Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KASUS TENTANG PERKARA GUGATAN CERAI “KHULU’ ”

PERKARA NOMOR 1425/PDT/G/2017/PA.BA

A. Kasus Posisinya
Penggugat yang dalam hal ini bernama KHOTIJAH binti RASITO merupakan istri
dari tergugat SIDQON bin ALI MAFUT yang mana mengajukan gugatan cerai suaminya
dalam perkara ini. Penggugat merupakan tenaga kerja Indonesia yang ada di Taiwan namun
bertempat tinggal di kabupaten banjarnegara. Penggugat dan Tergugat menikah pada
tanggal 01 september 2000 dan sudah melakukan ‘’Bakda Dukhul” atau hubungan suami
istri hinga dikaruniai seorang anak. Setelah menikah mereka tinggal dirumah orang tua
Tergugat selama 12 tahun dan tahun 2017 sudah berpisah selama 5 tahun , Tergugat pergi
meninggalkan penggungat dan tidak diketahui lagi kabarnya.

Pernikahan penggugat dan tergugat semula berjalan secara rukun dan kemudian
mulai terjadi perselisihan sejak 2 tahun setelah pernikahan yang mana mulai tampak
kelakuan tergugat yang pemalas dan tidak memiliki rasa tanggung jawab pada keluarga,
jarang memberi nafkah lahir kepada penggugat, bahkan jika penggugat meminta uang
kepada tergugat sering menimbulkan pertengkaran. Kemudian, untuk memenuhi
kebutuhan hidup penggungat berupaya mencari nafkah melalui berdagang dan setelah itu,
sejak tahun 2009 penggugat bekerja di luar negeri.

Setiap kali pulang dari bekerja penggugat dan tergugat selalu bertengkar karena
hasil jerih payah penggugat selalu dihabiskan tergugat entah untuk apa. Setelah beberapa
waktu lamaya, puncak masalah rumah tangga penggugat dan tergugat terjadi pada bulan
agustus 2012. Ketika, tergugat ketahuan oleh penggugat mempunyai banyak hutang di luar,
padahal selama ini hasil kerja penggugat telah digunakan oleh tergugat. Karena hal ini,
tergugat pun marah-marah kemudian pergi pulang ke rumah orang tuanya.

Setelah beberapa hari kemudian, penggungat mencoba menyusul tergugat ke rumah


orang tuanya. Akan tetapi, tergugat tidak ada di lokasi tersebut dan telah pergi entah
kemana sampai tahun 2017 sekitar 5 tahun lamanya tidak diketahui keberadaannya kini.
Penggugat telah berupaya mencari keberadaan tergugat tetapi tidak berhasil
menemukannya. Kemudian karena hal ini penggugat merasa suadah tidak ada harapan
untuk hidup rukun kembali dengan tergugat, maka penggugat mengajukan Gugatan
Perceraian ini kepada Pengadilan Agama Banjarnegara.
B. Analisis Terhadap Kasus Posisi
Dalam hal ini sikap tergugat tidak hadir dalam persidangan merupatan suatu
tindakan yang tidak atas suatu halangan yang sah, meskipun secara resmi dipanggil untuk
hadir dalam persidangan. Sehingga gugatan tersebut hanya diperiksa secara verstek oleh
majelis hakim. Terkait bukti-bukti yang dihadirkan oleh penggungat seluruhnya dapat
diterima hakim, baik itu bukti surat dan saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan
telah memenuhi syarat formil dan man materiilnya dalam pasal 171 HIR mengenai
keterangan saksi memiliki kekuatan pembuktian dan dapat diterima sebagai alat bukti.

Bahwa berdasarkan fakta hukum yang telah memenuhi norma hukum islam yang
terkandung dalam Kitab Fikih Sunah Juz II halaman 290 sebagaimana dijelaskan Artinya
: “Seorang isteri mempunyai hak untuk menggugat kepada Pengadilan agar menceraikan
terhadap suaminya jika ia berpendapat suami telah berbuat memadhorotkan dirinya”. fakta
hukum tersebut telah juga memenuhi Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
dan pasal 19 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. pasal 116 huruf (b)
Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu dapat dikabulkan.

