي٢٤ًَ٘ٔ ؾ٤ًٍَ ايُٛاٍَ ضَُٔ ِعتُ زَضٜ اهلل عٓ٘ قٞٔ زق٤ اي ٖد ِزدَاَٞٔعِٔ أب
ٔدٜ ق١٫ إٝ٠٬ٖ٘ٔ ايؿٝٔاُّ ؾٜ تُك٫ ٣ٚ بَ ِد٫َٚ ٕ١َِٜسٜ قٕٞٔ ؾ١َث٬ٍَُ ََا َِٔٔ ثَٛٝكٜ َِ٤ًََضٚ ًَِٜٔ٘ٝع
ٜ١َٝؾ
ٔ اٜكِٞبُ اي٥رٚ ٌُ ايَٝأنٜ إَُْٖأٜ ؾ١َيذََُاعِِٞ بٔاِٝهًَٜٝعٜا ُٕ ؾِٜٛٝػ
ٖ ُِ اي٢ًََِٜٗٝذَ عٛش
ِ ضَت
ِا
―Dari Abu Darda Radhiallahu „anhu berkata: Saya telah
mendengar Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
Tidaklah dari tiga orang yang berada di sebuah perkampungan maupun
sebuah dusun dan mereka tidak mendirikan shalat berjama`ah di
dalamnya, melainkan syaithan telah menguasai diri mereka. Maka
hendaklah atas kamu bersama jama`ah, sesungguhnya srigala hanya
menerkam kambing yang terpisah dari kawannya.” (HR. Abu Daud)
ِٔ َ ٍَاَِٜ ق٤ًََضٚ ًَِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ً اي٢٤ًَٖ ؾٞٔ اهلل عٓ٘ إٖٔ ايٖٓبٞ زقٜ٠ِ َسَٜ ُٖسَٞٔعِٔ أب
؟ٟٙ ثُ ِٖ أ٪ ٍَاٜ ق.ٔتَٗاَٞقٚ ٢ًَٜ عٝ٠٬ٖ ايؿ٪ ٍَاٜ٘ٔ ؟ ق٤ً اي٢ٜب إي
ٗ ٌ أ َس٢ ََُيعٞ اٟٗ َِ أ٤ًََضٚ
31 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
―Dari Abdullah bin Mas`ud Radhiallahu „anhu berkata: Saya
bertanya kepada Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam, “Apakah
amal yang paling disukai Allah ?”, jawab Rasulullah Shalallahu „Alaihi
wa Sallam: “Shalat pada waktunya”. Saya bertanya: “Kemudian apa
lagi?”, jawab Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam: “Berbakti
kepada kedua orang tua”. Saya bertanya: “Kemudian apa lagi?”, jawab
Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam: “Berjihad di jalan Allah”.
Berkata Abdullah bin Mas`ud Radhiallahu „anhu, “Rasulullah Shalallahu
„Alaihi wa Sallam menyampaikan semuanya itu kepadaku, seandainya
aku meminta penjelasan lebih dari itu, niscaya beliau akan
menambahkannya.” (HR. Al Bukhari)
Berjalan menuju masjid untuk berjamaah bisanya dilakukan
dengan tenang
٢٤ًَ٘ٔ ؾ٤ً اي٢ٍُٛ َعَ زَضًَََُِّٞٓا َْشُِٔ ُْؿَِٝ ب٪ ٍَاٜ اهلل عٓ٘ قٞ زقٜ٠قتَا َدٜ َٞٔعِٔ أب
٢ًَٜٓا إيَٞضَتعِذ
ِ ا٪ اٛٝايِِٜ ؟ قُْٝهٞ ((ََا غَأ٪ ٍَاٜكٜ ؾٟ١ًَبَٜؾطَُٔعَ دٜ َِ٤ًََضٚ ًَِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ًاي
ِاًٛ٤َؿٜنتُِِ ؾٞ ََُا أ ِدزٜ ؾٝ١َُِٓٝٔ ايطٖهِٝهًَٜٝؾعٜ ٜ٠٬ِٖتُُِ ايؿٝا إذَا أَتًَٛٝؿعٞ َ ت٬ٜاٍَ ؾٜ ق.ٔ٠٬ٖايؿ
32 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
٠ٜاٜ ايصٖن٢ََات٤َٚ ٜ٠ٜ٬ٖاَّ ايؿَٜأقٚ ٢٭ػٔسٞ ا٢ََِّٛٝٞايٚ َٔأََ بٔاهلل٤ َِٔ ٔعُُِسُ َطَادٔدَ اهللَٜ إَُْٖا
ٍاَِٜ ق٤ًََضٚ ًَِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ً اي٢٤ًَ٘ٔ ؾ٤ًٍَ ايُٛ اهلل عٓ٘ إٖٔ زَضٞ زقٜ٠ِ َسَٜ ُٖسَٞٔعِٔ أب
َّٖدُٜ٘ ََا تَكٜؿٔسَ يٝٔ غ١ٜٔه٥٬َُُُٞٓ٘ تَأَٔنيَ ايَٝٔلَ تَأَٜاؾٚ َِٔ ُْٖ٘إٜا ؾَُٛٓٚأَٜ إذَا أََٖٔ اإلََاُّ ؾ٪
38Muslim: no: 54
39Shahih Muslim: no: 432
40- Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Shalat Jamaah, Pustaka Islamhouse,2010,hlm.8
34 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Firman Allah Subhaanahu wa Ta‟alla yang memerintahkan Nabi-
Nya untuk mendirikan shalat berjama`ah di dalam keadaan yang
genting :
اُٚأػُرٞ ََٝٔيٚ َُِِٜٓٗ َٖ َعوٚ ُٝ١ٜٔؿ٥طآٜ ًِِٝتَكٜٞ ؾٜ٠ٜ٬ٖيُُِٗ ايؿٜ َُِتٜأقِِٜ ؾ٢ٗٝٔٓتَ ؾَٝإذَا نٚ
ُِِٗشَت
َ ًَِٔأضٚ َُِِٖا سٔرِزَُٚأػُرٝيَٞٚ ٜا َ َعوٛ٥ًَُؿًٜٝٞؾ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu
kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata,
kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (QS. An-
Nisa’: 102)
Ayat ini menegaskan bahwa dalam keadaan kecamuk perang,
Allah masih mewajibkan untuk tetap melakukan shalat dengan
cara berjamaah. Apalagi dalam keadaan aman, tentu shalat yang
dilakukan dengan berjamaah akan lebih wajib.
Firman Allah Subhaanahu wa Ta‟alla:
35 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Terdapat dalam hadist-hadist, sebagaimana diriwayatkan dari
Abu Hurairah Radhiallahu „anhu bahwa Rasulullah Shalallahu
„Alaihi wa Sallam bersabda :
ِِ ٢ًَِٜٗٝمَ عٚأسَسٜ ؾ٣ٍزدَا٢ ٢ُّٜٖ ايٖٓاعَ ثُِٖ أػَأيـَ إي٪َٝؾٜ ٬ُيَٗا ثُِٖ آَُسَ زَدٜ َٕٖذ٪َ ُٝؾٜ
َِ ٤ًََضٚ ًَِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ً اي٢٤ًَٖ ؾٞٔ ايٖٓب٢َ أت٪ ٍَاٜ اهلل عٓ٘ قٞ زقٜ٠َِسَٜ ُٖسٞٔعَِٔ أب
.ٔطذٔد
ِ َُ ٞ اي٢ٜ إيُْٞٔدَٛٝكٜ ْٔد٥اٜ قِٞٔظَ يٝيٜ ُْٖ٘٘ٔ إ٤ًٍَ ايَُٛا زَضٜ ٪ ٍَاٜكٜ ؾ٢ََُِزدٌُْ أع
ـ
َ ٖ َسػٜ ؾ.ٔ٘ٔتِٝ َبُٞٔ٘ ؾٜـَ يُٚسَػٜ َِِٕ أ٤ًََضٚ ًَِِٜٔ٘ٝٗ ع٤ً اي٢٤ًَ٘ٔ ؾ٤ًٍَ ايُٛؾطَأ ٍَ زَضٜ
ٍَ اٜ ق.َِِ َْع٪ ٍَاَٜ ؟ ق٤دَاٚٓ ٌَِٖ َتطَُِعُ اي٪ ٍَاٜكُٜ ؾٙ َدعَا٢٤َيٚ ُٖاًٜٜ ؾ.ُٜ٘ي
(ًَ٘ٝتؿل ع.)ِأدٔبٜؾ
―Dari Abu Hurairah Radhiallahu „anhu katanya seorang laki-laki
buta datang kepada Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam, lalu
bertanya: „Ya Rasulullah, aku ini buta. Tidak ada orang yang akan
menuntunku pergi ke masjid (untuk shalat berjama`ah). Lalu dia
memohon kepada Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam agar
membolehkannya shalat di rumahnya. Mula-mula Rasulullah Shalallahu
„Alaihi wa Sallam membolehkannya, tetapi setelah orang itu pergi belum
begitu jauh, dia dipanggil kembali oleh Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa
36 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Sallam seraya bertanya: “Apakah adzan dan shalat terdengar sampai
kerumahmu?‟ Jawab orang buta itu: „Terdengar, ya Rasulullah !. Sabda
Nabi Shalallahu „Alaihi wa Sallam: “Kalau begitu, penuhilah panggilan
adzan tersebut!”. (HR. Buhari dan Muslim)
دّا َُطًُِّٔاَٜ٘ غ٤ً اي٢ٜكًَٜٞ ُِٕ أٖٙاٍَ َِٔ ضَسٜ اهلل عٓ٘ قٞدٕ زقِٛ ُطع
ِ َ ٢ِٔ اب٢َٔع
٢٤ًَِِ ؾٝهَٚٝ٘ غَ َسعَئَٓٔب٤ًإٕٖ ائٜٖ ؾ٢ٗ ٔب٣ََُٓادٜ ُِحََٝاتٔ سًٜٖٛٔ ايؿ٤٫ُ٪َٖ ٢ًَٜ عٞشَاؾٔغًُٜٝٞؾ
١ٜ ٖٓض
ُ ُِِنتٞ َِ تَسَٜٛيٚ ِِٝهٚٝٔ َْبٜ١ٖٓض
ُ ُِِنتٞ َيتَسٜ ٔ٘ٔتِٝ َبٞٔ ُُتَؼًَِّـُ ؾٞ َٖرَا ايًَُِّٞؿٜ َُاِِٜ نٝتٔهُُٛٝب
ِٔ َٔ ٕطذٔد
ِ َ ٢ٜعُِٔدُ إيَٜ ُِٖزَ ثُٛٗ٥ٛشطُٔٔ اي
ِ ُٜٖٝٗسُ ؾٜٛ ََتٜ ٣ٌَََُا َِٔٔ َزدٚ ًُِِتًَٜٞكِِٜ يٝهَْٚٝٔب
ٚ ايؿٖـٞٔاَّ ؾُٜكٜ ٢ٖ سَت٢ًَُِٜٔٝٔ ايسٖدَِٝ ب٣ََٗادُٜ ٔ٘ٔ ب٢َِت٪ُٜ ٌُُإَ اي ٖسدٜدِ نٜكَٜيٚ ٢امٜؿٚٓاي
(ًِ َطٙاٚ)ز
―Dari Ibnu Mas`ud Radhiallahu „anhu berkata: Barangsiapa yang
ingin bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang
muslim, maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar
panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda
(jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama`ah merupakan
bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu
seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang
meninggalkan shalat berjama`ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan
sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu,
berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`)
dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid
melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang
37 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan
dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada
seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah melainkan seorang
munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada
seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh
dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat
berjama`ah.” (HR. Muslim)
j. Adab shalat berjamaah di masjid
Memilih pakaian yang bagus. Allah Ta‟ala berfirman
ٕطذٔد
ِ َ ٌِِٚٝ عٔٓدَ نَٝٓتَهٜ٢ شٞاُٚ آدََّ ػُرَٞٔٓا َبٜ
“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)
Berwudhu dari rumah terlebih dahulu, sebagaimana diterangkan
oleh Nabi Shalallahu „Alaihi wa Sallam.
٢ٔض٥سَاٜ َِٔٔ ؾٟ١َكٜ٢سَٜ ؾٞٔكَٞكٝتٔ اهللٔٔيُُِٛٝتٕ َِٔٔ بَٝ ب٢ٜي٢ إ٢َتٔ٘ٔ ثُِٖ َػَِٝ بٖٞٔٗسَ ؾٜٛ ََِٔ ت
ٟ١َعُ دَ َزدٜ تَسِؾ٣َأػِسٝ َٞايٚ ٟ١َ٦ٝٔٛ َػ٥إسِدَاَُُٖا َتشُط٢ َُٙتَاٛٛٞ اَْتِ َػٜهلل ن
ٔا
“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah
satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah
satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua
langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang
lainnya akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Membaca doa menuju masjid. Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa
Sallam mengajarkan kita untuk mengucapkan doa. Dari Anas bin
Malik, bahwa Nabi Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
38 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ا٤ي٢ إٜ٠ٖٛ ٝا قَٜيٚ ٍَِٛا َسٜ٘ٔ ي٤ً اي٢ًَٜتُ عًٞن٤ َٛ٘ٔ َت٤ً اي٢ِِاٍَ ٔبطٜكٜتٔ٘ٔ ؾِٝإذَا ػَسَزَ اي ٖسدٌُُ َِٔٔ َب٢
ٍُُٜ٘ يَٛٝكٝؾٜ َُاطٔنيُٖٝ٘ ايػٜ ي٢ٖؾَتتََٓشٜ َتُٝٔقَٚٚ َتٝٔؿَٝنٚ َتٜٔٔرٕ ُٖد٦َٓٝٔاٍُ سُٜكٜ ٍَاٜ٘ٔ ق٤ًبٔاي
َُٜٞٔٓٝٔ َِٔعَٚ زّاُْٛ ٞٔ ضَ ُِعَٞٔؾٚ زّاُْٛ ٟ٢ بَؿَسَٞٔؾٚ زّاُْٛ ًٞٔبٜٞ قًُِٖٞٔٗ ا ِدعٌَِ ؾ٤اي
39 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
إذَا ػَ َس َز٢َٚ .َٜابَ َزسَُِٔتوِٛبٜ أ٢ٔؾتَضِ يًُِٖٞٗ ا٤ اي٢ٌَٝكًٜٝٞطذٔدَ ؾ
ِ َُ ُِٞ ايٝأسَدُنٜ ٌََإذَا َدػ٢
ُِٜ٘سّا يٝ َػ،َِٔٝزَِبٔعَٜٔكـَ أٜ ِٕٜإَ أٜهٜ ي،ًَِٜٔ٘ٝ ََاذَا عًَُُٞٓٔؿٞ ايََٟدٜ َََُِٔٝازُٓ بُِٞ ايًَِٜعٜ ِٛيٜ
41- Yang dimaksud denagan sutrah adalah pembatas dalam shalat, bisa berupa tembok, tiang,
orang yang sedang duduk/sholat, tongkat, tas, dll. Sutrah disyariatkan bagi imam dan bagi orang
yang shalat sendirian.
40 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
َدُِٕ ََِٔٓٗاٝيَٞٚ ٕ٠ضتِ َس
ُ ٢ٜي٢ٌ إٚ َُؿًِِٜٝٞ ؾٝأسَدُنٜ ٢٤ًَإذَا ؾ٢
Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat
dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya. (HR. Abu
Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih sebagaimana dalam Shahihul Jaami’)
Menjawab panggilan adzan. Rasulullah shallallahu ‗alihi wa
sallam bersabda:
ُٕٓٔذ٪َ ُُِٞ ٍُ ايٛكٝ َٜ ِا َٔجٌَِ ََاٛيِٝٛكٝ ٜ ؾ٤َ إذَا ضَُٔ ِعتُ ُِ ائٓدَا٢
Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang
diucapkan muadzin. (HR. Bukhari dan Muslim)
َٕٓ ٜغَٗدُ أ
ِ ٜ أ٪ٍَاٜ ثَُِٓ ق٫ٝٓ اهللٜ٫إ٢ َٜ٘ي٢ إٜ٫ ِٕٜغَٗدُ أ
ِ أٜ ٪ٍَٜكاٜ ؾ،ٝٓ اهللٜ٫٢َ٘ إٜي٢ إٜ٫ ِٕٜغَٗدُ أ
ِ أٜ
٢ًََٜٓ عَٞ س٪ٍَاٜ ثَُِٓ ق٫ٍُٔ اهللُٛ َٕٓ َُشََُٓدّا زَضٜأغَِٗدُ أٜ ٪ٍَاٜكٜ ؾ،ٍُٔ اهللَُُٛشََُٓدّا زَض
اٜ ي٪ٍَاٜ ق،٢اغًٜٜؿٞ اي٢ًََٜٓ عَٞ س٪ٍَاٜ ثَُِٓ ق٫ٔٓا بٔاهللٜي٢ إٜ٠َٓٛٝا قَٜيٚ ٍَِٛ َسٜ٫ ٪ٍَاٜ ق،ٔ٠آًَٜايؿ
َِٓ ُ ث٫ُنبَسٞ ٜ أٝبَسُ اهللٞنٜ أٝ اهلل٪ٍَاٜ ق،ُنبَسٞ ٜ أٝنبَسُ اهللٞ ٜ أٝ اهلل٪ٍَاٜ ثَُِٓ ق٫ٔٓ بٔاهللٜ٫٢ إٜ٠َٓٛقٝ اَٜيٚ ٍََِٛس
ٜ١َٓذ
َ يًٞبٔ٘ٔ َدػَ ٌَ اٜٞ َٔ ِٔ ق٫ٝٓ اهللٜ٫إ٢ َٜ٘ي٢ إ٫ٜ ٪ٍَاٜ ق،ٝٓ اهللٜ٫إ٢ َٜ٘ي٢ إ٫ٜ ٪ٍَاٜق
“Apabila muadzin mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka
hendaklah kalian yang mendengar menjawab, “Allahu Akbar Allahu
Akbar.” Kemudian muadzin mengatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha
Illallah”, maka dijawab, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Muadzin
mengatakan setelah itu, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”,
maka maka dijawab, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” Saat
muadzin mengatakan, “Hayya „Alash Shalah”, maka maka dijawab
“Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Saat muadzin mengatakan,
41 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Hayya „Alal Falah”, maka maka dijawab “Laa Haula wala Quwwata
illa billah.” Kemudian muadzin berkata, “Allahu Akbar Allahu
Akbar”, maka dijawab, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Dan muadzin
berkata, “Laa Ilaaha illallah”, maka dijawab, “La Ilaaha illallah” Bila
yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya
niscaya ia pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Ketika selesai mendengarkan adzan, dianjurkan membaca doa
yang diajarkan Nabi Shalallahu „Alaihi wa Sallam dalam hadits
berikut :
ٔٔ آت١َُٔ٥كاٜ ٞٔ اي٠اًَٜٖايؿٚ ٔ١َٖٔ ايتٖا٠َٛٔ ايدٖ ِعُِٖٙٔٗ زَبٖ َٖر٤ًَ اي٤دَاٚٓطَُِعُ ايَٜ َاٍَ سٔنئَِٜ ق
ًُٜ٘تِ ي٤ََعَدِتَُ٘ سٚ ٟٔر٤دّا ايُُِٛاَّا َشَٜاِب َعجُِ٘ َكٚ ٜ١ًٜٝٔكٜؿَٞايٚ ٜ١ًَٜٝٔضٛيَُٞشَُٖدّا ا
ٔطذٔد
ِ َُ ٞاَّ زَدٌُْ َِٔٔ ايٜكُٜٕ ؾٚذ٪َ ُُٞأذَٖٕ ايٜ ٜ ؾٜ٠ِ َسَٜ ُٖسٞٔبٜطذٔدٔ َعَ أ
ِ َُ ٞ ايٞٔدّا ؾُٛقعٝ نٖٓاٝ
42 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid.
Kamudian muadzin mengumandangkan adzan. Lalu ada seorang laki-
laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal
tersebut kemudian beliau berkata : “ Perbuatan orang tersebut termasuk
bermaksiat terhadap Abul Qasim” (Nabi Muhammad) Shalallahu
„Alaihi wa Sallam.” (HR Muslim)
Memanfaatkan Waktu Antara Adzan dan Iqomah. Yaitu dengan
mengisi shalat sunnah qabliyah, membaca Al-Qur‘an, berdizikir,
atau berdoa. Waktu ini merupakan waktu yang dianjurkan
untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa
Sallam:
ٔ آػٔسَُٖا٤فٔ ائٓطَاِٛٝسُ ؾُؿٝ َػَٚ غَسَٖٗا آػٔسَُٖاَٚ يَٗاٝٚ أٜ ٢ٍفٔ ائسدَاِٛٝسُ ؾُؿَٝػ
يَٗاٖٝٚأٜ غَسَٖٗاَٚ
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya
adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan
seburuk-buruknya adalah yang pertama. (HR.Muslim)
Merapikan dan merapatkan shaf shalat. Sebagaimana yang
dijelaskan di dalam hadits dari sahabat Abu Abdillah Nu‘man
bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah Shalallahu
„Alaihi wa Sallam bersabda :
ِِِٖٝٔهُٛ ُدٚ َِٔٝ َبٝؿ ٖٔ اهللٜ ٔؼَايُٜٝ يِٚ ٜ ِِ أٝهِٜؾٛؿٝ ُٕٖٗ ضٛط
َ يُتٜ
43 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Hendaknya kalian bersungguh- sungguh meluruskan shaf-shaf kalian
atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-
wajah kalian. (HR. Bukhari dan Muslim)
Jangan mendahului gerakan imam.Sebagaimana dijelaskan
dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu:
اٍَ ضَُٔ َعٜإذَا ق٢َٚ اُٛنعٜ ِازٜعَ ؾٜإذَا زَن٢ِٜ٘ٔ ؾًَٜٝا عٛٝؼتًَٔؿ
ِ ا َتًِٜٜتَِٖ بٔ٘ٔ ؾ٪ُٝإََاُّ ٔي٢ َُْٖٞا ُدعٌَٔ اي٢إ
إذَا ػَسَ َز٢َٚ َٜابَ َزسِ َُتٔوِٛبٜ أٞٔؾتَضِ يًُِٖٞٗ ا٤ٌِ ايَٝكًٜٝٞطذٔدَ ؾ
ِ َُِِٞ ايٝأسَدُنٜ ٌََإذَا َدػ٢
44 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
BAB III
FIKIH ZAKAT
1. Definisi Zakat
Zakat secara bahasa memiliki banyak arti yang saling berdekatan,
yaitu:
Zakat berarti ― ‖ berarti bertambah atau tumbuh.
Makna seperti dapat kita lihat dari perkataan ‗Ali bin Abi Tholib,
باإلْؿامٛصنٜ ًِايع
“Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”
Zakat berarti ― ‖, yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita
lihat pada firman Allah Ta‟ala,
46 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Zakat dapat mendekatknan hamba kepada Tuhannya
dan menambah keimananya, seperti ketaatan-ketaatan
yang lain.
Zakat adalah pintu surga bagi orang yang
menunaikannya. Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam
bersabda,
َابٜطٜاٍَ ئ َُِٔ أٜٓ٘ٔ قًٍَٜ ايَُٛا زَضٜ َ٢ٖٔ َُِٔٔاٍَ يٜكْٜٓ ؾ٢ٔأعِسَابٜ َّاٜكَٜٖاؾ٢زُٛٗظٝ
َّْاْٝٔع
ُ َايَٓٓاٚ ٢ًٌِٜٝٓٓ٘ٔ بٔائًٜي٢ًََٜٓؾٚ ََّاٝٔؿ
ٓ أدَاَّ ايَٜٚ َّعَاٜٛٓ طعَ َِ ايٞ َٜأٚ َّٜ٬ٜهٞاي
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat
terlihat dari dalamnya dan dalamnya dapat terlihat dari
luarnya.” Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya,
“Kepada siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Bagi orang yang berkata baik, memberi makan (di
antaranya lewat zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena Allah
di malam hari di saat manusia sedang terlelap tidur.”
(HR.Tirmidzi)
Pahala dan keberkahan yang besar yang diperoleh dari
menunaikan zakat, Allah Subhaanahu wa Ta‟alla
berfirman:
47 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ُِتََِٝا آَتَٚ ٔ٘٤ًعٔٓدَ ايَُٛسِبٜ اًٜٜ ؾ٢ ايٖٓاع٢ٍَاَِٜٛ أَٞٔ ؾَُٛسِبٝ ِّيٟباٚٔ زَٚ ُِتََِٝا آَتَٚ
ٕٛٝكعٔؿ
ِ ُُٞهُٗ ُِ ايٜ ٔ٦ِٜيٚأٝ ٜٔ٘ ؾ٤ًدِ َ٘ ايَٚ َُٕٚدٜس٢ ُ ت٠ٕأٜ شَنَٚ
٫ٚ ،بٝ َٔ نطب ط- ٠عادٍ متسٜ أميا- ٠َٔ تؿدم بعدٍ متس
ٗا يؿاسب٘ نُاٝٓ٘ مثريبُٝٝأػرٖا بٜ ؾإٕ اهلل،بٝٛ اي٫كبٌ اهلل إٜ
ٔ٘ٔؿطٞ َٓٔبُي
ٓ ٔشُٜ ٘ٔ ََاٝٔ٭ػٜ َُٓشٔبٜ ٢َِِٓ َستٝأسَدُنٜ ُٔ َٔ٪ِ ُٜ ٫
Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai
saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. (HR.Bukhari)
Terbukti bahwa ketika jiwa memberikan kontribusinya secara
finansial bagi kepentingan kaum muslimin, akan menjadikan
dada terasa lapang dan jiwa terasa lega, dan mengharuskan
seseorang menjadi dicintai karena telah memberikan manfaat
bagi saudaranya.
Bahwa zakat itu dapat mensucikan akhlak pelakunya dari sifat
kikir dan pelit, sebagaimana Firman-Nya:
c. Fungsi Ijtimaiyyah
Zakat mengokohkan ikatan-ikatan cinta antara kaya dan miskin,
karena jiwa sesungguhnya diciptakan dengan kecenderungan
mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.
49 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Zakat dapat memperkokoh kaum muslimin dan
meninggikan derajat mereka, karena itu salah satu dari
sasaran zakat adalah jihad fi sabilillah, seperti yang akan
kamisebutkan insya Allah.
Zakat dapat menghapus rasa iri dengki dan cemburu dari
dalam dada kaum fakir miskin, orang miskin jika melihat
orang-orang kaya menikmati hartanya tanpa ia dapat
mengambil manfaat sedikit pun darinya, terkadang
tumbuh dalam dirinya rasa cemburu dan permusuhan
terhadap orang-orang kaya akibat mereka tidak
memberikan perhatian terhadap haknya, tidak pula
memenuhi kebutuhanya, jika orang kaya memberikan
sebagian hartanya kepada si miskin pada setiap putaran
tahunya, maka semua perasaan ini akan lenyap dan
tumbuhlah rasa cinta dan kebersamaan.
Zakat dapat menumbuhkan harta dan memperbanyak
berkah, sebagaimana dalam hadits, bahwa Nabi
Shalallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
َِٔٔ ُػَر٪ِ ُ ت، ِِ٢َٗأيَِٛأٜ ٢ٔ ؾٟ١ِِٜ ؾَدَق٢ًَِٜٗٝؾتَ َسضَ عَٞٓ٘ آًَٜٕ ايٜعًِٔ ُُِِِٗ أٜأٜ ؾٜا ئرَٔيوُٛاعٜطِٜٕ ُِِٖ أ٢إٜؾ
ُِِٗي٤ ٙ غَسَٛ ُٖ ٌَِيُِِٗ ب٤ ِٟساََٝػُٖٛ ًِٔ٘ٔكُٜ٘ َٔٔ ؾ١ًَٕ بَُٔا آتَاُُِٖ ايًََِٛٝبؼٜ َٜٔٔر٤طَبٖٔ اي
َ ِشَٜ ٜ٫َٚ
ًََُُِٕٛٝ٘ بَُٔاَتع١ًَايٚ ٢٭زِضٜ َاٚ َٔاتٚ٘ٔ َٔريَاخُ ايطَُٖا١ًَٔيٚ ٔ١َ َاٝٔكٞ َايِٛ َٜ ٔ٘ٔ بٞإًَٛٝٔ ََا َبؼٖٛٝقٜٛٛ ُٝض
َ
َْػبٔري
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik
51 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang
mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan
kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.‖ (QS: Ali-Imron: 180)
4. Hukum Orang yang Enggan Menunaikan Zakat
Orang yang enggan menunaikan zakat ada dua keadaan, yaitu karena
inkar, dan bakhil.
Pertama: Orang yang mengingkari kewajiban zakat. Sebagaimana
yang sudah maklum bahwa bahwa zakat adalah bagian dari
rukun Islam. Para ulama bersepakat (berijma‘) bahwa siapa yang
menentang dan mengingkari rukun tarsebut, termasuk di
dalamnya kewajiban zakat, maka ia telah kafir dan murtad dari
Islam. Karena ini adalah perkara ma‘lum minad diini bid
doruroh, yaitu sudah diketahui akan wajibnya. Imam Nawawi
Rahimahullah berkata, ―Barangsiapa mengingkari kewajiban zakat
di zaman ini, ia kafir berdasarkan kesepakatan para ulama.‖47
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar berkata, ―Adapun
hukum asal zakat adalah wajib. Siapa yang menentang hukum
zakat ini, ia kafir.‖48
Kedua: Orang yang enggan menunaikan zakat karena bakhil,
bukan karena inkar, maka hukum orang yang seperti ini adalah
fasik, karena telah melakukan maksiat, yaitu melanggar perintah
yang telah ditetapkan oleh Allah.
5. Ancaman bagi yang enggan menunaikan zakat
Ancaman siksa yang amat berat. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
52 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ٕسُِِٖ ٔبعَرَابَٚبػٜ٘ٔ ؾ١ً اي٢ٌٝٔضب
َ ََْٞٔٗا ؾُٛٝٓؿٔكٜٜ٫َٚ ٜ١ٖؿٔكَٞايٚ ََٕ ايرٖ َٖبُٚهٓٔصٞ َٜ َٜٔٔر٤َايٚ
ِِ ُُٖزُٛٗظٝ َُِٛ ُُٗبَُٛٓدٚ ُُِِٖٗ ٔبَٗا دٔبَا٣َٛهٞ ُؾتٜ ََِٖٓٗ َد٢ َْازَٞٔٗا ؾًَِٜٝ ع٢َُِشَُٝ ِٛ َٜ ٣ِٝٔيٜأ
َُٕٚهٓٔصٞ َٓتُ ُِتٝ ََا نٞاٛٝقُٚرٜ ِِ ؾٝؿطٔهٝ ْٜنَٓصِتُِِ ٭ٜ َٖعرَا ََا
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu.” (QS: At-Taubah: 34-35)
Harta yang tidak dizakati akan berubah menjadi adzab baginya.
Rasullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
ٔ١َ َاَِّٝ ائكَٜٛ َٕاٜذَا ن٢ٓ إٜ٫إ٢ َٗاٜ ََِٔٓٗا سَ ٓكٟٓٔد٪َ ُٜ ٜ٫ ٕ١َٓ ؾٔكٜ٫َٚ ََٕا َِٔٔ ؾَا ٔسبٔ ذََٖب
ُُ٘ بَٔٗا َدِب َٗت٣َٛهٞ ُٜٝ ؾ،َََِٓٗ َد٢ َْازَٞٔٗا ؾًََِٜٝ عُِٞٔأسٝ ٜ ؾ،٣ٔضُ َٔ ِٔ َْاز٥ؿاٜ َُ٘ ؾٜت ي
ِ ش
َ ؾُٔؿ
ـ
َ ٞئَِٜ أٝط
ٔ َُُِ ػُٙدَازٞإ َٔكٜ ن٣َِّٜٛ ِٞٔ٘ٔ ؾٝيٜ٢ِدَتِ إٝ ٔعَُٝٓا بَ ُسدَتِ أًٜٝ ن،ُُٙظِٗسٜ َٚ ُُ٘ َدِٓبَٚ
53 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Dan dalam riwayat yang sohih dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam, ia berkata: " Barang siapa Allah berikan kepadanya harta, lalu
ia tidak menunaikan zakatnya, maka akan ditampilkan dihadapanya
pada hari kiamat seekor ular jantan yang memiliki dua bisa, ular itu
menjulurkan mahkota kepalanya karena penuh dengan racun bisa, lalu
memakaikan kalung kepadanya, kemudian memegang kedua tulang
rahangnya, kemudian mengatakan: Aku adalah hartamu, aku adalah
harta simpananmu, Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
membaca:
ُِِٗي٤ َٙ غَسُٖٛ ٌَِيُِِٗ ب٤ ِٟساَٝػَٛ ُٖ ًِٔ٘ٔكُٜ٘ َٔٔ ؾ١ًَٕ بَُٔا آتَاُُِٖ ايًَٛٝبِؼَٜ َٜٔٔر٤شطَبَٖٔ اي
ِ َٜٜ٫َٚ
ّٜٛ ٘قُٜٛٛ ٕبتاٝ أقسع ي٘ شبٟغذاعا١َاّٝ ايكٜٛ ٘د شنات٘ َجٌ ي٪ٜ ًِ ؾٟ٫ اهلل َاَٙٔ آتا
54 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
orang-orang yang paling merugi, demi Rabb Pemilik Ka‘bah‘. Beliau
mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar berkata, ―Aku pun menjadi sedih,
aku menarik nafas lalu berkata, ‗Ini merupakan peristiwa yang buruk
pada diriku. Aku bertanya, Siapakah mereka? Ayah dan ibuku menjadi
tebusannya?‘‖ Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab,
٣ٌٌُِْ ََا ُِِٖ ََا َِٔٔ َزدًَٜٝٔقٚ رَاََٜٖهٚ رَاٜ ٔعبَادٔ اهللٔ َٖهٞٔاٍَ ؾٜٓ َِٔ قٜ٫٢ إ،ٟ٫َاََِِٜٕٛ أٚنجَ ُسٞ ٜا٭
ُِ ََاٜ ِععٜٔ أ١َ َاَِّٝ ائكَٜٛ َُِ٘ت٤ٓ دَاٜ٫٢اَتَٗا إٜ شَنٟٓٔد٪َ ُٜ ٜ٫ سّاِٜ بَكٜٚ أٟ٬ٔب٢ِ إٜٚغَُّٓا اٜ ٝتِسُىَِٜٝتُ ؾُُٛ َٜ
َُِٓ ث٢َٔ ايَٓٓاعِٝ َبَٝ اهللٞٔكَٞكٜ ٢َٓ َست،َِْٔٗاٚ ُسٝشُُ٘ بٔكٛٔ ََِٓتٚ ،ٔؾَٗاٜ٬ٞظُٜ بٔأٜٙأٜٛ َت٢َٓضِ َُُٔ َستَٜأٚ ُِٕٛهٝ َت
أػِسَاَٖاٝ ٢
َ ًََٖا عٜ٫ِٚأٝ ُدِٛ َت ُع
“Orang-orang yang banyak hartanya! Kecuali yang menyedekahkannya
kepada hamba-hamba Allah begini dan begini. Namun sangat sedikit mereka itu.
Tidaklah seorang lelaki mati lalu ia meninggalkan kambing atau unta atau sapi
yang tidak ia keluarkan zakatnya melainkan hewan-hewan itu akan datang
kepadanya pada hari kiamat dalam bentuk yang sangat besar dan sangat gemuk
lalu menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya dengan tanduknya. Hingga
Allah memutuskan perkara di antara manusia. Kemudian hewan yang paling
depan menginjaknya kembali, begitu pula hewan yang paling belakang berlalu,
begitulah seterusnya.” (HR. Bukhari)
6. Syarat-syarat zakat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah
kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu yang
berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan
berkaitan dengan harta.49
a. Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) Islam, dan (2)
merdeka. Adapun anak kecil dan orang gila (jika memiliki harta
dan memenuhi syarat-syaratnya) masih tetap dikenai zakat yang
nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah
pendapat terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.
55 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
b. Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan
sebagaimana yang akan dijelaskan dalam uraian berikut ini:
1) Harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan
halal. Adapun harta yang haram, baik substansi bendanya
maupun cara mendapatkannya, jelas tidak dapat dikenakan
kewajiban zakat, karena Allah tidak menerima sesuatu yang
haram.50
56 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Adapun Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi Shalallahu
'Alaihi wa Sallam.
ِٕدٚ َذ٢َٕ ػَُِظَُُٚا دِٝٔظَ ؾٝيَٜٚ ، ٠١ٜ ؾَدَق٣َامٚأٜ ٢َٕ ػَُِظَُُٚا دِٝٔظَ ؾٝيٜ
ٍُِٛش
َ ِٞٔ٘ ايًٍََٜٝ عَُٛشٜ ٢َٓ سَت٠اٜ شَن٣ٍ ََا٢ٔظ ؾ
َ ِٝيَٜٚ
“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” ( HR.
Abu Daud)
51 - Satu uqiyah sama dengan 40 dirham. Jadi nishob perak adalah 5 uqiyah x 40 dirham/uqiyah =
200 dirham (Lihat Syarh ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376).
52 - Satu wasaq sama dengan 60 sho’. Jadi nishob zakat tanama adalah 5 wasaq x 60 sho’/wasaq =
300 sho’ (Lihat Syarh ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376). Satu sho’ kira-kira sama
dengan 3 kg. Sehingga nishob zakat tanaman = 300 sho’ x 3 kg/sho’ = 900 kg.
57 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan
ternak. Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada
syarat haul. Zakat pertanian dikeluarkan setiap kali panen.
ََاي ٓصَزِعٚ ٌََِايَٓؼٚ ٕغَاتُِٚسَ َعِسٝغٜ َٚ ٕغَاتُٚ دََٓٓاتٕ َعِسِْٜػَأٜ أٟٔٓرَٜ ايُٖٛ َٚ
إذَا٢ ٔٙ٢ا َِٔٔ ثََُسًِٛٝٝسَ َُتَػَابٕٔ٘ نٝغٜ َٚ َاي ٓسَُٓإَ ََُتػَأبّٗاٚ َُٕٛتََِٜٓايصٚ ًُ٘ٝٝنٝا أٟؼتًَٔؿ
ِ َُ
53 - Ibid
54 - Ali Asshabuni, Shaffatus tafasir, Beirut : Dar Ihya al-turast Al-Arabi, 1993, Vol.1,hlm.140
58 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Zakat hanya disyariatkan pada jenis-jenis harta yang mengalami
pertambahan, baik yang bertambah dengan zatnya itu sendiri, seperti
binatang ternak, hasil bumi, dan harta dagangan. Atau bertambah
dengan penggunaannya, seperti emas dan perak.
Untuk lebih jelasnya akan diperinci dalam uraian berikut ini :
a. Zakat Atsman (emas, perak dan mata uang)
Dalil ketentuan zakat emas dan perak, sebagaimana
diriwayatkan dari ‗Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu „anhu,
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
َُٕٚ ٔعػِسٜوَٜٕ يَٛٝهٜ ٢َٓ ايرَٓ َٖبٔ – َست٢ٔ ؾ٢َٔٓ ِعٜ – ْ٤ِ٢َ غِٜوًَِٜٝظَ عٝيَٜٚ
َُٗا ْٔؿِـٝٔؿٍُٜ ؾِٛ َيشَٞٗا اًَِٜٝسَاٍَ عَٚ َٓازّأَٜٕ دُٚ ٔعػِسٜيوٜ َٕاٜإذَا ن٢َٜٓازّا ؾٜٔد
ٜشطَابٔ ذَئو
ٔ ٔؾبٜ َُا شَا َدٜز ؾ٣ َٓأٜد
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun
(sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar
lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat
sedikit pun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua
puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar, dan telah
berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau
dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishob) itu,
maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.” (HR.Bukhari)
Dari sahabat Abu Sa‘id Al Khudri radhiyallahu ‗anhu, ia
menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‗alaihi wa sallam
bersabda,
59 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Dan pada hadits riwayat Abu Bakar Radhiyallahu „anhu
dinyatakan,
60 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ini. Hukum mata uang ini pun sama dengan hukum emas
dan perak karena kaedah yang telah ma‘ruf “al badl lahu
hukmul mubdal” (pengganti memiliki hukum yang sama
dengan yang digantikan).
Yang mejadi patokan dalam nishob mata uang adalah nishob
emas atau perak. Jika mencapai salah satu nishob dari
keduanya, maka ada zakat. Jika kurang dari itu, maka tidak
ada zakat. Jika kita perhatikan yang paling sedikit nishobnya
ketika ditukar ke mata uang adalah nishob perak. Patokan
nishob inilah yang lebih hati-hati dan lebih menyenangkan
orang miskin. Besaran zakat mata uang adalah 2,5% atau
1/40 ketika telah mencapai haul.
Contoh perhitungan zakat mata uang:
Simpanan uang yang telah mencapai haul adalah
Rp.10.000.000,-
Harga emas saat masuk haul = Rp.500.000,-/gram
(perkiraan). Nishob emas = 85 gram x Rp.500.000,-
/gram = Rp.42.500.000,-.
Harga perak saat masuk haul = Rp.5.000,-/gram
(perkiraan). Nishob perak = 595 gram x Rp.5.000,-
/gram = Rp.2.975.000,-.
Yang jadi patokan adalah nishob perak. Simpanan di atas
telah mencapai nishob perak, maka besar zakat yang
mesti dikeluarkan = 1/40 x Rp.10.000.000,- =
Rp.250.000,-.55
b. Zakat Perdagangan (‗urudhudh tijaroh)
1) Dalil akan wajibnya zakat perdagangan adalah firman Allah
Ta‟ala,
٢أزِضٜ ٞاي
61 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-
Baqarah: 267)
Yang dimaksud ( ) ‗hasil usaha kalian‘ pada ayat di
atas adalah perdagangan. Hal itu sebagaimana yang
ditegaskan oleh imam Bukhari dalam shahihnya, dan juga
dikuatkan oleh Ibnul Arabi dalam tafsirnya.56
a) Syarat zakat barang dagangan
Barang tersebut dimiliki atas pilihan sendiri dengan
cara yang mubah baik lewat jalan cari untung
(mu‘awadhot) seperti jual beli dan sewa atau secara
cuma-cuma (tabaru‘at) seperti hadiah dan wasiat.
Barang tersebut bukan termasuk harta yang asalnya
wajib dizakati seperti hewan ternak, emas, dan
perak. Karena tidak boleh ada dua wajib zakat dalam
satu harta.
Barang tersebut sejak awal dibeli diniatkan untuk
diperdagangkan.
Nilai barang tersebut telah mencapai salah satu
nishob dari emas atau perak, Kalau mencapai
nishob, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5% atau
1/40.
Telah mencapai haul (melalui masa satu tahun
hijriyah).
b) Rumus zakat perdagangan
Perhitungan zakat barang dagangan= nilai barang
dagangan 57 + uang dagang yang ada + piutang yang
diharapkan – utang yang jatuh tempo.58
Contoh:59
56 - Shahih Al Bukhari pada Kitab Zakat, Ibnul Arabi, Ahkamul Qur’an,1: 469.
57 - dengan harga saat jatuh haul, bukan harga saat beli
58 - utang yang dimaksud adalah utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut (tahun pengeluaran
zakat). Jadi bukan dimaksud seluruh hutang pedagang yang ada. Karena jika seluruhnya, bisa jadi ia
tidak ada zakat bagi dirinya.
59 - Panduan Zakat (7): Zakat Barang Dagangan — Muslim.Or.Id
62 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Pak Muhammad mulai membuka toko dengan modal
100 juta pada bulan Muharram 1432 H. Pada bulan
Muharram 1433 H, perincian zakat barang dagangan
Pak Muhammad sebagai berikut:
٢أزِضٜ ٞاي
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. Al-
Baqarah: 267)
ََاي ٓصَزِعٚ ٌََِايَٓؼٚ ٕغَاتُِٚسَ َعِسٝغٜ َٚ ٕغَاتُٚ دََٓٓاتٕ َعِسِْٜػَأٜ أٟٔٓرَٜ ايُٖٛ َٚ
إذَا٢ ٔٙ٢ا َِٔٔ ثََُسًِٛٝٝسَ َُتَػَابٕٔ٘ نٝغٜ َٚ َاي ٓسَُٓإَ ََُتػَأبّٗاٚ َُٕٛتََِٜٓايصٚ ًُ٘ٝٝنٝا أٟؼتًَٔؿ
ِ َُ
63 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin).” (QS. Al-An’am: 141)
Hasil pertanian yang wajib dizakati
Zakat hasil pertanian diwajibkan pada tanaman yang
merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan.Yaitu:
sya‘ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma
dan kismis (anggur kering).
٪٣ٌَ َدب٢ٔ َُعَاذٔ ِبَٚ ٢َضَُٛ ٢ٔبٜ عَِٔ أٜ٠ بُ ِس َد٢ٔبٜ عَِٔ أ٢َٝش
ِ َٜ ٢ِٔ بٜ١ًَشَٜٞعِٔ ط
أ َسََُُٖاٜ ٜ ؾ٢ََُٔٝيٞ ا٢ٜي٢ َبعََجَُُٗا إ-ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًؾ- ًٍَٜٔ٘ٓ ايَُٕٛٓ زَضٜأ
َِٔٔ ٜٓ٫إ٢ ٔ١ٜ ايؿَٓدَق٢ٔأػُرَا ؾٞ َ تٜ٫ «٪ ٍَاَٜقٚ.ِِ٢َٜٗٓٔأَِسَ دٜ َعًََُٔٓا ايَٓٓاعُٜ ِٕٜأ
بٝهٔ متس ؾصبٜ هٔ بس ؾتُس ؾإٕ ملٜ عٔ أزبع َٔ ايرب ؾإٕ مل١ايؿدق
64 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib maka sya‟ir (gandum
kasar).” (HR. Ibn Abi Syaibah)
Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya
bertanya kepada Abdul Hamid dan Musa bin Thalhah
tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,
65 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Kadar zakat hasil pertanian
- Pertama, jika tanaman diairi dengan air hujan atau dengan
air sungai tanpa ada biaya yang dikeluarkan atau bahkan
tanaman tersebut tidak membutuhkan air, dikenai zakat
sebesar 10 %.
- Kedua, jika tanaman diairi dengan air yang memerlukan
biaya untuk pengairan misalnya membutuhkan pompa
untuk menarik air dari sumbernya, seperti ini dikenai
zakat sebesar 5%.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ibnu
‗Umar, Rasulullah shallallahu ‗alaihi wa sallam bersabda,
َ٢َََٔا ضُكٚ ، ُي ُعػِسّٞٓا اٜس٢ َإَ َعجِٜ نٚأٜ ُُٕٛٝ ُعَٞايٚ ُ٤تٔ ايطََُٓاَُٜا ضَكٝٔؾ
٢ ُعػِسٞـ اي
ُ ؿ
ِ ْٔض٢ ِٔبايَٓك
“Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air
atau dengan air tada hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%).
Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya,
maka dikenai zakat 1/20 (5%).” (HR.Bukhari)
3) Zakat Hewan Ternak
Ada tiga jenis hewan ternak yang wajib dizakati, yaitu:
Unta dan berbagai macam jenisnya.
Sapi dan berbagai macam jenisnya, termasuk kerbau.
Kambing dan berbagai macam jenisnya, termasuk
kambing kacang (ma‘iz) dan domba.
Hewan ternak dapat dibagi menjadi empat macam:
Hewan ternak yang diniatkan untuk diperdagangkan.
Hewan seperti ini dikenai zakat barang dagangan walau
yang diperdagangkan cuma satu ekor kambing, satu ekor
sapi atau satu ekor unta.
Hewan ternak yang diambil susu dan digembalakan di
padang rumput disebut sa-imah. Hewan seperti ini
dikenai zakat jika telah mencapai nishob dan telah
memenuhi syarat lainnya.
66 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Hewan ternak yang diberi makan untuk diambil susunya
dan diberi makan rumput (tidak digembalakan). Seperti
ini tidak dikenai zakat karena tidak termasuk hewan yang
diniatkan untuk diperdagangkan, juga tidak termasuk
hewan sa-imah.
Hewan ternak yang dipekerjakan seperti untuk memikul
barang dan menggarap sawah. Zakat untuk hewan ini
adalah hasil upah dari jerih payah hewan tersebut jika
telah mencapai haul dan nishob.
Syarat wajib zakat hewan ternak:
Ternak tersebut ingin diambil susu, ingin
dikembangbiakkan dan diambil minyaknya. Jadi, ternak
tersebut tidak dipekerjakan untuk membajak sawah,
mengairi sawah, memikul barang atau pekerjaan
semacamnya. Jika ternak diperlakukan untuk bekerja,
maka tidak ada zakat hewan ternak.
Ternak tersebut adalah sa-imah yaitu digembalakan di
padang rumput yang mubah selama setahun atau
mayoritas bulan dalam setahun. Yang dimaksud padang
rumput yang mubah adalah padang rumput yang tumbuh
dengan sendirinya atas kehendak Allah dan bukan dari
hasil usaha manusia.
Telah mencapai nishob, yaitu kadar minimal dikenai zakat
sebagaimana akan dijelaskan dalam tabel. Syarat ini
sebagaimana berlaku umum dalam zakat.
Memenuhi syarat haul (bertahan di atas nishob selama
setahun).
Dalil wajibnya zakat hewan ternak
٠غَا
67 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Mengenai zakat pada kambing yang digembalakan (dan
diternakkan) jika telah mencapai 40-120 ekor dikenai zakat 1
ekor kambing.” (HR.Bukhari)
َِٕ آػُرٜ أ٢َْٔأ َسٜ ٜ ؾ٢ََُٔٝيٞ ا٢ٜي٢ إ-ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًؾ- ُٓ٢ٔ ايَٓب٢َٔٓب َعَج
ٟ١َٓط
ٔ َُ َأزَِبعٔنيٜ ٢ٌٓ َٝٔ ِٔ نَٚ ٟ١َعٝٔ َتبِٚ ٜعّا أٝٔ َتب٠َٟسٜثٔنيَ بَكٜ٬َٓ ث٢ٌَِٝٔٔ ن
―Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkanku untuk
mengambil dari setiap 30 ekor sapi ada zakat dengan kadar satu
ekor tabi‟ (sapi jantan umur satu tahun) atau tabi‟ah (sapi betina
umur satu tahun) dan setiap 40 ekor sapi ada zakat dengan
kadar 1 ekor musinnah (sapi berumur dua tahun).”
(HR.Tirmidzi)
Kadar wajib zakat hewan ternak
ZAKAT UNTA
68 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ZAKAT SAPI
ZAKAT KAMBING/DOMBA
69 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
40-120 ekor 1 kambing dari jenis domba yang berumur 1 tahun
121-200 ekor 2 kambing
201-300 ekor 3 kambing
301 ke atas setiap kelipatan seratus bertambah 1 kambing
sebagai wajib zakat
َزَٔني٢ ػَاَٞايٛأبٜقٚ ايسَٞٔؾٚ ُُِِٗبًٛٝٝٔ ق١ٜؿ٤َي٪ُُ َٞايٚ َٗاًَِٜٝيعَأًَٔنيَ عَٞاٛٓٔٝٔ َُطَانَٞايٚ ٤سَاٜكٝؿًٞٔاتُ يَُْٜٖا ايؿٖدَق٢إ
71 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ada seseorang yang memiliki pemasukan yang mencukupi untuk
makanan buat dirinya dan keluarganya, namun ia memiliki
hutang yang ia tidak mampu membayarnya, maka ia diberi zakat
untuk sekedar menutupi hutangnya, dan tidak boleh
menggugurkan hutang kepada fakir yang berhutang lalu
menggantinya dari uang zakat.
Ketujuh: Fii sabilillah, yakni jihad fi sabilillah, para mujahid dapat
diberi zakat sejumlah yang dapat menyukupi mereka dalam
berjihad, dan digunakan untuk membeli peralatan jihad. Dan
termasuk dalam sabilillah adalah: menuntut ilmu syar'i, pelajar
ilmu syar'i dapat diberi uang zakat agar bisa menuntut ilmu dan
membeli kitab yang diperlukan, kecuali jika ia memiliki harta
yang dapat mencukupinya dalam memenuhi kebutuhan itu.
Kedelapan: Ibnu sabil, yaitu musafir yang perjalananya terputus, ia
dapat diberi zakat agar dapat sampai ke negerinya.60
72 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
BAB IV
FIKIH PUASA
1. Fadhilah Puasa
Puasa memiliki banyak manfaat, baik secara fisik maupun mental. Di
antara keutamaan itu akan diuraikan dalam perspektif wahyu dan sains
modern, berikut ini:
a. Manfaat Puasa perspektif wahyu
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan ibadah
puasa ini kepada semua umat manusia, sejak Nabi Adam
Alaihissalam sampai Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
.
َِٕٛٝ َتتٖكٝه٤ًَيعٜ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Puasa menjadi sebab ampunan dan penebus segala kesalahan.
Dalam Shahihain, Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,
sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
73 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Barangsiapa yang puasa di bulan Ramadhan karena iman dan
mengharapkan pahala niscaya diampuni dosanya yang terdahulu.
س٥ٓٗٔ إذا ادُِتٔٓبَت ايهباٝؿِّسات ملا بٜ َه١ إىل اجلُع١اجلُعٛات اخلُطًٛايؿ
Shalat lima waktu, shalat Jum'at hingga Jum'at berikutnya merupakan
penebus dosa yang ada di antaranya, apabila dijauhi dosa-dosa besar.
٘ نٌ عٌُ ابٔ آدّ ي٪ (قاٍ اهلل تعاىل٪ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًٍ اهلل ؾٛقاٍ زض
٬ّ أسدنِ ؾّٛ ؾٜٛ ٕ ؾإذا نا١ٖٓاّ ُدٝايؿٚ ٘ بٟأْا أدصٚ ّٞ ؾإْ٘ يٛ ايؿ٫إ
ْؿظٟايرٚ ِ٥ ؾاْٞ إ٪ٌكًٝ قاتً٘ ؾٚؿؼب ؾإٕ ضابٖ٘ أسد أٜ ٫ٚ سؾحٜ
) َ٘ٛ زب٘ ؾسغ بؿٞإذا يكٚ ٙسٛس ؾسغ بؿٛ إذا أؾ٪ؿسسُٗاٜ ٕؾسستا
“Allah Shubhanahu wa ta‟alla berfirman: setiap amal ibadah anak cucu
Adam adalah untuknya kecuali puasa, maka ia adalah untuk -Ku dan
Saya yang membalasnya. Puasa merupakan perisai. Apabila salah seorang
darimu berpuasa maka janganlah ia mengucap kata-kata kotor dan
membuat gaduh. Maka jika seseorang mencelanya atau memusuhinya
maka hendaklah ia berkata: sesungguhnya Saya puasa. Demi diri
Muhammad yang berada di tangan -Nya, sungguh bau mulut orang yang
puasa lebih wangi di sisi Allah Shubhanahu wa ta‟alla dari pada aroma
minyak kesturi. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: apabila
)61( HR. Al-Bukhari 38, Muslim 760, at-Tirmidzi 683, Ahmad 2/241.
)62( HR. Muslim 233, at-Tirmidzi 214, Ibnu Majah 1086 dan Ahmad 2/400.
74 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ia berbuka, ia bahagia dengan berbukanya dan apabila ia bertemu Rabb-
nya ia senang dengan puasanya.‖
١ٓكاعَـ احلطٜ ٘ نٌ عٌُ ابٔ آدّ ي٪ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًٍ اهلل ؾٛقاٍ زض
أْاٚ ّٞ ؾإْ٘ يٛ ايؿ٫ إ٪ قعـ قاٍ اهلل تعاىل١٥بعػس أَجاهلا إىل ضبعُا
َٔ طَِتذٔٔٗ بٗا ايعبدَٜ ١ٓاّ دٝ يؿ٪ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًٍ اهلل ؾٛقاٍ زض
ايٓاز
Puasa adalah perisai yang hamba menjadikannya sebagai tameng dari api
neraka.
)63( HR. Al-Bukhari 1805, Muslim 1151, at-Tirmidzi 764, an-Nasa`i 2216, Ibnu Majah 1638 dan
Ahmad 2/273.
)64( HR. At-Tirmidzi 764 dan Ibnu Majah 1638
)65( HR. Ahmad 3/396.
75 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
ّٜٛ ػؿعإ يًعبدٜ ٕايكسآٚ ّاٝ ايؿ٪ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًٍ اهلل ؾٛقاٍ زض
ٍٛكٜٚ ٘ٝ ؾٞٔٓؾػَؿِّ ِعٜ ٠ٛٗايػٚ ّعاٛ زب َٓعتُ٘ ايٟ أ٪ّاٍٝ ايؿٛكٜ ١َاٝايك
66( HR. Ahmad 2/174, ath-Thabrani dan al-Hakim, ia berkata : Shahih menurut syarat Muslim. Al-
Mundziri berkata : semua perawinya dijadikan hujjah dalam shahih.
76 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Ibadah puasa tidak memberatkan atau menyulitkan tubuh.
Gejala memberatkan yang dirasakan secara ilusif (termasuk
lapar) sebenarnya hanyalah karena menyalahi kebiasaan dan jam
makan.
Ibadah puasa merangkum dua proses anabolisme dan
kataolisme sekaligus dalam satu waktu, sehingga ia bisa
memenuhi pasokan glukosa sebagai satu-satunya bahan bakar
untuk sel otak dan sebagai bahan bakar utama seluruh jaringan
lainnnya.67
2. Kekhususan Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala
merupakan rukun Islam ke-4.
Qiyam Ramadhan (shalat malam) penuh iman dan
mengharap pahala dengan shalat tarawih serta tahajud
pada sepuluh hari terakhir.
Turunnya Al-Qur'an yang merupakan petunjuk.
Sebagaimana firman Allah: “Sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al-Baqarah: 185)
Terdapat malam lailatul qodar yang lebih baik dari seribu
bulan, setara dengan kurang lebih 83 tahun 4 bulan.
Perang Badar Kubro terjadi di pagi bulan Ramadhan,
yang memisahkan antara hak dan batil, sehingga Islam
dan pembelanya Allah menang dalam melawan syirik
dan pembelanya.
Pada bulan Ramadhan terjadi Fathul Mekkah
(pembebasan Mekkah), di mana Allah menolong rasul-
Nya sehingga manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong.
Pada bulan Ramadhan dibukakan pintu surga dan
rahmat, pintu neraka ditutup dan syaitan dibelenggu.
Bau mulut orang yang berpuasa lebih baik di sisi Allah
daripada bau minyak misk.
67 - Dr. Abdul Jawwad Ash-Shawi, Terapi Puasa : Manfaat Puasa ditinjau dari Sains Modern, Jakarta
:Pepublika,2007
77 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Malaikat memintakan ampun untuk orang yang berpuasa
hingga dia berbuka puasa.
Terdapat di dalam hadits bahwa ibadah nafilah (sunnah)
di bulan Ramadhan menyamai pahala faridhah (ibadah
wajib) di bulan lain, sedangkan faridhah (ibadah wajib) di
bulan Ramadhan menyamai pahala 70 faridhah pada
bulan yang lain.
Pada bulan Ramadhan diturunkan rahmat, dosa
dihapuskan dan do‘a dikabulkan.
Ia merupakan bulan kesabaran, dan ganjaran pahala
kesabaran adalah surga.
Orang yang berpuasa diampuni dosanya pada akhir
malam Ramadhan, hal itu sebagaimana seorang pekerja
yang mendapat upah setelah usai dari pekerjaannya. 68
3. Adab-adab puasa dan sunnah-sunnahnya
Makan sahur dan mengakhirkannya.
Menyegerakan berbuka, sebagaimana sabda Rasulullah -
shalallah alaihi wasalam-,
78 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Menjauhi rofast, yaitu perkataan dan perbuatan maksiat.
Di antara yang menghilangkan pahala kebaikan dan
mendatangkan kejelekan adalah menyibukkan diri
dengan permainan puzzles (game), menonton sinetron,
film, lomba-lomba, menghadiri majelis sia-sia dan
duduk-duduk (nongkrong) di jalan.
Hendaknya tidak berlebih-lebihan dalam urusan makan.
Sebagaimana hadits:
79 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
haji yang tidak memiliki hewan sembelihan untuk bayar hadyu
-pent).
Masuknya bulan Ramadhan ditetapkan dengan melihat hilal
(bulan baru) atau menyempurnakan bilangan hari di bulan
Syaban menjadi 30 hari. Adapun menentukan masuknya bulan
dengan hisab (penghitungan) tidaklah sunah.
Puasa diwajibkan atas setiap muslim, balig, berakal, mukim,
mampu, tidak terdapat penghalang seperti haid dan nifas (bagi
wanita).
Anak kecil yang berumur 7 tahun diperintahkan jika mampu.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang berumur lebih dari
sepuluh tahun dipukul jika meninggalkannya sebagaimana
halnya shalat.
Jika orang kafir masuk Islam, anak kecil menjadi balig, orang
gila sembuh di siang Ramadhan, mereka diharuskan menahan
diri dari apa-apa yang membatalkan puasa sampai matahari
tenggelam, tetapi tidak diharuskan mengganti puasa hari itu
dan hari-hari sebelumnya.
Orang gila tidak diwajibkan berpuasa. Jika sesekali sadar
kemudian kumat lagi, dia harus berpuasa saat sadarnya, sama
halnya dengan orang yang pingsan.
Siapa yang meninggal di pertengahan bulan Ramadhan, tidak
ada kewajiban baginya atau keluarganya melunasi sisa hari
setelahnya.
Siapa yang tidak tahu hukum wajibnya puasa Ramadhan, atau
tidak tahu haramnya makan atau berjima (bersetubuh) di siang
Ramadhan, Jumhur Ulama (kebanyakan ulama) menganggapnya
sebagai uzur, itu pun bila sebab kebodohan/ketidaktahuannya
memang dapat dimaklumi (tinggal di pedalaman misalnya–
pent). Adapun orang yang tinggal di tengah-tengah kaum
muslimin dan sangat mungkin baginya bertanya dan belajar,
maka tidak ada uzur baginya.
b. Puasa musafir (orang yang bepergian)
Syarat untuk dapat berbuka puasa ketika safar (bepergian)
adalah perjalanannya haruslah perjalanan jauh atau urf (dinilai
80 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
oleh keumuman masyarakatnya sebagai safar) dan telah
melampaui negerinya serta bangunan-bangunannya. Safarnya
pun bukan safar maksiat (menurut Jumhur Ulama) dan bukan
memaksudkan muslihat untuk tidak puasa.
