Anda di halaman 1dari 20

Pancasila sebagai Satu Kesatuan yang Sistematis, Hirarkis dan

Logis

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Pancasila

Dosen Pengampu:

Bapak Wartono, M.Pd

DISUSUN OLEH :

1. Berlian Putri F (B201913)


2. Dewi Marheningsih (B201918)
3. Gilang Nur F (B201932)
4. Indra Darumurti M (B201940)

Program Studi Keperawatan

Jurusan D3 Keperawatan

STIKES AISYIYAH SURAKARTA 2019


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah Pancasila.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh


dari sempurna dikarenan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan
yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk
saran, masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
dunia pendidikan keperawatan.

Surakarta, November 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................

1.1 Latar Belakang ................................................................................

1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................

1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................

D. Sila sila pancasila sebagai satu kesatuan yang


sistematis, hirarkis, dan logis ..................................................
E. Inti sila sila pancasila ..............................................................
F. Implementasi pancasila sebagai filsafat bangsa
indonesia .................................................................................

BAB III PENUTUP ..............................................................................

1. Kesimpulan............................................................................
2. Saran ......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pancasila dari bahasa Sansekerta terdiri dari dua suku kata yaitu
panca yang berarti lima,dan sila yang berarti dasar. Secara bahasa
pancasila berarti lima dasar. Pancasila sebagai sistem filsafat adalah
satu kesatuan yang saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan guna
mencapai satu tujuan tertentu.
Menurut Notonagoro (1983:59-60) susunan pancasila adalah
hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal. Kalau dilihat dari inti-
isinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat
dalam luasnya isi, tiap-tiap sila yang di belakang sila lainnya
merupakan pengkhususan dari sila-sila yang di mukanya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana kesatuan sila-sila pancasila sebagai satu kesatuan yang
sistematis, hierarkis, dan logis?
2. Apa Inti dari setiap sila-sila pancasila?
3. Bagaimana Implementasi pancasila sebagai filsafat Bangsa Indonesia?
1.3. Tujuan
1.Untuk mendeskripsikan kesatuan sila-sila pancasila sebagai satu
kesatuan yang sistematis, hierarkis, dan logis.
2.Untuk mengetahui inti dari setiap sila-sila pancasila.
3. Untuk mendiskripsikan Implementasi pancasila sebagai filsafat
bangsa indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
D. Sila-sila Pancasila sebagai Satu Kesatuan yang
Sistematis, Hirarkis dan Logis
Notonagoro (1983: 59-60) menjelaskan bahwa susunan
Pancasila adalah hierarchis dan mempunyai bentuk piramidal. Kalau
dilihat dari inti-isinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu
rangkaian tingkat dalam luasnya isi, tiap-tiap sila yang dibelakang sila
lainnya merupakan mengkhususkan dari sila-sila yang dimukanya.
Jika urut-urutan lima sila dianggap memiliki maksud demikian, maka
di antara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada
yang lain, sehingga pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat.
Andai kata urut-urutan itu dipandang sebagai tidak mutlak, di antara
satu sila dengan sila lainnya tidak ada sangkut-pautnya, maka
Pancasila menjadi terpecah belah, oleh karena itu tidak dapat
dipergunakan sebagai suatu dasar kerohanian bagi negara. Tiap-tiap
sila dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga
sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila. Dalam susunan
hierachies dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi basis daripada kemanusiaan (perikemanusiaan), persatuan
Indonesia (kebangsaan), kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan,
ber-persatuan (berkebangsaan), ber-kerakyatan dan ber-keadilan
sosial. Demikian selanjutnya sehingga tiap-tiap sila di dalamnya
mengandung sila lainnya.

Susunan Pancasila yang hierarchis dan memiliki bentuk


piramidal dapat dipahami sebagai berikut:
Susunan dan urut-urutan sila-sila pada Pancasila sebagaimana
yang termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menurut Effendy (1995: 106)
merupakan susunan yang sudah tetap dan mempunyai arti tersendiri,
sehingga tidak boleh diganti, diubah atau diputar-balikkan. Bukan
hanya karena sifat, hakikat dan kedudukan dari Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tidak
boleh diubah, melainkan karena sifat, hakikat dan kedudukan tiap-tiap
sila mengharuskankan urutannya demikian. Susunan dan urutan dari
sila-sila dalam Pancasila itu sudah merupakan suatu kesatuan yang
bulat, yang di depan menjiwai yang ada di belakang serta mempunyai
sifat yang hierarchis dan berbentuk piramidal.

