Anda di halaman 1dari 8

A.

Dampak Generasi Milenial terhadap Perubahan Masa


Belakangan ini banyak perusahaan atau organisasi yang mulai menaruh perhatian
terhadap generasi millennials. Siapa mereka dan mengapa banyak perusahaan sontak
peduli dengan keberadaannya? Definisi dan usianya mudah dikenali. Mereka yang
disebut generasi millennials biasanya lahir antara tahun 1985–1994. Bahkan, beberapa
definisi menyebut batasnya sampai 2004.
Generasi ini sangat terkoneksi dengan internet dan media sosial. Kurang suka dengan
informasi yang bersifat satu arah dan percaya dengan iklan. Mereka lebih percaya pada
pengalaman atau review dari teman-temannya. Namun sangat mengedepankan happiness
dalam bekerja, gemar traveling lintas negara, dan gadget mindset.
Perusahaan yang masih mendefinisikan urusan manusianya dengan konsep human
resource (HR) bakal kewalahan menghadapi generasi millennials. Sebaliknya,
perusahaan yang memperlakukan karyawannya sebagai human capital akan menganggap
generasi millennials sebagai aset dan penentu masa depan.
Maka, mereka harus dirawat dan diberi kebebasan berkreasi. Generasi ini tak suka
kompetisi. Sukanya kolaborasi. Lalu, yang membuat banyak perusahaan takut adalah
generasi ini bisa dengan enaknya bertanya, ”Dalam lima atau enam tahun lagi, apa posisi
saya dan berapa gajinya?” Sementara karyawan-karyawan lama begitu takut mengajukan
pertanyaan semacam itu.
1. Memukul Bisnis Konvensional
Yang jauh lebih penting dari ciri-ciri biologis atau stereotipe lainnya adalah generasi
ini mulai diakui keberadaannya karena disruption yang mereka lakukan dan
dampaknya terhadap dunia bisnis. Baiklah, supaya kita mempunyai pemahaman yang
sama, saya definisikan dulu arti disruption ini.
Secara sederhana, disruption adalah perubahan untuk menghadirkan masa depan ke
masa kini. Perubahan semacam itu biasanya mempunyai sekurang-kurangnya tiga ciri.
Pertama, produk atau jasa yang dihasilkan perubahan ini harus lebih baik daripada
produk/jasa sebelumnya. Bisa juga diberikan catatan bahwa pengertian ”lebih baik”
ini bisa relatif, tetapi bisa juga absolut.
Kedua, harga dari produk/jasa hasil disruption ini harus lebih murah ketimbang
produk/jasa sebelumnya. Kalau harganya lebih mahal, untuk apa mereka melakukan
disrupsi? Ketiga, produk/jasa yang dihasilkan proses disrupsi juga harus lebih mudah
diakses atau didapat para penggunanya. Bukan sebaliknya, malah lebih susah
dijangkau.
Itulah tiga ciri dari proses disrupsi. Mengapa hasil karya generasi millennials tersebut
menjadi begitu ditakuti para pengelola bisnis konvensional atau incumbent? Sebab,
keberadaan produk/jasa buatan generasi millennials bakal memangkas bisnis-bisnis
yang dikelola perusahaan-perusahaan konvensional seperti yang dialami industri
layanan taksi atau perhotelan.
2. Efek Bola Salju
Ke depan, proses disrupsi tak akan berhenti sampai di situ.. Banyak pengelola TV
swasta yang mulai cemas karena generasi millennials ini tak lagi menonton TV.
Mereka lebih suka streaming atau menyaksikan tayangan-tayangan di YouTube.
Mereka sebal dengan acara TV yang ”satu arah” dan tidak memberikan kesempatan
bagi para millennials untuk berinteraksi atau memilih program.
Apa jadinya kalau acara-acara TV yang mereka tayangkan lebih banyak ditonton
asisten rumah tangga, bukan oleh majikan, dan terutama anak-anaknya? Saya kira
banyak pengiklan yang bakal mempertimbangkan lagi beriklan di media televisi.
Di bisnis perbankan, kehadiran perusahaan-perusahaan financial technology (fintech)
yang digagas generasi millennials ini mulai mengancam banyak bank. Begitu pula di
bisnis ritel. Saat ini bisnis online store terus meningkat dan disukai anak-anak muda,
yang notabene merupakan pasar masa depan. Lebih jauh lagi, para disruptor itu
dikelola kaum muda, the millennials. Dalam industri pariwisata, millennials travelers
terus bertambah jumlahnya. Mereka lebih suka dilayani jasa-jasa perjalanan wisata
yang berbasis aplikasi, bukan konvensional.
Itulah disruption yang terus terjadi di depan mata kita. Perubahan yang dipicu
generasi millennials tersebut belum akan berhenti. Mereka memang miskin
pengalaman, tetapi tak punya rasa takut untuk menjelajahi masa depan yang unclear,
unpredictable, dan uncertain.
Itu berbeda dengan generasi di atasnya yang kaya pengalaman, tapi lebih senang
menjelajah rutin dan segala yang sudah klir dan certain.
Ia ibarat bola salju, masih akan terus bergulir dan kian lama kian besar. Kalau Anda
menunggu sampai kapan atau menganggap perubahan seperti itu akan ada batasnya,
salah besar. Sebab, perubahan semacam itu, kalau sudah bergulir, batasnya adalah
langit alias tanpa batas.

