Para anggota Menwa (wira) di setiap kampus membentuk satuan sebagai salah satu unit
kegiatan kemahasiswaan (UKM). Komandan satuan bertanggungjawab dan melapor
langsung kepada rektor/pimpinan perguruan tinggi. Pembinaan Menwa dilakukan oleh
pembantu rektor bagian kemahasiswaan dengan supervisi dari Angkatan Bersenjata.
• Bintang di kanan atas dihadapan burung garuda dengan sayap kanan 6 (enam) dan
kiri 7 (tujuh), leher 59 dan ekor enam dengan warna kuning emas dan melirik ke
sebelah kanan.
• Di tengah-tengah di depan burung garuda terdapat simbul silang senjata pena
dalam genggaman burung garuda dengan warna putih.
• Pita yang melandasi dengan warna putih dengan tulisan ditengah warna merah “
Widya Castrena Dharma Siddha”.
• Perisai yang menjadi alas warna hitam.
• Mulia
• Berpengetahuan
• Terpelajar
[sunting] Semboyan
Semboyan Resimen Mahasiswa Indonesia adalah "Widya Castrena Dharmasiddha",
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "Penyempurnaan Pengabdian Dengan Ilmu
Pengetahuan dan Ilmu Keprajuritan". Yang dimaksudkan oleh Ilmu Pengetahuan adalah
segala macam cabang keilmuan yang didapat saat menjadi mahasiswa. Hal ini
dipergunakan untuk menempuh jenjang karier, dengan tidak melupakan tujuan utama
melakukan pengabdian pada masyarakat.
[sunting] Sejarah
Tanggal 13 Juni - 14 September 1959 diadakan wajib latih bagi para mahasiswa di Jawa
Barat. Mahasiswa yang memperoleh latihan ini siap mempertahankan home-front dan
bila perlu ikut memanggul senjata ke medan laga. Mahasiswa-mahasiswa walawa
(WAJIB LATIH) dididik di Kodam VI/ Siliwangi dan para walawa diberi hak
mengenakan lambang Siliwangi.
Isi Trikora:
Sejak Trikora bergema maka kewaspadaan nasional makin diperkuat, makin memuncak
sehingga timbul rencana pendidikan perwira cadangan di Perguruan Tinggi.
Berdasarkan dua surat keputusan Pangdam VI Siliwangi, maka oleh pihak Universitas
pada 20 Januari 1962 dibentuk suatu badan koordinasi yang diberi nama Badan Persiapan
Pembentukan Resimen Serba Guna Mahasiswa Dam VI Siliwangi (disingkat BPP)
Resimen Mahasiswa DAM VI/ Siliwangi, beranggotakan :
1. Prof. drg. R. G. Surya Sumantri ( Rektor Unpad) selaku Koordinator
2. Dr. Isrin Nurdin (Pembantu Rektor ITB) selaku Wakil Koordinator I
3. Drs. Kusdarminto (PR Unpar) selaku wakil Koordinator II
4. Major. Moch. Sunarman dari PUS PSYAD pada waktu itu selaku sekretaris.
Pada Februari 1962 diadakan Refreshing Course selama sepuluh minggu di Resimen
Induk Infantri dan dilanjutkan dengan latihan selama 14 hari yang dikenal dengan
sebutan Latihan Pasopati. Pada 20 Mei 1962 anggota Resimen Mahasiswa Angkatan
1959 dilantik oleh Pangdam VI/SLW menjadi bagian organik dari Kodam VI/SLW.
Dalam rencana kerja empat tahunnya tercantumlah pembentukan kader inti dan ini sudah
terlaksana sejak permulaan semester 2 tahun ajaran 1962-1963. termasuk pembentukan
kader inti putri. Mahasiswa/i Jabar (Bandung khususnya) mengikuti Latihan di Bihbul,
tempat penggodokan prajurit-prajurit TNI. (Sekarang Secaba Dam III/ Slw, Bihbul).
Satuan-satuan inti dari Yon mahasiswa dari beberapa universitas dan akademi dikirim ke
tempat ini di bawah asuhan pelatih-pelatih dari RINSIL. 12 Juni 1964 keluarlah Surat
Keputusan Menteri Koordinator Komponen Pertahanan dan Keamanan DR. A.H.
