Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mitos dapat mempunyai peranan yang fundamental bagi kehidupan

masyarakat. Peranan mitospun kadang-kadang dapat menentukan ataupun dapat

mengubah nasib seseorang. Kepercayaan terhadap mitos membuat masyarakat

taat melakukan kegiatan-kegiatan ritual yang menyertainya (Twikromo,2006:13).

Ruwatan anak gembel di Dataran Tinggi Dieng juga didasarkan pada mitologi

anak gembel yang konon katanya adalah anak titipan Dewa. Pada awalnya, semua

anak berambut gembel terlahir dengan rambut normal. Mereka semua terkena

gejala penyakit yang sama, di suatu waktu yang masing-masing orang dapat

berbeda. Waktu tersebut antara umur 6 bulan sampai 3 tahun.Anak akan

menderita demam tinggi disertai kejang dan mengigau. Setelah sembuh dari sakit,

rambut mereka perlahan-lahan menjadi gembel, jarak antar rambut menjadi rapat

seperti tidak pernah dibersihkan. Jika orang tuanya menyisir atau bahkan

memotong rambutnya, mereka akan kembali sakit panas. Bahkan setelah

dipotong, rambut gembelnya akan tumbuh lagi. Dalam kesehariannya, anak

gembel sama saja dengan anak lainnya, hanya saja mereka cenderung lebih aktif,

kuat dan agak nakal. Apabila mereka bermain dengan sesama anak gembel,

pertengkaran cenderung sering terjadi antara mereka.

Masyarakat Dieng percaya bahwa anak gembel adalah keturunan dari

pepunden atau leluhur pendiri Dieng, Tumenggung Kolodete. Masyarakat juga

percaya bahwa ada makhluk gaib yang "menghuni" dan "menjaga" rambut gembel


 
ini. Gembel bukanlah genetik yang dapat diwariskan secara turun temurun.

Dengan kata lain, tidak ada seorangpun yang tahu kapan dan siapa anak yang akan

menerima “anugerah” ini.

Ruwatan rambut gembel merupakan ritual pemotongan untuk

menghentikan tumbuhnya rambut gembel pada anak. Prosesi pemotongan tidak

dilakukan sembarangan. Waktu pemotongan ditentukan oleh anak gembel sendiri.

Jika dia belum meminta, maka gembel akan terus tumbuh walaupun dipotong

berkali-kali. Ritual ini dipimpin oleh seorang pemangku adat setempat dan

dilaksanakan pribadi di desa. Selain prosesi ritual yang harus dilakukan,hal

penting yang harus dipenuhi adalah permintaan si anak gembel. Anak gembel

biasanya meminta sesuatu sebagai syarat yang harus dituruti sebelum rambutnya

dipotong. Orang tua juga harus memenuhi apapun permintaan anaknya. Kalau

permintaan belum dituruti upacara tidak akan dapat dilaksanakan.

Sejak tahun 2006, Dinas Pariwisata Wonosobo dan Banjarnegara

bekerjasama menggelar upacara ruwatan massal anak gembel yang diberi nama

“Pekan Budaya Dieng”. Pada tahun 2010 “Pekan Budaya Dieng” berubah nama

menjadi “Dieng Culture Festival” (DCF), yang dikelola oleh POKDARWIS

(Kelompok Sadar Wisata) Dieng Kulon, Banjarnegara. Dalam festival ini digelar

berbagai acara antaralain: seni tradisional, festival lampion, wayang kulit, pesta

kembang api, festival film Dieng, pegelaran Jazz di atas awan dan ruwatan anak

gembel sebagai acara utama. Ruwatan anak gembel yang menjadi ikon Dieng

dikelola oleh POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata), dibawah naungan Dinas

