DISUSUN OLEH :
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
TUGAS SAINTIFIKASI JAMU
TINJAUAN TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DARI BERBAGAI SISI :
TEORI DAN PRAKTIK
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
i
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS SAINTIFIKASI JAMU
TINJAUAN TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DARI BERBAGAI SISI :
TEORI DAN PRAKTIK
Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
KATA PENGANTAR
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Saitifikasi Jamu “Tinjauan
tentang Saintifikasi Jamu dari Berbagai Sisi : Teori dan Praktik” dengan baik dan lancar.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa atas Limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini;
2. Ibu Lestyo Wulandari, S. Si., M.Farm., Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Jember;
3. Ibu Lidya Ameliana, S. Si., Apt., M.Farm, selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jember;
4. Ibu Indah Yulia Ningsih S.Farm, M.Farm.,Apt, selaku Dosen Pembimbing PKPA
Saintifikasi Jamu yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan bimbingan,
petunjuk dan nasehat;
5. Orang tua, saudara, keluarga kami tercinta, serta rekan dan teman-teman yang
telah memberikan dorongan, nasehat, dan doa sehingga Penulis dapat
melaksanakan PKPA;
6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Angkatan IX Fakultas
Farmasi Universitas Jember, untuk perjuangannya bersama dalam suka maupun
duka, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis mengharapkan semoga ilmu dan pengalaman yang telah diperoleh selama PKPA
Saintifikasi Jamu di B2P2TOOT Tawangmangu dapat berguna bagi calon Apoteker untuk
terjun ke masyarakat dalam rangka pengabdian profesi dan makalah ini dapat bermanfaat
bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang saintifikasi jamu.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
RINGKASAN
vii
Pasien dapat dikeluarkan dari subjek penelitian (eksklusi) apabila saat pengobatan pasien
mengalami efek samping serius atau pasien mengalami komplikasi diluar dari penyakit yang
diteliti. Penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medis. Untuk pelaksanaan
penelitian dan ethical clearance dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pengembangan jalur obat tradisional terbagi menjadi tiga proses, yaitu proses
pertama zat aktif diambil dari tumbuhan obat. Proses kedua, tumbuhan obat yang biasa
disebut sebagai jamu digunakan oleh non-tenaga kesehatan, jamu biasanya digunakan di
pelayanan kesehatan tradisional. Jamu yang diperoleh dari non-tenaga kesehatan yang
memiliki khasiat baik dapat diangkat menjadi jamu yang bisa digunakan oleh tenaga
kesehatan dengan melalui tahapan penelitian. Kemudian proses ketiga, jamu yang berasal
dari tumbuhan obat digunakan oleh dokter atau rumah sakit kemudian tumbuhan obat
tersebut disebut sebagai jamu saintifik berdasarkan peraturan menteri kesehatan mengenai
penelitian dan pelayanan.
Standarisasi bahan baku menjadi salah satu titik kritis dalam bidang saintifikasi jamu.
Dalam upaya menyediakan bukti ilmiah yang terpercaya terkait mutu, keamanan, dan
manfaat obat tradisional (jamu) maka juga perlu dilakukan penjaminan mutu bahan baku
jamu. Standarisasi dan penjaminan mutu tersebut dilakukan mulai dari tahap pemilihan bibit
simplisia, pemilihan lokasi tanam, cara tanam, cara panen, waktu panen, pengolahan pasca
panen hingga produk tersebut sampai ke tangan masyarakat atau pasien. Adapun
standarisasi dan penjaminan mutu bahan baku dilakukan merujuk pada beberapa pustaka
yang sering digunakan dalam bidang saintifikasi jamu diantaranya adalah Vademekum
Tanaman Obat, Farmakope Herbal Indonesia, dan Materia Medika Indonesia yang diterbitkan
oleh Kementrian Kesehatan Indonesia.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang
Saintifikasi Jamu diklasifikasikan menjadi dua tipe klinik jamu yakni klinik jamu tipe A dan
klinik jamu tipe B. Kedua tipe klinik tersebut dibedakan dari 3 aspek yaitu aspek ruangan,
ketenagaan, sarana dan prasana yang digunakan. B2P2TOOT Tawangmangu termasuk ke
dalam klinik tipe A.
Pendirian Klinik Saintifikasi Jamu menurut PerMenKes Nomor 003 tahun 2010 pada
bagian kedua pasal 7 ayat (1) dapat diseleggarakan oleh pemerintah atau swasta. Beberapa
hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mendirikan klinik saintifikasi jamu adalah seperti
pemilihan lokasi pendirian klinik atau griya jamu saintifikasi jamu sebaiknya strategis agar
viii
mudah dijangkau oleh masyarakat, Ketenagaan yang meliputi Dokter sebagai penanggung
jawab, Apoteker dan Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan,
dokter dan apoteker tersebut harus mempunyai sertifikat pelatihan saintifikasi jamu. Selain
itu perlu dilakukan analisis SWOT yang meliputi kekuatan, kelemhan, peluang dan ancaman
bagi klinik saintifikasi jamu sebelum pendirian klinik Saintifikasi jamu, serta analisisis
keuangan untuk memperkirakan berapa jumlah dana yang dibutuhkan. Aspek keuangan,
meliputi Investasi dan modal kerja, serta Penilaian analisis keuangan (PBP, ROI, NPV, IRR,
BEP) yaitu analisa yang berkenaan dengan biaya operasional dan biaya investasi.
ix
BAB 1. PENDAHULUAN
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Melalui
penyusunan makalah ini, mahasiswa sebagai calon apoteker diharapkan mampu memahami
saintifikasi jamu secara teori dan praktiknya sehingga dapat berkontribusi dalam hal
peningkatan kualitas jamu yang berkhasiat sekaligus aman bagi masyarakat Indonesia.
