PENDAHULUAN
Panen merupakan suatu proses akhir dalam hal budidaya tanaman dengan ciri
pertumbuhan tanaman akan terjadi perubahan secara fisiologis maupun morfologi dari tanaman
tersebut (Setyono, 2001). Panen adalah proses akhir budidaya tanaman (bercocok tanam) dengan
memetik atau mengambil dan mengumpulkan komoditas dari lahan penanaman, pada taraf
kematangan yang tepat dengan kerusakan minimal, dilakukan secepat mungkin dan dengan biaya
rendah.
Waktu panen sayuran, cotoh sayuran bayam, sebaiknya dilakukan pada pagi hari sekitar
pukul 07.00-10.00 atau sore hari pukul 15.30-18.00 karena sinar matahari tidak terlalu panas. Hal
ini untuk mendapatkan hasil yang terbaik, tetapi untuk tanaman di pekarangan dapat dilakukan
sesuai keperluannya. Waktu panen juga tergantung dari lamanya tanaman terkena sinar matahari,
semakin lama tanaman dikenai sinar matahari maka semakin cepat waktu panennya. Demikian
pula lamanya musim penghujan, dapat memperlambat waktu panen. Tempat tumbuh tanaman
yang kekurangan unsur hara juga akan memperlambat waktu panen.
Menentukan waktu panen yang tepat yaitu menentukan kematangan yang tepat saat
panen dan dapat dilakukan secara visual yaitu melihat warna kulit, bentuk buah, ukuran dan
perubahan bagian tanaman seperti daun mengering. Secara fisik yaitu perabaan dengan melihat
beberapa ciri-ciri seperti buah lunak, umbi keras dan buah mudah dipetik. Secara komputasi
yaitu menghitung umur tanaman sejak tanam/umur buah dari mulai mekar. Secara kimia yaitu
dengan melakukan pengukuran/analisis kandungan zat/senyawa yang ada dalam komoditas
seperti kadar gula, kadar tepung, kadar asam dan aroma prapanen.
Ilmu Fisiologi pasca panen adalah ilmu yang mempelajari reaksi-reaksi biologis pada
hasil pertanian setelah dilakukan pemanenan atau dipisahkan dari tempat tumbuhnya atau
dipisahkan dari tanamannya. Contoh: respirasi, transpirasi. Pasca panen menurut FAO (Food
Agriculture Organization) merupakan suatu periode yang dimulai saat pemisahan komoditi dari
tanaman akibat adanya proses pemanenan oleh manusia dan berakhir bila bahan makanan sudah
sampai pada konsumen yang terakhir (final consumer).
Bahan hasil pertanian setelah dipanen dapat dibedakan menjadi 4 macam perlakuan
sebelum dikonsumsi yaitu:
Hasil pemanenan yang dapat langsung dikonsumsi merupakan komoditi baik secara fisik
maupun umur panen sudah matang sehingga tanpa dilakukan perlakuan lanjutan dan langsung
dapat dikonsumsi oleh konsumen, misalnya buah-buahan dan sayur-sayuran. Komoditi seperti
buah-buahan tidak dapat bertahan lama, karena secara fisiologis sudah masak optimal.
Pemanenan yang dilakukan untuk pengiriman keluar daerah dapat dilakukan dengan
memperhatikan suhu dan tempat pengangkutan yang digunakan agar hasil panen yang tidak
mengalami penurunan mutu. Pemanenan pada buah-buahan misalnya pisang, dapat dipanen
sebelum masak optimal agar selama pengiriman tidak matang penuh dan pada saat dipajang tidak
cepat busuk.
Buah mangga, pisang, nangka, bila ingin cepat lebih matang dapat diberi karbit (sumber
etilen). Etilen adalah senyawa organik hidrokarbon paling sederhana (C2H4) berupa gas yang
berpengaruh terhadap proses fisiologis tanaman. Etilen dikategorikan sebagai hormon alami
untuk penuaan dan pemasakan dan secara fisiologis sangat aktif dalam konsentrasi sangat rendah
(<0,005 µL/L) (Wills dkk., 1988). Gas etilen digunakan untuk mengendalikan pemasakan
beberapa jenis buah. Teknik ini cukup cepat dan memberikan pematangan yang seragam
sebelum dipasarkan. Buah yang umum dikendalikan pematangannya dengan etilen adalah
pisang, tomat, pir, dan pepaya. Buah non-klimakterik seperti anggur, rambutan, jeruk, nanas, dan
stroberi tidak dapat dimatangkan dengan cara ini. Buah muda juga tidak dapat dimatangkan
dengan baik dengan cara ini. Tidak ada cara untuk mematangkan buah muda sampai menjadi
produk yang dapat diterima.
d. Hasil panen dikirim ke luar negeri, maka harus diperhatikan kondiri ruang transportasi,
misal: suhu dingin dan atmosfer terkendali.
Di sini dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan antara kebutuhan manusia dengan sifat
alamiah biologis dari produk sayuran yang mudah rusak setelah dipanen tersebut. Konsekuensi
langsung dari perbedaan untuk mendistribusikan dan memasarkan serta menjaga mutu produk itu
sedapat mungkin dalam jangka waktu tertentu sampai saatnya dikonsumsi, adalah adanya
keharusan untuk melakukan pilihan penanganan yang tepat. Pilihan tersebut adalah elemen dasar
dari setiap tingkat penanganan pasca panen produk-produk tanaman berupa sayuran dan buah-
buahan yang bersifat mudah rusak. Penanganan pasca panen dengan suhu rendah bertujuan
untuk meminimalkan aktivitas metabolisme, namun dihindari adanya kerusakan dingin.
Pengaturan oksigen lebih rendah dibanding suhu ruang untuk meminimumkan respirasi, namun
dihindari terjadinya respirasi anaerobik. Pengemasan diatur tidak terlalu rapat, namun dihindari
adanya kerusakan karena transpirasi. Pemahaman tentang sifat alami produk pangan dan
pengaruh praktek-praktek penanganannya, maka sangat penting melakukan penanganan terbaik
untuk menjaga kondisi optimum dari produk. Beberapa pertimbangan penting untuk memperoleh
bentuk penanganan yang optimal yaitu pertimbangan fisiologis, fisik, patologis dan ekonomis.
Penanganan pasca panen ini bertujuan agar hasil panen sampai di tangan konsumen tetap
mempunyai mutu yang bagus.
III. SUSUT PASCA PANEN
Susut pasca panen adalah kehilangan hasil panen yang dapat berupa susut berat, susut
gizi, susut kualitas maupun susut ekonomi. Kehilangan (susut) berat pada sayuran, pada
umumnya terjadi akibat proses pelayuan dan pengaruh dari berbagai aktivitas luar, seperti
penanganan pasca panen dan proses pemasaran. Syarif dan lrawati (1988) menggolongkan
kerusakan hasil pertanian yang terjadi akibat dari perlakuan biologis, kimia dan kerusakan
mikrobiologi.
Susut pasca panen bisa disebabkan oleh faktor luar maupun faktor dalam.
a. Jamur (pada jagung yang disimpan di tempat yang terlalu lembab timbul jamur)
b. Rodentia: tikus
Semakin tinggi suhu pada kisaran suhu fisiologis (sampai suhu 60oC) bahan hasil
pertanian maka respirasi semakin cepat, sehingga semakin cepat mengalami degradasi dan
cepat mengalami kerusakan.
Faktor dalam
b. Reaksi fisiologis seperti: senesensi, tumbuhnya akar, terjadi petunasan pada umbi-umbian, ubi
jalar dan kentang. Transpirasi yang cepat menyebabkan susut berat.
Pada periode pasca panen akan terjadi susut/kehilangan dari segi kualitas maupun
kuantitas.
Contoh:
2. Susut mutu: warna, rasa, aroma, cita rasa, tekstur dan kenampakan.
Misal:
b. Jeruk: vitamin C rusak karena oksidasi didukung oleh kondisi panas bisar dari sinar matahari.
4. Susut ekonomi
a. Penyimpanan yang terlalu lama bisa menyebabkan kerusakan karena transpirasi maupun
respirasi. Selain itu, jika kondisi penyimpanan kurang tepat bisa menyebabkan kerusakan karena
mikrobia.
b. Jika hasil pertanian layu, selain terjadi susut berat juga susut mutu, sehingga harga jual rendah.
Tabel 1. Susut pasca panen, penyebab susut, pemecahan masalah susut pada buah dan sayuran
d. Penggunaan bahan
Susut Mutu pestisida sesuai dosis
atau dengan binatang
a. Bayam segar menjadi layu,
predator
bayam menjadi rontok,
warna menjadi kekuningan e. Saat akan
didistribusikan bayam
b. Dimakan hama misal:
dikemas dengan
ulat,belalang
kemasan yang sesuai
seperti karung jaring
dengan kapasitas yang
Susut Gizi
sesuai
d. Terjadi penurunan
kandungan vitamin, dalam
sayur bayam
Susut Ekonomi
a. Kenampakan kurang
menarik sehingga konsumen
lebih memilih kenampakkan
kobis yang segar
Susut Gizi
Susut Ekonomi
i. Kenampakan kurang
menarik sehingga konsumen
lebih memilih kenampakkan
wortel yang segar
Hal ini disebabkan oleh:
Susut Ekonomi
d. Sebelum
penyimpanan kentang
Susut Ekonomi
disortasi atau
a. Berat berkurang maka nilai dibersihkan dari tanah
atau kotoran yang
ekonominya juga berkurang masih menempel
Susut Gizi
Susut Ekonomi
b. Kenampakan kurang
menarik sehingga konsumen
lebih memilih kenampakkan
cabai yang baik dan segar
c. Sebelum
Susut Gizi
penyimpanan tomat
q. Berkurangnya kandungan disortasi atau
vitamin dibersihkan dari
kotoran yang masih
menempel
Susut Ekonomi
b. Kenampakan kurang
menarik sehingga konsumen
lebih memilih kenampakkan
tomat yang segar.
Susut Gizi
Susut Ekonomi
s. Penurunan kandungan
vitamin C
Susut Ekonomi
Susut Ekonomi
w. Karena kenampakannya
berubah menjadi
kecokelatan, maka nilai
ekonomisnya berkurang.
Karena konsumen lebih
memilih pisang yang
berwarna kuning dan segar.
Susut Gizi
y. Kandungan vitamin
berkurang karena teroksidasi
Susut Ekonomi
Susut Ekonomi
a. Berat stroberi berkurang,
maka nilai ekonomisnya
juga berkurang
A. Perubahan Fisik
1. Perubahan Tekstur
Sayur-sayuran dan buah-buahan yang masih mentah yang mempunyai tekstur keras selama
pematangan akan berubah menjadi lunak. Contoh: buah pepaya, mangga dan pisang. Tekstur
jaringan pada sayur-sayuran dan buah-buahan sangat ditentukan oleh kandungan pektin.
Komponen utama penyusunan pektin adalah polimer asam galakturonat yang sebagian gugus
karboksilnya mengalami metilasi. Komponen lain dapat berupa xilan dan ribosa.
Pada jaringan muda, pektin berbentuk protopektin yang merupakan senyawa tidak larut
dalam air. Pektin terdapat pada lamela tengah. Protopektin terdapat pada buah yang masih muda
dan mendukung kokohnya tekstur, sehingga sayur-sayuran dan buah-buahan yang masih muda
bertekstur keras. Selama pertumbuhan dan pematangan berubah menjadi pektin yang bersifat
larut dalam air, sehingga tekstur buah matang lunak.
Senyawa pektin merupakan gugus kompleks koloid dari karbohidrat atau polisakarida dalam
tanaman yang mengandung gugus poligalakturonat, misalnya terdapat pada buah tomat, pir,
nanas dan alpukat. Enzim metil esterase dalam buah-buahan jumlahnya meningkat selama
pematangan. Perubahan protopektin menjadi asam galakturonat disajikan pada Gambar 1.
