Anda di halaman 1dari 55

PENGEMBANGAN BAHAN BELAJAR INTERAKTIF DENGAN

INFOGRAFIS PADA MATERI INTERAKSI KERUANGAN DALAM


KEHIDUPAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN SISWA SMP KELAS VIII

Oleh:

Habib Syafi’udin

180121844007

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Pada bagian ini akan membahas pendahuluan yang mendasari penelitian


pengembangan ini. Adapun pembagian bagian ini terdiri atas : Latar belakang,
idenentifikasi masalah dan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan
pengembangan, spesifikasi produk yang dikembangkan, manfaat penelitian, dan
asumsi pengembangan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Pengembangan teknologi dan informasi hari ini telah memaksa para guru untuk
berinovasi dalam mengatur lingkungan belajar, karena pelajaran tidak lagi cukup efektif
jika disampaikan secara ceramah saja. Sementara itu, perkembangan infografis juga
menjadi fenomena yang popular dalam era modern ini, termasuk juga dalam dunia
Pendidikan. Infografis mulanya muncul pada buku Rosa Ursina Sive Sol Pada 1626,
sebuah karya Christoph Scheiner tentang rotasi matahari. Kemudian di tahun 1878
James Joseph Sylvester (1878) memperkenalkan istilah "Grafis" dalam majalah ilmu
pengetahuan alam untuk mengilustrasikan matematika dan ikatan kimia (Bicen &
Beheshti, 2017). Dalam bukunya, Mol menyatakan bahwa infografis adalah
representasi visual dari informasi, data, atau pengetahuan yang sering disertai dengan
teks (Mol, 2011). Ozdamili (2016) juga menyetujui adanya Infografis akan sangat
berguna untuk menyampaikan materi pelajaran berupa teks yang kompleks (Ozdamlı et
al., 2016), karena infografis memadukan gambar dengan informasi kompleks menjadi
lebih cepat dan jelas (Ru & Ming, 2014).

Keberadaan Infografis penting karena orang lebih tertarik pada visualisasi


berupa warna dan gambar (Naparin & Binti Saad, 2017). Visualisasi membuat siswa
berkesempatan membayangkan ide mereka dan memaknainya sendiri (Chen &
McGrath, 2005) lebih cepat, karena hampir 50 persen otak terlibat dalam pengolahan
gambar (Marieb & Hoehn, 2013). Penggunaan grafis dan gambar akan memikat dan
melibatkan siswa sebagai ‘pembelajar visual’ (Soehner & Johnson, 2018) sehingga

2
membantu penyampaian materi dengan lebih baik (Niebaum et al., 2015). Maka tidak
mengherankan jika visualisasi materi dalam pembelajaran adalah salah satu metode
yang paling sering digunakan oleh guru saat ini (Ozdamlı et al., 2016).

Setiap materi pembelajaran mempunyai tingkat kesukaran yang bervariasi.


Pemilihan media pembelajaran harus dilakukan oleh guru secara teliti dengan
mempertimbangkan kemampuan dan kondisi lingkungan belajar siswa agar materi
dapat sampai ke peserta didik secara efektif dan efisien. Sebagaimana kita ketahui Ilmu
Pengetahuan Sosial merupakan salah satu mata pelajaran yang bersinggungan langsung
dengan kehidupan sehari-hari. Sapriya menegaskan bahwa mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial didesain sebagai integrasi dari konsep disiplin ilmu humaniora,
sosial, sains, serta berbagai isu dan masalah sosial dalam masyarakat (Sapriya, 2009).
Lebih lanjut, Susanto mengemukakan bahwa tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial terbagi
menjadi empat, yaitu knowledge, skill, attitude, dan value (Susanto, 2014).

Sebagai contoh, adalah materi Interaksi Keruangan dalam Kehidupan di Negara-


Negara ASEAN pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII yang
keberadaaanya cukup penting saat ini. Saat ini, transformasi zaman telah mendorong
era baru dalam membangun ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat ASEAN.
Seluruh masyarakat didorong dalam sebuah integrasi internasional untuk lebih
memperluas hubungan dan kerjasama satu sama lain (Abdurofiq, 2014). ASEAN telah
berkembang menuju pasar bebas sejak 2015 lalu, sehingga menuntut adanya kesiapan
Indonesia tidak dalam ekonomi secara langsung, tetapi juga masalah sosial dan budaya.

Penting bagi pendidik untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik


untuk peka dalam menganalisis berbagai persoalan baru, sehingga mereka mampu
melihat berbagai potensi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang lebih kompetitif
(Kesuma, 2016). Disisi lain, dengan disepakatinya pembentukan ASEAN Community
maka kebutuhan untuk mengembangkan nilai-nilai kebersamaan perlu diwujudkan
(Yuniarti, 2018). Pengembangan daya saing dan rasa kebersamaan secara beriringan
akan lebih mudah disampaikan sebagai materi pembelajaran di sekolah. materi Interaksi
Keruangan dalam `Kehidupan di Negara-Negara ASEAN telah memadatkan berbagai

3
disiplin keilmuan sosial seperti Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, dan Geografi secara
kompleks.

Meskipun demikian, pelaksanaan pembelajaran IPS yang terjadi di kelas VIII


MTs Negeri I Malang masih banyak dilakukan secara tradisional. Pembelajaran jarang
melibatkan teknologi sebagai variasi dalam penggunaan media belajar mereka.
Padahal, penggunaan media belajar yang bervariasi dapat dilakukan dalam menciptakan
pembelajaran yang baik (Purmadi & Surjono, 2016). Pembelajaran IPS di kelas VIII
MTs Negeri I Malang masih cenderung mengunakan metode ceramah, tanya jawab
sederhana dan penugasan yang menjangkau ranah kemampuan C1-C3 saja, sementara
siswa diharapkan mampu menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills),
sikap dan nilai (attitudes and values), dan bertindak (action). Penggunaan metode
pembelajaran tersebut mengakibatkan siswa jarang diberikan kesempatan untuk
menemukan sendiri konsep-konsep pengetahuan yang diberikan. Selain itu, porsi
menghafal konsep dalam ranah C1-C3 pada pembelajaran IPS yang sangat kompleks
banyak memakan waktu, sehingga guru kesulitan mengembangkan inovasi lain.

Permasalahan berikutnya adalah bahwa mayoritas para guru IPS yang mengajar
di kelas VIII MTs Negeri I Malang (atau mungkin sekolah lain kebanyakan) adalah
guru IPS yang ‘dipaksakan’ dari salah satu latar belakang bidang mata pelajaran IPS,
sehingga hanya memiliki spesialisasi pada salah satu cabang pembelajaran IPS. Catatan
lain adalah siswa dan guru sering menganggap IPS sebagai mata pelajaran ‘nomor dua’
karena tidak termasuk mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional.Padahal,
seorang guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial hedndaknya berkompeten dalam
berbagai displin ilmu sosial. Bahkan, guru tersebut juga diharapkan mampu menjadikan
suasana belajar menjadi lebih aktif dan menarik, mampu meningkatakan keterlibatan
siswa, dan juga memotivasi mereka (Brophy et al., 2016).

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2019,
bahan belajar yang digunakan di kelas VIII MTs Negeri I Malang telah meninggalkan LKS
sebagai sumber utama dalam belajar, karena guru telah menyusun modul pembelajaran.
Siswa juga telah dilatih untuk mencari informasi sebelum dimulainya pelajaran, dengan

4
harapan proses pembelajaran menjadi lebih interaktif. Meskipun demikian, modul dan buku
pendukung lainnya yang disediakan oleh sekolah hanya memuat komunikasi satu arah dan
berisi ringkasan materi, kumpulan penugasan, dan latihan soal. Pola tersebut kurang
memberikan porsi keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values), dan
bertindak (action) sebagai tuntutan keberhasilan dari mata pelajara Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial. Akibatnya, banyak siswa kurang memahami konsep dan
mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah terhadap materi yang diajarkan.

Selain itu, modul yang digunakan tidak bersifat visual, melainkan banyak
bertumpu pada teks yang padat. Padahal, penemuan Wiroatmojo & Harjo (2002)
menyatakan jika daya serap pancaindera dalam proses belajar melibatkan 82%
penglihatan (Wiroatmojo & Harjo, 2002). Tampilan yang kurang menarik
mengakibatkan siswa merasa bosan dan sulit memahami materi. Oleh karena itu, perlu
sebuah bahan belajar yang lebih interaktif dan menarik dalam pembelajaran IPS di kelas
VIII MTs Negeri I Malang. Bahan belajar yang diperlukan hendaknya juga mampu
diakses siswa dan guru secara mandiri, sehingga dapat memangkas waktu belajar pada
ranah C1-C3 di kelas. Penggunaan bahan belajar yang lebih efektif akan memudahkan
guru dalam mengajar, sekaligus membuka kesempatan untuk lebih berinovasi dalam
menyampaikan materi.

Mengenai potensi, VIII MTs Negeri I Malang dapat dikategorikan sebagai


sekolah yang maju dan memiliki banyak fasilitas belajar. Berbagai macam peralatan
seperti LCD proyektor, komputer, dan laboratorium siap dipergunakan untuk
menunjang proses belajar siswa. potensi lainnya adalah banyaknya para pengajar yang
merupakan tenaga pendidik usia muda dan produktif, sehingga memungkinkan berbagai
terobosan baru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. MTs Negeri I
Malang juga didominasi oleh anak-anak cerdas yang antusias dalam belajar tentang hal
baru, sehingga suasana belajar dapat dengan mudah ditemukan dalam sekolah ini. Lebih
jauh, para siswa kelas VIII MTs Negeri I Malang pada umumnya telah terbiasa
bersinggungan dengan komputer, laptop, ataupun gadget dalam kegiatan mereka diluar
sekolah. mereka menggunakan berbagai perangkat tersebut untuk mengerjakan tugas

5
sekolah, belajar mandiri, atau sebagai sarana hiburan. Dengan berbagai kelebihan
tersebut, maka tidak mengherankan jika MTs Negeri I Malang dipandang sebagai salah
satu sekolah unggulan dalam lingkup Pendidikan menengah kota Malang.