Pariwisata Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ruwatan diadakan besar-


 
besaran setiap tahunnya untuk menarik minat pariwisata. Campur tangan

pemerintah oleh dinas pariwisata dalam menyelenggarakan ritual ruwatan rambut

gembel menyebabkan perubahan sosio-kultural masyarakat. Ruwatan yang

sekarang dilakukan rutin dan besar-besaran ini kemudian menjadi sebuah festival

ikon pariwisata Dieng. Penelitian ini ingin melihat bagaimana mitos rambut

gembel diproduksi dan direproduksi dengan kemasan yang berbeda antara yang

“dulu” dan yang “sekarang”. Hipotesis yang penulis ajukan yaitu mitos-mitos

yang ada dan berkembang di Dieng, yang dipelihara dan dilestarikan bahkan “di-

reproduksi” untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

B. Rumusan Masalah

Fenomena anak gembel di Dataran Tinggi Dieng kini berhasil menarik

ribuan wisatawan setiap tahunnya. Ritual ruwatan ini diselenggarakan oleh

pemerintah melalui dinas pariwisata setiap tahun dalam rangkaian acara Dieng

Culture Festival (DCF). Prosesi ruwatan anak gembel kini dipertontonkan secara

umum kepada khalayak ramai. Banyaknya campur tangan pemerintah dalam

pelaksanaan ritual ini akan memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial yang

terjadi dalam masyarakat Dieng. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam

penelitian ini adalah : perubahan-perubahan apa dalam masyarakat Dieng

yang terefleksi dalam pelaksanaan ritual ruwatan anak gembel? untuk

menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini difokuskan pada tiga persoalan: (1)

Apakah yang dimaksud dengan ritual ruwatan anak gembel dan bagaimana

konteks sosial kultural ritual tersebut? Pertanyaan pertama ini akan menjadi fokus


 
kajian pada bab II, (2) Bagaimana ritual ruwatan anak gembel dilaksanakan dan

dinamikanya? Pertanyaan kedua ini akan menjadi fokus kajian pada bab III, dan

(3) perubahan-perubahan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat Dieng.

pertanyaan ketiga ini akan menjadi fokus kajian pada bab IV.

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyumbangkan pemikiran dalam diskusi

atau studi tentang ritual, khususnya tentang ritual-ritual pedesaan. Dalam banyak

buku dideskripsikan bahwa ritual-ritual pedesaan sudah mengalami modernisasi.

Penelitian ini satu langkah lebih jauh karena akan mengupas apa yang ada di balik

perubahan-perubahan ritual pedesaan tersebut. Informasi ini akan sangat

membantu para antropolog untuk mengembangkan lebih jauh studi tentang ritual

di pedesaan Jawa.

D. Studi Pustaka

Penelitian-penelitian terkait dengan anak gembel di Dieng diantaranya

adalah skripsi Heri Cahyono,mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang

berjudul ”Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Desa Dieng Kecamatan Kejajar

Kabupaten Wonosobo” (2008, Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta). Dalam penelitian ini Cahyono menerangkan bagaimana asal mula

tradisi ruwatan cukur anak gimbal di Desa Dieng. Dijelaskan juga bagaimana

prosesi ruwatan serta makna upacara ruwatan bagi masyarakat. Dalam penelitian

ini, Cahyono hanya menjelaskan asal-usul dan prosesi dan makna ritual secara

umum. Adapun perbedaan penelitian ini adalah lebih fokus kepada perubahan


 
makna anak gembel sebagai simbol. Makna yang dibahas dalam penelitian ini

lebih mendalam disertai makna sesaji sebagai simbol-simbol dalam ritual.

Tulisan Nuke Martiarini dalam Psikohumanika, Vol. IV, No. 1. Agustus

2011 – ISSN 1979-0341yang berjudul “Studi Pustaka Ruwatan Cukur Rambut

Gembel sebagai Symbolic Healing di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo”. Dalam

artikel ini menjelaskan posisi Ritual Ruwatan sebagai Simbolic healing

(Psikoterapi Budaya Lokal) dalam kasus anak gembel. Dalam artikel ini

dijelaskan bahwa prosesi pemotongan rambut gembel (ruwatan cukur rambut

gembel) secara hakikat sama dengan pengobatan supranatural atau alternatif, yaitu

meyakini simbol-simbol yang menyatakan bahwa manusia tidak hanya hidup di

dunia fisik saja, melainkan juga berhubungan dengan dunia non fisik yang

dimediasi oleh simbol-simbol bermakna sesuai dengan keyakinan yang dianut.