Protopektin
protopektinase
Pektin
(Asam poligalakturonat)
Asam α-D-galakturonat
Gambar 1. Perubahan protopektin menjadi asam galakturonat
Perubahan tekstur keras pada sayur-sayuran dan buah-buahan mentah menjadi lunak setelah
mengalami pematangan juga dipengaruhi oleh perubahan pati menjadi gula. Pati bersifat tidak
larut dalam air dan gula bersifat larut dalam air. Selain itu juga perubahan selulosa penyusun
dinding sel oleh enzim selulase menjadi gula sederhana penyusunnya.
Perubahan cita rasa sayur-sayuran dan buah-buahan mentah menjadi matang meliputi:
b. Peningkatan gula (manis), karena perubahan pati menjadi gula pada proses respirasi.
Rasa sepet (astringent) pada buah muda disebabkan oleh senyawa tanin yang bersifat
larut. Selama pematangan buah-buahan ternyata tanin mengalami polimerisasi menjadi senyawa
komplek tidak larut, sehingga tidak terasa sepet. Rasa sepet berbanding langsung dengan
kandungan tanin dalam sayur-sayuran dan buah-buahan. Berkurangnya rasa sepet diduga karena
tanin terikat dengan molekul lain atau terjadi polimerisasi.
Banyak buah-buahan menghasilkan lebih dari 100 senyawa aroma yang mudah menguap,
meskipun umumnya persentase yang relatif kecil ini dianggap sebagai kontributor utama pada
rasa yang unik dari buah tertentu (Baldwin, 2004; Goff dan Klee, 2006). Aroma volatil (yang
mudah menguap) pada buah matang yang berasal dari metabolit asam lemak, asam amino dan
karbohidrat, dengan biasanya kecil tetapi sering ada tambahan komponen penting yang berasal
dari jalur siklamat, fenilpropanoid, dan isopentenoid. Pada dekade terakhir, alat-alat biologi
molekuler memiliki kemajuan pesat dalam menjelaskan dan mencirikan sejumlah gen kunci dan
enzim yang terlibat dalam generasi aroma volatil pada buah-buahan. Ini termasuk, tetapi tentu
tidak terbatas pada lipoksigenase (LOXs), liase hidroperoksida (HPLs), alkohol asil-transferase
(AATS), dehidrogenase alkohol (ADHs), terpene sintase (TPS) dan oksigease pembelahan
karotenoid (CCD) (Whitaker dan Beltsville, 2008).
3. Perubahan Warna
a. Klorofil adalah pigmen hijau pada sayur-sayuran dan buah-buahan. Pada buah yang dipotong,
adanya cahaya akan mempercepat pemecahan klorofil. Perubahan senyawa klorofil disajikan
pada Gambar 2. Aktivitas klorofilase berkaitan dengan etilen endogen atau dapat dipacu dengan
penambahan etilen dari luar. Contoh: penyeragaman warna kuning kulit buah jeruk (Sunkist).
Klorofilase membantu merubah klorofil menjadi klorofilid.
Pada sayur-sayuran dan buah-buahan secara umum perbandingan klorofil a:b adalah 3:1.
Klorofil terdapat dalam plastida atau kloroplastida dan kloroplastida berdampingan dengan
lipoprotein dan karotenoid. Klorofil bertugas khusus sebagai penangkap energi cahaya (foton).
Klorofil larut dalam pelarut eter (organik), demikian juga lipoprotein dan karoten larut dalam
pelarut organik.
Klorofil
Feofitin Klorofilid
Feoforbi
Klorin
Purpurin
Magnesium (Mg) pada klorofil mengikat pirol dan Mg tersebut mudah diganti oleh
asam, sehingga berubah menjadi feofitin yang berwarna pucat. Oleh karena itu pengolahan
sayur-sayuran dan buah-buahan dalam kondisi asam (mengandung asam) menyebabkan warna
sayuran hijau berubah menjadi pucat.
b. Karotenoid merupakan pigmen dalam sayur-sayuran dan buah-buahan yang berwarna kuning,
orange atau merah misal pada wortel, pepaya dan waluh. Karotenoid bersifat larut dalam
lemak/pelarut organik dan tidak larut dalam air. Karotenoid merupakan polimer isopren (C5H8).
Karotenoid ada beberapa jenis yaitu α, β, χ, δ dan ε. Beta-karoten merupakan sumber provitamin
A dan bila didegradasi akan menghasilkan 2 molekul vitamin A.
Sayuran berwarna hijau merupakan sumber vitamin A, karena klorofil didampingi oleh
karotenoid. Karotenoid mengandung banyak ikatan rangkap sehingga mudah teroksidasi.
Karotenoid mengalami penurunan, tetapi lebih kecil dibanding klorofil pada periode pasca panen
bisa terjadi sintesis karotenoid.
B. Perubahan Kimia
Terbentuknya pati dari glukosa selama pertumbuhan karena proses fotosintesis (Gambar 3)
Sinar matahari
Glukosa Pati
Karbohidrat diangkut dari kloroplas ke sel-sel yang membutuhkan dalam bentuk sukrosa,
selanjutnya sukrosa diubah menjadi pati. Perubahan sukrosa menjadi pati disajikan pada Gambar
4.
Perubahan pati menjadi gula memerlukan ATP, akibatnya ATP dalam jaringan menurun.
Oleh karena itu jaringan akan berusaha untuk membuat ATP yang baru. ATP yang baru bisa
didapat dengan meningkatkan respirasi pada suhu penyimpanan 10°C yang diubah menjadi suhu
2°C (pati menjadi gula). Setelah pemanenan pati yang terbentuk dalam jaringan dapat diubah
menjadi gula sederhana seperti glukosa dan fruktosa. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti suhu, waktu dan keadaan fisiologis, misal enzim amilase tidak aktif pada suhu
4°C, tetapi sebaliknya enzim fosforilase aktif pada suhu ini. Oleh karena itu, enzim tersebut
mempunyai peranan penting dalam perubahan pati menjadi gula pada kentang yang disimpan
pada suhu tersebut. Ternyata enzim amilase meningkat aktivitasnya bersamaan dengan terjadinya
pertunasan, karena diperlukan untuk pertunasan.
Perubahan pati menjadi gula pada kentang sangat penting diperhatikan, karena dengan
pengolahan suhu tinggi maka gula akan membentuk karamel (berwarna coklat kehitaman).
Penggorengan kentang pada suhu 170-180°C, akan menyebabkan warna coklat karena
karamelisasi sukrosa yang berubah menjadi glukosa dan fruktosa (gula reduksi), maka gula
reduksi dengan asam amino terjadi reaksi Maillard (pencoklatan non enzimatis).
Mutu kentang yang baik adalah yang memiliki kadar gula reduksi rendah. Kentang
sebaiknya disimpan pada suhu 10°C karena terjadi pembentukan pati dari gula. Apabila disimpan
pada suhu kurang dari 10°C kurang baik karena terjadi perubahan pati menjadi gula.
Sukrosa + UDP
UDPG + fruktosa
Enzim UDPG-perifosforilase
Glukosa-1 P
Enzim ADPG pirofosforilase
ADPG (Adenosin difosfat glukosa)
Enzim UDPG-patiglukosil transferase
(Glukosa) n+1 (pati)
Gambar 4. Perubahan sukrosa menjadi pati (II)
Setelah hasil pertanian dipanen, pati diubah menjadi gula sederhana (Gambar 6)
Amilase
Pati Maltosa
fosfinilase
H3PO4 Maltase
Glukosa
Glukosa 1-P
Fosfoglukomutase
Glukosa-6-P
Fosfoheksoisomerase
Fruktosa-6-P
UDPG UDP
Sukrosa-P
Sukrosa
H2O
Invertase
Glukosa + fruktosa
Gambar 6. Perubahan pati menjadi gula
Penyimpanan ubi jalar pada suhu ≥15°C terjadi perubahan gula menjadi pati.
Penyimpanan suhu <15°C terjadi perubahan pati menjadi gula. Penyimpanan ≥15°C cocok bila
ubi jalar digoreng agar terhindar proses karamelisasi Penyimpanan <15°C cocok bila ubi jalar
direbus, sehingga rasa ubi jalar manis.
Penyimpanan suhu >10°C jagung menjadi tidak manis, karna terjadi perubahan gula
menjadi pati. Penyimpanan pada suhu 2°C jagung tetap manis.
2. Perubahan Lipida
Asam lemak pada buah mangga berupa palmitat, stearat, oleat, linoleat dan linolenat.
Lipida meliputi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Linoleat terdiri dari 18 atom C
dan 2 ikatan rangkap (C18:2). Linolenat terdiri dari 18 atom C dengan 3 ikatan rangkap (C18:3).
Oksidasi dengan enzim lipoksigenase pada lemak menghasilkan aldehid, keton dan senyawa
hidroksi.
3. Perubahan protein
Perubahan tekstur selama pematangan buah terkait dengan perubahan struktur dalam sel
(Huber, 1983). Perubahan ini biasanya melibatkan peningkatan pektin yang larut air, penurunan
protopektin dan hilangnya gula alami pektin seperti arabinosa dan galaktosa dari satu atau lebih
dari fraksi pektin (Seymour dkk., 1990). Kenaikan pektin yang larut air dikaitkan dengan
degradasi enzimatik yang melibatkan poligalakturonase (PG), pektinmetilerase (PME) atau β-
galaktosidase (Muda dkk., 1995). Dalam buah persik, pektin yang larut air meningkat sedangkan
fraksi pektin larut alkali menurun selama pematangan (Shewfelt, 1965; Pressey dkk., 1971).
Dalam buah stoberi, jumlah total asam galakturonat dalam fraksi pektin yang dipisahkan juga
menurun dengan pematangan (Inari dan Takeuchi 1997). Dalam buah mangga, beberapa studi
menunjukkan perubahan yang berbeda dalam fraksi pektin dari kultivar yang berbeda selama
pematangan.
Menurut Tandon dan Kalra (1984) fraksi pektin larut air (metoksill tinggi) dan amonium
oksalat larut (metoksil rendah) meningkat, sedangkan fraksi larut alkali (protopektin) menurun
selama pematangan buah mangga (cv Dashehari). Saat buah mangga matang, daging buah
melunak sebagian besar karena deesterifikasi enzimatik dan depolimerisasi pektin terikat-sel,
setelah hidrolisis, menghasilkan pektin yang larut air (Mizuta dan Subramanyam, 1973).
Penurunan pektin larut alkali adalah yang paling berkorelasi erat dengan hilangnya kekerasan
buah mangga. Roe dan Bruemmer (1981) menyebutkan bahwa konversi protopektin (larut alkali)
ke pektin yang larut air dalam buah persik disertai dengan degradasi polimer. Degradasi pektin
pada buah mangga ternyata berlanjut ke tahap di mana molekul produk yang cukup kecil menjadi
larut dalam etanol, dan tidak diendapkan dalam padatan larut alkohol (AIS).
V. RESPIRASI
A. Proses Respirasi
Respirasi merupakan proses katabolisme atau penguraian senyawa organik menjadi
senyawa anorganik. Respirasi sebagai proses oksidasi bahan organik terjadi di dalam sel dan
berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Dalam respirasi aerob diperlukan oksigen dan
dihasilkan karbondioksida serta energi. Sedangkan dalam respirasi anaerob dimana oksigen tidak
atau kurang tersedia dan dihasilkan senyawa selain karbondiokasida, seperti alkohol,
asetaldehida atau asam asetat dan sedikit energi (Lovelles, 1997).