Orang yang sedang safar (bepergian), boleh berbuka dengan
kesepakatan umat. Baik ia mampu berpuasa ataupun tidak.
Baik puasa memberatkan baginya ataupun tidak.
Siapa yang berazam ingin bersafar pada bulan Ramadhan,
tidak boleh berniat untuk berbuka hingga mulai bersafar.
Tidak pula berbuka (membatalkan puasanya) kecuali setelah
keluar atau meninggalkan bangunan-bangunan kampungnya.
Jika matahari tenggelam dan berbuka di daratan, kemudian
pesawat lepas landas (take off) sehingga melihat matahari, dia
tidak diharuskan imsak (berpuasa), karena dia telah
menyempurnakan puasanya hari itu.
Siapa yang sampai ke suatu negeri dan berniat tinggal di
tempat itu lebih dari 4 hari, wajib baginya berpuasa menurut
Jumhur Ulama.
Siapa yang memulai puasa dan dia mukim, kemudian bersafar
di siang hari, boleh baginya berbuka.
Boleh berbuka bagi mereka yang kebiasaannya melakukan
perjalanan jika memiliki negeri yang dijadikan tempat tinggal
tetap, seperti: petugas pos, supir mobil sewa, awak pesawat
dan para pegawai. Sekalipun safar (perjalanan) mereka setiap
hari. Wajib bagi mereka mengqodho (mengganti puasa yang
ditinggal). Demikian pula para pelaut yang memiliki tempat
tinggal di darat.
Jika musafir tiba di tempat tujuan siang hari, lebih terjaga jika
dia imsak (menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang
dilarang ketika berpuasa) sebagai penghormatan terhadap
bulan Ramadhan. Tetapi wajib baginya mengqodho
(mengganti), baik ia imsak ataupun tidak.
Jika mulai puasa di negerinya, kemudian bersafar ke negeri lain
yang puasanya dimulai sebelum atau sesudahnya, maka
hukumnya mengikuti negeri yang dia datangi.
81 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
c. Puasa orang yang sakit
Setiap penyakit yang menyebabkan seseorang keluar dari batas
sehat boleh berbuka puasa. Adapun sesuatu yang ringan
seperti pilek atau sakit kepala, tidak boleh berbuka karenanya.
Jika menurut dokter atau dia mengetahui dan amat yakin jika
berpuasa justru akan menyebabkan sakit atau memperparah
penyakitnya atau menunda kesembuhan penyakitnya, boleh
baginya berbuka, bahkan makruh baginya berpuasa
Jika puasa dapat menyebabkan pingsan, boleh berbuka dan
wajib menggantinya. Jika tersadar sebelum matahari tenggelam
atau setelahnya, maka puasanya sah jika pagi harinya dia
berpuasa. Jika pingsannya sejak fajar sampai Magrib, Jumhur
Ulama berpendapat puasanya tidak sah. Sedangkan qodho
(mengganti puasa) bagi yang pingsan, menurut Jumhur Ulama
adalah wajib, sekalipun pingsannya berlangsung lama.
Bila lapar dan haus yang sangat membuatnya kelelahan dan
dikhawatirkan dapat membinasakan atau merusak indranya
secara yakin, bukan wahm (dugaan), maka boleh berbuka, dan
ia harus mengganti puasanya. Pekerja berat tidak boleh
berbuka, kecuali jika puasa memudaratkan aktifitasnya dan
dikhawatirkan akan membahayakan dirinya, ia boleh berbuka
dan mengganti puasanya. Ujian sekolah bukanlah uzur yang
dibolehkan untuk berbuka.
Penyakit yang dapat sembuh, ditunggu kesembuhannya
kemudian mengqhodo (mengganti puasanya). Tidak boleh
diganti dengan ith'âm (memberi makan). Bila penyakitnya
kronis dan sulit sembuh, demikian pula orang tua yang sudah
lemah, mengganti puasanya dengan memberi makan orang
miskin setiap harinya setengah sho' (kurang lebih 1-1,5 kg )
dari makanan pokok negerinya.
Siapa yang sakit kemudian sembuh dan mampu berpuasa
tetapi tidak mengqodho (mengganti puasa yang tertinggal
semasa sakit) hingga meninggal dunia, menggantinya dengan
memberi makan satu orang miskin dari hari yang tidak
dipuasainya yang dikeluarkan dari hartanya. Jika salah seorang
dari keluarganya berkenan berpuasa untuknya hal itu sah.
82 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
d. Puasa orang tua, lemah dan pikun
Orang tua yang sudah hilang kekuatannya tidak diharuskan
berpuasa. Ia boleh berbuka jika puasa membebani dan
memberatkannya. Adapun yang sudah tidak bisa
membedakan dan sampai pada batasan pikun, tidak wajib
baginya atau keluarganya sesuatu pun karena sudah tidak ada
kewajiban atasnya.
Siapa yang memerangi dan mengepung musuh di negerinya
dan puasa membuatnya lemah dalam berperang, boleh baginya
berbuka sekalipun tanpa safar. Jika berbuka dibutuhkan
sebelum perang, dia boleh berbuka.
Jika sebab berbukanya lahiriah, seperti sakit, tidak mengapa
berbuka terang-terangan. Siapa yang sebab berbukanya tidak
lahiriah seperti haid, yang utama baginya berbuka dengan tidak
terang-terangan, menghindari tuduhan/prasangka.
e. Niat puasa
Disyaratkan niat dalam puasa fardhu. Demikian pula puasa
wajib, seperti: qodho (mengganti) dan kafarah (penebusan dosa).
Niat boleh dilakukan di bagian malam manapun sekalipun
sesaat sebelum fajar.
Niatnya tempatnya di dalam hati.
Nafilah mutlak (sunah yang tidak terikat waktunya) tidak
disyaratkan niat di malam harinya. Sedangkan nafilah mu'ayyan
(sunah yang terikat waktunya) yang lebih hati-hati
meniatkannya sejak malam hari.
Siapa yang disyari'atkan untuk berpuasa wajib seperti qodho,
nazar dan kafarah haruslah menyempurnakannya. Tidak boleh
berbuka tanpa uzur. Adapun puasa nafilah/sunah,
pengamalnya memerintah dirinya sendiri, jika berkehendak
dapat berpuasa atau berbuka, sekalipun tanpa uzur.
Bagi seseorang yang tidak tahu akan masuknya bulan
Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, diharuskan imsak
(menahan diri dari apa-apa yang membatalkan puasa) di hari
83 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
itu. Dia harus mengqodho (mengganti) menurut Jumhur
Ulama).
Orang yang di penjara atau dalam tahanan, jika menyaksikan
masuknya bulan Ramadhan atau mengetahui dari pemberitaan
orang yang tepercaya, wajib atasnya berpuasa. Jika tidak, dia
boleh berijtihad untuk dirinya sendiri (menentukan awal bulan
Ramadhan) dan beramal dengan perkiraan kuatnya.
f. Ifthor (berbuka) dan imsak (menahan)
Jika seluruh lingkaran matahari telah tenggelam, orang yang
puasa berbuka. Jangan pedulikan akan adanya cahaya merah
yang tersisa di langit.
Jika terbit fajar, wajib bagi orang yang berpuasa untuk imsak
(menahan) seketika itu juga, sama saja apakah ia telah
mendengar azan ataupun tidak. Adapun berhati-hati dengan
imsak (menahan) sebelum fajar dalam waktu tertentu seperti 10
menit atau yang sepertinya itu adalah bid'ah.
Negeri yang malam dan siangnya 24 jam, bagi kaum muslimin
di sana wajib untuk berpuasa sekalipun siangnya panjang.
g. Pembatal puasa
Pembatal puasa (selain haid dan nifas) tidaklah membatalkan
kecuali dengan tiga syarat: Dia melakukannya dengan
pengetahuan bukan karena jahil, ingat dan tidak lupa, sadar
dan tidak terpaksa atau dipaksa. Di antara pembatal itu adalah:
jima (bersetubuh), menyengaja muntah, haid/nifas, dibekam,
makan dan minum.
Di antara pembatal puasa ada yang semakna dengan makan
dan minum, seperti: obat-obatan dan tablet melalui oral
(mulut), injeksi/infus makanan dan transfusi darah. Sedangkan
suntikan yang tidak mengandung unsur makanan dan
minuman, hanya sekedar pengobatan, tidaklah membatalkan
pusa. Cuci darah tidak membatalkan puasa. Pendapat kuat
mengenai suntik biasa, tetes mata dan telinga, cabut gigi dan
pengobatan luka, semua itu tidaklah membatalkan. Spray
penyakit asma juga tidak membatalkan. Periksa darah tidak
membatalkan puasa. Obat kumur tidak membatalkan puasa
84 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
selama tidak ditelan. Pembiusan ketika pengobatan gigi dan
rasanya masuk sampai ditenggorokan tidak membatalkan
puasanya.
Siapa yang sengaja makan atau minum pada siang Ramadhan
tanpa uzur, maka dia telah melakukan dosa besar. Wajib
bertobat dan mengganti puasanya.
Jika lupa makan atau minum, hendaknya meneruskan
puasanya, karena sesungguhnya Allahlah yang telah
memberinya makan dan minum. Jika melihat orang lain yang
makan dan minum karena lupa hendaklah mengingatkannya.
Jika dia perlu berbuka demi menolong orang yang dalam
bahaya, boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya.
Siapa yang diwajibkan berpuasa, kemudian berjima
(bersetubuh) di siang Ramadhan dengan sengaja dan sadar,
maka dia telah merusak puasanya, wajib bertobat dan
menyempurnakan puasanya hari itu. Dia juga harus mengqodho
dan menunaikan kafarah mugholazoh.69 Demikian juga yang
melakukan zina, sodomi, atau bersetubuh dengan hewan.
Siapa yang hendak berjima (bersetubuh) dengan istrinya dengan
terlebih dahulu membatalkan puasanya dengan makan, maka
maksiatnya lebih besar. Dia telah melecehkan kesucian bulan
dua kali, dengan makan dan bersetubuh. Menunaikan kafarah
mugholazoh lebih ditekankan.
Jika masuk subuh dan dia bangun dalam keadaan junub, hal itu
tidak merusak puasanya. Boleh mengakhirkan mandi junub,
haid dan nifas setelah terbit fajar. Dia harus bersegera mandi
semata karena untuk melakukan shalat.
Jika orang yang puasa tidur kemudian mimpi basah, maka
puasanya tidak batal dan tetap menyelesaikan puasanya.
Siapa yang istimna (onani) di siang Ramadhan dengan sesuatu
yang mungkin baginya untuk tidak melakukannya, seperti
memegang dan mengulang-ulang pandangan, haruslah
69Membebaskan budak, jika tidak ada puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu puasa
maka dengan memberi makan 60 orang miskin.
85 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
bertaubat kepada Allah dan berimsak (menahan) sisa hari itu
dan menggantinya di hari lain.
Siapa yang tiba-tiba muntah tidak harus mengganti puasanya.
Siapa yang sengaja muntah hendaknya mengganti puasanya.
Jika muncul mual seolah akan muntah tetapi kemudian
kembali normal secara sendirinya, puasanya tidak batal.
Adapun ludah dan dahak jika menelannya sebelum sampai
kemulutnya, puasanya tidak batal, tetapi jika dia menelannya
setelah sampai di mulutnya maka puasanya batal. Makruh
mencicipi makanan tanpa hajah.
Apa yang terjadi pada orang yang puasa, seperti luka, mimisan,
masuk ke air, adanya rasa bensin di tenggorokkan karena
mencium baunya tanpa sengaja, tidaklah membatalkan puasa.
Turunnya tetes mata ke tenggorokan, memakai minyak
rambut, memulas kulit dengan hana dan mendapatkan cita rasa
baunya di tenggorokan tidaklah mengapa. Tidak batal puasa
karena memakai hinna (pacar kuku), celak, dan minyak
rambut. Demikian pula penggunaan krim pelembab kulit.
Tidak mengapa mencium bau minyak wangi dan bukhur
(wewangian yang dibakar), akan tetapi berhati-hati dari
sampainya asap ke tenggorokan.
Untuk kehati-hatian bagi orang yang puasa adalah tidak
berbekam. Khilaf (beda pendapat) dalam hal ini cukup kuat.
Rokok termasuk pembatal puasa. Ia bukanlah sesuatu yang
dapat dijadikan uzur untuk tidak berpuasa.
Berendam di air dan memakai pakaian basah untuk
mendinginkan tubuh tidak mengapa bagi yang berpuasa.
Jika makan, minum atau jima (bersetubuh) dengan sangkaan
masih malam, lalu sadar bahwa fajar sudah terbit, tidak ada
apa-apa baginya.
Jika berbuka dengan sangkaan matahari telah tenggelam
padahal belum, haruslah mengqodho (mengganti) menurut
Jumhur Ulama (kebanyakan ulama).
86 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Jika terbit fajar sedang di mulutnya masih ada makanan atau
minuman, para ahli fikih telah sepakat untuk mengeluarkannya
dan sah puasanya.70
h. Hukum berpuasa bagi wanita
Anak perempuan yang baru baligh tetapi karena malu tidak
berpuasa, baginya taubat, mengganti hari yang terlewati dan
memberi makan satu orang miskin setiap harinya sebagai
kafarah (penebus dosa) jika belum menggantinya hingga tiba
Ramadhan berikutnya. Sama halnya dengan hukum wanita
yang tetap berpuasa ketika haid karena malu dan tidak
mengganti puasanya.
Istri tidak boleh berpuasa –selain Ramadhan- ketika suaminya
ada bersamanya, kecuali suaminya mengizinkan. Jika suaminya
sedang bersafar tidak mengapa.
Wanita haid jika melihat lendir putih –cairan putih yang keluar
dari rahim seusai haid- ini diketahui oleh wanita, berarti dia
telah bersih. Hendaknya meniatkan puasa pada malamnya dan
berpuasa setelahnya. Jika masih belum bersih pada waktunya,
diperiksa dengan diusap dengan kapas atau yang sepertinya,
jika bersih hendaknya berpuasa. Wanita haid atau nifas jika
darahnya berhenti pada malam hari kemudian berniat puasa
tetapi belum mandi hingga terbit fajar, menurut mazhab
seluruh ulama puasanya sah.
70 Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersada:
َ
ِ إِ َذا سَ ِمعَ أحَ ُد ُك ْم ال ِّندَا َء َو
اإل َنا ُء عَ لَى َي ِد ِه َفال يَضَعْ ُه حَ َّتى َي ْقضِ يَ حَاجَ َت ُه ِم ْن ُه
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar kumandang azan sementara wadah makanan
masih ada di tangannya, janganlah meletakkannya hingga selesai dari hajatnya.”
[HR. Ahmad 10910 dan Abu Dawud no. 2352. Disahihkan oleh al-Albani dalam Sahih Abu Dawud]
Ketika Syaikh bin Baz -rahimahullah- ditanya apakah boleh minum sebelum usainya azan, beliau
menjawab: Jika orang yang berpuasa tidak mengetahui bahwa itu adalah azan subuh, tetapi
seperti kebiasaan orang-orang yang mengandalkan jam dan penanggalan, tidak mengapa ia
minum. Ia boleh memakan dan meminum apa yang ada di tangannya meskipun azan
berkumandang, karena azan yang dikumandangkan adalah dugaan masuknya waktu subuh,
bukan kepastian subuh. Muazin mengabarkan apa yang dia lihat di jam atau penanggalan. Bisa
jadi waktu subuh sudah benar-benar keluar dan bisa jadi juga belum. Allah mewajibkan imsak
(menahan) dengan tabayun (melihat lansung). Hendaknya bagi seorang mukmin untuk menjaga
agar berhenti dari makan sahur sebelum fajar atau sebelum azan hingga tidak jatuh dalam subhat
(keraguan). Akan tetapi jika sempat makan sesuatu yang ringan bersamaan dengan azan atau
minum ketika azan, yang nampak adalah tidak mengapa jika tidak mengetahui waktu fajar
benar-benar telah terbit.
[Transkripsi dari fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Bâz di acara Nûrun Ala ad-Darb] –pent.
87 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Wanita yang tahu bahwa haidnya akan datang esok hari,
hendaknya tetap terus dalam niat puasanya dan tidak berbuka
sampai mendapatkan darah.
Yang utama bagi wanita haid adalah tetap pada tabiatnya dan
ridha dengan apa yang telah Allah gariskan atasnya.
Hendaknya tidak memakai apa-apa yang mencegah haid.
Jika wanita hamil mengalami persalinan dan janinnya sudah
berbentuk, maka ia nifas dan tidak berpuasa. Jika janinnya
belum berbentuk, itu adalah mustahadhah (darah penyakit),
atasnya berpuasa jika mampu.
Wanita nifas jika sudah bersih sebelum 40 hari, berpuasa dan
mandi untuk shalat. Jika melebihi 40 hari hendaknya
meniatkan puasa dan mandi. Darah yang masih keluar setelah
40 hari dianggap istihadhah (darah penyakit).
Darah istihadhah (darah penyakit) tidak berpengaruh pada
keabsahan puasa.
Pendapat yang kuat adalah mengkiaskan wanita hamil dan
menyusui dengan orang sakit; boleh berbuka dan tidak ada
kewajiban atasnya selain qodho (mengganti). Sama saja apakah
khawatir akan dirinya atau anaknya.
Wanita yang wajib berpuasa, jika disetubuhi oleh suaminya
pada siang Ramadhan dengan keridhaannya, maka hukumnya
sama seperti hukum suaminya. Adapun jika dipaksa, atasnya
berusaha menolak dan tidak ada kafarah baginya.71
5. Kesalahan-Kesalahan Dalam Berpuasa
Banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang yang sedang
menunaikan ibadah puasa, baik yang disadari atau tidak. Di antara
kesalahan itu adalah:
Menyia-nyiakan waktu di bulan Ramadhan
Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia, yang di dalamnya
banyak keutamaan-keutamaan. Namun sangat disayangkan,
kebanyakan orang tidak meresponya dengan amal kebaikan.
71 - Muhammad Shaleh al-Munajid, Tujuh Puluh Masalah Seputar Puasa, Pustaka Islamhouse, 2010,
hlm. 5-14
88 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Bahkan justeru sebaliknya, Ramadhan diisi dengan amalan sia-
sia. Padahal semua itu akan dipertanggungjawabkan kelak.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: ―Tidak akan
melangkah dua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga
dia akan ditanya tentang umurnya di manakah dia manfaatkan,
tentang ilmunya apakah yang telah diperbuatnya, tentang
hartanya dari mankah dia dapatkan dan ke manakah disalurkan
dan tentang badannya pada apakah dipergunakan.‖72 Dalam
hadist yang lain Rasulullah mengingatkan orang yang rugi,
karena menyia-nyiakan kesempatan di bulan ramadhan, sehingga
selesai ramadhan, ia tidak mendapatkan apa-apa. Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
٘ػؿسيٜ ٕ٘ زَكإ ثِ اْطًخ قبٌ أًٝزغِ أْـ زدٌ دػٌ عٚ
“Sungguh celaka seseorang yang mendapatkan bulan ramadhan kemudian
berakhir bulan ramadhan tetapi dosanya tidak diampuni.” (HR.
Tirmidzi dan dia berkata “ Hadits Hasan Gharib” dan
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dari shahabat Abu
Hurairah)
Berpuasa tetapi tidak shalat
Kesalahan ini sangat fatal, karena dia telah melakukan dosa
besar bahkan dosa kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
ٔ٠٬
ٜ َٓى ايؿٜ ِس تَس٢ ٞؿٝهَٞايٚ ٔ َٔ ايػٔٓسِىََِٝبٚ ٢ٌَُٔ اي ٓسَدَِٕٝٓ َب٢إ
72 - HR. Turmudzi: 4/612 no: 2417 dan dia berkata: Hadits hasan shahih.
89 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Sesungguhnya pembatas antara seseorang dan kesyirikkan dan
kekufuran adalah meninngalkan shalat.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
َسٜؿٜ ِد نٜكٜنَٗا ؾٜ ََُ ِٔ تَسٜ ؾ، ٝ٠ٜ٬ََُٓٓٗ ُِ ايؿََِٝبٚ ََٓٓاَِٝ بٟٔٓرٜي َعِٗ ُد ايٞا
Perjajian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang
meninggalkan shalat sungguh dia telah kafir. (HR. An-Nasai, At-
Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani)
Tidak meninggalakan perkataan dusta dan ghibah. Tentang
kesalahan ini Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
ٔدُٛطُذ
ٓ َايٚ ٢عٛٝ ايسُٓنًٞٔبَُ٘ ؾُُِٞ ؾُٝٔكٜ ٜ٫ َُِٔ ٔيٜ٠٬
ٜ َ ؾٜ٫ ُُطًُِٔٔنيَ ظَٞا َ ِعػَ َس ايٜ
90 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Wahai sekalian muslim, tidak ada shalat bagi orang yang tidak
meluruskan tulang punggunya ketika ruku dan sujud.” (HR. Ibnu Abi
Syaibah, Ibnu Majah dan Ahmad)
Berlebih-lebihan dalam makan dan minum
َؾٔني٢ملطِسٝ بُ ا
ٓ ش
ٔ ُٜ ٫ َُْ٘ٓ٢ا إٛٝؾ٢ ُتطِس٫َٚ اَُٛاغِسَبٚ اًَٛٝٝنٚ
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-
A’raaf: 31)
Menjadikan bulan Ramadhan kesempatan untuk mengemis.
Tentang hal ini Rasulullah shallallahu ‗alaihi wasallam bersabda
:― Senantiasa seseorang meminta-minta kepada manusia sampai
pada hari kiamat datang dalam keadaan wajahnya tidak tersisa
sepotong dagingpun.‖ (HR Bukhari dan Muslim)
73 - Syamsuddin Arif, Puasa: Tazkiyatun Nafs dan Jasad, Jurnal pemikiran Islam, Islamia, (Insists-
Republika) edisi 19 Juli 2012
91 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
puasa (shiyam) yang dimaksud ialah menahan diri dari makan-minum dan
kegiatan seksual sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan niat
ibadah kepada Allah tentunya. Khusus di bulan suci Ramadhan, puasa
merupakan kemestian perorangan (fardhu „ayn) setiap individu yang
berakal dan tumbuh dewasa, dengan beberapa pengecualian yang
diuraikan detilnya dalam buku-buku fikih. Di luar bulan suci Ramadhan,
kaum Muslim juga dibolehkan dan dianjurkan berpuasa secara suka rela
(tathawwu„) berdasarkan petunjuk Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam,
disamping puasa denda dan kompensasi (qadha) sesuai dengan aturan
yang berlaku.
a. Multifungsi Puasa
Seperti halnya yang lain, puasa adalah ibadah multifungsi dan
multidimensi.
Pertama, boleh kita namakan fungsi konfirmatif. Jangan
mengaku orang Islam dan beriman kalau tidak puasa di
bulan suci Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan.
Berpuasa merupakan bukti pengukuh keislaman dan
keimanan.
Kedua, fungsi purifikatif. Orang yang berpuasa
sesungguhnya mensucikan dirinya. Puasa adalah
instrumen pembersih kotoran-kotoran jiwa, seperti
halnya shalat. Orang yang berpuasa tidak hanya menolak
yang haram dan menjauhi yang belum tentu halal dan
belum tentu haram. Jangankan yang syubhat dan yang
haram, sedangkan yang jelas halal pun tak dijamahnya.
Puasa berfungsi mematahkan dua syahwat sekaligus:
yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan. Demikian
kata Imam ar-Razi dalam kitab tafsirnya (Mafatih al-
Ghayb, cetakan Darul Fikr Lebanon 1426/2005, juz 4,
jilid 2, hlm. 68). Syah Waliyyullah ad-Dihlawi
menambahkan: puasa itu ibarat tiryaq penawar bagi
racun-racun syaitan, semacam detoxifikasi spiritual.
Dengan puasa anda memukul naluri kebinatangan (al-
bahimiyyah) yang mungkin selama ini menguasai diri anda.
Puasa sejati melumpuhkan syaitan dan membuka
92 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
gerbang malakut (Hujjatullah al-Balighah, cetakan Kairo
1355 H, juz 1, hlm. 48-50). Itulah sebabnya mengapa
dalam suatu riwayat disebutkan bahwa mereka yang
berhasil menamatkan puasa sebulan Ramadhan disertai
iman dan pengharapan bakal dihapus dosa-dosanya
sehingga kembali suci fitri bagaikan bayi baru dilahirkan
dari rahim ibunya.
Ketiga, fungsi iluminatif. Para awliya‟ dan orang-orang
shalih diketahui amat suka berpuasa karena, seperti
dituturkan oleh Syekh Abdul Wahhab as-Sya‗rani dalam
kitabnya, mereka justru memperoleh pencerahan batin
(ghayat an-nuraniyyah) dan peneguhan rohani serta
berbagai kebajikan yang berlimpah tatkala mereka
berpuasa (Tanbih al-Mughtarrin, cetakan Damaskus hlm.
55). Hal karena puasa menaikkan status mereka ke
derajat malaikat yang penuh taat dan hampa maksiat.
Hasilnya semakin dekat mereka kepada Allah, sumber
hakiki segala ilmu dan hikmah manusia. Puasa
menjernihkan ruang komunikasi spiritual antara alam
nasut dengan alam malakut. Di saat berpuasa, sinyal-sinyal
makrifat akan lebih jelas, lebih mudah dan lebih banyak
dapat ditangkap.
Keempat, fungsi preservatif. Selain mensucikan jiwa dan
mencerahkan nurani, ibadah puasa juga berdampak
positif terhadap kesehatan tubuh kita. Sebuah hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah menyatakan:
―Berpuasalah, niscaya anda sehat.‖ (shumu, tashihhu),
riwayat Imam at-Thabarani dari Abi Hurayrah
Radhiyallahu 'anhu. dan Ibn ‗Adiyy dari Sayyidina ‗Ali dan
Ibn ‗Abbas Radhiyallahu 'anhu. Meskipun jalur transmisi
hadis ini masih diperdebatkan, kebenaran matan atau
isinya sudah banyak dibuktikan secara medis. Kalau kita
makan tiga kali sehari maka rata-rata tiap 8 jam lambung
kita mendapat tugas baru. Padahal makanan di
ditampung dan dicerna oleh lambung selama 4 jam,
diolah sampai diserap oleh usus selama 4 jam. Ini
93 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
berarti perut kita terus-menerus bekerja tanpa istirahat
sama sekali. Nah, puasa memberikan interval waktu bagi
organ-organ pencernaan tersebut untuk merenovasi sel-
sel yang rusak dan memberikan kesempatan energi
tubuh memenuhi kebutuhan organ-organ lainnya.
Benarlah sabda Rasulullah: ―Segala sesuatu ada zakatnya.
Zakatnya tubuh adalah puasa (li-kulli syay‟in zakah, wa
zakatul jasad as-shawmu)‖, hadis riwayat Imam Ibn Majah
dari Abi Hurayrah r.a. (no. 1745). Bukankah zakat itu
makna dasarnya bersih dan tumbuh, sehingga puasa
berarti tazkiyatun nafs plus tazkiyatul jasad.
Penelitian mutakhir Hari Basuki dan Dwi Prijatmoko (2005) dari
FKG Universitas Jember menyimpulkan bahwa puasa selama bulan
Ramadhan dapat menurunkan risiko kardiovaskuler melalui perubahan
komposisi tubuh, tekanan darah dan plasma kolesterol. Tidak ada yang
perlu dikhawatirkan dari puasa walaupun di musim panas yang waktu
siangnya lebih panjang dari dari waktu malam, seperti di Eropa atau
Australia. Sebagaimana ditegaskan A. J. Carlson, Profesor Fisiologi di
Universitas Chicago Amerika Serikat, seorang manusia normal yang
sehat bisa bertahan hidup 50 hingga 75 hari tanpa makanan, asalkan
tidak terkena unsur-unsur toksik dan atau tekanan emosi. Cadangan
lemak dalam tubuh manusia diyakini lebih dari cukup untuk
memberinya tenaga untuk bekerja selama beberapa minggu.
Di atas itu semua, puasa merupakan ibadah transformatif. Puasa
sebagaimana disyariatkan niscaya mengubah diri anda menjadi orang
bertaqwa. La„allakum tattaqun, firman Allah dalam kitab suci Al-Qur‘an
(2:183). Kalau latihan militer bisa mengubah seseorang yang asalnya
lemah lembut lagi penuh kasih sayang menjadi keras dan bengis tak
mengenal belas kasihan, maka latihan Ramadhan dapat mengubah
seseorang yang tadinya fasiq (banyak melanggar hukum Allah) atau
munafiq menjadi shaleh dan bertaqwa kepada Allah. Dan ini logis kalau
kita ingat bahwa puasa itu merupakan ibadah rahasia, bukan ibadah
publik yang dapat disaksikan oleh orang lain seperti halnya sholat, zakat
dan haji. Hanya Allah dan kita sendiri sebagai pelakunya yang
mengetahui apakah kita berpuasa ataukah tidak.
94 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Dampak transformatif ini juga terkait dengan kecerdasan emosi.
Daniel J. Goleman (1995) mengutip penelitian seorang psikolog
terhadap sejumlah anak-anak TK usia 4 tahun. Anak-anak ini dipanggil
satu per satu oleh guru mereka ke dalam sebuah ruangan dan
disuguhkan sepotong kue lezat di atas meja. Sang guru berkata: ―Bu
Guru akan keluar sebentar dan kamu boleh makan kue ini, tetapi kalau
kamu tunggu beberapa menit sampai Bu Guru datang, kamu akan dapat
dua (ditambah sepotong lagi).‖ Empat belas tahun kemudian,
setamatnya mereka dari sekolah menengah, anak-anak yang dulunya
langsung makan kue tersebut ditemukan rendah prestasinya, labil
emosinya, cenderung suka bertengkar dan sulit mencapai target yang
dikehendaki, sementara mereka yang sabar menunggu sampai Bu Guru
datang dan karenanya mendapat imbalan dua potong kue, ditemukan
lebih baik prestasinya, mempunyai emosi yang stabil, lebih berdikari dan
mampu mengendalikan diri dalam keadaan tertekan sekalipun. Begitu
pula orang seperti Imam as-Syafi‗i dan para ilmuan hebat lainnya sukses
dalam karirnya berkat banyak puasa.
b. Multidimensi Puasa
Dalam salah satu kitabnya yang terkenal, Imam al-Ghazali
menguraikan beberapa dimensi puasa yang baik diketahui jika kita
menghendaki hasil optimal sebagaimana tersebut di atas, dan bukan
sekadar hasil minimal yaitu gugurnya kewajiban dan tetapnya identitas
diri sebagai mukmin-muslim. Menurutnya, ada tiga dimensi puasa.
Pertama, dimensi eksoterik, di mana anda menahan diri dari
makan, minum dan kegiatan seksual. Beliau menyebutnya shawm
al-bathn wa al-farj. Dimensi ini penting karena menjadi syarat
minimal puasa.
Kedua, dimensi semi-esoterik, di mana seseorang itu tidak hanya
berpuasa perut dan kemaluannya, tetapi juga panca indera dan
anggota badan lainnya. Yakni apabila ia mengunci penglihatan,
pendengaran, dan kaki tangannya dari segala yang haram dan
syubhat. Imam al-Ghazali mengistilahkannya shawm al-jawarih.
