Anda di halaman 1dari 25

DESAIN INOVATIF KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

TENTANG MASSAGE ABDOMEN UNTUK MENGATASI KONSTIPASI


PADA KLIEN DENGAN STROKE NON HEMORAGIK DI RUANG
YUDISTIRA RSUD KRMT WONGSONEGORO SEMARANG

ZUMROTUL MASRUROH

P1337420919074

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN


PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan pembuluh darah
otak biasanya timbul secara mendadak dan mengenai usia 45-80 tahun.
Menurut Smeltzer dan Bare (2012), stroke merupakan ketidaknormalan
fungsi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan
kenormalan aliran darah ke otak. World Health Organization (WHO)
menetapkan bahwa stroke merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala
berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau global yang dapat
menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam,
tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (Rasyid, & Soertidewi,
2007).
Menurut WHO, Indonesia telah menempati peringkat ke 97 dunia
untuk jumlah penderita stroke terbanyak dengan jumlah angka kematian
mencapai 138.268 orang atau 9,70% dari total kematian yang terjadi pada
tahun 2011. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI tahun
2013 menunjukka telah terjadi peningkatan pravalensi stroke di Indonesia
yaitu dari 8,3 per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013).
Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan
menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Pravalensi stroke
hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun
2011 (0,03%) dan prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2012
sebesar 0,07% lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%).
Salah satu kejadian stroke yang seringkali mengakibatkan dampak
jangka panjang adalah stroke non hemoragik. Stroke non hemoragik
adalah defisit neurologis yang timbul secara akut dan berlangsung lebih
dari 24 jam yang menyebabkan gangguan peredaran darah otak (Umah,
2014).
Gangguan peredaran darah otak pada pasien stroke non
hemoragik dapat menyebabkan penurunan aliran darah dan oksigen ke

2
otak yang mengakibatkan hipoksia serebri yang selanjutnya dapat
menimbulkan kerusakan pusat gerakan motorik di lobus
frontalis,sehingga pasien stroke akan mengalami kelumpuhan yang
menyebabkan gangguan mobilisasi. Salah satu dampak tirah baring
yang cukup lama akibat imobilisasi pada pasien stroke adalah konstipasi
(Ginting, 2015).
Konstipasi yang terjadi pada pasien stroke adalah karena
kurangnya mobilisasi dimana hal ini dapat menyebabkan
penurunan fungsi otot abdominal, otot pelvis dan diafragma yang
mengakibatkan peristaltik menurun sehingga pergerakan chime
lambat dan mengakibatkan fases mengeras (Mc Clurg & Hawkins,
2011). Masalah konstipasi didapatkan pada 60% pasien pasca
stroke. Konstipasi diartikan sebagai penurunan frekuensi normal
defekasi yang disertaidengan pengeluaran feses yang sangat keras dan
kering (Wilkinson & Ahern, 2012).
Penanganan konstipasi dapat dilakukan dengan menggunakan
terapi farmakologik dan terapi non farmakologi. Saat ini untuk mengatasi
konstipasi di rumah sakit selalu bergantung dengan terapi farmakologi
yaitu pasien diberikan terapi laksativ atau obat pencahar. Menurut
Sinclair, (2010) penggunaan laksativ dalam jangka waktu yang
lama justru akan menyebabkan penurunan reflex gastrokolik dan
duodenokolik. Dengan kata lain, penggunaan laksatif dalam jangka
panjang justru akan menyebabkan masalah konstipasi. Beberapa terapi
non farmakologik yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
konstipasi tanpa menimbulkan efek samping adalah massage
abdominalTerapi massage abdomen yang diberikan pada dinding abdomen
secara langsung dapat membantu merangsang peristaltik usus,
memperkuat otot - otot abdomen serta dapat meningkatkan kontraksi
dari intertinal dan rectum seseorang sehingga dapat memperlancar sistem
pencernaan (Smeltzer & Bare, 2008). Hal tersebut didukung oleh
penelitian Ginting (2015) menyatakan bahwa massage abdomen