Sementara itu, pertimbangan peneliti memilih materi Interaksi Keruangan


dalam Kehidupan di Negara-Negara ASEAN adalah: pertama, materi Interaksi
Keruangan dalam Kehidupan di Negara-Negara ASEAN masih banyak disampaikan
melalui narasi dan data sederhana, padahal pembelajaran materi ini memerlukan
visualisasi untuk mengubah keabstrakan menjadi lebih konkret. Kedua, keterbatasan
sumber belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Sumber belajar yang hanya
terpaku pada buku modul dari guru menjadikan kegiatan belajar berlangsung kurang
menarik, sehingga diperlukan adanya sumber belajar lain. Ketiga, secara umum sekolah
telah memfasilitasi kebutuhan belajar siswa baik melaui adanya perangkat belajar dan
laboratorium, namun mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki laboratoruim
yang berbeda. Laboratorium Ilmu pengetahuan sosial perlu melibatkan peran orang tua
dan masyarakat umum sebagai fasilitator siswa belajar diluar sekolah. Keempat, potensi
siswa dan kebiasaan mereka mengoperasikan perangkat komputer atau gadget dapat
dimanfaatkan sebagai sarana belajar mandiri.

Berbagai alasan yang diungkapkan di atas menguatkan adanya kebutuhan


pengembangan bahan belajar yang mampu memvisualisasikan materi Interaksi
Keruangan dalam Kehidupan di Negara-Negara ASEAN untuk siswa kelas VIII MTs
Negeri I Malang. Bahan belajar yang dikembangkan nantinya sebagai penunjang modul
yang telah disusun oleh para guru, yang juga diharapkan mampu memangkas waktu
belajar pada ranah C1-C3 di sekolah. Penggunaan bahan belajar juga akan memudahkan
guru dalam mengajar dan mengembangkan proses pembelajaran dalam kelas. Sehingga
pada akhirnya peneliti memilih pengembangan bahan belajar dengan infografis pada
materi Interaksi Keruangan dalam Kehidupan di Negara-Negara ASEAN untuk siswa
kelas VIII MTs Negeri I Malang.

6
1.2 Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat


diindentifikasi beberapa pemasalahan sebagai berikut:

1.2.1 Pembelajaran IPS di kelas VIII MTs Negeri I Malang masih berpusat pada
guru, yang mengakibatkan siswa pasif dan kesulitan memahami materi yang
disampaikan.
1.2.2 Minimnya inovasi bahan belajar yang digunakan oleh guru, karena hanya
memanfaatkan media cetak seperti modul dan buku lainnya dalam
pembelajaran.
1.2.3 Siswa membutuhkan bahan belajar yang mampu memvisualisasikan materi
agar lebih mudah dipahami.
1.2.4 Kurangnya waktu yang dibutuhkan oleh guru dalam merencanakan inovasi
belajar yang lebih aktif dan menyenangkan, akibat materi IPS yang terlalu
kompleks.
1.2.5 Beberapa guru bukan berasal dari jurusan IPS Terpadu, melainkan dari
berbagai disiplin ilmu sosial murni seperti; pendidikan ekonomi, pendidikan
sejarah, dan lainnya.
1.2.6 Mata pelajaran IPS dianggap sebagai pelajaran ‘nomor dua’, karena tidak
diujikan secara nasional

Dari uraian diatas dapat diketahui banyaknya masalah yang terjadi di kelas VIII
MTs Negeri I Malang dalam proses pembelajaran IPS. Oleh karena itu, penelitian ini
akan dibatasi pada masalah minimnya bahan belajar interaktif pada materi Interaksi
Keruangan dalam Kehidupan di Negara-Negara ASEAN. Sehingga adanya bahan
belajar interaktif berupa infografis tersebut nantinya mampu memvisualisasikan materi
yang disampaikan, sehingga dapat membantu siswa dalam mempelajari materi Interaksi
Keruangan dalam Kehidupan di Negara-Negara ASEAN.

Bahan belajar interaktif akan dibuat secara digital dalam aplikasi berbasis
smartphone untuk memberikan kesempatan belajar secara mandiri. Dengan bahan

7
belajar yang bersifat fleksibel dan menyenangkan tersebut, secara bersamaan juga
memberikan waktu lebih banyak bagi guru untuk mengembangkan materi menjadi lebih
menarik.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi berbagai permsalahan dan pembatasan masalah tersebut, maka


rumusan masalah penelitian ini adalah; Bagaimana bentuk bahan belajar interaktif dengan
desain infografis pada materi Interaksi Keruangan dalam Kehidupan di Negara-Negara
ASEAN untuk kelas VIII di MTs Negeri I Malang?

1.5 Tujuan Pengembangan


Adapun tujuan pengembangan penelitian ini adalah; Menghasilkan bahan belajar
interaktif berupa infografis untuk mata pelajaran IPS Terpadu pada materi Dinamika
Masyarakat untuk siswa kelas VIII MTs Negeri I Malang.

1.5 Spesifikasi Produk yang Dikembangkan

Adapun spesifikasi produk yang dikembangkan dalam penelitian ini memiliki


rincian spesifikasi sebagai berikut:

1.6.1 Spesifikasi Teknis


a. Produk bahan belajar dikembangkan untuk materi Interaksi Keruangan dalam
Kehidupan di Negara-Negara ASEAN pada kelas VIII MTs Negeri I Malang
sesuai dengan Buku Paket Kurikulum 2013 edisi revisi tahun 2018.
b. Produk bahan belajar interaktif merupakan kumpulan infografis yang dikemas
dalam bentuk digital yang mengkombinasikan beberapa konten text, gambar,
motion graphic, dan video.
c. Produk bahan belajar interaktif yang dihasilkan memiliki komponen berikut,
yakni halaman sampul, daftar isi, uraian materi, kuis, dan penugasan.
d. Bahan belajar interaktif dikemas menggunakan aplikasi berbasis Android
dilengkapi dengan buku petunjuk penggunaan dalam dokumen pdf.

8
e. Produk bahan belajar interaktif ini dikembangkan menggunakan software
pengolah kata, software pengolah gambar, website pengolah aplikasi dan
website pengembangan.
f. Semua konten pada aplikasi bahan belajar interaktif dijalankan secara online,
dan merupakan aplikasi yang berdiri sendiri dalam format .apk.
g. Produk bahan belajar interaktif dapat dijalankan pada spesifikasi minimal:
sistem operasi Android versi 4.2, RAM minimal 1 GB, dan memori
penyimpanan 450 Mb (Megabytes).
h. Bahan belajar ini memenuhi aspek kriteria kualitas materi pembelajaran dan
aspek media interaktif yang divalidasi oleh dosen ahli.
1.6.2 Spesifikasi Substansi
Spesifikasi substansi dalam bahan belajar ini berkaitan dengan pokok
pendalaman materi Interaksi Keruangan dalam Kehidupan di Negara-Negara
ASEAN yang merupakan materi semester I untuk kelas Siswa SMP Kelas VIII.
Uraian lengkap spesifikasi substansi bahan belajar adalah sebagai berikut :

a. Secara umum membahas tentang negara-negara ASEAN, mengenalkan


keadaan geografis dan sosial dalam negara anggota ASEAN dan mempelajari
interaksi hubugan yang terjalin.
b. Isi dari bahan belajar dimulai dengan Homepage (Halaman Awal), Tentang
Aplikasi, Materi Inti, Infografis dan Latihan.
c. Halaman Awal berupa judul bab, yakni Interaksi Keruangan Dalam Kehidupan
di Negara-Negara ASEAN
d. Tentang Aplikasi, merupakan bagian penjelasan tentang tombol navigasi
dalam aplikasi, Petunjuk penggunaan aplikasi, dan Informasi pengembang
e. Materi Inti, merupakan penjabaran setiap materi pokok dalam bab. Bagian ini
menyajikan materi secara langsung dalam bentuk teks, kemudian diikuti oleh
infografis terkait muatan materi pada bagian lain.
f. Konten Infografis yang dipilih merupakan rangkaian peristiwa penting, sisi
unik, dan informasi tambahan untuk memperkuat penyampaian
materi.pembahasan materi.

9
g. Berikut ini adalah beberapa konten infografis yang akan disampaikan, antara
lain;

 Tentang ASEAN dan sejarah berdirinya ASEAN (Sub-bab Mengenal


Negara-Negara ASEAN)
 Profil Negara-Negara Anggota ASEAN (Sub-bab Mengenal Negara-Negara
ASEAN)
 Tentang SEA Games (Sub-bab Interaksi Antarnegara-negara ASEAN)
 Bentuk kerja sama di bidang sosial dan budaya (Sub-bab Interaksi
Antarnegara-negara ASEAN)
 ZOPFAN sebagai bentuk kerja sama di bidang politik dan keamanan (Sub-
bab Interaksi Antarnegara-negara ASEAN)
 Program beasiswa sebagai bentuk kerja sama di bidang pendidikan (Sub-bab
Interaksi Antarnegara-negara ASEAN)
 Tentang MEA (Sub-bab Interaksi Antarnegara-negara ASEAN)
 Potensi sumber daya alam negara-negara ASEAN (Sub-bab Pengaruh
Perubahan dan Interaksi Keruangan terhadap Kehidupan di Negara-Negara
ASEAN)
 Perkembangan Teknologi dan Informasi negara-negara ASEAN (Sub-bab
Pengaruh Perubahan dan Interaksi Keruangan terhadap Kehidupan di
Negara-Negara ASEAN)

h. Latihan yang disisipkan pada materi bukan berfungsi sebagai evaluasi


pembelajaran, melainkan sebuah penugasan kelompok. Tujuannya adalah agar
siswa dapat menggali informasi mendalam dalam tentang materi yang telah
disampaikan, dan kemudian melakukan eksplorasi Bersama melalui diskusi
dalam kelas.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat pengembangan dari penelitian ini, antara lain;

10
1.7.1 Bagi siswa, sebagai alternatif sumber belajar yang dapat digunakan dalam
pembelajaran mandiri dimanapun.
1.7.2 Bagi guru, dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih bahan belajar
yang dapat membantu proses pembelajaran di kelas.
1.7.3 Bagi guru, dapat mempersingkat waktu pembelajaran pada ranah C1-C3,
sehingga dapat memberikan waktu lebih banyak untuk mengembangkan inovasi
strategi pembelajaran dalam kelas.
1.7.4 Bagi sekolah, dapat dijadikan referensi tambahan untuk pembelajaran di
sekolah.
1.7.5 Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan bahan belajar dan
penelitian selanjutnya.