Tulisan ini sangat berbeda dimana sudut pandang fokus peneliti adalah pada

perubahan makna anak gembel dalam masyarakat.

Penelitian lain yang juga membahas ruwatan anak gembel adalah skripsi

Septian Eka Fajrin, mahasiswa Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Identitas

Sosial dalam Pelestarian Tradisi Ruwatan Anak Gimbal Dieng sebagai

Peningkatan Potensi Pariwisata Budaya”(2009). Dalam penelitian ini Fajrin

menjelaskan latarbelakang tumbuhnya rambut gembel, motif masyarakat

mengadakan ritual, dan bagaimana pemanfaatan potensi pariwisata budaya

sebagai cara masyarakat mempertahankan identitas budaya. Perbedaan dengan

penelitian ini adalah fokus peneliti tentang perubahan sosial yang terjadi dalam

masyarakat oleh adanya komodifikasi ritual.


 
Penelitian lain adalah Tesis yang ditulis Dhyah Ayu Retno Widyastuti

mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret (2008) yang

berjudul “Upacara Religi dalam Komunikasi Pemasaran Pariwisata: Studi Kasus

mengenai Komodifikasi Upacara Religi Saraswatidalam Komunikasi Pemasaran

Pariwisata Candi Ceto Kabupaten Karanganyar”. Dalam penelitian menjelaskan

bahwa kebijakan pariwisata terkait dengan pengembangan candi mengarah pada

kegiatan politik ekonomi berupa komodifikasi upacara religi dengan melibatkan

masyarakat dalam kesadaran palsu. Analisis menunjukkan bahwa perspektif

politik ekonomi dalam komodifikasi dapat dilihat melalui keterlibatan masyarakat

yang seolah hanya menjadi objek atas pelaksanaan program kebijakan pariwisata.

Penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian ini dimana adanya peran

pemerintah melalui kebijakan pariwisata berupa komodifikasi upacara religi.

Selain lokasi penelitan dan upacara ritual yang berbeda, fokus penelitian terhadap

anak juga merupakan perbedaan dalam penelitian ini. Menurut analisis

penulis,dalam ritual anak gembel tidak hanya terjadi komodifikasi ritual, tetapi

juga memungkinkan adanya komodifikasi anak, dimana beberapa aktor

memanfaatkan “keistimewaan” anak untuk kepentingan masing-masing.

Penelitian yang hampir sama juga telah dilakukan Moh. Soehadha dalam

Walisongo, Volume 21, Nomor 2, November 2013 yang berjudul “Rambut

Gembel dalam Arus Ekspansi Pasar Pariwisata”. Dalam penelitian ini Soehadha

fokus pada agama dan perubahan sosial akibat ekspansi pasar pariwisata di

Dataran Tinggi Dieng, dan hubungannya dengan kapitalisme negara. Pemerintah

telah mengusahakan ritual rambut gembel sebagai komoditas pariwisata di


 
Dataran Tinggi Dieng. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada dua varian respon

sosial terhadap perubahan akibat ekspansi pasar pariwisata, yaitu masyarakat yang

menerima dan masyarakat yang menolak. Adapun perbedaan dengan penelitian

tersebut, penelitian penulis lebih terfokus pada perubahan makna.Pergeseran

makna anak gembel dalam masyarakat yang akhirnya terjadi komodifikasi

terhadap anak untuk berbagai kepentingan aktor.