Nasution Jenderal TNI yang mengesahkan Duaja Resimen Mahawarman. Penyerahan
Duaja dilakukan oleh Menko sendiri. Garuda Mahawarman resmi berdiri berdampingan
dengan Harimau Siliwangi.
Sejarah perjuangan pergerakan nasional dimulai sebagai babakan baru dengan lahirnya
gerakan “BOEDI OETOMO” pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIA
Jakarta. BOEDI OETOMO merupakan wadah pergerakan kebangsaan yang kemudian
menentukan perjuangan nasional selanjutnya. Dengan lahirnya gerakan ini, maka terdapat
cara dan kesadaran baru dalam kerangka perjuangan bangsa menghadapi kolonial
Belanda dengan membentuk organisasi berwawasan nasional. Organisasi ini merupakan
salah satu upaya nyata untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dan selanjutnya
terbentuklah berbagai organisasi perjuangan yang lain, seperti Syarikat Dagang Islam,
Indische Partij dan lain sebagainya.
Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1908 mendirikan Indische Verenigde
(VI) yang berubah menjadi Perkoempoelan Indonesia (PI), kemudian pada tahun 1922
berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Sejak itu hingga tahun 1924 PI tegas
menuntut kemerdekaan Indonesia, hingga pada dekade ini, para pemuda mahasiswa
Indonesia yang belajar di luar negeri telah membuka lembaran baru bangsa Indonesia
untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia melalui forum luar negeri.
Menjelang Jepang terpuruk kalah tanpa syarat dalam Perang Dunia II, untuk memperkuat
posisinya di Indonesia, Jepang melatih rakyat dengan latihan kemiliteran. Tidak
ketinggalan pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pasukan pelajar dan mahasiswa yang
dibentuk oleh Jepang disebut dengan “GAKUKOTAI”.
Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 24 Januari 1946 TKR diubah lagi menjadi TRI. Untuk mengikuti kebijakan
Pemerintah ini, pada kesekian kalinya, laskar dan barisan pemuda pelajar dan mahasiswa
mengubah namanya. Nama-nama tersebut menjadi bermacam-macam antara lain: TRIP,
TP, TGP, MOBPEL dan CM.
Pada tanggal 3 Juni 1946, Presiden RI telah mengambil keputusan baru untuk mengubah
TRI menjadi TNI. Keputusan ini dimaksudkan agar dalam satu wilayah negara kesatuan,
yaitu tentara nasional hanya mengenal satu komandan. Dengan demikian maka laskar dan
barisan pejuang melebur menjadi satu dalam TNI. Sementara itu laskar pelajar dan
mahasiswa disatukan dalam wadah yang kemudian dikenal sebagai “Brigade 17/TNI-
Tentara Pelajar”. Peleburan badan-badan perjuangan di kalangan pemuda pelajar dan
mahasiswa ini merupakan manifestasi dari semangat nilai-nilai persatuan dan kesatuan,
kemerdekaan serta cinta tanah air, dalam kadarnya yang lebih tinggi. Semangat berjuang,
berkorban dan militansi untuk mencapai cita-cita luhur dan tinggi, merupakan motivasi
pemuda pelajar dan mahasiswa yang tidak pernah padam hingga sekarang, yaitu dengan
mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional.
Kondisi sosial ekonomi dan politik di dalam negeri sebagai akibat dari pengerahan tenaga
rakyat dalam perang kemerdekaan, dianggap perlu diatur dan ditetapkan dengan Undang-
Undang. Maka dikeluarkanlah UU Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara.
Pada dekade 1950-an, ternyata perjalanan bangsa dan negara ini mengalami banyak
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Pemberontakan demi pemberontakan
terjadi di tengah-tengah perjuangan untuk membangun dirinya. Pemberontakan itu antara
lain DI/TII, pemberontakan Kartosuwiryo dan sebagainya. Pemberontakan meminta
banyak korban dan penderitaan rakyat banyak. Rakyat tidak bisa hidup dengan tenang,
karena situasi tidak aman dan penuh kecemasan.
