Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hasil pertanian merupakan hasil dari kegiatan pertanian yang menyokong
kehidupan manusia didunia ini. Hasil produksi pertanian salah satunya berupa
tanaman atau hasil tanaman, dalam tulisan ini kita akan mengenal sedikit cara
bagaimana penanganan pasca panen dari pertanian yang berupa tanaman
hortikultura. Sebagaimana yang sudah kita ketahui hasil pertanian memiliki sifat
yang tidak tahan lama dalam proses penyimpanannya, akan tetapi walaupun tidak
tahan lama kita dapat mencegah kerusakan yang terjadi dengan cara menerapkan
teknologi yang optimum dalam kegiatan pasca panen.
Menurut Elvina (2015) setelah panen, sayuran memerlukan penanganan
pasca panen yang bertujuan:
1. Mempertahankan mutu produk sayuran agar tetap prima sampai ke tangan
konsumen.
2. Menekan kehilangan hasil karena kerusakan dan penyusutan.
3. Memperpanjang daya simpan dan meningkatkan nilai ekonomis sayuran.
Guna mencapai tujuan tersebut, penanganan pascapanen sayuran mengacu pada
pedoman cara penanganan pascapanen yang baik (Good Handling Practices).
Penyimpanan produk hasil pertanian bertujuan untuk memperpanjang
umur simpan bahan pangan tersebut sejak dipanen sampai akan digunakan
kembali atau diolah menjadi produk lain. Penyimpanan ini diharapkan mampu
menjaga kualitas dan kesegaran dari bahan pangan tersebut. Salah satu teknologi
yang bisa diterapkan untuk menjaga agar komoditi ini tetap baik adalah dengan
penyimpanan pada suhu dingin. Dengan menggunakan suhu dingin diharapkan
mampu mencegah kerusakan pasca panen karena penyimpanan ini dapat
mengurangi laju respirasi pada komoditi pangan yang baru selesai dipanen. Selain
itu, penyimpanan pada suhu rendah juga dapat mencegah aktivitas mikroba dan
terbentuknya tunas pada bahan pangan (Fikri, 2008).

1
Penyimpanan horti dapat memperpanjang kegunaan dan ketersediaan horti
karena kehilangan kadar air dapat diminimalkan. Penyimpanan sayuran dan buah
dapat dilakukan di luar atau di dalam lemari atau ruang pendingin
(refrigerator/cool storage). Penyimpanan di dalam lemari/ruang pendingin
merupakan cara yang terbaik karena komoditi sayuran dan buah memperoleh suhu
dan kelembaban relatif yang optimum sehingga terjaga kesegarannya dalam
jangka waktu yang relatif lama. Penyimpanan horti juga dapat dilakukan dengan
pengendalian atmosfer dan pelapisan dengan lilin (waxing). Akan tetapi tidak
semua jenis tanaman horti dapat disimpan dengan cara dimasukkan dalam
pendingin dikarenakan sifat intern dari suatu komoditas tersebut (Elvina, 2015).

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui berbagai macam teknik penanganan pascapanen pada
berbagai macam produk hasil pertanian.
2. Untuk mengetahui perbandingan dan cara penanganan pascapanen.
3. Mengetahui proses dan alur kegiatan pasca panen sayuran organik segar
langsung di lapangan.

2
BAB II
PENYIMPANAN BIJI-BIJIAN
A. Tinjauan Pustaka
Hasil pertanian yang termasuk kelompok biji-bijian ada banyak jenisnya
seperti jagung, kedelai dan kacang tolokacang tanah. Kacang tanah (Arachis
hypogaea L.) banyak ditanam di Indonesia dan merupakan tanaman yang mudah
dibudidayakan. Hasil panen kacang tanah sangat melimpah sehingga perlu
dilakukan pengelolaan pasca panen, salah stunya yaitu kegiatan penyimpanan.
Kegiatan penyimpanan ini rawan terjadi kontaminasi oleh cendawan Aspergillus
flavus dan A. parasiticus yang memproduksi aflatoksin. Hastuti (dalam Yeyen,
2016) menyatakan bahwa aflatoksin yang terkonsumsi oleh manusia dan hewan
yang terdapat pada makanan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur
hepatosit dan gangguan fungsi hepair. Dan kandungan aflatoksin kacang tanah
masih rendah setelah pemanenan yakni dibawah 50 ppb, diduga salah satu titik
kritis kandungan aflatoksin dapat meningkat pada kegiatan penyimpanan yang
kurang optimal menurut Rahmianna et al (dalam Yeyen, 2016).
Dalam penyimpanan yang tidak benar biji kacang tanah dapat mengalami
kerusakan, baik kerusakan secara kualitas maupun kuantitas. Kerusakan secara
kualitas yaitu terdapat jamur, warnanya kusam, keriput, bau apek yang
dikarenakan kandungan minyak dalam polong kacang tanah, dan kerusakan secara
kuantitas tentu ditandai dengan menurunnya berat kering yang disebabkan oleh
kerusakan-kerusakan kualitas diatas (Yeyen, 2016).
Teknologi penyimpanan dengan suhu dingin terkadang juga dapat
membuat kerusakan pada jenis komoditi tertentu dan sangat efektif pada beberapa
komoditi yang lain. Jenis komoditi yang dapat rusak pada penyimpanan suhu
rendah biasanya adalah produk dengan kadar air yang tinggi dan atau produk yang
mempunyai kulit tipis sehingga membuat komoditi ini mengalami perubahan
warna, tekstur ataupun kenampakannya yang berubah menjadi mengkerut
(Fitriani,Dini.2011).

