Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN ASPEK HUKUM DAN ADMINISTRASI PROYEK

MENGENAI:

BENCANA DALAM INDUSTRI KONSTRUKSI

Kelompok 5:

Vicky Muroby 327182018


Andi 327191001
Fanica 327191008
Gebby Pandu 327191009
Olivia C. Faruki 327191018
Sandi Andika S.P 327191024

JURUSAN MAGISTER TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TARUMANGARA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Tugas besar yang Penulis kerjakan mengenai Bencana dalam Industri Konstruksi
mengingat bahwa dalam melaksanakan penanggulangan bencana pada tahap
konstruksi terdapat beberapa permasalahan. Permasalahan yang terjadi yaitu pada saat
merencakan pembangunan tidak adanya perencanaan penanggulangan bencana,
pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko, pelaksanaan dan penegakan rencana tata
ruang dan sebagainya.
Sumber dari laporan karya ilmiah ini berupa Undang-Undang No. 24 Tahun
2007, Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
46 Tahun 2008, Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 dan Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Barat No 2 Tahun 2010 dan jurnal-jurnal. Dari sumber-sumber yang penulis
susun, semua informasi dan fakta sesuai dengan laporan tugas besar ini, sehingga
menurut penulis data-data didalam laporan ini sudah cukup akurat.
Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan
yang diberikan selama penyusunan tugas ini, terutama kepada:
- Bapak Prof. Dr. Manlian Ronald. A. Simanjuntak, ST., MT., D.Min sebagai
dosen mata kuliah Aspek Hukum dan Administrasi Proyek untuk segala
bimbingan, arahan, informasi selama penyusunan laporan tugas besar.
- Teman-teman angkatan 68 dan 69 yang telah memberikan informasi, saran,
dan semangat.
Penyusun menyadari akan kekurangan dalam penyusunan tugas ini, maka
penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk memperoleh hasil tugas yang optimal.
Akhir kata semoga tugas besar ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, Oktober 2019

Penulis

i
Abstrak

Menurut Undang–Undang No. 24 tahun 2007, penanggulangan bencana


bertujuan untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Undang–Undang No. 24 tahun 2007 juga menjelaskan
tentang penanggulangan bencana yang pada prinsipnya mengatur tahapan bencana
meliputi pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana.

Di Indonesia peraturan mengenai penanggulangan bencana juga diatur pada


Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 46
Tahun 2008, kemudian dijelaskan secara lebih rinci untuk Provinsi Jawa Barat yaitu
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2010. Lalu lebih diperjelas dalam
situasi keadaan tertentu yaitu pada Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018. Dari kelima
ketentuan tersebut yang sifatnya umum hingga spesifik di wilayah tersebut terdapat
penjelasan-penjelasan yang saling terintegrasi maupun mengacu pada tingkat nasional
untuk penanggulangan bencana tersebut. Di dalam proses penyelenggaraanya,
penanggulangan bencana masih berhadapan langsung dengan beberapa kendala.
Kendala tersebut besangkutan dengan banyak aspek yang terjadi di masyarakat
dikarenakan bencana ini berhubugan langsung atau bersinggungan langsung dengan
masyarakat. Berdasarkan kendala yang ada, maka juga diperlukan rekomendasi
perbaikan untuk peraturan yang mengatur penataan ruang, beberapa rekomendasi
perbaikan ini bertujuan agar penataan ruang di Indonesia bisa lebih baik.

Kata kunci: Hukum, Peraturan, Bencana, Penanggulangan Bencana, Bencana Dalam


Industri Konstruksi

ii
Abstract

According to Undang-Undang No. 24 of 2007, disaster management aims to


provide a strong legal basis for the implementation of disaster management. Undang-
Undang No. 24 of 2007 also explains about disaster management which in principle
regulates the stages of disaster including pre-disaster, during emergency response and
post-disaster.

In Indonesia, regulations regarding disaster management are also regulated in


Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 and Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
46 Tahun 2008, then explained in more detail for the Province of West Java, Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2010. Then clarified in certain
circumstances, namely in Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018. From the five
provisions which are general to specific in the region there are explanations that are
mutually integrated or refer to the national level for disaster management. In the
implementation process, disaster management is still dealing directly with several
obstacles. These obstacles are related to many aspects that occur in the community
because of this disaster related directly or in direct contact with the community. Based
on the existing constraints, it is also necessary to recommend improvements to the
regulations governing spatial planning, some of the recommendations for improvement
are aimed at making spatial planning in Indonesia better.

Keywords: Law, Regulations, Disasters, Disaster Management, Disasters in the


Construction Industry

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


Abstrak .......................................................................................................................... ii
Abstract ........................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. vii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
2.1 Bencana dan Risiko ........................................................................................ 3
2.1.1 Bencana ................................................................................................... 3
2.1.2 Risiko ...................................................................................................... 4
2.2 Hal-hal yang Diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 ................. 4
2.2.1 BAB I Ketentuan Umum ......................................................................... 6
2.2.2 BAB II Landasan, Asas, Dan Tujuan ...................................................... 6
2.2.3 BAB III Tanggung Jawab Dan Wewenang ............................................. 7
2.2.4 BAB IV Badan Nasional Penanggulangan Bencana ............................... 9
2.2.5 BAB V Hak Dan Kewajiban Masyarakat ............................................. 11
2.2.6 BAB VI Peran Lembaga Usaha Dan Lembaga Internasional ............... 11
2.2.7 BAB VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ......................... 12
2.2.8 BAB VII Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana ..................... 14
2.2.9 BAB IX Pengawasan............................................................................. 14
2.2.10 BAB X Penyelesaian Sengketa ............................................................. 15
2.2.11 BAB XI Ketentuan Pidana .................................................................... 15
2.2.12 BAB XII Ketentuan Peralihan .............................................................. 15
2.2.13 BAB XIII Ketentuan Penutupan ........................................................... 16

iv
2.3 Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008......... 16
2.3.1 BAB I Ketentuan Umum ....................................................................... 16
2.3.2 BAB II Prabencana ............................................................................... 16
2.3.3 BAB III Tanggap Darurat ..................................................................... 17
2.3.4 BAB IV Pascabencana .......................................................................... 18
2.3.5 BAB V Pemantauan dan Evaluasi......................................................... 18
2.3.6 BAB VI Ketentuan Lain-Lain ............................................................... 19
2.3.7 BAB VII Ketentuan Penutup ................................................................ 19
2.4 Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negri No. 46 Tahun 2008
19
2.4.1 BAB I Ketentuan Umum ....................................................................... 20
2.4.2 BAB II Pembentukan, Kedudukan, Tugas dan Fungsi BPBD Provinsi
dan BPBD Kabupaten/Kota ................................................................................ 20
2.4.3 BAB III Organisasi ............................................................................... 21
2.4.4 BAB IV Eselon dan Kepegawaian ........................................................ 24
2.4.5 BAB V Tata Kerja................................................................................. 25
2.4.6 BAB VI Pembinaan dan Pengawasan ................................................... 25
2.4.7 BAB VII Pembiayaan ........................................................................... 26
2.4.8 BAB VIII Ketentuan Penutup ............................................................... 26
2.5 Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 ............. 26
2.6 Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah Jawa Barat No.2 Tahun 2010 27
2.6.1 BAB I Ketentuan Umum ....................................................................... 28
2.6.2 BAB II Asas dan Prinsip ....................................................................... 28
2.6.3 BAB III Maksud dan Tujuan................................................................. 29
2.6.4 BAB IV Tanggungjawab dan Wewenang ............................................. 29
2.6.5 BAB V Badan Penanggulangan Bencana ............................................. 30
2.6.6 BAB VI Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Alam ................. 30
2.6.7 BAB VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Nonalam dan
Bencana Sosial .................................................................................................... 31
2.6.8 BAB VIII Standar Operasional Prosedur .............................................. 31