Proses respirasi diawali dengan adanya penangkapan O2 dari lingkungan. Proses
transportasi gas-gas dalam tumbuhan secara keseluruhan berlangsung secara difusi. Oksigen
yang digunakan dalam respirasi masuk ke dalam setiap sel tumbuhan dengan jalan difusi melalui
ruang antar sel, dinding sel, sitoplasma dan membran sel. Demikian juga halnya dengan CO2
yang dihasilkan dari respirasi akan berdifusi ke luar sel dan masuk ke dalam ruang antar sel. Hal
ini karena membran plasma dan protoplasma sel tumbuhan sangat permeabel bagi kedua gas
tersebut. Setelah mengambil O2 dari udara, O2 kemudian digunakan dalam proses respirasi
dengan beberapa tahapan, diantaranya yaitu glikolisis, dekarboksilasi oksidatif, siklus asam
sitrat, dan transpor elektron.
Beberapa alasan bahwa respirasi berperan penting pada hasil pertanian adalah :
1. Berkurangnya konsentrasi substrat
gula (glukosa)
lemak Glukosa (C6H12O6) + 6O2 6CO2 + 6H2O + E 673 kal
asam organik
RQ : Respiratory Quotient
Lemak
2C 51H98O6 + 145O2102CO 2+ 98H2O + 15.314 kal
Tripalmitin
2. Membutuhkan O2
Agar respirasi tetap berlangsung maka diperlukan O 2 sehingga harus selalu tersedia
dalam jumlah tertentu. Hal tersebut sangat penting karena kalau kita akan mengemas sayur
dan buah, agar sayur dan buah tetap hidup maka O 2 harus tetap bisa masuk ke pengemas. Jika
kekurangan O2, maka buah akan rusak. Pengemas yang digunakan adalah PE (Polietilen)
dan PP (Polipropilen).
Komposisi udara normal adalah :
O2 = 21%
N2 = 79%
CO 2 dll. = 0%
Ketersediaan O2 sedikit maka akan terjadi respirasi anaerob yang dapat menghasilkan
alkohol asetaldehid yang menjadikan racun (bagi jaringan).
3. Menghasilkan CO2
a. Peningkatan CO2 menguntungkan dalam batas-batas tertentu karena memperpanjang
umur simpan. Komposisi udara dalam pengemas jika CO 2 naik maka O2 turun.
b. Peningkatan CO2 merugikan apabila lebih dari 20% karena dapat merusak hasil pertanian.
Hasil pertanian umumnya tahan CO2 sampai 20% kecuali stroberi tahan CO2 sampai 40%.
4. Menghasilkan panas
Respirasi dapat menghasilkan panas sehingga dapat meningkatkan kerusakan pada hasil
pertanian, oleh sebab itu panas yang dihasilkan perlu segera diambil/didinginkan. Energi yang
dibebaskan dari respirasi dapat berupa panas.
Contoh: Gabah basah yang ditumpuk akan timbul panas yang terakumulasi bisa mencapai 40-
50°C.
Pertukaran gas berlangsung melalui beberapa tahap misal: masuknya O2 ke dalam
mitokondria.
1. Difusi dalam fase gas melalui sistem kulit.
2. Difusi dalam fase gas melalui sistem antar sel.
3. Pertukaran gas antara atmosfer dan cairan sel yang merupakan fungsi dari distribusi
efektivitas ruang antar sel dan aktivitas respirasi. O2 (gas) terlarut dalam cairan sel dan berubah
menjadi cairan sel.
4. Difusi dalam bentuk cair dari cairan sel larutan, sel ke mitokondria atau bagian yang
membutuhkan O2.
Faktor yang berpengaruh pada respirasi adalah :
1. Faktor dalam (faktor internal)
a. Macam komoditas
b. Tingkat pengembangan komoditas saat panen
Buah yang dipanen masih muda, tingkat respirasinya lebih tinggi daripada buah yang
dipanen sudah tua.
c. Komposisi kimia
b. O2
Jika konsentrasi O2 diturunkan < 10% terjadi penurunan laju respirasi secara nyata. Jika
diturunkan lebih lanjut < 2% terjadi kenaikan laju respirasi anaerob yang menghasilkan etanol
dan asetaldehid. Etanol dan asetaldehid bersifat toksis terhadap jaringan. Respirasi anaerob
contohnya fermentasi. Kecepatan respirasi yang paling rendah akan menghasilkan umur simpan
yang paling tinggi.
Apabila etanol dan asetaldehid berakumulasi maka akan bersifat toksik (racun) terhadap
bahan (HCN, asam bongkrek). Dioskorin bersifat toksik terhadap konsumen (manusia). Jika O2
ditingkatkan 21-40% belum terjadi peningkatan respirasi secara nyata. Peningkatan respirasi
secara nyata akan terjadi apabila O2 ditingkatkan 80%.
c. CO2
Semakin tinggi CO2, maka respirasi aerob semakin menurun. Sebaliknya respirasi anaerob
semakin naik. Rerpirasi anaerob meningkat secara nyata, pada konsentrasi >20%. Di dalam
penyimpanan meskipun kenaikan CO2 menguntungkan tetapi dibatasi <20%. Peningkatan CO2
seperti halnya penurunan O2 akan rnenghambat reaksi dekarboksilasi.
d. Konsentrasi CO
Kandungan CO antara 1-10% yang ditambahkan pada atmosfer terkendali akan
menurunkan laju respirasi. Namun CO mempunyai sifat seperti etilen sehingga jika ditambahkan
pada buah klimaterik CO akan memacu proses pematangan. Pengaruh ini dapat minimal jika CO
yang ditambahkan <5%. CO dan etilen (C2H4) dapat memacu pematangan yang akan
meningkatkan laju respirasi.
Contoh: Buah menjadi cepat matang menyebabkan senesensi kemudian terjadi kerusakan.
2. Siklus krebs (jalur asam sitrat = asam trikarboksilat). Transport elektron dan fosforilase
oksidatif terjadi di mitokondria. Siklus krebs (Santoso, 2011) dapat dilihat pada Gambar 4.
C. Kecepatan Respirasi
Kecepatan respirasi dari suatu jenis sayur-sayuran atau buah-buahan dapat digunakan
untuk menduga keawetannya. Komoditi yang kecepatan respirasinya tinggi, maka cepat rusak
dan komoditi yang mempunyai kecepatan respirasi rendah relatif tidak mudah rusak. Hal ini
terjadi karena reaksi respirasi merupakan reaksi pembongkaran, sehingga jika kecepatannya
tinggi maka terjadi pembongkaran yang cepat, sehingga berakibat cepat rusak.
Kecepatan respirasi sayur-sayuran dan buah-buahan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengelompokan kecepatan respirasi sayur-sayuran dan buah-buahan pada suhu 5°C
(41°F)
Kecepatan respirasi
Kriteria Komoditi
(mgCO2/Kg-jam)
Sangat rendah <5 Kacang-kacangan, buah kering dan sayuran
Apel, jeruk, anggur, buah kiwi, bawang putih,
Rendah 5-10
bawang merah, kentang
Aprikot, pisang, cheri, persik, nektarin, pir, prem,
Sedang 10-20
kubis, wortel, selada, lada, tomat
Stroberi, blackberry, raspberry, bunga kol, lima
Tinggi 20-40
beans, alpukat
Sangat tinggi 40-60 Artichoke, snap beans, kubis brussel, cut flowers
Sangat-sangat
>60 Asparagus, brokoli, jamur, bayam, jagung
tinggi
Sumber: Kader (1985)
Laju respirasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
a. Ketersediaan substrat
Tersedianya substrat pada tanaman merupakan hal yang penting dalam melakukan
respirasi. Tumbuhan dengan kandungan substrat yang rendah akan melakukan respirasi dengan
laju yang rendah pula. Demikian sebaliknya bila substrat yang tersedia cukup banyak maka laju
respirasi akan meningkat.
b. Ketersediaan Oksigen
Ketersediaan oksigen akan mempengaruhi laju respirasi, namun besarnya pengaruh
tersebut berbeda bagi masing-masing spesies dan bahkan berbeda antara organ pada tumbuhan
yang sama. Fluktuasi normal kandungan oksigen di udara tidak banyak mempengaruhi laju
respirasi, karena jumlah oksigen yang dibutuhkan tumbuhan untuk berrespirasi jauh lebih rendah
dari oksigen yang tersedia di udara. Peningkatan oksigen sampai 20% mengakibatkan terjadinya
peningkatan kecepatan respirasi dan setelah kadar oksigen melebihi 20% peningkatan jumlah
oksigen tidak berpengaruh besar terhadap kecepatan respirasi. Semakin kecil jumlah oksigen,
maka kecepatan respirasi dari suatu komoditi juga semakin kecil. Demikian juga sebaliknya,
semakin besar jumlah oksigen sampai kadar tertentu, maka kecepatan respirasi semakin besar
pula. Secara umum udara normal mengandung oksigen 21%, nitrogen 79% dan karbondioksida
0,3%.
c. Suhu
Pengaruh faktor suhu bagi laju respirasi tumbuhan sangat terkait dengan faktor Q10. Laju
reaksi respirasi umumnya akan meningkat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10°C, namun hal
ini tergantung pada masing-masing spesies. Menurut Sommer (1985) buah klimakterik yang
disimpan pada suhu 0°C mempunyai kecepatan respirasi rendah dan kecepatan respirasinya
tinggi jika suhu dinaikkan menjadi 7,5°C, kemudian jika suhu dinaikan sampai 20°C meningkat
tajam (kira-kira 3 kalinya) (Sommer, 1985).
Masing-masing spesies tumbuhan memiliki perbedaan metabolisme, dengan demikian
kebutuhan tumbuhan untuk berespirasi akan berbeda pada masing-masing spesies. Tumbuhan
muda menunjukkan laju respirasi yang lebih tinggi dibanding tumbuhan yang tua. Demikian pula
pada organ tumbuhan yang sedang dalam masa pertumbuhan. Contoh : apel 8 bulan tidak rusak
(dengan memanipulasi proses respirasi, cepat dibuat lambat dengan teknologi pasca panen).
d. Tingkat Perkembangan
Selama perkembangan buah-buahan, maka respirasi juga berubah-ubah. Secara umum pada
buah yang muda mempunyai kecepatan respirasi yang tinggi. Kecepatan respirasi buah
klimakterik dari periode pembelahan sel akan menurun sampai periode permulaan pematangan,
kemudian kecepatan respirasinya meningkat secara menonjol sampai puncak pada periode
pematangan, selanjutnya terjadi penurunan respirasi pada saat senesensi (lewat matang). Pada
buah non klimakterik terjadi pola respirasi yang terus menerus turun dari periode pembelahan sel
sampai periode senesensi.
e. Besarnya Komoditi
Semakin besar volume buah, maka semakin kecil luas permukaan buah tersebut per satuan
berat, demikian pula sebaliknya semakin kecil ukuran buah, maka semakin besar luas permukaan
buah tersebut. Buah yang mempunyai luas permukaan besar, maka buah tersebut akan
mempunyai kesempatan kontak dengan udara (oksigen) yang besar (oksigen yang berdifusi
besar), sehingga kecepatan respirasinya besar, misalnya buah apel yang berukuran besar, maka
kecepatan respirasinya lebih rendah dibanding buah apel yang mempunyai ukuran kecil (dengan
kondisi yang lain sama, misal: umur dan jenis sama begitu pula sebaliknya).
f. Kulit Berlapis Lilin (Penutup Alamiah)
Sayur-sayuran dan buah-buahan yang mempunyai kulit berlapis lilin akan mempunyai
kecepatan respirasi yang rendah. Hal ini diduga disebabkan karbondioksida terakumulasi di
dalam ruangan tetutup kulit sehingga menghambat kecepatan respirasi dan difusi oksigen ke
dalam buah terhambat oleh adanya lapisan lilin pada kulit. Buah yang kulitnya berlapis lilin,
misalnya apel, semangka, sawo kecik dan buah pear.
g. Tipe Jaringan
Jaringan sayur-sayuran dan buah-buahan yang masih muda lebih aktif melakukan
metabolisme dibanding jaringan yang tua, termasuk kegiatan respirasi. Selain itu letak jaringan
juga berpengaruh terhadap kecepatan respirasi yaitu jaringan kulit, jaringan daging buah,
jaringan biji dan jaringan daun mempunyai kecepatan respirasi yang berbeda-beda.
h. Komposisi Kimia Jaringan
Senyawa penyusun jaringan akan mempengaruhi kecepatan respirasi dari suatu jaringan.