B. Dampak Generasi Milenial terhadap Perusahaan


Dale Carnegie Indonesia melakukan survey yang dilakukan kepada 1.200 karyawan
milenial dan nonmilenial. Survei tersebut dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
keterlibatan pegawai atau employee engangement generasi millennial Keterlibatan secara
emosional dan intelektual sendiri penting dimiliki pekerja demi memberi performa
terbaik pada perusahaan.
Hasil dari studi yang dilakukan di enam kota besar di Indonesia itu pun cukup
mengejutkan. Terungkap hanya satu dari empat millennial yang bekerja secara total atau
benar-benar melibatkan diri pada karier mereka.
Siregar selaku Director, National Marketing Dale Carnegie Indonesia mengatakan, studi
yang telah dilakukan bahkan menunjukkan, 9% karyawan milenial menolak terlibat atau
disengaged dengan perusahaan. Lebih besar lagi, yakni 66%, tenaga kerja millennial
cuma terlibat sebagian/partially-engaged. Tentunya mengkhawatirkan, sebab golongan
ini bisa berpindah ke disengaged jika perusahaan tidak lekas mengambil langkah
antisipasi.
Dalam survei ini, tingkat keterlibatan pekerja millennial dibagi menjadi tiga yakni
terlibat, setengah terlibat, dan menolak terlibat. Pegawai yang terlibat secara total
dikatakan cenderung loyal dan akan bertahan dalam jangka waktu panjang serta
menguntungkan perusahaan. Mereka umumnya bekerja dengan produktif dan berkualitas.
Sedangkan mereka yang hanya setengah terlibat biasanya hanya fokus pada penyelesaian
tugas bukan kualitas. Kebanyakan dari mereka juga jarang memberi masukan dan hanya
peduli dengan gaji. Sementara kategori yang paling berbahaya adalah menolak terlibat
karena mereka bisa memberi pengaruh negatif terhadap bos dan rekan. Mereka kerap
menampilkan kesan ketidakpercayaan bahkan bisa sampai menyabotase pekerjaan.
Menurut survei hanya 25% millennial yang sungguh-sungguh terlibat dalam pekerjaan.
Hal tersebut tentu sangat disayangkan mengingat mereka adalah tenaga kerja utama dan
terbanyak setelah generasi X.
Hal tersebut mungkin saja dikarenakan pola pikir millennial yang menginginkan
sejumlah hal dari pekerjaan mereka. Menurut riset, kebanyakan dari mereka
mengidamkan perasaan terjamin dari perusahaan, apresiasi, gaji kompetitif,
keseimbangan waktu bekerja dan kehidupan pribadi, dan supervisor berkomunikasi
secara terbuka dan jujur.
Karakter 'kutu loncat' yang dibawa sebagian generasi milenial atau kerap disebut
generasi Y ternyata berdampak pada gaya bekerja di perusahaan. Ini memaksa
perusahaan mengikuti sifat milenial bila tidak ingin lekas-lekas kehilangan karyawan.
Faridah Lim, country manager JobStreet Indonesia mengatakan, kondisi pasar kerja saat
ini adalah kekurangan talenta yang bagus, sehingga perusahaan menjadi lebih fleksibel
pula dalam melihat kandidat pekerja yang melamar. Perusahaan pun sudah sadar bahwa
karakter pekerja saat ini yaitu generasi millenial adalah kutu loncat, tambahnya.
Menurut survei yang dilakukan oleh laman pencari kerja tersebut, sebesar 66 persen