Melihat adanya faka-fakta yang ditemukan maka pertimbangan hakim dalam hal
ini tepat karena adanya hal-hal yang mendasari dari kehendak penggugat mengajukan
gugatan tersebut yaitu :

1. Antara Penggugat dan Tergugat terus menerus terjadi perselisihan dan


percekcokan yang sulit untuk didamaikan;
2. Tergugat pergi meninggalkan Penggugat tanpa alasan yang sah atau hal lain
diluar kemampuannya selama 5 tahun;
3. Antara Penggugat dan Tergugat tidak ada harapan hidup rukun kembali;
Melihat dari adanya persyaratan tentang khuluk yaitu :

1. Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu, jika tampak adanya
bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah
SWT.
2. Hendaknya khulu itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan
(menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Jika ia menyakiti istrinya, maka
ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya.
3. Khulu itu berasal dari istri dan bukan dan pihak suami. Jika suami yang merasa tidak
senang hidup bersama dengan istrinya, maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun
harta dari istrinya.
4. Khulu sebagai talak ba’in Sughra, yakni sebuah perceraian yang tidak dapat dirujuk
kembalinya sang istri oleh si suami kecuali proses akad nikah yang baru.
Dari persyaratan yang ada tersebut bahwa persyaratan pada poin pertama telah
terpenuhi maknanya, dimana penggungat menggugat cerai tergugat karena tidak adanya
harapan untuk hidup rukun kembali serta karena perselisihan yang timbul membuat kedua
belah pihak sulit untuk didamaikan. Kemudian, melihat pada poin ketiga mengenai
persyaratan khuluk yang menyatakan jika suami tidak senang hidup dengan istrinya, maka
suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta dari istrinya. Dalam hal ini, kita dapat
menemukan fakta mengenai tergugat yang pergi sudah sejak 5 tahun yang lalu dari tahun
2012 tanpa alasan yang jelas meninggalkan penggugat yang masuh berstatus sebagai istri
sah dari tergugat. Maka seharusnya, tergugat tidak berhak menerima hak harta sedikitpun
dari penggugat sesuai dengan persyaratan tersebut.

Selanjutnya diketahui pula mengenai Hukum Khuluk, bahwa hokum yang terdapat pada
Khuluk yaitu :
1. Mubah atau boleh
Jika seorang istri tidak menyukai untuk tetap bersama dengan suaminya, baik karena
buruknya akhlak/perilaku suaminya atau karena buruknya wajah/fisik suaminya,
sehingga ia khawatir tidak dapat menjalankan hak-hak suaminya yang telah
ditetapkan Allah kepadanya, maka dalam kondisi semacam ini istri boleh mengajukan
khulu kepada suaminya.

2. Mustahab atau wajib


Jika suami melalaikan hak-hak Allah seperti; suaminya meninggalkan shalat,
suaminya melakukan hal-hal yang dapat membatalkan keislamannya, dan yang
semisalnya, maka istri dianjurkan untuk mengajukan khulu. Ini adalah pendapat ulama
Hanabilah.

3. Haram
Jika istri mengajukan khulu kepada suaminya bukan karena alasan yang diperbolehkan
oleh agama, seperti karena sang suami buruk rupa, maka khulu tersebut menjadi
hukumnya haram.

Melihat dari segi hukumnya, khuluk yang diajukan penggugat dalam perkara ini
termasuk dalam hal hukum yang mubah atau boleh. Karena melihat dari segi kekhawatiran
tidak dapat menjalankan hak-hak suami yang telah ditetapkan kepadanya. Selain itu, karena
mempertimbangkan perlakuan dari suaminya yang berakhlak kurang baik sehingga dalam
posisi demikian penggugat merasa harus menggugat cerai tergugat.