v
2.6.9 BAB IX Pengelolaan Bantuan .............................................................. 32
2.6.10 BAB X Kerjasama................................................................................. 32
2.6.11 BAB XI Partisipasi Masyarakat, Lembaga Usaha, dan Lembaga
Internasional ........................................................................................................ 33
2.6.12 BAB XII Penyelesaian Sengketa .......................................................... 35
2.6.13 BAB XIII Pemantauan, Pelaporan, dan Evaluasi.................................. 35
2.6.14 BAB XIV Pengawasan dan Pertanggungjawaban ................................ 36
2.6.15 BAB V Ketentuan Lain-Lain ................................................................ 36
2.6.16 BAB XVI Ketentuan Peralihan ............................................................. 37
2.6.17 BAB XVII Ketentuan Penutup ............................................................. 37
BAB 3 STUDI KASUS......................................................................................... 38
3.1 Ancaman Sesar Lembang di Bandung ......................................................... 38
3.1.1 Kota Bandung dan Sesar Lembang ....................................................... 38
3.1.2 Pembahasan ........................................................................................... 39
3.2 Kebakaran Pipa PT. Pertamina (Persero) akibat Kegiatan PT. KCIC Jakarta
Bandung .................................................................................................................. 41
3.2.1 Kronologi Insiden ................................................................................. 41
3.2.2 Pembahasan ........................................................................................... 41
BAB 4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................. 44
4.1 Kesimpulan ................................................................................................... 44
4.2 Rekomendasi ................................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 46

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Susunan Organisasi BPBD Provinsi ........................................... 22

Gambar 2.2 Susunan Organisasi BPBD Kabupaten/Kota Klasifikasi A ................... 23

Gambar 2.3 Susunan Organisasi BPBD Kabupaten/Kota Klasifikasi B .................... 24

Gambar 3.1 Sesar Lembang ....................................................................................... 39

vii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Rangkaian bencana yang dialami Indonesia, khususnya pada tahun 2004 dan
2005, telah mengembangkan kesadaran mengenai kerawanan dan kerentanan
masyarakat. Sikap reaktif dan pola penanggulangan bencana yang dilakukan dirasakan
tidak lagi memadai. Dirasakan kebutuhan untuk mengembangkan sikap baru yang lebih
proaktif, menyeluruh, dan mendasar dalam menyikapi bencana.
Dunia teknik sipil berhubungan dengan berbagai macam bangunan, baik
bangunan umum maupun bangunan penanggulangan bencana, dimana kinerja proyek
bangunan teknik sipil diukur berdasarkan biaya, mutu, dan waktu. Mutu bangunan
diperlukan untuk menjamin bangunan akan aman terhadap kegagalan, baik pada saat
pembangunan maupun selama umur pelayanan/ penggunaan bangunan.
Kegagalan bangunan dapat memicu bencana ataupun meningkatkan dampak
bencana. Dengan demikian, teknik sipil sangat berperan dalam upaya penanggulangan
bencana.
Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.
21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) No. 46 Tahun 2008 Tentang Pedoman Organisasi dan
Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Peraturang Daerah (Perda)
Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana.
Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya
kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan peraturan yang
ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana perlu disesuaikan
dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan bencana perlu dipastikan efektif,
efisien dan berkelanjutan.

1
2

Untuk mendukung pengembangan sistem penanggulangan bencana yang


mencakup kebijakan, strategi, dan operasi secara nasional mencakup pemerintah pusat
dan daerah maka dipandang perlu dimulai dengan mengetahui sejauh mana penerapan
peraturan yang terkait dengan penanggulangan bencana dalam dunia teknik sipil. Atas
dasar inilah kegiatan kajian dilaksanakan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah untuk pembahasan mengenai bencana dalam industri


kosntruksi ini adalah:

1. Apa Pengertian mendasar mengenai “bencana” yang diatur dalam Undang –


Undang Dasar Republik Indonesia Nomer 24 Tahun 2007?

2. Apa saja hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007,
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
46 Tahun 2008, Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 dan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat No 2 Tahun 2010?

3. Apakah peran UU No. 24 Tahun 2007 yang berdampak pada penyelenggaraan


pembangunan?

4. Bagaimana penegakkan peraturan (UU, PP, Permen, Perpres dan Perda) terkait
kasus kegagalan konstruksi di Indonesia?
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana dan Risiko

2.1.1 Bencana

Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, PP No 21 Tahun 2008,


Permendagri No. 46 Tahun 2008, Perpres No 17 Tahun 2018 dan Perda Provinsi Jawa
Barat No. 2 Tahun 2010, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan fenomena alam
yang dibagi menjadi 3 jenis bencana alam, yaitu:
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 juga menjelaskan mengenai rawan
bencana, pencegahan bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana dan pasca
bencana. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi
pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan

3
4

mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk


menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Pencegahan bencana adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik
melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam
bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

2.1.2 Risiko

Risiko (risk) adalah probabilitas timbulnya konsekuensi yang merusak atau


kerugian yang sudah diperkirakan (hilangnya nyawa, cederanya orang-orang,
terganggunya harta benda, penghidupan dan aktivitas ekonomi, atau rusaknya
lingkungan) yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara bahaya yang ditimbulkan
alam atau diakibatkan manusia serta kondisi yang rentan (ISDR, 2004 dalam MPBI,
2007).

Pengkajian/analisis risiko (risk assessment/analysis) adalah suatu metodologi


untuk menentukan sifat dan cakupan risiko dengan melakukan analisis terhadap potensi
bahaya dan mengevaluasi kondisi-kondisi kerentanan yang ada dan dapat
menimbulkan suatu ancaman atau kerugian bagi penduduk, harta benda, penghidupan,
dan lingkungan tempat tinggal (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007)

2.2 Hal-hal yang Diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 adalah undang-undang yang mengatur


hal terkait Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini terdiri dari 13 Bab dengan 85
pasal. Ada beberapa hal yang diatur dari undang-undang ini, seperti pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, pengawasan dan pidana.
5

Hal-hal pokok yang diatur pada UU No 24 Tahun 2007 meliputi:


1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab
dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat
dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan penanggulangan
bencana tersebut terdiri dari unsur pengarah dan unsur pelaksana. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah mempunyai tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian
penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu
sesuai dengan kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan
memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan perlindungan sosial,
mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra
bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masing- masing
tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain
didukung dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, juga disediakan dana siap pakai dengan
pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada
setiap tahapan bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam
penggunaan dana penanggulangan bencana.
6

8. Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan sekaligus


memberikan efek jera terhadap para pihak, baik karena kelalaian maupun
karena kesengajaan sehingga menyebabkan terjadinya bencana yang
menimbulkan kerugian, baik terhadap harta benda maupun matinya
orang, menghambat kemudahan akses dalam kegiatan penanggulangan
bencana, dan penyalahgunaan pengelolaan sumber daya bantuan bencana
dikenakan sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana denda,
dengan menerapkan pidana minimum dan maksimum.