E. Kerangka Teori

Menurut Summer-Effler (dalam Haryanto 2013: 15), ritual merupakan

jantung dari semua dinamika sosial. Ritual meningkatkan emosi kelompok yang

berhubungan dengan simbol, pembentukan basis kepercayaan, pemikiran

moralitas dan budaya. Orang menggunakan kapasitas pemikiran, kepercayaan,

dan strategi untuk meningkatkan emosi dan interaksi di masa depan. Beattie

(dalam Haryanto, 2013:16), menyatakan bahwa banyak ritual dan upacara

keagamaan menerjemahkan kekuatan alam yang tidak terkontrol ke dalam entitas

simbolik, melalui ritual kekuatan alam dapat dimanipulasi dan dihadapi. Pada

masyarakat tersebut tidak terdapat pengetahuan empirik yang secara tepat

memungkinkan manusia dapat mengatasi keanehan-keanehan alam melalui

praktik yang terbukti secara ilmiah, oleh karena itu mengatasinya kemudian

secara simbolik dan ekspresif. Kondisi inilah yang terjadi pada masyarakat Dieng.

Masyarakat tidak tahu dan tidak dapat menjelaskan fenomena dan kondisi apa

yang terjadi pada anak gembel secara ilmiah. Satu-satunya pengetahuan yang

mereka terima berasal dari orang tua, kakek, dan sesepuh desa yang diceritakan


 
secara turun temurun. Mengikuti cara dan anjuran orang tua (leluhur), masyarakat

Dieng melakukan Ruwatan terhadap anak gembel. Fajrin (2009:23) mengatakan:

Upacara ruwatan merupakan suatu pengingat melalui pesan-pesan


simbolik bahwa kehidupan manusia berlaku hukum adi kodrati yang
bersifat mutlak dan langgeng. Siapa yang patuh pada hukum akan
selamat hidupnya dan sebaliknya, bagi yang melanggar akan
mengalami petaka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya ruwatan berfungsi sebagai ungkapan hasil penghayatan
hidup bermasyarakat beserta lingkungan alamnya yang dialami oleh
para leluhur yang dilakukan secara turun temurun sehingga hal
tersebut merupakan sarana untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan
yang hakiki sebagai bekal hidup untuk mencapai ketentraman.
Menurut Geertz (1992:74), kebudayaan merupakan sistem makna dan

sistem simbol yang teratur, yang didalamnya interaksi sosial berlangsung. Senada

dengan Geertz, Elliot (2006:618) menyatakan bahwa simbol merupakan

jantungnya sistem budaya dan terkait dengan semua produksi dan reproduksi

makna (Haryanto, 2013:2). Simbol-simbol religius merumuskan sebuah

kesesuaian dasariah antara sebuah gaya kehidupan tertentu dan sebuah metafisika

khusus (jika, paling sering, implisit) dan dengan melakukan itu mendukung

masing-masing dengan otoritas yang dipinjam dari yang lain (Geertz 1992:4).

Menurut Turner (1967), simbol memiliki ciri-ciri yang dapat diterima

secara sensorik yang berhubungan dengan apa yang dikomunikasikan. Simbol

dapat menstimulasi pandangan seseorang dengan memperhatikan referensinya.

Sejak lahir manusia sudah membawa atau terlekat simbol-simbol yang menandai

identitas kelompok darimana ia berasal. Tanda-tanda fisik seperti warna kulit,

tekstur rambut, bentuk raut muka dan sebagainya merupakan tanda bawaan atau

sering pula disebut natural symbols. Sementara tanda-tanda buatan meliputi


 
misalnya gaya pakaian, perhiasan, model rambut, tato, dan sebagainya (Haryanto,

2013: 5). Anak gembel mempunyai natural symbol dan identitas sendiri yang

membedakan dirinya dengan orang lain, yaitu pada rambutnya. Simbol yang

melekat pada anak gembel ini tentu mempunyai makna dan dimaknai orang lain.