Yang ketiga adalah dimensi esoterik, di mana anda berpuasa
total, mencekik syahwat badaniah dan syahwat batiniah
sekaligus. Namanya shawm al-qalb, yaitu apabila hati dan akal
95 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
pikiran pun berpuasa dari pelbagai keinginan, kerinduan, dan
harapan kepada sesuatu dan sesiapa jua melainkan Allah.
Menurut Imam al-Ghazali, seyogyanya puasa kita merangkum
tiga dimensi tersebut.74
96 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
BAB V
IBADAH HAJI, UMRAH DAN ZIARAH
ٔ٘ٝٔ ٔقتَاٍَ ؾٜ٫ َْٔٓ دَٔٗاد٢ًَِٜٗٝاٍَ « َْعَِِ عٜٔ ٔدَٗادْ ق٤ ايٓٔطَا٢ًَٜٓ٘ٔ عًٍَٜ ايَُٛا زَضٜ ُتًٞٝق
ٝ٠َيعُُِسَٞاٚ ُٓيشَرٞا
ٝ١َٓذ
َ ٞ ايٜ٫ٓ إ٢ ٤ْ ُ٘ دَصَاٜظ ي
َ ِٝيٜ ُزُٚ َُبِسٞيشَ ٓرُ ايَٞاٚ ، ََُُٓٗاِٝئَُا َب٠َٓازٜؿٜ ن٠َٔيعُُِسٞ ا٢ٜي٢ إ٠ٝيعُُِ َسٞا
“Antara umrah yang satu dan umrah lainnya, itu akan menghapuskan
dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya
melainkan surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Umrah menghilangkan kefakiran dan menghapus dosa. Dari
Abdullah, Rasulullah shallallahu ‗alaihi wa sallam bersabda,
97 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ح
َ هٔريُ ػََبٞ اي٢ِٔٓؿَٜ َُاٜبَ نَُُْٛٓايرٚ َسٞكٜؿٞ اي٢َٕاِٝٓٔؿَٜ ََُُْٓٗا٢إٜٔ ؾ٠يعُُِ َسَٞاٚ ٓ٢يشَرَٞٔ اِٝا َبُٛتَأبع
ٝ١َٓذ
َ يٞ اٜ٫ٓ ٢ب إ
ْ َاٛٔ َث٠ َزُٚ َُبِسٞ اي١َٔٓشذ
َ ًٞٔظي
َ َِٜٝيٚ ٔ١َٓؿٔكَٞايٚ َٔايرََٖٓبٚ ٔدٜيشَ ٔدٞا
ٔ٘٤ًميَإْ بٔاي٢اٍَ « إٜكٌَُ قٞؾٜ أ٢ٍ٭عَُِاٜ ٗ ا٣ٜضًِ – أٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًٗ – ؾ٢ٌَٔٔ ايٖٓب٦ض
ُ
ْزُٚ َبِسٙسَر
ٝ١ٖٓذ
َ ٞ اي٫٤ إ٢ ْ٤ُ٘ دَصَاٜظ ي
َ ِٝيٜ ُزُٚ َُبِسٞيشَ ٗر ايَٞاٚ
98 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Haji termasuk jihad fii sabilillah (jihad di jalan Allah). Dari
‗Aisyah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling
afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama
adalah haji mabrur”, jawab Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.” (HR.
Bukhari)
Haji akan menghapuskan kesalahaan dan dosa-dosa. Dari Abu
Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda,
َُ٘ٗأٝ ُ٘ ِدَتَٜيٚ ٢َِّٛٝنٜ َطُلِ َزدَعَٞؿٜ َِِٜيٚ ِحَٝسِؾٜ ًِِٜٜٔ٘ ؾ٤ًَِٔٔ سَ ٖري
“Siapa yang berhaji ke Ka‟bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak
berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika
dilahirkan oleh ibunya.‖ (HR. Bukhari)
Haji akan menghilangkan kefakiran dan dosa. Dari Abdullah
bin Mas‘ud, Rasulullah shallallahu ‗alaihi wa sallam bersabda,
ح
َ هٔريُ ػََبٞ اي٢ِٔٓؿَٜ َُاٜبَ نَُْٛٗايرٚ َسٞكٜؿٞ اي٢َٕاِٝٓٔؿَٜ َُُْٖٗا٢إٜٔ ؾ٠يعُُِ َسَٞاٚ ٚيشَرَٞٔ اِٝا َبُٛتَأبع
ٝ١ٖٓذ
َ يٞ ا٫٤ ٢ب إ
ْ َاٛٔ َث٠ َزُٚ َُبِسٞ اي١ٖٔشذ
َ ًٞٔظي
َ َِٜٝيٚ ٔ١ٖؿٔكَٞايٚ َٔايرَٖٖبٚ ٔدٜيشَ ٔدٞا
ُٙٛٝيَٜضَأٚ ُُٙٛأدَابٜ ٜ٘ٔ َدعَاُِِٖ ؾ٤ًدُ ايَٞؾٚ ُ ُُ ِعتَُٔسَٞايٚ ٗيشَازَٞاٚ ٔ٘٤ً اي٢ٌٝٔضب
َ ٢ٔ ؾ٣٢يػَاشٞا
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh
adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun
memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada
Allah pasti akan Allah beri.” (HR. Ibnu Majah)
3. Alternatif Ibadah Haji
Dalam melakukan ibadah haji terdapat tiga cara, yaitu: Tamattu,
Qiran dan Ifrad.
Haji Tamattu‘ ialah berihram untuk umrah pada bulan-bulan
haji (Syawwal, Dzulqaidah dan sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah), dan diselesaikan umrahnya pada waktu-waktu
itu. Kemudian berihram untuk haji dari Mekkah atau
sekitarnya pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) pada
tahun umrahnya tersebut.
Haji Qiran ialah, berihram untuk umrah dan haji sekaligus,
dan terus berihram (tidak tahallul) kecuali pada hari nahr
(tanggal 10 Dzulhijjah). Atau berihram untuk umrah terlebih
dahulu, kemudian sebelum melakukan thawaf umrah
memasukkan niat haji.
Haji Ifrad ialah, berihram untuk haji dari miqat atau
dari Mekkah bagi penduduk Mekkah, atau dari tempat lain di
daerah miqat bagi yang tinggal disitu, kemudian tetap dalam
keadaan ihramnya sampai hari nahr, selanjutnya melakukan
thawaf, sa‘i, mencukur rambut dan bertahallul.
Ibadah haji yang lebih utama ialah haji Tamattu‘, karena Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan hal itu dan menekankannya
kepada para shahabat.
و
ٜ ٜ ي١ٜ َُِٓعَٚايٚ َشَُِدٞ ٖٕ اي٢و إ
ٜ ِٝيٖبٜ ٜوٜو ي
ٜ ِٜ٢ غَسٜ٫ ِٜوٖٝبٜ ي،ِٜوٝيٖبٜ ِٖ ًُٗ٤و اي
ٜ ِٝيٖبٜ ٟ٠َ عُُِسِٜوٝيٖبٜ
. ٜوٜو ي
ٜ ِٜ٢ غَسٜ٫ ًٜوَُُٞٞايٚ
٢ب ايٖٓاز
َ َٔقَٓا عَرَاٚ ٟ١َٓط
َ ٔ َس٠ اٯػٔ َسَٞٔؾٚ ٟ١َٓط
َ ََا سِْٝٗ ايدٞٔزَٖبَٓا آٔتَٓا ؾ
75 - Lihat Bimbingan Haji dan Umrah, Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
. َُٙسِدَٚ َ٭سِصَابٜ ََٖٞصَ َّ اٚ ََُْٙؿَسَ َعبِدٚ َُٙعِدَٚ َِْذَصٜ أَُٙسِدَٚ ٝ اهلل٫٤ ٢ َ٘ إٜي٢ إ٫ٜ .ِْسٜٔدٜق
Tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah Yang Maha Esa, tiada
sekutu bagi-Nya, hanya bagi-Nya segala kerajaan dan hanya bagi-Nya
segala puji, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan yang
patut disembah selain Allah Yang Maha Esa, yang menepati janji-Nya
dan memenangkan hamba-Nya serta telah menghancurkan golongan kafir
sendirian
Kemudian melakukan sa‘i umroh sebanyak tujuh kali putaran
dengan berjalan cepat di antara tanda hijau dan berjalan biasa
sebelum dan sesudah tanda tersebut, kemudian naik ke atas
Marwa, lalu bacalah takbir dan tahmid tiga kali apabila mungkin
sebagaimana yang anda lakukan di Safa.
Dalam thawaf ataupun Sa‘i, tidak ada bacaan zikir wajib yang
khusus untuk itu. Akan tetapi dibolehkan bagi yang melakukan
thawaf atau sa‘i untuk membaca zikir dan do‘a atau bacaan Al-
Qur‘an yang mudah baginya, dengan mengutamakan bacaan-
bacaan zikir dan do‘a yang bersumber dari tuntunan Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.
5. Bila telah selesai melakukan sa‘i, maka mencukur dengan bersih
(gundul) atau cukup memendekkannya. Dengan demikian
selesailah rangkaian umrah dan selanjutnya diperbolehkan
melakukan hal-hal yang tadinya menjadi larangan ihram. Apabila
ٜيوٜ ٜ١َُِٓعَٚايٚ َُِدٜحلٕٖٞ ا٢ إ،ٜوِٖٝبًٜٜهٜ يِٜوٜ٢ غَسٜ٫ ٜوِٝٓبٜ ي،ٜوِٖٝبًُِٜٖٗ ي١ ايٜوِٖٝبٜ( ي
) ٞوٜو ي
ٜ ِٜ٢ غَسٜ٫ ،ًٝوَُُٞٞايٚ
76
Yang dimaksud adalah Quzah, yaitu gunung yang sangat terkenal di Muzdalifah. Hadits ini
merupakan hujjah/alasan para ulama fikih bahwa Masy'ar il Haram adalah Quzah. Jumhur ulama
tafsir dan sejarah serta ulama hadits berkata: Masy'aril Haram adalah seluruh wilayah Muzdalifah.
Lihat Syarah Muslim oleh Imam Nawawi rahimahullah.
٢ِِٕٝ ايع ٖس ٔد٢ اِٜٛٝ َٔع َٔ ايػٖع٢ِِٜٔعدٜكٞأْٔ٘ ايًَُٜٛٞضٚ ٢ِِٜ٢سٜهٞ٘ٔ اي٢ٗ ِدَٚ َٚ ٢ِِٝي َع ٔعٞذُ بٔاهللٔ اِٛ أ ُعٜ
َٝ اهلل٤غععا
َ ِٕ٢ْٖععا إ٢َإٚ ًَُِٔٝٔٔطع
ِ ُُ َٞايٚ ََٔٓٔني٪ِ ُُعٞ َٔع َٔ اي٢َازٜٚ ِٖع ٌَ ايعدٜ ِِ أِٝهًٝعَُّٜ عٜ٬طع
ٖ اي
ٝ١ٖٓذ
َ يٞ ا٤٫إ٢ ٤ْ ُ٘ دَصَاِٜظَ يٝيٜ ُزُٚ َُبِسٞيشَرٗ ايٞاٚ
“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.” (HR.
Muslim)
Haji mabrur bukan hanya sekedar memenuhi ritual haji semata.
Bisa jadi haji seseorang sah secara hukum, sehingga kewajiban berhaji
baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah
Ta‘ala. Oleh karenanya, disebut haji mabrur, kalau memenuhi kriteria
berikut ini :
Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal,
karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana
ditegaskan oleh sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam,
ٜ٫َٚ َمٛؾطُعٝ ٫ٜ َٚ َعحٜ زَؾٜ٬عٜيشَع ٖر ؾٖٞٗٔ ا٢ٝع َسضَ ؾٔعٜ َُِٔ ؾََٜاتْ ؾًِٛٝغُٗسْ َع
ِ أٜ ٗيشَرٞا
ٚيشَرٞ اٞٔدٔدَاٍَ ؾ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji,
maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama
mengerjakan haji.” (QS.Al-Baqarah: 197)
َُ٘ٗأٝ ُ٘ ِدَتَٜيٚ ََِّٜٛ ٔ٘ٔت٦ََِٝٗ نٜ َؿطُلِ َزدَعٞ َٜ َِِٜيٚ ِؾحٝ َِسٜ ًَِِِٜٜٔ سَرٖ ؾ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan
kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” (HR. Muslim)
Kelima: Terjadi perubahan yang lebih baik pasca haji, sehingga
kualitas keimanannya semakin meningkat. Al-Hasan al-Bashri
mengatakan, ―Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud
terhadap dunia dan mencintai akhirat.‖ Ia juga mengatakan,
―Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk
yang dilakukan sebelum haji.‖ Ibnu Hajar al-Haitami
mengatakan, ―Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah
meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-
teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan
mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan
kesadaran.‖80
77
- Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya
bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama
ihram.
78
- Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala
bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
79
- Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
80 - Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâiful Ma'ârif Fîma Li Mawâsimil 'Am Minal Wazhâif, al-Maktabah
asy-Syâmilah., 1/68.
Catatan:
1. Miqot ada dua, yaitu miqat zamani dan miqat makani. Miqot zamani yaitu
bulan-bulan haji, mulai dari bulan Syawwal, Dzulqo‘dah, dan Dzulhijjah.
Miqot makani yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau
umroh. Ada lima tempat: (1) Dzulhulaifah (Bir ‗Ali), miqot penduduk
Madinah (2) Al Juhfah, miqot penduduk Syam, (3) Qornul Manazil (As Sailul
Kabiir), miqot penduduk Najed, (4) Yalamlam (As Sa‘diyah), miqot
penduduk Yaman, (5) Dzat ‗Irqin (Adh Dhoribah), miqot pendudk Irak.
Itulah miqot bagi penduduk daerah tersebut dan yang melewati miqot itu.
2. Penduduk Makkah yang ingin berihram haji atau umrah, maka hendaklah ia
ke tanah halal, yaitu di luar tanah haram dari arah mana saja.
3. Tidak boleh bagi seseorang yang berhaji atau berumroh melewati miqot tanpa
ihram. Jika melewatinya tanpa ihram, maka wajib kembali ke miqot untuk
berihram. Jika tidak kembali, maka wajib baginya menunaikan dam (fidyah),
namun haji dan umrahnya sah. Jika ia berihram sebelum miqot, maka haji dan
umrahnya sah, namun dinilai makruh.
81 Hadits Shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Hakim.
Kemudian, hadits ini dianggap shahih oleh imam al Dzahabi.
82 HR. Muslim
85 Hadits Hasan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Baihaqi.
86 HR. Muttafaq Alaihi
87 HR. Muslim
88 HR. Muttafaq ‘Alaihi
89 HR. Muttafaq ‘Alaihi
f. Sakaratul maut. Paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan
dalam kondisi sakaratul maut, yaitu :
Apabila seseorang telah merasakan datangnya kematian,
maka sebaiknya ia memperbanyak untuk membaca
kalimat: ―Lâ Ilâha Illallâh (Tidak ada Tuhan selain
Allah).‖ Adapun orang-orang yang berada di
sekelilingnya membantunya membaca talqin tersebut
apabila yang sakit lupa. Hal tersebut sesuai dengan sabda
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam: ―Talqinkanlah
kematian kalian dengan mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh
(Tidak ada Tuhan selain Allah).‖92 Dan dari Muadz bin
Jabal Radhiyallahu „Anhu, bahwasanya Rasulullah
90 Tegasnya: Allah berfirman: “Aku dapat melakukan apapun yang diperkirakan hambaku bahwa
aku akan melakukannya.” Dalam konteks di atas, lebih mengedepankan sisi permohonan dari pada
rasa takut.
Imam Qurthubi dalam bukunya: “Al Mufham” dikatakan bahwa makna: “Tergantung
prasangka hambaku kepadaku” adalah: Prasangka seorang hamba untuk mendapatkan jawaban
dari Allah ketika berdoa, menerima taubatnya dan mendapatkan ampunan ketika dirinya
memohonnya kepada Allah. Ia juga berprasangka bahwa Allah akan memberikan balasan ketika
dirinya melakukan ibadah yang sesuai dengan syarat. Semua itu dipegang oleh manusia sesuai
dengan janji Allah yang dikuatkan oleh Hadits Nabi yang lain: “Berdoalah kepada Allah, niscaya
Allah akan mengabulkannya.”
Adapun prasangka akan mendapatkan ampunan dosa dengan terus melaksanakan dosa
adalah bagian dari kebodohan dan kelalaian. Dan hal tersebut akan menggiringnya pada aliran
Murjiah. Anda dapat melihat keterangan ini dalam kitab: “Syarhu as Sunnah” (5/273).
Khithabi berkata: “Yang akan diterima prasangkanya oleh Allah adalah orang-orang yang
sering berbuat baik. Seakan-akan Allah berkata: “Perbaikilah amal perbuatan kalian. Maka, Allah
akan berbaik sangka kepada kalian.” Dan seandainya amal perbuatan manusia yang berprasangka
itu buruk, maka akan buruk pula prasangka Allah terhadapnya. Dan sikap berbaik sangka juga
termasuk ke dalam bagian harapan, permohonan maaf. Sesungguhnya Allah maha mulia dan
agung. Anda dapat melihatnya pada kitab: “Syarhu as Sunnah” (5/272)
91 HR. Muttafaq ‘Alaihi
92 HR. Muslim
93 Hadits Hasan yang diriwyatkan Ahmad (5/233) dan Abu Dawud (3116)
94 HR. Muslim dalam kitab: “Iman”
95 HR. Muslim
96 Dikatakan pandangan orang yang tengah sakaratul maut telah memudar. Artinya, seseorang
yang melihat sesuatu. Akan tetapi, ia tidak terfokus pada pandangannya tersebut.
97 HR. Muslim
98 QS. Al Baqarah: 155-157
99 HR. Muslim
100 Suami pengasuh Ibrahim, putra Rasulullah Saw.
101 HR. Muttafaq ‘Alaihi
102 Lihat: “Fathul Bari” (3/208).
103 Hadits Shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Baihaqi.
108 Yang dimaksud di atas adalah keluarga. Ibnu Atsir mengatakan bahwa asal mula kalimat
(Dhaya’) adalah (Dha’a), (Yadhi’u), (dhaya’an). Dan kalimat keluarga (al ‘Iyal) mempergunakan
bentuk infinitif, seperti anda berkata: “Barang siapa yang mati dan meninggalkan kemiskinan
(faqran). Maka, kalimat kemiskinan (faqran) di sini berarti orang-orang yang fakit (Fuqara).
109 HR. Muslim dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu.
110 Yang dimaksud dengan pakaian ‘Ashab adalah: Pakaian yang telah dipintal terlebih dahulu
sebelum ditenun. Dan ‘Ashab itu sendiri merupakan nama tumbuhan yang tumbuh di Yaman.
Dimana tumbuhan tersebut dipergunakan untuk bahan pakaian. Dan nabi telah menganjurkan
kaum perempuan mempergunakan bahan ini, agar mereka terjauh dari berhias.
111 Karena, tujuan di dalamnya hanyalah untuk menghilangkan bau yang tidak enak dan bukan
untuk berhias diri dan mempergunakan wewangian.
112 HR. Thabrani dari Ibnu Umar. Al Hafidz, dalam kitab: “Al Fath” (3/219) mengatakan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dengan isnad hasan.
118 HR. Bukhari (1253), HR. Muslim (2133), HR. Ahmad (5/84), HR. Abu Dawud (3142, 3146), HR.
Nasa’i (4/28-29) dan HR. Ibnu Majah (1458).
119 Lihat: “Tharhu al Tatsrib” (3/273-275)
120 Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan Hakim (1/340). Kemudian, hadits ini
dianggap shahih dan disetujui oleh imam Dzahabi.
121 Keterangannya telah disampaikan sebelumnya.
122 Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan Ahmad (1/247), Tirmidzi (994), Abu
Dawud (3878) dan Ibnu Majah (1472)
123 Lihat: “Syarh an Nawawi ‘Ala Shahih Muslim” (7/11).
124 HR. Muttafaq ‘Alaihi.
125 Lihat: “Syarh an Nawawi ‘Ala Shahih Muslim” (7/12)
126 Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan Ahmad (3/331), Ibnu Abi Syaibah (4/92),
Ibnu Hibban (752), Hakim (1/355), Baihaqi (3/405). Hadits ini dianggap shahih oleh Hakim dan
disepakati oleh imam Dzahabi.
ٚ ًَُٜ٘ع ِ َ ِدػَٚضَٚ ُٚ ّٜ٘ ُِْصُي٢سٞنٜ أُٚ ِ٘ٓؿ َعٝ ِ َاعٚٔ٘ٔ َعَاؾٚ َُُِ٘ َا ِزسُٚ ٜ٘ؿٔسِيًُِٖٞٗ اغ١ٜأي
َٔ َُضِٝبٜبُ ا٭ِٛ ٖٓ َايج٢َٓكُٜ َُاَٜا نٜاٜٛخلٜ ََْكِّ٘ٔ َٔ َاٚ ٔ َايبَسَدٚ ٢رًٖٞ َايجٚ ٔ٤اٜ٘ ُباملًٞطَٞاغ
ِٔسّاٝدّا َػِٚ َ َشٚ ًِِٖٜٔ٘سّا َِٔٔ أّٝ َػ٬ِٖٜ َأِٖٛٔٔسّأَِٔ دَازٝ٘ ُدَازّا َػٞبِدٔيٜ َأٚ ،٢َايدْٖظ
َِٔٔ َٚٔ ٘ٔ ؾِتَٓت٢َٔٔ َٚ ٢كبِسٜ بٔ ائٜ َِٔ عَراِٙأعٔرَٜ ٚ ،ٜ١ٖٓجلٜ ُ٘ اًٞٔأ ِدػَٜ ٚ ِٔ٘دَِٚٔ َش
.٢بٔايٖٓازٜعَرا
“Ya Allah, ampunilah dosanya, rahmatilah di barzahnya, selamatkan ia,
dan maafkanlah kesalahannya, muliakanlah kedudukannya,
lapangkanlah kuburannya, bersihkanlah dosanya seperti bersihnya yang
mandi dengan air segar dan air bersih. Bersihakanlah ia dari segala
kesalahan, sebagaimana bersihnya pakian yang putih dari kotoran.
Gantilah rumahnya dengan pengganti yang lebih baik, keluarganya dengan
keluarga yang lebih baik, istrinya dengan istri yang lebih baik.
ََِأ ِزسٜ َاَٜ ٘ ُبٔ َسسِ َُتٔوٜ َيَٚ ٓاٜؿٔسِيٞ َاغُٚ َٙؿتٔٓا ََبعِدٞ ُ َت٫َ ُٚ َٙأدِسَٜ سَِٓا٢ ِ ُتشٜ٫َ ًُِٓٗيٜأ
.َُِٔٝٔٔايسٖاس
“Ya Allah, janganlah Engkau menghalangi pahala amal baiknya,
janganlah Engkau menjadikan fitnah bagi kami sesudah ia wafat
meninggalkan kami, dan ampunilah dosa kami dan do‟a dia.”
Selesai membaca do‘a terakhir kemudian membaca salam dua
kali:
129 Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan Ahmad (3/118, 204), Abu Dawud (3194),
Tirmidzi (1034), Ibnu Majah (1494), Thayalisi (2149) dan Baihaqi (4/32)
130 Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan Ahmad (5/36), Abu Dawud (3182), Nasa’i
(4/43) dan Hakim (1/355). Hadits ini dianggap shahih oleh imam Dzahabi. Dan yang dimaksud
dengan gerakan pasir adalah cara berjalan yang cepat.
131 HR. Muttafaq ‘Alaihi yang diambil dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
132 Lihat: “Al Mughni” Ibnu Qudamah (2/497).
137 Lihat: “Fatawa Syaikh Husnaini Makhluf” (2/260), Cet: Daar al I’tisham
138 QS. Al Hasyr: 10
139 HR. Bukhari
140 HR. Muslim
ِِٝ بٔهَٝاهلل٤ِٕ غَا٢ْٖا إ٢َإٚ ًَُِِٔٝٔٔملطٝ َاٚ ََِٔٝٔٓٔ٪ِ ملٝ ََٔٔ ا٢َازٌَِٜٖٚ ايدِِٜ أِٝهًَُّٜٝ عٜ٬ٖيطٜأ
143 HR. Ibn Majah, Juz I hlm. 94. Dan lafal yang dikurung adalah milik Imam Muslim, Sahih Muslim,
Juz II hlm. 671
َُٕٛؿَٓع
ِ َُِ ََا تًِٜعَٜ ًَُٜ٘ٓايٚ ُنبَسٞ ٜٓٔ٘ أًٜ ُس ايٞرٔنَٜيٚ
“Dan sesungguhnya dzikir kepada Allah itu adalah urusan yang amat
besar. Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ankabut:
45)
Dalam bahasa hadist, dzikir disebut sebagai “khairul a‟mal”
(amalan terbaik), “azka a‟mal” (amalan tersuci), “arfa‟ a‟mal‖ (amalan
tertinggi). Sebagaimana sabda Rasulallah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam,
ِِٝهِٜسْ يٝ َػَٚ ِِٝ َد َزدَاتٔهٞٔؾعَٔٗا ؾِٜأزَٜٚ ِِٝهٔهًَٝٔ َاَٖا ٔعِٓدٜأشِنَٜٚ ِِٝأعَُِائهٜ ٢ِسٝؼ
َ ِِ ٔبُٝه٦َْٔٓبٝا أٜيٜأ
اُٛب٢َكِسٜٚ ُِِٗقٜأ ِعَٓاٜ اُٛب٢تَكِسِِٜ ؾَٝٓنِٚا عَ ُدٛكٜ ًَِٕٞ تِِٜ َِٔٔ أٝهِٜسْ يَٝ َػٚ ٢م٢َزٛيَٞاٚ ٔ ايرََٖٓب٢امِْٜؿ٢َِٔٔ إ
َِٟٚ َجٌَُ اير٤ًََضٚ ًَِٜٔ٘ٝ عٝ اهلل٢٤ًٍَُ اهللٔ ؾِٛ ُاٍَ زَضٜ ق،ٍَاٜ َعِٓ ُ٘ قَٝ اهللٞٔ زَق٢َِضَُٛ ٞٔبَٜعِٔ أ
144 Hadits riwayat At Tirmidzi dalam sunannya kitab Ad da’awaat ‘An Rasulillah no.
3377 dan Ibnu Majah dalam sunannya kitab Al Adab bab Fadhlu dzikr no. 3790 dan dishahihkan
Albaniy dalam Shahih Al Jami’ no. 2629
145 Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Vol. 2, hlm. 344
ِِٝسِنٝأذِنٜ ُْٞٔٚسٝاذِنٜؾ
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku juga akan mengingat
kalian.” (QS. al-Baqarah: 152)
Orang mukmin yang memenuhi panggilan Allah agar senantiasa
berdzikir, maka kehidupannya akan selalu diisi dengan dzikir, sehingga
duduk dan berdirinya adalah dzikir, bahkan berbaringnya pun bernilai
dzikir. Hal itu sebagaimana difirmankan oleh Allah,
٢ ِزضَٜا٭ٚ َٔاتَُٛ َٓل ايط٢ ًَٞ ػٞٔ َٕ ؾُٚٓسٜهٜتَؿَٜٚ ِِ٢ٗٔبُٛٓ ُد٢ًََٜعٚ دّاُٛقعٝ َٚ َاَّاٝٔٓ َ٘ قًٜ َٕ ايُٚسَٝرِنٜ َٜٔٔٓرٜاي
.٢ب ايَٓٓاز
َ ٔكَٓا عَرَاٜو ؾ
ٜ َْا ضُِبشَأًٟكتَ َٖرَا بَاطٞ ًَٜزَٓبََٓا ََا ػ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(QS. Ali Imran: 191)
َُايرٖانٔسَاتٚ نجٔريّاٜ َ٘ ٤ً َٕ ايُٚاٍَ ايرٖانٔسٜٔ٘ ق٤ً ٍَ ايَُٛا زَضٜ َُٕٚسدٚ ُُٜؿََٞا ايَٚ اٛٝايٜ َٕ قُٚسدٚ ُُٜؿٞضبَ َل اي
َ
Rasulallah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Al mufarridun telah
mendahului dalam kebaikan, ” mereka bertanya, ”Siapakah al mufarridun, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Laki-laki dan perempuan yang banyak
berdzikir.‖146
146 Hadits riwayat Muslim dalam shahihnya, kitab Ad Du’a wa Dzikir wa Taubah wal
Istighfar, bab Al Hats Ala Dzikr, no. 2676]
َٜٓاىِٝ َتعِدُ َع٫ٜ َٚ َُ٘ٗ ِدَٚ َِِٕٚ ُدٜ٢ُسٜ ٚٞٔ َعػَٞايٚ ٔ٠يػَدَإَِٞ زَٖبُِِٗ بِاَٛ ِد ُعٜ َِٜٔٚ َعَ ايرٜطو
َ ؿٞ َْ ؾبٔ ِس
ِ َاٚ
ُُٙأَِسٜ َٕ اَٜنٚ َُٙاَٖٛ ََاٖتبَعٚ َْا٢سًٞبَُ٘ عَِٔ ذٔنًَٜٞٓا قٜٞؿٞأغٜ َِٔ ِٔعٛ ُت٫ٜ َٚ َاِْٝٗٔ ايد٠َاٝش
َ يٞ ا١ٜ َِٜٓ٢ِدُ شٜ٢َعُِٓٗ ِِ تُس
اٟسُطٝؾ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Rabnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Sebaliknya Allah mencela karakter nisyan atau ghaflah (lupa diri)
yang merupakan lawan dari karakter dzikir, sehingga Allah
memerintahkan agar kita menjauhi mereka. Allah berfirman,
ٜٔو٦يٜٚٝأٜو ؾ
ٜ ؿعٌَِ ذَٔيٞ َٜ ََِٔٚ ٔس اهلل٢ ِِٞ عَِٔ ذٔنٝدُن٫ٜ ِٚأٜ ٫ٜ َٚ ِِٝهَٝايَِٜٛ ِِ أٝه٢ًُٗٞ ت٫ٜ اَُٛٓ َا٤ َٜٔٔر٤َٗا ايَٜٜٗاأٜ
َُٕٚيؼَاضٔسُٖٞ ُِ ا
2. Fadhilah dzikir
Keutamaan dan faedah dzikir sangatlah banyak, bahkan Ibnu
Qayyim menyebutkan lebih dari seratus keutamaan berdzikir dalam
kitabnya yang bertajuk Al Waabil Ashshoyyib Wa Raafi‟ Al kalimi Al
Thoyyib. Di antara keutamaan dan faedah dzikir tersebut adalah:
a. Dzikir sebagai obat yang dapat memberikan ketenangan bagi hati
seseorang. Semakin rutin seseorang dalam melakukan dzikir, maka
semakin tenang hatinya. Hal itu dikarenakan dzikir merupakan
vitamin ruhani yang dapat mengendalikan hati seseorang sehingga
dapat terkendali. Dengan demikian, hati yang terkendali akan
mencapai puncak ketenangan. Allah telah menjelaskan dalam Al-
Qur'an, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram dengan
melakukan amalan dzikir,
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan
dzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi
tenang.” (QS. Arra’du: 28)
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidaklah ada suatu kaum yang duduk untuk berdzikir kepada Allah
ta‟ala melainkan malaikat akan meliputi mereka dan rahmat akan
menyelimuti mereka, dan akan turun kepada mereka ketenangan, dan Allah
ٔ ضٔسَاعّاٙ٢ثَسٜ أُٞٔٓ ؾٚعَ ُدٞ ػَسَزَ اي٣ٌُ َزد٢ٌَ َُجٜ نَٜٕٓ َجٌََ ذَٔيو٢إَٜٓ٘ ؾًٜا ايُٚسِٕٝ تَرِنِِٜ أَٝآَُسُنٚ
َُ٘ؿطٞ َْ ُسش٢ ِشُٜ اٜي َعبِدُ يٞ اٜرَٔيوٜؿطَُ٘ َُِِِٔٓٗ نٞ َْ َأسِسَشٜ ٜ ؾ٣ سَؿٔني٣ِٔ سٔؿ٢ًَٜ ع٢َتٜذَا أ٢ إ٢ََٓست
ٓ٢ٌٝ ن٢ًََٜ عُٖٛ َٚ ُشَُِدُٞ٘ ايَٜيٚ ًٝوُُُٞٞ٘ ايُٜ٘ يٜ يٜوٜ٢ا غَسُٜ يَٙسِدَٚ ًُٜ٘ٓٓا ايٜي٢َ٘ إٜي٢ا إٜاٍَ ئَِٜ ق
ٕ١َٓط
َ َ سٝ١َ٥ُ٘ َٔاٜتَٔبتِ يَٝنٚ ٕابٜق٢ ز٢ُ٘ عَ ِدٍَ َعػِسٜاَْتِ يٜٕ ن٠َ َ ٓسٜ١َ٥ َٔا٣َِّٜٛ ٞٔسْ ؾٜ ٔدٜٕ ق٤َِٞغ
َُٞٔ ُِطٜ ٢َٓ َستِٜ َُ٘ ذَئوَٜٛ ٢ٕاَُِٜٛٝٓ٘ سٔ ِسشّا َِٔٔ ايػٜاَْتِ يَٜنٚ ٕ١َ٦ٔٝٓض
َ ٝ١َ٥تِ َعُِٓ٘ َٔاَٝٔ َُشَٚ
ٜنجَسَ َِٔٔ ذَئوٞ ٜأسَدْ عَُٔ ٌَ أٜ ٓاٜي٢َ بٔٔ٘ إ٤كٌََ ََُٔٓا دَاٞؾٜأسَدْ بٔأٜ ٔتَٞأٜ َِِٜيٚ
“Barang siapa mengucapkan (dzikir): (
) dalam sehari seratus kali, maka itu sama dengan
pahala memerdekakan sepuluh budak, ditulis seratus kebaikan untuknya dan
dihapus seratus dosanya. Juga menjadi pelindungnya dari syeitan pada hari itu
sampai sore dan tidak ada satupun yang lebih utama dari amalannya kecuali
seorang yang beamal dengan amalan yang lebih banyak dari hal itu.” (HR.