Kesatuan dan kebulatan itu dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang isinya paling


luas, menjiwai dan meliputi sila kedua, ketiga, keempat dan
kelima.
2. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang isinya
lebih sempit, dijiwai dan diliputi oleh sila pertama. Menjiwai
dan meliputi sila ketiga, keempat dan kelima.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, yang isinya lebih sempit lagi,
dijiwai dan diliputi oleh sila pertama dan kedua. Menjiwai dan
meliputi sila keempat dan kelima.
4. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, yang
isinya lebih sempit lagi. dijiwai dan diliputi oleh sila pertama,
kedua dan ketiga. Menjiwai dan meliputi sila kelima.
5. Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang
isinya paling sempit, dijiwai dan diliputi oleh sila pertama,
kedelapan, dan keempat.

Dalam susunan yang demikian, menurut Etfendi (1995: 106-


107) maka sila yang ada di belakangnya merupakan
mengkhususkan dari sila yang ada di mukanya dan oleh karena itu
pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila yang ada di
mukanya. Dengan demikian dapat digunakan bahwa:

1. Sila kelima merupakan pengkhususan dari sila keempat dan


pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila keempat.
2. Sila keempat merupakan pengkhususan dari sila ketiga dan
pelaksanaaannya tergantung pada pelaksanaan sila ketiga.
3. Sila ketiga merupakan pengkhususan dari sila kedua dan
pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila kedua.
4. Sila kedua merupakan pengkhususan dari sila pertama dan
pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila pertama.

Menurut pendapat Muladi (2006: 3) bahwa untuk memahami


perumusan Pancasila secara murni dalam alinea terakhir
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, hal tersebut harus dilihat dalam kerangka keseluruhan
sistem(wholism) dalam keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang masing-masing terkait dan
saling tergantung satu sama lain(interrelatedness) untuk menuju
tujuan akhir (purpose oriented) yang dicita-citakan, yakni
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakekatnya merupakan


sistem filsafat. Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat
pada hakekatnya merupakan satu kesatuan organis. Artinya, antara
sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan
saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam
Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan
dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan
masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa
Indonesia.

E. Inti Sila-sila Pancasila


Notonagoro (1995: 19) menyatakan bahwa isi mutlak dari
pancasila dasar falsafah negara meliputi:

1. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung prinsip bahwa


bangsa indonesia adalah bangsa yang ber-Tultan dan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya masin-
masing serta untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.

2. Sila Kemanusiaan yang mengandung Prinsip pergaulan antara umat


manusia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab untuk
membangun kekeluargaan antar bangsa-bangsa di dunia.

3. Sila kebangsaan mengandung prinsip persatuan Bangsa Indonesia


yang tidak sempit, karena prinsip ini mengandung pengakuan bahwa
setiap bangsa bebas menentukan nasibnya sendiri tanpa campur
tangan satu sama lain.

4. Sila Kerakyatan mengandung prinsip bahwa demokrasi di Indonesia


bukanlah demokrasi yang bersifat totaliter maupun liberal melainkan
berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan.

5. Sila Keadilan sosial yang mengandung prinsip bahwa setiap orang


di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum,
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
1. Inti Sila Pertama Pancasila

Menurut Notonagoro (1983: 60) bahwa di antara lima sila, sila


Ketuhanan Yang Maha Esa yang paling sulit, karena merupakan sila
yang paling banyak menjadi persoalan. Memang di dunia ini terdapat
pendirian dan kepercayaan yang mengenai ketuhanan, lebih-lebih
mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sangat berlain-lainan,
begitu pula keadaannya di negara Indonesia. Maka dari itu dapat
dipertanggungjawabkan untuk mengajukan suatu pendapat tentang isi
arti sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak terikat kepada bentuk
Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertentu, akan tetapi tidak
memperkosa inti dari arti dan istilah sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
dengan lain perkataan batas-batas dari isi intinya harus cukup luas
untuk dapat menempatkan semua agama dan kepercayaan di
dalamnya.