3
B. Tujuan
Mengetahui pengaruh kadar air dan suhu penyimpanan pada biji-bijian
C. Alat dan Bahan
Alat : Kemasan plastik, kertas label, alat tulis
Bahan : Biji kacang tanah segar dan kering
D. Cara kerja

E. Hasil dan Pembahasan


Tabel 1. Hasil Pengamatan Kenampakan Biji Kacang Tanah
Kenampakan
Bahan Perlakuan
0 2 4 7
Kacang tanah Dikemas plastic disimpan
Segar Segar Segar Segar
segar pada suhu kamar
Kacang tanah Dikemas plastik disimpan Keriput Keriput Keriput
Segar
segar pada suhu kulkas jamur jamur jamur
Kacang tanah Dikemas plastic disimpan
Segar Segar keriput Keriput
kering pada suhu kamar
Sumber data : hasil pengamatan
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Jamur Pada Biji Kacang Tanah
Kenampakan
Bahan Perlakuan
0 2 4 7
Dikemas plastic disimpan
Kacang tanah segar - - - -
pada suhu kulkas
Dikemas plastic disimpan
Kacang tanah segar - + ++ ++
pada suhu kamar
Dikemas plastic disimpan
Kacang tanah kering - - - -
pada suhu kamar
Sumber data : Hasil pengamatan
Keterangan : - tidak ada jamur
+ Sedikit jamur
++ Terdapat jamur
Dari hasil pengamatan mengenai kenampakan biji kacang tanah dapat
diketahui bahwa pada biji kacang tanah kering dengan perlakuan kemas dan
disimpan suhu kamar didapatkan kenampakan segar tetapi tidak mengalami
kerusakan pada biji kacang tanah hal ini dikarenakan kondisi biji yang kering dan
tidak memiliki kadar air yang tinggi sehingga terlihat segar. Penyimpanan biji-

4
bijian berkadar air relatif rendah (12 – 16 %) yang dilakukan pada suhu kamar,
akan sangat membantu mengurangi resiko kerusakan kimia/biokimia dan
mikrobiologis. Hasil untuk biji kacang tanah segar simpan suhu kamar
kenampakan warnanya adalah segar dan mengalami kontaminasi berupa tumbuh
jamur dan semakin lama hingga hari ke-7 pertumbuhan jamur semakin banyak,
sedangkan pada biji kacang tanah segar dengan perlakuan suhu dingin didapatkan
kenampakan pada biji yang masih segar dan tidak ada pertumbuhan jamur.
Kualitas biji-bijian dalam penyimpanan sangat ditentukan oleh aspek
lingkungan penyimpanan. Aspek lingkungan ini meliputi faktor fisik terutama
suhu dan kelembaban udara, faktor biotik terutama oleh hama, cendawan dan
bakteri serta faktor sosial seperti kebiasaan dan cara penyimpanan yang
digunakan. Untuk pengamatan pertumbuhan mikrobia didapatkan pada sampel
tidak terjadi pertumbuhan mikrobia pada biji kering suhu kamar, begitu pula pada
biji segar dengan perlakuan suhu dingin atau suhu kulkas, namun pada kacang
tanah segar suhu kamar terdapat pertumbuhan jamur dan semakin lama
pertumbuhan jamur semakin banyak, hal tersebut disebabkan oleh kadar air yang
masih tinggi pada kacang tanah dan suhu yang sesuai untuk mikrobia
berkembang pada suhu kamar serta karena dikemas pada plastik yang
mengakibatkan uap air tertahan dalam kemasan dan mengakibatkan tumbuhnya
jamur pada bijikacang tanah segar.
Entjang, (2003) mengatakan bahwa suhu rendah sampai di bawah suhu
minimumnya, menyebabkan bakteri tidak dapat berkembang biak, pada umumnya
tidak segera mematikan bkteri, bahkan ada yang tahan bertahun-tahun pada suhu
minus 70°C (tujuh puluh derajat Celcius). Bakteri yang pathogen pada manusia
umumnya cepat mati pada suhu 0°C (nol derajat Celcius).
F. Kesimpulan
Pada penyimpanan biji-bijian harus diperhatikan mengenai kadar air dari
biji-bijian tersebut, jika kadar air pada biji-bijian rendah maka tingkat
kerusakannya akan semakin bisa untuk di minimalisir dan sebaliknya jika biji-
bijian yang disimpan segar (kadar air tinggi) dengan perlakuan dikemas plastik
tanpa diletakkan pada suhu rendah akan lebih mudah mengalami kerusakan. Pada

5
penyimpanan biji-bijian kering yang disimpan dalam kemasan plastik tidak
mudah mengalami kerusakan pada suhu ruang.
BAB III
PENYIMPANAN BUAH DAN SAYURAN