Buhari dan Muslim)
e. Dzikir adalah taman syurga dunia dan syurga akhirat
ِاٛؿ٥ َِِ س٢ًَِِٜٗٝا عَٛتٜإذَا أ٢ ٜ ؾ، ٢سٞنٚلَ ايرًََِٜٕ سُٛبًَٜٝٞٛ ٔ١ٜٔه٥٬
ٜ َُٖٞازَاتْ ََٔٔ ايٝض
َ َ٘ٔ َتعَاىل٤ًٕٖٔ ي٢إٜؾ
.ِِ٢ٗٔب
“Dari ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda, “Apabila kalian melalui taman-taman surga, maka
kelilingilah ia.” Sahabat bertanya, “apakah taman-taman surga wahai
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam?", beliau menjawab, "yaitu
halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah memiliki pasukan-
pasukan dari malaikat, yangmencari halaqoh-halaqoh dzikir, yang apabila
mereka menjumpainya, mareka akan mengelilinginya.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi dan Baihaqi)
ُِِِٖأ ِػبٔسَٜٚ َّآًَٜ ايطَٞٓٔٓٔ ٜأَٓتَوٝ ِ٨٢سٞقَٜا َُشََُٓدُ أٜ ٍَاٜكٜ ؾَٞٔ بٟ٢ضِسٝ أٜ١ًِٜٝيٜ َِٖٝٔبِسَا٢تُ إٝٔكٜي
147 Hadits riwayat At Tirmidziy dalam sunannya kitab Al Da’awaat ‘An Ar Rasul bab Ma
Ja’a Fi Fadhl Tasbiih wa Tahlil Wa takbir wa Tahmid no. 3462 dan dihasankan Al Albani dalam
Silsilah Shohihah no. 105
ِِٝبَه٤ًُِٜ َُتَكًِٜعَٜ َٝاهللٚ ََٔٔٓات٪ِ َُُٞايٚ ََِٔٓٔني٪ُُ ًَٞٔيٚ َٜاضَِتػِؿٔ ِسئرَْٔبوٚ ٝا اهلل٤ي٢ َ٘ إٜي٢ا إْٜٖ ُ٘ يٜ ِِ أًِٜاعٜؾ
َِِٝانَِٛجَٚ
147 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak)
melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-
orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad: 19)
٣نبٔريٜ ّ٣َِٜٛ َُعَرَابِٝهًَٜٝأػَافُ عٜ ْٞٚ٢إِٜا ؾٛي٤َٛ ِٕ َت٢َإٚ ًُِٜ٘كٌٜ ؾ٣ ِكٜؾ
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu
yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang
mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiama.” (QS. Hud: 3)
Ayat-ayat tersebut memerintahkan kita untuk beristighfar.
Perintah ini berulangkali kita jumpai dalam banyat ayat, bahkan di dalam
surat hud tercatat ada empat ayat di dalam yang menyebut perintah
beristighfar, yaitu pertama ayat 3 di atas, ayat 52, 61, dan 90. Yang lebih
menarik lagi, bahwa secara korelatif, perintah beristighfar pada ayat-ayat
tersebut diawali dengan perintah menyembah dan mengabdi semata-
mata kepada Allah. Itu artinya terdapat korelasi antara orang yang
bertauhid dengan kebutuhannya terhadap istighfar.148
148 Atabik Luthfi, Tafsir Tazkiyah, Jakarta: Gema Insani, 2009, hlm. 68
2. Fadhilah Istighfar
a. Istighfar dapat menghapus dosa
149 Ibid
150 Ibid
ِِ٢ٗٚٔ زٖبَٚ ٠ُُِٖ َٖػِؿٔ َس٩ دَصَآٜو٦ٔعِٜيٚأٝ ًَُُِْٜٛعَٜ َُِِٖٚ ٞاًَٛٝعٜ ََا ؾ٢ًَٜ عٞاُٚٗؿٔسٜ َِِٜيٚ ٝ اهلل٤٫٢بَ إُْٛٗاير
ُُِِِٝ ٔددِنَٜٚ* ِدزَازّاَٚ ِِٝهًَٜٝ ع٤ ايطَُٖا٢ٌُٔسِضٜ* ازّا٤ؿٜإَ غُْٜٖ٘ ن٢ِِ إٝا زَبٖهُٚضَتػِؿٔس
ِ ًتُ اٞٝكٜؾ
َِْٗازّاٜ ِِ أٝه٤ذعٌَ ي
ِ َٜٚ ِِٕ َدٖٓاتٝه٤ذعٌَ ي
ِ َٜٚ َََبٓٔنيٚ ٣ٍَاَِٛأٜ ٔب
“Maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepadaTuhanmu,
sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu,
dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
c. Beristighfar akan mendatangkan kehidupan yang bahagia
٣نبٔريٜ ّ٣َِِِٛٝ عَرَاَبِٝهًَٜٝأػَافُ عٜ ْٞٚ٢إِٜا ؾٛي٤َٛ ِٕ َت٢َإٚ ًُِٜ٘كٌٜ ؾ٣ ِكٜ ؾٟٔذ
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
٢ٜي٢ إٟ٠ٖٛ كٝ ُِٝصدِن٢ َٜٚ ِِ َٔدِزَازّاِٝهًَٜٝع٤َ ُسِضٌِٔ ايطَُٖاٜ ِٔ٘ٝيٜ٢ا إُٛبُِِٛ ثُِٖ تٝا زَبٖهُٚضَتػِؿٔس
ِ ا٢ِّٛقَٜاَٜٚ
َُٕٚطَتػِؿٔس
ِ َٜ َُِِٖٚ َُِِٗبٚ َُعَرٝا َٕ اهللََٜا نَٚ ِِ٢ٗٝٔت ؾ
َ َْٜأٚ َُِِٗبٚعَرُٝٔيٝإَ اهللََٜا نَٚ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamuberada
di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akanmengazab mereka, sedang
mereka meminta ampun.” (QS. Al-Anfal: 33)
f. Istighfar adalah akan mendatangkan rahmat Allah
ََُُٕٛ ِِ تُ ِسسٝه٤ًَعٜهلل ي
ٜ َٕ اُٚا َتطَِتػِؿٔسِٜيٛيٜ ٔ١َٓط
َشَ ٞقبِ ٌَ ايٜ ١َٔ٦ٚٝط
ٖ َٕ بٔايًّٛٝٔئ َِ َتطَِت ِعذ٢ِٛقٜ َاٜ ٍَاٜق
“Dia berkata: "Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakankeburukan
sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamumeminta ampun kepada
Allah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Naml: 46)
g. Isitgfar adalah penghapus dosa di dalam majlis. Diriwaytkan oleh
Al-Tirmidzi di dalam sunannya dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu
bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
―Barangsiapa yang berada pada sebuah majlis yang terjadi padanya
keributan, lalu sebelum dirinya bangkit dari majlis itu hendaklah dia
151 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
membaca:
.ٜوِٝيٜ٢ب إ
ُ ُِٛتَٜأٚ ٜضَتػِؿٔسُى
ِ ٜ أ،َِْتٜ أ٫٤ إ٢ َ٘عٜي٢ إ٫ٜ ِٕٜغَِٗ ُد أٜ أ،َٜٔبشَُِدٔىٚ ًُِٖٗ٤و اي
ٜ َْضِبشَا
ُ
“Maha Suci Engkau, ya Allah, aku memuji -Mu. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku minta ampun dan
bertaubat kepada-Mu.‖ (HR. Tirmudzi)
3. Bacaan Istighfar Yang Ma‘tsur
Lafadz istighfar itu sangat banyak, dan telah disebutkan di dalam
hadits riwayat yang banyak pula. Di antaranya adalah yang diriwayatkan
dalam hadist berikut ini,
a. Riwayat Abu Dawud dari hadits Zaid bin kharisah, bahwa salah
satu istighfar yang dibaca oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
adalah.
٘ٝب إيٛأتٚ ّٛٝ ايكٞ احلٖٛ ٫ إي٘ إ٫ ٟأضتػؿس اهلل اير
“Aku meminta ampun kepada -Mu Ya Allah, Yang tiada tuhan yang
berhak disembah selain Dia, Dialah Yang Maha Hidup dan Yang berdiri
sendiri, dan aku bertaubat kepada -Nya.” (HR. Abu Dawud)
b. Riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhma berkata: ―Sesungguhnya
kami benar-benar menghitung dzikir Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam dalam satu kali majelis (pertemuan), beliau mengucapkan 100
kali (istighfar dalam majelis): ―Ya Rabb, ampunilah aku, terimalah
taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat dan Maha
Penyayang.‖ (HR Abu Dawud)
ُِٝٔب اي ٖسس
ُ ٖاٛت ايٖت
َ ِْٜو أ
ٜ ْٖ٢ إٞ
ٖ ًََُٜتبِ عٚ ُِٞٔٓ ََا ِزسٚ ٞٔؿٔ ِسيٞزَب اغ
ُ٤ُِٛبَٜأٚ ،ًَٖٜٞ عٜ ٔبٓٔعِ َُٔتوٜوُٜ ي٤ُِٛبٜ أ،ُ ََا ؾََٓ ِعتٚ َِٔٔ غَسِٜذُ بٔوُٛأعٜ ،ُ ِعتََٜٛا اضَِت
ُّاًِٝٔا تَطًََُُٛٓٔضٚ ًَِٜٔ٘ٝا عًَٛٓٝا ؾََُٛٓٔ آٜٔٓرَُٜٓٗا ايَٜٜا أٜ ٓ٢ٞٔ ايَٓب٢ًََٜٕ عًَُٛٓٝؿٜ َُ٘هتٜ ٔ٥٬َ َٚ ًََٜٕ٘ٓٓ اي٢إ
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56).
Ayat di atas secara tegas menjelaskan bahwa Allah dan para
malaikat berselawat atas Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, dan
memerintahkan kepada kita agar berselawat untuk nabi Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam. Makna selawat yang datang dari Allah Ta‟ala kepada hamba-
Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemualian dan
keberkahan dari-Nya. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari
153 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
Allah Ta‟ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan)
menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya,
ََِٔٓٔني٪ُُ ٞا َٕ بٔايَٜنٚ ٢زُٛٓٓ اي٢ٜي٢َُاتٔ إًِِٝٓٝ ََٔٔ ايعٝسدَه٢ ِؼُٝٔهتُُ٘ يٜ ٔ٥٬َ َٚ ِِِٝهًَٜٝ عًَُٞٓٔؿٜ ٟٔٓرَٜ ايُٖٛ
ُّاَٝٔزس
“Dialah yang berselawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya
(dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari
kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada
orang-orang yang beriman.” (QS Al-Ahzaab: 43)
Selawat dari para malaikat bermakna do‘a kepada manusia dan
memohonkan ampunan bagi mereka, sebagaimana disebutkan didalam
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
َٜٔٔر٤ًَٕٔ يُٚطَِتػِؿٔسَٜٚ َٕٔ٘ٔ بَُٛٓٔ٪ِ َُٜٚ ِِ٢َٕٗٔ ٔبشَُِدٔ زَٓبُٛطَٓبٔشُٜ ُِٜ٘يَِٛٔ َسَٚ َيعَسِؽَٕٞ اًُِٛٝٔشَٜ َٜٔٔر٤اي
ِِ٢َٗٔقٚ ٜوًٜٝٔا ضَبَُٛاٖتَبعٚ اَُٛٔ تَابٜٔر٤ًٔؿٔسِ يٞاغُّٜا ؾًٞٔعَٚ ٟ١َُِٕ َزس٤ٌَِٖٞ غَٝضٔعِتَ نٚ ا زَٖبَٓاَُٛٓآ
ِِ٢ٗ٥ٔضَ َِٔٔ آَبأًََِٜ ؾَٚ َُِِٗعَدِتَٚ ٞٔت٤ اي٣ًُِِِٕٗ َدٖٓاتٔ عَدٞٔأدِػَٜٚ زَٖبَٓا٧ ٢ِٝٔيذَشٞعَرَابَ ا
ٕٔر٦َِٛ َٜ َٔات٦ٓٔٝط
ٖ اي٢ َِٔ تَلَٚ َٔات٦ُِٖٔٝٓ ايط٢َٗٔقٚ٨ ُِٝٔيشَهٞصُ اٜ٢يعَصِْٞتَ اٜ أْٜٖو٢ِِ إ٢ٖٗأتٜٓ٢ ُذزَٚ ِِ٢َٗا ٔدٚأ ِشَٜٚ
151 Abdul Muhsin Ibn Hamd Al-Abbad, As-Shalatu Ala Al-Nabi: Fadhluha wa
Kaifiyatuha, Madinah: Majallah Ja’mi’ah Islamiyah, 1394 H, hlm. 47-61
152 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Jala’ul Afham fii Fadhl Al-Shalat Ala Muhammad Khair Al-
Anam, Maktabah Misykah Al-Islamiyah, hlm. 176-182
ُِِنِٓتٝ جَُُاَِٝس
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan
jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id. Berselawatlah untukku karena
selawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud)
Mendapatkan syafa‘at pada hari kiamat
إذَا٢« ٪ٍَُٛٝكٜ ًَََِٜٓضٚ ًَِٜٔ٘ٝ عٝ اهلل٢ًََٜٓٓ ؾَُْٞٔٓ٘ ضَُٔعَ ايَٓبٜ أ،٢يعَافٞ ا٢ِٔ بٚ٢ عَُِس٢َٔعِٔ َعبِدٔ اهللٔ ِب
٢ًَٜٓ ؾٟ٠اًٜؾ
َ ًََٜٓٞ ع٢ًََُْٜٓٓ٘ َِٔ ؾ٢إٜ ؾ،ًََٜٓٞا عًٍَُٛٓٝ ثَُِٓ ؾَٛٝكٜ ا َٔجٌَِ ََاٛٝيٛٝكٜ ؾ،َٕٓٔذ٪َ ُُ ٞضَُٔ ِعتُُِ اي
٢ٌَؾكٜٞ " َِٔٔ أ٪ًَََِٜٓضٚ ًَِٜٔ٘ٝ عٝ اهلل٢ًٍَُٜٓ اهللٔ ؾُٛاٍَ زَضٜ ق٪ٍَاٜ ق٣ِعٚأٜ ٞٔبٜ أ٢ٔ ِب٢ِعٚأٜ َِٔع
،ٝ١ٜؿَعِك
ٓ ٘ٔ ايَٝٔؾٚ ،ٝ١َؿؼٞ َٓ٘ٔ ايَٝٔؾٚ ،َبٔضٝ٘ٔ قَٝٔؾٚ ،َُّ٘ٔ ػًُٔلَ آدٝٔ ؾ،ٔ١َيذُ ُُعُِّٞ اَٜٛ َِِٝٓأَهٜٜأ
ٍََُٛا زَضٜ ٪اٛٝايٜكَٜٓ " ؾًَٜٞ ع٠١َقُِِٚ َعِسٝاتَهًََٜٕٓ ؾ٢إٜ ؾ،ٔ٘ٝٔٔ ؾ٠آًََٜٓ ََٔٔ ايؿًَٜٞا عُٚنجٔسٞ ٜأٜؾ
َٕٓ٢ " إ٪ٍَاٜ ق،َتًَٝٔدِ بَٜقٚ َٞٔٓ ِعٜ - زَِتَ؟٢ أٜ ِدَٜقٚ اُتَٓاًَٜ ؾِٜوًَِٜٝـَ ُتعِسَضُ عٝنٜ َٚ ،ٔاهلل
ُِٖ ث، ٚٞٔ ايٖٓب٢ًَٜ عًَُِّٞؿٜ ُِٖ ث، ًَٜٔ٘ٝٔ ع٤َايجَٖٓاٚ ٔدٔ اهللُِٝٔ بَٔتشٞبِدَأًَِِٜٝٞ ؾٝ أسَدُن٢٤ًَإذَا ؾ
ًَٖٜٞ ع٠١َقَُٚعِس
ٕ َُشَُٖد٢ٍ آ٢ًَٜعَٚ ٕ َُشَُٖد٢ًَٜ عًٌَُِٖٚٗ ؾ٤ اهللٔ اي٢ٍُٛ زَض٢ًَُّٜ عٜ٬َٖايطٚ ٔ اهلل٢ِِٔبط
َُاٜ َُشَُٖدٕ ن٢ٍٰ ا٢ًََٜ عٚ ٕ َُشَُٖد٢ًَٜ عٌَٚيًُِٗٓ ؾِٜا اٛيِٝٛقٝ ٪ٍَاٜ ؟ قٝ٠٬
ٜ ِٖـَ ايؿٝهٜ ٜؾ
.ِْدِٝٔدْ َذَُٝٔ سِٜ َِ أْٖوٖٝٔ ٍ أبِسَا٢ ٰ ا٢ًَٜتَ عَُٞا بَازَنٜ َُشَُٖ ٕد ن٢ٍٰا
“Ka‟ab bin Ujrah berkata, „Dikatakan, Wahai Rasulullah! Adapun (cara
mengucapkan) salam kepadamu, sungguh kami telah mengetahuinya, lalu
bagaimana berselawat kepadamu?” Beliau menjawab, ” Ucapkanlah, ” Ya Allah
berilah rahmat kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad
sebagaimana Engkau telah memberi rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga
Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji lagi Maha Agung.
Dan berilah barakah kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi
Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Nabi Ibrahim
dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji lagi
Maha Agung.”
Ibnu Abi Laili berkata, ―Ka‘ab telah menemuiku dan berkata, ‖
Bukankah aku telah menghadiahi kamu suatu hadiah yang telah
diberikan Rasulullah pada kami?‖ Kami berkata, ―Wahai Rasulullah,
kami telah mengetahui bagaimana (cara mengucapkan) salam kepadamu,
lalu bagaimana berselawat kepadamu?‖ Beliau menjawab, ‖ Ucapkanlah
َِِٜ أْٖوٖٝٔ أبِسَا٢ٍٰ ا٢ًَٜتَ عًََُِٜٝا ؾٜ َُشَُٖدٕ ن٢ٍٰ ا٢ًََٜ عٚ ٕ َُشَُٖد٢ًَٜ عٌَٚيًُِٗٓ ؾٜا
٢ٍٰ ا٢ًَٜنتَ عٞ ََُا بَازٜ َُشَُٖدٕ ن٢ٍٰ ا٢ًََٜ عٚ ٕ َُشَُٖد٢ًَٜ عٞى٢يًُِٗٓ بَازٜ ا.ِْدٝذ
ٔ َ ِْدَُٝٔس
.ِْدٝذ
ٔ َ ِْدَُٝٔ سِٜ َِ أْٖوٖٝٔ أبِسَا
Ya Allah berilah rahmat kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga
Nabi Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi rahmat kepada Nabi
Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji
lagi Maha Agung. Dan berilah barakah kepada Nabi Muhammad dan kepada
keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada
Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Maha
Terpuji lagi Maha Agung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
ٕضعِد
َ ُُِٔ٘ َبػِسُ بٜاٍَ يٜكٜ َعُِٓ٘ ؾَٝ اهللٞٔ زَقٜ٠َ ُعبَاد٢ِٔ ضَعِدٔ ب٢ َذًِٔظ٢َْٔشُِٔ ؾٚ َِ٤ًََضٚ
ًَِٜٔ٘ٝ عٝ اهلل٢٤ًٍَُ اهللٔ ؾِٛ ُاٍَ زَضُٜ٘ ثُِٖ قٞيٜطِأَٜ ُِِْٜٖ٘ يَٜٓا أَُِٖٝٓ َ ت٢َِٖ َست٤ًََضٚ ًَِٜٔ٘ٝ عٝ اهلل٢٤ًَؾ
٢ٍٰ ا٢ًَٜتَ عًََُِٜٝا ؾٜ َُشَُٖدٕ ن٢ٍٰ ا٢ًََٜ عٚ ٕ َُشَُٖد٢ًَٜ عٌَٚيًُِٗٓ ؾِٜا اٛيِٝٛقٜ َِ٤ًََضٚ
َِِٖٝٔ أبِسَا٢ٍٰ ا٢ًَٜنتَ عٞ ََُا بَازٍٜ َُشَُٖدٕ ن٢ ٰ ا٢ًََٜ عٚ ٕ َُشَُٖد٢ًَٜ عٞى٢َبَازٚ .َِِٖٝٔ أبِسَا
٢ٍٰ ا٢ًَٜتَ عًََُِٜٝا ؾَٜتٔ٘ٔ نَٜٓٚ ُذزٚ ٔ٘ٔدَٚ ِاشٜ ٢ًََٜ عٚ ٕ َُشَُٖد٢ًَٜ عٌَٚيًُِٗٓ ؾٜاٍَ اٜ ؟ قِٜوًَٜٝع
ِْدٝذ
ٔ َ ِْدَُٝٔ سٜأْٖو
“Abu Hamid as Sa‟idy Radhiyallahu 'anhu berkata, Para Shahabat bertanya, ”
Wahai Rasulullah bagaimana cara membaca selawat kepadamu?” Jawab Nabi, “
Ya Allah berilah rahmat kepada Nabi Muhammad, para istri dan anak
keturunanya sebagaimana Engkau telah memberi rahmat kepada Nabi Ibrahim
Dan berilah barakah kepada Nabi Muhammad, para istri dan anak
keturunanya, sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Nabi Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji lagi Maha Agung.‖ (HR.
Bukhari dan Muslim)
َٜٔ٢دَاػٔس
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo‟alah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina.” (QS.
Al-Ghafir: 60)
Ayat tersebut menjelaskan pada kita, bahwa setiap do‘a akan
dikabulkan oleh Allah selama do‘a tersebut tidak mengandung unsur
dosa atau pemutusan silaturahmi. Allah mengabulkan do‘a, dengan
melalui 3 (tiga) cara, yaitu: 1) Do‘a yang secara langsung dikabulkan, 2)
Do‘a yang dikabulkan dengan cara digantikan dengan yang lebih baik,
yaitu dengan menyelamatkannya dari marabahaya yang mengancam
jiwanya. 3) Do‘a yang dikabulkan dengan cara ditunda, dan akan
diberikan di akhirat. Hal itu sebagaimana terdapat dalam hadist Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam,
ٕ٠َٛ بٔ َد ِعَُٛدِعٜ ٣ًِِٔاٍَ « َا َِٔٔ َُطٜ ق-ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًؾ- ٖ٢ٕٖٔ ايٖٓبٜدٕ أٝٔ ضَع٢ٔبٜعِٔ أ
َُُ٘تُٛ٘ َد ِعِٜٕ ُت َعذٌَٖ يٜإَٖا أ٢ ٕخٜ٬َ ث٣َإسِد٢ ُ٘ بَٔٗا٤ًُ ايٙاِٜٛأعٜ ٤٫إ٢ ٣ِٔ َزسٝ١َعٝٔٛقٜ ٜ٫َٚ ِِْث٢َٗا إِٝٔظَ ؾٝيٜ
َٗأًِٜ َٔج٤ٛٗفَ َعُِٓ٘ َٔ َٔ ايط٢َؿِسٜ ِٕٜإَٖا أ٢َٚ ٔ٠َ اٯػٔس٢ُٔ٘ ؾَٜ ٖدػٔسََٖا يٜ ِٕٜإَٖا أ٢َٚ
“Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: „Apabila seorang muslim berdo‟a dengan suatu do‟a yang tidak
mengandung unsur dosa atau pemutusan silaturahmi melainkan Allah akan
memberikan kepadanya salah satu dari tiga hal, yaitu; (1) Allah akan
menyegerakan pengabulan do‟anya, atau (2) Allah menjadikannya sebagai
simpanan baginya di akhirat, atau (3) Allah menghilangkan daripadanya
keburukan yang semisalnya.” (HR. Ahmad)
2. Fadhilah berdo‘a
Do‘a memiliki keutamaan dan fadhilah yang amat banyak, yang di
antaranya adalah sebagai berikut:
166 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
a. Do‘a adalah ibadah
ِِٝهٜذبِ ي
ٔ َضت
ِ ٜ أُُِْٞٔٛ ا ِدعٝاٍَ زَبٗهَٜقٚ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo‟alah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al- Ghafir: 60)
b. Do‘a adalah pembuka rahmat
٢ِٔٓعَٜ ّا٦ِٝغ
َ ُ٘٤ًٌَٔ اي٦ض
ُ ََاَٚ ٔ١ََُِابُ اي ٖسسِٛبُٜ٘ أٜؾٔتشَتِ يٝ ٔ٤ِِ بَابُ اي ٗدعَاُٝ٘ َِٔٓهٜؾتٔضَ يٝ َِٔ
ٖٕ٢ إ-ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًؾ- ٔ٘٤ً ٍُ ايُٛاٍَ زَضَٜقٚ ».١َٝيعَأؾٍَٞ اٜطِأُٜ ِِٕٜ٘ٔ َٔ ِٔ أٝيٜ٢ب إ
ٖ َأسٜ
ٔ٤٘ٔ بٔاي ٗدعَا٤ًِِ ٔعبَا َد ايِٝهًَٜٝؾعٜ ٍِ ص٢ َِٜٓ َُِِٜٖٔا يَٚ ٍَعُ َُٖٔا َْ َصِٜٓؿَٜ َ٤اي ٗدعَا
“Barang siapa diantara kalian telah dibukakan baginya pintu do‟a, pasti
dibukakan pula baginya pintu rahmat, dan tidaklah Allah diminta sesuatu
yang Dia berikan lebih Dia senangi dari pada diminta kekuatan. ” Dan
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “sesungguhnya do‟a itu
bermanfaat baik terhadap apa yang terjadi maupun belum terjadi, maka
hendaklah kalian berdo‟a.” (HR. At-Tirmidzi)
c. Do‘a adalah senjata dan kekuatan ruhani
َِٔٔ ٝ١َيعٔؿَابٞٔ اٙٔ َٖرِٕٞ َتًِٗٔو٢ًُِٖٗ إ٤ اي٢ٔٓعَدَِتَٚ ًُِٖٗ آتٔ ََا٤ اي٢َٔٓعَدِتَٚ ََا٢ِْٔذٔصِيًُِٜٖٗ أ٤اي
ٌَٔكبٞ َطت
ِ َُ ََِٜٔ٘دٜ ٘ٔ ََاد٘اَِٚٗتٔـُ بٔسَبٜ ٍََُاشَاٜ ؾ.» ٢٭زِضٜ ا٢ٔ تُ ِعبَدِ ؾٜ٫ ٢ّٜ٬ِض٢ اإل٢ٌِٖٜأ
٢ًَُٜ عٙاٜكٞيٜأُٜ ؾَٙ٤زدَا٢ َأػَرٜ ٜ ؾ٣سٞ بَهُٛبُٜ أٙتَاٜأِٜ٘ٔ ؾُٝ عَِٔ َِٓ ٔهَبُٙ٩زدَا٢ ٜطٜ ضَك٢ٖٔ َست١ًِٜٔكبٞاي
ُٜ٘ضَتذَِبَٓا ي
ِ اٜأ ِزسَُِ ايسٖاسُٔٔنيَ ؾٜ َِْتَٜأٚ َٗ ايكٗسٞٔٓط
ٖ َ ْٜٞٚ زَبُٖ٘ أ٣َذِ َْاد٢بَ إَٜٜٛٗأٚ
٣َسٞذٔنَٚ َِٔٔ ٔعِٓدَْٔاٟ١ًَُُِِِٗ َ َعُِِٗ َزسَِٜٔجَٚ ًُُِٜٖٜ٘ أَِٙٓاَٝآَتٚ ٍّؿَٓا ََا بٔ٘ٔ َِٔٔ قُسٞ َهػٜ ٜؾ
ًَٜٔٔعَابٔدٞٔي
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku),
Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang
Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun
memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada
padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat
gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk
menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS: Al-Anbiya’:
83-84)
d. Do‘a dapat menjauhkan murka Allah
3. Adab-adab berdo‘a
Agar do‘a kita mustajabah, maka hendaklah kita menjaga adab-adab
dalam berdo‘a, yang diantaranya adalah:
a. Membuka do‘a dengan hamdalah dan pujian bagi Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan selawat atas nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.