Sesuai dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, negara


menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya. Dalam melaksanakan kemerdekaan beragama ini
negara menghendaki adanya toleransi dari para pemeluk agama,
sehingga tidak akan membenarkan adanya pemaksaan suatu agama
kepada orang lain. Pemerintah juga harus selalu membimbing dan
mengarahkan segenap warga negara dan penduduk untuk selalu
mengamalkan ajaran agama yang di peluknya, serta memberikan
kebebasan kepada setiap penduduk Indonesia untuk mengembangkan
agamanya tanpa mengganggu hak dan kebebasan pemeluk agama
lainnya (Effendi. 1995 39).

Bung Karno dalam pidatonya di depan BPUPKI I tanggal 1 Juni


1945 menegaskan bahwa prinsip Ketuhanan bukan saja bangsa
Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknva
bertuhan-tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa Al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi
Muhammad saw, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab
kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tidak
“egoisme agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang
ber-Tuhan. Bung Karno juga mengajak mengamalkan agama,
menjalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban, yakni dengan hormat-menghormati satu sama lain. Nabi
Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang
menghormati agama-agama lain. Nabi lsa pun telah menunjukkan
tentang menghormati agama agama lain (Ana, Singgih Hawibowo dan
Agus Walhyudi, 2006: 112).

Pada masa Orde Baru, telah ditetapkan Ekaprasetya Pancakarsa/


Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tap MPR No.
11/MPR/1978, Ketetapan MPR ini telah dicabut) yang intinya bahwa
berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing
masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap


hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan
penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu
dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan
berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa


adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan
Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya, maka
dikembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan tidak
memaksakan suatu agama dan kepencayaan itu kepada orang lain.

Negara tidak memaksa agama atau suatu kepercayaan kepada Tuhan


Yang Maha Esa, sebab agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa itu berdasarkan keyakinan hingga tidak dapat dipaksakan.
Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sendiri tidak
memaksa kepada manusia untuk memeluk dan menganutnya.

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, memberikan


pedoman kepada Bangsa Indonesia untuk mengamalkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai berikut:

a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap


Tuhan Yang Maha Esa

b. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha


Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

c. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama


antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda beda
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

d. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan


kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

e. Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah


masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa yang dipercayai dan di yakininya.

f. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan


ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing

g. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan


Yang Maha Esa kepada orang lain.

2. Inti Sila Kedua Pancasila

Dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia


diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang
sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-
bedakan suku keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial warna kulit dan sebagainya. Karena itu
dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia sikap tenggang
rasa dan tepa selira, serts sikap tidak semena-mena terhadap orang
lain.

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tingg


nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan
kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar
bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa
dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu
dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan
bangsa-bangsa lain.

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, memberikan


pedoman kepada Bangsa Indonesia untuk mengamalkan sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai berikut:

a. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan


martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa

b. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi


setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama,
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya.

c. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia

d. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.

e. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain

f. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

g. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

h. Berani membela kebenaran dan keadilan

i. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat


manusia.
j. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama
dengan bangsa lain.

Sila kedua ini menghendaki agar negara mengakui adanya hak


dan kewajiban yang sama pada setiap warga negara Indonesia, dan
mengharuskan kepada negara untuk memperlakukan manusia
Indonesia dan manusia lainnya secara adil dan tidak sewenang-
wenang. Di samping itu negara harus menjamin setiap warga
negaranya untuk mendapatkan kedudukan hukum dan permerintahan
yang sama, serta membebani kewajiban yang sama dalam hukum dan
pemerintahan. Negara wajib menciptakan suasana kehidupan
masyarakat yang berbudi luhur sesuai dengan harkat dan martabat
manusia (Effendt, 1995 39).

3. Inti Sila Ketiga Pancasila

Bung Karno ketika berpidato di depan sidang pertama BPUPKI


tanggal 1 Juni 1945 menguraikan tentang makna Kebangsaan
Indonesia, bahwa bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekedar
satu golongan orang yang hidup dengan "le desir d'entre ensemble" di
atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau
Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh
manusia- manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan
Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari
Ujung Sumatera sampai Irian! Seluruhnya! (Ana, Singgih Hawibowo,
dan Agus Wahyudi, 2006: 105).

