Anda di halaman 1dari 12

STRUKTUR PENYAJIAN

KESENIAN ANGKLUNG CARUK BANYUWANGI

Oleh
Nimas Wulandari

ABSTRAK

Realitas kompetisi Angklung Caruk merupakan pertunjukan yang unik. Pada


dasarnya, pertunjukan caruk memang sudah menjadi kebiasaan sosial masyarakat Using.
Kata ” Caruk ” dalam bahasa Osing berarti ” temu “. Kata dasar itu bisa diucapkan ”
Kecaruk ” atau ” Bertemu “. Kata ” Angklung Caruk ” artinya adalah dua kelompok
kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu panggung, saling beradu kepandaian
dengan iringan sejumlah tembang Banyuwangian tujuannya untuk memperebutkan gelar
sebagai group kesenian angklung yang terbaik.

Struktur penyajian dalam angklung caruk adalah Giro-giroan, Penghormatan,


Embat-embatan/blabakan, Brindrong, Adu Gending dan Mengakhiri Pertarungan.
Masing-masing kelompok akan saling beradu, saling menunjukkan kepiawaiannya dalam
memainkan dan menirukan gending-gending yang diciptakan secara personal ataupun
mengaransir gending-gending Banyuwangi yang sudah ada.

Pertunjukan angklung caruk ini sarat akan nilai etika dan estetika. Nilai etika
nampak spontanitas, rasa kerjasama dan sportifitas, sedangkan nilai estetika nampak dari
penyajian karya musiknya, termasuk dengan segala unsur keestetisannya seperti melodis,
ritmis, harmoni, tempo dan lain sebagainya.

Kompetisi musikal yang terjadi dalam angklung caruk adalah sebuah fenomena
yang menarik. Dimana pertunjukan menjadi sebuah peristiwa sosial multifungsi, tidak
hanya menjadi media penyajian dan penikmatan sebuah karya musik. Angklung caruk
juga merupakan proses sosial yang memberikan kesempatan menunjukkan prestasi,
mengangkat identitas diri, kelompok daerah, mengokohkan status serta ajang seleksi
sosial seniman.

Kata Kunci : Angklung Caruk, Struktur Penyajian, Adu Gending

1
PENDAHULUAN

Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang

memiliki kekayaan seni tradisi, baik dari seni tari, teater dan seni musiknya.

Kekayaan akan berbagai ragam kesenian tersebut tentunya tak terlepaskan dari

tiga komponen yang saling mempengaruhi dalam kehidupan berkesenian yaitu

seniman, karya seni dan masyarakat penikmatnya. Para seniman Banyuwangi

dikenal sebagai seniman yang memiliki daya produktivitas tinggi. Daya saing

antara satu seniman dan seniman lainnya sangat kuat dalam menciptakan karya

seni. Hal inilah yang menjadikan kabupaten Banyuwangi dikenal sebagai daerah

yang memiliki ragam seni tradisi yang berkualitas, termasuk kesenian Angklung

Caruk.

Angklung Caruk merupakan salah satu kesenian musik tradisional khas

Banyuwangi yang di dalamnya terkandung nilai-nilai etika dan estetika khususnya

bagi masyarakat Osing Banyuwangi. Oleh karena itu keberadaannya perlu

dilestarikan serta dikembangkan agar kesenian dapat tumbuh serta eksis di

masyarakat Banyuwangi khsusnya.


Bagi sebagian masyarakat Banyuwangi khususnya masyarakat Osing

kesenian Angklung Caruk sudah tidak asing lagi. Sekitar satu dekade yang lalu

kesenian ini masih menampakkan dirinya di beberapa acara yang diselenggarakan

masyarakat seperti acara perkawinan, khitanan maupun acara lain seperti perayaan

hari kemerdekaan RI. Namun sekarang ini sudah sangat jarang di jumpai.
Kata ” Caruk ” dalam bahasa Osing berarti ” temu “. Kata dasar itu bisa

diucapkan ” Kecaruk ” atau ” Bertemu “. 1 Kata ” Angklung Caruk ” artinya

adalah dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu


1
Subiha, wawancara 26 Oktober 2012

2
panggung, saling beradu kepandaian dengan iringan sejumlah tembang

Banyuwangian tujuannya untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian

angklung yang terbaik.

