Kasus 2
Kasus 2
Kasus 2
Lumpuh Ketika Bangun Tidur
STEP I
1. Parese
- Kelumpuhan otot-otot wajah (tidak simetris)
- Paralisis ringan
- Kelemahan otot yang ditandai hilangnya sebagian gerak
2. Hemiparese
- Kekuatan ptpt yang berkurang pada separuh tubuh
3. Kaku kuduk
- Kaku leher bagian belakang (seperti patung)
4. Pelo
- Bicara tidak jelas dan dalam keadaan tidak normal
5. Hemipestesia
- Kepekaan menurun terutama sentuhan disatu sisi tubuh, terjadi karena
korteks sensorik tidakmenerima impuls dari kontralateral.
2
6. Diabetes
- Penyakit yang disebabkan karena meningkatnya kadar gula dalam
darah
STEP II
1. Apakah yang menyebabkan parese ?
2. Dimanakah letak kerusakannya, apabila pasien mengalami hemipestesia
dan hemiparese sinistra ?
3. Diagnosis banding apasaja yang timbul dalam kasus ?
4. Apakah hubungan N.VII dengan gejala yang timbul ?
5. Bagaimana hubungan diabetes dan hipertensi dengan keluhan ?
6. Apakah ada hubungannya kebiasaan merokok dengan keluhan ?
7. Apakah diabetes, hipertensi dan merokok adalah faktor resiko ? jika iya,
sebutkan faktor resiko lain !
8. Darikasus ini, pemeriksaan penunjang apasaja yang tepat diberikan pada
pasien ?
STEP III
1. Penyebab parese
- Menurunnya aliran darah ke otak
- Lesi pada neoromuskular areamotorik
- Infeksi virus atau bakteri
2. Letak kerusakan
- Hemisfer dextra
- Area presentralis dan possentralis dextra
3. Diagnosis banding
- Stroke
- TIA (transient iskemik attack)
- Mestenia grafis
- Cerebrovaskuler disease
- Reversibel iskemik neurologi defisit
- SGB
3
- Meningitis
4. Hubungan dengan N.VII
- N.VII somatomotoris berkelainan tidak simetris
STEP IV
1. Penyebab parese
- Trauma
- Obstruksi aliran darah
2. Letak kerusakan
- Kerusakan area presentralis dan postsentralis penyilangan di
decusatio piramidalis.
- Presentralis motorok
- Postsentralis sensorik
- Kerusakan diseluruh bagian girus postsentralis hemipestesia
- Kerusakan diselurus girus presentralis hemiparese
- Letak N.VII berdekatan dengan korteks motorik apabila ada
gangguan pada korteks motorik N.VII terganggu.
- N.VII wajah tidak simetris, N.XII sulit berbicara
3. Diagnosis banding
Stroke hemoragik pusing
Mual
Muntah
non hemoragik
TIA menghilang dalam waktu 24 jam
Lumpuh
Diagnosa kerja
stroke
STEP V
1. Apasajakan kriteria penegakan diagnosis stroke ?
2. Hukum monro-kellie ?
3. Patofosoilogi dari faktor resiko?
4. Bagaimana bisa terjadi hemipestesia?
5. Klasifikasi stroke ?
6. Penatalaksanaan stroke?
STEP VI
Belajar mandiri
STEP VII
1. Penegakan diagnosis stroke
a. Anamnesis gejala dan tanda
a) Penjelasan tentang awitan dan gejala awal. Kejang
pada awal kejadian mengisyaratkan stroke
embolus.
b) Perkembangan gejala atau keluhan pasien atau
keduanya.
c) Riwayat TIA.
d) Faktor risiko, terutama hipertensi, fibrilasi atrium,
diabetes, merokok, dan pemakaian alcohol.
e) Pemakaian obat, terutama kokain.
f) Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat
yang baru dihentikan. Sebagai contoh penghentian
mendadak obat antihipertensi klonidin (Catapres) dapal
menyebabkan hiperlensi rebound yang berat. Selain itu,
penghentian mendadak fenitoin (Dilanin) atau fenobarbital
untuk gangguan kejang dapat memicu status epileptikus sampai
beberapa minggu setelah penghenlian obat (Price, 2006).