A. Tinjauan Pustaka
Sayuran dan buah-buahan merupakan hasil pertanian yang mempunyai sifat
lunak dan kadar airnya tinggi. Hasil pertanian seperti sayur dan buah sangat
mudah mengalami kerusakan setelah pemanenan baik kerusakan fisik,
mekanis, maupun mikrobiologis, sehingga untuk penyediaan secara
berkesinambungan diperlukan suatu sistem terintegrasi yang dimulai dari
penanaman, pemanenan, penanganan pascapanen, penyimpanan, serta
distribusi ke konsumen. Sebagian besar dari buah-buahan dan sayuran lebih
disenangi dikonsumsi dalam keadaan segar (Dewi, 2007).
Respirasi merupakan proses katabolisme yang bertujuan untuk memperoleh
energi yang diperlukan untuk proses-proses kehidupan. Respirasi merupakan
reaksi yang menggunakan oksigen (O2) untuk merombak makromolekul menjadi
molekul-molekul yang lebih sederhana. Proses respirasi menghasilkan CO2, uap
air dan panas. Akibat proses respirasi, buah dan sayur mengalami perubahan
kimia yang mengakibatkan perubahan fisik. Fenomena respirasi pada buah dan
sayuran dapat menyebabkan serangkaian perubahan dari tu (mature) menjadi
matang (ripe), layu (senescence) dan akhirnya busuk (decay) (Leni Herliani
Afrianti, 2008).
Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan buah
dan sayuran sesudah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran
laju jalannya metabolisme, dan oleh karena itu sering dianggap sebagai
petunjuk mengenai potensi daya simpan buah dan sayuran. Laju respirasi yang
tinggi biasanya disertai oleh umur simpan yang pendek. Hal itu juga
merupakan petunjuk laju kemunduran mutu dan nilainya sebagai bahan
makanan. Faktor yang sangat penting yang mempengaruhi respirasi dilihat
dari segi penyimpanan adalah suhu. Peningkatan suhu antara 00C – 350C

6
akan meningkatkan laju respirasi buah-buahan dan sayuran, yang memberi
petunjuk bahwa baik proses biologi maupun proses kimiawi dipengaruhi oleh
suhu. Sampai sekarang pendinginan merupakan satu-satunya cara ekonomis
untuk penyimpanan jangka panjang bagi buah dan sayuran segar. Asas dasar
penyimpanan dingin adalah penghambatan respirasi oleh suhu tersebut
(Pantastico, l997 cit, Safaryani at al., 2007).
Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme,
dimana pada umumnya setiap penurunan suhu 80C, kecepatan reaksi akan
berkurang menjadi kira-kira setengahnya. Karena itu penyimpanan dapat
memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan dalam bahan pangan, karena
keaktifan respirasi menurun. Perubahan yang terjadi antara lain kenaikan
kandungan gula, disusul penurunannya. Hal ini terjadi akibat pemecahan
polisakarida-polisakarida. Perubahan keasaman dapat berbeda sesuai tingkat
kemasakan dan tingginya suhu penyimpanan. Pada umumnya turunnya asam
askorbat lebih cepat pada suhu penyimpanan tinggi. Asam-asam amino
dengan cepat berkurang selama penympanan suhu rendah yaitu antara 6-200C
tetapi stabil pada suhu 20C. Kegiatan ezim-enzim katalase, pektinesterase,
selulase dan amilase meningkat selama penyimpanan. Perubahan lain yaitu
penurunan ketegaran dan kepadatan, warna okasidasi lemak dan melunaknya
jaringan-jaringan serta rasa pada bahan pangan (Safaryani et al., 2007).
Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan buah
sesudah dipanen. Faktor-faktor yang dapat mempercepat laju respirasi antra lain
suhu penyimpanan tinggi, umur panen muda, adanya luka pada buah, kandungan
gula awal yang tinggi pada produk, dan ukuran buah lebih besar. Respirasi
merupakan sarana penyediaan energi yang vital dibutuhkan untuk
mempertahankan struktur sel dan jalannya proses-proses biokimia (Fendriansyah
et al., 2014). Menurut Siswadi (2007), teknik penyimpanan untuk
mempertahankan kesegaran buah dan sayuran dalam waktu yang lama pada
prinsipnya adalah menekan sekecil mungkin terjadinya respirasi dantranspirasi.
Transpirasi dapat dikurangi dengan cara meningkatkan kelembaban relative,
menurunkan suhu udara, menurunkan kecepatan udara atau dengan pengemas

7
protektifsehingga menghambat proses enzimatis/biokimia yang terjadi dalam
buah dan sayur. Dengan demikian kematangan buah dapat ditunda. Beberapa cara
teknik penyimpanan buah tomat yaitu penyimpanan pada suhu dingin,
penyimpanan pada ruang berventilasi, penyimpanan dalam ruang vakum,
penyimpan dalam merendam dalam air yang mengalir dan tidak mengalir, dan
penyimpanan timbunan es.
B. Tujuan
Mengetahui pengaruh berbagai kondisi (suhu penyimpanan, kemasan, dan
adanya luka) terhadap mutu buah dan sayur pada saat penyimpanan.
C. Bahan dan Alat
Alat : Kemasan plastik, kertas koran, alat tulis, dan label.
Bahan : Sawi, Tauge, dan Pisang yang belum matang penuh
D. Cara kerja

E. Hasil dan Pembahasan


Tabel 3. Hasil pengamatan penyimpanan sayur sawi
% penurunan
Hari Ke
Bahan Perlakuan Variabel berat
0 2 4 7
Tidak Berat 112 87 69 46 58,9%
dikemas
Sawi Kesegaran 1 2 3 4
Simpan
suhu kamar Warna 1 2 3 3
Tidak Berat 111 101 86 73 34,2%
dikemas
Sawi Kesegaran 1 1 2 3
Simpan
suhu kulkas Warna 1 1 1 1
Dikemas Berat 121 121 120 118 2,4%
plastic
Sawi Kesegaran 1 1 2 3
Simpan
suhu kamar Warna 1 1 2 3
Dikemas Berat 104 104 104 104 0%
Simpan
Sawi Kesegaran 1 1 1 1
suhu
Rendah Warna 1 1 1 1
Dikemas Berat 72 62 53 40 44,4%
Sawi koran suhu Kesegaran 1 2 2 4
ruang Warna 1 2 2 3
Dikemas Berat 92 85 79 64 30,4%
Sawi
koran suhu Kesegaran 1 2 4 4