3
efektif dilakukan untuk mengatasi masalah konstipasi, dimana
massage abdomen dapat membantu fases keluar dari usus besar. Sejalan
dengan penelitian Ginting (2015), Lamas (2009) juga melakukan
penelitian yang serupa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
responden yang mendapat terapi laksatif ditambah dengan massage
abdomen mengalami peningkatan frekuensi defekasi dibanding dengan
pasien dengan terapi laksatif saja.
Berdasarkan fenomena, pemaparan latar belakang di atas, penulis
ingin mengetahui pengaruh masase abdomen dalam mengatasi konstipasi
terhadap pasien Stroke Non Hemoragik di ruang Yudistira RSUD KRMT
Wongsonegoro Semarang.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum adalah untuk menerapkan evidence based
nursing mengenai pengaruh massage abdomen dalam mengatasi
konstipasi di ruang Yudistira RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui keefektifan massage abdomen dalam mengatasi
konstipasi pada klien dengan Stroke Non Hemoragik (SNH)
b. Membuktikan apakah massage abdomen dapat diterapkan di semua
gangguan klien dengan Stroke Non Hemoragik (SNH)
C. Manfaat
a. Untuk pasien
1. Penatalaksanaan evidence based nursing Massage abdomen di
harapkan dapat mengatasi gangguan konstipasi pada klien dengan
Stroke Non Hemoragik (SNH) yang mengalami imobilisasi.
b. Untuk Penulis
1. Memberikan gambaran pentingnya penatalaksanaan Massage
abdomen untuk mengatasi konstipasi pada klien dengan Stroke
Non Hemoragik (SNH) yang mengalami imobilisasi.

4
c. Untuk Rumah Sakit
1. Hasil penerapan evidence based nursing ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai intervensi mandiri bagi perawat maupun tenaga
kesehatan lain dalam melakukan penanganan Stroke Non
Hemoragik dengan menggunakan terapi massage abdomen.
2. Sebagai bahan kajian untuk meningkatkan pelayanan keperawatan
di klinis
3. Sebagai salah satu bacaan ilmiah penerapan evidence based
nursing pada keperawatan profesi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke Non Hemoragik


1. Definisi
Stroke non hemoragik adalah terjadinya penyumbatan
aliran darah ke sebagian otak tertentu sehingga mengalami gangguan
pasokan darah. Penyumbatan bisa terjadi pada pembuluh darah
besar (arteri karotis), pembuluh darah sedang (arteri serebri) atau
pembuluh darah kecil (Wijaya, 2013). Penyumbatan pembuluh darah
bisa terjadi karena dinding bagian dalam pembuluh darah (arteri)
menebal dan kasar, sehingga aliran darah tidak lancar dan tertahan.
Oleh karena darah berupa cairan kental, maka ada kemungkinan akan
terjadi gumpalan darah (trombosis),sehingga aliran darah semakin
lambat dan lama-lama menjadi sumbatan pembuluh darah. Akibatnya,
otak mengalami kekurangan pasokan darah yang mengandung
nutrisi dan oksigen yang diperlukan oleh darah.Penurunan aliran darah
yang semakin parah dapat menyebabkan kematian jaringan otak
(Misbach, 2007).
2. Etiologi
Ada beberapa penyebab kematian jaringan otak pada
pasien stroke non hemoragik, diantaranya adalah adanya
embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke
otak dari bagian tubuh yang lain), Iskemi (terjadinya penurunan
aliran darah ke area otak), hemoragi serebral (pecahnya pembuluh
darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang
sekitar otak), dan trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh
darah otak). (Smeltzer dan Bare (2012).
Adanya trombosis pada pembuluh darah otak dapat
menyebabkan tersumbatnya aliran darah menuju ke otak.
Sumbatan tersebut berupa adanya aterosklerosis, hiperkoagulasi pada

6
polisitemia, ateristis (radang pada arteri), serta emboli sehingga
pada pasien stroke non hemoragik terjadikehilangan fungsi otak
secara sementara atau permanendalam hal gerakan, berfikir, memori,
bicara, atau sensasi(Williams, 2010).
3. Patofisiologi
Stroke yang mengenai pada sisi sebelah kanan otak
akan menyebabkan masalah pada spasial persepsi orientasi.
Pasien yang mengalami perubahan spasial terhadap persepsinya
dapat memberikan efek yang paling jelas ditimbulkan oleh stroke,
yaitu berupa hemiparesis (kelemahan) dan hemiplegi (kelumpuhan).
Hal tersebut disebabkan karena gangguan motorik neuron pada jalur
pyramidal. Karakteristiknya adalah kehilangan kontrol gerakan
volunteer, gangguan integrasi gerakan, keterbatasan tonus otot,
dan keterbatasan refleks sehingga pasien akan mengalami
imobilitas dalam jangka waktu yang lama (Arnaud, 2013).
Stroke yang mengenai satu hemisphere di otak, akan menyebabkan
pasien mengalami gangguan pada kandung kemih yaitu berupa
gangguan frekuensi, urgensi, maupun inkontinensia. Meskipun
kontrol motorik usus tidak mengalami masalah, tetapi pasien
sering mengalami konstipasi, hal tersebut lebih dihubungkan
dengan imobilitas, kelemahan otot abdomen, dehidrasi dan kurangnya
refleks untuk defekasi (Smeltzer & Bare, 2012). Apabila terjadi
kerusakan pada sistem susunan saraf yang mengatur fungsi
motorik atau sistem neuromuskuloskeletal, maka pasien akan
membutuhkan tirah baring yang cukup lama. Tirah baring yang
cukup lama akan berisiko terjadi berbagai macam komplikasi,
salah satunya adalah semakin melemahnya tonus otot yang akan
menyebabkan terjadinya konstipasi. Konstipasi yang terjadi akibat
imobilisasi dapat menyebabkan tekanan pada abdomen yang memicu
pasien mengejan saat berdefekasi.Pada saat mengejan yang kuat
terjadi respons maneuver valsava yang dapat meningkatkan