Makna (meaning) simbol merupakan pesan atau maksud yang ingin

disampaikan atau diungkapkan oleh creator simbol. Sebagai komunikasi ide,

simbol merupakan media atau alat bagi sang creator untuk menyampaikan ide-ide

batin agar dapat dipahami atau bahkan dapat menjadi pedoman perilaku (code of

conduct) bagi orang lain (Haryanto, 2013: 7). Menurut Cohen (dalam Haryanto,

2013: 7) masalah makna suatu simbol lebih merupakan masalah intrepretasi

daripada sebagai satu ketetapan (stipulation). Artinya, makna suatu simbol sangat

tergantung pada interpretasi orang. Dengan demikian sangat dimungkinkan terjadi

variabilitas makna dan hal itu tidak sepenuhnya dapat ditangkap dalam

“dokumentasi” etnografi. Sama halnya dengan kasus anak gembel di Dieng, setiap

orang mempunyai interpretasinya sendiri terhadap anak gembel. Dalam kasus

ruwatan anak gembel, orang-orang tersebut merupakan aktor-aktor yang

berhubungan dan mempunyai kepentingan. Aktor-aktor tersebut adalah orang tua

anak gembel, masyarakat sekitar, pemangku adat, dan pemerintah melalui panitia

penyelenggara acara.

Turner (1967) menyatakan bahwa jelas, simbol bersifat multi-vocal, multi

referensial, multi-dimensi atau polysemic (memiliki lapisan makna). Kualitas

multi-vocal simbol menunjukkan bahwa orang tidak dapat mengkomunikasikan

sesuatu dalam proposisi tunggal, melainkan lebih pada koleksi makna dan makna-


 
makna tersebut tidaklah statis. Adanya Dieng Culture Festival sebagai acara yang

mempertontonkan prosesi ritual akan membuat perubahan makna-makna simbolis

baik secara prosesi atau makna anak tersebut. Akan tetapi sebuah ritus bukan

hanya sebuah pola makna. Ritus juga merupakan suatu bentuk interaksi sosial.

Demikianlah, disamping menghasilkan ambiguitas kultural, usaha untuk mebawa

pola religius dari latarbelakang pedesaan yang relatif kurang terdiferensiasi

kedalam sebuah konteks kota juga menimbulkan konflik sosial, justru karena

macam integrasi sosial yang ditunjukan oleh pola itu tidak sesuai dengan pola-

pola integrasi utama dalam masyarakat pada umumnya (Geertz 1992: 103)

Pierre Bourdieu (dalam Haryanto, 2013: 13), menyatakan bahwa semua

praktik dan simbol kultural, mulai dari selera artistik, gaya busana, gaya makan,

ritual agama, ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan bahasa itu sendiri, memiliki

kepentingan dan fungsi meningkatkan perbedaan sosial. Teori Bourdieu ini

dikenal sebagai sosiologi “kekuasaan simbolik” yang merujuk pentingnya topik

hubungan antara budaya, struktur sosial dan tindakan. Sztompka (2004)

mengatakan bahwa perubahan sosial itu adalah proses perubahan yang terjadi

dalam sistem sosial masyarakat dalam jangka waktu yang berbeda yang kemudian

mempengaruhi unsur-unsur dalam sistem, entah keluarga, politik, ekonomi dan

sebagainya yang kemudian membawa masyarakat pada keadaan yang baru.

Sztompka menaruh penekanan pada peran agen manusia, entah aktor individual

dan agen kolektif, dengan bentuk perubahan sosial evolusi (proses yang berjalan

lambat), revolusi (proses yang berjalan cepat), dan sumber perubahan exogenous

(luar) dan endogenous (dalam).