1.7 Asumsi Pengembangan

Adapun asumsi pengembangan agar terlaksananya penelitian ini yaitu

1.8.1 Guru dan siswa telah memiliki kemampuan dasar dalam mengoperasikan
perangkat gadget berbasis Android.
1.8.2 Bahan belajar interaktif berupa infografis berbasis aplikasi untuk pembelajaran
IPS terpadu belum pernah digunakan oleh guru dalam pembelajaran.
1.8.3 Bahan belajar interaktif dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar
mandiri maupun bagian dari pembelajaran klasikal dalam kelas.
1.8.4 Sekolah sebagai uji coba produk belum menggunakan bahan belajar interaktif
digital berbasis aplikasi Android dalam pembelajaran.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan membahas tentang kajian teoritik yang mendasari
penelitian pengembangan ini. Adapun tinjauan pustaka yang dijelaskan secara rinci
antara lain meliputi: Mata Pelajaran IPS; Pembelajaran dan bahan belajar; Bahan belajar
Interaktif; Infografis; Teori yang Melandasi Pengembangan Infografis dalam
Pembelajaran; dan Pengembangan Bahan Ajar Interaktif dengan Infografis pada mata
pelajaran IPS dalam Perspektif Teknologi Pembelajaran.

2.1 Mata Pelajaran IPS


2.1.1 Pengertian Mata Pelajaran IPS
Sebagaimana kita ketahui, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
merupakan salah satu mata pelajaran wajib dalam pendidikan tingkat dasar
maupun tingkah menengah di Indonesia. IPS merupakan mata pelajaran dengan
cakupan pembahasan yang cukup luas, seperti halnya Bahasa Indonesia, IPA,
dan Matematika. IPS mempelajari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat
untuk kemudian menganalisa, menelaah dan menyimpulkan suatu fenomena
yang ada dalam masyarakat (Susanto, 2014). Selanjutnya, Trianto
mengemukakan IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial,
cabang ilmu sosial yang dimaksud adalah sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi,
politik, hukum dan budaya yang dirumuskan atas dasar kenyataan dan fenomena
sosial dan diwujudkan dalam suatu pendekataan interdisipliner dari berbagai
aspek dan cabang ilmu sosial (Trianto, 2010).
2.1.2 Tujuan Mata Pelajaran IPS

Mata pelajaran IPS telah dikenal sejak tahun 1975 di Amerika Serikat
dengan istilah Social studies, kemuadian berkembang dengan berbagai istilah
seperti social studies, social education dan social studies education. Robert Barr
menyatakan tujuan IPS (yang disebutnya Social studies) adalah ‘understanding
the world’. Hal itu mengartikan bahwa untuk memahami hal-hal di dunia yang

12
sangat kompleks adalah lebih dari sekedar mengetahui dan menghafal peristiwa
dan fakta (Barr, Barth, & Shermis, 1977). Selanjutnya Chapin dan Messick
menjabarkan beberapa tujuan mata pelajaran IPS, antara lain; Memberikan
pengetahuan pengalaman bermasyarakat pada masa lampau, masa sekarang dan
masa depan; mengembangkan kemapuan mencari dan menganalisa informasi;
Mengembangkan sikap demokratis; Menyediakan kesempatan pada siswa untuk
hidup bersosial dan berperan dalam lingkungan mereka; Pembekalan
kemampuan pemecahan masalah dan berfikir kritis; dan memahami hal -hal
yang bersifat konkrit dalam kehidupan sosial (Chapin & Messick, 1992).

Selanjutnya Wesley (dalam Sapriya, 2009) menyatakan bahwa “the


social studies are the 12 social sciences simplified for pedagodical purpose”.
Jadi, IPS menurut Wesley lebih mengarah kepada penyederhanaan ilmu-ilmu
sosial yang bertujuan pada kemampuan pedagogik (Sapriya, 2009). Peraturan
Mendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar Menengah
juga menyebutkan bahwa mata pelajaran IPS unutk kalangan SMP memiliki
tujuan-tujuan, yakni; mengenal konsep yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya; memiliki kemampuan dasara berfikir logis,
kritis, memecahkan masalah, dan kehidupan sosial; memiliki komitmen
terhadap kesadaran dan nilai-nilai sosial; dan memiliki kemampian
berkomunikasi, kerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat majemuk
tingkat lokal, nasional bahkan tingkat global.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa


pendidikan IPS disekolah merupakan mata pelajaran terpadu atau terintegrasi
dari berbagai disiplin ilmu sosial. IPS tidak hanya berfokus pada keterampilan
kognitf siswa, namun juga berupaya membimbing siswa untuk menjadi warga
negara yang baik, responsif, dan mampu menyelesaikan masalah di lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu, pembelajaran IPS sangatlah penting pada jenjang
sekolah, karena materi-materi di dalamnya dapat dikembangkan menjadi lebih

13
bermakna ketika siswa berada di lingkungan masyarakat di masa sekarang
maupun di masa yang akan datang.

2.1.3 Materi Interaksi Keruangan Dalam Kehidupan Di Negara-Negara


ASEAN
Mengacu pada kurikulum tahun 2013 yang digunakan di MTs Negeri
Kota Malang, Materi Interaksi Keruangan Dalam Kehidupan Di Negara-
Negara ASEAN merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran pada
semester genap. Materi ini disampaikan pada Bab 1 dengan rincian tiga sub-bab
penting di dalamnya. Materi ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada
siswa tentang berbagai gejala sosial pada lingkup ASEAN melalui pemahaman
konektivitas ruang dan waktu, aktifitas, dan interaksi sosial yang ada di
dalamnya. Selain itu, berbagai keragaman kondisi yang ada pada masing-masing
negara ASEAN merupakan potensi yang saling melengkapi untuk memenuhi
kebutuhan dalam proses pembangunan (Kemendikbud Republik Indonesia,
2017).
Berikut ini adalah tabel Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada
Materi Interaksi Keruangan Dalam Kehidupan Di Negara-Negara ASEAN
untuk kelas VIII di MTs Negeri kota Malang sesuai dengan kurikulum 2013
edisi revisi 2017;
Tabel 1.1 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Materi Interaksi
Keruangan Dalam Kehidupan Di Negara-Negara ASEAN

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar


(3) Memahami dan menerapkan (3.1)Menelaah perubahan keruangan
pengetahuan (faktual, konseptual, dan interaksi antarruang di
dan prosedural) berdasarkan rasa Indonesia dan negara-negara
ingin tahunya tentang ilmu ASEAN yang diakibatkan oleh
pengetahuan, teknologi, seni, dan faktor alam dan manusia
(teknologi, ekonomi,

14
budaya; terkait fenomena dan pemanfaatan lahan, politik) dan
kejadian tampak mata. pengaruhnya terhadap
(4) Mengolah, menyaji, dan menalar keberlangsungan kehidupan
dalam ranah konkret ekonomi, sosial, budaya, dan
(menggunakan, mengurai, politik.
merangkai, memodifikasi, dan (4.1)Menyajikan hasil telaah tentang
membuat) dan ranah abstrak perubahan keruangan dan
(menulis, membaca, menghitung, interaksi antarruang di Indonesia
menggambar, dan mengarang); dan negaranegara ASEAN yang
sesuai dengan yang dipelajari di diakibatkan oleh faktor alam dan
sekolah dan sumber lain yang sama manusia (teknologi, ekonomi,
dalam sudut pandang/teori. pemanfaatan lahan, politik) dan
pengaruhnya terhadap
keberlangsungan kehidupan
ekonomi, sosial, budaya, dan
politik.

Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang tertuang dalam tabel diatas
menunjukkan bahwa materi ini memerlukan adanya pengembangan bahan
belajar interaktif sesuai dengan karakteristik siswa di MTs Negeri I Malang.
Sehingga nantinya materi-materi yang didapatkan siswa di sekolah sesuai
dengan tujuan pembelajaran IPS, yakni berkembang dan bermakna ketika siswa
berada di lingkungan masyarakat di masa sekarang maupun di masa yang akan
datang.

2.2 Pembelajaran dan Bahan belajar

2.2.1 Pengertian Pembelajaran dan Bahan belajar

Sebegaimana diketahui, pembelajaran merupakan suatu proses


pemberdayaan potensi peserta didik yang penting untuk dicermati. Secara
singkat, Gagne (dalam Pribadi, 2009) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah

15
serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan untuk memudahkan terjadinya
proses belajar (Pribadi, 2009). Senada dengan itu, Komara menyebutkan bahwa
pembelajaran merupakan rangkaian proses memperoleh ilmu dan
pengetahuan, pembentukan sikap, tabiat serta kepercayaan siswa dengan
bantuan guru dalam lingkungan belajar (Komara, 2014).
Lebih lanjut, pembelajaran bertujuan untuk memberikan manfaat berupa
perubahan tingkah laku, penambahan pengetahuan serta dapat memberikan
ketrampilan. Schunk meyakini bahwa pembelajaran akan menghasilkan
perubahan perilaku yang bertahan lama, sebagai buah dari praktek atau
pengalaman lainnya (Schunk, 2012). Kegiatan pembelajaran melibatkan
berbagai komponen, yaitu peserta didik, pendidik dan sumber belajar pada
lingkungan belajar untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai. Oleh karena itu, keberadaan bahan belajar sebagai komponen pembantu
dalam kegaiatan pembelajaran telah menjadi kebutuhan saat ini.
Bahan belajar merupakan segala bentuk bahan yang digunakan untuk
membantu guru dan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, baik
secara tertulis dan tidak tertulis (Mudlofir, 2011), yang didalamnya tidak hanya
berisi materi, melainkan juga terdapat metode, batasan-batasan, dan cara
mengevaluasi yang didesain secara menarik demi tercapainya tujuan
pembelajaran (Widodo et al., 2008). Sehingga dapat dikatakan bahwa bahan
belajar merupakan suatu alat atau perantara yang berguna untuk memudahkan
proses belajar mengajar, dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru
dan siswa (Rahman et al., 2017). Keberadaan bahan belajar yang tepat akan
sangat membantu guru dalam mengajar dan memudahkan siswa menerima dan
memahami pelajaran.

Keberadaan bahan belajar juga mampu mempengaruhi hasil belajar


siswa (Effiong & Igiri, 2015), membantu guru dalam mengubah prilaku siswa
(Finch & Crunkilton, 1999), bahkan berdampak pada keberhasilan proses
mengajar. Oleh karena itu perlu dirumuskan secara baik agar mampu
mendukung terselenggarakannya pendidikan sesuai tujuan yang ada (Wijayanti

16
et al., 2015). Penting untuk diingat bahwa bahan belajar harus disusun secara
sistematis dalam upaya memfasilitasi belajar siswa mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran.