Sebenarnya kesenian ini tergolong unik karena mengadung unsur

sportifitas antara grup satu atau “panjak” (sebutan penabuh dalam bahasa Osing)

dengan grup lainnya meski terjadi “padu-paduan” (olokan dan ejekan). Uniknya

kedua kelompok dan pendukungnya saling menjaga sportifitas dan kerukunan.

Meski tidak ada aturan secara tertulis, kedua kelompok kesenian itu sejak puluhan

tahun sudah memahi aturan yang menjadi kesepakatan. Sehingga, mereka tidak

ada yang curang, tidak ada yang marah saat kurang mendapatkan respon atau

aplaus dari penonton.

Pertunjukan angklung caruk ini sarat akan nilai etika dan estetika. Nilai

etika nampak spontanitas, rasa kerjasama dan sportifitas. Sedangkan nilai estetika

nampak dari penyajian karya musiknya, termasuk dengan segala unsur

keestetisannya seperti melodis, ritmis, harmoni, tempo dan lain sebagainya

Struktur penyajian yang terkandung di dalamnya mencerminkan sebuah kompetisi

yang dibungkus dalam sajian pertunjukan. Kompetisi musikal yang terjadi dalam

angklung caruk adalah sebuah fenomena yang menarik, dimana pertunjukan

menjadi sebuah peristiwa sosial multifungsi Kesenian ini tidak hanya menjadi

media penyajian dan penikmatan sebuah karya musik, namun Angklung Caruk

juga merupakan proses sosial yang memberikan kesempatan menunjukkan

prestasi, mengangkat identitas diri, kelompok daerah, mengokohkan status serta

ajang seleksi sosial seniman.

3
PEMBAHASAN

Dalam kehidupan masyarakat Using Banyuwangi, Angklung Caruk adalah

pertunjukan kompetisi / perlombaan musikal. Pengertian tersebut diperoleh dari

kata “angklung” yang berarti pada pengertian alat musik dengan 12- 13 nilah

bambu dan kata “caruk” yang berasal dari kata “kecaruk” yang mempunyai arti

bertemu. Jadi pertemuan angklung yang dimaksud dalah pertemuan antara 2

kelompok seniman angklung untuk mengadu kemampuan musikal. Dalam

pertarungan, dua kelompok kesenian angklung dipertemukan dalam satu

panggung, masing-masing kelompok harus mempertontonkan kemampuan dengan

jalan saling bergantian memamerkan dan menirukan gending dan iringan sejumlah

tembang Banyuwangian tujuannya untuk memperebutkan gelar sebagai group

kesenian angklung yang terbaik.2

Instrumen yang digunakan dalam musik Angklung Caruk ini dimainkan

kurang lebih oleh 12-15 pemain yang terdiri dari seperangkat angklung ( dua unit

angklung ), slenthem ( dua buah ), saron ( dua buah ), saron ( 4 buah ), peking

( dua buah ), kendang ( 1 orang ), kethuk ( satu buah ), biola ( satu buah ),

kluncing ( satu buah ), gong ( 1 buah ), sinden ( 1 orang ) dan badut ( 1 orang ).

Tata letak perangkat instrumen antara satu instrumen dan lainnya

berhadapan layaknya orang yang akan beradu, namun tata instrumen dalam satu

kelompok secara garis besar dibagi dalam dua pola, yaitu pola sejajar

berdampingan dan pola berhadapan. Hal ini didasari alasan karena secara musikal

2
Karsono dalam jurnal Keteg. 2007. Jurnal Pengetahuan,Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi ,
Surakarta. ISI Press Surakareta

4
gending angklung terbangun dari pola jalinan berpasangan, baik melodis maupun

ritmik, sehingga posisi tersebut memudahkan kerjasama sajian.