2.2.1 BAB I Ketentuan Umum

Penjelasan mengenai pengertian bencana, penyelenggaraan penanggulangan


bencana, kegiatan pencegahan bencana, kesiapsiagaan, peringatan dini, mitigasi,
tanggap darurat bencana, rehabilitasi, rekonstruksi, ancaman bencana, rawan bencana,
pemulihan, pencegahan bencana, risiko bencana, bantuan darurat , status keadaan
darurat, pengungsi, korban bencana, pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga
usaha, lembaga internasional.

2.2.2 BAB II Landasan, Asas, Dan Tujuan

Penanggulangan bencana berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan utama dari penanggulangan bencana:

a. Penanggulangan bencana bertujuan untuk:


b. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
bencana;
c. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
d. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
e. menghargai budaya lokal;
f. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
7

g. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan dan


kedermawanan; dan
h. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.

2.2.3 BAB III Tanggung Jawab Dan Wewenang

Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam


penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik


Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemerintah sebagaimana dimaksud membentuk Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB merupakan Lembaga Pemerintah
Nondepartemen setingkat menteri. Tanggung jawab Pemerintah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

a. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan


risiko bencana dengan program pembangunan;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana
siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan
dampak bencana.
8

Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana


meliputi:

a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan


pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-
unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
negara lain, badan-badan, atau pihak- pihak internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi
sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber
daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan
pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang
berskala nasional.

Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau perangkat daerah


sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Tanggung
jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena


bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko
bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai

Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi:
9

a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras


dengan kebijakan pembangunan daerah;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana;
c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana
dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber
ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber
daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
f. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang
berskala provinsi, kabupaten/kota

2.2.4 BAB IV Badan Nasional Penanggulangan Bencana

BNPB dan BPBD terdiri atas unsur pengarah penanggulangan bencana dan
pelaksana penanggulangan bencana.

Tugas dari BNPB yaitu:

a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan


bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap
darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap
saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggung jawabkan sumbangan/bantuan
nasional dan internasional;
10

f. mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan; dan
h. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.

Fungsi dari BNPB dan BPBD adalah perumusan dan penetapan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat
serta efektif dan efisien dan pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. unsur pelaksana penanggulangan
bencana mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:

a. Prabencana;
b. Saat tanggap darurat; dan
c. Pascabencana.

Tugas dari BPBD yaitu:

menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah


dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara;

a. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan


penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
b. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
c. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
d. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
wilayahnya;
e. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala
daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam
kondisi darurat bencana;
f. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
11

g. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari


h. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
i. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang
undangan

2.2.5 BAB V Hak Dan Kewajiban Masyarakat

Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman,


khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana. Mendapatkan pendidikan,
pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencan. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan
psikososial. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya dan
melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan
penanggulangan bencana. Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan memperoleh ganti kerugian karena terkena
bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

Setiap orang berkewajiban menjaga kehidupan sosial masyarakat yang


harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup; melakukan kegiatan penanggulangan bencana dan memberikan
informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.

2.2.6 BAB VI Peran Lembaga Usaha Dan Lembaga Internasional

Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap
12

dan terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak
lain. Lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan kebijakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan
kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan
bencana serta menginformasikannya kepada publik secara transparan.

Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur


organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing
nonpemerintah dari negara lain di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah


dan/atau badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan

2.2.7 BAB VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi:

1. Prabencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana
dalam situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya
bencana. Maka dari itu perlu adanya perencanaan penanggulangan bencana,
pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko, pelaksanaan dan penegakan rencana
tata ruang, pendidikan dan pelatihan serta persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana.
Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan
dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan
bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah. Persyaratan analisis
13

risiko bencana sebagaimana dimaksud disusun dan ditetapkan oleh BNPB dan
ditunjukkan dalam dokumen yang disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan. BNPB melakukan pemantauan dan
evaluasi atas pelaksanaan analisis risiko.
Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk
mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang
penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat
potensi terjadi bencana harus adanya kesiapsiagaan yang dilakukan untuk
memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana.
Lalu adanya peringatan dini yang dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat
dan tepat dalam rangka mengurangi terkena bencana serta mempersiapkan
tindakan tanggap darurat.
Mitigasi bencana dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang,
pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan
penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern.
2. Saat Tanggap Darurat
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber
daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
3. Pascabencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana meliputi
rehabilitasi dan rekonstruksi.
14

2.2.8 BAB VII Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana

Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara


Pemerintah dan pemerintah daerah. Pada saat tanggap darurat BNPB menggunakan
Dana siap pakai yang disediakan oleh pemerintah. Dana untuk kepentingan
penanggulangan bencana yang disebabkan oleh kegiatan keantariksaan yang
menimbulkan bencana menjadi tanggung jawab negara peluncur dan/atau pemilik
sesuai dengan hukum dan perjanjian internasional.

Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi perencanaan, penggunaan,


pemeliharaan, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang
bantuan nasional maupun internasional. Tata cara pemanfaatan serta pertanggung
jawaban penggunaan sumber daya bantuan bencana pada saat tanggap darurat
dilakukan secara khusus sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi kedaruratan.

2.2.9 BAB IX Pengawasan

Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pengawasan terhadap


seluruh tahap penanggulangan bencana yang meliputi :

a. sumber ancaman atau bahaya bencana;


b. kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana;
c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana;
d. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan
rancang bangun dalam negeri;
e. kegiatan konservasi lingkungan;
f. perencanaan penataan ruang;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. kegiatan reklamasi; dan
i. pengelolaan keuangan.
15

2.2.10 BAB X Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa penanggulangan bencana pada tahap pertama


diupayakan berdasarkan asas musyawarah mufakat. Bila tidak diperoleh kesepakatan,
para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan atau melalui
pengadilan.

2.2.11 BAB XI Ketentuan Pidana

Tindak pidana yang dilakukan meliputi

a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pembangunan


berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana
mengakibatkan timbulnya kerugian harta benda atau barang dan atau
mengakibatkan matinya orang dan atau dilakukan dengan kesengajaan;
b. Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan akses
c. Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan
sumber daya bantuan bencana.

Selain pidana denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa


pencabutan izin usaha atau pencabutan status badan hukum.

2.2.12 BAB XII Ketentuan Peralihan

Pada saat berlakunya undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan


yang berkaitan dengan penanggulangan bencana dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan
undang-undang ini.

Semua program kegiatan berkaitan dengan penanggulangan bencana yang


telah ditetapkan sebelum ditetapkannya undang- undang ini dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan masa berlakunya berakhir, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan
Perundang-undangan.
16

2.2.13 BAB XIII Ketentuan Penutupan

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap


orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

2.3 Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008

Mengingat Pasal 50 ayat 2, Pasal 58 ayat 2, dan Pasal 59 ayat 2 pada Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka perlu
ditetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 mengenai
Penyelenggaran Penanggulangan Bencana. Peraturan ini terdiri dari 7 Bab dengan 96
pasal.