Rukun dalam melakuakan perbuatan khuluk juga telah diaru dalam hukum islam dimana
terdapat beberapa sebagai berikut :
1. Adanya mukhali, yakni seseorang yang berhak mengucapkan perkataan cerai, yakni suami.
2. Adanya mukhtali’ah, yakni seseorang yang mengajukan khulu, yakni istri. Dengan syarat,
si istri adalah istri yang sah secara agama dan istri dapat menggunakan hartanya secara
sadar, dalam artian tidak gila dan berakal.
3. Adanya iwadh, yakni harta yang diambil suami dari istrinya sebagai tebusan karena telah
menceraikan istrinya.
4. Adanya sigha khulu atau perkataan khulu dari suami

Mengenai rukun yang ada dalam permasalahan khuluk, dalam perkara ini adalah
mukhtali’ah yakni seseorang istri dan telah terpenuhi rukun tersebut dengan pengajuan
gugatan penggugat dalam perkara ini. Namun, yang perlu menjadi kajian lagi terhadap
rukun-rukun yang lainnya dimana dalam pengadilan tersebut tidak hadir dalam sidang yang
telah ditetapkan majelis hakim. Kemudian rukun mukhali yang berhak mengucapkan
perkataan cerai dalam perkara ini tidak menampakan dirinya di dalam persidangan
tersebut. Karena berdasarkan fakta yang ada tergugat telah pergi entah kemana selama lima
tahun lamanya dan tidak mempedulikan hubungan status yang masih terikat antara
penggugat. Permintaan tentang khuluk yang diajukan oleh penggugat tentunya tidak
berdasarkan musyawarah dengan tergugat karena alasan fakta yang telah ada dalam
persidangan. Sehingga dalam hal ini pihak pengadilan agama harus berupaya untuk
menghadirkan tergugat memastikan bahwa tergugat benar-benar mengucapkan khuluk.
Namun, jika tidak dalam keadaan mendesak maka dapat dilakukan dengan langkah-
langkah menggunakan orang-orang bijak dan dihormat di daerah tersebut yang
menganjurkannya untuk melakukan khulu' dan mengingatkannya bahwa jika dia
mentalaknya maka dia akan mendapatkan surat resmi. Akan tetapi dianjurkan untuk tetap
berkoordinasi denga pengadilan terkait permasalah tersebut.
Dalam perkara istri gugat cerai suami sebenarnya sudah banyak ditemukan kisah-
kisah yang serupa pada zaman kenabian. Namun, yang dirasa tepat dengan permasalah ini
yaitu tentang contoh kisah di masa kenabian berikut.

“Dalilnya adalah tentang kisah isteri Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu anhu
ketika dia datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, "Wahai
Rasulullah! Sesungguh saya tidak mencela Tsabit bin Qais dalam masalah akhlak dan
agamanya, akan tetapi saya tidak ingin kufur dalam Islam." Maka Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam berkata, "Apakah engkau bersedia mengembalikan kebunnya?"
Sebelumnya Tsabit telah memberinya mahar sebuah kebun. Lalu wanita tersebut berkata,
"Baik wahai Rasulullah." Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada
sang suami, "Terimalah kebun darinya dan ceraikanlah dia."

Para ulama menjadikan kisah ini sebagai dalil bahwa jika seorang wanita sudah
tidak sanggup tinggal bersama suaminya (berdasarkan alasan syar'i), maka waliyul amri
(pemerintah atau pejabat berwenang) berhak meminta suami atau bahkan memerintahkan,
agar dia menceraikan isterinya atas permintaannya (khulu'). Sebagian ulama mengatakan
bahwa sang suami harus melakukan khulu, karena dalam kondisi seperti itu, dia tidak
mengalami kerugian, karena dia akan mendapatkan kembali mahar yang telah dia berikan
kepada isterinya, di sisi lain dia akan membuat sang isteri menjadi lega. Akan tetapi
sebagian ulama mengatakan bahwa sang suami tidak diwajibkan melakukan khulu, hanya
dianjurkan atau disunnahkan. Cukup dikatakan kepadanya, "Siapa yang meninggalkan
sesuatu karen Allah, akan Allah ganti dengan yang lbeih baik darinya." (Al-Liqo Al-
Maftuh, 6/54. Lihat Asy-Syarh Al-Mumti', 13/452)

Anda mungkin juga menyukai