1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah:
a. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam memberikan evidence based
medicine penggunaan jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan
b. Meningkatkan pemahaman mengenai peran dan fungsi apoteker dalam saintifikasi
jamu dan pengembangan pelayanan jamu pada fasilitas kesehatan tradisional
1.3 Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah:
a. Mahasiswa dapat mempraktikkan pelayanan klinis terkait obat tradisional
b. Mahasiswa dapat menetapkan keputusan profesi pada pekerjaan kefarmasian di
Saintifikasi jamu berdasarkan ilmu pengetahuan, standar praktik kefarmasian,
perundang-undangan yang berlaku, serta etika profesi.
BAB 2. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
bernama Willem Gerbrand Boorsma yang menjabat sebagai direktur Kebun Raya Bogor pada
tahun 1892 telah mampu melakukan isolasi bahan aktif dan membuktikan efek farmakologis
dari beberapa tanaman yaitu morfin, kinin, dan koka. Pada abad 19 pemanfaatan jamu di
Indonesia mulai dipublikasikan dalam bentuk buku yang ditulis oleh dr. Cornelis L.van der
Burg yang berjudul Materia indica, namun setelah ditemukannya teori baru tentang bakteri
serta sinar X oleh Pasteur maka pemanfaatan jamu mengalami penurunan secara drastis.
Penggunaan jamu dicetuskan kembali oleh dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno Sastroamijoyo pada
tahun 1930 melalui manfaatnya untuk tindakan preventif sekaligus sebagai alternatif
penggunaan obat konvensional yang mahal. Para dokter yang tergabung dalam organisasi
profesi IDI mulai tertarik untuk mempelajari seni pengobatan tradisional Indonesia setelah
mengundang pengobat tradisional untuk mempraktikkan teknik pengobatan tradisional
dalam acara konferensi yang mereka adakan pada tahun 1939, sehingga pada tahun tersebut
kemudian diadakan konferensi I yang membahass secara khusus mengenai jamu yang
bertempat di Solo (Webster, 2008).
Perkembangan jamu juga ditandai dengan didirikannya tiga pabrik jamu besar yakni
PT Jamu Iboe Jaya (1910), PT Nyonya Meneer (1919), dan PT Sido Muncul (1940), sehingga
pada tahun 1966 melalui konferensi II tentang jamu di Solo, para dokter sepakat untuk
kembali meningkatkan penggunaan jamu terutama bagi masyarakat Indonesia di tanah Jawa
setalah 2 dekade terlupakan akibat perang dunia II. Bentuk realisasi dari kesepakatan
tersebut yaitu mulai dibangunnya pabrik jamu di Jawa Tengah. Akibat mulai banyaknya
industri jamu, maka pemerintah berinisiatif untuk melindungi konsumen dengan
mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 246/MENKES/PER/V/1990 tentang Izin
Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional, sedangkan untuk
mengontrol peningkatan penggunaan dan pengawasan terhadap obat tradisional,
pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 584/MENKES/SK/VI/1995
tentang Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).
Pada abad 21 perhatian terhadap keberadaan jamu telah mengalami peningkatan
diantaranya yaitu banyaknya seminar yang membahas tentang jamu dan/atau obat
tradisional hingga diresmikannya jamu sebagai brand Indonesia oleh presiden Indonesia
secara langsung yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Mei 2008 di Istana
Merdeka. Tanggal tersebut juga sekaligus ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Jamu.
Peristiwa tersebut kembali mempengaruhi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan
mengenai pelayanan kesehatan tradisional yang terwujud dalam Undang Undang No.36
5
tahun 2009 tentang kesehatan. Adapun standar pelayanan yang digunakan mengacu pada
Standar Pelayanan Medik Herbal yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
121/MENKES/SK/II/2008 dan diiringi dengan dikeluarkannya Farmakope Herbal Indonesia
Edisi pertama berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 261/SK/IV/2009.
Perkembangan jamu yang terus meningkat dapat dilihat dari terjadinya kenaikan
persentase masyarakat Indonesia yang menggunakan jamu setiap tahunnya yaitu dari 35,7%
hingga 59,12% dan dari 85% hingga 95,16% (Kemenkes, 2010). Setelah pencapaian hasil
tersebut, maka pemerintah menilai perlu untuk menyiapkan sebuah program yang bertujuan
untuk membuktikan secara ilmiah bahwa jamu mampu untuk mengobati indikasi tertentu
sehingga dapat digunakan secara formal oleh tenaga medis yang sampai saat ini disebut
dengan Saintifikasi Jamu. Klinik Saintifikasi Jamu Rumah Jamu Hortus Medicus B2P2TOOT
merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan program
Saintifikasi jamu dan tertuang dalam Permenkes Nomor 003 tahun 2010.
2.2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT) Tawangmangu
2.2.1 Sejarah dan Perkembangan B2P2TOOT
Awal dari pembentukan B2P2TOOT adalah pendirian kebun yang berisi kumpulan
tanaman obat pada awal kemerdekaan di Tawangmangu oleh Raden Mas Santoso
Soerjokoesoemo pada awal kemerdekaan RI, untuk menjaga kelestariannya R.M. santoso
menghibahkan kebun tersebut kepada negara. Pada bulan April 1948 kebun tersebut diberi
nama “Hortus Medicus Tawangmangu” oleh pemerintah melalui Lembaga Ejikman.