2.3.1 BAB I Ketentuan Umum

Penjelasan mengenai pengertian bencana, penyelenggaraan penanggulangan


bencana, korban bencana, wilayah bencana, pemerintah pusat, pemerintah daerah,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD).

2.3.2 BAB II Prabencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana meliputi:

1. Situasi tidak terjadi bencana


Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana
meliputi:
a. Perencanaan penanggulangan bencana
17

b. Pengurangan risiko bencana


c. Pencegahan
d. Pemaduan dalam perencanaan pembangunan
e. Persyaratan analisis risiko bencana
f. Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang
g. Pendidikan dan pelatihan
h. Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

2. Situasi terdapat potensi terjadinya bencana


Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi
terjadi bencana meliputi,
a. Kesiapsiagaan
b. Peringatan dini
c. Mitigasi Bencana

2.3.3 BAB III Tanggap Darurat

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:

a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian,


dan sumber daya
b. Penentuan status keadaan darurat bencana
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
d. Pemenuhan kebutuhan dasar
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan
f. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
18

2.3.4 BAB IV Pascabencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana terdiri:


1. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan untuk mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat
pada wilayah pascabencana, pemerintah daerah dapat menetapkan prioritas dari
kegiatan rehabilitasi setelah analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana.
Rehabilitasi merupakan tanggungjawab pemerintah dan/atau pemerintah daerah
yang terkena bencana. Dalam melakukan rehabilitasi, pemerintah kabupaten/kota
wajib menggunakan dana penanggulangan bencana dari APBD kabupaten/kota.
Apabila APBD tidak memadai, pemerintah kabupaten/kota dapat meminta bantuan
Dana kepada pemerintah provinsi yang bersangkutan dan/atau Pemerintah.
2. Rekonstruksi
Kegiatan rekonstruksi merupakan tanggung jawab pemerintah daerah yang
terkena bencana, kecuali prasarana dan sarana yang merupakan tanggung jawab
Pemerintah. Rencana rekonstruksi disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan
oleh kepala BNPB.
Dalam melakukan rekonstruksi, pemerintah kabupaten/kota wajib
menggunakan dana penanggulangan dari APBD, apabila tidak memadai, dapat
meminta bantuan dana kepada pemerintah provinsi yang bersangkutan dan/atau
Pemerintah

2.3.5 BAB V Pemantauan dan Evaluasi

Pada bab ini, terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:


1. Pemantauan
Pemantauan penyelenggaraan penanggulangan bencana diperlukan sebagai
upaya untuk memantau secara terus menerus terharap proses pelaksanaan.
Pemantauan dilakukan oleh unsur pengarah beserta unsur pelaksana BNPB dan/atau
BPBD. Pemantauan ini dapat melibatkan lembaga perencanaan pembangunan
nasional dan daerah.
19

2. Pelaporan
Penyusunan laporan dilakukan oleh unsur pengarah dan unsur pelaksana BNPB
dan/atau BPBD. Laporan digunakan untuk memverifikasi perencanaan program
BNPB dan/atau BPBD.
3. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dalam rangka pencapaian standar minimum dan
peningkatan kinerja penanggulangan bencana. Evaluasi dilakukan oleh unsur
pengarah BNPB untuk tingkat nasional dan unsur BNPB untuk tingkat daerah.

2.3.6 BAB VI Ketentuan Lain-Lain

Dalam hal bantuan untuk penanggulangan bencana yang berasal dari negara
asing, BNPB wajib berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri,
ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.3.7 BAB VII Ketentuan Penutup

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yaitu, 28


Februari 2008 di Jakarta. Peraturan ini tercatat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 42

2.4 Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negri No. 46 Tahun
2008

Mengingat Pasal 25 pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana, perlu pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD), karena itu ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negri Nomor 46
20

Tahun 2008 mengenai Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan
Bencana Daerah. Peraturan ini terdiri dari 8 bab dengan 37 pasal.

2.4.1 BAB I Ketentuan Umum

Penjelasan mengenai pengertian daerah, kepala daerah, pemerintah daerah,


perangkat daerah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi (BPBD Provinsi),
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten/Kota (BPBD Kabupaten/Kota),
dan Bencana

2.4.2 BAB II Pembentukan, Kedudukan, Tugas dan Fungsi BPBD Provinsi dan
BPBD Kabupaten/Kota

BPBD Provinsi dapat dibentuk disetiap provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota


dapat dibentuk disetiap Kabupaten/Kota sesuai dengan Peraturan Daerah. BPBD
Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada Kepala Daerah dan
dipimpin Kepala Badan secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah.

BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Menetapkan Pedoman dan Pengarahan terhadap usaha penanggulangan


bencana, mencakup pencegahan, penanganan darurat, rehabilitasi, serta
rekonstruksi secara adil dan setara.
b. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan
c. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana
d. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana
e. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Kepala
Daerah
f. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang
g. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
21

h. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-


undangan.

BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan


penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien
2. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, dan menyeluruh.

2.4.3 BAB III Organisasi

Susunan organisasi BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota terdiri atas:

1. Kepala BPBD
2. Unsur Pengarah
Unsur Pengarah BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
3. Unsur Pelaksana

Unsur pelaksana BPBD Provinsi bertanggung jawab kepada Kepala BPBD


Provinsi, dan unsur pelaksana BPBD Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada
Kepala BPBD Kabupaten/Kota. Susunan organisasi Unsur Pelaksana
Kabupaten/Kota terdiri atas klasifikasi A dan klasifikasi B

Struktur organisasi unsur pelaksana BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota


terdiri atas:

a. Kepala Pelaksana
b. Sekretariat Unsur Pelaksana
c. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan
d. Bidang Kedauratan dan Logistik
e. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
22

Gambar 2.1 Bagan Susunan Organisasi BPBD Provinsi (Lampiran Permendagri


No.46 Tahun 2008)
23

Gambar 2.2 Susunan Organisasi BPBD Kabupaten/Kota Klasifikasi A (Lampiran


Permendagri No. 46 Tahun 2008)
24

Gambar 2.3 Susunan Organisasi BPBD Kabupaten/Kota Klasifikasi B (Lampiran


Permendagri No.46 Tahun 2008)

2.4.4 BAB IV Eselon dan Kepegawaian

1. BPBD Provinsi
a. Kepala Pelaksana BPBD Provinsi ► Jabatan Struktural Eselon II.a
b. Kepala Sekretariat BPBD Provinsi ► Jabatan Struktural Eselon III.a
c. Kepala Bidang BPBD Provinsi ► Jabatan Struktural Eselon III.a
d. Kepala Subbagian dan Kepala Seksi BPBD ► Jabatan Struktural Eselon IV.a
25

2. BPBD Kabupaten/Kota
a. Kepala Pelaksana BPBD Klasifikasi A ► Jabatan Struktural Eselon II.b
b. Kepala Sekretariat BPBD Klasifikasi A ► Jabatan Struktural Eselon III.b
c. Kepala Pelaksana BPBD Klasifikasi B ► Jabatan Struktural Eselon III.a
d. Kepala Sekretariat BPBD Klasifikasi B ► Jabatan Strukutral Eselon IV.a
e. Kepala Subbagian dan Kepala Seksi BPBD ► Jabatan Struktural Eselon IV.a

Permendagri akan segera berubah mengingat terjadi perubahan nomenklatur


dimana dahulunya terdapat 4 macam eselon, menjadi hanya 2 macam eselon sesuai
dengan arahan Presiden.