Memperhatikan kondisi semacam itu, satu tradisi lahir kembali. Para mahasiswa terjun
dalam perjuangan bersenjata untuk ikut serta mempertahankan membela NKRI bersama-
sama ABRI. Sebagai realisasi pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 1954, diselenggarkan
Wajib Latih di kalangan mahasiswa dengan pilot proyek di Bandung pada tanggal 13 Juni
1959, yang kemudian dikenal dengan WALA 59 (Wajib Latih tahun 1959). WALA 59
merupakan batalyon inti mahasiswa yang merupakan cikal bakal Resimen Mahasiswa
sekarang ini. Kemudian disusul Batalyon 17 Mei di Kalimantan Selatan. Bermula dari
itulah, pada masa demokrasi terpimpin dengan politik konfrontasi dalam hubungan luar
negeri, telah menggugah semangat patriotisme dan kebangsaan mahasiswa untuk
mengabdi kepada nusa dan bangsa sebagai sukarelawan. Penyelenggaraan pendidikan
dan latihan kemiliteran selanjutnya dilaksanakan untuk mempersiapkan mahasiswa
sebagai potensi pertahanan dan keamanan negara melalui RINWA (Resimen Induk
Mahasiswa), yang selanjutnya namanya berubah menjadi MENWA (Resimen
Mahasiswa).
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, di mana Menwa memiliki andil yang besar
dalam membantu menegakkan NKRI, maka PKI (Partai Komunis Indonesia) merasakan
ancaman, sehingga pada tanggal 28 September 1965, Ketua PKI D.N. Aidit menuntut
kepada Presiden Soekarno supaya Resimen Mahasiswa yang telah dibentuk di seluruh
Indonesia dibubarkan. Tetapi hal itu tidak berhasil.
Peran Resimen Mahasiswa terus berlanjut dalam bidang Pertahanan Keamanan Negara,
sekalipun tantangan juga semakin besar. Pada masa awal Orde Baru, keterlibatan Menwa
cukup besar dalam penumpasan sisa-sisa G 30 S/PKI, dilanjutkan dengan menjadi bagian
dari Pasukan Kontingen Garuda ke Timur Tengah, operasi teritorial di Timor Timur dan
sebagainya. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dasar kemiliteran untuk
menciptakan kader dan generasi baru bagi Menwa juga terus dilaksanakan.
Di lain pihak, di lingkungan Perguruan Tinggi pada tahun 1968 dikeluarkan keputusan
untuk wajib latih bagi mahasiswa (WALAWA) dan wajib militer bagi mahasiswa
(WAMIL) berdasarkan Keputusan Menhankam Nomor: Kep/B/32/1968 tanggal 14
Februari 1968 tentang Pengesahan Naskah Rencana Realisasi Program Sistem Wajib
Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa. Dilanjutkan operasionalisasinya dengan
Keputusan Bersama Dirjen Dikti dan Kas Kodik Walawa Nomor 2 Tahun 1968 dan
Nomor: Kep/002/SKW-PW/68. Program ini kemudian diganti dengan Pendidikan
Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan (PACAD) pada tahun 1973 (Keputusan
Bersama Menhankam/Pangab dan Menteri P & K Nomor: Kep/B/21/1973 dan Nomor:
0228/U/1973 tanggal 3 Desember 1973 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan
dan Pendidikan Perwira Cadangan di Perguruan Tinggi/Universitas/Akademi). Program
WALAWA ini diikuti oleh seluruh mahasiswa dan berbeda dengan Menwa
keberadaannya.
Pada tahun 1974 Program WALAWA dibubarkan, dan pada tahun 1975 sejalan dengan
perkembangan dan kemajuan penyempurnaan organisasi Menwa terus diupayakan.
Setelah dikeluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Mendikbud dan Mendagri
Nomor: Kep/39/XI/1975, Nomor: 0246 a/U/1975 dan Nomor: 247 Tahun 1975 tanggal
11 November 1975 tentang Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa Dalam Rangka
Mengikutsertakan Rakyat Dalam Pembelaan Negara, disebutkan bahwa Resimen
Mahasiswa dibentuk menurut pembagian wilayah Propinsi Daerah Tingkat I sehingga
berjumlah 27 Resimen Mahasiswa di Indonesia. Sedangkan keanggotaan Menwa adalah
mahasiswa yang telah lulus pendidikan Menwa (latihan dasar kemiliteran) dan Alumni
Walawa.