7
tekanan intrakranial, yang mana peningkatan tekanan intrakranial
pada pasien stroke merupakan prognosis yang burukdan dapat
menyebabkan kematian. Sehingga konstipasi pada pasien stroke
harus diatasi dengan baik (Mc Clurg,2011).
4. Komplikasi
Faktor prognosis yang penting dalam morbiditas dan
mortalitas pasien stroke adalah komplikasi yang terjadi
pascastrokeitu sendiri. Komplikasi stroke merupakan diagnosis-
diagnosis atau penyakit-penyakit yang muncul pada pasien stroke
setelah dirawat(Doshi et al, 2013). Ada beberapa komplikasi yang
terjadi pada pasien stroke yaitu diantaranya infeksi thorax,
Pneumonia,UTI (Urinary Tract Infection), depresi, kejang, luka tekan
(dekubitus), dan konstipasi.
Infeksi thorax pada pasien stroke terjadi karena
berkurangnya kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh
akibat stroke akan berkurang pada pernapasan volunternamun
tidak berpengaruh pada pernapasan involunter. Emboli paru juga
pernah dilaporkan terjadi pada 9% pada kasus stroke(Folden, 2002).
Komplikasi yang kedua adalah pneumonia,UTI (Urinary Tract
Infection). Pneumonia pada pasien stroke disebabkan oleh bahan
kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasiatau karena
infeksi yang didapatkan dari lingkungan.
Kejang pasca stroke dan epilepsi merupakan penyebab
tersering dari sebagian besar pasien yang masuk di rumah sakit,
dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian dan
prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke(Kelly, 2002).
Komplikasi selanjutnya adalah luka tekan (dekubitus). Dekubitus
sering terjadi pada pasien stroke, karenapada pasien stroke
mengalami gangguan mobilisasi dan tirah baring yang cukup lama
tanpa mampu untuk merubah posisi di tempat tidur. Selain itu tirah
baring yang cukup lama pada pasien stroke juga akan menyebabkan

8
masalah konstipasi.Penyebab terjadinya konstipasi dapat dibedakan
berdasarkan fungsi atau gangguan bentuk pelvikdan struktur atau
gangguan motilitas.
Gangguan bentuk pelvik dapat berupa fungsi pelvik berupa
melemahnya sfingter, obstruksi pelvik, prolapsus rektum, enterokel,
intususepsi rektum, dan rektokel. Gangguan motilitas dapat disebabkan
oleh nutrisi yang tidak adekuat,motilitas kolon melemah, dan
faktorpsikiatri. Faktor penyebab lainnya mencangkup kelemahan,
imobilitas, kecacatan, keletihan, dan ketidakmampuan untuk
meningkatkan tekanan intra -abdomen untuk mempermudah
pengeluaran fases (Van Dijk dkk., 2010).
B. Konstipasi
Konstipasi merupakan pola defekasi yang tidak teratur karena
terjadi pengerasan pada feses yang menyebabkan feses sulit, menimbulkan
nyeri, berkurangnya frekuensi dan volume defekasi,serta terjadinya
retensi feses dalam rektum (Smeltzer & Bare, 2008).Frekuensi defekasi
bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain, sehingga
konstipasi ditentukan berdasarkan kebiasaan pola eleminasi orang
yang normal. Menurut McClurg (2011), konstipasi adalah gangguan
pencernaan yang ditandai dengan menurunnya frekuensi BAB yaitu
kurang dari 3 kali dalam seminggu.
Sedangkan Pans Consensus on Childhood Constipation
Terminology menjelaskan definisi konstipasi yaitu terjadinya
penurunan frekuensi buang air besar dengan mengikuti minimal 2
gejala seperti defekasi kurang dari 3 kali/minggu, frekuensi tinja lebih
besar dari satu kali/minggu, massa tinja keras dan teraba di abdomen,
adanya perilaku menahan defekasi, dan nyeri saat defekasi (Muttaqin,
2011).
Defekasi dipengaruhi oleh refleks defekasi yang ditimbulkan
oleh refleks intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat.
Jika feses memasuki rektum, peregangan dinding rektum akan