generasi milenial atau mereka yang lahir pada era 1980-an hingga 90-an gemar
berpindah kerja kurang dari dua tahun.
Generasi milenial lahir dan tumbuh di era perkembangan teknologi dan memiliki
kemampuan menggunakan teknologi lebih baik dibanding generasi sebelumnya.
Kemampuan ini menjadikan mereka mudah mencari informasi, lebih kreatif dan inovatif.
Faridah mengatakan, generasi milenial ini sangat kreatif dan cepat belajar, yang
sebenarnya dapat jadi poin positif bagi perusahaan dengan cara memanfaatkan kreativitas
generasi ini.
Namun sayang, generasi ini juga mudah pindah kerja bila sedikit saja merasa tidak
nyaman. Selain itu, mereka sangat pemilih bila ingin melamar pekerjaan. Menurut
sebuah survei yang juga dilakukan JobStreet, dari sebuah lowongan pekerjaan, generasi
ini sangat memperhatikan keuntungan bekerja di sebuah perusahaan, antara lain fasilitas
dan kenyamanan bekerja. Selain gaji tinggi, generasi milenial juga ingin perusahaan
tempatnya bekerja dapat menyediakan beragam pelatihan serta pengembangan diri.
Bila generasi sebelumnya terkesan lebih memandang prestise perusahaan asing, ternyata,
menurut survei yang melibatkan 16 ribu para pencari kerja di JobStreet, hal itu tidak lagi
berlaku. Kondisi yang mulai berubah berdasarkan karakter generasi dan keterbatasan
sumber daya yang sesuai keinginan perusahaan, memaksa para pemilik kerja untuk
mengikuti sifat generasi milenial.
Selain itu, Faridah juga menilai syarat pindah kerja setidaknya setiap dua tahun kini
menjadi bias akibat karakter milenial yang gemar pindah perusahaan sebelum satu tahun
masa kerja. Zaman dahulu perusahaan dan bos itu kaku, sekarang budaya itu sudah
hilang. Dan perusahaan berusaha keras menjaga talent dengan cara menyesuaikan
terhadap mereka. Kalau perusahaan yang penuh generasi milenial, suasana kerja akan
dibuat lebih menyenangkan, jam kerja fleksibel, baju kerja lebih santai, itu semua usaha
yang dilakukan untuk membangun ikatan agar karyawan lebih betah. Perusahaan juga
mengadopsi mengembangkan budaya lebih terbuka dan ekspresif.
Meski diakui lebih kreatif dan inovatif, namun generasi milenial disebut Faridah dan
diakui oleh banyak pihak pengelola sumber daya manusia (HRD) perusahaan sebagai
generasi yang mudah menyerah. Generasi milenial memang banyak yang kompeten dan
bagus, namun mereka diakui kurang memiliki daya juang. Tidak nyaman sedikit atau
diomeli bos langsung pindah.
Menurut Faridah, hal ini terjadi lantaran generasi milenial mengira masih memiliki
peluang mendapatkan pekerjaan baru di luar dengan mudah. Padahal banyaknya talenta
yang dimiliki generasi milenial membuat tingkat kompetisi menjadi lebih sengit. Talenta
bagus yang dimiliki generasi milenial banyak dan perusahaan juga berlomba
mendapatkan yang bagus.
1. Menetapkan Standar Baru Kepemimpinan
Ada beberapa faktor penting yang menjadikan milenial pemimpin di masa depan.
Pertama, generasi baby boomer mulai pensiun, hal tersebut menciptakan banyak
kekosongan di perusahaan. Kedua, baby boomer yang berpengalaman ingin berada di