Masa Reformasi
Pada masa reformasi yang salah satu agendanya adalah penghapusan Dwi Fungsi TNI,
berimbas pada keberadaan Resimen Mahasiswa Indonesia, karena Menwa dianggap
merupakan perpanjangan tangan TNI di lingkungan perguruan tinggi. Kemudian muncul
tuntutan pembubaran Menwa di berbagai perguruan tinggi pada awal tahun 2000, namun
Menwa tetap eksis hingga sekarang.
Menyikapi tuntutan tersebut, para Pimpinan Menwa di berbagai daerah baik Komandan
Satuan maupun Kepala Staf Resimen Mahasiswa mengadakan berbagai koordinasi
tingkat regional dan nasional, antara lain dilaksanakan di Bandung, Yogyakarta, Bali dan
Jakarta.
Para Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan yang dikoordinasikan oleh Dirmawa
Ditjen Dikti Depdiknas juga membentuk tim untuk membahas masalah Menwa dan
mengadakan pertemuan di Yogyakarta, Jakarta dan terakhir di Makassar pada awal
sampai pertengahan tahun 2000.
Pada akhir September 2000 diadakan Rapat Koordinasi antara tim PR III Bidang
Kemahasiswaan dengan seluruh Kepala Staf Resimen Mahasiswa se-Indonesia di Asrama
Haji Pondok Gede, Jakarta Timur yang menghasilkan rancangan Keputusan Bersama 3
Menteri (Menhan, Mendiknas dan Mendagri) yang baru.
Pada tanggal 11 Oktober 2000 diterbitkan Keputusan Bersama Menhan, Mendiknas dan
Mendagri & OtdaNomor: KB/14/M/X/2000, Nomor: 6/U/KB/2000 dan Nomor: 39 A
Tahun 2000 tanggal 11 Oktober 2000 tentang Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen
Mahasiswa. Sebagai penjabaran ketentuan dari KB 3 Menteri tersebut, dikeluarkan
serangkaian surat dari Dirjen terkait dari 3 Departemen Pembina, yakni: Surat Mendagri
& Otda RI Nomor: 188.42/2764/SJ tanggal 23 Nopember 2000 tentang Keputusan
Bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah, Surat Edaran Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 212/D/T/2001 tanggal
19 Januari 2001 tentang Tindakan Keputusan Bersama Tiga Menteri, Surat Telegram
Dirjen Sundaman Dephan RI Nomor: ST/02/I/2001 tanggal 23 Januari 2001 tentang
Kedudukan Resimen Mahasiswa, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan RI Nomor:
ST/03/2001 tanggal 9 Februari 2001, Surat Telegram Dirjen Pothan Dephan RI Nomor:
ST/06/2001 tanggal 18 Juli 2001 dan Surat Dirjen Kesbangpol Depdagri RI Nomor:
340/294.D.III tanggal 28 Januari 2002.
Walaupun arah pembinaan dan pemberdayaan Menwa menjadi kurang optimal dengan
belum terbitnya Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) dari KB 3
Menteri tersebut di atas, pengabdian Menwa terus berlanjut. Salah satunya adalah sebagai
pelopor pembentukan posko relawan kemanusiaan yang dikoordinasikan oleh Dephan RI
untuk bencana Tsunami Aceh pada akhir Desember 2004 sampai dengan pertengahan
2005. Demikian juga ketika terdapat bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006,
Menwa dari berbagai daerah juga mengirimkan relawannya.