8
kulkas Warna 1 1 1 2
Sumber Data : Pengamatan Kelompok

Keterangan :
Kesegaran
1 = Segar
2 = Agak Layu
3 = Layu
4 = Sangat Layu
Warna
1 = Hijau
2 = Hijau agak kuning
3 = Kuning
Tabel 4. Hasil pengamatan penyimpanan buah tomat
Hari Ke % penurunan
Bahan Perlakuan Variabel
0 2 4 7 berat
Tidak dikemas Simpan Berat 25 16 11 5 80%
Tauge
suhu ruang Kesegaran 1 3 3 4
Tidak dikemas Simpan Berat 25 10 9 6 76%
Tauge
suhu rendah Kesegaran 1 2 4 4
Dikemas Simpan suhu Berat 25 24 23 23 8%
Tauge
ruang Kesegaran 1 1 2 3
Dikemas Simpan suhu Berat 25 24 24 24 4%
Tauge
rendah Kesegaran 1 1 2
Dikemas koran simpan Berat 25 13 9 6 76%
Tauge
suhu kamar Kesegaran 1 2 2 3
Dikemas koran simpan Berat 25 16 14 11 56%
Tauge
suhu kulkas Kesegaran 1 2 2 4
Sumber Data : Pengamatan Kelompok
Keterangan :
Kesegaran
1 = Segar
2 = Agak Layu
3 = Layu
4 = Sangat Layu

9
Table 5. Hasil penyimpanan buah pisang
Hari ke- % penurunan
Bahan Perlakuan Variable
0 2 4 7 berat
Berat 85 85 84 80 5,8%
Tidak
Pisang Kesegaran 1 2 2 3
disayat
Warna 2 2 2 2
Berat 88 88 88 87 1,1%
Pisang Disayat 3 Kesegaran 1 2 2 4
Warna 2 2 2 3
Sumber Data : Pengamatan Kelompok
Keterangan :
Kesegaran
1= Segar
2= Agak Layu
3= Layu
4= Sangat Layu
Warna
1= Hijau
2= Hijau agak kuning
3= Kuning
Dari hasil pengamatan penyimpanan sayur sawi bahwa pada setiap
perlakuan mengalami penyusutan berat, berkurangnya tingkat kesegaran dan
terjadinya perubahan warna. Pada perlakuan tidak di kemas disimpan pada suhu
kamar berat pada hari ke-0 adalah 112 gram setelah hari ke-7 penyimpanan
menjadi 46 gram sehingga terjadi penurunan berat sebanyak 66 gram, selain itu
kesegarannya yang pada hari ke-0 segar setelah hari ke-7 menjadi sangat layu dan
terjadi perubahan warna yang pada hari ke-0 hijau setelah hari ke-7 menjadi
kuning. Pada perlakuan tidak dikemas disimpan pada suhu rendah berat pada hari
ke-0 adalah 111 gram setelah hari ke-7 penyimpanan menjadi 73 gram sehingga
terjadi penurunan berat sebanyak 38 gram, selain itu kesegarannya yang pada hari

10
ke-0 segar setelah hari ke-7 menjadi layu namun tidak terjadi perubahan warna
dari hari ke-0 sampai hari ke-7. Pada perlakuan dikemas plastik disimpan pada
suhu ruang berat pada hari ke-0 adalah 121 gram setelah hari ke-7 penyimpanan
menjadi 118 gram sehingga terjadi penurunan berat sebanyak 3 gram, selain itu
kesegarannya yang pada hari ke-0 segar setelah hari ke-7 menjadi layu dan terjadi
perubahan warna yang pada hari ke-0 hijau setelah hari ke-7 menjadi hijau agak
kuning. Pada perlakuan dikemas plastik disimpan pada suhu rendah berat sawi
tidak mengalami penurunan begitu pula dengan kesegaran dan warna tidak
mengalami perubahan. Pada perlakuan dikemas koran disimpan pada suhu kamar
berat pada hari ke-0 adalah 72 gram setelah hari ke-7 penyimpanan menjadi 40
gram sehingga terjadi penurunan berat sebanyak 32 gram, selain itu kesegarannya
yang pada hari ke-0 segar setelah hari ke-7 menjadi sangat layu dan terjadi
perubahan warna yang pada hari ke-0 hijau setelah hari ke-7 menjadi kuning. Pada
perlakuan tidak di kemas disimpan pada suhu kamar berat pada hari ke-0 adalah
92 gram setelah hari ke-7 penyimpanan menjadi 64 gram sehingga terjadi
penurunan berat sebanyak 28 gram, selain itu kesegarannya yang pada hari ke-0
segar setelah hari ke-7 menjadi sangat layu dan terjadi perubahan warna yang
pada hari ke-0 hijau setelah hari ke-7 menjadi agak kuning
Sedangkan pada hasil pengamatan penyimpanan touge bahwa pada setiap
perlakuan mengalami penyusutan berat, berkurangnya tingkat kesegaran. Pada
perlakuan tidak di kemas disimpan pada suhu kamar berat pada hari ke-0 adalah
25 gram setelah hari ke-7 penyimpanan menjadi 5 gram sehingga terjadi
penurunan berat sebanyak 20 gram, selain itu kesegarannya yang pada hari ke-0
segar setelah hari ke-7 menjadi sangat layu. Pada perlakuan tidak dikemas
disimpan pada suhu rendah berat pada hari ke-0 adalah 25 gram setelah hari ke-7
penyimpanan menjadi 6 gram sehingga terjadi penurunan berat sebanyak 19 gram,
selain itu kesegarannya yang pada hari ke-0 segar setelah hari ke-7 menjadi sangat
layu. Pada perlakuan dikemas plastik disimpan pada suhu ruang berat pada hari
ke-0 adalah 25 gram setelah hari ke-7 penyimpanan menjadi 23 gram sehingga
terjadi penurunan berat sebanyak 2 gram, selain itu kesegarannya yang pada hari
ke-0 segar setelah hari ke-7 menjadi agak layu. Pada perlakuan dikemas plastik