Lembaga tersebut telah dilakukan pergantian berkali-kali mulai 1948 hingga 1978.
Pada tanggal 28 April 1978 dikeluarkan Kepmenkes nomor 149 tahun 1978 yang menjadikan
koleksi tanaman obat menjadi lembaga riset yang disebut dengan Balai Penelitian Tanaman
Obat (BPTO) sebagai UPT Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan RI. Tugas pokok dari badan tersebut yvitu menyelenggarakan riset tanaman obat
meliputi eksplorasi, adaptasi, dan budidaya, serta uji fitokimia tanaman obat. Pada
pertengahan tahun 2006 diterbitkan Permenkes nomor 491 tahun 2006 yang di dalamnya
berisi tentang peningkatan status kelembagaan BPTO menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT). Penggantian nama
tersebut mengamanatkan bahwa kegiatan riset yang dilakukan oleh B2P2TOOT juga sekaligus
mendukung upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Jamu di masa perkembangan selanjutnya kemudian dimasukkan dalam pelayanan
kesehatan formal melalui perilisan program Saintifikasi Jamu yang terdapat dalam dasar
hukum berupa Permenkes Nomor 003 Tahun 2010. Saintifikasi jamu merupakan riset
berbasis pelayanan untuk mendapatkan bukti ilmiah mengenai keamanan dan khasiat jamu
sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat maupun pelayanan kesehatan formal.
7
KEPALA
SUBBAGIAN
SUBBAGIAN
UMUM
KEUANGAN
Edwin Fajar S., MPH
Jamu adalah ciri khas dari kebudayaan Nusantara Indonesia yang dimanfaatkan
untuk pengobatan, pemeliharaan kesehatan secara turun temurun. Ramuan Jamu Saintifik
yang digunakan pada Rumah Riset Jamu “Hortus Medicus” adalah racikan simplisa, serbuk
dan juga ekstrak tanaman obat yang telah diteliti keamanan, mutu dan khasiatnya melalui
riset praklinik dan riset klinik. Jaminan keamanan dan mutu dari jamu didukung dengan cara
pembuatan simplisia yang baik, dimulai dari standarisasi benih/bibit, budidaya, panen,
pascapanen serta analisis mutu di Laboratorium Terpadu B2P2TOOT.
Pemanfaatan Ramuan Jamu Saintifik untuk memelihara kesehatan oleh masyarakat
sebagai upaya preventif, promotif dan kuratif, diharapkan dapat mengurangi pengeluaran
biaya kesehatan. Selain itu budaya minum jamu tidak boleh hilang karena merupakan
warisan nenek moyang yang harus dilestarikan.
Tanaman obat yang telah diteliti dan menjadi ramuan jamu yang
sudah terbukti secara ilmiah saat ini berjumlah 11 jenis yaitu ramuan jamu saintfik untuk :
1. Asam urat
2. Darah tinggi
3. Maag
4. Wasir
5. Radang sendi
6. Gangguan fungsi hati
7. Kolesterol
8. Kadar gula darah
9. Kebugaran jasmani
10. Penurunan berat badan
Daftar Jamu Saintifik untuk beberapa penyakit ditunjukkan pada Tabel 3.1.
Darah tinggi Herba seledri (Apium Alkaloid, Asam Diuretik dan Vasodilator
(Hipertensi ) graveolens) Amino, dengan blok kanal Ca
Flavonoid, (Tashakori-sabzevar dkk.,
Glikosida, Fenol, 2016)
Saponin, Steroid,
Tanin, Terpenoid
(Graveolens dkk.,
2018)
(Bagalkotkar
dkk., 2006)
Emodin kemungkinan
memberikan efek
antiobesitasnya dengan
mengatur jalur protein
pengikat unsur sterol
(SREBP) (Liu dkk., 2017)
Peraturan ini mengatur tentang beberapa hal terkait saintifikasi jamu yang terdiri
dari 6 bab. Pada bab 1 menjelaskan tentang pengertian dari saintifikasi jamu, jamu, obat
tradisional, tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, pengobatan komplementer-
alternatif, ilmu pengetahuan biomedik, sertifikat kompetensi, surat bukti registrasi tenaga
pengobatan komplementer-alternatif, surat tugas tenaga pengobatan komplementer-
alternatif, dan surat izin kerja tenaga pengobatan komplementer-alternatif. Sedangkan pada
bab 2 menjelaskan tentang tujuan dari pengaturan saintifikasi jamu, ruang lingkup saintifikasi
jamu dan sintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya dapat dilakukan atas permintaan
tertulis pasien sebagai komplementer alternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang
cukup.