2.2.2. Prinsip Pemilihan Bahan belajar

Sebagai salah satu pilar keberhasilan pembelajaran, pemanfaatan bahan


belajar harus berdasarkan perancangan yang tepat. Pemanfaatan bahan belajar
diungkapkan oleh Sumiati menjadi dua pendekatan, yakni: 1). media by design
yaitu media pembelajaran atau bahan belajar yang dirancang, dipersiapkan, dan
dibuat sendiri oleh guru lalu digunakan dalam proses pembelajaran. Pendekatan
ini bisa jadi membutuhkan banyak biaya dan waktu dalam membuatnya. 2).
media by utulization yaitu media pembelajaran atau bahan belajar yang dibuat
oleh orang lain atau suatu lembaga/instritusi, sedangkan guru hanya tinggal
menggunakan atau memanfaatkannya (Asra, 2008).
Dalam menentukan bahan belajar guru tidak hanya bertumpu pada
pendekatan, melainkan juga mempertimbangkan prinsip pemilihan bahan
belajar. Saud memberikan beberapa prinsip bahan belajar yang patut dipenuhi
antara lain; 1) tepat guna, artinya bahan belajar yang dipilih sesuai dengan
kompetensi dasar, 2) berdaya guna, artinya bahan belajar yang digunakan
mampu memotivasi siswa untuk belajar, 3) bervariasi, artinya bahan belajar
tidak monoton dan mampun menyampaikan materi secara aktif dalam belajar
(Saud, 2009). Sihkabuden turut mengidentifikasi prinsip-prinsip media yang
menekankan pada proses identifikasi, antara lain; 1) identifikasi ciri-ciri media
yang diperhatikan sesuai dengan kondisi, unjuk kerja (performance) atau tingkat
setiap tujuan pembelajaran, 2) identifikasi kerakteristik siswa yang memerlukan
media pembelajaran khusus, 3) identifikasi karakteristik lingkungan belajar, 4)
identifikasi pertimbangan praktis, dan 5) identifikasi faktor ekonomi dan
organisasi yang menentukan kemudahan penggunaan (Sihkabuden, 2005).

2.2.3. Jenis -Jenis Bahan belajar

17
Jenis-jenis bahan belajar yang digunakan dalam penyampaian materi
pelajaran sangatlah banyak jumlahnya. Berbagai jenis media menurut Koyo
Kartasurya (dalam Sadiman 2009), digolongkan menjadi 1). Media visual
meliputi; gambar/tato, sketsa, diagram, charts, grafik, kartun, poster, peta dan
globe, 2) Media dengar meliputi; radio, magnetic, tape recorder, magnetic sheet
recorder, laboratorium bahasa, 3) Projected still media meliputi; slide, film strip,
over head projector, micro film, micro projector, dan 4) Projected motion media,
meliputi ; film, televisi, closed circuit television (CCTV), video tape recorder,
dan komputer (Sadiman, 2009). Sementara Bretz (dalam Hujair, 2009) memilah
bahan belajar atau media pembelajaran menjadi media siar dan media rekam,
sehingga terdapat delapan klasifikasi media, yakni: 1) media audio visual gerak,
2) media audio visual diam, 3) media audio visual semi gerak, 4) media visual
gerak, 5) media visual diam, 6) media semi gerak, 7) media audio, dan 8) media
cetak. Dari sekian banyak jenis bahan belajar, Bretz mengidentifikasi ciri utama
dari media tersebut menjadi tiga unsur pokok, yaitu suara, visual, dan gerak.
Visual dibedakan menjadi gambar, garis, dan simbol sebagai bentuk yang dapat
ditangkap dengan indera penglihatan (Sanaky, 2009).

2.3 Bahan belajar Interaktif

Dengan berbagai jenis bahan belajar yang ada, saat ini pemilihan bahan
belajar berbasis teknologi menjadi pilihan para g uru. Dengan munculnya
perangkat digital yang semakin terjangkau, penggunaan teknologi oleh siswa
dan guru juga terus meningkat (Hoekstra, 2009). Pemanfaatan teknologi telah
menawarkan beberapa keunggulan lebih bagi siswa, karena mereka dapat
melakukan pembelajaran mandiri, meningkatkan perhatian pada materi
pembelajaran, membuat pembelajaran menjadi peruasif, dan dapat mendorong
motivasi belajar kepada pembelajaran sepanjang hayat (longlife learning)
(Hernawan, 2017). Selain itu, Bahan belajar berbasis teknologi banyak dipilih
karena substansi pelajaran telah disusun secara runtut dan sistematis yang
dikemas dalam interaktif multimedia (Riwu et al., 2019).

18
Perkembangan bahan belajar teknologi untuk smartphone perlu
mendapat perhatian. Hal ini tidak terlepas banyaknya interaksi anak-anak
dengan smartphone dalam keseharian mereka diluar jam sekolah. Disamping
itu, sistem operasi smartphone di Indonesia mayoritas berbasis Android.
Android bersifat open lisence, sehingga memungkinkan siapapun untuk
mengembangkan berbagai aplikasi termasuk aplikasi pembelajaran. Data yang
di lansir pada situs gs.statcounter.com menunjukkan peningkatan yang sangat
pesat (49,86%) tentang penggunaan smartphone berbasis android dari 18,53%
per-agustus 2012 menjadi 68,39 % per-agustus 2015 (Putri & Muhtadi, 2018).
Sedangkan pada Desember 2019 jumlah pengguna smartphone di Indonesia
adalah 53,36%.

Potensi penggunaan teknologi menawarkan banyak kelebihan, salah


satunya adalah proses pembelajaran yang memungkinkan terjadi komunikasi
dua arah antara siswa dengan guru secara mudah dalam proses belajar.
Kelebihan inilah yang dikatakan sebagai fungsi interaktif, yang merupakan
hubungan dua arah yang dapat menciptakan interaksi dan komunikasi pada
suatu lingkungan (Harlen, 1992), sehingga guru dapat memberikan perintah dan
siswa mendapatkan perintah (Prastowo, 2015).

Selajutnya, pembelajaran yang berlangsung interaktif artinya mampu


melibatkan indra penglihat dan pendengar, sekaligus memuat perintah perintah
didalamnya secara simultan (Rahmat, 2015). Proses belajar yang memberikan
kebebasan bagi siswa dalam melihat, mengamati, mendengar dan melakukan
perintah akan memicu mereka untuk terlibat langsung dalam menggali
informasi. Dale membagi pengalaman belajar dari tingkat yang paling konkrit
ke tingkat yang paling abstrak. Jenjang pengalaman itu disusun dalam bagan
yang dikenal dengan nama Edgar Dale’s Cone of Experience (Dale, 1969).

19
Gambar 1 Kerucut Pengalaman Belajar Dale

Kerucut pengalaman belajar Dale tersebut menunjukkan bahwa siswa


belajar 10% dari apa yang dibaca; 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa
yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang
dikatakan, dan 90% dari apa yang dilakukan. Hasil ini menunjukkan bahwa
bahan belajar interaktif yang melibatkan beberaa indra berpotensi untuk
meningkatkan motivasi dan kemampuan belajar siswa hingga 50%.
Proses penyusunan bahan belajar interaktif yang baik haruslah
memenuhi beberapa prinsip, sebagaimana perincian Richard Mayer adalah
prinsip keragaman media yang dipergunakan, prinsip keterdekatan ruang
(keeratan hubungan teks dan gambar), prinsip keterdekatan waktu
(menyederhanakan tampilan materi), prinsip koherensi (menyingkirkan media
tambahan yang tidak terkait dengan materi), prinsip modalitas (tata letak teks
dan gambar yang lebih mudah dipahami), prinsip redundansi (penguatan), dan
prinsip perbedaan individual (penyampaian materi disesuaikan dengan
kebutuhan siswa yang berpengetahuan rendah) (Mayer, 2009). Penggunaan
beberapa prinsip Mayer diatas dalam pengembangan multimedia dapat
meminimalisir kesalahan yang menyebabkan bahan belajar kurang efektif,
sehingga penting diperhatikan (Milovanovic et al., 2013).

20
Pada penelitian ini, unsur interaktif dimasukkan dalam bahan belajar
agar dapat membangun lingkungan belajar yang baik lintas ruang dan waktu
melalui bantuan teknologi sesuai dengan karakteristik materi dan kebutuhan
siswa. Pengembangan bahan belajar interaktif akan dilakukan dalam bentuk
aplikasi android (.apk) untuk smartphone. Karena melibatkan teknologi dalam
pengembangan dan penerapannya, maka keterampilan yang dibutuhkan agar
terjadi proses komunikasi dalam belajar, siswa dan guru dituntut mampu
mengoperasikan peralatan semacam komputer dan gadget (smartphone).
Sehingga nantinya bahan belajar dapat dikontrol sendiri oleh siswa tanpa adanya
batasan raung dan waktu. Melalui aplikasi ini, siswa dapat lebih leluasa
berpindah antar halaman, membaca, dan memahami konten. Stansfield (2004)
menerangkan bahwa kontrol siswa selama aktivitas belajar dapat berupa
kecepatan, kedalaman belajar, rentang isi, dan waktu yang digunakan
(Stansfield et al., 2004).