9
menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus
mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltik di dalam kolon
desenden(Guyton & Hall, 2008).
Kolon mempunyai fungsi menerima bahan buangan dari
ileum, kemudian mencampur, melakukan fermentasi, dan memilih
karbohidrat yang tidak diserap serta memadatkannya menjadi tinja.
Fungsi ini dilaksanakan dengan berbagai mekanisme gerakan yang sangat
kompleks. Diduga pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon
sampai ke daerah rektosigmoid terjadi beberapa kali sehari, dan melewati
gelombang khusus yang mempunyai amplitudo tinggi dan tekanan
yang berlangsung lama. Gerakan ini diduga dikontrol oleh pusat yang
berada di batang otak, dan telah terlatih melalui kebiasaan sejak kecil.
Pada pasien stroke yang dirawat di rumah sakit sering
mengalami kelemahan anggota gerak, baik sebagian maupun
seluruhnya yang mengharuskan pasien bedrest dalam jangka waktu
yang lama dan menyebabkan pasien mengalami gangguan mobilitas
fisik yang akan menyebabkan penurunan fungsi otot abdominal, otot
pelvis dan diafragma yang mengakibatkan menurunnya peristaltik
sehingga akan memperlambat pergerakan chime dan akan memperpanjang
waktu transit di kolon. Hal ini yang mengakibatkan fases mengeras karena
dalam kolon terus berlangsung proses absorbsi. (Brunner and
Suddarts,2002).
Penurunan otot - otot abdominal juga akan mengakibatkan
kesulitan atau hambatan pasase bolus di kolon atau rektum, sehingga
timbul kesulitan defekasi atau timbul konstipasi. Konstipasi yang tidak
ditangani dengan baik pada pasien stroke akan menyebabkan tekanan
pada abdomen yang memicu pasien mengejan saat berdefekasi
(Lamas, 2012). Pengedanan selamadefekasi merupakan kontra
indikasi pada pasien stroke non hemmoragik karena bisa berakibat
terjadinya valsava manuver yang dapatmengakibatkankematian.
Penangganan konstipasi harus disesuaikan dengan memperhitungkan

10
lama dan intensitas konstipasi baik dengan farmakologi maupun non
farmakologi (Mc. Clurg, 2011).
Penilaian skor konstipasi dapat dinilai melalui beberapa tanda dan
gejala seperti jumlah frekuensi buang air besar, upaya pengejanan
saat defekasi, perasaan defekasi tidak tuntas, nyeri perut saat BAB, waktu
yang dibutuhkan untuk BAB, jenis pendampingan yang diperlukan
saat melakukan BAB, adanya defekasi yang tidak berhasil dalam 24 jam,
serta riwayat lamanya konstipasi.
C. Massage Abdomen
1. Pengertian
Massage abdomen adalah pijat yang dilakukan searah jarum
jam padaabdomen yang dapat merangsang peristaltik usus dan
mengurangi waktu transit kolon sehingga dapat meningkatkan
frekuensi buang air besar. Massage abdomen efektif dilakukan sehari
sekali selama sekitar 10 sampai 20 menit dan dapat dilakukan
pada posisi berbaring atau duduk (Ginting, 2015).
2. Manfaat Massage Abdomen
Yunding 2016 menjelaskan bahwa massage abdomen
merupakan teknik relaksasi yang dapat menstimulasi peristaltik usus
sehingga dapat mempercepat rearbsorbsi fases di kolon sehingga dan
dapat meningkatkan frekuensi buang air besar. Manfaat massage
abdomen adalah untuk memperkuat otot -otot abdomen serta dapat
meningkatkan kontraksi intertinal dan rectum seseorang sehingga
dapat memperlancar sistem pencernaan (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Suarsyaf (2015), massage abdomen dapat
menstimulasi peristaltik,menurunkan waktu transit
kolon,meningkatkan frekuensi buang air besar pada pasien konstipasi,
dan mengurangi rasa tidaknyaman saat buang air besar. Oleh karena
itu,massage abdomen dapat menjadi salah satu terapi alternatif
untuk konstipasi pada pasien konstipasi. Sedangkan menurut Liu, et
al., (2005) massage abdomen dapat meningkatkan tekanan intra