11
disimpan pada suhu rendah berat pada hari ke-0 adalah 25 gram setelah hari ke-7
penyimpanan menjadi 24 gram sehingga terjadi penurunan berat sebanyak 1 gram,
selain itu kesegarannya yang pada hari ke-0 segar setelah hari ke-7 tetap agak
layu. Pada perlakuan dikemas koran disimpan pada suhu kamar berat pada hari
ke-0 adalah 25 gram setelah hari ke-7 penyimpanan menjadi 6 gram sehingga
terjadi penurunan berat sebanyak 19 gram, selain itu kesegarannya yang pada hari
ke-0 segar setelah hari ke-7 tetap agak layu. Pada perlakuan dikemas koran
disimpan pada suhu rendah berat pada hari ke-0 adalah 25 gram setelah hari ke-7
penyimpanan menjadi 11 gram sehingga terjadi penurunan berat sebanyak 14
gram, selain itu kesegarannya yang pada hari ke-0 segar setelah hari ke-7 tetap
sangat layu.
Sedangkan pada hasil pengamatan penyimpanan touge bahwa pada setiap
perlakuan mengalami penyusutan berat, berkurangnya tingkat kesegaran dan
terjadinya perubahan warna. Pada perlakuan tidak disayat berat pada hari ke-0
adalah 85 gram setelah hari ke-7 penyimpanan menjadi 80 gram sehingga terjadi
penurunan berat sebanyak 5 gram, selain itu kesegarannya yang pada hari ke-0
segar setelah hari ke-7 layu dan namun tidak terjadi perubahan warna. Pada
perlakuan disayat 3 berat pada hari ke-0 adalah 88 gram setelah hari ke-7
penyimpanan menjadi 87 gram sehingga terjadi penurunan berat sebanyak 1 gram,
selain itu kesegarannya yang pada hari ke-0 segar setelah hari ke-7 sangat layu
dan terjadi perubahan warna yang pada hari ke-0 hijau agak kuning setelah hari
ke-7 menjadi kuning.
Pada penyimpanan buah dan sayur, dari hasil pengamatan bahwa
penyimpanan dengan cara dikemas disimpan pada suhu rendah merupakan cara
yang terbaik, hal ini dilihat dari sedikit penurunun berat, kesegaran, dan warna.
Faktor yang mempengaruhi karena penyimpanan buah dan sayur dengan dikemas
disimpan pada suhu rendah menjadi yang terbaik karena dengan cara
penyimpanan dengan cara ini dapat menurunkan pertumbuhan dan perkembangan
mikrobia, selain itu juga dengan penyimpanan dikemas disimpan suhu rendah
memperlambat metabolisme pada buah dan sayur. Menurut Safaryani et al.,
(2007) Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme,

12
dimana pada umumnya setiap penurunan suhu 80C, kecepatan reaksi akan
berkurang menjadi kira-kira setengahnya. Karena itu penyimpanan dapat
memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan dalam bahan pangan, karena
keaktifan respirasi menurun. Perubahan yang terjadi antara lain kenaikan
kandungan gula, disusul penurunannya. Hal ini terjadi akibat pemecahan
polisakarida-polisakarida. Perubahan keasaman dapat berbeda sesuai tingkat
kemasakan dan tingginya suhu penyimpanan. Pada umumnya turunnya asam
askorbat lebih cepat pada suhu penyimpanan tinggi. Asam-asam amino
dengan cepat berkurang selama penympanan suhu rendah yaitu antara 6-200C
tetapi stabil pada suhu 20C. Kegiatan ezim-enzim katalase, pektinesterase,
selulase dan amilase meningkat selama penyimpanan. Perubahan lain yaitu
penurunan ketegaran dan kepadatan, warna okasidasi lemak dan melunaknya
jaringan-jaringan serta rasa pada bahan pangan. Selain itu pengemasan buah
dan sayur juga dapat menghambat respirasi dari buah dan sayur. Menurut Leni
Herliani Afrianti ( 2008) Respirasi merupakan proses katabolisme yang bertujuan
untuk memperoleh energi yang diperlukan untuk proses-proses kehidupan.
Respirasi merupakan reaksi yang menggunakan oksigen (O2) untuk merombak
makromolekul menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Proses respirasi
menghasilkan CO2, uap air dan panas. Akibat proses respirasi, buah dan sayur
mengalami perubahan kimia yang mengakibatkan perubahan fisik. Fenomena
respirasi pada buah dan sayuran dapat menyebabkan serangkaian perubahan dari
tu (mature) menjadi matang (ripe), layu (senescence) dan akhirnya busuk (decay).
Dibandingan dengan buah dan sayur yang tidak dikemas disimpan pada suhu
ruang hasilnya buah dan sayur akan lebih cepat mengalami kerusakan.
F. Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa penyimpanan buah dan sayur
dengan cara dikemas disuhu rendah dapat memperlama daya penyimpanan. Hal
ini dilihat dari rendahnya penurunan berat, kesegaran, dan warna buah dan sayur.
Adapun faktor yang mempengaruhi adalah penekanan proses metabolisme pada
buah dan sayur karena suhu rendah dan pengemasan buah juga menghambat
proses respirasi pada buah dan sayur.