posisi yang sama. Ketiga, pemimpin muda dengan usia di bawah 30 tahun semakin
banyak disukai. Pemimpin milenial akan lebih memprioritaskan nilai, etika,
fleksibilitas, dan feedback. Namun meskipun milenial lebih pemalu dari generasi
sebelumnya, mereka juga memiliki motivasi yang tinggi. Setidaknya generasi ini
akan mendefinisikan arah kepemimpinan yang lebih baik.
2. Mulai Bersiap Menghadapi Generasi Z
Milenial menjadi lebih dewasa dan nanti akan digantikan oleh generasi berikutnya.
Namun, perbedaan mereka dengan generasi Z cukup tipis. Meskipun definisi generasi
berikutnya bervariasi, kebanyakan ahli menggambarkan milenial lahir di pertengahan
tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Berarti, orang-orang di generasi ini mulai
berumur 20-an dan mulai memasuki dunia kerja. Pada tahun 2018, generasi milenial
yang paling senior akan mulai mencatat perbedaan mereka dengan generasi
penggantinya. Dengan demikian, milenial mulai mempersiapkan diri untuk
menyesuaikan dengan perbedaan yang ada.
3. Memperjuangkan Keberagaman dan Hak Orang Banyak
Millennial sangat peduli akan keberagaman dan kesetaraan. Hal ini dikarenakan
generasi mereka sangat beragam. Generasi ini juga lebih antusias dengan filosofi dan
pergerakan politik. Selain itu, milenial merasa bahwa keragaman tidak ditangani
dengan baik oleh generasi sebelumnya. Dengan banyaknya milenial memimpin
sebuah organisasi, bahkan perusahaan besar, akan lebih banyak program dan
keputusan yang berkaitan dengan keragaman dan penyetaraan hak.
4. Setia pada Pekerjaan
Kebanyakan orang mengkritik milenial sebagai generasi yang suka berpindah
perusahaan. Mereka tidak bisa berkomitmen pada satu perusahaan saja. Hal ini ada
benarnya. Namun, barangkali itu karena usia mereka, bukan karakteristik generasi
mereka. Pew Research menunjukkan bahwa milenial tidak berpindah kerja sebanyak
Gen X saat mereka berada di usia yang sama. Tetapi pada tahun 2018, dengan posisi
yang lebih stabil dan pengalaman yang lebih banyak, milenial akan menetap dan
menunjukkan loyalitas pada perusahaan.
5. Milenial Akan Menghadapi Dilema Otomatisasi
Salah satu tren teknologi terbesar sejak 2010 adalah kehadiran mesin, artificial
intelligence (AI), dan otomatisasi. Teknologi terus berkembang dan lebih banyak
pekerjaan yang digantikan oleh mesin pada tahun 2018. Hal ini akan menimbulkan
teka-teki bagi milenial, bagaimana mereka menghadapinya? Survei menunjukkan
bahwa milenial memiliki harapan dan juga ketakutan besar terhadap hal ini. Mereka
merupakan generasi yang paling terkena dampak masalah ini. Barangkali milenial
akan mengalami polarisasi di tempat kerja, atau pergeseran tren kerja lainnya di
tahun depan.
Semakin dewasa dan berpengalaman, generasi milenial akan memiliki lebih banyak
peran di tempat kerja. Namun, tidak ada generasi yang bertahan begitu lama. Mereka
juga akan digantikan generasi berikutnya. Sudah saatnya melihat perkembangan
Generasi Z. Bagaimana mereka akan beradaptasi dan bekerja sama dengan Generasi
X dan milenial nantinya.