Struktur Penyajian

Persaingan kemampuan musikal antar dua kelompok angklung terjadi

dalam setiap bagin pertunjukan Angklung Caruk. Karena dalam konteks ini,

pertunjukan “caruk” terwujud dalam sebuah bentuk kompetisi. Oleh karena itu,

bagin-bagian pertunjukan yang terssun dari awal sampai akhir merupakan

perwujudan nilai kompetisi. Di dalam bagian tersebut terdapat seperangkat aturan

dan nilai yang disepakati kedua pihak utuk mengatur dan menilai persaingan nilai

yang terjadi, baik itu persaingan antar seniman di tingkat personal hingga

kelompok.

Dalam pertunjukan kompetisi musikal Angklung Caruk ini terdapat juga


3
peran seorang “badut” yaitu sebutan untuk penari yang diperankan oleh

umumnya seorang laki-laki. Setiap kelompok membawa badut masing-masing.

Peran badut ini cukup rumit dan masih agak “misterius”, apakah badut itu

semacam wasit atau mediator atau provokator atau ketiganya. Biasanya gending-

gending yang dimainkan memang difungsikan untuk mengiringi tarian badut, dan

badut ini memihak kepada kelompok yang membawanya.

Suasana kompetisi yang nampak dalam. Berikut akan diuraikan secara

lengkap bentuk urutan atau struktur pertunjukan kesenian Angklung Caruk4 :

1. Giro-Giroan, Pemanasan Musikal

3
Subiha, wawancara 26 Oktober 2012
4
Subiha, wawancara 26 Oktober 2012

5
Bagian giro-giroan yang merupakan bagian awal pertunjukan

Angklung Caruk merupakan babak yang memberi kesempatan kedua

kelompok untuk melakukan pemanasan musikal. Dalam giro-giroan, setiap

kelompok angklung diberi kesempatan menyajikan gending secara

bergantian sebelum memasuki pertarungan. Persaingan antar kelompok

mulai dibangn dengan saling menunjukkan kemampua melalui kreasi

gending giro.

Gending giro biasanya merupakan karya dan koleksi masing-

masing kelompok. Sumber gending bisa berupa gending yang secara

khusus dibuat untuk giro-giroan atau ada juga yang menyajikan gending

karya kelompok lain, bahkan kelompok lawannya. Seandainya gending

giro yang disajikan merupakan gending karya lawan, maka persaingan

dalam kreasi semakin seru. Ini terjadi karena kedua kelompok menyajikan

gending yang sama dan masing-masing berusaha menyajikan dalam kreasi

yang berbeda. Kelompok gending tidak ingin kalah dalam menyajikan

karyanya sendiri, sementara kelompok peniru igin memperlihatkan bahwa

mereka mampu menyajikan dengan lebih baik. Hal ini juga menjadi

penyebab persaingan giro-giroan dapat terbangun secara spontan dan

dinamis.

2. Penghormatan

Pada saat kelompok penyaji akan menyajikan tiga gending wajib

sebelum adu gending, badut kelompok tersebut mempekenalkan diri.

Proses perkenalan biasanya berisi identitas kelompok angklungnya ,

6
terkait nama dan asal daerah kelmpok. Proses perkenalan bisa dilakukan

sebelum penyajian gending penghormatan. Pada dasarnya gending ini

memang difungsikan untuk mengiringi tarian badut, sehingga kreasi

iramanya memberi ruang kreaif bagi badut, untuk merespon dengan

gerakan lucu dan dinamis sehingga tujuan menarik dan perhatian penonton

dapat tercapai.

3. Embat-Embatan / Blabakan

Embat-embat/blabakan adalah gending wajib yang disajikan

setelah penghormatan dan sebelum adu gending. Gending embat-embatan

memiliki perbedaan dengan gending penghormatan. Jika gending

penghormatan merupakan karya dari setiap kelompok maka gending

embat-embatan merupakan gending tradisi Banyuwangi. Oleh karena

itulah, meski gendingnya sama namun kreasi penyajiannya yang berbeda.