Hal ini karena kecepatan respirasi dipengaruhi oleh senyawa yang dipecah selama respirasi.
Substrat gula mempunyai RQ=1, asam lemak atau asam amino RQ<l dan asam organik RQ>1.
Pada umumnya RQ yang besar berarti kecepatan respirasi juga besar.
i. Hormon-hormon tanaman
Hormon-hormon tanaman merupakan pengatur yang penting dari proses penuaan. Ada 5
jenis hormon tanaman yaitu etilen, auxin, sitokinin, gibberellin dan absikin. Gas etilen
merupakan hormon yang berperan di dalam pematangan buah-buahan, sedangkan hormon auxin,
sitokinin dan gibberellin dapat digunakan untuk menghambat pematangan. Hormon tanaman
yang lain, misalnya maleat-hidrasida (MH) dapat meningkatkan respirasi pada buah sawo manila
dengan cara disemprot saat prapanen dengan konsentrasi 1.000 ppm. Sebaliknya pada buah
tomat yang dipanen pada tingkat pra klimakterik ternyata respirasinya dapat dihambat oleh MH.
Respirasi pada buah sawo manila dapat dihambat dengan isopropil-n-fenilkarhamat (IPC) dengan
kadar 100 ppm (Pantastico, 1986).
j. Etilen
Etilen merupakan senyawa yang mudah menguap yang dihasilkan oleh sayur-sayuran dan
buah-buahan dan merupakan komponen yang dapat menstimulasi pemasakan. Pemberian etilen
pada buah klimakterik dapat mempercepat pematangan buah-buahan. Kerja etilen paling efektif
adalah pada waktu tahap pra klimakterik dan pemberian etilen pada tingkat post klimakterik
tidak akan mempengaruhi respirasi pada buah klimakterik. Pemberian etilen pada buah non
klimakterik selalu dapat mempengaruhi respirasi karena produksi etilen yang hanya sedikit pada
buah-buahan non klimakterik.
k. Luka mekanis
Adanya luka mekanis dapat memacu respirasi, karena kontak enzim, substrat dan oksigen
dibandingkan di tempat yang tidak luka. Secara umum makin banyak luka atau memar pada
sayur-sayuran atau buah-buahan akan mempercepat laju respirasi, sehingga buah yang terkena
luka mekanis cepat matang.
VI. REAKSI PENCOKLATAN PANGAN
A. Pencoklatan Enzimatis
Pencoklatan adalah proses kimia yang terjadi dalam buah dan sayur karena adanya enzim
polifenol oksidase, yang menghasilkan pigmen berwarna coklat. Pencoklatan enzimatis dapat
dilihat pada buah (apricot, pir, pisang, apel), sayur (kentang dan jamur) selain itu pencoklatan
enzimatis terjadi pada kunir putih jenis mangga kuning muda jika dibiarkan akan menjadi kuning
kecoklatan. Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang berfungsi sebagai
katalis dalam suatu reaksi kimia. Enzim yang terdapat secara alami dalam makanan dapat
mengubah susunan makanan tersebut. Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi
yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat
mengkatalis oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan kemudian dipolimerisasi menjadi
pigmen melanoidin yang berwarna coklat.
Pencoklatan enzimatis dapat terjadi karena adanya jaringan tanaman yang terluka,
misalnya pemotongan, penyikatan dan perlakuan lain yang dapat mengakibatkan kerusakan
integritas jaringan tanaman (Cheng dan Crisosto, 1995). Adanya kerusakan jaringan seringkali
mengakibatkan enzim kontak dengan substrat. Enzim yang bertanggung jawab dalam reaksi
pencoklatan enzimatis adalah oksidase yang disebut fenolase, fenoloksidase, tirosinase,
polifenolase, atau katekolase. Dalam tanaman, enzim ini lebih sering dikenal dengan polifenol
oksidase (PPO). Substrat untuk PPO dalam tanaman biasanya asam amino tirosin dan komponen
polifenolik seperti katekin, asam kafeat, pirokatekol/katekol dan asam klorogenat.
Masing-masing
bahan kimia tidak
Natrium klorida dan/atau cukup untuk
kalsium propionat dengan menghambat (Guan dan
5 menit
konsentrasi yang berbeda reaksi browning, Fan, 2010)
(0-2%) sebuah kombinasi
yang baik
Apel diperlukan
0,5 g/L natrium
klorit dengan pH
3,9-6,2 yang
Natrium klorida + asam
disesuaikan dengan (Lu dkk.,
sitrat pada konsentrasi 1 menit
asam sitrat adalah 2007)
yang berbeda
perlakuan yang
paling efektif untuk
mencegah browning
Menjaga
Suhu jaringan parenkim
(Quiles dkk.,
4% kalsium propionat kamar/30 dan meminimalisasi
2007)
menit degradasi apel
potong-segar
Menjaga kekerasan
1% N-asetil-sistein + 1% Suhu (Raybaudi-
dan warna selama
glutathione + 1% kalsium kamar/1 Massilia dkk.,
penyimpanan 30
laktat menit 2007)
hari pada suhu 5°C
0,5% asam askorbat + 1% Menjaga tekstur dan
(Varela dkk.,
kalsium klorida + 0,1% 20°C/3 menit Mencegah browning
2007)
asam propionat pH 2,74 enzimatis
Perlakuan yang
0,5% asam askorbat + (Zhu dkk.,
5 menit paling efektif untuk
0,5% kalsium klorida 2007)
menunda browning
Meningkatkan
Sodium benzoate (0,03%) stabilitas struktur
+kalium sorbat (0,03%) apel dengan kalsium
(Alandes
dengan atau tanpa 10°C/1 menit laktat. Menjaga
dkk., 2006)
penambahan kalsium tekstur apel selama
laktat (0,5%) 3 minggu pada suhu
4 °C
Natrium metabisulfit, 4- Korelasi sebanding
Hexylresorcinol, asam antara konsentrasi
askorbat, L-sistein, agen antibrowning (Eissa dkk.,
5 menit
Mengurangi dan efek 2006)
glutathione, produk reaksi penghambatannya
Maillard
Menjaga kekerasan
(Fan dkk.,
7% kalsium askorbat 8°C/2 menit dan menurunkan
2005)
reaksi browning
Perlakuan efektif
2% asam askorbat + 2% Suhu kamar/ (Antuness
Kiwi untuk menunda
kalsium klorida 2 menit dkk., 2010)
browning
Menjaga kekerasan
jaringan buah (Mao dkk.,
Semangka 2% sodium klorida Suhu kamar
potong-segar selama 2006)
penyimpanan
1-Methylcyclopropene
(300 mL/L)
kemudian 2% asam 0°C/24 jam Browning dan (Arias dkk.,
askorbat + 0,01% 4- 4°C/15 menit pelunakan tertunda 2009)
hexylresorcinol +
1% kalsium klorida
efek sinergis
antara asam
Pir askorbat
Asam askorbat + 4- dan 4- (Arias dkk.,
30°C
hexylresorcinol hexylresorcinol 2007)
untuk
penghambatan
polyphenoloxidase
0,75% N-acetylcysteine Pencegahan buah pir
(Oms-Oliu
atau 15°C/2 menit potong-segar selama
dkk., 2006)
0,75% glutathione penyimpanan
Menurunkan secara
(De Souza
Mangga 3% sodium klorida 10°C/2 menit signifikan hilangnya
dkk., 2006)
keteguhan jaringan
Kalsium askorbat
adalah perlakuan
Kalsium askorbat dan (Barbagallo
Terong 60°C/1 menit paling baik untuk
sitrat (0,4%) dkk., 2012)
menginaktivasi
enzim
Artichoke Asam askorbat, asam Suhu Sistein (0,5%) (Amodio
(sayuran sitrat, sistein dan kamar/1 adalah perlakuan dkk., 2011)
sejenis kombinasinya, etanol, menit paling efektif untuk
bunga kol) natrium klorida, 4- mencegah browning
hexylresorcinol
0,01% adalah
konsentrasi paling
optimal untuk
Suhu
mengurangi (Khunpon
0,01% sodium klorit kamar/10
browning dan dkk., 2011)
Buah menit
polyphenoloxidase
lengkeng
dan aktivitas
peroksidase
1,5 N asam klorida Suhu
Pericarp browning
kemudian kamar/20 (Apai, 2010)
Ditunda
dibilas menit
1% asam natrium sulfat +
Aktivitas
1%
polyphenoloxidase (Calder dkk.,
Kentang asam sitrat dan 1% asam Suhu kamar
dan browning dapat 2011)
askorbat
dikurangi
Perlakuan yang
efektif utuk
menunda browning.
(Shi dkk.,
Kastanye 0,5 µM nitrat oksida 10 menit Menurunkan
2011)
polyphenoloxidase
dan aktivitas
peroksidase
1mM dari DETANO
DETANO (2,2'- cukup untuk
(hydroxynitrosohydrazino) 20°C/10 mempertahankan
Jamur (Jiang, 2011)
-bisethnamine menit tingkat kekerasan
0,5, 1 atau 2 mM dan menunda
pencoklatan
Sumber : Ioannou dan Ghoul (2013)
2. Blanching
Blanching adalah perlakuan panas terhadap bahan pangan. Perlakuan blanching dapat
dilakukan sesuai dengan media panas yang digunakan. Blanching dalam air mendidih dan/atau
di-steam; blanching dengan menggunakan microwave juga telah dikembangkan. Waktu
blanching bervariasi tergantung pada teknik yang digunakan, jenis produk, ukuran dan tingkat
kekerasan bahan, misal blanching daun singkong lebih singkat dibanding blanching rimpang-
rimpangan seperti kencur atau kunir putih. Proses ini menginaktivasi sistem enzimatik yang
bertanggung jawab untuk perubahan sensorik dan vitamin dan dengan demikian membatasi
oksidasi. Selain itu, warna bahan dapat terjaga untuk kenampakan yang lebih baik. Memang,
aktivitas oksidatif polyphenoloxidase bervariasi menurut suhu dan meningkat saat suhu mencapai
puncak. Setelah aktivitas optimal enzim tercapai, aktivitas relatif enzim menurun dengan
kenaikan suhu (Ozel dkk., 2010). Tabel 2 menunjukkan rangkuman penelitian yang berhubungan
dengan blanching dalam literatur.