Dalam perkembangan terakhir, BAKORNAS CRMI dirasa kurang efektif karena
berbagai kendala teknis. Dan dalam Rakomnas (Rapat Komando Nasional) Resimen
Mahasiswa Indonesia di Jakarta pada tanggal 24-26 Juli 2006 yang dihadiri oleh
pimpinan Komando Resimen Mahasiswa Indonesia tingkat propinsi dan pimpinan
Komandan Satuan Perguruan Tinggi dari seluruh Indonesia, BAKORNAS CRMI di
bubarkan dan dibentuk badan tingkat nasional baru yakni Komando Nasional Resimen
Mahasiswa Indonesia atau disingkat KONAS MENWA INDONESIA, sebagai lembaga
kepemimpinan struktural Menwa di tingkat nasional. Lembaga baru ini kian eksis hingga
saat ini setelah mampu mendorong kembali pelaksanaan latsarmil, dan pendidikan
lanjutan bagi anggota Menwa, serta menghidupkan kembali satuan-satuan Menwa yang
vakum serta membangun Staf Komando Resimen (SKOMEN) Menwa di provinsi-
provinsi baru. KONAS MENWA INDONESIA juga melakukan terobosan baru dengan
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tingkat nasional serta memperkuat aspek
legalitas MENWA Indonesia, antara lain dengan mengeluarkan berbagai Petunjuk
Pelaksanaan (Juklak) seperti Juklak pembinaan dan Perberdayaan Resimen Mahasiswa
Indonesia, Juklak Pendidikan dan Latihan Resimen Mahasiswa Indonesia, Juklak
Peraturan Disiplin Resimen Mahasiswa Indonesia, sambil memproses revisi SKB 3
Menteri menjadi SKB 4 Menteri, termasuk melaksanakan berbagai kegiatan sebagai
mana dituangkan dalam buku profil ini. Hingga saat ini KONAS MENWA INDONESIA
merupakan struktur organisasi tertinggi Resimen Mahasiswa Indonesia dalam hal
koordinasi serta komando organisasi Menwa di tingkat nasional.
2010 22:44
Sebagaimana eksistensi Menwa yang seiring dengan proses perjuangan kebangsaan, yang
dimaksud dengan Pendiri MENWA adalah sebagaimana periodisasi sebagai berikut;
3. Masa Pemerintahan Orde Baru dengan nama MENWA adalah Mendikbud RI, Prof.
DR. Daoed Joesoef dan PANGAB, Jenderal M. Joesoef di tahun 1978 (seiring terbitnya
SKB tiga Menteri tentang Pembinaan Resimen Mahasiswa
4. Masa pemerintahan saat ini, dengan nama Komando Nasional Resimen Mahasiswa
Indonesia (KONAS MENWA Indonesia) didirikan oleh Para Pimpinan Menwa Tingkat
Propinsi dan Tingkat Perguruan Tinggi seluruh Indonesia dalam RAKOMNAS MENWA
Indonesia pada 24-26 Juli 2006 di Jakarta
1. Perisai Segilima
Menggambarkan dasar bernegara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Resimen Mahasiswa berada di bawah naungan ketiga unsur angkatan dan Polri
Di dalam pengabdiannya, wira melakukan keselarasan antara ilmu pengetahuan dan ilmu
keprajuritan.
5. Buku Tulis
6. Semboyan
Ada dua pola pengangkatan komponen cadangan nasional yang umum dilakukan, pertama
adalah enlistment, yaitu pewajiban bagi mereka yang memenuhi syarat kesehatan, dll; dan
cara kedua adalah recruitment melalui pendaftaran secara sukarela. Hal ini berbeda
dengan RUU kita yang mewajibkan seluruh warganegara untuk melakukan military
service, mungkin maksudnya mengikuti pola seperti Israel, yang jika saja dikelola dan
diorganisir dengan baik dan terintegrasi deperti di Israel, dipastikan akan menjadi
kekuatan maha dahsyat yang potensial dan dapat dipergunakan oleh negara sewaktu
waktu jika diperlukan.
Berunsurkan warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana
nasional. Komponen Cadangan terdiri atas Komponen Cadangan Matra Darat, Komponen
Cadangan Matra Laut dan Komponen Cadangan Matra Udara yang dibentuk secara adil
dan merata diseluruh wilayah negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Komponen Cadangan disusun dalam struktur organisasi yang berbentuk satuan
sebagaimana yang berlaku pada masing-masing struktur organisasi Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Sekilas gambar pada acara paparan tentang Suskapin Menwa di Batalyon 302
Makkopassus Cijantung III beberapa waktu yang lalu. Selamat belajar, berlatih dan
berjuang adik adik, tetaplah bersemangat dan bersatu, karena di tanganmu semua masa
depan bangsamu ini berada !