11
abdomen. Pada kasus-kasus neurologi masage abdomen dapat
memberikan stimulus terhadap rektal dengan somato-autonomic reflex
dan adanya sensasi untuk defekasi. Proses defekasi dipercepat
dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen dan kontraksi
pada otot-otot abdomen. Proses defekasi dapat dihambat oleh
kontraksi volunter otot-otot sfingter eksterna dan levator ani
sehingga secara bertahap dinding rektum akan rileks dan
keinginan untuk berdefekasi menghilang (Smeltzer & Bare, 2012).
Sejalan dengan Liu, et al., (2005), Sinclair (2011) juga
melakukan penelitian yang serupa. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa massage abdomen efektif untuk menurunkan
konstipasi melalui beberapa mekanisme yang berbeda - beda
antara lain dengan melaukukan gerakan stimulasi pada sistem
persarafan parasimatik sehingga dapat menurunkan tegangan
pada otot abdomen, meningkatkan motilitas pada sistem
pencernaan, meningkatkan sekresi pada sistem intestinal serta
memberikan efek pada relaksasi sfingter. Massage abdomen
merupakan terapi yang aman untuk mengatasi konstipasi pada
pasien stroke non hemoragik, karena tidak melibatkan tekik intensiv
yaitu hanya memberikan penekanan relaksasi pada dinding
abdomen. Selain itu massage abdomen dapat diberikan dengan cepat
oleh pasien sendiri karena massage abdomen mudah dipelajari, biaya
murah dan efektif untuk mengatasi konstipasi (Hagen, 2010).
3. Kontra Indikasi
Menurut Ayas (2006), Terdapat beberapa kontra
indikasi dilakukannya massage abdomen pada pasien stroke,
diantaranya adalah adanya riwayat obstruksi usus ganas atau
pertumbuhan abdomen, adanya penyakit radang usus besar,
penyakit crohn atau kolitis ulserativa, adanya cedera tulang
belakang yang tidak stabil, operasi perut, adanya tumor pada
areaabdominal, obstruksiilleus, adanya perdarahanpada intestinal,

12
pasien yang mendapatkan terapiradiasi pada area abdomen.serta
pada pasien yang mengalami tindakanpembedahan pada area
abdomen.
4. Prosedur Massage Abdomen
Massage abdomen yang dilakukan pada pasien dengan masalah
konstipasi adalah menggunakan teknik Swedish massage tecnique,
yaitu massagedengan penekanan yang lembut pada jaringan yang
dapat memberikan perbaikan sirkulasi darah, memperbaiki sistem
pencernaan, serta memberikan kenyamanan. Penekanan yang
dilakukan terdiri daristroking, effleurage, kneeding dan vibrating
(Sinclair, 2011).
Beberapa penelitian tentang massage abdomen
menggunakan beberapa teknik yang berbeda yaitu seperti Lamas et al
(2009), menggunakan teknik efflurage selama 7 menit, sedangkan
Emly (2010) menggunakan moderate pressure yaitu efflurage,
kneading dan vibrasi selama 15-20 menit. Massage abdominal
terbukti efektif sebagai terapi komplementer untuk mengatasi
konstipasi, meskipun terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan.
Adapun langkah - langkah yang dapat dilakukan
yaitu menggunakan prosedur :
a. Lakukan penekanan ke atas perut sebanyak 3 kali.
b. Lakukan penekanan ke bawah perut sebanyak 3 kali .
c. Berikan teknik penekanan dengan arah memutar seanyak 3 kali.
d. Lakukan gerakan cepat membentuk lingkaran kecil bergerak
kebawah dengan satu tangan.
e. Lakukan seperti langkah 4, dan ulangi di bagian perut yang
berbeda.
f. Ulangi langkah ke 4 dan 5.
g. Lakukan penekanan ke salah satu sisi perut.
h. Berikan getaran dengan tangan di atas area pusar