Pada bab 3 menjelaskan tentang tempat dilakukannya saintifikasi jamu dalam
penelitian berbasis pelayanan kesehatan, seperti B2P2TOOT, klinik jamu, sentra
pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional (SP3T), balai kesehatan tradisional
masyarakat (BKTM)/loka kesehatan tradisional masyarakat (LKTM), dan rumah sakit yang
ditetapkan. Pada bab 3 ini juga dijelaskan bahwa klinik jamu terdiri dari tipe A dan B,
perbedaan dari keduanya yaitu pada persyaratan mengenai ketenagaan, sarana, dan
ruangan. Ketenagaan klinik jamu terdiri dari dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Dokter
harus memiliki surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP). Apoteker harus
memiliki surat tanda registrasi Apoteker (STRA) dan surat izin praktik Apoteker (SIPA). Dokter
dan Apoteker juga harus memiliki surat bukti registrasi sebagai tenaga pengobat
komplementer alternative (SBR-TPKA) dan surat tugas sebagai tenaga pengobat
komplementer alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA). Jamu hanya dapat diberikan setelah
mendapatkan persetujuan tindakan dari pasien. Persetujuan diberikan setelah pasien
mendapatkan penjelasan dan diberikan secara lisan atau tertulis sesuai dengan peraturan
perundamg-undangan yang berlaku. Tenaga kesehatan atau tenaga lain harus melakukan
pencatatan dalam rekam medis (medical record) yang dibuat berdasarkan pedoman
pelayanan jamu.
Dalam bab 4 menjelaskan tentang tentang Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan penelitian saintifikasi jamu berbasis pelayanan dilakukan oleh
Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, sedangkan pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu
di daerah dapat dibentuk komisi daerah saintifikasi jamu. Kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota dapat mengambil tindakan administratif kepada fasilitas pelayanan
kesehatan/tenaga pengobatan komplementer alternatif/tenaga pengobat tradisional yang
22
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan ini. Pada bab 5 menjelaskan bahwa
dalam jangka waktu 3 bulan setelah peraturan ini ditetapkan, kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota harus memfasilitasi pemberian surat tugas tenaga pengobatan
komplementer alternatif/surat izin kerja tenaga pengobatan komplementer alternatif (ST-
TPKA/SIK-TPKA). Sedangkan bab 6 menjelaskan mengenai ketentuan tempat dan waktu
mulai berlakunya peraturan. Peraturan ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari 2010
oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) .
4.3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013 tentang
Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional
Pada peraturan ini disebutkan bahwa program saintifikasi jamu melakukan
pengembangan sumber daya manusia dengan mendidik para dokter dan Apoteker yang akan
melaksanakan penelitian berbasis pelayanan tersebut di rumah sakit dan puskesmas,
membangun infrastruktur layanan kesehatan tradisonal dan menerbitkan Vademekum
Tanaman Obat. Ketersediaan BBOT (Bahan Baku Obat Tradisional) simplisia sangat
dibutuhkan, khususnya dalam program saintifikasi kamu yang akan dilaksanakan di seluruh
Indonesia. Setiap klinik Saintifikasi Jamu akan membutuhkan pasokan BBOT simplisia untuk
melaksanakan penelitian. Implikasinya adalah BBOT simplisia yang telah teruji khasiatnya
akan diperlukan oleh industri jamu dan para dokter dimasa mendatang.
Dalam penyusunan Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional
(BBOT), perlu dilakukan analisis permasalahan yang dihadapi. Analisis masalah dilakukan
dengan menggunakan metode yang berorientasi pada tujuan (objective oriented method).
Tujuan utama dirumuskan sebagai “mengembangkan kemandirian dan daya saing industri
obat tradisional nasional”. Analisis dilakukan melalui studi literatur dan diskusi terfokus pada
tujuan untuk menentukan masalah yang dihadapi dan membaginya kedalam sebab dan
akibat serta memilihnya pada aspek-aspek yang terkait dengan kebijakan, kelembagaan,
IPTEK dan pendanaan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a).
sekretaris, anggota bidang pra pelayanan (ketersediaan kontinuitas bahan uji dan distribusi)
dan anggota bidang pelayanan (penelitian berbasis pelayanan) (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013).
BAB 5. PERAN APOTEKER DALAM SAINTIFIKASI JAMU
Peran Apoteker dalam saintifikasi jamu belum dijelaskan secarra terperinici pada
Permenkes No. 03/2010 sehingga diperlukan peraturan yang menjabarkan peran Apoteker
saintifikasi Jamu yang komplementer sehingga dapat menjamin penelitian berbasis
pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan obat tradisional. Pada kegiatan saintifikasi jamu,
Apoteker dapat berperan dalam beberapa hal, yaitu (Aditama, 2014) :
1. Penerapan praktik kefarmasian;
2. Pengadaan jamu berkualitas;
3. Penyimpanan dan distribusi Jamu;
4. Pelayanan kefarmasian;
5. Pencacatan kefarmasian;
6. Pengembangan produk jamu saintifik menjadi bentuk sediaan yang praktis.
mampu menjadi bagian evidence base jamu yang dikembangkan oleh B2P2TOOT
(Purwadianto, dkk., 2017).
keluhan atau gejala, seleksi pasien mengikuti kriteria inklusi dan eksklusi, serta
outcome pengobatan yang ingin dicapai.
Jamu empirik distandarkan dengan menentukan dosis untuk sekali minum
dan juga dalam sehari, waktu penggunaan serta cara penyiapan mengikuti Cara
Penyiapan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) sehingga jamu empiris ini nantinya
layak menjadi bahan uji. Komponen variabel lain yang telah dibakukan juga
ditawarkan kepada praktisi pengobatan tradisional untuk digunakan. Data
observasi intervensi dapat memberikan informasi sebelum dan sesudah
penelitian dan tanpa pembanding. Analisis komprehensif serta kritis terhadap
data ini juga dapat menjadi data pendukung efikasi dan keamanan jamu dari studi
praklinik dan empirik (Purwadianto, dkk., 2017).
b. Uji Klinik Fase 1
Uji ini melibatkan orang sehat yang bertujuan untuk melihat profil
farmakologis (farmakokinetik dan farmakodinamik) dan toksisitas pada manusia
(human pharmacology and toxicity) (Siswanto, 2012).