13
BAB IV
REAKSI PENCOKLATAN PADA BUAH

A. Tinjauan Pustaka
Proses browning enzimatis disebabkan karena adanya aktivitas enzim pada
bahan pangan segar, seperti pada susu segar, buah-buahan dan sayuran.
Pencoklatan enzimatik terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung
substrat phenolik, katekin, tirosin, asam kafeat, asam klorogenat, serta
leukoantosianin dapat menjadi substrat proses pencoklatan. Senyawa phenolik
dengan jenis ortodihidroksi atau trihidroksi yang saling berdekatan merupakan
substrat yang baik untuk proses pencoklatan. Reaksi ini dapat terjadi bila jaringan
tanaman terpotong, terkupas dan karena kerusakan secara mekanis yang dapat
menyebabkan kerusakan integritas jaringan tanaman. Hal ini menyebabkan enzim
dapat kontak dengan substrat yang biasanya merupakan asam amino tirosin dan
komponen phenolik seperti katekin, asam kafeat, dan asam klorogena sehingga
substrat phenolik pada tanaman akan dihidroksilasi menjadi 3,4-
dihidroksifenilalanin (dopa) dan dioksidasi menjadi kuinon oleh enzim phenolase
(Wiley-Blackwell,2012).
Apel mengandung enzim yang disebut oksidase polifenol (PPO) atau
tryosinase. Enzim inilah yang bertanggung jawab atas warna coklat apel. Ketika
apel diiris. enzim tersebut muncul dan bereaksi dengan oksigen sehingga
mengoksidasi senyawa fenolik yang dalam jaringan apel, o-kuinon. O-kuinon
kemudian menghasilkan produk-produk sekunder berwarna coklat yang merubah
dari warna asli apel (Mamanoenk, 2011). Selain warna, tekstur buah apel juga
akan mengalami. Perubahan akan berlangsung cepat pada suhu ruang diikuti suhu
fluktuasi sedangkan pada suhu dingin stabil perubahan berjalan lambat sehingga
cepat mengalami pelunakan dan pengeriputan (Sugiar, 2012).

14
Perubahan warna ini tidak hanya mengurangi kualitas visual tetapi juga
menghasilkan perubahan rasa serta hilangnya nutrisi. Reaksi pencoklatan ini dapat
menyebabkan kerugian perubahan dalam penampilan dan sifat organoleptik dari
makanan serta nilai pasar dari produk tersebut. Kecepatan perubahan pencoklatan
enzimatis pada bahan pangan dapat dihambat melalui beberapa metode
berdasarkan prinsip inaktivasi enzim, penghambatan reaksi substrat dengan
enzim, penggunaan chelating agents, oksidator maupun inhibitor enzimatis.
Adapun cara konvensional yang biasa dilakukan adalah perlakuan perendaman
bahan pangan dalam air, larutan asam sitrat maupun larutan sulfit.
(WileyBlackwell, 2012).
B. Tujuan
Mengetahui terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis dan cara mencegah
pencoklatan.
C. Alat dan Bahan
Alat : Pisau stainless steel, piring kertas, gelas ukur, telenan
Bahan : Buah Apel, larutan asam sitrat 1%, larutan gula 10%, air biasa
D. Cara kerja

E. Pembahasan Hasil
Tabel 6. Hasil pengamatan reaksi pencoklatan pada buah
Terbentuknya pencoklatan pada perlakuan
Bahan Kontrol Air Air gula Asam sitrat
0 15 30 0 15 30 0 15 30 0 15 30
Apel - + ++ - + ++ - - + - - -
Sumber data : hasil pengamatan
Keterangan : - tidak coklat
+ Sedikit coklat
++ Coklat pekat
Dari hasil pengamatan buah apel pada setiap perlakuan mengalami
perubahan warna. Proses browning atau pencokelatan adalah proses di mana suatu
zat, pada umumnya berupa makanan, berubah warna menjadi kecokelatan.
Perubahan warna tersebut umumnya diikuti oleh perubahan rasa pada makanan