2.4 Infografis

2.4.1 Pengertian Infografis

Memaksimalakan potensi bahan belajar interaktif dapat dilakukan


dengan cara memperkuat tampilan visual dalam menyampaikan materi.
Sekarang, orang-orang telah terbiasa menghabiskan 13,6 jam perhari mereka
didepan berbagai media yang mencengangkan (Short, 2013), sehingga
tampilan menjadi perhitungan yang tidak boleh dikesampingkan. Gambar yang
didesain dengan warna yang menarik dapat memberikan rangsangan kepada
otak dan dengan mudah ingat, karena hampir 50 persen otak terlibat dalam
pengolahan gambar (Marieb & Hoehn, 2013). Alasan lain adalah karena otak
manusia mampu memahami transfer informasi visual lebih efisien dan
permanen dibandingkan dengan informasi tertulis atau verbal (Dur, 2014). Jika
ditarik ke lingkungan pendidikan, tampilan gambar akan memikat dan
melibatkan siswa sebagai ‘pembelajar visual’ (Soehner & Johnson, n.d.), yang
juga membuat mereka berkesempatan membayangkan ide mereka dan

21
memaknainya sendiri materi yang disampaikan lebih cepat (Chen & McGrath,
2005). Sehingga, penggunaan grafis dan gambar akan membantu penyampaian
materi dengan lebih baik (Niebaum et al., 2015).
Istilah Infografis diperkenalkan oleh James Joseph Sylvester (1878),
yang mencantumkan kata "Grafis" dalam majalah ilmu pengetahuan alam
untuk mengilustrasikan matematika dan ikatan kimia. Konsep ini sebenarnya
telah muncul pada buku Rosa Ursina Sive Sol (1626) karangan Christoph
Scheiner tentang rotasi matahari (Bicen & Beheshti, 2017). Penyajian
informasi secara visual terus berkembang dan menjadi populer untuk
keperluan editorial pada akhir 1930-an dan awal 1940-an, dimana majalah
Fortune sangat sering menggunakannya. Sejak saat itu, infografis memiliki
penerapan yang lebih luas pada dunia pendidikan, penelitian,dan pemasaran
modern (Lankow et al., 2014).
Menurut Mol (2011) infografis adalah representasi visual dari
informasi, data, atau pengetahuan yang sering disertai dengan teks (Mol,
2011). Infografis juga dapat diartikan sebagai representasi visual dari
informasi, yang menggabungkan data dan desain dengan lebih baik daripada
data yang terdiri dari teks saja (Saptodewo, 2016). Shafipoor (2016)
berpendapat bahwa Infografis adalah visualisasi satu set data dan informasi
yang kompleks melalui elemen-elemen visual seperti gambar, grafik, peta, dan
diagram sehingga pesan yang disajikan lebih cepat dan mudah dipahami
(Shafipoor et al., 2016). Ungkapan serupa juga diberikan oleh Niebaum
(2015), bahwa infografis sengaja dirancang untuk menyajikan informasi
menggunakan kata, angka, simbol, warna, dan gambar, untuk menyampaikan
pesan kunci kepada pembaca (Niebaum et al., 2015), karena adanya infografis
yang memadukan gambar dalam informasi kompleks menjadikannya lebih
jelas untuk dipahami (Ru & Ming, 2014).
2.4.2 Prinsip dan Aspek Infografis
Infografis sebagai ilmu tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu desain
komunikasi visual, ilmu komunikasi, ilmu komputer grafis, interaksi hubungan

22
dengan manusia serta ilmu pengetahuan lainnya yang erat sebagai sumber
permasalahannya (Taufik, 2012). Sehingga penting untuk memperhatikan
prinsip-prinsip desain tertentu dalam menyusunnya, antara lain; kesederhanaan,
keterpaduan, penekanan, dan keseimbangan. Unsur-unsur visual yang
selanjutnya perlu perlu dipertimbangkan adalah bentuk, garis, ruang, tekstur,
dan warna (Arsyad, 2013). Selanjutnya Lankow merinci prinsip-prinsip
infografis juga disampaikan sebagai berikut (Lankow et al., 2014);

1) Prinsip Kemanfaatan
Sebuah infografis harus menerapkan pendekatan berdasarkan
kemanfaatan dalam pembuatannya. Hal ini dapat dimulai dengan
menentukan pendekatan eksplorasi dan pendekatan naratif dalam. Dua
pendekatan tersebut memiliki kemanfaatan masing-masing, yang terpenting
adalah tidak memandang pendekatan yang satu lebih unggul daripada yang
lain. Masing-masing memiliki ciri khas dan efektivitas dalam meraih tujuan
komunikasinya.

2) Prinsip Keistimewaan
Infografis yang bagus tentunya mampu mengomunikasikan sesuatu
yang bermakna bagi pembaca. Meskipun infografis dapat menjadi wahana
komunikasi yang dahsyat, namun jika disusun sembarangan akan menjadi
tidak berisi, meskipun terlihat menarik. Konten infografis harus
berhubungan dengan audiensi yang dimaksudkan, entah mereka sasaran
yang luas atau sasaran terarah. Oleh sebab itu sebuah infografis yang
istimewa adalah infografis yang memiliki makna dan integritas

3) Prinsip Keindahan
Ini merupkan aspek lain yang tidak perlu diabaikan, karena pada
dasarnya format dan mutu rancangan snagat mempengaruhi hasil akhir
infografis yang dibuat. Jika pada akhirnya infografis memberikan gambaran
yang keliru atau menyimpangkan informasi entah dengan sengaja atau
karena kesalahan, maka ini adalah kesalahan fatal.

23
Dengan memperhatikan prinsip infografis diatas, Lankow juga
menambahkan tiga aspek penting yang perlu diketahui (Lankow et al.,
2014),yakni;
a. Aspek Daya Pikat
Daya pikat merupakan aspek pertama mempertimbangkan apakah
sebuah infografis berhasil membuat orang untuk melihat dan tertarik pada
informasikan dalam waktu cukup lama, sehingga akhirnya mereka
mendapatka informasi yang disampaikan. Daya pikat dapat diciptakan
melalui rancangan visual dengan menggunakan ikon sederhana yang unik,
tata letak dan warna yang dipadukan secara harmonis.
b. Aspek Komprehensi
Aspek lainnya ialah komprehensi (pemahaman), yang
mempertimbangkan respon audiens saat melihat sebuah infografis pertama
kali. Peranan gaya komunikasi verbal seperti misalnya pemilihan kata
dalam infografis perlu diperhatikan dan dibuat sesuai target audiens yang
dituju. Lebih dari itu, aspek ini juga melihat kesesuaian konten dengan
sasaran pembaca melalui analisis terlebih dahulu.
c. Aspek Retensi
Aspek retensi yaitu visualisasi yang membantu audiens mengingat
informasi yang telah disampaikan dalam media infografis. Aspek ini
merupakan cukup penting karena berkaitan dengan kemampuan infografis
menyampaikan pesan sebagai informasi akurat dalam membangun
pengetahuan.

Keberadaan prinsip dan aspek infografis sangat penting dalam


menyusun infografis. Dengan mempertimbangkan berbagai prinsip dan aspek
tersebut, maka nantinya gambar dalam infografis memiliki kekuatan untuk
memikat perhatian audiens yang tepat, membangkitkan imajinasi dari data,
memperjelas problem yang rumit, memberi pengertian, bahkan
mempresentasikan apa yang kita gagas (Taufik, 2012).

24
2.4.3 Karakteristik Infografis
Dalam menyusun sebuah infografis yang baik dan efektif, sangat diperlukan
Analisa kebutuhan dan target sasaran pembaca. Secara lengkap Niebeum memaparkan
beberapa karakteristik dari infografis yang efektif, antara lain sebagai berikut (Niebaum
et al., 2015) ;
1) Menceritakan pesan yang bermakna
Informasiyang disampaikan dalam infografis merupakan pesan yang
relevan dengan kebutuhan sasaran, yang kemudian dapat ditindaklanjuti
menjadi pengetahuan baru untuk mereka. Keberadaan infografis bukan sebagai
bentuk kreatifitas seniman untuk mempercantik tampilan, melainkan untuk
menyampaikan peristiwa secara memikat dan melekat berdasarkan data yang
akurat (Cairo, 2012). Jika infografis yang disajikan menjelaskan urutan
peristiwa, maka hendaknya dapat membawakan narasi cerita dan menjawab
pertanyaan what, who, why, when, where, dan how dalam isinya.
2) Kompleks dan dapat dipertanggung jawabkan
Keberadaan infografis dalam menyajikan informasi yang kompleks
dengan jelas haruslah berbasis bukti atau temuan penelitian. Hal ini menjadi
penting mengingat pesan yang disampaikan seringkali didukung oleh organisasi
terkemuka atau disajikan dalam publikasi akademik. Daftar materi referensi di
akhir Infografis juga perlu memberikan kredit kepada sumber berita (termasuk
gambar, situs web, artikel jurnal, buku, video, dll.)
3) Menarik dan inovatif
Tampilan dalam infografis menjadi senjata yang digunakan untuk
memperkuat pesan yang akan disampaikan, bukan sebaliknya. Gambar
infografis dengan ilustrasi objek yang biasa dikenali manusia lebih memikat dan
meningkatkan daya ingat pembaca daripada gambar sederhana yang
membosankan (Borkin et al., 2013). Selain itu, penting untuk memperhatikan
tata letak, gambar dan warna yang harmonis sehingga pembaca dapat
menemukan pola untuk memahami informasi. Biasanya infografis yang baik
menampilkan informasi yang paling penting di sudut kiri atas dan yang paling

25
kurang penting di sudut kanan bawah (gaya membaca dari kiri ke kanan).
Gambar, grafik, dan ilustrasi dirancang untuk memperjelas pemahaman tentang
topik, namun focus utama tetaplah isi informasi.
4) Daya Jangkau Infografis
Hal ini mungkin terdengar sepele, namun kenyataannya sangat penting.
Infografis perlu dibuat dengan memperhatikan kemudahan pembaca untuk
mengkasesnya, baik cetak maupun online.

2.4.4 Jenis Infografis


Karya Infografis dapat melatih kemampuan siswa dalam mencari
informasi, belajar mandiri, berpikir sistematis, mencari metode solusi
fungsional, dan melakukan kerja tim (Dur, 2014). Oleh karena itu, dalam
menyusun infografis, juga perlu diketahui berbagai macam jenis infografis
untuk menyesuaikan konten yang akan disampaikan dengan sasaran dan
kebutuhan pembaca. Yuvaraj membagi jenis-jenis infografis berdasarkan tujuan
dibuatnya, yaitu sebagai berikut (Yuvaraj, 2017);
1) Mixed Chart, merupakan perpaduan gambar dan diagram untuk
menggambarkan suatu informasi. Mixed chart biasanya digunakan untuk
laporan bisnis dan statistik
2) Information / List, merupakan teks informasi yang dipadukan dengan
ilustrasi, gambar, ikon, dan skema warna yang atraktif untuk mendorong
pesan ke pembaca.
3) Timeline, merupakan teks informasi dan gambar yang menceritakan sebuah
urutan kisah. Jenis ini biasanya dapat berupa poin-poin dalam
menjembatani peristiwa menjadi bentuk kronologis yang runtut.
4) How to, merupakan teks informasi dan gambar yang bertujuan
menunjukkan suatu proses atau langkah-langkah.
5) Process, Hampir sama dengan jenis How-to, tetapi jenis ini mengacu khusus
pada deskripsi suatu proses atau bisa juga disebut diagram alur atau
decision-tree.