Menurut Notonagoro (1983: 65) inti sila Persatuan Indonesia


dapat dirumuskan, kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan di
dalam masyarakat dan bangsa, menghidup-hidupkan perbedaan yang
mempunyai daya penarik ke arah kerja sama dan kesatuan, dan
mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan yang mungkin
mengakibatkan suasana perselisihan, pertikaian dan perpecahan atas
dasar kesadaran akan kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang
sewajarnya, lagi pula dengan kesediaan, kecakapan dan usaha untuk
sedapat-dapatnya melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan,
mungkin menurut pedoman-pedoman majemuk tunggal bagi
pengertian kebangsaan.

Menurut P4 (yang telah dicabut) dengan sila Persatuan


Indonesia hendaknya

(1) manusia Indonesia menempatkan persatuan. kesatuan, serta


kepentingan dan keselamatan Bangsa dan Negara di atas pribadi
dan golongan. Menempatkan kepentingan Negara dan Bangsa
di atas kepentingan pribadi, berarti bahwa manusia Indonesia
sanggug dan rela berkorban untuk kepentingan Negara dan
Bangsa, apabila diperlukan. Oleh karena sikap rela berkorban
untuk kepentingan Negara dan Bangsa itu dilandasi oleh rasa
cinta kepada Tanah Air dan Bangsanya, maka dikembangkanlah
rasa kebangsaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia,
dalam rangka memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
(2) persatuan dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika,
denean memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan
Bangsa.

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, memberikan


pedoman kepada Bangsa Indonesia untuk mengamalkan sila
Persatuan Indonesia sebagai berikut:

a. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan


dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama
di atas kepentingan pribadi atau golongan.

b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan


negara apabila diperlukan.

c. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.

d. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah


air Indonesia.
e. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.

f Mengembangkan Persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka


Tunggal Ika.

g. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Inti Sila Keempat Pancasila

Inti prinsip sila keempat menurut Notonagoro (1983: 66) adalah


kebebasan dan kekuasaan rakyat di dalam lapangan kenegaraan,
atas dasar tri Tunggal, yaitu "Negara dari rakyat, bagi rakyat dan
oleh rakyat."

Terkait dengan mufakat, dasar perwakilan, dasar


permusyawaratan, pada sidang pertama BPUPKI 1 Juni 1945 Bung
Karno mengusulkan, bahwa kalau kita mencari demokrasi
hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang
memberi hidup,yakni politik-economische democratie yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial (Ana, Singgih Hawibowo, dan
Agus Wahyudi, 2006: 105).

Ekaprasetya Pancakarsa/P4 memberikan pedoman tentang inti


sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah sebagai berikut:

(1) manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat


Indonesia mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama.

(2) dalam menggunakan hak-haknya harus menyadari perlunya


selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan
kepentingan masyarakat.

(3) tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak
lain.

(4) untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan


bersama, terlebih dahulu harus diadakan musyawarah.
(5) keputusan diusahakan secara mufakat.

(6) musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh suasana


kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.

(7) menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan


musyawarah.

(8) menerima dan melaksanakan hasil musyawarah dengan iktikad


baik dan rasa tanggung jawab.

(9) lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada


kepentingan pribadi dan golongan.

(10) musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan


hati nurani yang luhur.

(11) keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan


secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(12) hasil keputusan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat


manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

(13) hasil keputusan harus mengutamakan persatuan dan kesatuan


demi kepentingan bersama.

5. Inti Sila Kelima

Sila kelima Pancasila, menurut Notonagoro mengandung


prinsip bahwa di dalam lapangan sosial dan ekonomi ada
kesamaan, di samping kesamaan politik. Di dalam lapangan sosial
ekonomi ada kebebasan dan kekuasaan perseorangan, dalam
keseimbangan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial, untuk
mengusahakan dan memenuhi kebutuhan hidup, yang sesuai
dengan sifat-sifat mutlak dari manusia sebagai individu.

Menurut Ekaprasetya Pancakarsa, Sila Keadilan sosial bagi


seluruh rakyat Indonesia juga mengandung inti bahwa sebagai
manusia Indonesia hendaknya
(1) menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia.