15
yang mengurangi cita rasa makanan sehingga proses ini seringkali dianggap
merugikan. Kontrol pada tabel yaitu apel yang setelah dikupas langsung
diletakkan pada piring kertas dan dibiarkan terkena udara (O2) mengalami proses
pencokelatan enzimatik yang dipengaruhi oleh kerja enzim fenolase. Ketika apel
dikupas atau dipotong, enzim yang tersimpan di dalam jaringan apel akan
terbebas. Apabila enzim tersebut mengalami kontak dengan oksigen di udara,
fenolase akan mengkatalisis konversi biokimia dari komponen fenolik yang ada
pada apel sehingga komponen tersebut berubah menjadi pigmen coklat atau
melanin. Apel yang dibiarkan pada menit ke 0 belum mengalami proses
pencoklatan, setelah menit ke 15 sudah mulai terjadi pencoklatan dan pada menit
ke 30 apel sudah mengalami pencoklatan di seluruh permukaan yang di potong.
Apel yang direndam dengan air selama 5 menit kemudian diangkat dan
diletakkan pada piring kertas mempunyai hasil yang sama dengan apel yang
dibiarakan terkena langsung udara karena air tidak dapat menghambat enzim
fenolase yang dapat menyebabkan O2 untuk dapat bereaksi dengan apel yang
dikupas. Pada perlakuan direndam menggunakan air gula selama 5 menit
kemudian diangkat dan diletakkan pada piring kertas, pada menit ke 0 dan menit
ke 15 tidak mengalami proses pencoklatan dan pada menit ke 30 sedikit
mengalami reaksi pencoklatan, hal tersebut membuktikan bahwa air larutan gula
10% dapat sedikit menghambat proses pencoklatan pada buah apel.
Pada perlakuan direndam menggunakan larutan asam sitrat 1% selama 5
menit kemudian diangkat dan diletakkan pada piring kertas, pada menit 0 sampai
dengan menit ke 30 tidak mengalami proses pencoklatan sama sekali karena asam
sitrat adalah asam trikarboksilat yang tiap molekulnya mengandung tiga gugus
karboksilat. Selain itu ada satu gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon di
tengah. Asam sitrat termasuk asidulan, yaitu senyawa kimia yang bersifat asam
dan ditambahkan pada proses pengolahan makanan dengan berbagai tujuan.
Asidulan dapat bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau menyelubungi after
taste yang tidak disukai. Sifat senyawa ini dapat mencegah pertumbuhan mikroba
dan bertindak sebagai pengawet. Asam sitrat (yang banyak terdapat dalam lemon)
sangat mudah teroksidasi dan dapat digunakan sebagai pengikat oksigen untuk

16
mencegah buah berubah menjadi berwarna coklat. Ini sebabnya mengapa bila
potongan apel direndam sebentar dalam jus lemon, warna putih khas apel akan
lebih tahan lama.

F. Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan air gula
dan asam sitrat dapat menghambat proses pencoklatan, terutama pada penggunaan
larutan asam sitrat 1% untuk merendam sangat efektif dalam mencegah proses
pencoklatan karena dalam 30 menit pengamatan tidak terjadi pencoklatan sama
sekali, sedangkan pada penggunaan larutan gula 10% dapat mencegah
pencoklatan tetapi hanya berlangsung sebentar terbukti pada menit ke 30 ada
sedikit perubahan warna pada apel yang dikupas

17
BAB V
CHILLING INJURY

A. Tinjauan pustaka
Menurut Azahra (2017) chilling injury merupakan kerusakan utama yang
terjadi pada buah dan sayur asal tropis dan subtropis (Pisang, dan Tomat),
meskipun gangguan fisiologis tertentu akan muncul pada buah dan sayur ini
hanya ketika mereka disimpan pada suhu rendah. Chilling injury tidak sama
dengan freezing injury, yang merupakan akibat dari kerusakan dari kristal es
terbentuk di jaringan disimpan di bawah titik beku mereka. Suhu dingin minimum
untuk komoditas sensitif akan jauh di atas titik beku mereka. Suhu kritis untuk
chilling injury ini bervariasi berdasarkan komoditas masing – masing, tetapi
biasanya terjadi ketika produk disimpan pada suhu di bawah 10°C -13° C.
Penyebab utama dari chilling injury dianggap kerusakan dalam membran
sel. Kerusakan membran sel yang mungkin termasuk produksi etilena, respirasi
meningkat, fotosintesis berkurang, gangguan energi, akumulasi produksi senyawa
beracun seperti etanol dan asetaldehida dan struktur selular yang berubah. Chilling
injury tergantung waktu dan suhu. Jika produk tersebut disimpan di bawah
temperatur kritis untuk periode singkat, tanaman dapat memperbaiki
kerusakan. Jika eksposur berkepanjangan, kerusakan permanen terjadi dan terlihat
gejala sering terjadi. Chilling injury terjadi lebih cepat dan lebih parah jika buah
dan sayur disimpan pada suhu jauh di bawah suhu ambang batas. Deteksi dan
diagnosis chilling injury seringkali sulit karena produk terlihat biasa saja saat
dikeluarkan dari suhu dingin, tetapi ketika produk ditempatkan pada suhu tinggi
gejala dapat terjadi (Azahra, 2017).

18
Chilling injury merupakan suatu kerusakan yang tidak diharapakan terjadi
pada komoditas pertanian. Untuk mencegah terjadinya chilling injury maka setiap
komoditas pertanian yang berbeda harus disimpan terpisah sesuai dengan suhu
kritis yang dimiliki tiap-tiap komoditi. Misalnya penyimpanan mangga dan pisang
disimpan pada suhu dingin sekitar 15oC (Azahra, 2017).
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan,
jadi bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan
pada suhu kira-kira –17oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan
bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu
antara – 12ºC sampai – 24oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai
bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang beberapa tahun. Perbedaan antara
pendinginan dan pembekuan juga ada hubungannya dengan aktivitas mikroba
(Anonim, 2014).
Pertumbuhan bakteri di bawah suhu 100ºC akan semakin lambat dengan
semakin rendahnya suhu. Pada saat air dalam bahan pangan membeku seluruhnya,
maka tidak ada lagi pembelahan sel bakteri. Pada sebagian bahan pangan air tidak
membeku sampai suhu –9,5oC atau di bawahnya karena adanya gula, garam, asam
dan senyawa terlarut lain yang dapat menurunkan titik beku air (Anonim, 2014).
Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi
dasar dari proses pendinginan dan pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses
pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua mikroba, sehingga
pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan terhadap suhu
rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah kebusukan pada
bahan pangan yang bersangkutan (Anonim, 2014).
B. Tujuan
Mengetahui terjadinya chilling injury
C. Alat dan Bahan
Alat : Kulkas, kertas label, alat tulis
Bahan : Buah pisang cukup matang.
D. Cara kerja