26
6) Comparison, merupakan jenis Infografis yang digunakan untuk
membandingkan antara dua atau lebih produk, orang, ide, acara, atau
tempat.
7) Location, merupakan infografis yang bertujuan untuk mengkomunikasikan
tren atau data di suatu wilayah secara visual.
8) Photography, merupakan kombinasi antara gambar dengan berbagai
elemen grafik seperti bagan, ikon atau teks. Gambar ini harus memiliki
kualitas yang tinggi untuk mendapatkan hasil yang eye-catching.
9) Hierarchic, merupakan infografis yang mengatur informasi menurut
tingkatannya.
Yuvaraj juga membagi berbagai jenis infografis berdasarkan isi konten
yang dimuat didalamnya. Infografis dengan konten case study, merupakan jenis
infografis yang berguna untuk suatu topik dengan pertanyaan spesifik, yang
kemudian disebarluaskan ke sekelompok orang. Infografis bisa juga memuat
konten kronologis, yang merupakan jenis infografis yang memuat topik sejarah
dan perlu diilustrasikan untuk menjelaskan kisah atau cerita secara runtut.
Bentuk infografis yang lain adalah data visualitation, merupakan infografis
yang mengubah informasi menjadi kreatif dan unik dengan skema warna,
ilustrasi atau bahkan platform suara untuk informasi tambahan (Yuvaraj, 2017).
Lankow membagi jenis infografis dari cara penyimpananya, yaitu
Infografis statis, adalah infografis yang ditampilkan dalam format diam atau
gambar informasi tetap. Interaksi pengguna mencakup melihat dan membaca
informasi yang tercantum. Inovasi lain dari bentuk infografis adalah adanya
Infografis bergerak, yang mampu menampilkan informasi bergerak secara
bertahap dalam satu konten. Biasanya jenis infografis ini juga dilengkapi
bentuk audio, sehingga audiens dapat menikmati narasi yang disajikan dalam
bentuk linier (Lankow et al., 2014).
Bentuk terakhir adalah Infografis interaktif, yang merupakan bentuk
paling kompleks. Infografis interaktif berisi tentang informasi yang akan
disampaikan dalam jumlah yang banyak, sehingga bisa dibilang infografis

27
ini merupakan gabungan antara infografis statis dan infografis bergerak
(Lankow et al., 2014) (Yuvaraj, 2017). Kelebihan lain dalam mengoperasikan
infografis interaktif, pengguna memiliki kebebasan memilih informasi,
sehingga perlu diperhatikan tata letak, pengatuaran dan cakupan informasi yang
luas (Deden Maulana et al., 2017).

2.4.5 Langkah-langkah pembuatan Infografis


Dalam membuat infografis, perlu memperhatikan beberapa langkah
praktis dengan mempertimbangkan data-data dan tujuan. Sehingga nantinya
hasil infografis bukan hanya berdasarkan intuisi pembuat, melainkan juga sesuai
kebutuhan dalam penyampaian informasi. Yudhanto memberikan beberapa
langkah dalam menyusun sebuah infografis (Yudhanto, 2007), yaitu;
1) Memilih topik, yaitu menggali informasi tentang apa yang sedang menjadi
pembicaraan di masyarakat untuk diolah menjadi data awal.
2) Melakukan riset, yaitu mencari sumber-sumber data yang akurat tentang
topik yang dipilih.
3) Mendapatkan data, yakni mengumpulkan sumber-sumber data dari buku,
Internet dan sumber-sumber internal
4) Menganalisis data, yakni tahapan mempelajari, membaca dan mengartikan
data yang didapatkan.
5) Membuat narasi, yaitu membangun alur cerita dan rangkaian peristiwa
penting berdasarkan dari data yang didapat.
6) Membuat sketsa/wireframe, merupakan proses brainstorming dan membuat
berbagai sketsa visual infografis secara kasar.
7) Editing, yaitu mengedit format dan menyusun tampilan data untuk dimuat
ke dalam bentuk visual yang lebih menarik.
8) Mendesain, merupakan proses mengintegrasikan konsep visual dengan
berbagai hasil olahan data yang telah disusun, sehingga menciptakan
perpaduan visualisasi data yang kompleks dan menarik.

28
9) Melakukan pengujian, yaitu melakukan validasi terhadap hasil infografis
yang telah disusun kepada para ahli atau kelompok kecil.
10) Penyempurnaan, yaitu melakukan perbaikan berdasarkan ujicoba yang telah
dilakukan.
Proses penyusunan infografis berdasarkan langkah-langkah diatas
hendaknya juga memperhatikan beberapa tips dari Yuvaraj berikut, sehingga
hasil infografis yang didapatkan menjadi baik. Beberapa tips tersebut antara lain
melakukan proses identifikasi ide dan sasaran untuk kemudian diungkapkan
dalam infografis kasar, menjaga tampilan infografis tetap sederhana, cantik dan
tetap terfokus, menyusun Infografis dengan format panjang dan ukuran yang
sesuai, memasang judul yang menarik perhatian, memperhatikan aliran
informasi yang disampaikan dalam infografis, dan memeriksa fakta dan angka
untuk akurasi data dalam infografis (Yuvaraj, 2017).

2.5 Teori yang Melandasi Pengembangan Infografis dalam Pembelajaran


Dalam pengembangan bahan belajar interaktif dengan desain infografis
berkaitan erat dengan landasan teori-teori belajar. Teori belajar perlu
dipertimbangkan sebagai pedoman pengembangan bahan belajar agar nantinya
produk yang dihasilkan tepat sasaran dan sesuai dengan pola berfikir siswa.

a. Teori Kognitif
Teori kognitif mempercayai bahwa ilmu pengetahuan dibangun
dalam diri siswa melalui proses interaksi yang berkelanjutan dengan
lingkuan mereka. Belajar merupakan suatu usaha untuk mengerti suatu hal
baru yang dilakukan secara aktif oleh siswa, sehingga penting untuk
melibatkan mereka seacara langsung.
Teori kognitif menurut Piaget merupakan proses belajar terdiri dari
tiga langkah yaitu asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Asimilasi adalah
suatu pengetahuan baru yang diintegrasikan ke struktur yang sudah ada
sebelumnya. Akomodasi adalah proses menyesuaikan struktur kognitif

29
siswa apabila berhadapan dengan stimulus baru. Sedangkan equlibrasi
adalah menyesuaikan keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi.
Piaget juga membagi perkembangan kognitif siswa dalam beberapa tahap
berdasarkan rentang usia mereka (Piaget, 1964), yakni ;
1) Tahap sensorimotor (0 – 2 tahun)
2) Tahap praoperasional (2 – 7 tahun)
3) Tahap operasional konkret (7 – 11 tahun)
4) Tahap operasional formal (11 – 15 tahun)
Penyesuaian proses belajar siswa akan berbeda berdasarkan tahap
perkembangannya. Pada usia 11-15 tahun misalnya, siswa telah dapat
berpikir abstrak, melakukan dan menguji hipotesis, menganalisis masalah
dan lain sebagainya. siswa juga sudah mampu memikirkan hal-hal yang
lebih fleksibel, lebih menyukai hal-hal yang berupa symbolic, dan juga
mampu berfikir logika dan deduktif (Gray & MacBlain, 2015).
Dalam penyususnan bahan belajar juga perlu mempertimbangkan
asumsi-asumsi yang mendasari teori kognitif tentang pembelajaran
menggunakan multimedia (Mayer, 2009), antara lain;
1) dual-chanel, merupakan asumsi yang menganggap bahwa manusia
memiliki saluran terpisah dalam memproses informasi visual dan
informasi auditori
2) limited-capacity, merupakan asumsi yang menganggap bahwa
manusia punya keterbatasan memproses sejumlah informasi secara
bersamaan;
3) active-processing, merupakan asumsi yang berpandangan bahwa
manusia melakukan pembelajaran aktif dengan memilih informasi,
kemudian mengorganisasikan informasi dan memadukannya dengan
pengetahuan lain.
Dengan memperhatikan tahapan perkembangan kognitif siswa dan
asumsi teori kognitif dalam multimedia diatas, maka penyusunan bahan ajar
menjadi lebih terarah dan efektif. Pemilihan kata-kata yang relevan dalam

30
bahan belajar akan disesuaikan dengan visualisasi dalam bentuk infografis,
sehingga menjadikan presentasi yang menarik. Narasi dalam bahan belajar
juga menuntut adanya analisis dari siswa untuk menggali informasi dan
mengembangkan pengetahuan mereka.

b. Teori Konstruktivistik
Teori konstruktivistik menganggap ilmu pengetahuan bersifat
sementara, dan terkait dengan perkembangan sosial maupun kultural,
sehingga cenderung bersifat subyektif. Menurut teori konstruktivistik,
siswa akan membangun sendiri pengetahuannya melalui berbagai
pengetahuan yang telah dibangun sebelumnya. Pengetahuan akan
senantiasa mengalami perubahan karena adanya pemahaman-pemahaman
baru yang ditemukan dalam proses belajar. Itulah sebabnya, teori
konstruktivistik mendukung adanya proses belajar yang pasti dilakukan
siswa secara mandiri dimanapun dan kapanpun.
Pembelajaran konstruktivistik lebih diutamakan untuk membantu
siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi
informasi baru (Santyasa, 2007). Tasker mengemukakan tiga penekanan
penting dalam teori belajar konstruktivisme yakni melalui adanya peranan
aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna, karena
pembelajaran berpusat pada siswa, adanya kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna dalam menyampaikan pengetahuan
baru, dan mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima
tanpa merubah struktur pengetahuan (Muhammad & Arif, 2011).
Selanjutnya Simon menyatakan bahwa terdapat lima kompenen
dalam teori belajar konstruktivistik yang berkaitan dalam pertimbangan
penyusunan bahan belajar (Ivers & Barron, 1998), pertama adalah Active,
artinya penyajian materi dilengkapi dengan sarana yang melibatkan terlibat
siswa aktif dalam menggunakan bahan belajar interaktif, kedua adalah
Comulative, bahan belajar memiliki kemampuan dalam menghubungkan

31
pengetahuan saat ini dengan ide baru melalui berbagai format. Ketiga yakni
Integrative, berarti materi kompleks yang disampaikan dalam bahan belajar
dikemas menarik dengan cara-cara baru dalam lingkungan belajar siswa.
selanjutnya adalah Reflective, artinya bahan belajar juga berisikan konten
untuk mengukur kemampuan siswa. terakhir adalah Goal-directed, yaitu
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang jelas.