Skep Dewan Korps
Mahawarman
Written by Seli
Thursday, 19 June 2008
KOMANDO RESIMEN MAHASISWA MAHAWARMAN
JAWA BARAT
SURAT KEPUTUSAN
Nomor : SKEP / 185 / A / VI / 2008
Tentang
MEMUTUSKAN
Dengan catatan :
Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat keputusan ini akan
diadakan perubahan/ralat seperlunya.
Ditetapkan di : Bandung
Pada tanggal : 17 Juni 2008
KOMANDAN RESIMEN MAHASISWA
ttd
S. Ketetapan Kongres
Mahawarman
Written by Administrator
Friday, 20 June 2008
SURAT KETETAPAN
NO : 001/KM/VI/2006
MENIMBANG
MENGINGAT
MEMPERHATIKAN
MEMUTUSKAN
Menetapkan,
Ditetapkan di : Bandung
Pada Tanggal : 17 Juni 2006
Pukul : 15.45 WIB
PIMPINAN SIDANG
KONGRES MAHAWARMAN TAHUN 2006
Peran Masyarakat dan Swasta Sebagai Sumber Daya Bangsa Guna Mendukung
Sistem Pertahanan Negara
Written by Ir. Arifin Panigoro
Thursday, 09 July 2009
Gagasan Korps Perwira Cadangan
Merujuk pada pasal itu, jelas bahwa warga masyarakat dan swasta (korporasi) sebagai
sumber daya nasional dilibatkan dalam sistem pertahanan negara, paling tidak sebagai
Komponen Cadangan seperti dimaksud dalam Ayat 6, atau Komponen Pendukung (Ayat
7). Ada pun TNI berperan sebagai Komponen Utamanya (Ayat 5).
Pada bagian penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2002 itu dikatakan bahwa dalam era
globalisasi ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi-informas i sangat
mempengaruhi pola dan bentuk ancaman.
Ancaman atas kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (militer) kini
berkembang menjadi multi-dimensional (militer dan nir-militer) , dengan sumber
ancaman dari dalam dan luar negeri. Ancaman yang bersifat multi-dimensional tersebut
bisa berupa penetrasi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun gangguan
keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran
gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.
Dengan demikian, permasalahan pertahanan menjadi begitu kompleks. TNI sendiri telah
mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan baru itu, antara lain dengan doktrin
Operasi Militer Bukan Perang (Military Operation Other Than War, MOOW), yakni
pengerahan kapasitas militer untuk operasi non-tempur. Toh, jangkauan operasi ini
terbatas. Dengan begitu, tantangan baru ini menuntut tanggung jawab semua instansi yang
terkait, baik instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, bahkan masyarakat luas.
Dalam konteks ini, di mana peran masyarakat dan swasta (lembaga non-pemerintah) ? UU
Nomor 3 Tahun 2002 itu sendiri jelas mengklasifikasikan bala pertahanan negara yang
tergolongkan pada tiga kelompok, yakni Komponen Utama (TNI), Komponen Cadangan
dan Komponen Pendukung. Hal ihwal tentang Komponen Cadangan itu kini sudah
tertuang dalam RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Nasional yang draft
akademisnya telah berada di tangan DPR. Sedangkan Komponen Pendukung belum jelas
betul sosoknya.
Menurut draft yang ada, Komponen Cadangan pertahanan negara itu disiapkan untuk
dikerahkan melalui mobilisasi umum guna meningkatkan kapasitas Komponen Utama
(TNI). Karena mengandung frasa "mobilisasi umum", draft tersebut dikesankan sebagai
RUU Wajib Militer. Sementara itu, RUU yang sama menyebutkan bahwa Komponen
Pendukung adalah sumber daya bangsa yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Dan sementara ini disebut-
sebut bahwa Resimen Mahasiswa masuk dalam kategori Komponen Pendukung ini.