Tabel 2. Rangkuman parameter waktu dan suhu blanching pada produk hortikultura
Metode Kondisi
Buah/sayur Hasil Referensi
blanching blanching
Air, asam Blanching diperlukan (Gonzalez-
Prem askorbat (400 20°C,40 detik untuk menginaktivasi Cebrino dkk.,
ppm) enzim 2012)
Bit harus direndam
dalam air untuk
5 menit, 250- menghindari
450W, bit merah penyusutan produk, (Latorre dkk.,
Bit merah Microwave
direndam dalam inaktivasi 2012)
air polyphenoloxidase dan
aktivitas peroksidase
mencapai 90%
Inaktivasi
polyphenoloxidase dan
aktivitas peroksidase
Selada air Termosonikasi 86°C, 30 detik mencapai (Cruz dkk., 2011)
90%, hilangnya
sturuktur mikro selada
air
Pencegahan
100°C selama 3 pencoklatan enzimatis (Hasimah dkk.,
Nanas Steam
menit tapi terjadi penyusutan 2011)
sel setelah digoreng
Penambahan kalium
Aonla
Air, kalium mencegah hilangnya
(sejenis buah 80°C selama 3 (Gupta dkk.,
metabisulfit nutrisi, blanching
berry dari menit 2011)
(0,3%) diperlukan untuk
India)
menonaktifkan enzim
100°C, 10 menit
(bayam), 12
Blanching dengan air
menit (wortel), 9
Wortel, menyebabkan kerugian
menit (bunga (Mazzeo dkk.,
bunga kol, Air, steam gizi dibandingkan
kol). 100°C, 20 2011)
bayam dengan blanching
menit (bayam,
dengan uap
wortel), 12 menit
(bunga kol)
Peningkatan kualitas
setelah pengeringan
Indian 100°C selama 7 (warna, tekstur (Gudapaty dkk.,
Air
gooseberry menit dan rasa) tetapi 2010)
penurunan kadar
vitamin C
Perubahan warna
selama pengeringan
50, 60, 70°C (Ong dan Law,
Salak Air yang diminimalkan
selama 5 menit 2011)
untuk sampel yang
diblanching
Blanching
mempengaruhi semua
sifat kimia
Indian 100°C selama 3 (Prajapty dkk.,
Air panas kecuali kandungan
gooseberry menit 2011)
asam askorbat dan
mengawetkan
warna.
Peroksidase tidak aktif
94°C selama 1, 3, setelah 5 menit dan (Ndiaye dkk.,
Mangga Steam
5 dan 7 menit polyphenoloxidase 2009)
setelah 7 menit
Pada suhu 95°C selama
Air, larutan asam 1 menit dalam air,
80-100°C selama
asetat 0.05N, katalase dan
1-10 menit (Shivhare dkk.,
Wortel 0,2% larutan peroksidase benar-benar
(masing-masing 2009)
kalsium klorida tidak aktif tanpa
perlakuan)
mempengaruhi kualitas
wortel
Uap air panas 115°C (uap)
(SHS) dan selama 11 menit Perubahan tekstur dan
(Sotome dkk.,
Kentang semprotan (mikro atau 100°C warna dikurangi dengan
2009)
droplet) air panas (mikro droplet) kombinasi perlakuan
(WMD) selama 11 min
Inaktivasi suhu dari
17 kondisi polyphenoloxidase dan
pemanasan yang peroksidase secara
Air kelapa berbeda dengan signifikan lebih cepat (Matsui dkk.,
Microwave
hijau suhu maksimal dengan 2008)
antara 52,5 dan blanching microwave
92,9°C daripada blanching
konvensional
Kondisi optimum
blanching untuk
Perendaman air
mencegah pencoklatan
panas,
enzimatis adalah:
Kentang Air diguncangkan (Reis dkk., 2008)
konsentrasi
dengan kecepatan
asam askorbat 2g/kg
120 rpm
kentang, waktu 5,5
menit dan suhu 69 ° C
50°C selama 5
Perlakuan
menit kemudian
menggunakan
Kubis Air, 100°C selama
microwave lebih baik (Vina dkk., 2007)
Brussel microwave/air 3 menit, 700 W
untuk mempertahankan
selama 5 menit
karakteristik produk
kemudian 100°C
selama 2 menit
Blanching ohmik
memungkinkan
penurunan
20-50 V/cm waktu blanching untuk
Bubuk
Ohmik, air sampai mencapai menonaktifkan (Icier dkk., 2006)
kacang
100°C peroksidase tersebut,
warna lebih baik
diawetkan dengan
blanching ohmik
Tidak ada perbedaan
antara metode
blanching untuk
Kacang Air, steam, (Lin dan Brewer,
Tanpa kondisi inaktivasi enzim,
polong microwave 2005)
kehilangan nutrisi yang
lebih tinggi adalah
dengan blanching air
Sumber : Ioannou dan Ghoul (2013)
Tabel 3. Penelitian MAP untuk mencegah pencoklatan enzimatis pada produk hortikultura
Buah/sayur Kondisi Hasil Referensi
Browning enzimatik tertunda
Tekanan tinggi (150MPa)
Apel tapi kondisi tidak cukup (Wu dkk., 2012)
perlakuan Argon
untuk mencegahnya
Produk dengan
Isi yang berbeda pada O2 diuji, kualitas sensorik tertinggi
(O'Beirne dkk.,
Apel/Jamur seimbang baik dengan Argon setelah penyimpanan adalah
2011)
atau dengan N2 produk dengan perlakuan 2%
O2 / 79% Ar
Perlakuan terbaik untuk
MAP : 100% N2 / 20% O2,
mencegah pencoklatan
80% N2 / modifikasi atmosfer (Wang dkk.,
Jamur enzimatis adalah atmosfer
tinggi oksigen (50 sampai 2011)
tinggi diubah oksigen dengan
100% O2)
80% O2 (keseimbangan N2)
Penggunaan atmosfer O2
Atmosfer terkontrol (0,4- (Teixeira dkk.,
Belimbing rendah tidak cukup untuk
20,3% O2) 2008)
mencegah reaksi pencoklatan
10 kombinasi atmosfer oksigen Efek yang paling signifikan
(De Souza dkk.,
Mangga (2,5 dan 21%) dan karbon disebabkan oleh
2006)
dioksida (0,5, 10, 20 dan 40%) berkurangnya O2 (2,5%)
Atmosfer termodifikasi
MAP : O2 5%, CO2 5% dengan 90%
(Rocculi dkk.,
Kiwi diblansing dengan N2 , Ar, NO2 adalah campuran terbaik
2005)
NO2 untuk mempertahankan
kualitas irisan buah kiwi
Sumber : Ioannou dan Ghoul (2013)
Komposisi kimia bahan hasil pertanian merupakan komponen kimia dalam bahan
pangan/hasil pertanian yang memiliki karakteristik tertentu. Komposisi utama bahan hasil
pertanian adalah air, karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Analisis kadar dari komponen-
komponen tersebut disebut analisis proksimat. Komposisi kimia dapat mempengaruhi sifat dan
nilai suatu bahan pangan. Pangan segar dan pangan olahan dapat disusun oleh komponen makro
(air, karbohidrat, lemak dan protein) dan komponen mikro (vitamin, mineral, pigmen, dan
komponen organik lainnya). Bahan tambahan pangan tidak termasuk ke dalam komposisi kimia
pangan segar, karena bahan ini ditambahkan ke dalam formulasi pangan pada saat proses
pengolahan pangan.
Komposisi kimia bahan pangan terdiri dan beberapa hal pokok sebagai berikut:
1. Air
2. Karbohidrat
3. Protein
4. Lipida
5. Asam organik
6. Bahan citarasa
7. Pigmen
8. Enzim
9. Vitamin
10. Mineral
Komponen no. 1-4 dan no. 10 termasuk analisis proksimat dari suatu bahan hasil pertanian.
A. Air
Kadar air bahan yang tua dan yang muda berbeda-beda, umumnya kadar air bahan yang tua
lebih kecil dibandingkan yang muda. Rimpang-rimpangan setelah dipanen umumnya mempunyai
kadar air sekitar 75% sampai 87%, misalnya rimpang kunir putih memiliki kadar air 85,10%
(Purwo, 2015) dan rimpang temulawak 79,15% (Bahtiar, 2015). Hasil pertanian yang
mengandung kadar air lebih besar yaitu: tomat, seledri, waluh, timun dan ada yang mengandung
kadar air rendah (10-20%) yaitu: kacang-kacangan (sumber protein), kecipir, koro dan beras.
B. Karbohidrat
Kadar karbohidrat pada hasil pertanian umumnya bervariasi antara yang muda dan tua.
Rata-rata hasil pengujian kadar karbohidrat (%) kunir putih segar dengan variasi bagian-bagian
rimpang disajikan pada Tabel 1.
Rimpang utama dari kunir putih mempunyai kadar karbohidrat lebih tinggi dibandingkan
yang lebih muda. Pada biji-bijian, serealia, beras, jagung dan sorgum juga mengandung
karbohidrat tinggi. Karbohidrat pada buah dan sayuran terdiri dari 3 hal penting:
1. Pati (amilosa dan amilopektin).
2. Polisakarida penyusun dinding sel (contoh: serat pangan).
Serat pangan adalah komponen dinding sel tanaman yang tahan terhadap hidrolisis oleh
enzim yang disekresikan saluran pencernaan manusia. Serat pangan meliputi polisakarida dan
lignin, pektin, gum dan waxes (Trowell dkk., 1976). Serat pangan dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu yang bersifat larut dan tidak larut (Cummings, 1981). Menurut Hellendorn (1978) serat
pangan larut terdiri atas pektin/ substansi pektat, gum dan galakto-oligosakarida.
Serat pangan larut yang alami sudah biasa digunakan dalam bahan makanan yaitu exudat
(contoh: gum arabic, gum tragakan, gum karaya, gum ghalli), ekstrak (agar, alginat, pektin,
karagenan) dan tepung (guar-gum, locust bean-gum). Serat pangan larut hasil sintesis misalnya
xanthan gum, CMC (Carboxymethylcellulose), methylcellulose, hydroxypropyl methylcellulose
dan polydextrose (Cummings, 1981). Menurut Anderson dan Bridges (1988) serat pangan larut
terhadap total serat pangan dalam sayur-sayuran mencapai 30% dan buah-buahan 38%, hal ini
lebih tinggi dibandingkan dalam biji-bijian yaitu 25%. Serat pangan sebagai komponen diet
berperanan penting dalam kesehatan, karena mempunyai efek menguntungkan dan belum ada
bukti adanya efek yang berbahaya.
Serat pangan mempunyai kemampuan dalam memperpendek waktu transit, sehingga
hanya sedikit kolesterol atau lipid yang dapat diserap oleh usus. Selain itu, serat pangan dapat
menyerap dan mengikat secara langsung pada bahan pangan yang mengandung lemak maupun
kolesterol. Menurut Linder (1985) waktu transit normal rata-rata 7 jam dan efisiensi penyerapan
kolesterol 35-43%, apabila waktu transit lebih pendek menjadi 4-5 jam, maka efisiensi
penyerapan turun menjadi 21-27%.
3. Gula sederhana (sukrosa, fruktosa dan glukosa yang sifatnya larut dalam air).
Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi. Hal ini
dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas. Contoh gula reduksi adalah glukosa dan
fruktosa. Sukrosa banyak terdapat pada wortel, ubi jalar, pisang, nanas, sedangkan pada
semangka terdapat sakarosa yang lebih banyak. Sukrosa tersusun oleh molekul glukosa dan
fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,2-α.
Rafinosa adalah suatu trisakarida yang penting, terdiri atas tiga molekul monosakarida
yang berikatan, yaitu galaktosa-glukosa-fruktosa. Rafinosa pada biji munggur berkisar antara
2,23±0,08%, pada biji munggur yang telah digoreng 5,32± 0,12%, sedangkan rafinosa pada
tempe munggur dengan lama fermentasi 48 jam 0,86± 0,02% (Pujimulyani, 1995).
Stakinosa adalah polimer monosakarida dengan derajat polimerisasi 4 unit serta bersifat
larut dalam air. Stakiosa pada biji munggur berkisar antara 3,96±0,10%, pada biji munggur yang
telah digoreng 3,85±0,09%, sedangkan stakiosa pada tempe munggur dengan lama fermentasi 48
jam 1,08±0,04% (Pujimulyani,1995).
C. Protein
Kadar protein pada buah-buahan umumnya rendah kurang dari 1% sedangkan pada
sayuran 3%. Protein berperanan sebagai bahan struktural dari membran sel. Pada sayuran yang
mengandung pati kadar proteinnya 0,5-2%, sedangkan pada sayuran non pati (mengandung pati
sedikit, contohnya kacang-kacangan) mengandung protein sekitar 40% (Tranggono dan Sutardi,
1989). Rata-rata hasil analisis kadar protein (%) kunir putih segar dengan variasi bagian-bagian
rimpang disajikan pada Tabel 2.