7
b. Pemeriksaan fisik
a) Sistem pembuluh perifer. Lakukan auskultasi
pada arteria karolis untuk mcncari adanya bising
(bruit) dan periksa lekanan darah di kedua lengan
untuk diperbandingkan.
b) Jantung. Perlu dilakukan pemeriksaan juantung
yanglengkap, dimulai dengan auskultasi jantung dan EKG
12-sadapan. Murmur dan disritmi merupakan hal yang harus
dicari, karena pasien dengan fibrilasi atrium, infark
miokardium akut, atau penyakit katup jantung dapat
mengalami embolus obstruktif.
c) Retina. Periksa ada tidaknya cupping diskus optikus,
perdarahan retina, kelainan diabetes.
d) Ekstremitas. Evaluasi ada tidaknya sianosis dan infark sebagai
tanda-tanda embolus perifer.
e) Pemeriksaan neurologik. Sifat intactness diperlu-
kan untuk mengetahui letak dan luas suatu stroke (Price, 2006).
c. Teknik pencitraan
Kemajuan dalam teknologi CT dan MRI telah sangat meningkatkan
derajat keakuratan diagnosis stroke iskemik akut. Apabila dilakukan
kombinasi pemeriksaan CT perfusi dan angiografi CT dalam 24 jam
setelah awitan stroke, maka terjadi peningkatan derajat akurasi dalam
penentuan lokalisasi secara dini, lokalisasi vascular dan diagnosis
etiologi (Price, 2006).
Diffusion-weighted imaging (DWI), yang didasarkan pada deteksi
gerakan acak proton dalam molekul air, adalah penyempurnaan
teknologi MRI. Gerakan ini terbatas di dalam sel tetapi tidak terbatas
di ruang ekstrasel. Pada stroke, saat jaringan saraf mengalami iskemia,
integritas membran sel terganggu sehingga kebebasan molekul air
bergerak menjadi terbatas. Berdasarkan perubahan terhadap gerakan
molekul ini jaringan saraf yang mengalami cedera dapat dideteksi
dengan DWI, yang memperlihatkan daerah-daerah yang mengalami
8
infark sebagai daerah putih terang. Teknik ini sangat sensitif, dapat
mengungkapkan kelainan perfusi pada lebih dari 95% pasien yang
terbukti mengidap stroke .Teknik ini sangat bermanfaat dalam
identifikasi dini lesi-lesi akut sehingga jumlah, ukuran, lokasi, dan
teritori vaskular lesi otak dapat ditentukan. Terdapat banyak bukti
bahwa DWI juga bermanfaat dalam mendiagnosis cedera stroke
sekunder tipe lambat yangmungkin tidak memperlihatkan kelainan
pada peme riksaan pencitraan yang dilakukan dalam beberapa jam
pertama setelah serangan klinis iskemik otak akut (Price, 2006).
Perfusion-weighted imaging (PWI) adalah pemindaian sekuensial
selama 30 detik setelah penyuntikan gadolinium. Daerah-daerah otak
yang kurang men-dapat perfusi akan lambat memperlihatkan
pemunculan zat warna kontras yang disuntikkan tersebut, dan aliran
darah yang lambat tampak putih. Pemin-daian serial dapat
mengungkapkan tiga tipe pola yang berlainan: reperfusi dini, reperfusi
lambat, dan defisit perfusi persisten (Price, 2006).