2.4.5 BAB V Tata Kerja

Rapat koordinasi BPBD Provinsi dengan BPBD Kabupaten/Kota diadakan


paling sedikit 1 kali dalam 1 tahun atau sesuai dengan kebutuhan. Rapat koordinasi
nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan BPBD Provinsi
dan BPBD Kabupaten/Kota diadakan paling sedikit 1 kali dalan 1 tahun atau sesuai
dengan kebutuhan.

2.4.6 BAB VI Pembinaan dan Pengawasan

Pembinaan dan pengawasan teknik administratif serta fasilitasi


penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan
pembinaan dan pengawasan teknis operasional dilaksanakan oleh Kepala Badan
Nasional Penanggunalan Bencana dengan berkoordinasi dengan Menteri Dalam
Negeri.
26

2.4.7 BAB VII Pembiayaan

Pembiayaan BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penanganan bencana


dibebankan pada APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota serta sumber anggaran
lainnya yang sah dan tidak mengikat.

2.4.8 BAB VIII Ketentuan Penutup

Pembentukan BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota paling lambat 1


tahun dari sejak Peraturan ini ditetapkan.
Dengan terbentuknya BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota, maka
Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Provinsi dan Satuan Pelaksana
Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota dibubarkan.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya yaitu 22
Oktober 2008 di Jakarta

2.5 Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018

Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 yang mengatur hal terkait Penyelengaraan
Penanggulangan Bencana dalam Keadaan Tertentu. Bahwa dalam rangka
melaksanakan penanggulangan bencana secara terkoordinasi, terencana dan terpadu
perlu memperhatikan aspek good governance dan bersikap hati-hati.
Pada Perpres No. 17 Tahun 2018 pasal 1 menjelaskan mengenai:
1. Keadaan tertentu adalah suatu keadaan dimana status keadaan darurat bencana
belum ditetapkan atau status keadaan darurat bencana telah berakhir dan/atau
tidak diperpanjang.
2. Definisi bencana yang masih mengacu pada UU No. 24 Tahun 2007.
3. Keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan sekelompok masyarakat yang
memerlukan tindakan penanganan segera dan memadai yang meliputi kondisi
siaga darurat, tanggap darurat dan transisi darurat ke pemulihan.
27

4. Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat merupakan kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat.

Pada Perpres No. 17 Tahun 2018 pasal 2 menjelaskan mengenai penentuan status
keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
dengan tingkatan bencana. Untuk tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden, tingkat
daerah provinsi oleh Gubernur dan tingkat daerah kabupaten/kota oleh bupati/wali
Kota.
Pada Perpres No. 17 Tahun 2018 pasal 3 menjelaskan bahwa dalam keadaan
tertentu Kepala BNPB dapat melaksanakan penyelengaraan penanggulangan bencana
termasuk kemudahan akses dalam penanganan darurat, dilakukan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Setelah mendapatkan keputusan dalam rapat
koordinasi antar kementerian/lembaga yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator
yang membidangi koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Penyelengaraan penanggulangan bencana tersebut dilakukan pada kondisi:
1. Adanya potensi bencana dengan tingkat ancaman maksimum; dan
2. Telah terjadi evakuasi/penyelamatan/pengungsian atau gangguan fungsi
pelayanan umum yang berdampak luas terhadap kehidupan social dan
ekonomi masyarakat.

Pada Perpres No. 17 Tahun 2018 pasal 4 menjelaskan bahwa Peraturan Presiden
No. 17 Tahun 2018 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

2.6 Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah Jawa Barat No.2 Tahun 2010

Mengingat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, dan peraturan lainnya, karena itu ditetapkan Peraturan
Daerah Jawa Barat nomor 2 Tahun 2010 mengenai Peraturan Daerah Tentang
28

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Peraturan ini terdiri dari 17 bab dengan


144 pasal.

2.6.1 BAB I Ketentuan Umum

Penjelasan mengenai pengertian Daerah, Pemerintah Pusat, Pemerintah


Daerah, Gubernur, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan,
Bencana, Korban Bencana, Kejadian Luar Biasa, dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).

2.6.2 BAB II Asas dan Prinsip

Asas dalam penyelenggaran penanggulangan bencana di Daerah, antara lain:

a. Kemanusiaan
b. Keadilan
c. Kesamaan kedudukan dalam hokum dan pemerintahan
d. Keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
e. Ketertiban dan kepastian hokum
f. Kebersamaan

Prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Daerah,


antara lain:

a. Cepat dan Tepat


b. Prioritas
c. Koordinasi dan Keterpaduan
d. Berdayaguna dan Berhasilguna
e. Trasnparan dan Akuntabel
f. Pemberdayaan
29

2.6.3 BAB III Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan penyelenggaraan penanggulangan bencana antara lain:

a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana


b. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh
c. Mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya

2.6.4 BAB IV Tanggungjawab dan Wewenang

Tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan


bencana antara lain:

a. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena


bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum
b. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana
c. Pengurangan risiko bencana dan pemanduan pengurangan risiko bencana
melalui program pembangunan

Dalam menjalankan tanggungjawab sebagaimana dimaksud, Pemerintah


Daerah memiliki wewenang, antara lain:

a. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana di Daerah, selaras dengan


kebijakan pembangunan Daerah
b. Perencanaan pembangunan yang memadukan kebijakan penanggulangan
bencana
c. Pelaksanaan kerjasama dalam penanggulangan bencana dengan Provinsi
lain dan/atau Kabupaten/Kota
30

2.6.5 BAB V Badan Penanggulangan Bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Daerah dilaksanakan oleh Badan,


yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah. Badan mempunyai tugas pokok
menetapkan pedoman dan pengarahan, standardisasi dan prosedur tetap, menyusun dan
menetapkan serta mengelola sistem data dan informasi kebencanaan.

Badan mempunyai fungsi:

1. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan


penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien
2. Pengkoordinasian pelaksana kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh

2.6.6 BAB VI Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Alam

Penyelenggaraan penanggulangan bencana alam di Daerah dilaksanakan


berdasarkan 4 (empat) aspek, meliputi:
a. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
b. Kelestarian Lingkungan Hidup
c. Kemanfaatan dan Efektivitas
d. Lingkup Luas Wilayah.
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. Prabencana
b. Tanggap darurat
c. Pemulihan Segera (Early Recovery)
d. Pascabencana.

Pemulihan Segera (Early Recovery) fungsi prasarana dan sarana vital di


lokasi bencana, dilakukan untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat,
yang dilaksanakan dengan segera oleh instansi/lembaga terkait dan dikoordinasikan
oleh Badan sesuai kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
31

2.6.7 BAB VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Nonalam dan


Bencana Sosial

Bencana nonalam meliputi:


a. Kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia
b. Kecelakaan transportasi
c. Kegagalan konstruksi/teknologi
d. Dampak industry
e. Ledakan nuklir
f. Pencemaran lingkungan
g. Kegiatan keantariksaan
h. Kejadian luar biasa yang diakibatkan oleh hama penyakit tanaman,
epidemik dan wabah
Setiap orang wajib melakukan penanggulangan bencana nonalam dengan:
a. Pemberian informasi peringatan bencana nonalam kepada masyarakat
b. Pengisolasian bencana nonalam
c. Penghentian sumber bencana nonalam
d. Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Bencana sosial meliputi:


a. Kerusuhan sosial
b. Konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat
c. Teror

2.6.8 BAB VIII Standar Operasional Prosedur

Badan mengkoordinasikan dan memadukan penyelenggaraan penanggulangan


bencana di Daerah yang dilakukan oleh OPD, Instansi Vertikal, Pemerintah
Kabupaten/Kota, BUMN/BUMD, swasta, lembaga kemasyarakatan dan pihak lainnya
baik di dalam maupun di luar negeri sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan
32

peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud


Badan berkoordinasi dengan BNPB.

