Anda di halaman 1dari 6

Modul 1

Kegiatan Belajar Ke 4
BENTUK DAN SUSUNAN PANCASILA
A. Pendahuluan
Pancasila sebagai hasil berpikir ilmiah filosofi para pendiri negara tersusun secara
logis dan sistematis mengikuti kaidah-kaidah logika. Oleh karena itu bentuk susunan
Pancasila dapat disebut hierarkhis pyramidal dan saling mengkualifkasi. Susunan Pancasila
tersusun sebagai kesatuan organis antar sila-silanya, sehingga memahami Pancasila tidak
dapat partial, bagian per bagian. Akan tetapi memahami Pancasila haruslah utuh sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antar sila-silanya.
Pemahaman bentuk dan susunan Pancasila memerlukan konsep-konsep logika, yaitu
antara isi pengertian dan luas cakupan pengertian berbanding terbalik. Logika deduktif
menjadi dasar untuk memahami dari pengertian yang sangat umum (Ketuhanan Yang Maha
Esa) menuju pada pengertian yang sangat khusus (keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia) sebagai tujuan hidup bersama sebagai bangsa yang menegara (NKRI).

B. Capaian Pembelajaran
1. Mendeskripsikan Bentuk dan Susunan Pancasila
2. Menerapkan sistem berpikir Pancasila yang bersifat hierarkhis piramidal dan saling
mengkualifikasi
3. Merefleksikan arti penting kajian ilmiah-filsafati terhadap Pancasila dikaitkan dengan
persoalan-persalan kehidupan bersama dan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

C. Materi Pembelajaran

1. Bentuk dan Susunan Pancasila

a. Bentuk Pancasila

Bentuk Pancasila di dalam pengertian ini diartikan sebagai rumusan Pancasila


sebagaimana tercantum di dalam alinea IV Pembukaan UUD’45. Pancasila sebagai sesuatu
sistem nilai mempunyai bentuk yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Merupakan kesatuan yang utuh


Semua unsur dalam Pancasila menyusun suatu keberadaan yang utuh. Masing-masing sila
membentuk pengertian yang baru. Kelima sila tidak dapat dilepas satu dengan
lainnya. Walaupun masing-masing sila berdiri sendiri tetapi hubungan antar sila
merupakan hubungan yang organis.

2) Setiap unsur pembentuk Pancasila merupakan unsur mutlak yang membentuk


kesatuan, bukan unsur yang komplementer (pelengkap) . Artinya, salah satu unsur
(sila) kedudukannya tidak lebih rendah dari yang lain. Walaupun sila Ketuhanan
merupakan sila yang berkaitan dengan Tuhan sebagai causa prima, tetapi tidak berarti
sila lainnya hanya sebagai pelengkap.

3) Sebagai satu kesatuan yang mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi. Oleh karena itu
Pancasila tidak dapat diperas, menjadi trisila yang meliputi sosio-nasionalisme, sosio-
demokrasi, ketuhanan, atau eka sila yaitu gotong royong sebagaimana dikemukakan oleh
Ir. Soekarno.

b. Susunan Pancasila

Pancasila sebagai suatu sistem nilai disusun berdasarkan urutan logis keberadaan
unsur-unsurnya. Sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) ditempatkan pada urutan yang
paling atas, karena bangsa Indonesia meyakini segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepadaNya. Tuhan dalam bahasa filsafat disebut dengan Causa Prima, yaitu Sebab
Pertama, artinya sebab yang tidak disebabkan oleh segala sesuatu yang disebut oleh berbagai
agama dengan “Nama” sesuai dengan masing-masing agama. Sila kedua, kemanusiaan yang
adil dan beradab ditempatkan setelah ketuhanan, karena yang akan mencapai tujuan atau nilai
yang didambakan adalah manusia sebagai pendukung dan pengemban nilai-nilai ketuhanan.
Manusia yang secara kodrat bersifat monodualis, yaitu yang mempunyai susunan kodrat yang
terdiri dari jasmani dan rohani. Makhluk jasmani yang memiliki unsur-unsur: benda mati,
tumbuhan, hewan. Makhluk rohani yang terdiri dari unsur-unsur: akal, rasa, karsa. Sifat
kodrat manusia, yaitu sebagai makhluk individu, dan makhluk sosial. Kedudukan kodrat,
yaitu sebagai makhluk otonom, dan makhluk Tuhan. Setelah prinsip kemanusiaan dijadikan
landasan, maka untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan manusia/pribadi-pribadi itu perlu
untuk bersatu membentuk masyarakat (negara), sehingga perlu adanya persatuan (sila ketiga).
Persatuan Indonesia erat kaitannya dengan nasionalisme. Rumusan sila ketiga tidak
mempergunakan awalan ke dan akhiran an, tetapi awalan per dan akhiran an. Hal ini
dimaksudkan ada dimensi yang bersifat dinamik dari sila ini. Persatuan atau nasionalisme
Indonesia terbentuk bukan atas dasar persamaan suku bangsa, agama, bahasa, tetapi
dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah (historis) dan tujuan-tujuan moral (etis). Historis
artinya karena persamaan sejarah, senasib sepenanggungan akibat penjajahan. Etis, artinya
berdasarkan kehendak luhur untuk mencapai cita-cita moral sebagai bangsa yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karena itu persatuan Indonesia, bukan sesuatu yang
terbentuk sekali dan berlaku untuk selama-lamanya. Persatuan Indonesia merupakan sesuatu
yang selalu harus diwujudkan, diperjuangkan, dipertahankan, dan diupayakan secara terus-
menerus. Semangat persatuan atau nasionalisme Indonesia harus selalu dipompa, sehingga
semakin hari semakin kuat. Sila keempat merupakan cara-cara yang harus ditempuh ketika
suatu negara ingin mengambil kebijakan. Kekuasaan negara diperoleh bukan karena warisan,
tetapi berasal dari rakyat. Jadi rakyatlah yang berdaulat. Sila kelima Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia ditempatkan pada sila terakhi, karena sila ini merupakan tujuan
dari negara Indonesia yang merdeka. Oleh karena itu masing-masing sila-sila mempunyai
makna dan peran sendiri-sendiri. Semua sila berada dalam keseimbangan dan berperan
dengan bobot yang sama. Akan tetapi karena masing-masing unsur mempunyai hubungan
yang organis, maka sila yang di atas menjiwai sila yang berada di bawahnya. Misalnya, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai dan meliputi sila ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima. Sila
ke dua dijiwai sila pertama, menjiwai sila ke tiga, ke empat, dan ke lima. Demikian
seterusnya untuk sila ke tiga, ke empat, dan ke lima.