Sebagaimana hadits fadhalah bin Ubaid: Tatkalah Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam duduk, tiba-tiba masuk seorang laki-laki
lalu berdo‘a: ―Allahumaghfirli warhamni. ‖ Maka Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:
٪ٍ ؾكا٢١ً إذ دػٌ زدٌْ ؾؿٟضًِ قاعداٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ً ٍ اهلل ؾُٛٓا زضٝب
تًٝ إذا ؾ،ًٞٗا املؿٍٜ اهلل" عذًت أٛ ؾكاٍ زض.ازمحينٚ ٞايًِٗ اغؿس ي
زدٌ آػس بعد٢١ً ثِ ؾ." ٘ٓ ثِ ادعًٞ عٌٚؾًٖٛٗ أٖٛ ؾكعدت ؾامحد اهلل مبا
ٙاٚ ادع تُذب (زًٞٗا املؿٜأ: ؾكاهلل ايٓيب،ايٓيب٣ً ع٢ًؾٚ ،ذيو ؾشُد اهلل
)ْٞؾشش٘ ا٭يباٜٛايرتَر
Tatkalah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam duduk, tiba-tiba masuk
seorang laki-laki lalu berdo‟a: “Allahummaghfirli warhamni.” Maka
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Kamu tergesa-gesa
wahai orang yang berdo‟a, jika kamu berdo‟a maka duduklah, lalu ucapkan
pujian kepada Allah dengan sesuatu yang layak bagi-Nya, dan berselawatlah
kepadaku kemudian berdo‟alah. ” Kemudian ada laki-laki lain berdo‟a
setelah itu, ia mengucapkan pujian kepada Allah dan berselawat kepada
nabi, maka nabi bersabda kepadanya:” Wahai orang yang berdo‟a,
berdo‟alah engkau niscaya dikabulkan” (HR: Tirmizi, disahihkan Al-
Bani)
ِزٛٝب ايػَؿ
ُ ٖاٛت ايٖت
َ ِْٜو أ
ٜ ْٖ٢ إٞ
ٖ ًََُٜتبِ عٚ ٢ٞؿٔ ِس يٞ اغَٚزب
“Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau
Maha Penerima taubat dan Maha Pengampun.” (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi)
َٜٔٔعتَدٝب امل
ُ ش
ٔ ُٜٜ٫ َُْ٘ إ٠١َٝػُؿَٚ ِٟ تَكَسُعاٝا زَبَهُٛادع
“Berdo‟alah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.‖
(QS. Al-A’raf: 55)
ٕٛ إْهِ تدع،ٟبا٥ غا٫ٚ ِٕ أؾٛ تدع٫ ِ إْه،ِأْؿطه٣ًا عٛ ازبع،ٗا ايٓاعٜأ
٫ ،ِايهَٛ أ٢ًا عٛ تدع٫ٚ ،ِدن٫ٚ أ٢ًا عٛ تدع٫ٚ ،ِ أْؿطه٢ًا عٛ تدع٫
ُطَتذَاب
ِ ُٜ ٢ْٖٜأٜ ؾ٢ّيشَسَاَٞ بٔا٣ٔرٝغَٚ ًَّْبطُُ٘ سَسَاَٞ َٚ ََّْػِسَبُُ٘ سَسَاٚ ّْعَُُُ٘ سَسَاٛٞ ََٚ
ٜئرَٔيو
“Kemudian Nabi menyebutkan seorang laki-laki yang lusuh lagi kumal
karena lama bepergian mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi
seraya berdo‟a: Ya Rabbi, ya Rabbi (Wahai Tuhanku), sementara
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dagingnya
tumbuh dari yang haram, maka bagaimana mungkin do‟anya bisa
terkabulkan?” (HR. Muslim)
l. Tidak tergesa-gesa dalam berdo‘a
٢ٔبي
ِ ٔطَِتذَٜ ًِِٜٜ ؾ٢ِٚتُ زَبٛدِ دَ َعٜ ٍُ قَٛٝكٝؾٜ ٌََِ ِعذٜ ِِِِٜ ََا يٝ٭سَدٔنٜ ُطتَذَاب
ِ ُٜ
“Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak
tergesa-gesa, yaitu mengatakan: Saya telah berdo‟a kepada Tuhanku tetapi
tidak dikabulkan.” (HR. Bukhari)
m. Berdo‘a dengan khusyu‘ dan yakin bahwa do‘anya pasti akan
dikabulkan
ٜٙ٫ ٣ٌٔاؾٜغ
“Mohonlah kepada Allah sedangkan kamu merasa yakin akan dikabulkan
karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan do‟a dari hati yang
lalai.” (HR. Tirmidzi)
ٟدعًََٓائً ُُتَكٔنيَ إََاَاٜإُٛٓٝ أعٜ٠َسٝأتَٓا قٜ٢ذُزَٚ َ ٔدَٓاٚيَٓا َٔٔ أشٜ زََبَٓا َٖب
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Fur’qan:74)
َازسََُٓآٚ يَٓاٜ اغؿٔسٚ َاعـُ َعٓٓاٚ ٔ٘ٔيَٓا بٜ ٜ١ٜاقٜ طٜ٬َ تَشًَُٔٓآٜ٫َٚ بًَٔٓا زَبَٓآَٜٔ َٔٔ قٜٔر١اي
ََُٖابٛت اي
َ ْ أٜ إَْوٟ١ٜ َزمحٜدُْوًَٜٓٔ يَٓاٜ ََٖبٚ تَٓاًََٜبَٓا بَع َد إذ َٖدٝٝؽ ق٢ تُص٫ٜ زََبَٓا
“Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah
kepada kami rahmat dari sisi engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah
Maha Pemberi (karunia).‖ (QS. Ali-Imran: 8)
َٜٔ٢اؾٔسّٜ ايه٢ٜٛ ايك٢ًََٜاْؿُسَْا عٚ َثَبٔتأقدَآََاٚ َْا٢يف أَس٢ ؾَٓاَٜإضسَاٚ َبَٓاُُْٛيَٓا ذٜ زَبَٓآ اغؿٔس
“Ya Tuhan kami ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang
berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir .” (QS. Ali Imran: 147)
َْٟا َزغَدا٢يَٓا َٔٔ أَسٜ ٤٢ََٖٝٚ ٟ١ٜ َزمحٜدُْوَٜأتَٓا َٔٔ ي٤ زََبَٓآ
“Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisimu dan
sempurnakan bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS.
Al-Kahfi: 10)
٢َاطٔنيٖٝت ايػ
ٔ َِٔٔ ََُٖصَاٜذُ بٔوُٛعٜب أ
ٚ ٖز
“Ya Tuhanku aku berlindung kepada engkau dari bisikan-bisikan setan.” (QS
Al-Mukminun: 97)
ُشطَاب
ٔ ُّٞ ايَٛٝكَِٝٛ َٜ ََٔٓٔني٪ِ ُُ ًَٞٔيٚ ََٖٟائدَٛٔيٚ ٞٔؿٔ ِسيٞزَٖبَٓا اغ
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-
orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS Ibrahim: 41)
٢ب ايٖٓاز
َ َٔقَٓاعَرَاٚ َبَٓاُُْٛيَٓا ذٜ ؿٔ ِسٞاغَْٜٖٓا آَٖٓا ؾ٢زَٖبَٓا إ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala
dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali-Imran: 16)
ِضتُس
ِ ًُِٖٗ ا٤ اي.ٞٔ َايَٚ ًَِٖٜٞٔأٚ ََٟاُِْٝدَٚ ِٜٞٔٓٔ دٞٔ ؾٜ١َٝٔيعَاؾَٞاٚ َٛؿٞ َيعٞ اٜوٝيٜضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
َُِٜٞٔٓٝٔ َِٔ َعٚ ٞٔؿًَََِٞٔٔ ػٚ ََٖٟدٜ ٢ِٔٝ َِٔٔ َبٞٔٓعٞ ؿٜ ًُِِٖٗ اس٤ اي،ٞٔعَاتِٚ َآَِٔٔ َزٚ ،ٞٔزَاتِٛ َع
ََاٜعِدٔىَٚ َٚ ٜ َعِٗدٔى٢ًََْٜا عَٜأٚ ،َْٜا َعبِدُىَٜأٚ ٞٔٓكَتٞ ًَٜ ػ. َِْتٜ أ٤٫إ٢ َٜ٘ي٢ إٜ٫ ِْٞٚتَ زَبًُِٜٖٗ أ٤اي
ِؿٔسٞاغٜ ؾُٞٔ بٔرَِْب٤ُِٛبَٜأٚ ،ًَٖٜٞ عٜ ٔبٔٓعِ َُتٔوٜيوٜ ُ٤ُِٛبٜ أ،ُؾَٓ ِعت
َ ََاٚ َِٔٔ غَسٜذُ ٔبوِٛ ُأعٜ ،ُ ِعتٜٛ ضَت
ِا
٢ٌُِبؼَََٞٔٔ ايٚ ،٢ٌَهطٜ َٞايٚ ٢يعَذِصٞ ََٔٔ اِٜذُ ٔبوٛأ ُعَٜٚ ،٢َٕيشَصَٞاٚ َِٚٗيٞ ََٔٔ اِٜذُ ٔبوٛ ُعٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
.٢ٍسدَاٚ س اي٢ ِٗقٜ َٚ ٢ِٜٖٔ ايد١ًَٔبٜٜ َِٔٔ غٜذُ ٔبوِٛ ُأعَٜٚ ،٢ٔذِب
ُ يَٞاٚ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari duka cita dan kesusahan. Aku
berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, serta dari rasa kikir dan
jiwa pengecut. Aku berlindung kepada-Mu dari cengkraman hutang dan
penindasan manusia.”
٢ٜي٢ إ٢سٜ ايٖٓعٜ٠ ٖرَٜيٚ ،ِٔتَُٛ ٞ َبعِدَ اي٢ِؼٝي َعَٞبَ ِسدَ اٚ ،ٔ٤كَاٜكٞ بَعِدَ اي٢َقٚ ايسٜيوٜٝضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
ِٜذُ بٔوٛأ ُعَٜٚ ٕ١٤ًٕٔ َُك١َٓ ؾِٔتٜ٫َٚ ٕ٠ٔ َُكٔ ٖس٤ قَسٖا٢ِسٝغٜ ٞٔ ؾ،ٜو٥ٔكاٜ ٔ ي٢ٜي٢ إ٢ِمٛػ
ٖ َايٚ ،٢ِِٜ٢سٜهٞ ايٜو٢ٗ ِدَٚ
.ُُٙ َتػِؿٔس٫ٜ ِٟ ذَِْباٚأٜ ١ٟ َ٦ِٝٛٔ َُتبَ ػٞنٜ أِٚ أٜ ،ًَٖٜٞ ع٣َ ِعتَدُٜ ِٚأٜ َٟٔأ ِعتَدٜ ِٚأٜ ،ًَِٜٞظٝ أِٚ ًٜٔ َِ أٞظٜ ِٕ أٜأ
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu keridhaan terhadap keputusan-Mu,
kelapangan hidup setelah mati, kenikmatan memandang wajah-Mu yang mulia
dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu, tidak dalam kesusahan yang
meyedihkan dan tidak dalam cobaan yang menyesatkan. Dan aku berlindung
kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya atau diserang dan berbuat kesalahan
atau dosa yang Engkau tidak ampuni.”
٢امٜكَٚايػٚ ٢ِمٛط
ُ ؿٝ َٞايٚ ٢سٞؿٝيهٞ ََٔٔ اٜذُ ٔبوِٛ ُأعَٜٚ ،ٔ١ََِٓٝايطٖ ٔهٚ ٔ١٤يَٚايرٚ ٔ١ًٜٞيػَؿَٞاٚ ٔ٠َٛط
ِ كٜ ََٞٔٔ اي
ًُِٖٔٗ آت٤ اي،٢ّاٜضِكٜٔ ا٭٤ََٚٞضٚ ٢ّيذُرَاَٞاٚ ٢َِٞايبُهٚ ِٚٗ ََٔٔ ايؿِٜذُ بٔوُٛأعَٜٚ ،ٔ٤َاَٜٚايسٚ ٔ١ََايطٗ ُِعٚ
ٜذُ بٔوِٛ ُعٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤ اي،َٖاٜ٫ِٛ َ َٚ َٗاَٝٗٔيٚ َِْتٜ أ،اَٖا٤ِسُ َِٔ شَنِْٝتَ َػٜ أ،شَناَِّٖاَٚ َاَٖاٛكٞ َِ تٞٔؿطٞ َْ
. يَٗاٜ ب
ُ طَتذَا
ِ ُٜ ٜ٫ ٕ٠َٛ دَ ِعَٚ ػبَع
ِ َتٜ٫ ٣ظَْٞؿٚ ،ؼِػَعَٜ ٜ٫ ٔبًَٜٞقٚ ،عِٜٓؿَٜ ٜ٫ ٣ًَِِٞٔٔٔ ع
“Ya Allah perbaikilah untukku agama-ku, dan lapangkanlah bagiku tempat
kediamanku serta berkahilah untukku rizkiku.”
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keras hati, kelalaian, kehinaan dan
kemiskinan. Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefasikan, pertikaian,
rasa ingin tersohor dan rasa ingin dipandang. Aku berlindung kepada-Mu dari
tuli. Ya Allah karuniakanlah ketaqwaan pada jiwaku dan sucikanlah ia, karena
Engkaulah sebaik-baik dzat yang mensucikannya, Engkaulah Pelindungnya dan
Pemiliknya.”
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat, hati yang
tak khusyu‟, jiwa yang tak puas dan do‟a yang tak terkabulkan.”
ََاٚ َِٔٔ غَسِٜذُ بٔوُٛأعَٜٚ ،ٌُِأعٜ ِِٜ ََا يَِٚٔٔ غَسَٚ ،ًُتَُٞٔ ََا عٚ َِٔٔ غَسِٜذُ بٔوٛ ُعٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
ٜٔوٛؼ
َضَ
ِٕٜ أٜذُ ٔبوِٛ ُأعَٜٚ ٢ََّٗسَٞايٚ ٢يشَسَمَٞاٚ ٢م٢يػَسََٞٔٔ اَٚ َٟٚايتٖ َسدٚ ٢ِّيَٗدٞ ََٔٔ اٜذُ ٔبوِٛ أ ُعٜ ْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
٣َُعٜو َِٔٔ ط
ٜ ِذُ ٔبَٛأ ُعٚ ،ِٟػأٜدِٜتَ يَُٛ أٜ ِٕٜ َِٔٔ أٜذُ ٔبوِٛ أ ُعَٜٚ ِٔتَُٛٞإُ ٔعِٓدَ ايَِٜٖٛٝ ايػٜٞٔٓٛ َتؼَٖبَٜ
َِٔٔ ٜذُ بٔوِٛ ُأعَٜٚ ،ٔ٤َاٚ ِدَٜا٭ٚ ٔ٤َاِٖٛ َٜا٭ٚ ٢ٍ٭عَُِاٜ َاٚ ٢مٜ٬ِ٭ػٜ اٞ ٔسَاتٜ َِٔٔ َُِٓهٜذُ بٔوِٛ ُأعٜ ْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
،َٞٔٗا َعَاغِٝ ٔؾٞٔيت٤َ اَٟاُِْٝ دٞٔؾًِٔضِ يَٜأٚ ،ٟ٢أَِسٜ ٝ١ََُِ عٔؿُٖٛ ٟٔر٤َ ايِِٜٞٔٓٔ دٞٔؾًِٔضِ يًُِٜٖٗ أ٤اي
٢ٌََا ِدعٚ ،٣ِسٝ َػٌٚٝ نٞٔ ؾٞٔ يٟ٠َا َدٜ٢ شٜ٠َاَٝيشٞ ا٢ٌََا ِدعٚ ،َٟٔٗا َعَادِٝيٜ٢ إٞٔيت٤َ اٞٔ آػٔسَتٞٔؾًِٔضِ يَٜأٚ
،ًَٖٜٞ َتِٓؿُسِ عٜ٫َٚ َِْٞٔاِْؿُسٚ ،ًَٖٜٞ ُتعِٔٔ عٜ٫َٚ ٞٚٓ ٔعٜ أٚ زَب،ٍّ غَسٌٚٝ َِٔٔ نٞٔ يٟ١َِتَ زَاسَُٛ ٞاي
ٟ٢ ؾَ ِدزٜ١َُِٝؼ
ٔضَ ًٌَِِٝاضٚ ،ْٞٔد ِدٔيطَاٚ ََضٚ
“Ya Allah, perbaikilah untukku agamaku yang merupakan pelindung segala
urusanku, perbaikilah keadaan duniaku yang merupakan tempat kehidupanku,
perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku. Jadikanlah hidup ini
sebagai tambahan bagiku untuk berbuat segala kebajikan dan jadikanlah
kematian sebagai peristirahatan akhir bagiku dari segala kejahatan.”
“Ya Allah, jadikanlah aku hamba-Mu yang banyak mengingat-Mu, banyak
mensyukuri nikmat-Mu, sangat patuh terhadap perintah-Mu, selalu merendahkan
diri di haribaan-Mu dan senantiasa mengadu dan berserah diri kepada-Mu.”
“Tuhanku, terimalah taubatku, bersihkanlah dosaku, kabulkanlah do‟aku,
kuatkanlah alasanku, tunjukilah hatiku, luruskanlah perkataanku dan
lenyapkanlah keburukan hatiku.”
،ٜسَ ْٔعِ َُٔتوٞ غُهٜيوٜٝضِأَٜأٚ ٔ اي ٗسغِد٢ًَٜ عٜ١َُِٜ٢يعَصَٞاٚ ،٢٭َِسٜ اٞٔ ايجٖبَاتَ ؾٜيوٜٝضِأٜ أٞ ْٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
ًُِِٜ ََا َتع٢ِسٝ َِٔٔ َػٜيوٜٝضِأَٜأٚ ،ٟ ؾَادٔقأَٟيطَاْاٚ ،ُِٟاًَٝٔ ضٟباًٜٞ قٜيوٜٝضِأَٜأٚ ،ٜ ُسطَِٔ ٔعبَادَتٔوَٚ
ٞٔٓ٤َؾٛؾَتٜ ٟ١َٓ ٔؾِتٜ َزدِتَ بٔٔعبَادٔىٜإذَا أ٢َٚ ،َََُٞٔٓتَ ِسسٚ ِٕٞٔ َتػِؿٔسَيَٜأٚ ،َِٔٝ َُطَأنَٞ ُسبٖ ايٚ ٔسَاتٜ ُُِٓهٞاي
،ِٞٔٓتََٚثبٚ ،َٔابِٛسَ ايٖجَٝ َػٚ ،٢ِسَ ايٖٓذَاغٝ َػَٚ ،ٔ٤ِسَ اي ٗدعَاَٝ َػٚ ،ٔ١ٜ َُطِأيِٞسَ ايٝ َػٜوٝيٜضِأٜ أْٞٚ٢ ُِٖٗ إ٤ًاي
،َٞٔات٦ِٝٛٔ َؿٔسِ ػَٞاغٚ ،ٞٔتٜ٬َكبٌِٖ ؾٜ ََتٚ ،ٞٔعِ دَ َزدَاتَٜازِؾٚ ،َُِْٞٔاٜ٢سَكِّلِ إَٚ ،ِٜٞٔٓ٢َاشَٛ ٌَِِّثَكٚ
.ٔ١ٖٓذ
َ يٞ َٔ َٔ ا٢ًُٜيعٞت ا
ٔ ايدٖزَدَاٜيوٜٝضِأَٜأٚ
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu sebaik-baik permintaan, sebai-baik do‟a,
sebaik-baik keberuntungan dan sebaik-baik pahala. Tetapkanlah jejakku,
beratkanlah timbangan kebaikanku, nyatakanlah imanku, tinggikanlah
derajatku, terimalah shalatku dan ampunilah segala kesalahanku. Aku mohon
kepada-Mu derajat yang tinggi dalam surga.”
َسٜٚٗٛ َُتٚ ،ٟ٢ ِشزٚ٢ ََتَكَعٚ ،ٟ٢سٞعَ ذٔنِٜٕ تَسِؾٜ أٜيوٜٝضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤ اي،ٔ١ٖٓذ
َ يٞ ََٔٔ اًُٜٞيعٞتٔ اَٜاي ٖدزَداٚ
.ٔ١ٖٓذ
َ يٞ َٔ َٔ ا٢ًُٜيعٞت ا
ٔ اي ٖدزَدَاٜوٝيٜضِأَٜأٚ ،ٞٔ ذَِْبَٞٔتػِؿٔسَيٚ ،ٞٔسِدٜؿ َٔ ؾ
ٚ ََُتشٚ ًٞٔبٜٞق
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu segala pembuka kebaikan, penutupnya dan
semua yang mendatangkannya, awalnya dan akhirnya, lahirnya dan bathinnya,
dan aku mohon derajat yagn tinggi dalam surga.”
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar Kau tinggikan namaku, Kau hapus
dosaku, Kau sucikan hatiku, dan Kau pelihara kamaluan-ku, serta Kau ampuni
dosaku dan ku mohon kepada-Mu derajat yang tinggi dalam surga.‖
َٞٔؾٚ ٞٔكًٞ َػَٞٔؾٚ ٞٔسِٚ ُزَٞٔؾٚ ٟ٢ بَؿَسَٞٔؾٚ ،ٞٔ ضَ ُِعٞٔ ؾٜى٢ِٕ ُتبَازٜ أٜيوٜٝضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
ٔ اي ٖدزَدَاتٜوٝيٜضِأَٜأٚ ،ٞٔطَٓات
َ كبٌِٖ َسٜ ََتٚ ،ًََُٞٔ عَٞٔؾٚ ََٟاِٝ َشَٞٔؾٚ ًِٖٜٞٔ أَٞٔؾٚ ،ٞٔكًُٝػ
. ٔ١ٖٓذ
َ ٞ َٔ َٔ اي٢ًُٜيعٞا
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar kau limpahkan keberkahan pada
pendengaranku, penglihatanku, jiwaku, bentuk ciptaku dan akhlakku, serta pada
keluargaku, hidupku dan amal perbuatanku. Dan terimalah segala amal
kebajikanku. Dan aku mohon kepada-Mu derajat yang tinggi dalam surga.”
،٢بِؿَازَٜا٭ٚ ِٔبًٛٝٝكٞفَ ايًُِٖٚٗ َُؿَس٤ اي. ِٜٔٓؤٜ د٢ًَٜ عًٞٔبٜٞتِ قٚ ثَب،ٔبِٛ ًٝٝكًٞبَ ايًُِِّٜٖٗ َُك٤اي
ًُِٖٗ٤ اي، ٔ٠َابٔ اٯػٔسٜعَرَٚ َاِْٝٗ ايد٢ِٟأدٔسَِْا َِٔٔ ػٔصَٜٚ ًَِّٗاٝ ن٢زِٛ َُ٭ٝ اٞ ٞٔطِٔ عَأقبََتَٓا ؾ
ٔ ِسًُِٜٖٗ أ٤اي
٢ًََٜاِْؿُسَِْا عٚ ََُٓاًٜٜ َِٔ ظ٢ًَٜأزََْا عٞ ََا ِدعٌَِ ثٚ ،خَ َٖٔٓا٢َازٛيًَٞٗا اََٞادِعٚ ،َتَٓاَِِٝٝأسٜ ٖأتَٓا ََاٛقٝ َٚ
. َ ِسسَ َُُٓاٜ ٜ٫َٚ ٜؾوٝ ؼَاَٜ ٜ٫ َِٔ ٔبَٓاَُُْٛٓا بٔرًَِٜٝ عٞ تُطًَِّط٫ٜ َٚ
“Ya Allah, baikkanlah kesudahan segenap urusan kami, dan lindungilah kami
dari kenistaan hidup di dunia dan siksaan hidup di akhirat. Ya Allah,
karuniailah kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi kami dari
perbuatan durjana, dan karuniailah kami ketaatan kepada-Mu yang dapat
menyampaikan kami ke dalam sorga-Mu. Karuniailah kami keyakinan hati yang
dapat meringankan kami dari aneka cobaan dunia. Limpahkanlah kepada kami
kenikmatan lewat pendengaran kami, penglihatan kami, dan kekuatan kami
selama kami hidup, dan jadikanlah semua itu pewaris dari kami. Jadikanlah
balas dendam kami hanya kepada orang-orang yang menganiaya kami dan
menangkanlah kami terhadap orang-orang yang memusuhi kami. Janganlah
Engkau jadikan dunia ini puncak tujuan kami dan batas pengetahuan kami.
Janganlah Engkau jadikan cobaan kami dalam agama kami. Dan janganlah Kau
beri kekuasaan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu dan tidak mengasihi
kami, dikarenakan dosa-dosa kami.”
186 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ٜ١َ ٬
ٜ َٖايطٚ ،ٍّ بٔسٌٚٝ َِٔٔ نٜ١َُِٝٔٓي َػَٞاٚ ،َِٜٔ َػِؿٔسَٔتو٥عَصَاَٚ ،ِٜ ٔدبَاتٔ زَسِ َُٔتوَُٛ ٜوٝيٜضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
٤٫٢غْ إ٬
ٜ ََٗا ؾِٝٔيَٓا ؾَٜٚ ٜقا٢ زٜيوٜ َٖٞٔ ٔ٠َاٯػٔ َسٚ َاِْٝٗ ايد٢ٔر٥َاٛ َِٔٔ َسٟ١َ سَادٜ٫َٚ ،ُ٘ َتِٝك
َ ٜق
ِٗ ٔبَٗاًَُٝتٚ ٟ٢أَِسٜ ََتذَُِعُ ٔبَٗاٚ ،ًٞٔبٜٞ ٔبَٗا قٟٔ َتِٗد،ٜ َِٔٔ ٔعِٓدٔىٟ١َُِ َزسٜوٝيٜضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
،ًََُٞٔ ٔبَٗا عَِّٞتُصَنٚ ،ٞ٢ِٗدَٚ ضُ ٔبَٗاَُٚٝتَبٚ ٟٔعُ ٔبَٗا غَأٖدَٜتَسِؾٚ ٞٔب٥ٔاٜ ٔبَٗا غٝغََٜتشِؿٚ ،ٞٔغ ِعج
َ
.ٕ٤ِٛض
ُ ٌٚٝ ٔبَٗا َِٔٔ نُُٞٔٓ ََٔتعِؿٚ ،ٞٚٓٔؿَتَٔ َعَٞتَسُدٗ ٔبَٗا ايٚ ،ٟٔ ٔبَٗا ُزغِدُُٞٔٓ ٢ًَُٗٞتٚ
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu rahmat dari-Mu, yang dengannya Kau
tunjuki hatiku, dengannya Kau satukan segala perkaraku, dengannya Kau
kumpulkan urusan-urusanku yang berserakan, dengannya Kau pelihara diriku
dikala ku tiada. Dengannya Kau angkat derajatku dikala aku ada, dengannya
kau cerahkan wajahku, dengannya kau sucikan perbuatanku, dengannya kau
ilhamkan jalanku yang terang, dengannya Kau hindarkan diriku dari segala
cobaan, dan dengannya Kau jaga diriku dari berbagai kejahatan.”
187 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ٜ١ٜكَُٜسَاؾَٚ ،ٔ٤ػَٗدَا
ٗ صٍَ اي٢ َِٓعَٚ ٔ٤طعَدَا
ٗ ِؼَ ايٝ َعَٚ ،ٔ٤كَاٜكَِّٞ ايَٜٛ َِشٛؿٜ ٞ ايٜيوٜٝضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
،ْغ٬
ٜ َِٜتَبعُُ٘ ؾٜ َْٟذَاساٚ ،٣لًُٝ ػ٢ِٔ ُسطٞٔ ؾَُِٟاْاٜ٢َإٚ ٣َُِٕاٜ٢ إٞٔ ؾٟ١ٖؾش
ٔ ٜوٝيٜضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
.َٟاْاٛق
ِ ٢زَٚ ٜ َِٔٓوٟ٠ََػِؿٔ َسٚ ،ٜ َِٔٓوٟ١َٝعَأٔؾَٚ ٜ َِٔٓوٟ١َُِ َزسَٚ
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kebenaran dalam iman, keimanan dalam
akhlak, kesuksesan yang disertai kebahagiann, limpahan rahmat dan keselamatan
serta ampunan dan keridhaan dari-Mu.”
ِٜذُ بٔوٛ ُعٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤ اي،٢ َدزٜكٞقَا بٔايَٚايسٚ ،٢لًٝٝطَٔ اخل
ِ ُسَٚ ،ٔ١٤يعٔؿَٞاٚ ٜ١ٖؿش
ٚ ايٜوٝيٜضِأٜ أْٞٚ٢ًُِٖٗ إ٤اي
٣ِِٝطتَٔك
ِ َُ ط
ٕ ؾٔسَا٢ًَٜ عٕٖٞٚ زَب٢ إ،ٔتَٗاَٝؾ
ٔ ِْتَ آػٔرْ بَٔٓاٜ أ١ٕٖ دَابٌٚٝس نٚ ََِٔٔ غَٚ ،ٞٔؿطٞ َْ سٚ ََِٔٔ غ
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kesehatan, kesucian jiwa, pekerti yang baik,
dan keridhaan hati menghadapi takdir. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari kejahatan diriku dan dari kejahatan setiap yang melata di atas bumi yang
hanya Engkaulah penuntunnya. Sesungguhnya Tuhanku selalu berada di jalan
yang lurus.”
ْ٤َِٞ غِٜوًَٜٝ ع٢ٜؼِؿَٜ ٜ٫َٚ َٞٔتْٜٝٔ٬َعَٚ ُِِٟٚ ضٔسًََِٜتعٚ ،ْٜٞٔ ََها٣ََتَسٚ ،َٞٔ٬
ٜ ٜ َتطَُِعُ نْٜٖو٢ًُِٖٗ إ٤اي
،٢ٌُُِٝرِْٔبٔ ايرٖٔيٞ أِبٔتَٗاٍَ ايِٜوٝيٜ٢ٌُ إ٢ِٗبَتَٜأٚ ،٢ُٔٝٔٔطِ ٔهٞ ايٜ١ٜ َطِأيٜوٝيٜضِأٜ أ،ٔ٘ٔ بٔرَِْبِٜوٝيٜ٢فُ إ٢ ُُ ِعتَسٞاي
. ًِضٚ ٘ؾشبٚ ٘ آي٢ًعٚ دْا حمُدٝ ض٢ً اهلل ع٢ًؾٚ ُُ٘ؿطٝ ِْٜو أ
ٜ يٜ َِٔ َزغَٚ
ا٤ي٢ٔ إ٠َآػٔسَٞايٚ َاِْٝٗ ايد٢أَِسٜ َِٔٔ ِسّاَٝ٘ َػ٤ًٍُ ايَٜطِأٜ ًِِْٔكَٗا َزدٌُْ َُطٝ َٔاؾُٜٛ اٜ يٟ١َطَاعٜ ي٢ًٌِٝ٤ ايٕٖٞٔ ؾ٢إ
ٕ١ًِٜٜٝ ٌٖ يٝو ن
ٜ ٔذَيَٚ ُٖٙاٜ٢ُ إٙاٜٛأ ِعٜ
“Sesungguhnya di waktu malam terdapat suatu saat, tidaklah seorang
muslim mendapati saat itu, lalu dia memohon kebaikan kepada Allah „azza
wajalla baik kebaikan dunia maupun akhirat, kecuali Allah akan
memperkenankannya. Demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR.