Gubernur menetapkan Standar Operasional Prosedur penyelenggaraan


penanggulangan bencana yang dilaksanakan oleh OPD sebagai jaminan kepastian
hukum dan perlindungan kepada masyarakat dan aparatur,

2.6.9 BAB IX Pengelolaan Bantuan

Dana penyelenggaraan penanggulangan bencana bersumber dari


a. APBN
b. APBD
c. Masyarakat
d. Sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.

Dana penanggulangan bencana di Daerah digunakan sesuai dengan


penyelenggaraan penanggulangan bencana yang meliputi tahap prabencana, tanggap
darurat, pemulihan segera, dan/atau pascabencana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Masyarakat dapat berpatisipasi dalam penyediaan dan penyaluran bantuan
bencana.

2.6.10 BAB X Kerjasama

Dalam pelaksanaan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi di


Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama antar daerah, dengan
Instansi/lembaga pemerintah, BUMN/BUMD, swasta dan lembaga kemasyarakatan
serta pihak lainnya baik di dalam maupun di luar negeri, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
33

2.6.11 BAB XI Partisipasi Masyarakat, Lembaga Usaha, dan Lembaga


Internasional

1. Hak dan Kewajiban Masyarakat


Setiap orang berhak:
a. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok
masyarakat rentan bencana
b. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana
c. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana
d. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan, termasuk dukungan
psikososial
e. Berpatisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana khususnya yang berkaitan dengan diir dan
komunitasnya
f. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam
pelaksanaan penanggulangan bencana

Setiap orang yang terkena bencana, berhak mendapatkan bantuan pemenuhan


kebutuhan dasar.

Setiap orang berkewajiban:

a. Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara


keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup
b. Melakukan kegiatan penanggulagan bencana
c. Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan
bencana
34

d. Mendapatkan izin dalam pengumpulan uang dan barang untuk


penanggulangan bencana.

2. Hak, Kewajiban dan Peran Lembaga Kemasyarakatan


Lembaga kemasyarakatan berhak:
a. Mendapatkan kesempatan dalam kegiatan penanggulangan bencana
b. Mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan
bencana
c. Melaksanakan kegiatan pengumpulan uang dan barang untuk membantu
kegiatan penanggulan bencana

Lembaga kemasyarakatan berkewajiban:

a. Berkoodinasi dengan Pemerinta Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota


dan/atau Badan
b. Melaporkan kepada Instansi yang berwenang mengenai pengumpulan uang
dan barang untuk membantu kegiatan penanggulangan bencana.

Lembaga Kemasyarakatan dapat berperan menyediakan sarana dan pelayanan


dalam penanggulangan bencana.

3. Peran Lembaga Usaha


Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, baik secara mandiri maupun bersama-sama dengan
pihak lain.

4. Peran Lembaga Internasional


Lembaga internasional dapat berperan serta dalam upaya penanggulangan
bencana dan mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah dan Pemerintah
Daerah terhadap para pekerjanya, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Lembaga internasional dalam melaksanakan kegiatan
35

penanggulangan bencana berhak mendapatkan akses yang aman ke wilayah


bencana.

2.6.12 BAB XII Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar


pengadilan. Pilihan penyelesaian sengketa dilakukan secara sukarela oleh para pihak
yang bersengketa.Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh
salah satu atau para pihak yang bersengketa.

1. Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan


Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai
kesepakatan, tidak berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam
Undang-Undang Lingkungan Hidup.
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan terbagi menjadi:
 Menuntut Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
 Tanggungjawab Mutlak
 Hak Gugat Pemerintah Daerah
 Hak Gugat Masyarakat, dan
 Hak Gugat Organisasi Kemasyarakatan

2.6.13 BAB XIII Pemantauan, Pelaporan, dan Evaluasi

Pemantauan terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan


oleh Badan serta dapat melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, sebagai bahan evaluasi.

Penyusunan laporan dilakukan oleh Badan dan bersifat regular


bulanan/triwulanan/semesteran. Laporan meliputi laporan realisasi keuangan dan
36

realisasi capaian hasil kinerja kegiatan, dilengkapi dengan permasalahan yang dihadapi
dan upaya pemecahan masalah dalam pelaksanaan kegiatan.

Evaluasi terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana di Daerah


dilakukan dalam rangka pencapaian standar minimal pelayanan dan peningkatan
kinerja penanggulangan bencana

2.6.14 BAB XIV Pengawasan dan Pertanggungjawaban

Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap


pengelolaan dana dan barang bantuan penanggulangan bencana di daerah

1. Pengawasan

Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pengumpulan dan penyaluran dana


dan barang bantuan, DPRD dan masyarakat dapat meminta dilakukannya audit
terhadap laporan pengumpulan dan penyaluran bantuan.

2. Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban atas penggunaan dana dan barang bantuan meliputi


pertanggungjawaban dana dan barang bantuan pada tahap prabencana, tanggap
darurat, pemulihan segera (early recovery) dan pascabencana.

2.6.15 BAB V Ketentuan Lain-Lain

Dalam hal bencana terjadi pada saat APBD belum ditetapkan, maka pendanaan
kegiatan tanggap darurat bencana dapat memafaatkan uang Kas Daerah yang tersedia.
37

2.6.16 BAB XVI Ketentuan Peralihan

Semua program dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan


penanggulangan bencana yang telah ditetapkan sebelum ditetapkannya Peraturan
Daerah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya program dan kegiatan.

2.6.17 BAB XVII Ketentuan Penutup

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang
mengenai teknis pelaksananya, ditetapkan oleh Gubernur.
Peraturan Daerah ini mulai berlaku setelah diundangkannya di Bandung.
Peraturan ini tercatat di dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2010
Nomor 1
BAB 3
STUDI KASUS

3.1 Ancaman Sesar Lembang di Bandung

3.1.1 Kota Bandung dan Sesar Lembang

Kota Bandung merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat dan juga merupakan
Kota Pusat dari Metropolitan Bandung Raya (Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab.
Bandung Barat, dan Kota Cimahi) yang terletak di 6 50' 38" - 6 68' 50" LS dan 107 33'
34" - 107 43' 50" BT. Kota Bandung memiliki luas wilayah sebesar 167,31km2 dengan
jumlah penduduk (tahun 2016) sebanyak 3.596.623 jiwa.

Sebagai Kota Metropolitan terbesar dan terpadat di Jawa Barat, Kota Bandung
berfungsi sebagai Kota Perdagangan dan Jasa yang tidak hanya melayani kotanya,
namun juga Kawasan Metropolitan Bandung Raya. Kota Bandung terdiri dari 30
kecamatan dan 151 kelurahan, yang terbagi ke dalam 8 Sub Wilayah Kota (SWK).

