didasarkan pada ide Spinoza, Adam Muller dan Hegel. Apa itu negara integralistik? Menurut Soepomo,
integralistik berarti negara tidak untuk menjamin kepentingan individu. Bukan pula untuk kepentingan
golongan tertentu, tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan yang
integral.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan masyarakat yang organis dan tersusun
secara integral. Di dalamnya, segala golongan, segala bagian, semua individu berhubungan erat satu
sama lain. Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip
persatuan dalam negara seluruhnya. Bagi Soepomo, konsep negara seperti ini cocok dengan alam
pikiran ketimuran. Lagi menurutnya, pemikiran ini juga didasarkan pada struktur sosial masyarakat
Indonesia yang asli yang terdapat di desa‐desa di Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain
merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri.
Struktur sosial Indonesia meliputi aliran pikiran dan semangat kebatinan. Struktur kerohaniannya
bersifat persatuan hidup antara persatuan kawulo dan gusti. Persatuan dunia luar dan dunia batin.
Persatuan mikrokosmos dan makrokosmos. Persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya. Inilah
yang disebut Soepomo sebagai ide atau konsep negara integralistik. Dalam susunan persatuan antara
rakyat dan pemimpinnya itu, segala golongan diliputi semangat gotong‐ royong dan kekeluargaan.
Inilah struktur sosial asli bangsa Indonesia. Hakekat republik Indonesia adalah Republik Desa yang
besar dengan unsur dan wawasan yang modern.
Tentu saja dari pengertian tentang tiga konsep negara tersebut, Soepomo menjatuhkan pilihannya
pada teori integralistik. Soepomo berpendapat bahwa teori negara integralistik sesuai dengan
lembaga sosial yang asli Indonesia. Ia mengatakan bahwa negara Republik Indonesia harus
berdasarkan asas kekeluargaan dimana negara sebagai institusi menyatu dengan rakyatnya, sehingga
negara dapat menyejahterakan rakyat karena pemerintah dapat berlaku adil terhadap rakyatnya.
Soepomo menolak pemisahan kekuasaan (separation of power). Kekuasaan yang menyebar,
menurutnya, akan menimbulkan kekacauan dan ketidakseimbangan (disharmoni) dalam kehidupan.
Soepomo sangat mengagumi prinsip persatuan yang kekal antara Tenno Heika, negara, dan rakyat
Jepang, dan ia juga mengagumi prinsip persatuan antara pemimpin dan rakyat dalam pemerintahan
Nazi yang menurutnya cocok dengan aliran pikiran ketimuran.
Soepomo menjelaskan bahwa semangat kebatinan dan struktur kerohanian bangsa Indonesia dengan
bentuk manifestasinya yang berupa persatuan, saling mempengaruhi dalam kehidupan, disebut
Soepomo sebagai ide integralistik Indonesia.
Ia menyebutkan bahwa menurut sifat tata negara Indonesia yang asli, pejabat negara adalah
pemimpin yang menyatu dengan rakyat. Soepomo memperkenalkan ide totaliter atau integralistik
yang menurutnya asli Indonesia yaitu berhubungan dengan pemimpin dan rakyatnya, berupa:
• Pejabat negara adalah pemimpin yang bersatu dengan jiwa rakyat.
• Kepala rakyat memberi bentuk pada rasa keadilan dan cita‐cita rakyat.
• Pemimpin selalu bermusyawarah dengan rakyat.
• Suasana persatuan pemimpin dan rakyat, dan antara golongan‐golongan rakyat. memiliki
semangat kekeluargaan dan gotong‐royong.
Namun dalam hal ini, Soepomo belum mempersoalkan secara konseptual dimana kekuasaan harus
diletakkan. Ia hanya menjelaskan bahwa berdasar aliran pikiran negara yang integralistik, negara tidak
bersikap sebagai seseorang yang mempunyai kekuasaan tertinggi, melainkan sebagai badan
penyelenggara atau badan pencipta hukum berdasarkan aspirasi rakyat. Negara mencakup seluruh
masyarakat Indonesia yang bersatu serta hidup secara teratur.
Prinsip negara integralistik menurut Supomo adalah persatuan antara pemimpin dan rakyat dan
persatuan dalam negara seluruhnya. Pemimpin dan rakyat disatukan dalam persamaan darah dan
daerah (blut und boden). Menurutnya hal tersebut sesuai dengan aliran pikiran ketimuran. Dengan
hubungan seperti itu, negara tidak perlu menjamin hak‐hak individu dan kebebasan dasar
masyarakatnya karena kepentingan keduanya identik, keduanya tidak terpisah melainkan ‘satu’.
Dengan begitu tidak ada pertentangan atau dualisme negara dan masyarakat atau individu. Bagi
Supomo tidak penting bentuk negaranya seperti apa, yang penting adalah hubungan pemimpin dan
rakyat haruslah seperti yang telah dijelaskan. Sementara untuk tata cara penentuan pemimpin,
Supomo menolak pemilihan atau mekanisme yang berlaku di negara liberal, ia lebih memilih
musyawarah mufakat atau peralihan kekuasaan secara turun temurun.