4. Brindrong

Sperti halnya embat-embat brindrong merupakan gendingyang

wajib disajikan sebelum adu gending. Broindrongan berada tepat sebelum

adu gending.. Penyajian gending brindrong sering di-medley (disambung)

dengan gending yang lain.Beragam kreasi dari badut dan parnjak

sebagaimana dalam penghormatan dan embat-embat.

5. Adu Gending / Adu Kemampuan Musikal

Setelah melewati rangkaian tiga gending di atas, persaingan

berlanjut menuju bagian pertarungan. Bagian pertarungan kemampuan

musikal ini disebut dengan adu gendhing. Adu gending antara dua

7
kelompok dilakukan dengan saling menyajikan dan meniru gending-

gending aduan. Terdapat dua bentuk pertarungan yang terjadi, yaitu :

( 1 ) Satu lawan satu dimana masing-masing pemain angklung antar

kelompok saling beradu gendhing. Pertarungan satu lawan satu ini dimulai ketika

satu penyaji angklung membunyikan ranginan. Menurut Sumitro ( 1996 : 11 )

ranginan adalah rangkaian melodi bebas metrum atau rageman bebas untuk

mencari nada dasar atau dalam karawitan Banyuwangi biasa disebut

dengan istilah bem. Ranginan ini juga berfungsi sebagai tanda kepada sang

lawan untuk bersiap mendengar dan mendeteksi gendhing apa yang

dimainkan. Setelah ranginan, satu penyaji angklung mulai memainkan

klocian5. Menurut Sayun ( 2004 : 16 ) klocian adalah permainanan

angklung dimana melodi yang dihasilkan disusun dalam pola ngloci. Pola

ngloci adalah pola memukul bilah angklung satu persatu dengan cepat,

secara bergantian antara tangan kanan dan tangan kiri.

Menurut Subiha, untuk menirukan klocian merupakan hal yang

sulit, dikarenakan rumitnya melodi klocian yang dipengaruhi oleh kontur

melodi dengan interval yang meloncat-loncat. Di samping itu, kecepatan

atau speed permainan dari pemain juga menjadi faktor kerumitan sang

lawan untuk mendeteksi dan menirukan klocian.

Dalam pertarungan satu antar satuini tak jarang terjadi aksi saling

ejek, baik itu dari ucapan maupun raut muka atau gaya dan sikap menabuh

dari pemain. Sang enyaji biasa melemparkan ejekan untuk memancing

5
Menurut Subiha ( wawancara 26 Oktober 2012 ) klocian merupakan pertarungan antar personal
pemain angklung. Pertaruhan nama ‘besar’ pemain angklung terjadi pada bagian ini. Gending yang
dimainkan adalah gending ciptaan pribadi sehingga kerahasiaan gending sangat terjaga.

8
emosi lawan sehingga lawan tak dapat berkosentrasi dalam menirukan

gending. Ejekan yang terlontar dari penyaji atau sorak sorai dari penonton

sangat mempengaruhi usaha lawan dalam menirukan gending klocian. Hal

ini disebabkan ejekan dan sorak sorai penonton menyebabakan konsentrasi

susah dikendalikan dalam menirkan gending.

( 2 ) Kelompok antar kelompok.

Lain halnya dengan pertarungan satu lawan satu, dalam bagian ini

pertarungan dimainkan antara satu kelompok dan kelompok lawan.

Penyaji harus menyajikan rangkaian bagian gending aduan tersebut paling

tidak sebanyak 2 kali. Kesempatan pertama, peniru belum diperbolehkan

meniru aduan gending yang terasji. Sajian pertama memberi kesempatan

agar peniru mendengarkan dan mendeteksi terlebih dahulu.