Kota Bandung terletak pada ketinggian 768 m di atas permukaan laut rata-rata,
dengan ketinggian di bagian utara pada umumnya lebih tinggi daripada di bagian
selatan. Ketinggian di bagian utara Kota Bandung sekitar 1.050 msl, sedangkan di
bagian selatan sekitar 675 msl. Kota Bandung dikelilingi oleh pegunungan, sehingga
Bandung merupakan suatu cekungan (Bandung Basin). Sungai utama yang melalui
Kota Bandung adalah Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum serta anak-anak
sungainya yang pada umumnya mengalir ke arah selatan dan bertemu di Sungai
Citarum. Dengan kondisi demikian, Bandung bagian selatan sangat rentan terhadap
masalah banjir.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Informasi Tata Ruang Berbasis
Mitigasi Bencana Kota Bandung, kota Bandung memiliki risiko bencana antara lain
banjir, tanah longsor, gunung api, dan gempa bumi. Menurut Daryono (2019) pada
Pusat Studi Gempa Nasional 2017, Sesar Lembang merupakan patahan besar di Jawa

38
39

Barat yang mengelilingi tepi utara Bandung, dan berada tepat di selatan gunung berapi
aktif Tangkuban Perahu. Saat ini, aktivitas Sesar Lembang menunjukkan bukti
geomorfik yang jelas dan berbagai kajian kebumian menunjukkan bukti Sesar
Lembang adalah sesar aktif. Sesar Lembang memiliki panjang 29 km dan merupakan
sesar oblique dengan kimpinen geser mengkiri dan komponen sesar naik. Berdasarkan
penggalian paleoseismologi Sesar Lembang, ditemukan bukti setidaknya terjadi 3
gempa bumi pada abad ke-15, 2300-60 sebelum masehi, dan 19620-19140 BP. Sesar
Lembang ini dapat menghasilkan gempa berkekuatan mulai dari 6,5 hingga 7,0 Mw,
dengan waktu pengulangan 170-670 tahun.

Gambar 3.1 Sesar Lembang

3.1.2 Pembahasan

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, istilah bencana adalah suatu peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Selain itu, definisi dari
bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
40

peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi karena alam,
tsunami, letusan gunung berapi, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor,
kebakaran hutan/lahan karena faktor alam, dan kejadian antariksa/benda-benda
angkasa.

Berdasarkan kedua definisi di atas, Kota Bandung memiliki potensi yang besar
untuk terjadinya bencana alam. Terutama gempa bumi yang diakibatkan oleh letak
Sesar Lembang yang berdekatan. Oleh karena itu, pemerintah harus bersikap proaktif
dalam perencanaan penanggulangan bencana, mempersiapkan sumberdaya yang
memadai untuk melakukan mitigasi jika terjadi bencana. Kemudian pemerintah harus
juga mengedukasi masyarakat akan potensi bencana gempa dan melakukan pelatihan
antisipasi gempa bumi. Pemda Jawa Barat juga sebaiknya memindahkan pusat
pembangunan dan pemerintahan keluar ke kota-kota yang lebih rendah potensi
bencananya serta siap infrastrukturnya.

Selain pemerintah, pihak swasta baik pengembang maupun pelaku


usaha konstruksi juga harus mengetahui potensi bencana ini sebelum
melakukan investasi di area Bandung demi menghindari kerugian apabila
terjadi bencana alam. Alangkah baiknya Kota Bandung lebih didorong
pembangunan area wisata alam serta kebudayaan dibandingkan area industri
atau perkantoran. Bagi pelaku usaha yang telah memiliki aset berupa bangunan
yang berisiko tinggi mengalami kerusakan ketika bencana gempa terjadi, dapat
melakukan tindakan preventif seperti perkuatan struktur bangunan menjadi
bangunan tahan gempa terutama apabila bangunan sudah berumur tua, dan
melakukan tindakan protektif seperti mengasuransikan aset nya.

Masyarakat juga harus aktif untuk mengikuti arahan dan pelatihan yang
diberikan pemerintah, baik dalam situasi non-bencana maupun dalam situasi bencana
demi meminimalisir korban jiwa. Kemudian masyarakat hendaknya aktif mengkritisi
pemerintah apabila terjadi pelanggaran dan kekeliruan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, serta swasta dalam perencanaan serta pelaksanaan proyek
41

konstruksi terutama apabila terindikasi merusak alam, mengganggu keselamatan warga


sekitar, dan berpotensi mengalami kegagalan ketika bencana.

3.2 Kebakaran Pipa PT. Pertamina (Persero) akibat Kegiatan PT. KCIC
Jakarta Bandung

3.2.1 Kronologi Insiden

Berdasarkan data yang diperoleh dari detik.com, telah terjadi kebakaran hebat
di Kampung Mancong, Kelurahan Melong, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi,
Jawa Barat pada hari Selasa tanggal 22 Oktober 2019. Lebih tepatnya, kejadian tersebut
terjadi di samping jalur tol Padalarang KM 130. Kebakaran tersebut berlangsung dari
pukul 13.00 WIB dan baru dapat dipadamkan oleh petugas pemadam kebakaran sekitar
pukul 17.20 WIB. Penyebab dari insiden kebakaran tersebut diduga merupakan imbas
dari bocornya pipa PT. Pertamina (Persero). Pipa tersebut merupakan pipa yang
mengalirkan BBM (bahan bakar minyak) berjenis pertamina dex dari Terminal BBM
Ujung Berung menuju Terminal BBM Padalarang.

Di saat yang bersamaan, terdapat proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang
dikerjakan oleh PT. KCIC (Kereta Cepat Indonesia China). Proyek tersebut diduga
merupakan penyebab dari terjadinya kebakaran hebat di daerah Padalarang tersebut.
Pekerjaan tiang bor yang dilakukan oleh PT. KCIC diduga mengenai pipa PT.
Pertamina (Persero). Seorang petugas operator alat berat dikabarkan tewas akibat
insiden tersebut. Sampai saat paper ini dituliskan, investigasi mendalam masih
dilakukan oleh kedua belah pihak, baik PT. KCIC sebagai terduga dan PT. Pertamina
(Persero) selaku pemilik pipa.

3.2.2 Pembahasan

Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, istilah


bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
42

timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Selain itu, definisi dari bencana nonalam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa
gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

Berdasarkan kedua definisi di atas, banyak orang mengambil kesimpulan


bahwa kejadian tersebut merupakan suatu bencana kategori nonalam. Indikasinya
adalah adanya korban jiwa dan dianggap merupakan suatu kegagalan teknologi. Akan
tetapi, sebagai orang yang mengerti ilmu sipil dan hukum di saat yang bersamaan, perlu
dimengerti bahwa terdapat perbedaan mendasar antara risiko dengan bencana. Bencana
merupakan peristiwa yang terjadi tanpa unsur kesengajaan dan proses terjadinya lebih
alamiah. Sedangkan, untuk risiko merupakan suatu peristiwa yang mungkin terjadi
akibat suatu proses sebelumnya baik per proses maupun akumulatif yang
mengakibatkan terjadinya suatu hal lain.