C. Dampak generasi Milenial terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia


Generasi muda atau generasi milenial punya peran penting dalam menggerakkan
ekonomi Indonesia ke depan. Apalagi, dengan perkembangan dunia digital seperti
sekarang ini. Demikian disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Platform digital dalam kegiatan ekonomi jadi sangat besar. Maka ini a new opportunity.
Contohnya jika ada produk yang bagus, tapi tidak dekat dengan market physically tidak
Jakarta. Maka dapat mendekatkan market dari digital.
Pemerintah mendukung pengembangan teknologi digital itu melalui pembangunan
infrastruktur. Sebab, kegiatan usaha digital tak akan terwujud dengan baik tanpa adanya
infrastruktur. Ibaratnya, jika ada produk bagus di Pulau Samosir tapi kalau tidak bisa
didatangkan ke customer di Bandung, Semarang, maka tidak akan pernah bisa bertemu.
Menurut Sri, infrastruktur menjadi sebuah keharusan. Ia mengatakan, Indonesia harusnya
tak hanya terhubung secara politik tapi juga fisik.
Langkah lain ialah memberi dukungan baik dari insentif maupun kebijakan. Hal itu
dijembatani dengan adanya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang fokus pada kegiatan
ekonomi kreatif. Pemerintah juga ingin mencoba memberikan berbagai macam insentif.
Bekraf itu dedicated untuk mempelajari ekonomi kreatif itu seperti apa.
Namun, Sri Mulyani menekankan, selain mendukung pengembangan ekonomi digital ini
pemerintah juga mengemban tugas utama lain, yakni mengatasi permasalahan dasar,
seperti pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Maka dari itu dibuatlah policy kesehatan dan pendidikan investment yang bisa dirasakan
semua masyarakat.
Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mencapai 5,4
persen pada 2018, atau meningkat 0,3 persen dari target 2017 sebesar 5,1 persen.
Pertumbuhan ekonomi ke depan tergantung pada consumer-nya yang sekarang ini
dikuasai oleh generasi milenial atau yang biasa dikenal dengan generasi Y (generasi
bebas).
Pada 2015 jumlah millenial di Indonesia ada 84 juta orang berdasarkan data dari
Bappenas. Sedangkan jumlah penduduk di Indonesia mencapai 255 juta. Jadi kalau di
persentasikan, milenial ada sekitar 33 persen dari penduduk Indonesia. Sementara jika
melihat dari usia produktif yang ditentukan oleh pemerintah yakni 16-64 tahun.
Generasi milenial Indonesia ini terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama
adalah The Students Millenials yang lahir pada 1993 hingga 2000. Tahun 2015
kelompok ini rata-rata berusia 15-22 tahun. Smartphone sudah masuk di era ini, dan
media sosial juga sudah mulai digunakan.
Kelompok kedua adalah The Working Millenials yang lahir pada 1987 sampai 1993.
Pada 2015 kelompok ini berusia 22 sampai 28 tahun. Kelompok ini mengalami boom
social media saat masuk SMA.
Kelompok ketiga adalah The Family Millenials, yaitu mereka yang sudah mulai
berkeluarga atau mulai memikirkan ke arah tersebut. Kelompok ini rata-rata berusia 28-
35 tahun pada 2015. Mereka adalah produk era reformasi karena pada 1998 mereka baru
saja lulus SMA dan juga mengalami masa transisi dari analog menjadi digital pada masa
SMA.
Generasi ini tumbuh dengan adanya kemajuan teknologi, informasi, kebebasan untuk
memilih dan lainnya. Generasi ini pula bebas dalam menentukan ingin menjadi seperti
apa dia kelak. Akan tetapi kebebasan di sini maksudnya adalah masih dalam koridor
yang positif. Kenapa bisa dikatakan generasi bebas? Karena besarnya peluang yang ada
dan perubahan sifat orang tua yang lebih supportif dibanding orang tua sebelumnya.
Munculnya generasi milenial membuat pelaku usaha harus memutar otak karena
karateristik generasi ini sangat dinamis.
Generasi millenial menemukan caranya sendiri untuk terhubung dan terkoneksi dengan
orang lain lewat sosial media, seperti Twitter, Facebook, dan Path. Tak ada lagi jarak,
semua saling terkoneksi. Mereka mengubah tatanan nilai dan gaya hidup selama ini
menjadi serba digital.
Pada 2020, jumlah generasi millenial diperkirakan menjadi yang terbesar di Indonesia.
Karena itu, Yoris Sebastian dari OMG Consulting menilai perkembangan ekonomi di
Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh generasi tersebut. Ia berkata, mereka
menentukan mau dibawa ke mana arah perekonomian Indonesia pada lima tahun