Bab yang paling menarik menurut saya dari buku ini adalah pembahasan unsur Hegelian, Negara
Integralistik dan UUD 1945. Sebelum ke Bab ini filsafat Hegel telah lebih dahulu dibahas sehingga
memudahkan pembaca. Melalui bab ini, unsur Hegelian dalam pikiran Supomo berhasil disingkap.
Marsillam memulai penyingkapan ini dengan cara yang ia sebut esensialisasi terhadap pikiran Supomo
sebagaimana dalam pidatonya.
Negara Integralisitik Supomo tidak mengenal pemisahan (dualisme) antara individu atau kelompok
dengan negara, sebagaimana telah disinggung di muka. Oleh karena itu, tidak diperlukan aturan yang
melindungi atau menjamin hak‐hak kebebasan dasar manusia. Menyatunya negara dengan warga
negara (individu maupun kelompok) ini adalah khas filsafat politik Hegel. Negara dalam pikiran Hegel
mula‐mula terbagi menjadi ‘negara’, ‘masyarakat sipil’, dan ‘individu’. Individu dan masyarakat adalah
dua ide subjektif‐partikular yang harus memerdekakan diri dengan cara melebur ke dalam ide objektif‐
universal yaitu negara. Peleburan melalui penyesuaian yang partikular kepada yang universal itu
bukan kerelaan, tapi suatu keharusan. Dengan begitu, yang partikular menyatu dengan yang absolut‐
universal.
Sejarawan Indonesia Anhar Gonggong mengatakan konsep integralistik Soepomo merujuk pada
gagasan tiga filusuf besar abad 18 dan 19, yakni Spinoza, Adam Muller dan Hegel. Soepomo menyebut
tiga nama itu dalam pidatonya di hadapan anggota sidang.
Pada intinya, konsep yang ditawarkan Soepomo merupakan bentuk penolakan terhadap gagasan
individualisme Barat. Ia beranggapan bahwa sistem demokrasi liberal yang banyak dipahami masa
pergerakan sangat bertentangan dengan struktur masyarakat desa yang justru dianggap layak menjadi
rujukan dalam penerapan struktur bagi masyarakat yang lebih luas.
“Akan tetapi konsep yang ditawarkan Soepomo memang cenderung berbeda dengan Bung Karno. Itu
makanya Bung Karno banyak mengkritik dan mengajukan konsep tersendiri berupa Pancasila,” kata
Anhar.
Kedekatan gagasan Soepomo dengan apa yang diterapkan pemerintah pendudukan dianggap sebagai
siasat kompromistis mengingat sidang BPUPKI berlangsung dalam pengawasan Jepang. Namun tak
jarang juga, gagasan ini dianggap sebagai kekaguman murni Soepomo atas sistem yang dianggapnya
memiliki kesamaan dengan tradisi masyarakat Indonesia, terutama di Jawa
“Soepomo tidak menjelaskan di mana letak kedaulatan rakyat dalam cita negara integralistiknya,” tulis
Wawan Tanggul Alam dalam Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno Vs Bung Hatta.
Berasal dari keluarga aristokrat Jawa, Soepomo dilahirkan di Sukoharjo, 22 Januari 1903. Kedua kakek
Soepomo �dari pihak ayah dan ibu‐ adalah bupati pada jaman pemerintahan kolonial. Sebagai
keluarga terpandang, Soepomo mendapatkan pendidikan untuk orang‐orang Eropa sejak tingkat
dasar. Ia mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali pada tahun 1917,
kemudian MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo pada tahun 1920, dan menyelesaikan
pendidikan tingginya di Bataviasche Rechtshoogeschool di Batavia pada tahun 1923.
Dari ketiga teori itu, Soepomo cenderung memilih teori integralistik. Di dalam buku Risalah BPUPKI
dan PPKI terbitan Sekretaris Negara, Soepomo menggambarkan dua negara yang saat itu menerapkan
paham integralistik, yaitu Jerman Nazi dengan persatuan antara pemimpin dan rakyatnya serta
kekaisaran Dai Nippon dengan hubungan lahir batin di bawah keluarga Kaisar Tenno Heika. Dasar
persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, kata Soepomo kala
itu. Pada bagian lain dalam sidang BPUPKI itu pula Soepomo sempat menolak masuknya Hak Asasi
Manusia (HAM) ke dalam konstitusi. Ia beranggapan konsep HAM adalah produk negara individualistik
dimana HAM adalah pemberian alam dan negara. ..menurut pikiran saya aliran kekeluargaan sesuai
dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan declaration of rights, ujar Soepomo.
Yang primer, menurut Soepomo, bukan individu. Melainkan masyarakat yang berdiri di tengah
kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat. Namun,
pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan.
Lantaran mengedepankan paham integralistik ini, Soepomo dicap sebagai penganut negara totaliter
dan anti HAM. Di dalam sidang BPUPKI, Soepomo �dan belakangan Soekarno‐ harus berdebat dengan
M. Yamin dan M Hatta tentang konsep HAM dan paham integralistik itu.