2.6 Pengembangan Bahan Ajar Interaktif dengan Infografis pada mata


pelajaran IPS dalam Perspektif Teknologi Pembelajaran

Teknologi pembelajaran merupakan teori dan praktek dalam kawasan


desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi proses dan
sumber belajar untuk keperluan pembelajaran. Kelima kawasan tersebut saling
berhubungan satu sama lain dalam menghasilkan pembelajaran yang efektif
dan efisien (Seels & Richey, 1994). Berikut adlaah penjabaran dari Kawasan
tersebut;
1) Kawasan Desain
Merupakan tahap rancangan yang harus dilakukan sebelum menciptakan
suatu program atau produk berdasarkan analisis kebutuhan karakteristik
siswa. Kawasan ini terdiri dari desain sistem pembelajaran, desain pesan,
strategi pembelajaran, dan karakteristik siswa.
2) Kawasan pengembangan
Merupakan Kawasan yang memberikan sumbangan paling banyak
dibidang teori dan praktek teknologi pembelajaran. Pada kawasan ini adalah
tahap menciptakan suatu produk berdasarkan desain yang telah dipersiapkan
sebelumnya, produk yang dihasilkan dapat berupa media cetak, audiovisual,
teknologi berbasis komputer, dan teknologi terpadu.
3) Kawasan Pemanfaatan

32
Merupakan produk atau media yang dihasilkan dari proses
pengembangan yang meliputi pemanfaatan media, difusi inovasi, implementasi,
dan institusionalisasi, serta kebijakan dan regulasi.
4) Kawasan Pengelolaan
Merupakan kawasan yang meliputi pengelolaan proyek, sumber, sistem
penyampaian, dan informasi.
5) Kawasan Evaluasi
Merupakan kawasan yang meliputi analisis masalah, pengukuran
beracuan patokan, penilaian formatif, dan penilaian sumatif.

33
BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bagian ini akan membahas metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian pengembangan ini. Adapun pembagian bagian ini terdiri atas : moel
pengembangan, prosedur pengembangan, ujicoba produk, subjek ujicoba produk,
teknik dan instrumen pengumpulan data dan teknik analisis data.
3.1 Model Pengembangan

Dalam mengembangkan sebuah produk untuk mendukung pembelajaran,


dibutuhkan sebuah model pengembangan yang sesuai karena nantinya akan
mempengaruhi hasil produk pengembangan itu sendiri. Penelitian ini menggunakan
model pengembangan oleh Lee & Owens (2004). Model ini digunakan karena sesuai
diterapkan pada penelitian pengembangan bahan belajar interaktif dengan infografis
dalam mata pelajaran IPS kelas VIII, khususnya pada materi Interaksi Keruangan
dalam Kehidupan di Negara-Negara ASEAN.

Model pengembangan ini dikatakan sebagai model prosedural karena urutan


langkah dalam prosesnya tersusun secara sistematis dan setiap langkah pengembangan
memiliki urutan langkah pengembangan yang tersusun jelas. Secara garis besar model
pengembangan oleh Lee & Owens ini terdiri dari 5 langkah yaitu: (1) analisis
(analysis), (2) desain (design), (3) pengembangan (development), (4) Penerapan
(implementation) dan (5) evaluasi (evaluation).

3.2 Prosedur Pengembangan


Penelitian dan pengembangan ini menggunakan prosedur pengembangan yang
meliputi 5 langkah penelitian yang dikemukakan oleh Lee & Owens (Lee & Owens,
2004). Hal ini disebabkan karena langkah-langkah yang diambil disesuaikan dengan
kebutuhan penelitian dan pengembangan yang akan dilakukan. Adapun prosedur
penelitian dan pengembangan yang digunakan adalah sebagai berikut;
3.2.1 Tahap Analisis

34
Tahap pertama adalah tahap penilaian dan analisis (assessment/analysis)
yang dibagi menjadi dua bagian yaitu penilaian kebutuhan (need assessment)
dan analisis awal akhir (front-end analysis).
a. Need Assessment (Analisis Kebutuhan)
Analisis kebutuhan merupakan upaya menggali kesenjangan antara
keadaan dengan kondisi yang diinginkan, untuk kemudian menentukan
prioritas tindakan yang akan dilakukan. Analisis kebutuhan dalam penelitian
pengembangan ini dilakukan dengan wawancara langsung di sekolah dan
observasi. Peneliti telah melakukan wawancara awal terhadap guru pengajar
mata pelajaran IPS untuk kelas VIII, dan mendapatkan informasi yang
menyatakan bahwa setiap guru mata pelajaran IPS telah mengembangkan
modul dalam pembelajaran. Proses belajar juga menarik karena para guru
telah melibatkan siswa dalam membangun suasana belajar yang
menyenangkan. Sebagai contoh, para siswa telah sering menggali informasi
dari internet sebelum memulai pembelajaran di kelas, sehingga proses
belajar bisa berjalan dalam interaksi dua arah.
Pada tahap ini, peneliti juga melakukan observasi di MTs Negeri I
Malang.
b. Front-end Analysis
Tahap front-end analysis ini bertujuan untuk mendapatkan informasi
yang lebih lengkap mengenai apa yang akan dikembangkan. Tahap ini
dilakukan audience analysis, technology analysis, situation analysis, taks
analysis, critical analysis, objective analysis, issue analysis, media analysis,
extand-data analysis dan cost analysis (Lee & Owens, 2004).
1) Audience Analysis (Analisis Siswa),
Audience Analysis (Analisis Siswa) merupakan langkah untuk
mengidentifikasi karakteristik siswa yang nantinya akan disesuaikan
dengan pengembangan bahan belajar. Analisis siswa ini meliputi
jumlah siswa, karakteristik siswa dalam proses pembelajaran, dan
respon siswa terhadap pembelajaran yang disampaikan oleh guru.

35
2) Technology Analysis (Analisis Teknologi)
Technology Analysis (Analisis Teknologi) merupakan analisis
ini untuk mengidentifikasi kemampuan teknologi yang ada di MTs
Negeri I Malang. Hasil analisa yang dilakukan adalah sekolah tersebut
memiliki berbagai fasilitas yang dapat menunjang proses pembelajaran
menggunakan bahan belajar interaktif. Berbagai macam fasilitas telah
dimiliki oleh sekolah berupa LCD proyektor dalam kelas. Sementara itu
banyak pula siswa yang telah memiliki computer, laptop dan gadget di
rumah mereka, sehingga siswa terbiasa mengoperasikan gadget dalam
keseharian mereka di rumah untuk sarana belajar dan hiburan. Hasil dari
analisis ini kemudian dijadikan acuan dalam perancangan spesifikasi
bahan belajar interaktif berbasis perangkat gadget (smartphone/ tablet).
3) Situation Analysis (Analisis Situasi)
Situation Analysis (Analisis Situasi) merupakan analisis yang
mencakup situasi lingkungan belajar. MTs Negeri I Malang terletak
ditempat yang strategis, yakni di jalan Bandung yang merupakan
kawasan asri ditengah kota Malang. Letak sekolah juga bersebelahan
dengan MI Negeri Malang dan MAN II Malang, dan dekat dengan
Kawasan kampus Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri
Malang. Situasi di MTs Negeri I Malang sangat kondusif untuk belajar,
tanpa adanya kendala apapun dari segi fisik maupun sosial. Suasana kota
Malang yang sejuk dan nyaman membuat potensi belajar mandiri di
berbagai tempat di luar lingkungan sekolah juga sangat mungkin
dilakukan.
4) Taks Analysis (Analisis Tugas)
Taks Analysis (Analisis Tugas) merupakan prosedur untuk tugas-
tugas yang perlu dikuasai oleh siswa terhadap materi pembelajaran. Pada
tahap analisis ini peneliti mengkaji tentang indikator dan tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan dalam proses pembelajaran. Hasil
dari analisis dilakuakan di MTs Negeri I Malang menunjukkan bahwa

36
tujuan pembelajaran pada materi interaksi keruangan pada kehidupan di
negara ASEAN adalah sebagai berikut; 1) menjelaskan kondisi geografis
dan karakteristik negara-negara ASEAN, 2) menjelaskan makna
kerjasama dan bentuk kerjasama antar negara anggota ASEAN, 3)
menjelaskan pengaruh interaksi antar anggota ASEAN dalam berbagai
bidang.
Berbagai tugas yang menjadi tujuan pencapaian materi interaksi
keruangan pada kehidupan di negara ASEAN menunjukkan pentingnya
bahan belajar yang lebih dari sekedar menceritakan peristiwa sejarah.
Siswa akan menjadi lebih berkembang dengan menggali informasi
melalui berbagai sumber dan mendiskusikannya.
5) Critical Analysis (Analisis Kejadian Penting)
Critical Analysis (Analisis Kejadian Penting) merupakan analisis
yang dilakukan untuk menentukan mana yang harus diajarkan dan mana
yang tidak harus diajarkan. Sehingga bahan belajar yang dihasilkan
menjadi efektif dan solutif.
6) Objective Analysis (Analisis Tujuan)
Objective Analysis (Analisis Tujuan) adalah analisis yang
dilakukan dalam rangka menentukan apa yang akan menjadi isi (materi
pengetahuan), bagaimana agar efektif diukur keberhasilannya, dan
memilih media yang digunakan. Sebagaimana telah dijelaskan pada poin
sebelumnya bahwa tujuan pembelajaran pada materi interaksi keruangan
pada kehidupan di negara ASEAN adalah sebagai berikut; menjelaskan
kondisi geografis dan karakteristik negara-negara ASEAN, menjelaskan
makna kerjasama dan bentuk kerjasama antar negara anggota ASEAN,
dan menjelaskan pengaruh interaksi antar anggota ASEAN dalam
berbagai bidang. Dengan berbagai tujuan tersebut sangat diharapkan
adanya bahan belajar yang efektif dan interaktif untuk memabngun
suasana belajar yang kondusif.