mendatang. Untuk itu, harus benar-benar mendalami karakter dan gaya hidup mereka,
agar tidak menjadi malapetaka.
Sementara itu, menurut survei kumpulan data obrolan di Twitter yang dilakukan Provetic
pada 1 Desember-31 Januari 2016, sebanyak 45 persen user terbesar berada pada rentang
20–24 tahun, dari total responden sebanyak 4.670 akun. Dari survei ini, karakter unik
lainnya terlihat skala prioritas dari keinginan mereka. Selain memasukkan "memiliki
rumah" dan "bisnis" di dalam Top Wish List; perilaku konsumtif untuk belanja, traveling,
membeli tiket konser, dan film juga menjadi prioritas utama mereka.
Dengan adaptasi teknologi, ide kreatif dan orisinil untuk mengakomodir semua aktivitas
mereka jadi lebih mudah, muncul berbagai inovasi gaya hidup digital yang revolusioner.
Adaptasi digital yang tinggi ini telah membawa perubahan gaya hidup digital dalam
melaksanakan rutinitas sehari-hari, dari cara berkomunikasi, interaksi melalui jejaring
sosial, transaksi pembayaran hingga belanja kebutuhan sehari-hari.
Dari sini tercipta ekosistem digital yang membentuk masyarakat millenial di Indonesia.
Salah satu indikatornya adalah munculnya sejumlah startup di Indonesia.
Nadiem Makarim misalnya, membangun startup ojek daring yang menjadi sebuah solusi
di tengah macetnya ibukota Jakarta. Tak hanya itu, GoJek yang juga bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan para supir ojek, telah menciptakan tren baru di Indonesia yang
mana para millennial berlomba-lomba untuk menciptakan karya yang berdampak bagi
masyarakat luas.
Ditambah, kehadiran sejumlah marketplace, seperti Bukalapak.com dan Tokopedia.com.
Hal ini juga menciptakan millenial berjiwa entrepreneur yang sukses dan mendukung
pertumbuhan nilai bisnis e-Commerce di Indonesia.
William Tanuwijaja, punggawa Tokopedia, menggerakkan perubahan di e-Commerce.
Dimulai dengan mendapatkan investasi sebesar us$ 100 juta dari Softbank dan Sequoia,
perusahaan investasi yang telah mendukung Apple, Google, Whatsapp, dll, William
memimpin pasukan millennial di Tokopedia untuk terus menciptakan nilai tambah bagi
para seller dan pelanggan Tokopedia.
Iwan Setyawan, CEO Provetic mengatakan, dengan perkembangan teknologi digital
yang semakin canggih, millenial ikut membangun ekonomi lewat dunia digital.
Tumbuhnya ekosistem digital ikut membangun kekuatan ekonomi baru.
Yes Boss, sebuah digital apps yang dapat membantu seluruh kebutuhan masyarakat,
berhasil membuat Ahmad Rizqi Meydiarso melepaskan kehidupan yang nyaman di
Jerman bekerja di Airbus. Ahmad Rizqi memutuskan untuk pulang ke Tanah Air agar
dapat turut membangun kekuatan ekonomi Indonesia.
Tidak hanya di perekonomian, banyak perubahan yang dibawa millennial menggunakan
platform digital. Kitabisa.com yang digagas oleh Alfatih Timur bersama Vikra Ijas
membawa perubahan di ranah sosial.
Peristiwa pembakaran Masjid Tolikara pada saat shalat berjamaah Idul Fitri 2015
menimbulkan keprihatinan di berbagai lapisan masyarakat. Berkat platform
crowdfunding Kitabisa.com ini, Pandji Pragiwaksono berhasil mengumpulkan dana
untuk membangun kembali Masjid sebanyak Rp 300 juta hanya dalam waktu 3 hari.
Kehadiran startup mengikuti perubahan gaya hidup generasi millenial. Pertumbuhan
millenial membuat populasi mereka menjadi sebuah kekuatan ekonomi baru. Ke
depannya, mereka lah penggerak roda perekonomian Indonesia.
Pemerintah, melalui Badan Ekonomi Kreatif juga telah mendukung langkah generasi
millenial lewat peta jalan e-Commerce. Penetapan ini menjadi program nasional yang
diluncurkan akhir Januari 2016. Menurut data Departemen Perdagangan RI, pada tahun
2016, nilai bisnis e-Commerce di Indonesia diperkirakan bisa mencapai Rp 120 triliun,
dan bisa mencapai Rp 140 triliun dan dalam tiga tahun ke depan.
Daftar Pustaka

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20161215174236-277-179907/milenial-generasi-kutu-
loncat-pengubah-gaya-kerja

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3219106/5-cara-milenial-mempengaruhi-dunia-kerja-di-
2018

https://pendidikan.id/news/millennials-dan-disruption/

https://wolipop.detik.com/read/2017/10/26/084257/3700507/1133/riset-hanya-25-millennial-
yang-totalitas-pada-pekerjaan-selebihnya

https://tirto.id/benarkah-milenial-tidak-setia-kepada-perusahaan-czf7

Anda mungkin juga menyukai