10 
 
Gumilar (2006) dalam Bahan Ajar Sosiologi juga mengatakan bahwa

perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi

suatu sistem sosial. Struktur suatu sistem terdiri dari berbagai status individu dan

status kelompok-kelompok yang teratur. Berfungsinya struktur status-status itu

merupakan seperangkat peranan atau perilaku nyata seseorang dalam status

tertentu. Status dan peranan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam kasus

ini, kita dapat menganggap ritual ruwatan rambut gembel sebagai sebuah sistem

sosial. Didalam sebuah sistem sosial terdapat relasi-relasi sosial yang

menghubungkan antar individu. Relasi yang terjadi dalam ritual rambut gembel

adalah relasi makna. Bagaimana orang-orang dalam struktur sistem tersebut

memaknai rambut gembel. Struktur yang membentuk sistem sosial disini adalah

invidu dan kelompok antaralain, orang tua anak gembel, pemangku adat, dan

masyarakat setempat. Ruwatan rambut gembel yang diselenggarakan dalam

sebuah festival membuat struktur sistem dalam ritual berubah. Dalam kasus ini

pemerintah oleh dinas pariwisata masuk ke dalam struktur berperan sebagai aktor

atau agen perubahan.

Dalam sistem sosial ini ada perubahan relasi-relasi, yaitu antara anak

dengan orang tua, anak dengan masyarakat, dan anak dengan pemangku adat yang

disebabkan oleh pemerintah sebagai aktor. Anak gembel yang dulunya

mempunyai kuasa penuh untuk menentukan kapan dia akan diruwat, dimana, dan

oleh siapa menjadi dibatasi dan menyesuaikan dengan jadwal acara yang

ditetapkan pemerintah. Anak gembel yangpermintaannya biasanya harus dituruti

oleh orangtua bahkan terkadang oleh tetangganya, kini harus meminta kepada

11 
 
pemerintah. Orang tua yang harus berusaha menuruti permintaan anaknya kini tak

perlu bingung, bahkan dapat memberikan pengaruh dalam permintaan anak.

Pemangku adat yang biasanya berasal dari desa setempat kini dipilih oleh

pemerintah. Banyaknya campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan ritual ini

akan memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam

masyarakat dieng. Sistem relasi makna yang ada dalam sistem akan berubah

dengan sendirinya. Adanya kepentingan aktor-aktor dalam struktur akan membuat

berubahnya pandangan aktor tersebut dalam memaknai anak gembel.

Perubahan makna terhadap anak gembel bahkan terhadap prosesi ritual

ruwatannya diakibatkan oleh perubahan sistem oleh aktor-aktor yang

berkepentingan. Perubahan ini juga memungkinkan terjadinya komodifikasi anak

gembel. Menurut Mosco (Wahyunigsih, 2010:25):

Komodifikasi (commodification) merujuk pada proses transformasi


nilai guna ke dalam nilai tukar (the process of transforming use values
into exchange values). Ada dua dimensi utama yang menjadikan
komodifikasi ini penting dalam kajian komunikasi, yakni:(a) proses
komunikasi dan teknologi memberikan sumbangan penting pada
proses komodifikasi secara umum dalam bidang ekonomi secara
keseluruhan,(b) proses komodifikasi bekerja dalam masyarakat secara
keseluruhan dengan melakukan penetrasi pada proses komunikasi dan
institusi sehingga kemajuan dan kontradiksi dalam proses
komodifikasi kemasyarakatan mempengaruhi komunikasi sebagai
sebuah praktek sosial.
Perubahan pemaknaan, dan nilai anak dalam kasus ruwatan anak gembel

ini dapat dikatakan komodifikasi. Nilai guna anak yaitu “keistimewaan” yang

dimiliknya dimaknai berbeda dengan adanya festival ruwatan yang melibatkan

orang banyak. Aktor aktor yang terkait dalam acara ini memanfaatkan

“keistimewaan” tersebut untuk berbagai kepentingan.

12 
 
F. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Dataran Tinggi Dieng, mencakup

dua desa yaitu, Desa Dieng Kulon yang berada di wilayah Kabupaten

Banjarnegara dan Desa Dieng Wetan, yang berada di Kabupaten

Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian dipilih karena kedua

desa tersebut merupakan pusat dari kegiatan ruwatan massal rambut

gembel, serta menjadi pusat pariwisata di Dataran Tinggi Dieng.

