ETIKA KEDOKTERAN
Oleh :
dr. Tri Sandi Utomo
Narasumber :
dr. XXXXXXXXXXX
Pada hari ini, Senin, tanggal 11 Desember 2019 telah dipresentasikan kasus etika oleh :
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping,
dr. X, seorang dokter puskesmas Y merujuk pasien PEB tanpa diberikan regimen
MgSO4 terlebih dahulu dan juga dilakukan pemeriksaan dalam kepada pasien tersebut.
Selain itu dalam merujuk, pasien dibiarkan berjalan dari ambulance saat di IGD RSUD dr. R.
Soetijono Blora.
2. Hanafiah, Jusuf, dkk. 1999. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, edisi 3. Jakarta:
EGC
Hasil Pembelajaran :
1. Mengetahui dan memahami kode etik kedokteran Indonesia.
2. Mengetahui sanksi pelanggaran kode etik kedokteran Indonesia.
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
o Deskripsi :
Seorang pasien wanita dirujuk dari puskesmas Y dengan G1P0A0 parturien aterm kala I
fase laten + PEB. Pasien sudah terpasang IVFD namun belum dilakukan pemberian
regimen MgSO4. Dari keterangan bidan yang merujuk tidak dipasang regimen
dikarenakan antidotumnya tidak ada yaitu Ca Glukonas. Pasien juga telah dilakukan
pemeriksaan dalam di puskesmas. Setelah sampai di IGD dr. R. Soetijono Blora, pasien
dibiarkan berjalan sendiri saat turun dari ambulance. Pasien dengan PEB ditakutkan bisa
menjadi eklamsi jika tidak dilakukan pemberian regimen MgSO4 apalagi dalam keadaan
ini juga dilakukan pemerikasaan dalam, akan meningkatkan risiko terjadinya eklamsi
yang akan membahayakan keadaan pasien dan bayi nya.
1. PEMBAHASAN
Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia, dokter X melanggar pasal 7a yakni seorang
dokter harus dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan medis yang kompeten
dengan kebebasan teknik dan moral sepenuhnya disertai kasih sayang dan penghormatan
atas martabat manusia. Selain itu juga melanggar pasal 7c yaitu seorang dokter harus
menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan
harus menjaga kepercayaan pasien.
Tindakan dokter A tersebut juga melanggar pedoman disiplin yang diterapkan Konsil
Kedokteran Indonesia tahun 2006 point 1 dan point 6 yaitu :
Point 6 : Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau
tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab
profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah sehingga dapat
membahayakan pasien.
Untuk kasus etik, dokter X hanya mendapat sanksi moral. Untuk kasus disiplin
profesi, apabila terjadi pengaduan, dokter X dapat diproses oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan apabila dinyatakan bersalah dapat dijatuhi
sanksi.
Sanksi terhadap disiplin tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada pasal 69 ayat 3, yaitu :
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam
bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh
penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu
dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak
dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah
tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau
semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menghasilkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik
Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien,
kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik
Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran
Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam
membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-
salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika
ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis
memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis
(clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter,
seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi
dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya),
beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur),
serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip
moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran,
dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan
banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik
tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian
pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa
pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian
pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang,
serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah
dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis
dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar
profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis
Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya”
akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik
profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk
yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat
kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan
oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar
etik (profesi) kedokteran.
Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu
kedokteran, disusunlah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia
yang terbaru ditetapkan dari hasil Mukernas Etik Kedokteran III tahun 2001 sebagai
pedoman etik bagi dokter dalam menjalankan profesi kedokteran.
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknik dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang dan
penghormatan atas martabat manusia
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan
dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk insane
Pasal 8
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien ia wajib merujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam bidang tersebut
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
laainnya
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya terhadap seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain beredia dan mampu memberikannya
Pasal 14
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan
3. KESIMPULAN
Apabila dalam suatu tindakan seorang seorang dokter melanggar etik kedokteran,
maka seorang dokter mendapat sanksi moral. Untuk kasus disiplin profesi, apabila terjadi
pengaduan, seorang dokter dapat diproses oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) dan apabila dinyatakan bersalah dapat dijatuhi sanksi.
4. SARAN
Seorang dokter sebaiknya bisa memahami, menghayati, mengamalkan serta menaati
kode etik kedokteran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
melakukan setiap tindakan terhadap pasien, hendaknya dokter harus selalu
melakukannya sesuai standar pelayanan atau standar operasional prosedur untuk
meminimalisir kejadian yang tidak diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
2. Hanafiah, Jusuf, dkk. 1999. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, edisi 3. Jakarta:
EGC