Dalam kasus ini, kejadian kebocoran pipa pertamina dex milik PT. Pertamina
(Persero) merupakan suatu risiko yang tidak diurus dengan baik. Terdapat beberapa
penjelasan dari masing-masing sudut pandang yang mungkin dapat menjelaskan
mengenai proses risiko tersebut. Salah satu Pihak yang paling bertanggung jawab
adalah Pemerintah Daerah. Pemerintah selaku pemilik lahan dan Pembina dalam proses
konstruksi, seharusnya memberikan seluruh perhatian terhadap seluruh proyek maupun
pekerjaan yang ada di atas teritorinya. Pemerintah Daerah sebagai pemberi ijin kerja,
harus sudah melakukan pemeriksaan terhadap kondisi eksisting (misalnya kondisi peta
utilitas di daerah sekitar). Bagaimana mungkin Pemerintah dapat mengeluarkan ijin
tanpa dilakukan pemeriksaan desain trase PT. KCIC terhadap kondisi eksisting yang
seharusnya benar-benar dipahami betul oleh Pemerintah.

Selain Pemerintah, Kontraktor/Pelaku Konstruksi menjadi salah satu Pihak


yang bertanggung jawab akan terjadinya insiden tersebut. Kontraktor sudah seharusnya
menyiapakn segala sarana dan prasarana pembantu sebelum pekerjaan konstruksi
dilakukan. Pemeriksaan terhadap kondisi utilitas di daerah tersebut tentu saja harus
43

dilakukan untuk mencegah terjadinya kejadian-kejadian yang tidak mengenakan


terjadi, misalnya kebakaran. Semakin lengkap data yang dimiliki, maka semakin akurat
hasil yang diinginkan dengan ekspektasi pada saat Perencanaan

Pihak terakhir yang tentu saja terlibat adalah Masyarakat. Selaku pengamat
dalam dunia konstruksi serta menjadi pihak yang dirugikan apabila terjadi suatu
kegagalan dari proses konstruksi, Masyarakat wajib mengikuti maupun memberikan
masukkan terhadap proyek yang berlangsung, baik itu merupakan masukkan yang
bersifat konstruktif maupun destruktif. Berdasarkan informasi yang diterima,
masyarakat sekitar sudah mengupayakan fungsi pengawasan dan mengingatkan
Kontraktor akan lokasi pipa milik PT. Pertamina (Persero) yang sangat berdekatan
dengan lokasi proyek.

Guna tercapaianya suatu proses yang baik dan sempurna dari masing-masing
proyek, diperlukan kolaborasi antara ketiga Pihak (Pemerintah Daerah), Kontraktor
selaku Pelaku Jasa Konstruksi, dan Masyarakat selaku Pengawas.

Walaupun tidak terdapat korelasi antara bencana dengan risiko, Penulis


menganggap bahwa pesan yang disampaikan sangat baik dan dapat mempengaruhi
kehidupan orang sekitar. Oleh sebab itu, penulisan studi kasus mengenai risiko
dianggap perlu dan memberikan gambaran mengenai perbedaan risiko dan bencana
yang selama ini bias.
BAB 4
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan

1. Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 definisi tentang bencana adalah


peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis. Walau telah terdapat definisi tentang bencana, hingga
kini masih belum terdapat aturan yang jelas tentang penetapan ukuran kejadian
yang dapat dikategorikan bencana, pada kejadian dan kerugian seperti apa suatu
kejadian dikatakan sebagai bencana.
2. Dalam UU No. 24 Tahun 2007 mengatur mengenai penanggulangan bencana
yang dapat dikategorikan menjadi bencana alam, non-alam dan sosial.
Untuk PP No. 21 Tahun 2008, diatur mengenai prinsip penanggulanan bencana
yang terdiri atas pra-bencana, saat bencana dan pasca bencana.
Untuk Permendagri No. 46 Tahun 2008, diatur mengenai pedoman organisasi
dan tata kerja BPBD.
Sedangkan Perda Jabar No. 2 Tahun 2010 tentang penanggulangan bencana,
mengatur mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana di Provinsi
Jawa Barat, dan
Perpres No. 17 Tahun 2018 mengatur penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam keadaan tertentu.
3. Peran UU No. 24 Tahun 2007 yang berdampak langsung pada penyelenggaraan
pembangunan yaitu kesadaran dari pelaku jasa konstruksi agar seluruh data
pelaksanaan dapat dilengkapi sebelum proses konstruksi berlangsung untuk
meminimalisir kemungkinan terjadinya risiko yang sesungguhnya dapat
dihindari. Terkait bencana, harus diperhatikan kondisi bencana yang mungkin

44
45

terjadi dan bagaimana cara untuk mengantisipasi bencana tersebut, termasuk


tahapan investasi yang dilakukan oleh semua Pihak.
4. Penegakkan peraturan (UU, PP, Permendagri, Perda) terkait kasus kegagalan
konstruksi di Indonesia sudah cukup baik karena sudah diperjelas UU tersebut
dengan PP yang diterbitkan oleh Pemerintah, dilanjutkan dengan Peraturan
Menteri yang kemudian juga dilanjutkan dengan Peraturan Daerah. Dengan
demikian, implementasi dari UU No. 24 Tahun 2007 sudah cukup baik dengan
segala produk hukum turunan dari UU tersebut. Terkait penegakkan hukum,
diharapkan agar aparat keamanan dapat menindak segala tindakan yang
disengaja untuk mengesampingkan risiko dan tiang memperhitungkan potensi
terjadinya bencana.

4.2 Rekomendasi

1. Tidak ada kompromi terhadap bencana


2. Pemerintah harus siap tanggap terhadap segala macam potensi bencana yang
mungkin muncul di suatu daerah. Selain itu, Pemerintah harus dapat
meminimalisir segala risiko yang mungkin terjadi pada suatu proyek karena
risiko merupakan akibat dari kelalaian manusia.
3. Masyarakat harus selalu waspada terhadap segala risiko yang mungkin
muncul, serta segala potensi bencana apabila memang berada di dalam radius
atau kawasan rawan bencana
4. Pelaku Jasa Konstruksi harus menghindarkan terjadinya risiko agar tidak
mengalami kerugian serta mempertimbangkan potensi bencana sebagai suatu
bahan pertimbangan dalam proses investasi maupun desain. Guna
meminimalisir risiko, seluruh data harus lengkap dan sudah dipertimbangkan
dalam proses konstruksi.
DAFTAR PUSTAKA

BAPPELITBANG Kota Bandung. SITARUNA Bandung. (On-Line). Tersedia di


www:
https://sitaruna.cityplan.id/ (30 Oktober 2019)

Detik News. Kebakaran Pipa Pertamina Cimahi Diduga Akibat Bor Proyek Kereta
Cepat (On-Line). Tersedia di www:
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4755711/kebakaran-pipa-
pertamina-cimahi-diduga-akibat-bor-proyek-kereta-cepat (30 Oktober 2019).

International Strategy for Disaster Reduction (ISDR), 2004 Dalam Masyarakat


Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), 2007.

Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang


Penanggulangan Bencana

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2018 Tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Keadaan Tertentu

PT. Viva Media Baru. Waspada, Ancaman Sesar Lembang di Bandung. (On-Line).
Tersedia di www:
https://www.viva.co.id/foto/digital/21891-waspada-ancaman-sesar-lembang-di-
bandung (30 Oktober 2019)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan


Bencana

46

Anda mungkin juga menyukai