Protein kasar dapat dihitung dengan rumus = N x 6,25 (tergantung jenis bahan). Protein
sebagai penyusun utama suatu enzim yang apabila ditempatkan pada suhu tinggi akan
terdenaturasi/koagulasi yang bersifat irreversible.
Tabel 2. Kadar protein rimpang kunir putih
Kadar Protein
Variasi Rimpang
(%) bk
Rimpang utama 7,74
Rimpang cabang 1 8,14
Rimpang cabang 2 9,28
Sumber: Fajarwati, dkk. (2014)
D. Lipid
Lipid pada buah contohnya adalah asam palmitat, oleat dan linoleat. Rata-rata hasil analisis
kadar lemak (%) kunir putih segar dengan variasi bagian-bagian rimpang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar lemak rimpang kunir putih
Kadar Lemak
Variasi Rimpang
(%) bk
Rimpang utama 4,90
Rimpang cabang 1 6,21
Rimpang cabang 2 7,40
Sumber: Fajarwati, dkk. (2014)
F. Bahan citarasa
Citarasa adalah perpaduan antara rasa dan bau/flavor. Contoh citarasa adalah rasa manis
dari gula atau asam-asam organik. Ester, alkohol, aldehid, keton, diasetil karbonil, giraniol.
Senyawa tersebut menghasilkan bau karena senyawa tersebut bersifat mudah menguap. Zat
yang mengandung belerang akan berbau tajam misalnya bawang.
G. Pigmen
Klorofil = hijau
Antosianin = merah/biru/ungu, contoh : anggur, duwet, terong
Flavonoid = kuning
Karotenoid = kuning dan merah, contoh : wortel (sebagai sumber pro vitamin A)
H. Enzim
Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi sebagai katalisator reaksi-reaksi kimia
yang terjadi dalam sistem biologi (makhluk hidup). Katalisator adalah suatu zat yang
mempercepat reaksi kimia, tetapi tidak mengubah kesetimbangan reaksi atau tidak
mempengaruhi hasil akhir reaksi.
Contoh-contoh enzim dalam proses metabolisme:
1. Enzim katalase.
Enzim katalase berfungsi membantu pengubahan hidrogen peroksida menjadi air dan
oksigen. Contoh : 2H2O2 → 2H2O + O2
2. Enzim oksidase.
Enzim oksidase berfungsi mempergiat penggabungan O2 dengan suatu substrat yang pada
saat bersamaan juga mereduksikan O2, sehingga terbentuk H2O.
3. Enzim hidrase.
Enzim hidrase berfungsi menambah atau mengurangi air dari suatu senyawa tanpa
menyebabkan terurainya senyawa yang bersangkutan. Contoh: fumarase, enolase, akonitase.
4. Enzim dehidrogenase.
Enzim dehidrogenase berfungsi memindahkan hidrogen dari suatu zat ke zat yang lain.
5. Enzim transphosforilase.
Enzim transphosforilase berfungsi memindahkan H3PO4 dari molekul satu ke molekul lain
dengan bantuan ion Mg2+.
6. Enzim karboksilase.
Enzim karboksilase berfungsi dalam pengubahan asam organik secara bolak-balik. Contoh
pengubahan asam piruvat menjadi asetaldehida dibantu oleh karboksilase piruvat.
7. Enzim desmolase.
Enzim desmolase berfungsi membantu dalam pemindahan atau penggabungan ikatan
karbon. Contoh: aldolase dalam pemecahan fruktosa menjadi gliseraldehida dan
dehidroksiaseton.
8. Enzim peroksida.
Enzim peroksida berfungsi membantu mengoksidasi senyawa fenolat, sedangkan oksigen
yang dipergunakan diambil dari H2O2.
9. Enzim α-Galaktosidase
Enzim α-galaktosidase ( α-D-galaktosidase galaktohydrolase E.C.3.2.122) adalah enzim
penghidrolisis ikatan α-1-6-galaktosida atau α-D-galaktosidik, terutama pada rafinosa dan
stakinosa yang banyak terdapat pada biji kacang-kacangan. Pada fermentasi 0 jam dalam
pembuatan tempe munggur tidak terdeteksi adanya aktivitas enzim α-galaktosidase, karena
bahan yang siap diinokulasi adalah bahan setelah dikukus 1 jam. Hal ini berarti semua
enzim endogen pada biji munggur tidak aktif, sedangkan jamur tempe yang diinokulasikan
belum tumbuh sehingga belum menghasilkan enzim α-galaktosidase. Pada fermentasi 24
jam, aktivitas enzim α-galaktosidase sebesar 1,8x10-2 µmol nitrofenol/ml, karena jamur
tempe sudah mulai tumbuh dan memproduksi enzim α-galaktosidase. Pada fermentasi 48
jam, aktivitas enzim α-galaktosidase naik secara nyata menjadi 2,3x10-2 µmol nitrofenol/ml.
Kenaikan tersebut disebabkan oleh pertumbuhan jamur yang naik dan secara visual tempe
yang dihasilkan lebih kompak dibanding tempe fermentasi 24 jam. Dengan demikian lama
fermentasi sampai 48 jam menunjukkan kenaikan aktivitas enzin α-galaktosidase yang
sangat berbeda nyata dengan fermentasi sebelumnya (Pujimulyani,1995).
I. Vitamin
1. Vitamin C
Vitamin C adalah nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan
serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk
utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan terlarut air paling
dikenal, vitamin C juga secara efektif memungut formasi ROS dan radikal bebas (Frei
1994). Kebutuhan vitamin C manusia dipenuhi dari buah dan sayur. Sayuran berpati
misalnya pada kentang yang mengandung vitamin C, selama penyimpanan maupun
pengolahan. Kacang-kacangan defisien vitamin C kecuali kecambah.
Vitamin C dapat berkurang selama perebusan karena:
a. Vitamin C bersifat larut dalam air.
b. Oksidasi enzimatis pada awal perebusan.
Cara menghindarinya adalah:
a . Dikukus bukan direbus.
b . Jika direbus dimasukkan setelah air mendidih.
Rata-rata hasil pengujian vitamin C kunir putih segar dan blanching variasi bagian-bagian
rimpang disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4., hasil analisa kadar Vitamin C dengan perlakuan kunir putih segar
dan blanching memberikan pengaruh nyata. Pada variasi bagian rimpang kunir putih segar tidak
terdapat beda nyata antara empu, anakan 1 dan anakan 2. Sama halnya Pada kunir putih dengan
perlakuan blanching tidak terdapat beda nyata antara empu dengan anakan 1 dan anakan 2. Pada
perlakuan media blanching memiliki kadar vitamin C yang lebih rendah dibanding dengan
rimpang kunir putih tanpa blanching ( Pujimulyani, 2014). Hal ini sesuai dengan pendapat
Heddy et al., (1997) bahwa Sifat vitamin C mudah larut dalam air, vitamin C akan mudah hilang
selama proses pengolahan dan vitamin C mudah rusak karena oksidasi terutama pada suhu
tinggi.
3. Vitamin B
Vitamin B dapat membuat jaringan aktif tumbuh.
Contoh beberapa vitamin B : Vitamin B1 (thiamine), Vitamin B2 (riboflavin), Vitamin B3
(niacin), Vitamin B5 (pantothenic acid/asam pantotenat), Vitamin B6 (pyridoxamine), Vitamin
B9 (folic acid/asam folat), vitamin B12 (cyanocob), vitamin B7 (biotin), kolin dan inositol.
Tanaman sumber vitamin B:
1. Thiamin : serealia utuh, lembaga gandum, yeast kering, kacang-kacangan, bayam, lobak,
biji-bijian.
2. Riboflavin : daun hijau, kacang-kacangan, kuncup brokoli.
3. Niasin : yeast kering, kacang tanah.
J. Mineral
Mineral biasanya dinyatakan dengan kadar abu. Mineral dibagi menjadi dua yaitu
makromineral (dalam jumlah besar) dan mikromineral (dalam jumlah kecil). Contoh
makromineral: potasium, magnesium, kalsium, besi, fosfor dan nitrogen. Contoh mikromineral:
tembaga, mangan, seng, boron, molibdonium dan klorin. Mineral pada rimpang kunir putih jenis
mangga meliputi Ca 816,22 ppm, Fosfor 0,44%, Na 261,17 ppm, K 2,52% dan Fe 43,34 ppm
(Pujimulyani, 2014).
XI. PENGEMASAN BAHAN HASIL PERTANIAN
Pengemasan menurut Robertson (2006) diartikan sebagai berikut: (i) Pengemasan adalah
seni, ilmu dan sekaligus teknologi untuk mempersiapkan bahan guna keperluan transportasi dan
penjualan, (ii) Pengemasan dapat juga diartikan sebagai usaha-usaha untuk menjamin keamanan
produk selama pengangkutan dan penyimpanan sehingga bisa sampai ke tangan konsumen
dalam kondisi bagus dengan biaya yang rendah, (iii) Selain itu, pengemasan harus mampu
memberikan perlindungan terhadap apa yang dijual dan sekaligus menjual apa yang dilindungi.
Definisi pengemasan yang ke-3 ini menekankan pentingnya pengemasan dalam bidang
promosi.
Pengemasan adalah tindakan menempatkan produk di dalam wadah bersama dengan
kemasan bahan untuk mencegah gerakan dan untuk melindungi produk. Pengemasan harus
memenuhi tiga tujuan dasar: (i) Berisi produk dan memfasilitasi penanganan dan pemasaran
dengan standarisasi jumlah unit atau berat bahan dalam kemasan. (ii) Melindungi produk dari
cidera dan kondisi yang merugikan selama transportasi, penyimpanan dan pemasaran. (iii)
Memberikan informasi kepada pembeli seperti varietas, berat, kualitas, nama produsen, asal,
nilai gizi, kode atau informasi lain yang relevan untuk ketertelusuran (Camelo, 2004).
Buah-buahan dan sayuran segar umumnya dikemas dalam keranjang bambu, wadah plastik,
kantong plastik atau karung nilon untuk transportasi di negara berkembang. Sayur-sayuan dan
buah-buahan seringkali diangkut dalam bentuk tanpa kemasan. Setelah panen, buah-buahan dan
sayuran segar umumnya diangkut dari perkebunan ke salah satu rumah tempat mengemas atau
pusat distribusi. Petani menjual produk mereka baik di pasar atau di grosir. Penerapan teknologi
pascapanen yang tepat bisa membantu memperpanjang umur simpan, mempertahankan kualitas
kesegarannya dan mengurangi kerugian secara ekonomi.
Menurut kegunaannya kemasan dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu kemasan
untuk konsumen dan kemasan untuk keperluan industri. Golongan pertama biasanya terdiri atas
kemasan yang berukuran relatif kecil dan diproduksi dalam jumlah banyak dan dengan desain
yang menarik baik bentuk maupun warnanya. Kemasan industri pada umumnya merupakan unit-
unit yang besar tanpa ada upaya untuk memikat pandangan mata.
Kemasan dapat dikelompokkan empat kategori (Robertson, 2006) yaitu:
1. Kemasan primer yaitu kemasan yang langsung kontak dengan produk yang tujuannya untuk
melindungi produk dari kerusakan. Contoh kemasannya adalah : kaleng logam, karton, botol
kaca dan kantung plastik.
2. Kemasan sekunder yaitu kemasan dari sejumlah kemasan primer, misalnya kotak untuk tujuan
distribusi. Kadang-kadang dirancang agar kemasan tersebut dapat digunakan pengecer untuk
memajang produk dalam kemasan primernya.
3. Kemasan tersier yaitu kemasan untuk mengemas sejumlah kemasan sekunder, misalnya pallet,
untuk tujuan perdagangan antar daerah atau antar negara.