Susunan sila-sila pancasila merupakan kesatuan yang organis, satu sama lain
membentuk suatu sistem yang disebut dengan istilah majemuk tunggal (Notonagoro).
Majemuk tunggal artinya Pancasila terdiri dari 5 sila tetapi merupakan satu kesatuan yang
berdiri sendiri secara utuh. Selanjutnya, Notonagoro berpendapat bahwa bentuk dan susunan
Pancasila seperti tersebut di atas adalah hierarkis-piramidal. Hierarkhis berarti tingkat,
sedangkan piramidal dipergunakan untuk menggambarkan hubungan bertingkat dari sila-sila
Pancasila dalam urutan luas cakupan (teba berlakunya pengertian) dan juga isi pengertian.
Hukum logika yang mendasari pemikiran ini adalah bahwa antara luas cakupan pengertian
(teba berlakunya pengertian) dan isi pengertian berbanding terbalik. Hal ini berarti, bahwa
jika isi pengertiannya sedikit, maka teba berlakunya pengertian itu sangat luas. Misalnya,
kata meja mempunyai isi pengertian yang sedikit, sehingga teba berlakunya pengertian meja
sangat luas, yaitu meliputi berbagai macam meja, kualitas meja, bentuk meja, dll. Akan tetapi
jika kata meja ditambah dengan isi pengertian, yaitu dengan kata tamu, maka teba berlakunya
pengertian itu semakin sempit, karena di luar meja tamu tidak tercakup dalam pengertian itu.
Jika dilihat dari esensi urutan ke lima sila Pancasila, maka sesungguhnya menunjukkan
rangkaian tingkat dalam luas cakupan pengertian (teba berlakunya pengertian) dan isi
pengertiannya. Artinya, sila yang mendahului lebih luas cakupan pengertiannya (teba
berlakunya pengertian) dengan isi pengertian yang sedikit, dari sila sesudahnya atau sila yang
berada di belakang merupakan pengkhususan atau bentuk penjelmaan dari sila-sila yang
mendahuluinya.

Pancasila sebagai satu kesatuan sistem nilai, juga membawa implikasi bahwa antara sila
yang satu dengan sila yang lain saling mengkualifikasi. Hal ini berarti bahwa antara sila
yang satu dengan yang lain, saling memberi kualitas, memberi bobot isi. Misalnya Ketuhanan
Maha Esa adalah Ketuhanan yang Maha Esa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikian juga untuk sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berketuhanan
yang maha esa, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, dan ini berlaku seterusnya untuk sila-sila yang lain.

2. Refleksi terhadap Kajian Ilmiah tentang Pancasila di Era Global

Kajian ilmiah tentang Pancasila sejak disyahkan tanggal 18 Agustus 1945 sampai saat
ini mengalami pasang surut. Notonagoro, Driyarkara merupakan tokoh-tokoh /ilmuwan yang
mengawali pengkajian Pancasila secara ilmiah populer dan filosofis. Pemikiran Notonagoro
(1987) dalam bukunya: Pancasila secara Ilmiah Populer telah menghasilkan suatu telaah
yang sangat bermakna bagi perkembangan Pancasila sebagai dasar negara.