Analisis laboratorium standar mencakup urina-lisis, HDL, laju
endap darah (LED), panel metabolik dasar (natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, glukosa, nitrogen urea darah, dan kreatinin), profil lemak
serum, dan serologi untuk sifilis. Pada pasien yang dicurigai mengalami
stroke iskemik, panel laboratorium yang mengevaluasi keadaan
hiperkoagulasi termasuk perawatan standar. Pemeriksaan yang lazim
dilakukan adalah protrombin dengan rasio normalisasi internasional
(INR), waktu tromboplastin parsial, dan hitung trombosit.
Pemeriksaan lain yang mungkin dilakukan adalah antibodi
antikardiolipin, protein C dan S, antitrombin III, plasniinogen, f aktor V
Leiden, dan resistensi protein C aktif (Price, 2006).
9
b. Muntah
- Tidak muntah = 0
- Muntah = 1
c. Nyeri kepala
- Tidak nyeri kepala = 0
- Nyeri kepala = 1
d. Tanda ateroma
- Tidak ada tanda ateroma = 0
- Ada tanda ateroma (diabetes, angina, penyakit arteri perifer) = 1
Rumus:
[(2,5 × derajat kesadaran) + (2 × muntah) + (2× nyeri kepala) +
(0,1 tek. Darah diastolik) – (3 × tanda ateroma)- 12]
Hasil:
Skor < -1 kemungkinan stokr iskemik
Skor > 1 kemungkinan stroke perdarahan
( Bahrudin, 2007)
Sangat hebat 10
Hebat 7,5
Ringan 1
Tidak ada 0
5. Muntah
Langsung habis serangan
Mendadak (beberapa menit- jam) 10
Pelan-pelan (1 hari atau lebih) 7,5
Tak ada 1
6. Kesadaran 0
Hilang waktu serangan (langsung)
Hilang mendadak (beberaoa menit - jam)
10
10
2. Hukum monro-Kelle
Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah dan cairan
serebrospinal. Ruang intra kranial adalah suatu ruang kaku yang terisi penuh
sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapt ditekan: otak (1400 g),
cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan
volume pada salah satu dari ketiga utama ini mengakibatkan desakan ruang
yang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikan tekanan intrakranial
(Price, 2006).
Hipotesis monro-Kellie :
“ tulang tengkorak tidak dapt meluas sehingga bila salah satu dari ketiga
ruangannya meluas, dua ruangan lainnya harus mengompensasi dengan
mengurangi volumenya (apabila ICP masi konstan).
Mekanisme kompensasi intrakranial ini terbatas, tetapi terhentinya
fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi
terdiri dari meningkatnya aliran CSF kedalam kanalis spinalis dan adaptasi
otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan ICP.
Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian
13
adalah penurunan aliran darh ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah dan
horisontal (herniasi) bila ICP makin meningkat. Dua mekanisme terakhir
dapat berakibat langsung popada fungsi saraf. Apabila peningkatan ICP berat
dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan
dapat menyebabkan kematian neural (Price, 2006).
3. Patofisiologi Faktor risiko
1. Gender (Jenis Kelamin)
Insidensi stroke iskemik lebih besar terjadi pada pria dibandingkan
wanita, baik dengan adanya riwayat keluarga dan juga dari kelompok
ras tertentu. Persentase stroke iskemik pada pria 56,7% dan 42,4%
pada wanita (Israr, 2008).
2. Usia
Usia merupakan faktor risiko stroke iskemik yang paling kuat.
Dengan meningkatnya usia, maka meningkat pula insidens iskemik
serebral tanpa memandang etnis dan jenis kelamin. Setelah usia 55
tahun, insidensi akan meningkat dua kali tiap dekade.
Stroke iskemik yang terjadi pada usiamuda (<45 tahun) biasanya
merupakan kombinasi dari penyebab lain yang belum pasti diketahui,
sedangkan pada usia 45-70 tahun lebih sering dijumpai
makroangiopati. Kardioembolisme sering terjadi pada usia > 70 tahun
(Israr, 2008).
3. Genetik (Riwayat Keturunan Keluarga)
Beberapa literatur menyatakan genetik merupakan salah satu faktor
risiko stroke iskemik yang tidak dapat dimodifikasi. Peranan genetik
sebagai faktor risiko stroke iskemik sudah diteliti sebelumnya baik
dengan metode systematic review, cohort, dan case control. Kembar
monozigot lebih memungkinkan terjadinya stroke iskemik daripada
kembar dizigot. Adanya riwayat keluarga stroke juga merupakan
faktor risiko yang penting untuk stroke iskemik. Dari penelitian yang
menggunakan hewan coba, stroke iskemik lebih mudah terjadi dengan
adanya pengaruh faktor genetik . Peranan kompleks gen berhubungan
dengan faktor-faktor risiko intrinsik seperti hipertensi dan diabetes
14
5. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah dengan
karakteristik tekanan darah sistolik > 120 mmHg dan tekanan darah
diastolik > 80 mmHg (Joint National Committee 7). Hipertensi
merupakan satu dari beberapa faktor risiko stroke iskemik (Israr,
2008).
Hipertensi juga diduga memicu terjadinya aterosklerosis, namun
aterogenesisnya tidak diketahui dengan pasti. Diduga tekanan darah
yang tinggi merusak endotel dan menaikkan permeabilitas dinding
pembuluh darah terhadap lipoprotein. Tidak hanya itu, diduga
beberapa jenis zat yang dikeluarkan oleh tubuh seperti renin,
angiotensin dan lain-lain dapat menginduksi perubahan seluler yang
menyebabkan aterogenesis. Dari penelitian lain disebutkan bahwa
hipertensi tidak berdiri sendiri menyebabkan terjadinya aterosklerosis,
namun meliputi beberapa penyakit lain yang dikenal dengan istilah
sindroma hipertensi. Yang termasuk dalam sindroma hipertensi adalah
profil lipid, resistensi insulin, obesitas sentral, gangguan fungsi ginjal,
LVH dan penurunan kelancaran aliran darah arterial (Israr, 2008).
6. Penyakit Jantung
Riwayat penyakit jantung dapat menjadi faktor risiko stroke
iskemik. Hasil penelitian Sjahrir, didapati faktor risiko penyakit
jantung koroner 24% dan aritmia kordis 26%. Penyumbatan pada
pembuluh darah sehingga menyebabkan stroke iskemik dapat terjadi
akibat atherotromboemboli (50%), kelainan pada pembuluh darah kecil
intrakranial (25%), kardioemboli (20%) atau karena penyebab lain
(5%) (Davenport dan Dennis, 2000). Beberapa kelainan jantung
merupakan sumber dari kardioemboli tersebut (Israr, 2008).
Kelainan jantung yang dapat menyebabkan kardioemboli menjadi 3,
yaitu:
1. Penyakit katup jantung:
- Penyakit katup mitral
- Penyakit katup aorta
16
- Katup buatan
- Prolaps katup mitral
2. Gangguan pada atrium:
- Fibrilasi atrium
- Aneurisma atrium
- Myxoma atrium
3. Gangguan pada ventrikel:
- Infark miokardium
- Aneurisma ventrikel
- Diskinesia dinding ventrikel
7. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolik dengan
karakteristik peningkatan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
atau kadar glukosa darah puasa ≥ 140 mg/dl (National Diabetes Data
Group and World Health Organization). DM telah terbukti sebagai
faktor risiko yang kuat untuk semua manifestasi klinis penyakit
vaskuler aterosklerosis. Mekanisme peningkatan aterogenesis pada
penderita DM meliputi gangguan pada profil lipid, gangguan
metabolisme asam arakhidonat, peningkatan agregasi trombosit,
peningkatan kadar fibrinogen, gangguan fibrinolisis, disfungsi endotel,
glikosilasi protein, dan adanya resistensi insulin hiperinsulinemia
(Israr, 2008).
Pasien dengan DM tipe 2 memiliki risiko besar menderita stroke.
Tingkat keparahan stroke pada diabetes tergantung dengan
sekelompok faktor yang disebut ‘metabolik sindrom’,
dikarakteristikkan dengan adanya resistensi insulin, hiperinsulinemia,
hiperglikemi, arterial hipertensi, obesitas dan dislipidemia. Semua
faktor tersebut akan meningkatkan kerusakan vaskular: tidak hanya
akan meningkatkan risiko stroke, tapi juga akan meningkatkan
keparahan suatu penyakit (Israr, 2008).
17
8. Obesitas
Obesitas adalah suatu keadaan dengan karakteristik Indeks Masa
Tubuh ≥ 25 kg/m2 untuk orang asia (Western Pacific Region of WHO).
Obesitas sudah terbukti berhubungan sebagai faktor risiko stroke
iskemik termasuk hipertensi dan diabetes. Walaupun belum ada
penelitian yang menunjukkan bahwa dengan pengurangan berat badan
dapat mengurangi risiko stroke, namun pengurangan berat badan dapat
mengurangi tekanan darah dan glukosa darah (Israr, 2008).
9. Konsumsi Alkohol
- Komponen tertentu dari alkohol yang dapat mencegah pembekuan
darah dan kolesterol terakumulasi dalam arteri stroke.
- menaikan tekanan darah dan gangguan ritme jantung (Israr, 2008).
10. Hiperkolesterolemia
Kadar kolesterol serum yang lebih tinggi dari 265 mg/dl pada
orang berusia 34-40 tahun akan menaikan risiko stroke karena
meningkatnya kadar LDL dan ada gangguan pada reseptor LDL (Israr,
2008).
4. Klasifikasi stroke
A. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
a. Stroke iskemik
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang
terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar
pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(trombus) yang ter-bentuk di dalam suatu pembuluh otak atau
pembuluh atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan
dapat terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ
seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke
otak sebagai suatu embolus. Terdapat beragam penyebab stroke
trombotik dan embolik primer, termasuk aterosklerosis, arteritis,
keadaan .hiperkoagulasi, dan penyakit jantung struktural. Namun,
trombosis yang menjadi penyulit aterosklerosis merupakan
18
a) Stroke lakunar
Infark lakunar terjadi karena penyakit pembuluh-halus
hipertensif dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya
muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama.
Infark lakunar merupakan infark yang terjadi setelah oklusi
aterotrombotik atau hialin-lipid salah satu dari cabang-cabang
penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau arteria
vertebralis dan basilaris . Masing-masing cabang ini sangat
halus (garis tengah 30 sampai 100 um) dan menembus jauh ke
dalam substansia grisea dan alba serebrum dan batang otak.
Cabang-cabang ini rentan terhadap trombosis dari penyakit
aterotrombotik atau akibat terjadinya penebalan lipohialinotik.
Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh-pembuluh ini
menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan
disebut lakuna (Yunani, danau kecil). Gejala-gejala mungkin
sangat berat, walaupun terisolasi dan berbatas tegas, bergantung
pada kedalaman pembuluh yang terkena menembus jaringan
sebelum mengalami thrombosis (Price, 2006).
Terdapat empat sindrom lakunar yang sering dijumpai:
(1) hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna
posterior, (2) hemiparesis motorik murni akibat infark pars
anterior kapsula interna, (3) stroke sensorik murni akibat infark
talamus, dan (4) hemiparesis ataksik atau disartria serta
gerakan tangan atau lengan yang canggung akibat infark pons
basal. Sampai saat ini sudah teridentifikasi lebih dari 30 sindrom
lakunar, dan patologi intravaskular biasanya adalah
lipohialinosis atau mikroateroma dengan bekuan di dalam
lumen vaskular. Perubahan perubahan pada pembuluh ini hampir
selalu dise-babkan oleh disrungsi endolel karena penyakit
hipertensi persisten. Baik stroke lakunar maupun perdnrahan
inlraserebrum dalam tampak-nya berkaitan dengan palologi
20
2006).
Mekanisme lain pelannya aliran pada arteri yang
mengalami trombosis parsial adalah defisit perfusi yang dapat
terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan
darah sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intraarteri,
aliran darah mungkin bergantung pada tekanan intravaskular
yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat
menyebabkan penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan
stroke. Dengan demikian, hipertensi non srmtomatik, terutama
pada pasien berusia lanjut, harus diterapi secara hati-hati dan
cermat karena penurunan mendadak tekanan darah dapat
memicu stroke atau iskemia arteria koronaria atau keduanya.
Karakteristik ini merupakan alasan mengapa terapi berobat jalan
tekanan darah tinggi dengan obat-obat yang bekerja cepat
misalnya nifedipin (Procardia) di bawah lidah
dikontraindikasikan . Apabila simtomatik, jenis hipertensi berat
ini harus diterapi dalam lingkungan rawat inap terkontrol
dengan menggunakan obat-obat intravena yang dapat
dititrasi sesuai dengan kondisi klinis pasien. Untuk alasan
yang sama, pasien-pasien yang memiliki lesi stenotik di
arteri karotis mereka harus diberi tahu mengenai hipotensi
ortostatik yang dapat terjadi pada pemberian obat antihipertensi
yang kuat. Obat-obat ini dapat menimbulkan iskemia serebrum
apabila menyebabkan penurunan mendadak tekanan darah.
Penurunan tekanan mungkin sudah dapat menyebabkan
gangguan perfusi melalui arteri-arteri yang bergantung pada
tekanan perfusi minimal untuk mempertahankan CBF (Price,
2006).
c) Stroke embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang
terlibat (misalnya, stroke arteria vertebralis) atau asal embolus.
Asal stroke embolik dapat suatu arteri distal atau jantung (stroke
22
Tabel 1.2 skala keparahan PSA Hunt dan Hess (Price, 2006).
Derajat Status neurologik
I Asimtomatik ; atau nyeri kepala
minimal ada kaku kuduk ringan.
II Nyeri kepala sedang sampai parah ;
kaku kuduk; tidak ada defisit
neurologik kecuali kelumpuhan saraf
kranialis.
III Mengantuk ; defisit neurologik
minimal.
IV Stupor; hemiparesis sedang sampai
berat; mungkin rigiditas deserebrasi
dini dan gangguan vegetativ.
V Koma dalam; rigiditas deserebrasi;
penampakan parah.
29
5. Mekanisme hemipestesia
Gangguan Sensoris Negatif
Gangguan sensorik superfisial atau gangguan eksteroseptif yang
negatif merupakan salah satu manifestasi sindrom neurologi. Secara
singkat gangguan sensorik negatif itu disebut defisit sensorik. Tergantung
pada kedudukan lesi, apakah di saraf perifer, di radiks posterior atau di
lintasan sentralnya, daerah permukaan tubuh yang anastetik atau baal dan
sebagainya memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan penataan
anatomi susunan somestesia (Mardjono, 2006).
Mengenal pola defisit sensorik itu berarti mengetahui lokasi lesi
yang mendasarinya. Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik,
maka istilah anestesia dan hipestesia digunakan secara bebas sebagai
sinonim dari defisit sensorik (Mardjono, 2006).
a. Hemihipestesia
Hemihipestesia merupakan hipestesia yang dirasakan sesisi tubuh
31
2006).
d. Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)
Hipestesia selangkangan ialah hipestesi pada daerah kulit
selangkangan. Lesi yang mengakibatkannya merusak kauda ekuina
(Mardjono, 2006).
e. Hemihipestesia sindrom brown sequard
Hemihipestesia sindrom brown sequard ialah hemihipestesia pada
belahan tubuh kontralateral terhadap hemilesi di medulla spinalis
(Mardjono, 2006).
f. Hipestesia radikular atau hipestesia dermatomal
Hipestesia radikular ialah hipestesia yang terjadi akibat lesi di
radiks posterior. Dalam hal itu daerah yang hipestetik ialah dermatome
yang disarafi oleh serabut-serabut radiks posterior yang terkena lesi
(Mardjono, 2006).
g. Hipestesia perifer
Hipestesia perifer ialah hipestesia pada kawasan saraf perifer yang
biasanya mencakup bagian-bagian beberapa dermatom (Mardjono,
2006).
Kelumpuhan UMN :
a. Hemiplegi Alternans
Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/ kortikospinal di tingkat
batang otak menimbulkan sindrom hemiplegia alternans . sindrom
tersebut terdiri atas kelumpuhan UMN yang melanda otot-otot belahan
tubuh kontralateral yang berada dibawah tingkat lesi. Sedangkat
setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot
yang disyarafi oleh syaraf kranial yang terlibat dalam lesi. Tergantung
pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegia
alternanas di mesensefalon, pons dan medula oblongata ( Mardjono,
2006).
33
Stroke Iskemik
Terapi umum: Letakkan kepala pasien pada posisi 30°, kepala dan
dada pada satu bidang,ubah posisi tidur setiap 2 jam, mobilisasi
dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil (Setyopranoto, 2011).
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan
intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian
dicari penyebabnya, jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten). Pemberian nutrisi dengan cairan
isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai
kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik, jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan
melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus
dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin
drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar
gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera
dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya (Setyopranoto, 2011).
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian
obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera
34
Trombosis arterial :
Pada penderita stroke diberikan aspirin dan tiklopidin
3. Antikoagulan warfarin atau heparin dapat dipakai untuk perfusi
dan prevensi stroke berulang dengan pemantauan APTT 1-2 kali
control.
37
Stroke Hemoragik
Terapi umum : Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika
volume hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan
hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah
harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila
tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130
mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung,
tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg
(pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit)
38
Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan
penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan
tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan
program preventif primer dan sekunder (Setyopranoto, 2011).
Terapi fase subakut:
39
B. Non farmakologi
Penatalaksanaan nonfarmakologi pada kasus stroke adalah
rehabilitasi medis atau fisioterapi pasca stroke yang bertujuan untuk
mempercepat terjadinya pemulihan dan membantu mengurangi
kecacatan yang terjadi. Fisioterapi ini tergantung pada tingkat
kecacatan yang ditimbulkan akibat stroke (Wirawan, 2009).
Kecacatan yang ditimbulkan tergantung pada bagian mana
yang mengalami kerusakan akibat stroke, dan seberapa luas kerusakan
tersebut.Secara umum kecacatan yang timbul dapat dikelompokkan
menjadi 5, antara lain :
1. Kelumpuhan atau gangguan mengatur gerakan (motorik)
2. Gangguan perasa (sensorik), termasuk nyeri
3. Gangguan bahasa (aphasia)
4. Gangguan berpikir atau daya ingat (memori)
5. Gangguan emosi.
Untuk dapat mengatasi masalah-masalah diatas tersebut maka
kita dalam proses rehabilitasi paska stroke akan melakukan terapi
secara holistik dan variasi, seperti terapi fisik, terapi okupasi, terapi
wicara, konseling dan bimbingan rohani (Wirawan, 2009).
Pasien stroke sebaiknya mulai dikonsulkan ke dokter spesialis
rehabilitasi (SpKFR) sejak hari pertama mulai perawatan di RS.
Perawatan bersama dengan Tim Rehabilitasi sejak awal bertujuan
sebagai berikut:
a. Pada fase awal (akut) terutama adalah pencegahan komplikasi yang
ditimbulkan akibat tirah baring (bedrest) lama, seperti :
40
Daftar Pustaka