4. Kemasan kuartener yaitu kemasan yang digunakan untuk memfasilitasi penanganan kemasan
tersier, umumnya berupa kemasan logam untuk panjang >40 cm yang dapat menampung pallet
untuk dimuat ke kapal, kereta api atau truk. Kemasan tersebut dilengkapi pengontrol suhu,
kelembaban relatif dan proporsi udara untuk keperluan transportasi pangan beku, daging dingin
dan buah-buahan serta sayuran segar.
Buah-buahan dan sayur-sayuran saat ini juga masih banyak yang dikemas menggunakan
bahan tradisional. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka perlu pemilihan bahan dan tipe
pengemas yang sesuai. Terdapat beberapa macam kemasan yang dapat dipilih untuk mengemas
buah-buahan dan sayur-sayuran (Suhardi,1993) yaitu:
1. Kotak kayu; cocok untuk pengangkutan dalam jumlah besar, memungkinkan disusun ke atas
sampai beberapa kotak tergantung kekuatan bahan kotak, sedangkan ukurannya tergantung
tujuan pemakaian dan jenis bahan yang dikemas. Saat ini kotak kayu bisa diganti karton,
namun daya tampung dan daya tahannya lebih rendah dibanding kotak kayu. Contoh:
pengemasan jeruk dan mangga.
2. Keranjang anyaman bilah bambu; lebih murah dari bahan kayu tapi daya tahan terhadap
beban himpitan rendah. Contoh: pengemas salak dengan kapasitas 15-20 kg.
3. Karung; daya tampung terbatas, daya perlindungan terhadap himpitan sangat kurang.
4. Kantung anyaman tali nilon (tiruan bahan kemasan tradisional); cocok untuk bahan yang
ukurannya kecil dan tahan benturan atau gesekan (misal: lombok, buncis). Dengan kemasan
ini kemungkinan dapat terjadi akumulasi panas pada bahan yang dikemas, agar tidak terjadi
akumulasi panas biasanya dipajang dengan cara digantung. Contoh: pengemasan kelengkeng.
5. Anyaman tali bambu (kreneng) (kemasan tradisional) dan kantong plastik kecil (kemasan
modern); untuk mengemas bahan dalam jumlah kecil, digunakan oleh pedagang buah eceran
karena ringan untuk dijinjing dengan satu tangan. Contoh: pengemas salak dengan kapasitas
2-5 kg.
Selain itu bisa digunakan kemasan modern (kantong kertas, pembungkus kertas minyak,
karton berlapis plastik, kotak dari triplek), sedangkan kemasan tradisional yang masih digunakan
adalah keranjang rotan, anyaman daun enau, daun kelapa dan daun pandan. Syarat bahan
pengemas baik termasuk tradisional maupun modern adalah sebagai berikut:
1. Bahan pengemas harus mempunyai kekuatan mekanis yang cukup untuk melindungi bahan
selama penanganan pengangkutan dan saat dilakukan penumpukan. Contoh: kekuatan
mekanis kotak dari kertas lebih kecil dibanding dari kayu.
2. Bahan untuk pembuatan tidak mengandung bahan kimia yang dapat mengkontaminasi bahan
yang dikemas dan tidak beracun.
3. Bahan pengemas harus memenuhi persyaratan penanganan dan pemasaran, meliputi berat,
ukuran dan bentuk.
4. Kemasan memungkinkan pendinginan cepat dari isinya.
5. Kekuatan mekanis tidak dipengaruhi oleh kandungan airnya atau pada RH tinggi (lembab).
RH tinggi berarti kandungan uap air tinggi.
6. Mudah dibuka dan ditutup, penting pada berbagai situasi pasar.
7. Dapat dipersyaratkan memantulkan cahaya atau meneruskan cahaya (transparan).
8. Kemasan dapat dipersyaratkan membantu penampilan pada penjualan eceran (saat dipajang).
9. Kemasan perlu didesain sedemikian rupa agar mudah dibuang atau digunakan kembali.
3. Pengemasan Kentang
Pengemasan kentang adalah memasukkan dan menyusun kentang ke dalam suatu wadah
atau tempat yang cocok dan baik sehingga komoditi tersebut terlindungi dari kerusakan mekanis,
fisiologis, kimiawi, dan biologis. Pengemasan kentang bertujuan untuk melindungi kentang
terhadap kerusakan, mengurangi kehilangan air, dan mempermudah dalam hal pengangkutan.
Menurut Rahardi (1993) kemasan yag baik memiliki syarat-syarat sebagai berikut: tidak toksik,
dapat menjamin sanitasi dan syarat-syarat kesehatan, serta ukuran, bentuk, dan berat harus sesuai
dengan bahan yang akan dikemas. Alat pengemas diharuskan bersih dan terbuat dari bahan yang
ringan. Pengemas kentang harus berventilasi dan di bagian dasar dan tepi diberi bahan yang
mengurangi benturan selama pengangkutan. Pengemasan kentang yang umum dilakukan dengan
karung nilon, seperti jarring sehingga ventilasi cukup.
4. Pengemasan Cabai
Pengemasan cabai dilakukan untuk melindungi cabai dari kerusakan selama pengangkutan.
Kemasan dibuat dari berbagai bahan dan bentuknya disesuaikan dengan kapasitas cabai yang
akan dikemas. Cabai untuk dipasarkan ke luar negeri (ekspor) dikemas menggunakan kotak
karton dan cabai disusun memenuhi volume kotak kemasan. Kemasan diberi ventilasi udara
sehingga tidak tertutup sama sekali. Pada bagian luar kemasan diberi label dengan gambar agar
lebih menarik. Untuk pemasaran antar kota, petani biasanya mengemas cabai menggunakan
jaring kapasitas kira-kira 25-50 kg. Kemasan yang biasanya digunakan adalah:
a. Keranjang bambu ukuran alas 40 cm, tinggi 44 cm diameter tutup 50 cm.
b. Kemasan karton ukuran 35 x 40 x 50 cm yang ke enam sisinya diberi lubang sirkulasi udara
(diameter 1 cm jarak antara titik lubang 10 cm).
c. Karung plastik
Ketiga kemasan diatas idealnya mampu menampung cabai sekitar 20-25 kg. Jika lebih dari 25
kg cabai bagian bawah dapat mengalami kerusakan. Menurut Setyowati dan Budiarti (1992)
kemasan yang terlalu besar dapat menurunkan mutu cabai terutama yang berada di bagian
bawah. Sebelum dilakukan pengemasan, buah cabai terlebih dahulu dicuci lalu dilakukan
perendaman dengan larutan klorin (natrium hipoklorit atau metabisulfit) 0,05% (0,05/100 x
1.000 ml =0,5 g/l).
Selain kemasan di atas, kemasan cabai yang lain yang dapat digunakan (Sembiring, 2009)
adalah:
a. Plastik LDPE, disimpan dengan suhu kamar dapat dipertahankan selama 1 minggu dengan
cara membuat pola 16 titik.
b. Stereoform, disimpan pada suhu kamar dapat dipertahankan selama 2 minggu.
c. Daun pisang yang disimpan pada suhu kamar dapat dipertahankan selama 1 minggu
5. Pengemasan Tomat
Cara pengemasan buah tomat sangat berpengaruh terhadap warna dan kekerasan buah
tomat. Pemasakan buah tomat berkorelasi tinggi dengan warna pemasakannya. Perlu dicatat
bahwa pengemasan ini tidak dapat memperbaiki mutu. Oleh karena itu, produk dengan kualitas
yang paling baik yang dikemas. Ikut sertanya produk yang busuk atau rusak dalam kemasan
dapat mengkontaminasi produk yang masih sehat. Pengemasan juga bukan pengganti
penyimpanan oleh karena itu penjagaan mutu yang paling baik adalah dengan
mengkombinasikan pengemasan dengan penyimpanan yang baik. Secara garis besar, tujuan
pengemasan tomat adalah sebagai berikut:
a. Menghambat penurunan bobot berat tomat akibat transpirasi.
b. Meningkatkan citra produk tomat.
c. Menghindari atau mengurangi kerusakan tomat pada waktu pengangkutan.
d. Sebagai alat promosi agar kenampakan tomat lebih baik
Pengemasan buah tomat yang baik harus dapat melindungi buah dari pengaruh lingkungan
dan mencegah dari cacat fisik. Pengemasan buah tomat harus memberikan keuntungan dari segi
kesehatan sehingga kebersihan tiap wadah haruslah diperhatikan. Pengemasan tomat dalam
wadah yang tertutup dapat ikut membantu menghindarkan buah tomat dari debu atau pasir
selama pengangkutan sehingga produk yang telah dicuci akan tetap bersih sampai ke tangan
konsumen. Pengemasan buah tomat juga menghindarkan produk dari kontaminasi senyawa yang
tidak diinginkan, serangan hama dan mikroorganisme.
Mutu tomat dipertahankan dalam jangka waktu yang relatif lama, cara paling mudah,
murah dan aman bagi tomat-tomat dalam negeri adalah menyimpannya dalam kotak kayu. Kotak
tersebut higroskopis sehingga dapat menyerap H2O dan di bagian bawahnya diberi kapur tohor
atau Ca(OH)2 untuk mengikat CO2. Kemasan ini harus disimpan di tempat yang kering dan teduh
sehingga penimbunan etilen dapat ditekan. Bila buah tomat yang disimpan masih berwarna
kehijau-hijauan. Penyimpanan dengan cara ini dapat mempertahankan kesegaran buah tomat
sampai 2 minggu (Widianarko dkk., 2000).
Bahan kayu yang dipilih untuk pembuatan kotak kayu ini biasanya kayu yang ringan dan
kuat sehingga mudah dipindahkan dan dapat dilakukan penumpukan. Permukaan papan kayu
yang digunakan sebagai bahan kemasan harus dibuat sehalus mungkin. Hal ini dilakukan untuk
menghindarkan terjadinya luka pada buah tomat karena gesekan dari serat kayu yang mencuat
keluar.
Cara pengepakan buah tomat dalam kotak kayu adalah buah disusun dalam peti dengan tata
letak pangkal buah mengarah ke atas dan buah dalam lapisan diatur berselang-seling sampai
mengisi peti hingga penuh. Lapisan buah tomat tersebut ditutup jerami hingga penuh.
Penggunaan jerami ini untuk meminimalikan terjadinya benturan yang dapat mengakibatkan
kerusakan fisik pada buah tomat. Kemudian peti ditutup dengan kisi-kisi triplek dan dikuatkan
dengan paku serta plat seng. Untuk tujuan ekspor, pengepakan buah tomat dapat dilakukan
dalam kotak dari bahan karton (kardus).
Selain pengemasan dengan kotak kayu dan kardus, sekarang banyak digunakan
penyimpanan dengan menggunakan bahan plastik. Sifat-sifat plastik yang digunakan juga
berbeda-beda terutama sifat permeabilitasnya yang memungkinkan zat-zat dapat keluar atau
masuk ke dalam kemasan plastik ini. Menurut Batu dan Thomson (1998), plastik jenis
polyethylene 50 mikron dan polypropylene 25 mikron adalah yang terbaik dengan umur simpan
tomat hijau sampai 30 hingga berwarna merah dan 60 hari hingga melunak pada penyimpanan
suhu 13ºC. Buah-buah tomat impor yang kita dapati di beberapa supermarket biasanya
dibungkus dengan plastik polyethylene. Cara ini cukup baik, karena cukup efektif menekan
pembentukan CO2 dan H2O. Namun polyethylene ini akan bereaksi dengan etilen yang
dihasilkan buah tomat, membentuk rantai panjang thylene yang mudah bereaksi dengan lapisan
lilin kulit tomat. Sampai batas tertentu pembentukan etilen ini kurang baik bagi kesehatan namun
dapat dihambat dengan mengupas kulit buah.