2. TPL (Tim Penelitian Lapangan) Mahasiswa Antropologi Budaya

Ide awal penelitian ini muncul ketika diadakannya

RisetEtnografikerjasamajurusanAntropologiUGM dengan University of

Toronto dengantema “Producing Wealth and Poverty in New Rural

Economics (Dieng Expedition)” padabulan 9 Juli- 6 Agustus 2012 di

KawasanDieng (Wonosobo-Banjarnegara). Pada saat penelitian tersebut,

penulis mengumpulkan data tentang mitos-mitos yang beredar di

masyarakat Dieng. Berdasarkan data-data tersebut kemudian penulis

mengembangkan dan melakukan penelitian lanjutan pada bulan Mei-Juli

2014.

3. Wawancara Mendalam dan Observasi Partisipasi

Bagi seorang peneliti antropologi, melakukan riset dengan metode

observasi partisipasi di tengah kehidupan masyarakat yang diteliti

merupakan sebuah kelebihan. Hal ini sangat berguna untuk mendapatkan

data yang lebih mendalam dan valid berdasarkan pandangan masyarakat

13 
 
dan pengalaman yang didapat tentang informasi riset. Untuk itulah,

penelitian lapangan ini akan menggunakan metode penelitian observasi

partisipasi sebagai dasar utama pengumpulan data.

Teknik pengambilan data dilakukan dengan pengamatan langsung

dan berbincang dengan masyarakat. Di sini, peneliti akan mengumpulkan

informasi-informasi tentang bagaimana perubahan sosial yang terjadi

dalam ritual rambut gembel. Dengan metode ini, diharapkan para peneliti

mendapatkan data dan informasi secara mendalam tanpa kehilangan sisi

antropologis yang nantinya diolah menjadi tulisan etnografi.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang saling berkaitan dan

disusun secara kronoligis. Secara keseluruhan hasil penelitian ini dibagi dalam

beberapa bab sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan

kerangka teori, serta metode penelitian yang dijalankan dan juga sistematika

pembahasan. Isi pokok ini merupakan gambaran seluruh penelitian secara garis

besar, sedangkan untuk uraian lebih rinci akan diuraikan dalam bab-bab

selanjutnya.

Bab kedua membahas mengenai gambaran umum wilayah penelitian dan

anak gembel. Pada bab ini terdiri dari sub-sub bab yang meliputi gambaran umum

Dataran Tinggi Dieng, konsepsi lokal terhadap anak gembel, definisi gembel dari

sisi medis, fenomena gembel: pemaknaan secara kulutural dan medis, dan

konstruksi lokal terhadap keistimewaan anak gembel. Di dalam bab ini

14 
 
dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai konteks sosial-kultural

masyarakat Dieng dan anak gembel.

Bab ketiga membahas mengenai prosesi dalam ruwatan rambut gembel.

dalam bab ini juga terdiri dari sub-sub bab yang meliputi ruwatan pribadi

(keluarga), ruwatan festival, perbandingan ruwatan pribadi (keluarga) dan ruwatan

festival, dan permintaan yang harus dituruti. Pada bab ini dimaksudkan untuk

memberikan gambaran tentang ruwatan rambut gimbal yaitu ruwatan pribadi dan

festival dan memberikan perbandingan antara kedua ruwatan tersebut.

Bab keempat membahas mengenai komodifikasi dan perubahan sosial.

Pada bab ini terdiri dai sub-sub bab yang meliputi ritual dan perubahan sosial,

komodifikasi ritual ruwatan anak gembel, komodifikasi anak dan komodifikasi

dan perubahan sosial. Pada bab ini ingin menggambarkan bagaimana terjadinya

komodifikasi dalam ruwatan anak gembel dan bagaimana pengaruhnya terhadap

perubahan sosial masyarakat Dieng.

Bab kelima merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dari seluruh

masalah yang telah dikemukakan dalam skripsi ini

15 
 

Anda mungkin juga menyukai