Muslim)
Dalam hadist yang lain disebutkan, bahwa waktu malam yang
paling baik bagi seorang hamba adalah pada sepertiga malam terakhir;
190 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
karena pada waktu ini, Allah berada paling dekat dengan hamba-Nya.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
َُِِٔٝيٛكٝ َٜ ٢ِسٝ٭ ٔػٜ حُ اًُٝ ث٢َٜبِكٜ ََِٔٝا ٔسِْٝٗٔ ايد٤ ايطَُٖا٢ٜي٢ٕ إ١ًِٜٝيٜ ٌٖٝ ن٢ََٜتعَايٚ ٍُٜ زَٗبَٓا َتبَازَى٢ِٓصَٜ
ُٜ٘ب ي
َ ِٝٔضتَذ
ِ ٜأٜ ؾٞ
ِ َِْٔٛدِ ُعٜ َِٔ ُٜ٘ؿٔ َس يٞأغٜ ِٜ ؾُْٞٔطَتػِؿٔس
ِ َٜ َِٔ َُ٘ٝٛٔ ِعٝأٜ ؾٞ
ِ ٔٓيٜٝطِأَٜ
“Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam pada sepertiga malam
yang terakhir, kemudian berfirman: “Barang siapa berdo‟a kepada-Ku akan Aku
kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku akan Aku beri, barang siapa
memohon ampun kepadaku akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
2. Qiyamullail dan Tradisi Salafusshalih ( )
٢َٔ ع٠ ََِٓٗاَٚ ٔ٘٤ً اي٢ٜي٢ إ٠١َسِبٝ ق٢ٌِٝ٤ًَاَّ ايٕٖٝ ٔق٢َإٚ ، ِِٝهًِٜقبٜ َبُ ايؿٖأيشٔنيُْٜٖ٘ دَأ٢إٜ ؾ٢ًٌِٝ٤ اي٢َّاِِٝ بٔٔكِٝهًٜٝع
"ٔذطَد
َ ٞٔ اي٢ َٔ ع٤ئًدٖا٠ َس َدََٞٛٚ َٔات٦ٝٚط
ٖ ًٔؿٔ ْرييَٞتَهٚ ، ٢ِِث٢إٞاي
“Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Kerjakanlah Qiyamul Lail sebab
ia merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kamu pada zaman dahulu. Ia
juga merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta‟aala, sebagai
154 Hadits shahih, riwayat Tirmidzi (no. 3579), Abu Dawud (no. 1277), dan An-Nasa’i
(no. 572), dari jalur ‘Amru bin Abasah radhiyallahu’anhu
َُعّاَٜطٚ اِٟؾَٕٛ زَٖبُِِٗ َػَُٛ ِدعٜ ٢َُكَادٔعٞٔ اي٢ َُبُِِٗ عُٛٓ ُد٢َٜتَتذَاؾ
٢ٌٔ٥طا
ٖ ًٓٔ يِِٙ سَل٢َٗأيَِٛأٜ َٞٔؾٚ َُٕٚطَتػِؿٔس
ِ َٜ ُِِٖ ز٢ ضشَا
ِ ٜأَٞبٔايٚ َُِٕٛٗذَعَٜ ََا٢ًٌِٝ٤ا ََٓٔٔ ايًًٟٜٝٔا قُْٛاٜن
٢ُّٚ َُشِسَٞايٚ
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam (karena qiyamullail); Dan di
akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-
harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang
tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzaariyaat: 17-19)
Tradisi qiyamullail tersebut harus kita teladani dan dijaga agar tetap
lestari dan istiqamah. Karena ketika tradisi ini diabaikan, maka yang
terjadi adalah lemahnya jiwa dan mundurnya kekuatan kaum muslimin.
Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam telah
mengingatkan hal itu dalam sabdanya, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin ‗Amr bin al-‗Ash, ia berkata, ―Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam berkata kepadaku:
.٢ًٌِٝ٤َا َّ ايٝى ٔقٜ َؾتَسٜ ٌَ ًِٝ٤ُِّ ايٛكٝ َٜ َٕاٜ ن،٣ٕٜ٬ٝهِٔ َٔجٌَِ ؾٝ َ ت٫ٜ َٔا َعبِدَ اهللٜ
“Wahai 'Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa
mengerjakan shalat malam, sekarang dia meninggal-kan shalat malam.”
(Muttafaq 'alaih)
3. Fadhilah Qiyamullail
Qiyamullail memiliki keutamaan yang banyak dalam Islam,
diantaranya adalah,
اُْٛاٜطٓٔنيَ ن
ٔشِ َُ ٜقبٌَِ ذَئوٜ اُْٛآَُِِْٜٗ ن٢َٔ ََا آتَاُِِٖ زَٓبُُِِٗ إٜٔ آػٔر٣ُٕٛٝ ُعَٚ ٕ َدَٓٓاتٞٔ ُُتَٓكٔنيَ ؾَٕٞٓ اي٢إ
٢ٌٔ٥طَا
ٓ ًِِٔ سَلْٓ ي٢َٗأيَِٛأٜ َٞٔؾٚ َُٕٚطَتػِؿٔس
ِ َٜ ُِِٖ ٢ضشَاز
ِ َبٔا٭ٚ َُٕٛذع
َ َِٜٗ ََا٢ًٌِٜٝٓ ََٔٔ اي٬ًٜٝٔق
٢ُّٚ َُشِسَٞايٚ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (Surga)
dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka
oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang
yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-
akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian.” (Adz-Dzaariyaat: 15-19)
b. Qiyamullail adalah amalan ibadah sunah yang paling afdhal setelah
ibadah fardu
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dia berkata: Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
َٜٔ٢ ايرٖانٔسٞٔنٔتبَا ؾٝ عّاَُٝٔ د٢ِٔٝنعََتٞ َ ز٢٤ًَِ ؾَٜٚا أًٝ٤َؿٜ ؾ٢ٌِٝ٤ًُ٘ َِٔٔ ايًِٜٖٜ اي ٖسدٌُُ أٜغِٜكٜٜإذَا أ٢
َٔايرٖانٔسَاتٚ
“Apabila seorang suami membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua
shalat bersama sebanyak dua raka‟at, maka mereka berdua akan dicatat
َؾبَض
ِ ٜا أ٤ي٢َإٚ ٢ظٞبَ ايٖٓؿٜٝٚا طٟٛٝٔؾبَضَ َْػ
ِ ٜأٜ ؾ٠ َدًٞتِ عُك٤َ اِْش٢٤ًَِٕ ؾ٢إٜ ؾ٠ َدًٞتِ عُك٤َاِْش
َٕاًِٜنطٜ ظ
٢ ٞح ايٖٓؿ
َ َٝٔػب
“Setan mengikat tengkuk kepala seseorang dari kalian saat dia tidur dengan
tiga tali ikatan, dimana pada tiap ikatan tersebut dia meletakkan godaan,
“Kamu mempunyai malam yang sangat panjang maka tidurlah dengan
nyenyak. ” Jika dia bangun dan mengingat Allah maka lepaslah satu tali
ikatan, jika dia berwudhu maka lepaslah tali yang lainnya, dan jika dia
mendirikan shalat maka lepaslah seluruh tali ikatannya sehingga pada pagi
harinya dia akan merasakan semangat dan kesegaran yang menenteramkan
jiwa. Namun bila dia tidak melakukan itu, maka pagi harinya jiwanya
menjadi jelek dan menjadi malas beraktifitas.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
e. Qiyamullail dapat meninggikan derajat di dunia dan di surga
دُُِٛ َٓشٟاَاٜ َكٜ زَٓبُوَِٜب َعجَوٜ ٕٜ أ٢َ َعطٜٓوٜ ي١ٟ ًٜٔؾَت َٗذَٓدِ بٔٔ٘ َْاؾٜ ٢ًٌَِٜٝٓٔ َٔ ايَٚ
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai
suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat
kamu ke tempat yang terpuji.‖ (Qs. al-Isra’: 79)
.َّْاْٝٔ
“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya
terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar. Allah Ta‟ala
menyediakannya bagi orang yang suka memberi makan, melunakkan
perkataan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam pada saat manusia tidur.”
(HR. Thabrani)
4. Qiyamullail dan Kesehatan Jiwa
Sebuah penelitian ilmiah telah membukikan bahwa qiyamullail dapat
membebaskan seseorang dari berbagai penyakit, khususnya penyakit
jiwa. Mohammad Sholeh, dalam Disertasinya yang berjudul “Pengaruh
Shalat Tahajjud terhadap Peningkatan Perubahan Response Ketahanan Tubuh
Imonologik: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi”, mengungkapkan hasil
penelitiannya terhadap 51 siswa SMU Lukmanul Hakim Pondok
Pesantren Hidayatullah Surabaya. Dari 51 siswa hanya 23 yang sanggup
bertahan menjalankan shalat tahajud selama sebulan penuh. Setelah diuji
lagi tinggal 19 siswa yang bertahan shalat tahajud selama dua bulan.
Shalat dimulai pukul 02-00 hingga 3:30 sebanyak 11 rakaat.
Selanjutnya hormon kortisol mereka diukur di tiga laboratorium di
Surabaya, yaitu laboratorium Paramita, Prodia dan Klinika. Hasilnya,
ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin qiyamullail secara
ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak mengamalkan qiyamullail.
Mereka yang rajin dan ikhlas qiyamullail memiliki ketahanan tubuh dan
kemampuan individual untuk menaggulangi masalah-masalah yang
dihadapi dengan stabil. Qiyamullail selain bernilai ibadah, juga sekaligus
sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol
kognisi. Dengan cara memperbaiki persepsi dan motivasi positif yang
٢َٔ ع٠ ََِٓٗاَٚ ٔ٘٤ً اي٢ٜي٢ إ٠١َسِبٝ ق٢ٌِٝ٤ًَاَّ ايٕٖٝ ٔق٢َإٚ ، ِِٝهًِٜقبٜ َبُ ايؿٖأيشٔنيُْٜٖ٘ دَأ٢إٜ ؾ٢ًٌِٝ٤ اي٢َّاِِٝ بٔٔكِٝهًٜٝع
"ٔذطَد
َ ٞٔ اي٢ َٔ ع٤ئًدٖا٠ َس َدََٞٛٚ َٔات٦ٝٚط
ٖ ًٔؿٔ ْرييَٞتَهٚ ، ٢ِِث٢إٞاي
155 Penjelasan lebih lanjut, silahkan baca Mohammad Sholeh, Terapi Salat Tahajjud:
Menyembuhkan Berbagai Penyakit, Penerbit Hikmah Populer, 2007.
إ،َٕسِآٝكٌٞ اي٢ ٓٔزَتَٚ ًَِٜٔ٘ٝشدِ ع٢ ِٜٚأ، اًًٟٜٝٔـِ َُِٔٓ٘ قٝ اِْك٢ٚأٜ ُْٜ٘ٔؿِؿ،اًًٟٜٝٔٓا قٜي٢ٌَِ إًٜٝٓ اي٢ُُِٝ ٓصٌََُٔٓ قَُٞٗا ايَٜٜٓا أٜ
B. Tadabbur Al-Qur‘an
1. Perintah membaca Al-Qur‘an dan istiqamah di dalamnya
Al-Qur`an adalah kalamullah, firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam selama 23
tahun. Ia adalah kitab suci umat Islam yang merupakan sumber
petunjuk dalam beragama dan pembimbing dalam menjalani kehidupan
di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi
setiap muslim untuk selalu berinteraksi aktif dengan al-Qur`an,
menjadikannya sebagai sumber inspirasi, berpikir dan bertindak.
Membaca Al-Qur`an merupakan langkah pertama dalam
berinteraksi dengannya, kemudian diteruskan dengan tadabbur, yaitu
dengan merenungkan dan memahami maknanya sesuai petunjuk salafus
shalih, lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, kemudian
dilanjutkan dengan mengajarkannya.
Di samping itu, kita juga dianjurkan menghapalnya dan menjaga
hapalan tersebut agar jangan terlupakan, karena hal itu merupakan salah
198 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
satu bukti nyata bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berjanji akan menjaga
Al-Qur`an dari perubahan dan penyimpangan seperti kitab-kitab yang
diturunkan sebelumnya. Dan salah satu bukti terjaganya Al-Qur'an
adalah tersimpannya di dada para penghapal al-Qur'an dari berbagai
penjuru dunia, bangsa arah dan ajam (non arab).156
Perintah tersebut, sebagaimana terdapat dalam firman Allah
berikut ini,
ََٔٔ َٕٛٝنٜ ِٕ أٜتُ أ٣أَٔسَٝٚ ٕ٤ِ٢ٌَٗ غُٝ٘ نَٜيٚ سَسََٖٗأٟر٤ٔ اي٠ َدًَٞيبٞٔ اٙٔأ ِعبُدَ َزبٖ َٖرٜ ِٕٜأَٔسِتُ أٝ َُْٖآ٢إ
156 Muhammad Iqbal Ahmad Gazali, Keutamaan Membaca dan Menghafal al-Qur`an,
Pustaka Islamhaose, 2010, hlm. 2
٢ْٓٔ٢ « إ-ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًؾ- ًٍُٜٔ٘ٓ ايُٛاٍَ زَضٜاٍَ قٜ اهلل عٓ٘ ق٢ زق٢َضَُٛ ٢ٔبَٜعِٔ أ
157 Hadist diriwayatkan oleh AL-Darimi, no. 5771, dalam Ali Ibn Sulthon Muhammad
Al-Qari, Mirqat Al Mafatih Syarh Misykat Al Mashabih, Beirut: Dar AL-Fikr, 2002.
158 HR. al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman no. 7226
159 An-Nawawi, At-Tibyan, hlm. 46
ٜيتَوٜ٢ٕٖ َِٓص٢إٜ ؾ.اِْٝٗ ايدٌُٞٔ ؾِٚٓتَ تُسَتُٝا نٌِٜ نٚزَتَٚ ٢َازِتَلٚ ٞسَأٞ أق٪٢ُٕكاٍُ ئؿا ٔسبٔ ايكسآٜ
َُٖا٩َسٞت تَك
َ ِٓنٝ ١َٕٜس آ٢ ٔعِٔٓدَ آػ
“Akan dikatakan kepada para penghafal Al-Qur`an, “Bacalah dan naiklah
ke atas. Bacalah dengan tartil sebagaimana dulu kamu di dunia membacanya
dengan tartil. Karena jenjang kamu (di surga) berada di akhir ayat yang dulu
kamu biasa baca.” (HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh Al-
Albani dalam Shahih Al-Jami’)
c. Membaca satu hurufnya dilipatkan pahalanya menjadi 10 kebaikan,
dan apabila bacaanya di dalam shalat maka pahalanya bertambah
agung.
ً٘ٝ اهلل ع٢ًؾ- ًٍُٜٔ٘ٓ ايُٛاٍَ زَضٍُٜ قَٛٝكٜ ٘ٓ اهلل ع٢دٕ زقُٛٓ٘ٔ بَِٔ َطِعًَٜعِٔ َعبِد اي
ٜ٫ أَِجَأيَٗاٜ ٢ ٔب َعػِسٝ١َٓط
َ َيشَٞاٚ ٠١َٓط
َ ُ٘ بٔ٘ٔ َسًٜٜٓ٘ٔ ؾًٜا َِٔٔ ٔنتَابٔ ايٟ سَسِؾٜسَأٜ « َِٔ ق-ًِضٚ
ِْْ سَسِفََٝٔٚ ّْْ سَسِفٜ٫َٚ ْئـْ سَسِفٜهٔ ِٔ أَٜيٚ ٍُْ امل سسِفٛٝقٜأ
―Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‗anhu berkata: „Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf
dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu
kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak
mengatakan satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan
Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam
kitab Shahih Al Jami’)
.» ٣ٕ ضَُٔا٣ّاٜاتٕ ٔععٜخَ ػًَٔؿٜ٬َ٘ٔ ثٝٔذٔدَ ؾَٜ ًِِٕٜٖٔ٘ٔ أٜ أ٢ٜي٢إذَا َزدَعَ إ٢ ِِٝأسَدُنٜ ُٓشٔبُٜٜأ
ٔخٜ٬َُ٘ َِٔٔ ثِٜسْ يٝتٔ٘ٔ َػٜ٬َ ؾ٢ِِٔ ؾٝأسَدُنٜ َٓٔ٢ٗ ٔبٝسَأَٞكٜ َٕاتٜخُ آٜ٬َجٜاٍَ « ؾٜ ق.ًََِِٓا َْعٞٝق
ََُٕٛسِدٜ ٟ١َْٝٔاًََٜعٚ َٓاُِِٖ ضٔسّٓاٞا ََُٔٓا َزشَقٛٝكِْٜؿَٜأٚ ٜ٠آًَٜا ايؿَُٛاٜقَٜأٚ ًَٜٕٔ٘ٓ ٔنتَابَ ايًَِٛٝتٜ َٜٔٔٓرٜاي
ْزٛٝزْ غَهٛٝؿَُْٜٓ٘ غ٢كًِٔٔ٘ إٜدَُِِٖ َٔ ِٔ ؾٜ٢َصٜٚ َُِِٖزُٛأدٝ ِِ ََُٗٝٔٓؾُٛٝٔي، َزُٛي ِٔ تَبٜ ٠َٟٔتذَاز
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (Al-Qur‟an)
dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka
itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah
menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada
mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)
e. Kenikmatan yang tiada bandingnya
٢ ايَٖٓٗاز٤َآْاٚ ٢ًٌِٝ٤َ اي٤ُِّ بٔ٘ٔ آَْاٛكٝ َٜ َُٛٗؾٜ َٕسِآٝكٞ ايُٝ اهللٙ زَدٌُْ آتَا٢َِٔٝٓ اِث٢ٔ ؾ٤٫إ٢ َ َسطَد٫ٜ
٢ ايَٖٓٗاز٤َ َٜآْاٚ ٢ًٌِٝ٤ اي٤َ ٜ ُ٘ آْاِٝٓؿٔكُٜ َُٛٗؾٜ ٟ٫ ََاٝ اهللُٙ َزدٌُْ آتَاَٚ
ًََِٜٔ٘ٝ عَُٖٛٚ ِٔ٘ٝتََت ِعتَعُ ٔؾَٜٚ َٕسِآٝكٞ ايٝسَأَٞكٜ ٟٔر٤َايٚ ٔظ٠يبَسَ َزٞ ا٢ّهٔسَاٞ اي٢سٜ َعَ ايطٖؿ٢ٕسِآٝكٞأٖسُ بٔايٜامل
ً٘ٝ اهلل ع٢ًٍ اهلل ؾٛ قاٍ زض٪ٍ اهلل عٓ٘ قا٢ زقٟ ا٭غعس٢ضَٛ ٞعٔ أب
بٝطعُٗا طٚ بٝ زحيٗا ط١كسأ ايكسإٓ َجٌ ا٭تسدٜ َٟٔ اير٪ َجٌ امل٪ًِضٚ
، ًٛب سٝطعُٗا طٚ ض هلاٜ ز٫ ٠كسأ ايكسإٓ َجٌ ايتُسٜ ٫ َٟٔ اير٪َجٌ املٚ
ٌَجٚ ، طعُٗا َسٚ بٝ زحيٗا ط١ْكسأ ايكسإٓ َجٌ ايسحياٜ َٟجٌ املٓاؾل ايرٚ
ًَِطٚ ٟايبؼاز
―Dari Abu Musa Al Asy‘ari semoga Allaah meridhoinya berkata:
telah bersabda Rasulullaah: „Perumpamaan orang mu‟min yang membaca
Al Qur‟an seperti buah utrujah (jeruk), baunya harum rasanya lezat, dan
perumpamaan orang mu‟min yang tidak membaca Al Qur‟an seperti Tamroh
(kurma) tidak ada baunya tetapi rasanya manis. Sedang perumpamaan orang
munafiq yang membaca Al Qur‟an separti Rihanah, baunya harum tetapi
rasanya pahit, sedang orang munagiq yang tidak membaca Al Qur‟an seperti
Handholah, tidak ada baunya dan pahit rasanya.” (HR Bukhari dan
Muslim)
i. Tilawah Al-Qur‘an dan Tazkiyatun nafs
Tazkiyatun nafs adalah sebuah sebuah upaya untuk menyucikan
jiwa dari segala hal yang mengotorinya, kemudian menghiasinya dengan
amal shaleh dan sifat-sifat terpuji, agar selalu tunduk dan patuh kepada
Allah demi terwujudnya akhlak al-karimah.160
Dari pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa tazkiyatun nafs
itu pada dasarnya melakukan dua hal. Pertama, menyucikan jiwa kita dari
sifat-sifat (akhlaq) yang buruk/tercela ( ), seperti kufur, nifaq,
riya‘, hasad, ujub, sombong, pemarah, rakus, suka memperturutkan
hawa nafsu, dan sebagainya. Kedua, menghiasinya jiwa yang telah kita
sucikan tersebut dengan sifat-sifat (akhlaq) yang baik/terpuji ( ),
seperti ikhlas, jujur, zuhud, tawakkal, cinta dan kasih sayang, syukur,
sabar, ridha, dan sebagainya.
Tazkiyatun nafs merupakan bagian dari keimanan (sathrul iman).161
Bahkan dalam Al-Qur‘an disebutkan, bahwa tazkiyatun nafs merupakan
kunci keselamatan, dan kebahagiaan. Allah berfirman,
160 Ibrahim Muhammad Ali, Riyadl Al-Insi Fii Tazkiyah Al-Nafs, Aman: Jam’iyyah Al-
Muhafadzah, 2005, hlm. 39, Miqdad Yaljin, Jawanib al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Riyadh: Jami'ah
AIImam, 1997, him. 24
161Ali Ibn Abduh Ibn Syakir Abu Humaidi, Tazkiyah Al-Nafs Fii Al-Islam Wa Fii Falsafah
Al-Uhra, Mekah: Universitas Ummul Qura, 2009, hlm. 13
دَضٖاَٖا
“Demi jiwa dan penyempurnaannya, maka Ia mengilhaminya dengan
keburukan (fujur) dan kebaikan (taqwa), sungguh sangat beruntung orang yang
membersihkannya, dan sangat rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Al-Syams:
7-10)
Adapun hubungan antara tilawah Al-Qur‘an dan tazkiyatun nafs
adalah sangat erat, dimana tilawah Al-Qur‘an adalah bagian dari amalan
yang berfungsi untuk mensucikan jiwa seseorang. Bahkan tilawah Al-
Qur‘an dan tazkiyatun nafs, keduanya adalah tugas yang diemban oleh
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam kepada umatnya, sehingga
hubungan keduannya tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an,surat Al-Jumu‘ah, ayat ke-2:
َ ٔهتَابٞعًَِّ ُُُُِٗ ايَُٜٚ ِِ٢ُِّٗٝصَنَٜٚ َٔ٘ٔاتِِٜ آ٢ًَِٜٗٝ عًِٛٝتَٜ َُِِِٗٓٚ اٟيُٛنيَ زَضَٚٝٚٝأٞ ايٞٔ بَ َعحَ ؾٟٔر٤َ ايُٖٛ
َ ٔهتَابُِٞ ايُٝعًَُُٔٓهَٜٚ ِِٝهُٝٓٔصَنَٜٚ َأتَٓاِِٜ آِٝهًَٜٝ عًَِٛٝتٜ ِِٝ َٔٓٓهٟ٫ُِِٛ زَضٝهًَٝٔٓا ؾَٞأزِضٜ َُاٜن
ؼسبٞت اي
ٔ َِٝيبٞاٜٕ ن٢ سِآٝكْٞ َٔ َٔ اي٧َِِٝؾٔ٘ٔ غٛ َد٢ٔظ ؾ
َ ِٝيٜ ٟٔر٤ ٖٕ اي٢إ
“Sesungguhnya orang yang tidak ada sedikitpun al-Qur`an di dalam
rongganya, ia seperti rumah yang runtuh.”164
BAB IX
PANDUAN SHALAT SUNNAH
162 Hal itu sebagaimana terdapat dalam hadis Muslim dalam kitab Thaharah, bab fadl
al-wudhu, yang berbunyi:
والصدقة برهان، والصالة نور، والحمد هلل تمألن أو تمأل الميزان مابين السموات واألرض، الطهور شطراإليمان
” كل الناس تغدو فبائع نفسه فمعتقها أو موبقها، والقرآن حجة لك أو عليك، والصبر ضياء،Bersuci adalah separuh
keimanan dan Alhamdulillah itu memenuhi timbangan, Subhanallah dan Alhamdulillah itu dapat
memenuhi atau mengisi penuh apa-apa yang ada diantara langit-langit dan bumi. Shalat adalah
cahaya; sedekah adalah tanda keimanan bagi yang memberikannya; sabar adalah cahaya; al-Quran
adalah hujjah untuk kebahagiaanmu – jikalau mengikuti perintah-perintahnya dan menjauhi
larangan-larangannya – dan dapat pula sebagai hujjah atas kemalanganmu – jikalau tidak mengikuti
perintah-perintahnya dan suka melanggar larangan-larangannya. Setiap orang itu pada pagi
harinya menjual dirinya kepada Allah berarti ia memerdekakan dirinya sendiri dari siksa Allah Ta'ala
dan ada yang merusak dirinya sendiri pula karena tidak menginginkan keridhaan Allah Ta'ala. “ (HR.
Muslim)
163Ali Ibn Abduh Ibn Syakir Abu Humaidi, Tazkiyah Al-Nafs Fii Al-Islam Wa Fii Falsafah
Al-Uhra, Mekah: Universitas Ummul Qura, 2009, hlm. 13
164 HR. at-Tirmidzi 2910
165 - Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Pustaka
Islamhouse,2012
َ َب ِعد٢ِٔٝن َعَتٞ َزَٚ َبعِدََٖا٢َِٔٝن َعتٞ َزَٚ ٢عِٗس٥ قبٌَِ ايٜ ٢َِٔٝن َعتٞ َ ز٪ٕنعَاتٜ ََِ َعػَسَ ز٤ًََضٚ
(َتؿل. ٢ؿبِض
ٗ بٌَِ ايٜ ق٢ِٔٝنعََتٞ َزَٚ ٔ٘ٔتِٝ َب٢ٔٔ ؾ٤ئعػَاٞ َبعِدَ ا٢ِٔٝنعََتٞ َزَٚ ٔ٘ٔتَِٝ ب٢ٔملػِسبٔ ؾٜ ٞا
َعًٜطٜ ٜذا٢إَ إٜملطًِ (نٚ. )ٔ٘ٔتِٝ َب٢ٔٔ ؾ١َ ُُعٝجلٞ َبعِدَ ا٢َِٔٝنعَتٞ َزَٚ يَُُٗاٜ ٕ١ََٜاٚز٢ ٢َٔؾٚ )ً٘ٝع
َٔطًِ عٔ عجُإ بٚ ايبؼازٙاٚ (ز.َُ٘ٗأٝ ُِ٘دَتَٜيٚ ٣َِِّٜٛٝبٔ٘ٔ نَُْٛاػَسَزَ َِٔٔ ذِْٝ ٗايد
.)ٕعؿا
“Barang siapa yang berwudu dengan sempurna kemudian shalat dua
rakaat syukur wudhu disertai ikhlash yang tulus (hatinya tidak terganggu oleh
urusan dunia sedikitpun), maka ia diampuni dosanya bagaikan seorang bayi yang
lahir dari perut ibunya.” (HR.Bukhari Muslim)
3. Shalat Tahajud
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
. ِٟداُُٛ ِاَّا َشٜ َكٜ زَٗبوِٜب َعجَوَٜ ِٕٜ أ٢َ َعطٜو٤ ي١ٟ ًٜؾَت َٗذٖدِ بٔٔ٘ َْأؾٜ ٢ًٌَِٜٝٔ َٔ ايَٚ
“Dan pada sebagian malam hari, bertahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Rab-mu mengangkat kamu ke tempat
tertingi.” ( QS. Al-Isra:79)
.َِٕٛكٝ ِٔٓؿُٜ ُِِٖقَٓاََُٖٞٔا َزشَٚ َُٟعاَٜطٚ اِٟؾَِٕٛ زَٖبُِِٗ َػَٛ ِد ُعٜ ٢َُكَادٔعٞٔ اي٢ َُِبُِِٗ عُٛٓ ُد٢َٜتَتذَاؾ
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena banyaak shalat
malam), sedang mereka berdo‟a kepada Rab-nya dengan rasa takut dan penuh
harap.” (QS. Al-Sajdah ayat 6)
Sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam di antarnya:
.٢ٌِٝي٤ف ا
ُ ِٛ َد٪ٍَاٜكٜضَُِ ُع ؟ ؾٌٜ أ٢ ِٝ٤ً اي٣ٗ ٜ أ٪ًِضٚ ً٘ٝ عٖٝ اهلل٢ً ؾ٢ُٝٔٔ ٌَ ايٖٓب٦ض
ُ
Sesungguhnya dari sebagian malam itu ada suatu saat, tidak memohon seorang
hamba kepada suatu kebaikan keciali Allah Subhanahu wa Ta'ala akan
memberinya.”
4. Shalat Taubah
Firman Allah dalam Al-Qur‘an surat al-Tahrim ayat 8:
.سّاِٛ ؿ
ُ َّْ١َِبٛهلل َت
ٔ ا٢ٜي٢ِا إُِٛبٛ ُتِٛ َُٓأٜ َٔ ِٜٔر٤َٗٗاايَٜٜأٜ
ٜطَِتػِؿٔسُ اهللَٜ ُِٖ ث٢ِٔٝن َعَتٞ َ ز٢ًَُِّؿٝؾٜ ُِّٛكٝ َٜ ُِِٖزَ ثُٛٗٛ٤ طُٔ اي
ٔ ُِشٝؾَٜرِْبُ ذَِْبّاٜ ََٕأَِٔ َعبِد
.ُٜ٘هلل ي
ٝ سَاٜؿٜغ٫٤ إ٢
167 (HR. Imam Abu dawud. Sunan Abu Dawud Juz II hlm. 86. Sunan Al Turmudzi, Juz II
hlm. 257. Imam Al-Albani berepndapat bahwa hadits tersebut shahih dalam shahih Abu dawud, Al-
Albani Juz I, hlm. 282).
168 (Aly Al-Shabuny, Tafsir Shafwah al-Tafasir, Dar al-Fiqr, Beirut Ibanon, (tt). Juz III, hlm.
410).
َ٭َِسٜ ٕٖ َٖرَاُِٜ أًِٜنِٓتَ َتعٝ ِٕ٢ًُِٖٗ إ١يٜ أ.ٔبِٛ ُٝ ُّ اي ُػ٬ََأِْتَ عٚ ًُِِٜعٜأٜ٫َٚ ًَُِِٜتَعٚ ُ ٔدزٞقٜأٜ٫َٚ ُ ٔدزٞتَك
)ًٔ٘ٔٔأدَٜٚ ٣ِ ٢أَِسٜ ٌِٔ (عَٔاد٣٢أَِسٜ ٔ١ََعَأقبٚ ِ٢ََٔعَاغٚ َ٣َاُِْٝدَٚ ِ٢ِٜٔٓٔ د٢ِسْ ىلِ ؾٝ َػ....