13
BAB III
METODE PENULISAN

A. Rancangan Solusi yang Ditawarkan


Dalam mengatasi permasalahan diatas maka akan dilakukan desain
inovatif berupa study kasus pada klien dimana klien diberikan Massage
Abdomen selama 3 hari. Kemudian akan dinilai perubahan masalah
konstipasi yang dialami.
P : Stroke Non Hemoragik
I : Massage Abdomen
C:-
O : Constipation
Artikel yang digunakan sebagai dasar penerapan EBNP (Evidance
Based Nursing Practice) berupa Massage Abdomen dalam mengatasi
konstipasi pada klien dengan Stroke Non Hemoragik. Telusur ini
didapatkan dari beberapa akses pencarian diantaranya pubmed, google
cendikia. Dalam mencari artikel tersebut penulis menerapkan beberapa
kriteria baik inklusi yaitu jurnal terpublikasi dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir (>2014), jurnal yang digunakan sudah terindeks dan terdaftar pada
jurnal nasional maupun internasional, jurnal terpublikasi dalam bentuk ful
text.
B. Target dan Luaran
Target ditujukan pada klien yang konstipasi pada klien dengan
Stroke Non Hemoragik. Luaran yang diharapkan dari penerapan EBNP
(Evidence Based Nursing Practice) massage abdomen dalam menangani
konstipasi adalah feses dapat lembut , kemudahan BAB, pengeluaran feses
tanpa bantuan, suara bising usus dalam kisaran 5-35x/menit.
C. Prosedur Pelaksanaan
Adapun langkah - langkah yang dapat dilakukan yaitu
menggunakan prosedur :
a. Lakukan penekanan ke atas perut sebanyak 3 kali.

14
b. Lakukan penekanan ke bawah perut sebanyak 3 kali .
c. Berikan teknik penekanan dengan arah memutar seanyak 3 kali.
d. Lakukan gerakan cepat membentuk lingkaran kecil bergerak
kebawah dengan satu tangan.
e. Lakukan seperti langkah 4, dan ulangi di bagian perut yang
berbeda.
f. Ulangi langkah ke 4 dan 5.
g. Lakukan penekanan ke salah satu sisi perut.
h. Berikan getaran dengan tangan di atas area pusar

15
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Pengkajian
Tn. U dengan Stroke Non Hemoragik (SNH) dilakukan

pengkajian pada tanggal 3 November 2019 pukul 20.00. Pasien

mengatakan anggota gerak bagian kanannya tidak terasa. pusing, dan

nyeri pinggang dan belum BAB selama ±4 hari. Menurut data yang

didapatkan, pasien belum pernah mengalami serangan stroke klien

baru pertama kali mengalami serangan stroke. Klien mempunyai

riawayat darah tinggi namun riwayat kesehatan keluarga didapatkan

data jika keluarga tidak ada yang menderita tekanan darah tinggi

maupun stroke seperti yang dialami pasien saat ini. Masalah

keperawatan yang dalami klien yaitu konstipasi ±4 hari. Menurut

data yang didapat klien jarang minum air putih karena apabila

minum air putih banyak klien merasa ingin BAK terus. Hasil

pengkajian juga didapatkan bising usus 5kali/menit.

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan yang muncul pada kedua pasien Tn.U

adalah Gangguan Pola Eliminasi (Konstipasi) berhubungan dengan

Kurangnya cairan dan serat dalam tubuh. Data-data yang mendukung

untuk mengangkat masalah tersebut yaitu belum adanya defekasi dari

pasien dimana belum mengalami defekasi selama lebih dari 3 hari.

Bising usus yang didapatkan juga didapatkan yaitu 5x/menit .

17
3. Intervensi Keperawatan

Intervensi untuk diagnosa keperawatan konstipasi mempunyai

tujuan setelah dilakukan tindakan selama kurang lebih 3x24 jam

diharapkan konstipasi dapat berkurang serta tidak menimbulkan

masalah keperawatan lain. Berdasarkan masalah di atas outcame yang

digunakan untuk mengukur penyelesaian diagnosis menurut NOC

(2018) adalah Manajemen konstipasi dengan kriteria hasil feses dapat

lembut dan berbentuk, adanya kemudahan untuk BAB, Pengeluaran

feses tanpa menggunakan bantuan, dan bising usus dalam kisaran 5-

35x/menit.

Intervensi yang diberikan pada kTn.U yaitu manajemen

konstipasi yang dapat dilakukan mandiri oleh perawata yaitu masase

abdomen dimana intervensi tersebut dilakukan sehari sekali dengan

lama intervensi 5-7 menit dan dilakukan selama tiga hari.

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi dilakukan selama 5-7 menit pada tanggal 3-5

November 2019. Pasien diposisikan supinasi kemudian pasien

diberikan lotion pada bagian perut dan kedua tangan perawat yang

akan melakukan tindakan, setelah itu lakukan masase abdomen.