Bahan kemasan lain buah tomat impor adalah plastik polyethylene shrink film atau plastik
mengkerut yang dapat meningkatkan penampilan buah tomat. Harga plastik ini lebih mahal
tetapi sesuai dengan sifat polyethylene, kemasan ini tidak baik karena kontak langsung kulit buah
dengan bungkus lebih banyak.
Di Australia biasanya digunakan bungkus plastik polyethylene biasa dengan buntalan kecil
di dalamnya yang berisi KMNO4. Pengemasan ini lebih aman karena KMNO4 sangat efektif
menyerap etilen. Harga tomat juga menjadi lebih mahal karena harga KMNO4 dan
pembungkusnya yang harus semipermeabel ini sangat mahal.
Pengemasan menggunakan plastik semipermeabel di atas disebut dengan MAP (Modified
Atmosphere Packaging). MAP menghasilkan pengurangan konsentrasi O2 dan peningkatan
konsentrasi CO2 di sekitar buah di dalam plastik. Efek dari penurunan tingkat O2 adalah
peningkatan CO2. Kecepatan laju perubahan gas ini tergantung dari konsentrasi gas, waktu dan
jenis buah. MAP umumnya mengurangi laju respirasi dan pelunakan buah, memperlambat
serangan jamur pada buah dan mengurangi efek etilen karena pemasakan. MAP juga dapat
memenuhi kelembaban udara dalam kemasan untuk memperlambat laju penurunan kadar air dan
susut berat. Teknik MAP ini sangat efektif bila digabungkan dengan pendinginan.
7. Pengemasan Belimbing
Proses distribusi buah belimbing meliputi aktivitas-aktivitas seperti pengemasan,
penanganan, penggudangan dan pengangkutan. Selama proses pendistribusian, kemasan dan
produk yang dikemas akan menghadapi sejumlah resiko yaitu resiko lingkungan seperti:
temperatur dan kelembaban, resiko fisis seperti: gesekan, benturan, tekanan dan sebagainya serta
resiko lainnya seperti serangan mikroorganisme perusak.
Beberapa penyebab kerusakan mekanis selama pendistribusian buah belimbing antara lain:
a. Isi kemasan yang terlalu penuh, menyebabkan meningkatnya kerusakan karena adanya
tambahan tekanan dan tutup kemasan
b. Isi kemasan yang kurang, menyebabkan kerusakan vibrasi pada lapisan atas. Hal ini
disebabkan karena adanya ruang di atas bahan sehingga selama pengangkutan bahan bagian atas
akan terlempar-lempar dan saling membentur.
c. Kelebihan tumpukan, tumpukan bahan yang terlalu tinggi di dalam kemasan akan
menyebabkan tekanan yang besar pada buah lapisan bawah sehingga meningkatkan kerusakan
karena tekanan.
Pengemasan belimbing merupakan salah satu proses untuk mencegah terjadinya penurunan
mutu buah, karena perlindungan atau pengawetan buah dapat dilakukan dengan pengemasan
buah pada kemasan yang tepat. Beberapa sifat kemasan yang diinginkan selama distribusi buah
belimbing adalah yang sesuai dengan sifat buahan yang akan dikemas, mempunyai kekuatan
yang cukup untuk bertahan dari resiko kerusakan selama pengangkutan dan penyimpanan. Faktor
yang perlu diperhatikan dalam pemilihan kemasan yaitu jenis, sifat, tekstur dan dimensi bahan
kemasan, komoditas yang diangkut, sifat fisik, bentuk, ukuran, struktur dan pola susunan produk
dalam kemasan, permintaan waktu, jarak dan keadaan jalan yang akan dilintasi.
Kemasan buah belimbing dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: kemasan transportasi dan
kemasan retail.
a. Kemasan transportasi, dibagi dalam dua jenis yaitu: kemasan rigid (kemasan kaku) dan
kemasan fleksibel. Kemasan rigid akan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap
produk yang dikemas. Kekakuannya tinggi sehingga penumpukan dapat lebih tinggi.
Pengemas bisa dipakai satu kali atau berulang kali. Contoh kemasan rigid adalah peti kayu
dan kardus karton. Kemasan rigid biasanya dapat digunakan untuk pengemasan buah
belimbing dengan jarak pemasaran yang relatif jauh. Sedangkan kemasan fleksibel
mempunyai bobot yang ringan dan volume produk yang terkemas dapat disesuaikan dengan
keinginan konsumen, contohnya adalah kemasan plastik dan kantong jaring. Kemasan ini
cocok untuk pemasaran buah belimbing di pasar-pasar tradisional dan umumnya tidak
menempuh perjalanan yang jauh.
b. Kemasan retail, merupakan kemasan buah belimbing secara eceran atau kemasan yang
terakhir sampai pada konsumen, biasanya berupa lapisan stereofoam dan plastik polyetilen.
9. Pengemasan Apel
Kerusakan buah apel yang telah degrading dihindari dengan cara segera dikemas sesuai
varietas dan kelas ukuran/grade. Maksudnya setiap kardus berisi buah apel yang sama varietas
dan sama ukurannya. Saat ini umumnya kemasan buah apel digunakan kotak kardus dengan
ukuran panjang 48 cm, lebar 33 cm dan tinggi 37 cm. Setiap kotak menampung buah apel seberat
35 kg.
Cara mengemas: dasar kardus diberi potongan kertas, lalu di atasnya disusun buah apel
dengan posisi miring dari paling kiri sesuai lebar kardus. Setiap dua buah sebelah kanannya satu
buah, dan seterusnya setiap dua buah kanannya satu buah, seterusnya berselang-seling sampai
memenuhi panjang kardus. Lapisan kedua dengan mengisi ruang-ruang di antara buah dari
lapisan pertama. Tiap-tiap buah diberi sela (ruangan) disebut susunan terbuka dan bila agak rapat
disebut susunan tertutup. Susunan terbuka lebih baik untuk sirkulasi udara di antara tiap-tiap
buah. Lapisan buah paling atas dilapisi potongan kertas lagi, lalu kardus ditutup. Kemasan dalam
kardus ini untuk pemasaran buah apel antar kota. Pengemasan untuk diimpor, sebelum
dimasukkan ke dalam kardus setiap satu buah dibungkus dengan bahan stereofoam yang
menyerupai bentuk jala. Pemasaran lokal tidak perlu dikemas, melainkan ditempatkan dalam
keranjang-keranjang.
Permeabilitas rendah terhadap uap air, gas, bau dan minyak, tidak tembus
Alumunium foil
cahaya, stabilitas dimensi dan penampilan menarik
Kuat, penampilan menarik, permeabilitas rendah terhadap uap air, gas, bau
Selulosa
dan minyak dan dapat dicetak
Tahan lama, tahan panas, permeabilitas rendah terhadap uap air; tahan
Polietilena
terhadap bahan kimia dan tahan pada suhu rendah
Tahan panas, permeabilitas yang rendah terhadap uap air, gas, bau dan
Hidroklorida karet
minyak, tahan terhadap bahan kimia
Selulosa asetat Kuat, kaku, penampilan mengkilap, dapat dicetak dan stabilitas dimensi
Vinilidena klorida Permeabilitas yang rendah terhadap uap air, gas, bau dan minyak, tahan
terhadap bahan kimia dan tahan panas
Polyvinyl chloride Tahan terhadap bahan kimia, bau dan minyak dan tahan panas
Kuat, tahan lama, stabilitas dimensi, permeabilitas rendah untuk gas, bau dan
Polyethylene tereftalat
minyak
Jenis pengemas plastik yang digunakan untuk bahan segar adalah polietilena
Polietilena (PE) dibuat dengan cara polimerisasi dari gas etilena yang merupakan hasil
samping dari industri minyak dan batu bara. Terdapat dua macam proses polimerisasi yang
dilakukan dan menghasilkan dua macam produk yang berbeda. Pertama, polimerisasi yang
dijalankan dalam bejana bertekanan tinggi (1.000-3.000 atmosfer) menghasilkan molekul makro
dengan banyak percabangan yaitu campuran dari rantai lurus dan rantai bercabang. Cara kedua,
polimerisasi dalam bejana bertekanan rendah (10-40 atmosfer) menghasilkan molekul makro
berantai lurus dan tersusun paralel.
Formula molekul dari primer adalah (CH2)n, walaupun rantai molekul makro dikatakan
lurus namun kenyataannya susunan atom-atom karbon tersebut dalam formasi zig-zag. Atom-
atom karbon bergabung melalui ikatan kovalen yang kuat dengan jarak 15,4 nm membentuk
sudut 90oC. Selain itu, di antara rantai satu sama lain dihubungkan oleh ikatan van der waals
yang sifatnya jauh lebih lemah (ikatan sekunder) sehingga memberikan sifat plastik. Walaupun
secara individual ikatan sekunder ini lemah, akan tetapi kekuatan dari total ikatan yang ada
sepanjang rantai dapat memberi andil yang besar terhadap beberapa macam sifat fisik dari plastik
yang bersangkutan. Adanya rantai-rantai cabang dalam molekul makro akan mencegah saling
menumpuknya rantai sehingga kerapatan (densitas) dari bahan jadi rendah. Oleh sebab itu
polietilena densitas rendah (PEDR) dihasilkan dari proses polimerisasi pada tekanan tinggi.
Ketidakteraturan struktur karena banyaknya rantai bercabang juga menurunkan derajat
kristalinitas dan titik lunak (softening point), karena energi yang diperlukan untuk melepaskan
ikatan sekunder antara rantai (jaraknya tidak jauh dan tidak tersusun secara kuat) adalah kecil.
Bagian kristalen dari suatu polimer tersusun oleh rangkaian monomer yang sejajar,
sedangkan daerah amorphous terdiri atas rantai monomer yang tersusun secara tidak teratur.
Antara bagian kristalen dan amorphous biasanya terdapat daerah transisi yang bersifat gradual.
PEDR adalah bahan yang bersifat kuat, agak tembus cahaya, fleksibel, dan permukaannya terasa
agak berlemak. Pada suhu kurang dari 60oC sangat resisten terhadap sebagian besar senyawa
kimia. Di atas suhu tersebut polimer ini menjadi larut dalam pelarut hidrokarbon dan
hidrokarbon klorida. Daya proteksinya terhadap uap air tergolong baik, akan tetapi kurang baik
bagi gas-gas yang lain seperti oksigen. Titik lunaknya rendah, oleh sebab itu tidak tahan untuk
proses sterilisasi dengan uap panas, dan kalau ada senyawa kimia yang bersifat polar akan
mengalami stress cracking (menjadi retak oleh penekanan). PEDR mudah diubah menjadi film
yang sangat ringan yang banyak digunakan untuk mengemas (prepack) produk segar dan beku,
serta sangat cocok untuk keperluan perekatan dengan panas. Bahan ini juga mudah dilapiskan
pada bahan lain seperti kertas dan aluminium. PEDR banyak dibuat kantong dan dicetak hembus
(blow-moulded) menjadi berbagai bentuk kemasan terutama bagi keperluan suhu rendah.
Polietilena densitas tinggi (PEDT) yang dihasilkan dengan polimerisasi pada tekanan dan
suhu rendah (50-75oC) memakai katalisator Ziegler yang mempunyai sifat lebih baku, lebih
keras, kurang tembus cahaya dan kurang terasa berlemak. Plastik ini mempunyai daya tahan
yang lebih baik terhadap minyak dan lemak, titik lunak lebih tinggi, akan tetapi daya tahan
terhadap pukulan (impact) dan permeabilitas uap airnya lebih rendah. PEDT banyak
dimanfaatkan untuk produksi botol, kantong, bak mandi, ember, krat, nampan, serta barang
keperluan rumah tangga lain. Salah satu keuntungan pemakain PEDT adalah dapat bertahan pada
kondisi sterilisasi dengan uap panas.