Dengan demikian, untuk pertanyaan di mana peran masyarakat dan swasta dalam sistem
pertahanan negara kita, jawabnya adalah pada Komponen Cadangan dan Komponen
Pendukung.
Namun, yang lebih utama adalah pertanyaan bagaimana pelembagaan dari Komponen
Cadangan dan Komponen Pendukung itu sendiri agar penggunaan sumber daya
pertahanan kita bisa lebih efektif dan efisien. Atau dengan kata lain, lebih ekonomis.
Salah satu pendekatan untuk membangun postur dan kelembagaan yang efektif atas
Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu ialah secara interaktif memadukan
gagasan yang muncul dengan hakekat ancaman terhadap pertahanan itu sendiri. Dan
hakekat ancaman ini pun berubah secara dinamis dari masa ke masa. Di sinilah
pentingnya disusun sebuah Strategic Defense Review (SDR) yang punya kedalaman,
hingga bisa menyentuh profil gangguan pada jangka pendek, menengah maupun jangka
panjang. SDR harus menjadi acuan bagi upaya membangun sistem Komponen Cadangan
dan Komponen Pendukung yang tangguh namun sekaligus ekonomis. Dari situlah
kemudian kita pertanyakan apakah kata kunci "mobilisasi umum" pada RUU Komponen
Cadangan Pertahanan Nasional itu bisa membangun sebuah kekuatan yang efektif. Ini
tentu bisa kita perdebatkan. Tetapi yang jelas, mobilisasi umum akan memakan biaya
besar. Bukankah ongkos besar itu akan lebih baik bila sebagian digunakan untuk
memperkuat kapasitas komponen utama yang ada. Misalnya, untuk kesejahteraan prajurit,
pemeliharaan alutsista, dan pemeliharaan kesamaptaan teknis.
Pemberdayaan Menwa
Ongkos membangun sebuah kekuatan cadangan akan lebih kecil bila kita memanfaatkan
"bahan baku" yang lebih siap pakai. Pengalaman kita selama 50 tahun dengan Resimen
Mahawarman membuktikan bahwa kita seharusnya bisa memetik sumber daya yang lebih
siap pakai untuk keperluan pertahanan negara dari Korps Baret Ungu tersebut. Namun,
sejarah menunjukkan bahwa kita telah menyia-nyiakan kapasitas lebih dari Resimen
Mahasiswa. Padahal kita bisa membayangkan betapa besar sebetulnya manfaat yang bisa
diraih bila para anggota dan alumni Menwa itu diberdayakan secara sistemik dalam upaya
bela negara.
Pada uraian di atas sudah disebutkan bahwa dalam tatanan yang akan dibangun, posisi
anggota Korps Baret Ungu yang mahasiswa aktif maupun para alumninya berada pada
jenjang Komponen Pendukung. Namun, para anggota Resimen Mahasiswa itu bisa kita
tingkatkan kompetensinya untuk memasuki jenjang Komponen Cadangan, melalui suatu
bentuk Korps Pendidikan Perwira Cadangan (Reserve Officer Training Corps, ROTC).
Dalam program ini, ketika anggota menwa lulus dari bangku perguruan tinggi, mereka
bukan saja menyandang gelar sebagai sarjana (S-1), namun lebih dari itu mereka juga
menjadi seorang perwira militer, yaitu Letnan Dua Cadangan. Kita tinggal
mensinkronkan, agar para anggota menwa tersebut mengambil kuliah dan latihan
kemiliteran yang tersistem dalam Satuan Kredit Semester (SKS), sehingga memiliki bekal
pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) sebagai perwira militer. Sedangkan sikap
postur (attitude) sebagai perwira, dibentuk dalam kegiatan sebagai warga Korps, yang
merupakan transformasi kegiatan kemenwaan yang kita lakukan selama ini. Setelah lulus
sebagai perwira, para alumni Menwa yang sekaligus Perwira Cadangan itu akan terjun ke
masyarakat, baik sebagai profesional, wirausaha, pegawai negeri, atau bahkan pekerja
seni misalnya. Tetapi sekaligus mereka pun langsung masuk ke dalam jajaran kekuatan
Komponen Cadangan.