19
E. Hasil dan Pembahasan
Tabel 7. Hasil Pengamatan chilling injury
Kenampakan
Bahan Perlakuan
0 2 4 7
Disimpan pada suhu kulkas 1 2 2 3
Pisang
Disimpan pada suhu kamar 1 3 3 3
Sumber data : hasil pengamatan kelompok
Keterangan :
Kesegaran
1 = Kuning
2 = Agak coklat
3 = Coklat
Pisang
Pada praktikum ini yang digunakan adalah buah pisang. Pisang dalam
praktikum ini diberi perlakuan dengan disimpan pada suhu kamar dan suhu
dingin/kulkas. Kenampakan pisang pada penyimpanan suhu kamar mengalami
perubahan warna pada hari kedua pengamatan yaitu terdapat warna coklat pada
badan buah pisang dan bertambah dengan meluasnya warna coklat sampai hari ke-
7. Sedangkan kalau dilihat dari segi teksturnya, buah pisang yang disimpan pada
suhu kamar masih bertekstur kenyal dari hari praktikum (hari ke-nol) sampai hari
pengamatan yaitu hari kedua, pada pengamatan hari keempat sampai hari ke-7
terjadi perubahan tekstur yaitu berubah menjadi lembek hingga seluruh bagian
pisang berwarna coklat
Pada perlakuan buah pisang yang disimpan dengan cara dimasukkan pada
pendingin/kulkas didapati kenampakan segar setelah hari kedua sampai hari
keempat warna pisang berubah menjadi agak coklat dengan tekstur kenyal, namun

20
setelah hari ke-7 pengamatan terakhir warna pisang berubah menjadi coklat.
Chilling injury adalah masalah utama pada penyimpanan dingin bagi komoditas
tropis. Penyimpanan produk dibawah suhu kritis dapat menyebabkan terjadinya
gangguan fisiologis yang parah. Suhu kritis untuk chilling injury bervariasi sesuai
dengan sifat komoditas, tetapi umumnya terjadi ketika produk disimpan pada suhu
dibawah 10oC – 13oC (Tasneem, 2004). Gejala kerusakan CI ditunjukkan oleh
bintik-bintik hitam dan browning, tingkat kerusakan yang parah yang disebabkan
oleh waktu penyimpanan dan disertai oleh pelunakan dan kebocoran ion
(electrolyte leakage) (Sayyari, et al., 2011)
F. Kesimpulan
Penyimpanan buah-buahan harus diperhatikan titik kritis suhu simpan.
Karena komoditas buah mempunyai titik kritis dengan tingkat suhu yang berbeda-
beda. Pada praktikum yang kami lakukan penyimpanan buah nangka yang
disimpan pada suhu dingin/kulkas mengalami kerusakan akan tetapi pada buah
pisang yang diberi perlakuan yang sama akan mempunyai daya simpan yang lebih
lama. Tetapi pada penyimpanan suhu kamar juga didapati hasil yang relatif sama
yaitu daya simpan buah nangka dan pisang mengalami kerusakan. Dan pada
perlakuan buah nangka yang disimpan pada freezer mengalami daya simpan yang
lebih lama.

21
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Azahra. 2017. Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan
dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika. Universitas Gadjah Mada
Press, Yogyakarta.
Dewi. 2007. Teknologi Penanganan Pascapanen. Bina Aksara.Jakarta
Elvina. 2015. Temperatur-Induced Leakage from Chilling Sensitif and Chilling
Resistant Plants. Vol 68: 149-153. Plant Physiologi.
Entjang. 2003. Fisiologi lepas panen produk hortikultura. Brios Press. Bogor.
Argo, B.D. 2010. Sistem Monitoring Gas Oksigen Dan Karbondioksida Pada
Ruang Penyimpanan Sistem Udara Terkontrol.Jurnal Rekayasa
MesinVol.1, No. 3: 84-90
Fikri. 2008. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Fitriani, Dini. 2011. Teknologi Buah dan Sayur.Alumni.Bandung.

Frediyansyah. 2014. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-Buahan (Petunjuk


Laboratorium).PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Santoso, S.P. 2006.Teknologi Pengawetan Bahan Segar.FAPERTA UWIGA.


Malang.

Soesanto, L. 2006. Penyakit Pascapanen Sebuah Pengantar. Kanisius. Yogyakarta.

Utama, I.2001. Pascapanen Produk Segar Hortikultura.Universitas Udayana. Bali.

22
Wardhanu, A.P.2009.Rekayasa Sistem Penyimpanan Dengan teknologi Control
Atmosphere dan Modified Atmosphere Storage Untuk Memperpanjang
Umur Simpan Buah. Universitas Brawijaya. Malang.

23

Anda mungkin juga menyukai