(2) mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan


sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.

(3) mengembangkan sikap adil terhadap sesama.

(4) menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

(5) menghormati hak-hak orang lain.

(6) suka memberikan pertolongan kepada orang lain yang


membutuhkan agar dapat berdiri sendiri.

(7) tidak menggunakan hak miliknya untuk usaha-usaha yang


bersifat pemerasan terhadap orang lain juga tidak untuk hal-hal
yang bersifat pemborosan dan bergaya hidup mewah serta
perbuatan perbuatan lain yang bertentangan atau merugikan
kepentingan umum.

(8) sikap suka bekerja keras.

(9) sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk
mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.

(10) mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.

F. Implementasi Pancasila sebagai Filsafat Bangsa


Indonesia
Implementasi Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia dapat
diartikan sebagai penggunaan pemikiran yang luas dan mendalam
tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan filsafat
Pancasila dimaksudkan guna mempertanyakan dan menjawab
permasalahan bangsa, baik secara umum maupun secara khusus
untuk tiap-tiap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jelasnya dengan dasar filsafat Pancasila, kita harus mampu
merumuskan, logos, pathos dan ethos dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara (Pitoyo, 2012: 49).

Secara umum, nmenurut Effendy (1995: 52-53) bahwa


pengamalan Pancasila pada garis besarnya dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:

1. Pengamalan Pancasila secara formal, merupakan pelaksanaan


obyektif Pancasila, yaitu mengamalkan Pancasila sebagai dasar
negara, yakni dasar mengatur penyelenggaraan pemerintahan
negara

2. Pengamalan Pancasila secara informal, merupakan pelaksanaan


subyektif Pancasila, yaitu pengamalan Pancasila oleh segenap
warga negara Indonesia sebagai falsafah hidupnya, atau pandangan
hidup bangsa, yang berarti mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari, agar hidup kita dapat mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.

Pelaksanaan pengamalan Pancasila menurut Hartati Susmadi


dalam Daroeso dan Suyahmo (1991: 82-83) tidak mungkin dapat
dilakukan dengan sekaligus, tetapi harus dengan cara berangsur-
angsur dengan jalan pendidikan di sekolah, dalam masyarakat,
dalam keluarga, dalam mendidik diri sehingga dapat diperoleh
secara berturut-turut:

1. Pengetahuan dalam arti pengetahuan biasa, pengetahuan secara


ilmiah maupun filsafat dari isi arti atau esensi dari Pancasila itu
sendiri.

2. Kesadaran, dengan penuh rasa sadar orang selalu ingat dan setia
kepada Pancasila.

3. Ketaatan, dengan ketaatannya orang selalu bersedia


melaksanakan Pancasila lahir dan batin.

4. Kemampuan, atas dasar kemampuan ini orang dapat melakukan


perbuatan melaksanakan atau mengamalkan Pancasila.
Tidak kalah pentingnya dalam mengimplementasi Pancasila
sebagai Filsafat Bangsa Indonesia adalah menjadikan filsafat
Pancasila untuk mempertanyakan dan menjawab segala sesuatu
masalah kehidupan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN
a. Dalam susunan satu kesatuan yang sistematis, hierarkis, dan logis
sila pancasila yang ada di belakang merupakan pengkhususan dari
sila yang ada dimukanya dan oleh karena itu pelaksanaannya
tergantung pada pelaksanaan sila yang ada dimukanya.
b. Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung suatu
pengertian, kepercayaan dan keyakinan dari bangsa Indonesia
tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa.
c. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab berarti menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan
kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan.
d. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami
wilayah Indonesia dan bersatu untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan
berdaulat.
e. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan berarti kebebasan dan kekuasaan
rakyat di dalam lapangan kenegaraan atas dasar “TRI
TUNGGAL”.
f. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti bahwa
setiap orang di Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam
bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

2. SARAN

Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua


kalangan terutama bagi kami sendiri sebagai penulis dari makalah
ini. Dan diharapkan dengan adanya makalah ini mahasiswa lebih
memahami tentang pancasila sebagai filsafat serta dapat
menambah wawasan mahasiswa sehingga bermanfaat di masa yang
akan datang.

Anda mungkin juga menyukai