٢ٔ يٙغَس.... َ ا٭ ََِسٜٕٖ َٖراُِٜ أًِِٜٓتَ تَعِٕٝ ن٢إ٢ٚ .ِٔ٘ٝ ىلٔؾِٞ ثُِٖ بَأزى٢ُٔ يِٙسٚطَٜٚ ٢ُٔ يِٙ ُدزٞاقٜؾ
٢ُٚٓ٘ َعٞؾ٢اؾِسٜأدًٔٔ٘ٔ) ؾَٜٚ ِ٣٢أَِسٜ ٢ٌٔ (آد٣٢أَِسٜ ٔ١َعَأقبَٚ ِ٢ٔ َعَاغَٚ َ٣َاُِْٝدَٚ ٢ِٜٔٓ ٔد٢ٔؾ
٢ًُِٔٓٞٔأسَٜٚ ،ِ٢ٔؼتَازُي
ِ ُُ ِْٞتَ ائِٜ أٝهٜ ؾ،٢ٔؿطٞ َُٓٔيُٙ ِػتَازٜأَِسّا أٜ ًُِِٜأعٜ ٜ٫َٚ ،٢ِٚٓبْ َعٛذ
ُ َِ َشَُٖٛٚ
ٌَٚٝ ن٢ًَ عْٜٖو٢ إ،ٔ٠٭ػٔ َسٜ َاٚ َاَِْٝٗايدٚ ٢ِٜٔٚ ايد٢ٔؾٟ١َأسَُِدَٖٔا عَأقبَٜٚ ٜ ٔعِٓدَى٢زِٛ َُ٭ٝ ا٢ٌَُِأدٜ َ٢ًَع
ِْسٜٔدٜ ق٢ٕ٦ِٝغ
َ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan pengetahuan-Mu.
Aku memohon nasib yang baik kepada-Mu, aku memohon dari karunia-Mu yang
agung, karena Engkau yang Maha Kuasa, sedangkan aku tak kuasa (apapun).
Engkau Yang Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahaui. Engkaulah
169 (Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Dar al-Fiqr, Beirut, Libanon, hdits no. 1384, Juz I
hlam. 441).
) أمحد عٔ ابٔ عُسٙاٚ(ز. ٢ًٌِٝ٤ َاي٠ٜ٬َِا ؾٚتٔ ُسٜأُٜايَٖٓٗأز ؾ٠ٜ٬َِتَسَتِ ؾٚأٜ ٔسب٢ ِملػٜ ُا٠ٜ٬َؾ
Shalat Maghrib adalah witirnya shalat diwaktu siang, maka berwitirlah kamu
pada waktu malam, (HR. Imam Ahmad dari Ibn Umar Radhiyallahu
'anhu)
170
Doa ini adalah doa Abu Hasan Syadszaly. )Syekh ‘Athoillah, Syarah al-Hikam, Al-
Ma’arif, Bandung (tt). Juz I hlm. 89).
٢٤ًَ ثُِٖ ؾ، ُعَ ايػُِٖظًَٝٞٛ ت٢ٖ َستٜسُ اهللَٝرِنٜ َقعَدٜ ُِٖ ث، ٕ١َ دََُاعٞٔ ؾٜ٠يػَدَاٞ ا٢٤ًََِٔ ؾ
"ٟ١َٖ تَاٟ١َٖ تَا١ٟ َٖ تَا، ٕ٠عُُِ َسَٚ ٕ١ٖ َسذ٢أدِسٜ ٜ ُ٘ نٜت ي
ِ َْأٜ ن٢ ِٝن َعَتٞ َز
“Barang siapa shalat Subuh berjama‟ah, lalu duduk berdzikr mengingat
Allah sampai matahari terbit. Setelah itu ia shalat dua rak‟at, maka ia akan
171
(Imam Bukhari, Al-Tajrid al-Shartih/Mukhtashr al-Bukhari, Maktabah al-Yamamah, li
al-Thba’ wa al-Nasyar, Beirut Libaon, Juz II, hadits no. 499 hlm. 159).
172 (Al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin Juz I hlm. 255).
٠١ٜٕ ؾَدَق٠َدٌُِٝٔٗ َتشَٝنٚ ٠١ٜٕ ؾَدَق١َشٝٔ ٌٗ َتطِبٝهٜ ؾ١٠ ِِٜ ؾَدَقٝسَدٔنٜ َٔ ِٔ أ٢ََٜ٬ُ ضٌٚٝ ن٢ًَٜؿبٔضُ ع
ِ ُٜ
٢سٜ ُُِٓهٞ اي٢َْٔ ع٢َِْٗٚ ٠١ٜفٔ ؾَدَقُٚ َُعِسٞأَِسْ بٔايَٜٚ ٠١ٜٕ ؾَدَق٠َبٔريٌٞٗ تَهَٝنٚ ٠١ٜٕ ؾَدَق١ًًٌِٜٝٔٗٗ َتَٝنٚ
٢َكش
ٗ ن ُعَُُٗا َٔ َٔ ايٜ َِسٜ ٢ٕن َعتَاٞ َ زُٜ َِٔٔ ذَٔيو٨٢ذِصَُٜٚ ٠١ٜؾَدَق
“Pada pagi hari setiap persendian kamu harus bersedekah; setiap tasbih
adalah sedekah. Setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan
Laailaahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma‟ruf
adalah sedekah, nahi mungkar juga sedekah dan hal itu bisa terpenuhi oleh dua
rak‟at yang dikerjakannya di waktu Dhuha.” (HR. Muslim)
َُِٖبتٔ٘ٔ ثٛٞ سُؽَ َِٔٔ ُػَٞؿٜ ٢ِْٖؿَتَ َستُٜ٘ ثُِٖ أٜزَ يٚدٝ ََا ق٢٤ًَؿٜ ؾٜ١َيذُ ُُعٞ ا٢َتٜغَتطٌََ ثُِٖ أٞ ا٢َٔ
٣ّٖاٜٜ أ١َٔثٜ٬َكٌَِ ثَٜؾٚ ٣َ٭ػِسٝ ٔ ا١َيذُ ُُعِٞ َٔ اََٝبٚ َُُِ٘ٓٝ٘ ََا َبٜؿٔ َس يَٝ َعَُ٘ غ٢ًَُِّؿٜ
“Barang siapa yang mandi kemudian menghadiri shalat Jum‟at,
sebelumnya ia shalat semampunya, lalu ia diam sampai khatib menyelesaikan
khutbahnya, kemudian ia shalat bersamanya, maka akan diampuni dosa-dosanya
antara Jum‟at yang satu ke Jum‟at berikutnya dengan ditambah tiga hari.” (HR.
Muslim)
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
٢ػذَس
ٖ ت اي
ٔ ََٓأبَٚ َٔايكٖ ِسبٚ ٓ٢ِٜنَٜ ا٭٢ًًَُِٖٗ ع١يٜ أ،َٓاًَِٜٝ َع٫َٚ َٓاِٝيَٜاًُِٖٛٗ َس١أي
173 Hadits berasal dari Abdillah bin Jaed, ia berkata; saya melihat Rasuulah SAW keitka
akan melaksanakan shlat istisqa, beliau pertama kalinya mengahadap kepada para jamaah
(shahabat) lalu memalingkan badannya mengahadap kiblat sambil memohon kepada Allah.
Kemudian beliau membalikan selendangnya, kemudian shalat istisqa dua rakaat sambil
mengeraskan bacaannya”. (Imam Bukhari, Al-Tajrid al-Sharih, hadits no. 522, hlm.167).
174- Kholili Hasib, Fiqhul Khilaf dan Adil dalam Menyikapi Perbedaan,
http://hidayatullah.com
175 - Ibid
176 - Ibid
177 - Ibn Taimiyah, Raf’ al-Malam An Aimmah al-A’lam,
178 - Lihat Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Dar Al-Syuruq, 2011, Ibn Taimiyah, Raf’ul Malam
An Aimmah al-A’lam, Maktabah Waqfiyyah.
179 - Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, Sebab-Sebab Perpecahan Umat dan Cara
Penanggulangannya,Pustaka Islamhouse,2009, hlm.4
D. Solusi Khilafiyah
Solusi dari masalah khilafiyah adalah dengan jalan kembali kepada
tuntunan Allah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
َُٓاتٚٝيَبُٖٞ ُِ ا٤ َٔٔ َبعِدٔ ََا دَاٞاٛٝؿًََٜا ِػتٚ ٞاٛٝسٖقٜ َٔ تَؿٜٔر٤ايٜا نُْٞٛٛٝ تَه٫ٜ َٚ
180 - Ibid
ًٔ٘ٔٝٔضب
َ َِِٔ عٝسٖمَ بٔهٜؾتَؿٜ ٌَ ُا ايطٗبُٞٛ تَٖتٔبع٫ٜ َٚ ُُٙٛاٖتٔبعٜا ؾٟ ُٝٔطتَك
ِ َُ ٕٖٞٔ َٖعرَا ؾٔسَاطَٜأٚ
“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang
lurus, maka ikutilah dia ; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-
Nya.” (QS.Al-An'am : 153)
٢ٖٔ َست٠يػَدَاٞٔ ا٠ٜ٬َِ ؾُٞٔٓتُ ؾَٞكٜ َِ٤ًََضٚ َٔ٘ٔآيٚ ًَِٜٔ٘ٝ عٝ اهلل٢٤ًٍَُِ اهللٔ ؾٛض
ُ َََا شَاٍَ ز
َاِْٝٗازَمَ ايدٜؾ
Terus-menerus Rasulullah shallallahu „alaihi wa alihi wa sallam qunut
pada shalat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.181
Dalil Pendapat Kedua
٢ؿذِسٜ ٔ اي٠ٜ٬َ َسؽُ َِٔٔ ؾَٞؿٜ ٍَُِٔٝ ٔسِٛ َٝكٜ َِ٤ًََضٚ َٔ٘ٔآيٚ ًَِٜٔ٘ٝ عٝ اهلل٢٤ًَِ ٍُ اهللٔ ؾٛض
ُ َإَ زٜن
ٍُِٛكٝ َٜ ُِٖيشَُِدُ ثٞ اٜوَٜيٚ ُ زَبَٖٓاَٙئ َُِٔ سَُٔدٝضَُ٘ ضَُٔعَ اهللٞعُ زَأَٜسِؾٜٚ ُسٚهبٜ َُٜٚ ٔ٠٤َ كٔسَاََٞٔٔ اي
١ٜ َعِِٝ زَٔبٞٔبٜٖاؽَ ِبَٔ أَٝ َعٚ ٣ّ ِبَٔ ٖٔػَاٜ١ًَََُٜضٚ ِٔدَٝٔيٛيِٞدَ ِبَٔ اَٝٔيٛيٜٞ ا٢ِْرًُِٜٖٗ أ٤ئِْٜ ا٥قاٜ َُٖٛ َٚ
ِِ ٢ًًََِٜٗٝٗا عََٞا ِدعٚ َ َُكَس٢ًَٜ عٜتَوٜأَٞطٚ ًُِِٖٗ اغِدُد٤ئَٜ اَِٝٔٓٔ٪ِ َُُٞٔ ََٔٔ ايِٝكعَٔؿ
ِ َطت
ِ ُُ َٞايٚ
ُِٜ٘يٛض
ُ َزَٚ ٜؿتٔ اهلل
َ َ عٜ١ٖٝؿ
َ ُعَٚ ََٕاٛنٞ َذَٚ ٟ٬ِع٢زَٚ ََٕاٝش
ِ ٔي َعِٔيًُِٖٞٗ ا٤يِٜضُـَ اُٜٛ ِٞٔٓط
ٔ نٜ
181 - Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 3/110 no. 4964, Ahmad 3/162,
Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wa Mansukhih
no. 220, Al-Hakim dalam Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Rayah 2/132, Al-Baihaqy 2/201
dan dalam Ash-Shugra ` 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no. 639, Ad-
Daraquthny dalam Sunan -nya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 6/129-130 no. 2127, Ibnul
Jauzy dalam At-Tahqiq no. 689-690 dan Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no. 753, dan Al-Khatib Al-Baghdady
dalam Mudhih Auwan Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/255 dan Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq
1/463.
٘آيٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًٍُ اهلل ؾِٛ ًُـَ زَضَٞتَ ػًِٝ٤َ ؾْٜٖو٢َبتٔ إَٜا أٜ ٪ ِٞٔبًٜتُ ٭ٞٝق
ٔ١ِٜؾٛهٝ َٞبٔايٚ َ اهلل َعُِِِٓٗ ََُٖٗٓاَٞٔ زَقًَٞٔعَٚ ََٕ ُعجَُِاٚ َعَُُسَٚ ٣سِٞ بَهٞٔبَٜأٚ ًِضٚ
.ِْ َُشِدَخِٞٔٓ َبٟٜ "أ٪ ٍَاٜكٜ" ؾ٢ؿذِسٜ اي٢َِٕ يفٛكُُٓتٞ َِا بُْٛاٜهٜ َٔ ؾِٝٔٓض
ٔ َػَُِظ
Saya bertanya kepada ayahku, „ Wahai ayahku, engkau shalat di
belakang Rasulullah shallallahu „ alaihi wa alihi wa sallam dan di
belakang Abu Bakar, „Umar, „Utsman, dan „Ali radhiyallahu „anhum di
sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut
. ِٞٔؾِشَابٜأسَ ٕد َٔ ِٔ أٜ ُِٔ٘ َعٝؿعٜ ِسٜ "ََا أ٪ ٍَاٜ"ظ قََُِٜٓ ُعوٜ ُ"آي ٔهبَس
“Dari Abu Mijlaz, beliau berkata, „ Saya shalat Shubuh bersama Ibnu
„Umar lalu beliau tidak qunut.‟ Maka saya berkata, „ Apakah lanjut
usia yang menahanmu (melakukan qunut)?‟ Ibnu „Umar berkata, „ Saya
tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku.” (HR.Thabrani)
Solusi khilafiyah
Dari perbedaan pendapat diatas, sudah semestinya kita harus
bersikap bijaksana. Jika posisi kita sebagai makmum, sudah sepatutnya
untuk mengikuti imamnya dalam perkara ijtihadiyah ini. Maka jika
imam melakukan qunut, hendaknya dia juga melakukan qunut bersama
imam. Dan jika imam tidak melakukan qunut maka janganlah
melakukan qunut. Dikarenakan Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: ―Imam itu dijadikan untuk diikuti.‖ Dan beliau bersabda:
―Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian.‖ Dan juga telah
shahih dari beliau Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:
―‖Mereka (para imam) shalat untuk kalian, maka jika mereka benar,
maka (pahala itu) untuk kalian dan juga untuk mereka, dan jika mereka
salah, maka (pahala) bagi kalian dan (dosa) atas mereka‖. Adapun
mendahului imam, maka itu tidak diperbolehkan. Maka jika imam
melakukan Qunut, tidak boleh bagi makmum untuk mendahuluinya,
maka dia harus mengikutinya. Inilah sikap yang dipegang oleh para
sahabat dalam menyikapi masalah khilafiyah. Sebagaimana dicontohkan
oleh Abdullah bin Mas‘ud Radhiyallahu 'anhu yang tetap bermakmum di
182- Diriwayatkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no. 1080 dan dalam Al-Kubra no. 667,
Ibnu Majah no. 1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thayalisy no. 1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-
Mushannaf 2/101 no. 6961, Ath-Thahawy 1/249, Ath-Thabarany 8/8177-8179, Ibnu Hibban
sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98,
Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 677-678.
ٔ ايجابت عٖٛ ٖراٚ ،٠٬ يف ايؿ١ًُ جيٗس بايبط٫ ْٕ٘ إىل أٚذٖب آػسٚ
ُ٘٤ً ايٞ
َ ٔعَُُسَ زَقَٚ ٣سٞبَا بَهَٜأٚ َِ٤ًََضٚ ًَُِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ً اي٢٤ًَٖ ؾٞٔ ٖٕ ايٖٓبٜو أ
ٕ ٔ َاي٢ِٔ ب٢َْظَٜع ِٔ أ
}َُٔنيٜيعَايٞب ا
ٚ َ٘ٔ ز٤ًٔيشَُِ ُديٞ بٔ {اٜ٠اًٜٖ َٕ ايؿُٛؿَتٔتشٞ َٜ اُْٛاَٜعَُُِٓٗا ن
“ Dari Anas bin Malik, “ Bahwasanya Nabi Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam dan Abu Bakar, Umar Radhiyallahu „anhuma mereka semua
membuka (bacaan) shalat dengan alhamdulillahirabbil‟alamin.”
(HR.Bukhari)
}َُٔنيٜيعَايٞب ا
ٚ َ٘ٔ ز٤ًٔيشَُِ ُديٞ{ا
“Dari Aisyah ia berkata, “ Bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam membuka bacaan shalat dengan alhamdulillahirabbil
„alamin.” (HR. Ibnu Majah)
Pendapat kedua. Basmalah termasuk ayat dalam surat Al-
Fatihah dan wajib dibaca beserta Al-Fatihah secara keras (jahr)
dalam shalat jahriyyah dan secara sirr dalam shalat sirriyyah.
Pendapat ini menjadi pegangan Imam Asy-Syafi‘i dan
pengikutnya. Di kalangan penganut madzhab Asy-Syafi‘i
terdapat kesepakatan, sebagaimana diterangkan An-Nawawi,
bahwa basmalah termasuk dalam Surat Al-Fatihah tanpa ada
perselisihan.
ٍٚ َٔ ا١ًَ نا١ِٜ آٝ ؾُرٖبٓا إ بطِ اهلل ايسمحٔ ايسس١اَا سهِ املطأي
ٖٛٚ ،٠زٛايطٚ ١ إىل أْ٘ جيٗس بٗا َع ايؿاحت، زمح٘ اهلل،ٞؾرٖب ايػاؾع
ٔ… )تؿطري اب١َٜٚعاٚ ،ابٔ عباعٚ ،ابٔ عُسٚ ،٠سٜ ٖسٛ أب١بٗا َٔ ايؿشاب
(11٧ / 1 – نجري
٢ِٝٔ اي ٖسس٢َُٔ ِ٘ٔ اي ٖسس٤ً اي٢ِِ ٔبطٜسَأٜكٜ ؾٜ٠َِسَٜ ُٖسٞٔبَٜ أ٤زَاَٚ ُتِٝ٤ًَاٍَ ؾٜ ق٢ ُُذُِٔسٞ اي٣َِِٝعِٔ ُْ َع
اٍَ آَٔ َنيٜكٜا ايكٖايِّنيَ} ؾَٜيٚ ِِ٢ًَِٜٗٝبٔ عُٛ َُػِكٞ اي٢ِسٝغٜ { َؼًَٜإذَا ب٢ ٢ٖ َست٢ٕسِآٝكٞ ايّٚٝ بٔأٜسَأٜثُِٖ ق
٢ِٔٝ ائاثََِٓتٞٔع ؾ
٢ ًُٛٝذٞاَّ َٔ ِٔ ايٜإذَا ق٢َٚ ُنبَسٞ ٜ ُ٘ أ٤ًضذَ َد اي
َ َُا٤ًٝ ٍُ نَٛٝكٜٚ َا ٍَ ايٖٓاعُ آَٔنيٜكٜؾ
٢ٍُٛ بٔسَضٟ٠اًَِِٜ ؾٝأغَِبُٗهٜ ٜ يْٞٚ٢ٔ إَٙٔدٝ ٔبٞٔؿطٞ َْ ٟٔر٤َايٚ ٍَاَِٜ ق٤ًَإذَا ض٢َٚ ُنبَسٞ ُٜ٘ أ٤ًاٍَ ايٜق
عُسٚ بهسَٞع أبٚ ًِضٚ ً٘ٝ اهلل ع٢ًت َع ايٓيب ؾًٝعٔ أْظ قاٍ ؾ
ٔ٘٤ً اي٢ٍُِِ ٔبطٛٝقٜٔ أ٠اًٜٖ ايؿَْٞٔا ؾَٜأٚ ٞٔبٜ أٞٔٓاٍَ ضَُٔ َعٜ ق٣ٌ٤ َُػَؿ٢ِٔ٘ٔ ب٤ً َعبِدٔ اي٢َِٔعِٔ اب
أسَدّاٜ َزِِٜ أَٜيٚ ٍَاٜيشَدَخَ قَٞاٚ ٜٖاىٜ٢ٖ َُشِدَخْ إَِٞٓ ُبٟٜ أٞٔاٍَ يٜكٜ ؾ٢ِٝٔ اي ٖسس٢َُٔ ِاي ٖسس
ٞٔيشَدَخُ ؾِٞ٘ٔ اٝيٜ٢ِبػَضَ إٜإَ أَِٜ ن٤ًََضٚ ًَُِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ً اي٢٤ًَ٘ٔ ؾ٤ً اي٢ٍُٛؾِشَابٔ زَ ضَِٜٔٔ أ
236 | Studi Islam II
Fikih Ibadah
ٞٔبٜ َعَ أَٚ َِ٤ًََضٚ ًَُِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ً اي٢٤ًَ ؾِٚٞٔتُ َعَ ايٖٓبًٝ٤َدِ ؾَٜقٚ ٍَاٜ َُِٔٓ٘ قٞٔٓ ِعَٜ ٢ّاًِٜض٢إٞاي
ت
َ ِْٜإذَا أ٢ ًَٗاٞٝا تَكًٜٜيَٗا ؾَٝٛٝكٜ َُِِِٗٓٔ سَدّاٜضَُِعِ أِِٜ أًٜٜ َعَ ُعجَُِإَ ؾَٚ َ َعَ عَُُسَٚ ٣سٞبَه
َُٔنيٜعَايٞب اي
ٚ ٘ٔ َز٤ًٔيشَُِ ُديٞ ٌِ اٝكٜت ؾ
َ ًِٝ٤َؾ
“Dari Abdullah bin Mughaffal ia berkata, “Ayahku mendengar aku
mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, maka ayahku berkata,” Hai
anakku ini termasuk sesuatu yang diada-adakan (muhdats), jauhilah
perkara baru yang diada-adakan (bid‟ah). Ayahku berkata, “ Aku
tidak melihat seorang pun dari sahabat Nabi yang lebih benci kepada
bid‟ah dalam Islam. Sungguh aku telah shalat beserta Nabi Shalallahu
'Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, Usman, maka aku tidak
mendengar seorang pun mengucapkan basmalah, maka janganlah kamu
mengucapkannya. Jika kamu shalat maka bacalah al-hamdulillahi rabbil
„alamin.‖ (Sunan at- Tirmidzi : 1/412, dan ia menghukumi
hadis hasan)
Pendapat keempat. Basmalah dapat dibaca sekali tempo secara
keras dan sekali tempo secara pelan, walau secara sirr dianggap
lebih sering dikerjakan Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.
Pendapat ini dimotori oleh Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya
Zadul Ma‘ad fi Hadyi Khair al-`Ibad : 1/119
ٔ٘ٔ٥ؿاٜ ًُٜ ػ٢ًَٜ عٜ ذَٔيو٢ٜؼِؿَٜٚ سّاَٜضَؿٚ بَدّا سَكَسّاٜٕ ػَُِظَ َسٓاتٕ أ١ًَِٜٜٝيٚ ٣َِّٜٛ ٌٓٝ نٞٔؾ
.قؼُِّا
َ دّا١ًَ َُذٞٔطتَدِع
ِ َٜ
Ibnul Qayyim berkata: “Dahulu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam kadang-kadang mengeraskan lafadz bismillahirrahmanirahim dan
lebih sering tidak membacanya secara keras. Dengan demikian tidak
diragukan lagi bahwa beliau tidak selalu mengeraskan basmalah ketika
shalat lima waktu dalam sehari semalam, baik ketika bermukim ataupun
bepergian. Beliau memperlihatkan hal ini kepada khulafa` rasyidin,
kepada para sahabatnya dan penduduk kota-kota besar. Ini merupakan
hal yang paling mustahil sehingga harus dijelaskan lagi. Untuk membahas
masalah ini rupanya membutuhkan ruang yang berjilid-jilid yang tebal .”
Pendapat ini menggunakan thariqat al-jam‟u wa at-taufiq (metode
mengumpul dan mengkompromikan) dari beberapa dalil yang
berbeda. Metode ini adalah metode yang seyogyanya ditempuh
pertama kali jika menemukan dalil yang sepintas terindikasikan
ta‘arudh atau bertentangan. Di mata ulama kelompok ini, riwayat
yang menjelaskan bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam pernah
mengeraskan bacaan basmalah diakui dan diamalkan, namun
riwayat yang mensirrkan basmalah dianggap lebih kuat dan lebih
sering dilakukan oleh Nabi dan para sahabat. Agar tidak ada
sunnah yang diabaikan atau ditinggalkan, maka diamalkan saja
keduanya.
Pendapat kelima : Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi
Laila dan al-Hakam menurut penuturan al-Qadhi Abu Thayyib
ath-Thabari, bahwa basmalah mau dibaca keras atau pelan itu
sama saja.
ذِٗ َس
َ يٕٖٞ اٜ أ٢ِٜيشَهَٞاٚ ٢ًِٜٝيٜ ٞٔبٜ أ٢ٔٗ َعِٔ اِبٟ٢بَسٛ٤ بٔ ايٝٚٛ٤ ايُٛبٜ أٞٔاقٜكٞ اي٢ٜسَهَٚ
.ْ٤َاٛض
َ ضِسَازَ ٔبَٗا٢إَٞايٚ
.َٗاٝٔؼِؿُٜ ٟ٠ََتَازٚ ، َدِٗسّاٟ٠ بَٔٗا تَا َزٝسَأَٞكٜ َٕاٜ َِ ن٤ًََضٚ ًَُِٜٔ٘ٝ٘ ع٤ً اي٢٤ًَُْٖ٘ ؾٜب أ
ُ َسٞقٜأَٞايٚ
“Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwasanya Nabi
SAW membaca basmalah secara jahr kadang-akadang, dan membaca
dengan pelan di waktu lain.” ( Subul as-Salam : 2/104)
Ulama yang menguatkan pendapat ini di antaranya pada masa
modern ini adalah Syaikh bin Bazz:
ٔيهٚ ، ذيو٢ًدٍ عٜ شّا ؾسحياٝجّا ؾشٜ سد١ًُ ْعًِ يف اجلٗس بايبط٫ٚ
إذا دٗس اإلَاّ بعضٚ ٘ ايٓصاعٝ ؾٞٓبػٜ ٫ٚ ٌٗضٚ اضعٚ ا٭َس يف ذيو
ٕيهٔ ا٭ؾكٌ أٚ ، بأع٬ٖا ؾ٩كسٜ ْٕ٘ أََٛٛعًِ املأٝ ي١ًُ إ بايبطٝا٭س
٫ بأع بريو إ٬إ ؾٝ إٕ ؾعً٘ بعض ا٭س١ٜ اجلٗس٠٬ يف ايؿ١ًُاجلٗس بايبط
ً٘ٝ اهلل ع٢ًٍ اهلل ؾٛ زض١ٓ ٭ٕ ايجابت َٔ ض،ٞ تٓبػ٫ ً٘ٝ ع١َٚإٔ املدا
ِْٗأٚ ،ِٕٝ ببطِ اهلل ايسمحٔ ايسسٚ جيٗس٫ ِْٗٔ أٜ٘ ايساغد٥ػًؿاٚ ًِضٚ
ٞٓبػٜ ٬ ؾ،ُّا٥ٕ بٗا داٚا جيٗسْٛسد أِْٗ ناٜ ًِِ ؾٝبطِ اهلل ايسمحٔ ايسس
٢) املٓتك. بأع بريو٬إ ؾٝ ؾعًٗا بعض ا٭سٛيٚ اجلٗس هلا٢ً ع١َٚاملدا
٣ زأ٣ش ايتعؿب ٭ٛ جي٬ا ؾٝؾ٬َا داّ ا٭َس ػٚ ، ٣اْا أػسٝطس بٗا أسٜٚ
)٠٬ٌ ايؿٛبٜ ٫ إ بٗاٝت٢إٔ عدّ اإلٚ ،كسٜ ٫ٚ ٓؿعٜ إ بٗاٝت٢ إٔ اإل٣أزٚ .
184 - Badrudin Syubki, Rakaat Shalat Tarawih Pendapat Empat Madzhab, Bogor : PUSKI
UIKA
ٜ٬ٜ ؾ،أزَِبعّاٜ ٚ٢ًَُؿٜ ٟ١َنعٜ َ َز٠َ َعػَس٣َإسِد٢ َ٢ًََٖا ع٢ِسٝغٜ ِ٢ٔؾٜ٫َٚ َٕ َز َكَا٢ٔدُ ؾَِٜصٜ َٕاََٜان
٢ٕ َتَٓاََا٢َِِٕٖٝٓٔٝ عٜ َأ١َػ٥َا عَٔاٜ ٪ٍَاِٜتَٔسَ قِٕٛ ُتٜقبٌَِ أٜ ُّتََٓاٍَِٜ اهللٔ أٛض
ُ ََازٜ ُتًٞٝكٜ ؾ.ثّاٜ٬َ ثٚ٢ًَُؿٜ
.٢ًٔبَٜٞٓاُّ قَٜٜ٫َٚ
“Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak menambah shalatnya sebelas
rakaat, baik di bulan ramadhan atau yang lainnya. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam pertama shalat empat rakaat”.Kata Aisyah kepada Abi
Salamah:“Engkau (wahai Abi Salamah) jangan bertanya tentang baik dan
panjangnya shalat Rasulullah empat rakaat itu”. Kemudian Rasulullah shalat lagi
empat rakaat. Kata Aisyah: “Engkau jangan bertanya lagi (hai Abi salamah)
tentang baik dan panjangnya shalat empat rakaat itu”. Kemudian Rasulullah
shalat witir tiga rakaat. Aku (kata Aisyah) bertanya kepada Rasulullah: “Ya
Rasulullah! apakah engkau tidur sebelum witir?” Rasulullah menjawab: “Wahai
Aisyah sesungguhnya kedua mataku tidur, namun hatiku tidak pernah tidur”.
Hadist riwayat Aisyah itu bukan menunjukkan shalat tarawih,
akan tetapi maksudnya shalat qiyamulail atau (mungkin) shalat tahajjud,
karena jika shalat yang delapan rakaat diartikan shalat tarawih, maka
berarti di bulan syawal dan yang lainnya juga, boleh ada shalat tarawih.
Bahkan Syekh Jaenuddin al-Malyabary dalam kitab Fath al-Mu‟in
mengatakan:
.٢َكش
ٗ َايٚ ٢َايعَؿِسٚ ٢عِٗس٥ اي١ٖٔٓض
ُ ٔفٜ٬ٔ ِِ تَؿٔضٖ ٔخبٜأزَِبعّأََِٓٗا يٜ ٢
ٖ ًَِؾًٜٜٛؾ
.اٟكًَُّٜٞٛ٬ٞ ُ٘ َْؿٜت ي
ِ ش
ٖ َ ؾ١٫٢َإٚ اٟإَ عَأَدّاعَأملٜ ِٕ ن٢إ
“Tidak shah shalat tarawih empat rakaat atau lebih dengan satu kali salam, jika
dilakukan dengan sengaja dan mengetahui hukumnya. Dan jika tidak tahu
hukumnya dan tidak sengaja, maka shalat itu menjadi shah seperti shalat sunah
muthlak lainnya.”
Namun perbedaan pendapat ini, hanya dalam bilangan jumlah
rakaat shalat tarawih, bukan perbedaan dalam subtansi shalat qiyamullail
di bulan Ramadhan. Karenanya Imam Taqyuddin al-Subky membuat
kaidah fiqh (ushul fiqh) dalam kitab Jam‘ul Jawami‘:
٢ٔضـَ ِب
ُ ُِٜٛ ٔ١ََٜاٚ ٔز٢ٔاٍَ ؾٜ ق.ٔ١ََُاعٜ اجل٢ًَٔٗا ؾَٜعٜ َعبِدٔ اهللٔ ؾ٢ٔبٜؼتَازُ ٔعِٓدَ أ
ِ ملٝ َاٚ