Sebelum dilakukan tindakan klien di observasi dan didapatkan data

bising usus sebanyak 5x/menit serta tidak adanya feses yang keluar

kemudian dilakukan intervensi masase abdomen selama 5-7 menit dan

dilakukan evaluasi tindakan didapatkan hasil bising usus 6x/menit

18
namun tetap tidak ada feses yang keluar dan klien mengatakan tidak

ada rasa untuk BAB. Pada hari kedua, pasien mendapatkan perlakuan

yang sama dan didapakan data sebelum tindakan yaitu bising usus

5x/menit, tidak adanya defekasi. Setelah tindakan masase, didapatkan

data bising usus meningkat yaitu 5x/menit namun tetap tidak ada feses

yang keluar. Hari ketiga perlakuan pada pasien didapatkan data

sebelum perlakuan intervensi bising usus 6x/menit dengan tanpa

adanya defekasi dan setelah intervensi dilakukan didapatkan hasil

bising usus 8x/menit dengan tanpa adanya defekasi.

5. Evaluasi Keperawatan

Setelah dilakukan implementasi keperawatan, kemudian

dilakukan evaluasi dari tindakan tersebut yaitu mengenai efektifitas

tindakan masase abdomen untuk mengurangi masalah konstipasi pada

pasien SNH didapatkan hasil tidak adanya feses yang keluar. Masalah

keperawatan konstipasi belum teratasi namun sudah ada peningkatan

dalam kuantitas bising usus. Rencana selanjutnya adalah melakukan

manajemen konstipasi secara berkala yaitu masase abdomen dengan

pemberian lotion atau minyak selama 5-7 menit yang dilakukan sekali

dalam sehari. Namun, setelah dilakukan tindakan tersebut siang

harinya klien mengatakan sudah bisa BAB namun hanya sedikit.

B. Pembahasan

Hasil penerapan massage abdomen pada klien dengan masalah

konstipasi pada klien dengan SNH didapatkan bahwa tindakan tersebut

19
dapat mengatasi masalah konstipasi pada klien dengan SNH. Hasil

penerapan tersebut sesuai dengan penelitian Ginting (2015) dengan hasil

bahwa terdapat perbedaan frekuensi defekasi yang signifikan antara

kelompok massage abdomen dan kelompok tanpa massage abdomen

dengan p value = 0,015 (<0.05). Massage abdomen merupakan terapi yang

dapat meningkatkan tekanan intra abdomen (Lai, et al, 2010). Pada kasus -

kasus neurologi massage abdomen dapat memberikan stimulus terhadap

rektal dengan somato-autonomic reflex dan adanya sensasi untuk proses

defekasi dipercepat dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen

dan kontraksi pada otot-otot abdomen. Proses defekasi dapat dihambat

oleh kontraksi volunter otot-otot sfingter eksterna dan levator ani sehingga

secara bertahap dinding rektum akan rileks dan keinginan untuk

berdefekasi menghilang (Smeltzer & Bare, 2012). Penelitian ini diperkuat

dengan penelitian Doreen Mcclurg (2011) dengan hasil ada pengaruh

massage abdomen terhadap penurunan gejala konstipasi seseorang dengan

multiple sclerosis dengan nilai p value 0,003 (p< 0,05) yang dilakukan

terhadap 32 responden.

Mcclurg (2011) menyatakan bahwa konstipasi memiliki dampak

negatif pada kualitas hidup. Pijatan yang dilakukan sesuai anjuran dapat

mengurangi gejala konstipasi yang ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan

teori Yunding (2016) menjelaskan bahwa massage abdomen merupakan

teknik relaksasi yang dapat menstimulasi peristaltik usus sehingga dapat

mempercepat rearbsorbsi fases di kolon sehingga dan dapat meningkatkan

20
frekuensi buang air besar. Selanjutnya dari penelitian Suarsyaf (2015),

menyatakan bahwa massage abdomen dapat menjadi salah satu terapi

alternatif untuk pasien konstipasi karena dapat menstimulasi peristaltik,

menurunkan waktu transit kolon, meningkatkan frekuensi buang air besar

pada pasien konstipasi, dan mengurangi rasa tidak nyaman saat buang air

besar.