c. Uji Klinik Fase 2
Uji klinik fase 2 bertujuan untuk melihat efek terapeutik awal dan keamanan
(therapeutic exploratory). Komisi Nasional Saintifikasi Jamu sepakat untuk uji
klinik fase 2 dalam rangka melihat efikasi awal dan keamanan, cukup
menggunakan pre-post test design (tanpa pembanding). Apabila pada uji klinik
fase 2 membuktikan efikasi awal yang baik, maka dapat dilanjutkan uji klinik fase
3 untuk melihat efektivitas dan keamanannya pada sampel yang lebih besar pada
target populasi yang sebenarnya (Siswanto, 2012).
d. Uji Klinik Fase 3
Uji klinik fase 3 bertujuan untuk melihat efektivitas dan keamanan
(therapeutic confirmatory) (Lee, dkk., 2005). Setelah uji klinik fase 3 menunjukkan
efektivitas yang baik untuk indikasi tertentu dan aman, barulah obat dapat
dipasarkan (dengan persetujuan Badan POM). Desain uji klinik fase 3 Jamu ini
sebaiknya menggunakan randomized trial meski tanpa ketersamaran (open label
randomized trial) (Siswanto, 2012).
e. Uji Klinik Fase 4
Uji klinik fase 4 bertujuan untuk mendapatkan tambahan data manfaat dan
keamanan yang lebih rinci dan lebih komprehensif. Uji pasca pemasaran termasuk
29
Dilakukan Penelitian
Suatu bahan baku obat tradisional atau jamu dapat berasal dari berbagai macam
tempat tumbuh, varietas, umur tanaman dan masa panen yang beragam. Dengan adanya
berbagai macam perbedaan tersebut maka akan berpengaruh terhadap variasi kandungan
kimia dan efek yang dihasilkan. Standarisasi bahan baku menjadi salah satu titik kritis dalam
bidang saintifikasi jamu. Dalam upaya menyediakan bukti ilmiah yang terpercaya terkait
mutu, keamanan, dan manfaat obat tradisional (jamu) maka juga perlu dilakukan penjaminan
mutu bahan baku jamu. Standarisasi dan penjaminan mutu tersebut dilakukan mulai dari
tahap pemilihan bibit simplisia, pemilihan lokasi tanam, cara tanam, cara panen, waktu
panen, pengolahan pasca panen hingga produk tersebut sampai ke tangan masyarakat atau
pasien. Adapun standarisasi dan penjaminan mutu bahan baku dilakukan merujuk pada
beberapa pustaka yang sering digunakan dalam bidang saintifikasi jamu, antara lain:
buku Materia Medika Indonesia yang telah terbit sejak lama. diantaranya sebagai berikut
(Departemen Kesehatan RI, 2008) :
a. FHI Jilid I : diterbitkan pada tahun 2008
b. Suplemen 1 FHI edisi 1 : diterbitkan pada tahun 2010
c. Suplemen 2 FHI edisi 1 : diterbitkan pada tahun 2011
d. Suplemen 3 FHI edisi 1 : diterbitkan pada tahun 2013
FHI berisi tentang ketentuan umum serta 70 monografi simplisia dan ekstrak
diantaranya sebagai berikut :
a. Identitas simplisia (pemerian, mikroskopis, senyawa identitas, pola kromatografi,
susut pengeringan, abu total, abu tidak larut asam, sari larut air, dan sari larut etanol
b. Kandungan kimia simplisia
c. Pembuatan ekstrak
d. Identitas ekstrak (pemerian, senyawa identitas, persyaratan kadar air, abu total, dan
abu tidak larut asam)
e. Kandungan kimia ekstrak dan penetapan kadarnya
jamu, ruang diskusi, ruang laboratorium sederhana, serta apotek jamu. Sedangkan sarana
yang dimiliki oleh Instalasi rumah riset jamu di B2P2TOOT terdiri atas ruang tunggu pasien
dengan prasarana berupa kursi tempat duduk, tempat administrasi, 6 ruang periksa, 6
tempat tidur, 1 ruang USG dan EKG, laboratorium klinik, dan griya jamu serta ditunjang
dengan fasilitas lain berupa mushola, kebun koleksi tanaman obat, kantin, kebun sayuran
organik, footstone therapy area, taman dan gazebo (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
8.3 Alur Pelayanan Pengobatan pada Apotek dan Klinik Saintifikasi Jamu
Alur pelayanan pada Apotek Klinik SJ secara umum hampir sama seperti pelayanan
di fasilitas kesehatan lain seperti di puskesmas dan rumah sakit. Aspek yang membedakan
Klinik Jamu dengan fasilitas kesehatan lain adalah waktu pendaftaran, kewajiban pasien
dalam menandatangani informed consent dan request consent, pengisian identitas pasien
secara lengkap, serta pengobatan jamu yang diperoleh. Jadwal prakteknya yaitu pada hari
Senin-Jumat (sabtu, minggu dan hari libur tutup) pada jam 08.30-11.30 dengan biaya
pendaftaran Rp 5.000 dan biaya penggantian jamu Rp 30.000.
Berdasarkan situs resmi B2P2TOOT, prosedur pelayanan di Rumah Riset Jamu Hortus
Medicus secara deskriptif sebagai berikut:
36
Pasien Pasien
baru Lama
Berkas rekam medis dimasukan dalam map antrian sesuai nomor urut.