Sesuai aturan, peniruan baru diperbolehkan pada penyajian ulangan

gending aduan. kelompok A misalnya, membawa intrumen beberapa

ketukan dari sebuah lagu, untuk ditebak kelompok B. Apabila kelompok B

sudah tahu, maka diberi kesempatan memotong dengan cara ngosek atau

memukul gamelan secara tidak beraturan. Jika itu sudah terjadi, maka

kelompok A harus menghentikan intrumennya dan memberikan

kesempatan kepada kelompok B untuk meneruskan intrumen itu. Jika

ternyata masih salah, maka kelompok A akan mengambil kembali dengan

“ngosek” kemudian meneruskan hingga tuntas.

9
Ini juga berlaku kepada badut, mereka juga diadu variasi tariannya

dengan lagu-lagu andalan yang dimiliki kelompok. Dalam tempo cepat,

baik tarian maupun pukulan instrumennya tidak boleh ada yang salah.

6. Mengakhiri Pertarungan

Pertarungan dalam adu gending tidak dibatasi waktunya secara

ketat. Durasi pertarungan menjadi kesepakatan yang sifatnya spontan,

dalam arti dipengaruhi faktor pengertian dan kesadaran dari kedua belah

pihak serta situasi dan kondisi persaingan. Sebagai tanda penyaji akan

mengakhiri adu gending yaitu disajikannya gending keok-keok. Keok-keok

adalah gending yang menandakan akhir dari komposisi aduan.

Dengan demiikian penyajian keok-keok dalam pengertian menutup

pertarungan sangat terkait dengan kesepakatan dan kesadaran dua belah

pihak, terutama dari peniru. Jika peniru diam dan tidak bereaksi saat sajian

keok-keok, maka kelompok peniru akan menerima kenyataan bahwa

pertarungan berakhir. Mereka ganti mempesiapkan diri untuk menjadi

penyaji gending aduan, dan sebaliknya kelompok yang tadi sebagai

penyaji ganti menjadi peniru.

SIMPULAN

Angklung Caruk merupakan salah satu dari beragam kesenian yang berkembang

di Banyuwangi. Kata ” Caruk ” dalam bahasa Osing berarti ” temu “. Kata dasar itu

10
bisa diucapkan ” Kecaruk ” atau ” Bertemu “. Kata ” Angklung Caruk ” artinya

adalah dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu

panggung, saling beradu kepandaian dengan iringan sejumlah tembang

Banyuwangian tujuannya untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian

angklung yang terbaik.


Kompetisi yang terjadi dalam kesenian Angklung Caruk tak terlepaskan

dari struktur penyajiannya. Dalam Angklung Caruk ini memiliki struktur sajian

yang menjadi urutan teknis dalam pelaksanaannya. Struktur penyajian tersebut

adalah Giro-giroan, Penghormatan, Embat-embatan/blabakan, Brindrong, Adu

Gending dan Mengakhiri Pertarungan. Masing-masing kelompok akan saling

beradu, saling menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan dan menirukan

gending-gending ciptaan personal maupun gending-gending Banyuwangi.

Kompetisi musikal yang terjadi dalam angklung caruk adalah sebuah

kasus yang menarik. Dimana pertunjukan menjadi sebuah peristiwa sosial

multifungsi, tidak hanya menjadi media penyajian dan penikmatan karya musik.

Angklung caruk juga merupakan proses sosial yang memberikan kesempatan

menunjukkan prestasi, mengangkat identitas diri, kelompok daerah, mengokohkan

status serta ajang seleksi sosial seniman.

DAFTAR RUJUKAN

Karsono. 2007. Angklung Caruk Pertunjukan Sebagai Sebuah Peristiwa. Jurnal


Keteg, Vol 7 No. 2. Surakarta. Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia
Surakarta.

11
Munardi, A.M. dkk. 1983. Pengetahuan Karawitan Jawa Timur. Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sayun Sisiyanto. 2004. Gamelan Angklung Banyuwangi. Handbook . Paguyuban


Pemerhati Seni Banyuwangi.

Sumitro Hadi. 1996. Deskripsi Seni Angklung Caruk Banyuwangi. Jawa Timur :
Depdikbud Provinsi Jawa Timur.

12

Anda mungkin juga menyukai