Dalam suasana damai, pekerjaan apa pun yang mereka jalani tak menghilangkan hak dan
kewajiban mereka sebagai anggota satuan Komponen Cadangan. Tentunya dengan
terlebih jauh mengatur kewenangan, hak dan kewajiban mereka, serta kelembagaan yang
akan mengendalikan mereka sebagai bagian dari kekuatan Komponen Cadangan. Dengan
mencetak perwira dari perguruan tinggi itu, yang merupakan peran serta masyarakat yang
nyata dalam pembentukan sumber daya manusia bela negara yang berbasiskan tingkat
kesukarelaan yang tinggi, beban biaya yang harus ditanggung negara juga akan lebih
ringan. Belum lagi, dari aspek kecabangan militer, perwira dari "hasil cetakan" perguruan
tinggi itu akan lebih beragam dan lebih siap menghadapi berbagai aspek perang multi-
dimensional. Di sinilah ada imbal-balik dari segi mutu. Boleh jadi, dari aspek kemiliteran
inti, seperti aspek ke-infantri- an, kualitas perwira cetakan universitas itu mungkin tak
se-‘trengginas’ dari akademi militer. Namun dari segi kecabangannya, mereka bisa
diharapkan akan lebih mumpuni, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diikuti dengan lebih intens oleh dunia perguruan tinggi. Perusahaan-
perusaha an swasta nasional (korporasi nasional), bahkan juga multi-nasional, bisa
berpartisipasi dalam mendidik sumber daya manusia siap pakai ini, dengan skema
beasiswa atau ikatan dinas, misalnya.
Korporasi tidak akan rugi karena ikut mencetak sarjana plus, yang pada saatnya akan
memperkuat jajaran sumber daya manusia mereka. Lulusan universitas yang sekaligus
telah meraih kualifikasi perwira itu jelas akan memiliki kelebihan dibanding sarjana pada
umumnya. Mereka tak hanya telah memiliki bekal intelegensia sesuai disiplin ilmunya,
lebih dari itu mereka juga telah menerima gemblengan nilai-nilai keperwiraan yang akan
diperlukan dalam organisasi apapun. Aspek leadership misalnya. Belum lagi soal disiplin
dan penghormatan atas hirarki. Pihak korporasi akan memperoleh tenaga yang lebih andal
dan bertanggung jawab. Lepas dari soal silang-pendapat domain operasional antara
pertahanan dan keamanan, yang implementasinya adalah pembagian kerja antara TNI dan
Polri, perwira-perwira lulusan perguruan tinggi itu bisa diharapkan akan lebih efektif
dalam menangkal bahaya narkotika, illegal logging, illegal fishing, trafficking, imigran
gelap, perusakan lingkungan dan gangguan-gangguan lainnya yang berbasiskan teknologi
tinggi. Dengan cara pandang yang sama, kelompok-kelompok sumber daya dalam
komponen pendukung, seperti pramuka, hansip, linmas, satpam, organisasi pemuda,
cabang olahraga tertentu, kelompok pencinta alam, bahkan satgas partai, bisa pula
diberdayakan untuk menunjang kekuatan Komponen Cadangan. Mereka bisa difungsikan
sesuai kompetensinya masing-masing, di bawah pimpinan dan pembinaan para perwira
cadangan.
Penutup
Kenyataan bahwa RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional tak kunjung dibahas
di DPR, meskipun draftnya sudah muncul sejak 2005, agaknya itu tak lepas dari
kebimbangan banyak fihak tentang implementasinya bila draft tersebut menjadi undang-
undang. Ada konsekuensi biaya yang besar dan ada pula kerumitan dalam penyusunan
kelembagaannya. Pemberdayaan Menwa dan para alumninya itu tampaknya bisa menjadi
terobosan, di tengah situasi nyata bahwa Komponen Utama pertahanan negera kita cukup
kepayahan menghadapi berbagai gangguan yang mengancam pertahanan nasional kita.
Bila hal tersebut berlangsung berlarut-larut, kedaulatan negara menjadi taruhannya.