Griya jamu adalah hilir dari pelayanan klinik jamu. Jamu yang digunakan berupa
racikan simplisia, serbuk dan ekstrak tanaman obat yang telah melalui uji kemanan, mutu
dan khasiat. Kegiatan yang dilaksanakan pada Griya Jamu meliputi skrining resep dan
penyiapan jamu, jamu yang disiapkan/disediakan dalam bebagai bentuk baik berupa kapsul
maupun rebusan. Dalam hal ini apoteker bertugas untuk melakukan skrining resep yang
berisi diagnosa dokter selanjutnya mempersiapkan jamu yang sudah terstandarisasi sesuai
dengan bentuk sediaan yang diinginkan (racikan/rebusan/kapsul). Jamu yang yang telah
dipersiapkan dikemas dan diberi etiket. Apoteker menyerahkan ramuan jamu sekaligus
memberikan edukasi mengenai cara penggunaan (merebus/aturan minum dan informasi lain
yang terkait jamu).
besar, akan lebih efektif jika dicuci dengan sistem bak bertingkat yang menerapkan konsep
air mengalir. Kotoran yang melekat pada bagian yang susah dibersihkan dapat dihilangkan
dengan penyemprotan air bertekanan tinggi atau dengan cara disikat (Kementrian
Kesehatan RI, 2011).
8.4.4 Penirisan
Penirisan dilakukan dengan tujuan mengurangi kadar air pasca pencucian. Untuk
mencegah terjadinya pembusukan produk sebaiknya simplisia yang telah dicuci ditiriskan
pada rak susun. Tahap ini dilakukan ditempat teduh dengan aliran udara yang cukup dan
sebaiknya simplisia dibolak-balik agar mempercepat terbebas dari air/terjadinya penguapan.
Setelah air dipastikan kering dan air di permukaan simplisia hilang, maka simplisia siap untuk
masuk proses perajangan (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
8.4.5 Perajangan
Perajangan merupakan kegiatan untuk mendapatkan ukuran produk yang lebih kecil
atau pengubahan bentuk dengan menggunakan alat/mesin. Sebagian jenis bahan
baku/simplisia seringkali harus diubah bentuknya terlebih dahulu menjadi irisan, potongan
atau serutan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kegiatan pengeringan, pengemasan,
penggilingan dan penyimpanan serta pengolahan, selain itu juga dimaksudkan untuk
memperbaiki penampilan fisik simplisia dan untuk pemenuhan standar kualitas (terutama
keseragaman ukuran) serta agar lebih praktis dan tahan lama dalam penyimpanan.
Perajangan harus dilakukan hati-hati, tidak boleh dilakukan terlalu tebal dan tidak boleh
terlalu tipis, karena jika terlalu tebal maka akan memperlambat proses penguapan dan bahan
jadi lebih mudah membusuk, sebaliknya jika terlalu tipis dapat mengakibtakna kandungan
menurun karena cairan dalam sel akan menguap secara keseluruhan, terutama pada
tanaman dengan kandungan minyak astiri(Kementrian Kesehatan RI, 2011).
8.4.6 Pengeringan
Untuk keperluan penyimpanan agar lebih praktis dan tahan lebih lama, perlu
dikeringkan terlebih dahulu untuk disimpan dalam bentuk simplisia kering. Pengeringan
bertujuan guna menghilangkan kadar air agar bahan tidak mudah rusak dan dapat
meningkatkan kualitas simplisia, menghentikan reaksi enzimatis, dan mecegah pertumbuhan
kapang, jamur, dan mikroba. Proses pengeringan dapat terjadi dengan dua cara, yaitu dengan
cara manual dan menggunakan oven. Pengeringan secara manual juga terdiri dari dua cara
yaitu dengan cara di angin-anginkan di tempat yang teduh serta tidak terkena cahaya
matahari secara langsung, dan ditutup kain hitam yang berpori besar, cara manual yang
39
kedua adalah dengan mengeringkan dibawah matahari langusng. Sistem ini dapat dilakukan
untuk bahanbahan yangbertekstur relaif keras dan mengandung senyawa yang stabil. Proses
pengeringan, juga dapat dilakukan dengan oven, cara ini biasanya digunakan untuk
pengeringan daun, rimpang, kulit dan batang selama 2-3 hari pada suhu 40-500C agar zat aktif
tidak rusak (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
8.4.7 Sortasi Kering
Sortasi Kering dilakukan secara manual yang bertujuan guna memisahkan kotoran,
bahan organik asing, dan pengotor fisik dan simplisia yang rusak akibat proses penanganan
sebelumnya.
8.4.8 Pengemasan
Pengemasan bertujuan untuk memproteksi produk saat pengangkutan, distribusi,
dan penyimpanan dari faktor luar yang dapat merusak/ menurunkan kualitas produk.
Kemasan yang digunakan dapat berasal dari bahan organik maupun non organik seperti dari
kertas, kayu, bambu atau menggunakan plastik, kaleng, dan alumunium foil. Setelah proses
pengemasan selesai, tahapan selanjutnya yaitu pemberian label. Tahapan pelabelan, terlebih
dahulu dilakukan pemeriksaan apakah produk sudah dikemas dengan baik dan benar-benar
di pastikan tidak ada cacat produk. Label produk berisi nama, bagian tanaman, asal tanaman
serta berat bersih, tanggal panen, tanggal simpan, status kualitas bahan.