Walaupun demikian, masih terbuka bahan dialog dan kajian kritis terhadap Pancasila
sehingga diperoleh interpretasi baru untuk memperoleh makna terdalam dari sila-sila
Pancasila. Artinya, Pancasila sebagai dasar falsafah negara tidak boleh menjadi ideologi yang
beku sehingga seluruh komponen bangsa, terutama mahasiswa sebagai calon pemimpin
bangsa dan intelektual muda dapat memberikan ide-ide baru dan kreatif untuk merevitalisasi
Pancasila dalam realitas kehidupan berbangsa di era global.

Di era global dengan ciri dunia tanpa batas, dunia datar (dunia maya) secara langsung
maupun tidak langsung banyak ideologi asing yang gencar menerpa masyarakat Indonesia.
Hal ini terkadang tidak disadari oleh masyarakat kita, bahkan mereka banyak yang
menganggap bahwa nilai-nilai dan ideologi asing justru menjadi pandangan hidupnya seperti
materialisme, hedonisme, konsumerisme. Materialisme dalam hal ini diartikan sebagai sikap
hidup yang mengagungkan materi atau benda-benda. Ukuran keberhasilan atau kesuksesan
seseorang dipandang dari sudut materi yang dimiliki (uang, harta benda/kekayaan) sehingga
sering mengabaikan etos kerja dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian lama kelamaan
orang menjadi kurang menghargai orang lain dari sisi spiritualitasnya (seseorang dihargai
karena kekayaan materi, bukan kekayaan batin yang dimiliki).

Hedonisme adalah suatu paham dan sikap hidup yang mengejar kenikmatan dan
kesenangan duniawi dengan orientasi pada pemuasan kebutuhan hidup secara fisik, seperti
senang menikmati makanan mahal/berkelas, gaya hidup metropolit dengan dunia gemerlap di
mana seks bebas, merokok, narkoba, minum alkohol menjadi bagian yang sering tak dapat
dipisahkan.

Gejala yang lain, kecenderungan masyarakat Indonesia yang tampak menggejala saat
ini adalah konsumerisme, yaitu suatu sikap dan gaya hidup yang lebih senang berposisi
sebagai pengguna (konsumen) daripada produsen. Kecenderungan konsumtif yang berlebihan
ditandai dengan membeli atau memiliki barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan,
melainkan sekedar karena diinginkan.

Dengan adanya gejala tersebut di atas semakin diperlukan sebuah kajian kritis terhadap
Pancasila sebagai sumber nilai bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Diharapkan masyarakat
kita semakin kritis dalam menentukan pilihan-pilihan pandangan hidup, sikap dan gaya
hidupnya yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila sebagai bagian dari budaya bangsa.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia memiliki prinsip-prinsip hidup yang kokoh,
orientasi hidup yang jelas dalam bersikap dan berperilaku sehingga tidak terombang-ambing
mengikuti arus global.

D. Rangkuman

Rangkuman dari uraian di atas adalah sebagai berikut:

1. Pancasila sebagai sistem nilai mempunyai bentuk yang mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: a) Merupakan kesatuan yang utuh; b) Setiap unsur pembentuk Pancasila
merupakan unsur mutlak yang membentuk kesatuan; c) Sebagai satu kesatuan yang
mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi.

2. Pancasila sebagai suatu sistem nilai disusun berdasarkan urutan logis keberadaan
unsur-unsurnya.
3. Susunan sila-sila pancasila merupakan kesatuan yang organis, satu sama lain
membentuk suatu sistem yang disebut dengan istilah majemuk tunggal
(Notonagoro). Majemuk tunggal artinya Pancasila terdiri dari 5 sila tetapi merupakan
satu kesatuan yang berdiri sendiri secara utuh. Selanjutnya, Notonagoro berpendapat
bahwa bentuk dan susunan Pancasila seperti tersebut di atas adalah hierarkis-
piramidal.

4. Pancasila sebagai satu kesatuan sistem nilai, juga membawa implikasi bahwa antara
sila yang satu dengan sila yang lain saling mengkualifikasi. Hal ini berarti bahwa
antara sila yang satu dengan yang lain, saling memberi kualitas, memberi bobot isi.

5. Masih terbuka bahan dialog dan kajian kritis terhadap Pancasila, sehingga diperoleh
interpretasi baru untuk memperoleh makna terdalam dari sila-sila Pancasila. Artinya,
Pancasila sebagai dasar falsafah negara tidak boleh menjadi ideologi yang beku
sehingga seluruh komponen bangsa, terutama mahasiswa sebagai calon pemimpin
bangsa dan intelektual muda dapat memberikan ide-ide baru dan kreatif untuk
merevitalisasi Pancasila dalam realitas kehidupan berbangsa di era global

E. Daftar Pustaka
Kaelan, 2005. Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Notonagoro.1987. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.
Undang-Undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai