Anda di halaman 1dari 9

Rotan Indonesia: Potensi, Peluang dan Tantangan

Oleh:
Azwar Najib Alhafi
10/305357/KT/06842

I. Latar Belakang

Semenjak dua dekade yang lalu, ada semacam peningkatan pengakuan terhadap nilai-nilai
produk yang dihasilkan dari hutan (Hasil Hutan Non Kayu atau HHNK). Pemanfaatan HHNK
diharapkan mampu berkontribusi dalam mengatasi persoalan yang timbul dari pertumbuhan jumlah
penduduk yang terus meningkat dan isu konservasi. Menurut Belcher (2002), dalam kaitannya dengan
hal di atas, ada tiga hal sentral yang menjadi alasan. Pertama, bila dibandingkan dengan kayu, HHNK
lebih berkontribusi terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar
hutan. Kedua, secara ekologi, pemanenan HHNK lebih ramah bila dibandingkan dengan pemanenan
kayu dan oleh karenanya memenuhi basis pengelolaan hutan lestari. Ketiga, pemanfaatan HHNK
secara komersial mampu meningkatkan nilai hutan baik di level lokal maupun nasional. Salah satu
hasil hutan non kayu yang bernilai cukup tinggi adalah rotan.

Seluruh jenis rotan yang tumbuh di permukaan bumi diperkirakan 850 jenis. Pusat
pertumbuhan rotan paling banyak ditemui di Asia Selatan. Di wilayah ini terdapat sekitar 614 jenis
rotan dan 312 jenis tumbuh di Indoneisa. Dari total 13 marga tumbuhan rotan di dunia, 8 marga
diantaranya tumbuh di Indonesia (Rachman & Jasni,2008).

Indonesia sejak abad XVIII telah menjadi pelopor dalam penyedia produk rotan dunia. Dalam
jajaran sektor HHNK, rotan menjadi primadona bagi pemasok devisa negara karena menduduki 80%-
90% total nilai ekspor HHNK keseluruhan (Januminro,2000). Tahun 1996, sekitar 80% dari
perdagangan rotan internasioanal berasal dari Indonesia. Lebih dari 90% produksinya dihasilkan dari
hutan alam yang terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (Silitonga,2002).

Saat ini ketersediaan rotan sangat banyak di hutan Indonesia terutama di wilayah Kalimantan,
Sulawesi dan Sumatera. Indonesia merupakan penghasil 85% rotan mentah dunia yaitu dengan nilai
sekitar 699.000 ton/tahun. Akan tetapi sayangnya kondisi ini tidak serta merta menempatkan
Indonesia sebagai leading country dalam perdagangan rotan internasional. Saat ini Indonesia
menempati posisi ketiga (7,68%) dalam perdagangan rotan di pasar global setelah China (20,72%)
dan Italia (17,71%) (Lumbantoruan,2013). Kondisi ini tentunya menjadi sebuah persoalan yang
memerlukan pemecahan secara holistik serta kajian yang mendalam dengan melihat faktor-faktor
penghambatnya guna menghantarkan Indonesia sebagai leading country dalam perdagangan rotan
dunia.

II. Sebaran Alami Rotan di Indonesia

Penyebaran tumbuhan rotan mulai di kepulauan Fiji di Timur sampai ke Afrika tropis di
bagian Barat dan mulai dari Autralia Utara sampai daerah Cina Selatan. Pusat pertumbuhan rotan
paling banyak ditemui di Asia Selatan. Di indonesia penyebaran tumbuhan rotan terbanyak berada di
Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Irian Jaya.

Penyebaran dan potensi rotan di Indonesia hasil inventarisasi tahun 2006, tidak tersebar
merata di seluruh nusantara. Penyebaran rotan di Indonesia meliputi 20 propinsi dengan total areal
hutan yang ditumbuhi rotan seluas 9,9 juta hektar. Potensi produksi terbanyak terdapat di Sulawesi
Tenggara 6,5 ton/ha, Kalimantan Barat 3,85 ton/ha, Sulawesi Selatan 1,95 ton/ha, Irian Jaya 1,8
ton/ha, dan Kalimantan Timur 1,21 ton/ha (Sanusi,2012).

Mogea (1990) dalam Rachman dan Jasni (2008), menyatakan bahwa di Asia Selatan terdapat
sekitar 614 jenis rotan. Dari jumlah ini ternyata di Indonesia tumbuh sekitar 314 jenis yang berasal
dari 8 genera dan satu genus diantaranya adalah endemik Indonesia, yaitu Cornera. Apabila
dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara, Indoenseia merupakan negara paling kaya
akan sumberdaya rotan.

Dari 8 genera yang tumbuh di Indonesia diantaranya meliputi jenis: Calamus sebanyak 192
jenis, Ceratalobus 7 jenis , Cornera 1 jenis , Daemonorops 78 jenis, Kortehalsia 25 jenis, Myrialepsis
2 jenis, Plectocomia 5 jenis, dan Plectocomiopsis 2 jenis. Adapun penyebaran pertumbuhan jenis
rotan di Indonesia dapat digambarkan melalui tabel berikut :

Calam Cerata Daemo Korteha Myrial Plectoc Plectoco


Wilayah Jumlah Cornera
us lobus norops lsia epsis omia miopsis
Kalimantan 133 75 4 1 37 15 1 ˉ ˉ
Sumatera 82 33 3 1 28 10 1 4 2
Irian Jaya 47 45 ˉ ˉ ˉ 2 ˉ ˉ ˉ
Sulawesi 35 27 ˉ ˉ 7 1 ˉ ˉ ˉ
Jawa 30 18 2 ˉ 6 2 ˉ 2 ˉ
Maluku 11 7 ˉ ˉ 4 ˉ ˉ ˉ ˉ
NTB+NTT 2 2 ˉ ˉ ˉ ˉ ˉ ˉ ˉ
jumlah ¹ 340 207 9 2 82 30 2 6 2
jumlah ² 312 192 7 1 78 25 2 5 2
jumlah ³ 28 15 2 1 4 5 0 1 0
Sumber : Dransfield (1974) dan Sumarna (1986) dalam Rachman dan Jasni (2008)
Keterangan : ¹ Terdapat lebih dari satu species yang sama dalam wilayah yang berbeda; ²
Jumlah species yang ada secara nasional; ³ Banyaknya species yang sama menyebar pada
beberapa wilayah (jenis epidemik)

Seperti tampak pada tabel di atas, apabila species yang tumbuh pada masing-masing wilayah
dijumlahkan diperoleh sebanyak 340 species (jumlah¹). Namun, jumlah spesies yang tercatat secara
nasional adalah 312 spesies. Dengan demikian, terdapat selisih sebanyak 28 spesies, yaitu spesies-
spesies yang tumbuh secara epidemik di beberapa wilayah.

III. Struktur dan Sifat Rotan

Secara anatomis, rotan memiliki unsur-unsur longitudinal (sel-sel yang arah panjangnya
searah sumbu panjang batang), akan tetapi tidak memiliki unsur-unsur transversal seperti halnya
unsur-unsur tranversal pada kayu (sel parenkim jari-jari dan sel epikel). Bila dibandingkan dengan
struktur kayu daun lebar, struktur rotan lebih sederhana karena hanya memiliki beberapa macam sel
dan susunan sel lebih seragam. Tidak adanya unsur-unsur tranversal pada batang rotan menjadikan
rotan bersifat elastis dan mudah dibelah. Kedua sifat ini menguntungkan dalam pengolahan rotan
menjadi berbagai macam komponen furniture (Sanusi,2012).

Terdapat dua bagian struktur yang berbeda walaupun batasnya tidak jelas pada penampang
lintang batang, yaitu lapisan luar (jaringan perifer atau korteks) dan bagian dalam (jaringan sentral).
Bintik-bintik yang nampak tersebar berwarna lebih gelao diantara jaringan yang berwarna pucat
adalah berkas pembuluh, sedangkan jaringan lunak yang berwarna pucat adalah berkas pembuluh
(Sanusi,2012). Menurut Tomlison (1961) dalam Rachman dan Jasni (2013), komponen mikroskopis
penyusun batang rotan dapat dikelompokan menjadi tiga bagian utama, yaitu: kulit, parenkim dasar,
dan ikatan pembuluh.

Jaringan kulit rotan terdiri dari dua lapisan sel, yaitu epidermis dan endodermis. Menurut
Sanusi (2012), sel epidermis memiliki sifat yang sangat keras karena adanya endapan silika.
Kekerasan dari epidermis tidak dipengaruhi oleh umur. Sedangkan endodermis memiliki sifat yang
lebih lunak. Sel-sel yang menusun endodermis ini diduga merupakan tempat persenyawaan silika
paling banyak dibentuk untuk kemudian diendapkan pada lapisan epidermis. Pada penampang
melintang batang rotan, sel-sel epidermis tersusun tegak sedangkan sel-sel endodermis tersusun
berbaring.

Di bawah endodermis terdapat korteks yang terdiri dari sel-sel parenkim, berkas serat dan
ikatan pembuluh. Menurut Siripatanadilok (1974) dalam Rachman dan Jasni (2013), suatu hal yang
perlu diperhatikan ialah adanya seludang serat (fibre sheat) yang disebut sebagai yellow caps, yaitu
serat schelerenchyim yang terdapat di sekitar pembuluh pertama di bawah korteks. Yellow caps hanya
ditemukan pada genera Korthalsia, Myrialepsis, Plectocomia dan Plectocomiopsis.

Jaringan parenkim dasar bagaikan pengisi batang dimana ikatan-ikatan pembuluh tertanam
menyebar di dalamnya. Jaringan ini berbeda dengan parenkim aksial yang terdapat di dalam ikatan
pembuluh. Parenkim dasar terdiri dari sel-sel parenkim isodiometrik pendiding tipis dengan noktah
sederhana (Rachman dan Jasni,2013; Sanusi,2012).

Jaringan ikat pembuluh terletak menyebar diantara jaringan parenkim dasar. Sanusi (2012)
mengatakan, tiap berkas pembuluh tersusun atas dua jaringan utama, yaitu jaringan pelaksana dan
jaringan penyangga. Jaringan pelaksana terdiri atas satu atau dua untaian phloem, satu atau dua
metaxylem, beberapa protoxylem dan jaringan parenkim aksial. Adapun jaringan penyangga adalah
satu berkas serat. Rachman dan Jasni (2013) lebih lanjut mengatakan, fungsi jaringan pelaksana
adalah mengatur kegiatan fisologis tanaman dalam pertumbuhannya. Sedangkan jaringan penyangga
berfungsi dominan memberi kekuatan mekanik pada rotan.

Komposisi kimia pada rotan secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga komponen
pokok, yaitu: selulosa, lignin dan zat ekstraktif (Rachman dan Jasni,2013). Selusola berasal dari
fotosintesis, berbentuk rantai panjang. Jumlah selulosa dalam rotan kurang lebih 38-60%. Lignin
merupakan bagian terbesar kedua setelah selulosa. Jumlahnya berkisar 18-35%. Lignin berfungsi
sebagai bahan pengikat antara satu dan lain sel dalam rotan. Oleh karena itu, lignin memberikan
kekuatan pada rota. Adapun untuk zat ekstraktif merupakan bahan organik dan anorganik dengan
berat molekul rendah. Zat ekstraktif ini pada mulanya merupakan cairan yang terdapat dalam rongga
sel pada waktu sel-sel masih hidup, setelah sel-sel tua dan mati cairan tadi menempel pada dinding sel
berupa getah, lilin, zat warna, gelatin, gula-gula, mineral dan silika. Jumlah zat ekstraktif pada rotan
kurang lebih 13%.

Rachman dan Jasni (2013) lebih lanjut mengatakan, secara mendasar nilai sifat fisis mekanis
rotan ditentukan oleh susunan dan orientasi sel penyusun serta komposisi kimia rotan. Adapun sifat
mekanis rotan meliputi: kadar air, berat jenis dan kekuatan lentur statik. Untuk rotan kebanyakan
yang dijumpai di Indonesia, kadar airnya berkisar 14-20% dari berat rotan kering, tergantung pada
kondisi lingkungan di mana rotan tersebut berada. Untuk berat jenisnya berkisar 0,40-0,61, tergantung
ikatan pembuluhnya (IKP). Semakin tinggi IKP, maka semakin tinggi pula berat jenisnya.
Genera Camalus merupakan jenis yang paling banyak tumbuh di Indonesia. Muniandy dkk (2012)
lebih spesifik mengatakan komposisi kimia, fisika dan mekanik dari jenis Calamus melalui tabel
beikut :

Sifat Nilai
Perkiraan
Sifat Fisika Gaya Berat Khusus 0.55
Kepadataan 0.54 g/cm³
Sifat Mekanik Daya Rentang 690 kg/cm²
Daya Lengkung 636 kg/cm²
Daya Tekan 216 kg/cm²
Modulus Elastis 31302 kg/cm²
Sifat Kimia Holoselulosa 78.43%
lignin 21.97%
Abu 1.37%
Cairan Panas yang dapat larut 6.01%
Cairan Dingin yang dapat larut 3.63%
1% alkali 22.47%
Alkohol-Benzena 2.9%

IV. Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi

Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mengenal dan menggunakan rotan dalam berbagai
keperluan sehari-hari, bahkan di beberapa tempat rotan telah menjadi pendukung perkembangan
budaya masyarakat setempat. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti kapan masyarakat
Indonesia memanfaatkan rotan.

Ada banyak perbedaan dalam hal penggunaan rotan di masa lampau dan masa sekarang.
Perbedaan penggunaan rotan tersebut yang jelas terletak pada manfaat dan peranan dalam mendukung
kehidupan dan kesejahteraan manusia. Secara umum Januminro (2000) membagi manfaat rotan
menjadi dua kelompok, yaitu manfaat rotan secara langsung dan manfaat rotan tidak langsung.
Manfaat langsung, meliputi batang tua dimanfaatkan untuk bahan baku kerajinan dan perabot rumah
tangga; batang muda dimanfaatkan untuk sayuran; buahnya dimanfaatkan untuk bibit tanaman, obat
tradisonal, bahan pewarna, rujak dan sayur; akar dimanfaatkan untuk obat tradisional; dan daun
dimanfaatkan untuk atap rumah.

Peran yang tidak langsung yang dapat diberikan dengan keberadaan tumbuhan rotan adalah
dalam peranan dan kontribusinya meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan, peranannya
dalam membentuk budaya masyarakat, ekonomi dan sosial.

Manfaat rotan secara tidak langsung yang menyentuh kehidupan budaya masyarakat
tercermin pada perkembangan daya kreasi dalam bentuk berbagai produk rotan. Misalnya kreasi
dalam pembuatan tikar lampit, topi, tas, meja kursi, dan sebagainya. Selain itu, di masyarakat kita
juga mengenal beberapa peribahasa yang menggunakan kata rotan. Hal tersebut menunjukan bahwa
rotan begitu berarti. Dengan demikian, bagian rotan, ciri dan bentuk kenampakannya menjadi kiasan
untuk menunjukkan kesamaannya dengan tata kehidupan masyarakat.

Di sisi lain, peranannya sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, penyerapan dan
perluasan tenaga kerja merupakan manfaat rotan yang penting secara tidak langsung. Kontribusi yang
diberikan oleh rotan memiliki mata rantai yang cukup panjang mulai dari kegiatan pemungutan
sampai dengan menjadi barang jadi dan dipasarkan ke konsumen.

Kegiatan ekspor rotan merupakan salah satu sumber devisa bagi negara. Januminro (2000)
memaparkan jumlah devisa dari produk ekspor rotan dan barang jadi rotan yang tercatat dari tahun
1993-1997 berkisar antara US$ 204,4 juta – US$ 374,5 juta setiap tahunnya. Total devisa yang
disumbangkan dari ekspor rotan dan barang jadi rotan tersebut merupakan kontribusi sebesar antara
0.47%-1.27% dari total nilai ekspor nonmigas. Dalam hal peringkat sumbangan devisa nonmigas,
produk rotan dan barang jadi rotan berada pada urutan 12 dari total 27 jenis komoditas utama
nonmigas. Kontribusi dari rotan tersebut ternyata nilainya lebih besar dari pada devisa yang diterima
dari ekspor produk kayu gergajian yang hanya menumbang antara 0.26%-0.55% setiap tahunnya.

Dalam perkembangannya, ekspor produk rotan dan barang jadi rotan mengalami penurunan.
Dimulai pada 2006, kinerja sektor ini mencapai US$ 344 juta, kemudian pada 2007 turun menjadi
US$ 319 juta. Selanjutnya, pada 2008 turun lagi menjadi US$ 239 juta dan pada tahun 2009 serta
2010 masing-masing turun menjadi US$ 168 juta dan US$ 138 juta. Sementara itu, pada Juni 2011,
ekspor turun menjaadi US$ 57 juta (Suprapto dan Sukirno,2011).

V. Budidaya, Pemanenan dan Pengolahan

Meluasnya pemanfaatan dan perdagangan rotan juga menimbulkan budaya untuk menghargai
tanaman rotan itu sendiri. Penghargaan dan perhatian yang begitu besar terhadap rotan ditunjukan
dengan dilakukannya pembudidayaan rotan oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia sejak
abad XVIII (Januminro,2000).

Tidak semua jenis rotan disarankan untuk dibudidayakan. Kegiatan membudidayakan rotan
harus mempertimbangkan faktor dalam pemilihan jenis-jenis rotan, antara lain yang memiliki nilai
ekonomi tinggi serta mengasilkan batang berkualitas tinggi. Menurut Yuniarti (2006), secara umum
budidaya tanaman dapat dilakukan secara generatif (dengan biji) dan secara vegetatif (pucuk daun,
akar, batang dengan stek, cangkok, okulasi dan kultur jaringan). Sampai saat ini, budidaya rotan yang
telah dilakukan adalah dengan menggunanakan biji (teknik generatif).

Januminro (2000) lebih lanjut mengatakan, cara pembudiayaan dengan hasil yang baik
dilakukan dengan cara membuat rintis (jalan di dalam hutan) dengan cara menebangi kayu-kayu kecil
selebar 2 m dengan arah Timur-Barat. Rintis yang telah dibuat ditanami bibit rotan kecil yang tumbuh
di sekitar pohon rotann induk. Bibit rotan yang tumbuh di sekitar pohon induk tersebut dicabut dan
ditanam langsung di lokasi rintisan yang telah diberi lubang-lubang tanam. Jarak tanam antara 6-8 m.
Selanjutnya, bibit rotan yang telah ditanami tersebut dipelihara secara rutin dan selama 6-12 bulan
sekali dilakukan penyiangan terhadap tumbuhan pengganggu. Rotan yang dipelihara dengan
baiklambat laun akan bertunas dan berumpun yang dapat mencapai 50-100 batang dan merambat
hingga mencapai panjang 50cm bahkan lebih.

Dalam kegiatan pemanenan, waktu yang disarankan untuk memulai kegiatan pemanenan
ketika: duri rotan sudah mulai menghitam, daun-daun sudah mulai jatuh, daun-daun pada akar rotan
sudah kering dan berjatuhan, batang rotan sudah mulai berubah warna dari kuning terang-hijau gelap,
rotan sudah berbunga dan berbuah, serta panjangnya lebih dari 5m (WWF,2011).

Rachaman dan Jasni (2013) mengatakan, pada dasarnya pemanenan rotan dilakukan semakin
tua akan semakin baik. Namun, pemanenan sebaiknya dilakukan setelah rotan masak tebang. Panen
pertama kali umumnya dilakukan pada umur 6-8 tahun untuk rotan berdiameter kecil, sedangkan
untuk rotan berdiameter besar antara 12-15 tahun. Bagi rotan alam yang tidak diketahui umurnya, ciri-
ciri masak tebangnya adalah apabila kelopak/daun/selundang pada batang bagian bawah sudah rontok,
sebagian daunnya sudah mengering dan berwarna kekuning-kuningan.

Adapun proses pemanenan dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut (Ngo-


Samnick,2012): 1).menentukan terlebihdahulu spesies rotan yang akan dipanen (hal ini menghindari
pemotongan yang sia-sia pada jenis yang tidak tepat/belum masak tebang), 2). Potong batang rotan
10cm di atas tanah, tarik dengan hati-hati untuk menghindari tunas muda, jangan sampai merusak
pohon-pohon dan semak-semak disekelilingnya, 3). Lepaskan potongan batang dari ujung semak
dengan menariknya ke bawah, sebaiknya dengan bantuan satu atau dua orang yang lain, dan jika
perlu, memanjat ke pohon untuk melepaskan bagian-bagian batang yang terlingkupi ranting-ranting.
4). Setelah terlepas bagian utama dari batang, potong menjadi tongkat dengan berbagai panjang,
tergantung pada spesies, ukuran rotan, atau menggunakan spesifikasi pembeli. Dalam kasus di mana
seluruh panjang batang terlepas, potong tiga meter terakhir, karena bagian ini tidak layak untuk
pengolahan, tetapi mungkin berguna untuk mengikat bundel rotan. 5). Batang biasanya dipotong
menjadi panjang 4 m untuk rotan diameter besar, dan 10 m untuk rotan diameter kecil. 6). Sortir
tongkat untuk memisahkan tongkat yang kualitasnya di bawah standar. 7). Setelah panen, rotan harus
diikat dalam bundel dan diangkut untuk penggunaan lokal atau ke pusat-pusat pengolahan lebih
lanjut.

Secara garis besar, terdapat dua proses pengolahan bahan baku rotan asalan menjadi rotan
setengah jadi, yakni pemasakan dengan minyak tanah untuk rotan berukuran sedang dan besar serta
pengasapan dengan belerang untuk rotan yang berukuran kecil. Pemasakan dengan minyak biasanya
dilakukan oleh pengepul besar dengan menggunakan tiga drum yang telah dibelah dua dan disambung
menjadi satu. Selanjutnya, puluhan batang rotan dimasukkan ke dalam wajan drum itu yang
sebelumnya telah diisi minyak tanah. Proses pemasakan cukup bervariasi tergantung besarnya api dan
banyaknya rotan yang dimasak namun biasanya pemasakan diperkirakan akan memakan waktu sekitar
6-8 jam. Usai dimasak, rotan lalu dijemur untuk menghilangkan kandungan minyak tanah. Bila cuaca
panas dan tidak hujan, penjemuran biasanya dilakukan sekitar tiga hari. Sedangkan bila cuaca lembab
atau hujan, penjemuran bisa memakan waktu sekitar seminggu. Preses pengolahan dilanjutkan dengan
proses menguliti dan membentuk rotan dalam beberapa ukuran. Selanjutnya, rotan setengah jadi siap
dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri (anonim,2013).

Ngo-Samnick (2012) mengatakan lebih lanjut, bahwa secara umum pengolahan atau
pemprosesan rotan dibedakan menjadi dua metode, yaitu metode tradisional dan metode modern.
Metode tradisional lebih sedikit dalam hal biayanya. Sedangkan metode modern biayanya lebih mahal
bila dibandingkan dengan metode tradisional, metode ini ditujukan untuk menghasilkan produk
dengan kualitas yang tinggi.

VI. Kendala dalam Produksi dan Pemanfaatan Rotan

Rotan telah dipandang sebagai komoditi perdagangan hasil hutan non kayu yang cukup
penting di Indonesia. Namun dalam pengolahan, ternyata masih belum memperlihatkan daya saing
yang tinggi. Sanusi (2012) mengatakan, tenaga ahli dan terampil di bidang pengelolaan rotan masih
sangat kurang, tidak memiliki desainer yang kreatif untuk menciptakan produk-produk yang sesuai
dengan selera pasar internasional. Hal ini diduga karena pemerintah dan instansi lain terkait di daerah
masih belum menunjukan perhatian yang serius sebagaimana perhatian yang selama ini telah
diberikan kepada produk hasil hutan lainnya terutama kayu.
Kebijakan pengelolaan sumber daya hutan termasuk rotan sampai saat ini masih mengacu
kepada ketentuan pengelolaan kehutaan yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan
1967. Kebijakan pemanfaatan itu belum mengantarkan kepada perhatian yang khusus sebagaimana
perhatian kepada kayu. Rotan masih ditempatkan sebagai produk hutan sampingan (Erwinsyah,
1999).

Menempatkan rotan yang masih menjadi produk hutan sampingan terlihat dari maraknya alih
fungsi lahan hutan. Rotan yang pada dasarnya hasil hutan secara alami akan semakin terus berkurang
dan tergerus seiring dengan pembukaan hutan melalui alih fungsi lahan. Habibat rotan yang terus
tergerus pastinya akan mempengaruhi ketersediaan bahan baku rotan untuk industri rotan baik industri
primer maupun skunder. Dengan demikian perlu digarisbawahi bahwa posisi rotan ternyata dianggap
tidak cukup signifikan jika dibandingkan dengan komoditas lainnya.

Lumbantoruan (2013) mengatakan salah satu faktor penghambat dalam industri rotan adalah
tidak adanya sinergitas antara industri hulu (industri bahan baku) dan hilir (industri barang jadi). Hal
ini terutama diakibatkan kebijakan dan industri rotan selalu dipengaruhi oleh tarik menarik
kepentingan antara pendukung kelompok industru hulu rotan dengan industri hilir rotan. Tarik
menarik kepentingan ini membuat pemerintah mengalami dilema antara akan mempertahankan dan
memperjuangkan industri hulu atau fokus pada pengembangan industri hilir. Dilema tarik menarik ini
menyebabkan pemerintah hanya mengeluarkan kebijakan yang hanya sekedar membuka dan menutup
keran ekspor rotan mentah. Kepentingan yang selalu bersebrangan antara kelompok industri hulu
dengan industri hilir rotan membuat setiap kebijakan yang diambil tidak pernah disepakati oleh kedua
kelompok tersebut, sehingga pada akhirnya menyebabkan industri produk rotan Indonesia belum
mampu meraih posisi yang signifikan di pasar global.

VII. Saran dan Roadmap Pengembangan industri Rotan

Dari paparan kendala-kendala yang dihadapi dalam industri rotan di atas, hendaknya
pemerintah lebih memberikan perhatian terhadap industri rotan. Perhatian tersebut dapat diarahkan
kepada peningkatan kualitas kerja desiner, sehingga seorang desainer atau pengrajin rotan mampu
memadukan kemampuan penalaran aspek rasional (pendekatan aspek ergonomi, aspek teknis, dan
aspek ekonomi) dengan pendekatan emosional (aspek estetika).

Selain itu, peningkatan kualitas kerja pengrajin harus didukung dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang menempatkan produk rotas bukan lagi sebagai komoditi sampinga. Hal ini dapat
dilakukan dengan meminimalisir alih fungsi lahan hutan yang notabanenya habitat alami rotan. Di
satu sisi, kegiatan pembudidayaan rotan juga harus ditingkatkan. Hal ini dalam upaya untuk menjadi
alternatif ketikan rotan alam semakin berkurang jumlahnya, sehingga ketersediaan bahan baku akan
tetap tercukupi.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan kebijakan-kebijakan yang mampu
mengintegrasikan antara industri hulu dengan industri hilir rotan. Sehingga mampu mengakomodir
kepentingan antara kelompok pendukung industri hulu dan kelompok industri hilir. Dengan demikian
industri rotan Indonesia mampu menghantarkan Indonesia sebagai leading country dalam
perdagangan rotan global.
Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Pengembangan Produk Mabel Rotan Indonesia. Warta Ekspor, Ditjen
PEN/MJL/004/6/2013 Juni

Belcher, Brian. 2002. CIFOR Research: Forest Products and People, Rattan Issues dalam Non-Wood
Forest Product, 14, Rattan Current Research Issues and Prospects for Conservation and Sustainable
Development. John Dransfield, Florentino O. Tesoro dan N. Manokaran (edt). FAO

Erwinsyah. 1999. Kebijakan Pemerintah dan Pengaruhnya Terhadap Pengusahaan Rotan di


Indonesia. The Natural Resources Management/EPIQ Program's Protected Areas Management Office.

Januminro. 2000. Rotan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Lumbantoruan, Meliana. 2013. Industri Rotan Indonesia: Dilema Antara Pengembangan Industri
Hulu dan Hilir. Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada diakses dari
http://cwts.ugm.ac.id/2013/06/industri-rotan-indonesia-dilema-antara-pengembangan-industri-hulu-
dan-hilir/ tanggal 3 Juni 2014.

Muniandy,dkk. 2012. Biodegradation, Morpholgical, and FTIR Study of Rattan Powder-Filled


Natural Rubber Composites as a Function of Filler Loading and a Silane Coupling Agent.
BioResources 7(1),957-971.

Ngo-Samnick E. Lionelle. 2012. Rattan: Production and Processing. Engineers Without Borders,
Cameroon (ISF Cameroun) and The Technical Centre for Agricultural and Rural Co-operation (CTA).
Wageningen, The Netherlands.

Rachman, Osly dan Jasni. 2013. Rotan: Sumberdaya, Sifat dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Bogor.

Sanusi, Djamal. 2012. Rotan Kekayaan Belantara Indonesia. Surabaya: Brilian Internasional

Silitonga, Toga. 2002. Dregaded Tropical Forest and its Potential Role for Rattan Development: An
Indonesian Perspective dalam Non-Wood Forest Product, 14, Rattan Current Research Issues and
Prospects for Conservation and Sustainable Development. John Dransfield, Florentino O. Tesoro dan
N. Manokaran (edt). FAO

Suprapto, Hadi dan Sukirno. 2011. Indonesia Produsen Rotan Terbesar Dunia. Viva News 9
November 2011 diakses dari http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/262603-indonesia-produsen-
rotan-terbesar-dunia tanggal 3 Juni 2014.

WWF. 2011. Sustainable Rattan Harvesting Mini Guide. WWF. www.panda.org/rattan

Yuniarti, Karnita. 2006. Teknologi Budidaya dan Pengolahan Rotan dan Bambu. Makalah disajikan
pada Ekspose/Diskusi Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Bali-Nusa Tenggara. Kupang,
12 Desember 2006.

Anda mungkin juga menyukai