8.4.9 Proses Penyimpanan
Penyimpanan bertujuan untuk mempertahankan kualitas dan kestabilan senyawa
aktif agar tetap memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkanselain itu juga sebagai
stok persediaan jadi harus tetap tersedia setiap saat bila diperlukan. Selama dalam
penyimpanan simplisia dapat mengalami kerusakan mutu karena beberapa faktor seperti:
cahaya, oksidasi, kelembapan, kontaminasi, serangga, dan tumbuhnya kapang (Kementrian
Kesehatan RI, 2011). Penyimpanan simplisia harus memenuhi kaidah FIFO "first in first out"
artinya adalah simplisia yang disimpan lebih awal harus digunakan terlebih dahulu.
8.4.10 Proses Distribusi
Distribusi bertujuan untuk menyalurkan barang dari tempat pennyimpanan menuju
ke konsumen. Saat ada permintaan dari klinik dan apotek saintifikasi jamu, simplisia yang
sudah siap di gudang penyimpanan langsung didistribusikan ke klini yang meminta. Di klinik
dan apotek tersebut akan dilakukan peracikan oleh apoteker sesuai dengan kebutuhan
pasien.
BAB 9. STRATEGI PENDIRIAN KLINIK DAN GRIYA JAMU
9.1 Pendahuluan
9.1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya dengan tanaman obat. Terdapat
sekitar 30.000 spesies tanaman obat, dimana 25% dari jumlah tersebut atau sekitar 7.500
jenis sudah diketahui memiliki khasiat herbal atau tanaman obat. Namun hanya 1.200 jenis
tanaman yang sudah dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan herbal atau jamu (PT. Sido
Muncul, 2015).
Kementrian Kesehatan telah memberikan terobosan berupa saintifikasi jamu dalam
upaya memberikan dukungan ilmiah (evidence based) terhadap jamu untuk dapat
dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan formal. Saintifikasi jamu adalah pembuktian
ilmiah dari keamanan dan khasiat jamu melalui observasi klinik yaitu penelitian berbasis
pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2010). Salah satu contoh pengembangan
saintifikasi jamu adalah yang dilakukan oleh Badan Litbangkes di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu, Jawa
Tengah yang telah berhasil mengembangkan ramuan tanaman obat yang terbukti secara
ilmiah
Berdasarkan hal tersebut, dalam upaya untuk mendukung terobosan pemerintah
terkait pengembangan saintifikasi jamu maka perlu dilakukan pendirian klinik dan griya jamu
di desa Jubung, Kabupaten Jember- Jawa Timur. Lokasi tersebut dipilih karena terdapat
Wahana Edukasi Tanaman Obat (WETO) milik universitas Jember yang dijadikan sebagai
sarana wisata berbasis edukasi. Selain menjadi sarana wisata dan edukasi, WETO juga
menjadi sarana yang mendukung penelitian dari berbagai disiplin ilmu yang ada di
Universitas Jember. Tercatat sekitar 200 jenis tanaman obat di lahan seluas 1 hektar tersebut.
Pendirian klinik saintifikasi jamu ini akan memberikan potensi bisnis yang cukup baik, karena
selain belum ada pesaing di daerah tersebut, pemilihan lokasinya juga menambah daya tarik
tersendiri bagi masyarakat.
9.1.2 Motto Klinik dan Griya Jamu
Motto kami adalah “Wujudkan Indonesia Sehat bersama Jamu”
42
pengelolaan, maupun pelayanan di klinik sehingga visi dan misi klinik dapat terlaksana. Klinik
BKTM Jember merekrut 6 karyawan dengan susunan sebagai berikut :
1) Dokter : 1 orang
2) Apoteker Pengelola Apotek (APA) : 1 orang
3) Petugas Laboratorium : 1 orang
4) Perawat : 1 orang
5) Administrasi : 1 orang
= 6.300.000
Perkiraan laba bersih = Rp 145.500.000
Persentase BEP
= 51,81 %
g. Kapasitas BEP
Kapasitas BEP = % BEP x jumlah lembar resep/tahun
= 51,81 % x (25 resep x 30 hari x 12 bulan)
= 4663 resep / tahun
= 388 resep / bulan
48
Lokasi Klinik BKTM Jember terletak di Jalan Brawijaya No. 108 Jubung, Sukorambi,
Kabupaten Jember berada di pinggir jalan yang dilalui banyak orang dan berada dekat dengan
pemukiman penduduk. Terdapat area Wahana Edukasi Tanaman Obat (WETO), hotel, dan
pertokoan.
9.5.2 Layout Klinik
Layout Klinik ditunjukkan pada Gambar 9.2 dan Gambar 9.3
Penanggung
Jawab Klinik
dr. Dian Ayu, M.kes
Administrasi
Aissa Dinar, S.E
Pelayanan Pelayanan
Medis Kefarmasian
Petugas
Dokter Perawat Apoteker
Laboratorium
dr.Dian Ayu, M.kes Ns. Diana Hanifiya, S. Kep Maghfirah Izzani, A.Md.A.K. Yesika Yuristi, S. Farm., Apt
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T. Y. 2014. Jamu & Kesehatan. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Andriati dan R. M. T. Wahjudi. 2016. Tingkat penerimaan penggunaan jamu sebagai alternatif
penggunaan obat modern pada masyarakat ekonomi rendah-menengah dan atas
society ’s acceptance level of herb as alternative to modern medicine for lower ,
middle , and upper class group. Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik. 29(3):133–145.