21
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang sudah dipaparkan oleh
penulis mengenai konstipasi pada klien dengan SNH dengan dilakukan
terapi massage abdomen. Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam didapatkan
hasil bahwa Tn.U mengatakan sudah dapat BAB setelah beberapa jam
dilakukan tindakan massage abdomen. Dan terjadi peningkatan bising usus
dari 5kali permenit menjadi 8 kali permenit yang artinya terapi tersebut
efektif untuk mengatasi masalah konstipasi pada klien dengan SNH.
B. Saran
1. Bagi Klien
Diharapkan setelah dilakukan penerapan intervensi massage
abdomen dapat menyelesaikan masalah konstipasi pada klien dengan
SNH atau pasien lain yang mengalami konstipasi dan meningkatkan
kenyamanan pada pasien selama mendapat perawatan di ruang
Yudistira. Selain itu diharapkan keluarga dapat menerapkan massage
abdomen untuk klien yang mengalami konstipasi.
2. Bagi Pelayanan Kesehatan/Rumah Sakit
Dengan adanya hasil dari implementasi masase abdomen untuk
pasien yang mengalami konstipasi di Ruang Yudistira RSUD KRMT
Wongsonegoro ini diharapkan bisa diterapkan di dalam ruangan untuk
mendapatkan hasil yang optimal dengan tindakan keperawatan mandiri
sebagai seorang perawat.
3. Bagi Penulis
Refleksi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penulis
sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya terkait dengan intervensi
keperawatan komplementer atau penatalaksanaan non farmakologi
pada pasien yang mengalami konstipasi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2012). Brunner & Suddarth: Textbook of medicaln
surgical nursing. 8th.Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. vol 3.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008). Brunner & Suddarth: Textbook of medical surgical
nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Rasyid, A., & Soertidewi, L. (2007). Unit stroke: Manajemen stroke secara
komprehensif. Jakarta: Bala Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).(2007). Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan,Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).(2013). Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan,Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2012). Profil kesehatan provinsi
jawatengah. http://www.Depkes.go.id.
Umah, K., & Syafi'i, A. (2014). Mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian
konstipasi pasien stroke.Journals of Ners Community, 5(2).
Ginting, Dameria., Agung., Lestari. (2015). Mengatasi Konstipasi pasien
Stroke dengan massage abdomen dan minum air hangat. Jurnal
keperawatan Indonesia. 18. 23 - 30.
McClurg, D., Hagen, S., Hawkins,S.,&Lowe-strong.(2011).Abdominal
massage for the alleviaton of constipation symtomps in people with
multiple sclerosis a randomized controlled feasibility study.17 (2). 223
-233.
Wilkinson, J, M & Ahern, N. R. (2012). Buku saku diagnosis keperawatan
: Diagnosis NANDA. Intervensi NIC, kriteria hasil NOC, ed. 9. Jakarta
: EGC.
Lamas K., Lindholm, L., Stenlund, H., Engström, B., & Jacobsson, C.
(2009). Effects of abdominal massage in management of
constipation—A randomized controlled trial.International journal of
nursing studies.46(6), 759-767.

23
Wijaya, A. S. & Putri, Y. M. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan: keperawatan teori dan contoh askep, 1st ed. Yogyakarta.
Nuha Medika. pp. 55 - 60.
Misbach, J. (2007). Pandangan Umum mengenai stroke, editor unit stroke:
Manajemen Stroke Secara Komprehensif.Jakarta : Balai Penerbit.
Arnaud, M.J. (2013). Mild dehydration : A risk factor of constipation.
European Journal of Clinical Nutrition. 57 (2). 588 - 595.
Doshi et al. (2013). Complication in stroke patiens. A Study carried out at
therehabilitation medicine service,changi general hospital. , Singapure
MedJ Vol 44 (12 ): 643-652.
Folden, S.L. (2009). Practice guidelines for the management of constipation
in adults. Rehabilitation nursing, 27 (5), 169–175.
Kelly KM. (2002). Post stroke Seizures and Epilepsy: Clinical studies and
animalmodels. Epilepsy Currents. 2(6): 173-177.
Muttaqin. (2011). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. (L.
Y. Rachman, H. Hartanto,A. Novrianti, & N. Wulandari, Eds.) (11th
ed.). Jakarta: EGC.
Brunner& Sudart. (2002). Buku Aiar KeperawatanMedikal Bedah,Jakarta :
EGC. 8 (2).
Liu, Sakakibara., T. Odaka., T. Uchiyama., T. Yamamoto., T. Ito., T.
Hattori (2005). Mechanism of abdominal massage for difficult defecation
in patient with myeolopathy. Journal of Neurology, 252, 1280–1282.
Hagen, M. c.-s. (2010). Abdominal massage to traet constipasion in people
withmultipelesclerosis. way Ahead , 15(2):10-11
Emly, M., Wilson, L., & Darby, J. (2010). Abdominal massage for adults with
learning disabilities. Nursing times, 97(30), 61-62.
Suarsyaf, Hani., Sumekar, Dyah. (2015). Pengaruh Terapi Pijat terhadap
Konstipasi. Majority. 4 (9).

24
25

Anda mungkin juga menyukai