Angel, B. P. L., S. Tabin, G. Rc, K. An, dan G. Bansal. 2016. Biochemistry & pharmacology :
open access phytochemical analysis of wild and in vitro raised plants of rheum
species using hplc. Biochemistry & Pharmacology. 5(4)
Astuti, Y., A. U. Mulyo, dan Harminani. 2016. The effect of normal dose extract gempur batu
kejibeling ( bl) to the histological of rat‘s digestive tract. International Conference of
Medical & Health Sciences
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT).
2016. Profil Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Obat dan Obat Tradisional.
Karanganyar: Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Chai, T. dan F. Wong. 2014. Traditional and Folk Herbal Medicine Recent Research. india:
DAYA PUBLISHING HOUSE, NEW DELHI.
Chen, Y., C. Li, S. Duan, X. Yuan, J. Liang, dan S. Hou. 2019. Biomedicine & pharmacotherapy
curcumin attenuates potassium oxonate-induced hyperuricemia and kidney in fl
ammation in mice. Biomedicine & Pharmacotherapy. 118(May):109195.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia Jilid I. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Graveolens, A., B. Diffusa, dan C. C. Blume. 2018. Matrix science medica ( msm )
phytochemical and antioxidant screening of anacylus pyrethrum , cuscumis melo linn
, cuscumis sativus linn , daucus sativus , foeniculum vulgare , trachyspermum ammii
and theit effect on various human ailments. Matrix Science Medica. 2(2)
Hayani, E. M. 2006. Analisis kandungan kimia rimpang temulawak. Balai Penelitlan Tanarnan
Rempah Dan Obat,. 309–312.
Hendriani, R., E. Y. Sukandar, dan S. Sukrasno. 2014. In vitro evaluation of xanthine oxidase
inhibitory activity of sonchus arvensis leaves. (January):1–4.
Jantan, I. 2019. An insight into the modulatory effects and mechanisms of action of
phyllanthus species and their bioactive metabolites on the immune system. Frontiers
in Pharmacology. 10(August):1–19.
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Umum Panen Dan Pascapanen Tanaman Obat.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Vademekum Tanaman Obat Jilid III. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
53
Kemenkes RI. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013
Tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2016 Tentang Formularium Obat Herbal Asli Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Kim, M., C. Kim, Y. Song, dan J. Hwang. 2014. Antihyperglycemic and anti-inflammatory
effects of standardized curcuma xanthorrhiza roxb . extract and its active compound
xanthorrhizol in high-fat diet-induced obese mice. Evidence-Based Complementary
and Alternative Medicine. 2014
Kusmiati, K. dan D. Priadi. 2014. Analisa senyawa aktif ekstrak kayu secang ( caesalpinia
sappan l .) yang berpotensi sebagai antimikroba [ analysis on compound extract
secang wood ( caesalpinia sappan l .) as potential ... analysis on compound extract
secang wood ( caesalpinia sappan l . Teknologi Industri Hijau. (May 2014)
Lee, C. J., L. H. Lee., C. L. Wu, B. R. Lee. 2005. Clinical Trials of Drugs and Biopharmaceuticals.
Edisi pertama. London: CRC Press.
Liu, Yanfei, M. Sun, H. Yao, Yue Liu, dan R. Gao. 2017. Herbal medicine for the treatment of
obesity : an overview of scientific evidence from 2007 to 2017. Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine. 2017
M, A. H., Yusrin, dan H. Anggraini. 2009. Pengaruh frekuensi penggunaan teh daun
tempuyung kering (sonchus arvensis) terhadap daya larut kalsium oksalat (cac2oa).
Jurnal Kesehatan. 2:30–37.
Nagal, A. dan R. K. Singla. 2013. Herbal resources with antiurolithiatic effects : a review. Indo
Global Journal of Pharmaceutical Sciences. 3(1):6–14.
Ningsih, S. dan Churiyah. 2018. Evaluasi aktivitas inhibisi xantin oksidase dan kandungan
senyawa polifenol dari ekstrak sappan. BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA.
54
5(December):157–167.
Prywer, J. dan A. Torzewska. 2012. Effect of curcumin against proteus mirabilis during
crystallization of struvite from artificial urine. Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine. 2012(3)
PT. Sido Muncul. 2015. Delivering the vision - laporan tahunan pt. sido muncul, tbk tahun
2015. Jakarta: PT Sido Muncul
Pucci, N. D., G. S. Marchini, E. Mazzucchi, S. T. Reis, M. Srougi, dan W. C. Nahas. 2018. Effect
of phyllanthus niruri on metabolic parameters of patients with kidney stone : a
perspective for disease prevention. IBJU. 44(4):758–764.
Roy, A., M. L. Krishnan, dan N. Bharadvaja. 2018. Natural products chemistry & qualitative
and quantitative phytochemical analysis of centella asiatica. Natural Product
Chemistry and Research. 6(4):4–7.
Rukmantara, B., S. Putra, D. Kusrini, dan E. Fachriyah. 2013. Isolasi senyawa antioksidan dari
fraksi etil asetat daun tempuyung (sonchus arvensis l). Jurnal Kimia Sains Dan
Aplikasi. 16(3):69–72.
Siswanto. 2012. Saintifikasi jamu sebagai upaya terobosan untuk mendapatkan bukti ilmiah
tentang manfaat dan keamanan jamu. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.
15(2):203–211.
Suharmiati. 2012. Kajian Hukum Peran “ Apoteker ” Dalam Saintifikasi Jamu. Buletin
55
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36. Kesehatan. 2009. Jakarta: 13 Oktober 2009.