37
7) Issue Analysis (Analisis Masalah)
Issue Analysis (Analisis Masalah) merupakan proses
mengidentifikasi pokok persoalan untuk menentukan media apa yang
dibutuhkan siswa. Kegiatan ini diperlukan karena lebih fokus terhadap
produk yang dikembangkan dan disesuaikan dengan tingkat pemahaman
dan gaya belajar siswa. Sebagaimana hasil wawancara yang dilakukan
oleh peneliti, dapat diidentifikasi bebrapa masalah antara lain;
a. Materi IPS terpadu dianggap terlalu kompleks, sehingga
kesulitan melakukan inovasi pembelajaran dalam waktu yang
singkat
b. Pembelajaran berpusat pada modul yang disusun oleh guru
pengajar
c. Materi yang berisi sejarah dan kaitan perkembangan ASEAN
tidak cukup efektif jika hanya disampaikan untuk memenuhi
kebutuhan ranah kognitif C1- C3.
d. Materi IPS terpadu dianggap sebagai mata pelajaran nomor dua,
karena tidak masuk dalam ujian nasional
e. Beberapa guru pengajar memiliki latar belakang disiplin ilmu
yang lebih spesifik (sejara, sosiologi, geografi), bukan lulusan
IPS terpadu.
Beberapa permasalahan diatas menunjukkan adanya kebutuhan
inovasi bahan belajar yang efektif untuk menunjang penyampaian
materi. Bahan belajar yang dibutuhkan adalah bentuk inovasi yang
membentuk suasan belajar mandiri dan aktif untuk menigkatkan
pemahaman siswa sekaligus membantu para guru dalam menyampaikan
materi interaksi negara-negara ASEAN tersebut.
8) Media Analysis (Analisis Media)
Media Analysis (Analisis Media) merupakan strategi
penyampaian media yang sesuai berdasarkan hasil observasi dan
wawancara. Analisis media ini digunakan untuk menentukan pilihan dari

38
berbagai jenis media pembelajaran yang dapat digunakan, dan berkaitan
dengan hasil analisis sebelumnya yang telah dilakukan. Sekolah MTs
Negeri I Malang membutuhkan adanya media atau bahan belajar yang
membentuk kemandirian siswa dalam belajar. Pada poin sebelumnya
telah disinggung bahwa siswa telah menggali informasi dari internet
sebelum dimulainya pembelajaran, dengan harapan mereka menjadi
aktif dalam pembelajaran. meskipun demikian guru tidak memiliki
control dalam pelaksanaan tersebut, sehingga kemungkinan siswa untuk
tertarik pada konten lain diluar materi yang akan didiskusikan sangatlah
besar.
Bahan belajar yang digunakan untuk materi ini hendaknya
berupa produk yang menarik dan interaktif, sekaligus terstruktur.
Disamping itu, bahan belajar juga diharapkan bersifat fleksibel untuk
memudahkan siswa melakukan akses belajar kapanpun dan dimanapun.
9) Extand-Data Analysis (Analisis Data yang Sudah Ada)
Extand-Data Analysis (Analisis Data yang Sudah Ada)
merupakan analisis dalam rangka memecahkan masalah yang ditemui.
Lee dan Owens mengemukakan bahwa analisis data dilakukan untuk
memecahkan masalah yang ditemui, berikut beberapa kegiatan yang
dilakukan dalam analisis data yaitu :
a. Mengidentifikasi sumber informasi, yaitu menetapkan dan
menentukan sumber informasi yang dapat membantu dalam
proses pengembangan bahan belajar interaktif dengan infografis
ini yaitu guru, siswa, dan ahli media. Pentingnya beberapa pihak
tersebut dimaksudkan untuk mendapat masukan tentang
kesesuaian materi, keseuaian dengan karakteristik siswa dan
keberhasilan media.
b. Dalam pengembangan bahan belajar nantinya menggunakan
buku Guru dan buku siswa IPS Terpadu kurikulum 2013 edisi
revisi tahun 2018 sebagai sumber utama, yang selanjutnya

39
dikombinasikan denagan berbagai informasi dan media dari
internet sebagai penunjang.
c. Pengembangan bahan belajar interaktif dengan desain infografis
dilakukan sendiri oleh peneliti dengan bantuan converter aplikasi
dari website Appgeyser.com dan template tema dari website
wix.com.
d. Dalam tahap pengembangan aplikasi, muatan materi akan
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan kebutuhan siswa di
MTs Negeri I Malang.
e. Proses pengembangan juga melibatkan para ahli materi dan ahli
media untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan.
10) Cost Analysis (Analisis Biaya)
Cost Analysis (Analisis Biaya) merupakan analisis akhir
penleitian. Analisis ini diperlukan untuk mengukur tingginya biaya yang
diperlukan dalam pembuatan bahan belajar. Pada tahap analisis biaya ini
mencakup kegiatan penentuan biaya, penggunaan biaya dan mencatat
hasil akhir biaya.
3.2.2 Tahap Desain
Tahap desain mencakup serangkaian kegiatan seperti membuat
jadwal dalam pengembangan bahan belajar. Secara rinci Lee dan Owens
menyebutkan beberapa hal penting dalam tahapan ini yakni jadwal kegiatan
(schedule), proyek tim (team project), spesifikasi media (specification),
struktur konten (lesson structure), dan kontrol konfigurasi (configuration
control) (Lee & Owens, 2004).
a. Jadwal kegiatan (schedule)
Dalam penelitian ini, telah disusun jadwal yang direncanakan untuk
membantu peneliti dalam memperkirakan waktu dan biaya yang diperlukan
unutk kegiatan penelitian. Secara umum, kegiatan penelitian telah dilakukan
sejak bulan Oktober 2019 dan direncanakan hingga bulan April 2020. Secara
rinci jadwal penelitian dapat dilihat dalam tabel dibawah ini;

40
Waktu Kegiatan
November 2019  Pemilihan subjek penelitian
 Identifikasi masalah yang ada melalui
wawancara awal

Desember 2019  Pengumpulan data dan teori


 Membuat rancangan desain program

Desember 2019 -  Pengembangan bahan belajar yang akan


Januari 2020 digunakan dalam penelitian
 Penyusunan instrument validasi bahan
belajar
Februari 2020  Menyiapkan prototype bahan belajar yang
telah dikembangkan untuk divalidasi oleh
ahli media dan ahli materi
 Revisi produk
Maret 2020  Ujicoba kelompok kecil
 Revisi produk
 Ujicoba kelompok besar
 Revisi produk
April 2020 Menghasilkan bahan belajar

b. Proyek Tim (Team project)


Dalam pengembangan bahan belajar pada penelitian ini, melibatkan
beberapa pihak yaitu Ahli Media Pembelajaran, Ahli Isi/Materi dan Audiens
sebagai subjek uji coba produk pengembangan.
c. Spesifikasi (specification)
Dalam pengembangan bahan belajar pada penelitian ini, menghasilkan
produk berupa aplikasi berbasis Android (.apk) yang dilengkapi dengan buku

41
petunjuk penggunaan dalam format Portable Document Format (.pdf).
sementara dalam pengembangannya, peneliti menggunakan beberapa aplikasi
pendukung dan website yang relevan.
d. Struktur Konten (Lesson Structure)
1) Tampilan
Dengan menggunakan aplikasi berbasis android, maka tampilan bahan
belajar diatur nyaman dan sesuai dengan penggunaan melalui smartphone.
Secara umum tampilan banyak didominasi warna netral sebagai latar
belakang dan warna yang cerah pada beberapa bagian penting. Pada bagian
infografis menjadi focus dalam permainan warna yang menarik sekaligus
padu, untuk memudahkan siswa dalam memahami informasi yang
disampaikan
2) Interaksi
Pemilihan aplikasi berbasis android (.apk) yang dioperasikan melalui
gadget berguna agar bahan belajar ini dapat diakses secara dinamis dan
mandiri oleh siswa. sehingga siswa juga diperkenankan untuk menggeser,
memilih, mengulang dan menyimpan materi yang disampaikan.
3) Kontrol
Kontrol penggunaan aplikasi sepenuhnya ada pada pengguna, karena
mereka leluasa memilih materi yang akan mereka pelajari melalui fitur-fitur
dan tombol navigasi.
4) Susunan Materi
Dalam pengembangan bahan belajar interaktif dengan infografis pada
materi kkk ini menggunakan buku paket IPS Terpadu kelas VIII kurikulum
2013 edisi revisi 2018 sebagai sumber utama materi. Penataan materi telah
disesuaikan dengan buku tersebut dengan perpaduan sumber lain yang
relevan. Sementara itu, fitur infografis akan muncul pada beberapa bagian
yang dianggap sebagai informasi menarik dan cukup kompleks. Berikut
adalah rancangan materi yang memerlukan fitur infografis, antara lain;

42
Berikut ini adalah beberapa konten infografis yang akan disampaikan, antara
lain;
 Tentang ASEAN dan sejarah berdirinya ASEAN (Sub-bab Mengenal
Negara-Negara ASEAN)
 Profil Negara-Negara Anggota ASEAN (Sub-bab Mengenal Negara-
Negara ASEAN)
 Tentang SEA Games (Sub-bab Interaksi Antarnegara-negara ASEAN)
 Bentuk kerja sama di bidang sosial dan budaya (Sub-bab Interaksi
Antarnegara-negara ASEAN)
 ZOPFAN sebagai bentuk kerja sama di bidang politik dan keamanan
(Sub-bab Interaksi Antarnegara-negara ASEAN)
 Program beasiswa sebagai bentuk kerja sama di bidang pendidikan
(Sub-bab Interaksi Antarnegara-negara ASEAN)
 Tentang MEA (Sub-bab Interaksi Antarnegara-negara ASEAN)
 Potensi sumber daya alam negara-negara ASEAN (Sub-bab Pengaruh
Perubahan dan Interaksi Keruangan terhadap Kehidupan di Negara-
Negara ASEAN)
 Perkembangan Teknologi dan Informasi negara-negara ASEAN (Sub-
bab Pengaruh Perubahan dan Interaksi Keruangan terhadap Kehidupan
di Negara-Negara ASEAN)

5) Kontrol konfigurasi
Kontrol konfigurasi adalah sebagai tahapan penting dalam
pengembangan sebuah produk, karena merupakan langkah penyempurnaan.
Dalam hal ini, para ahli media, ahli materi, dan subjek ujicoba di MTs Negeri
I Malang menjadi pengontrol kualitas pengembangan bahan belajar ini.

3.2.3 Tahap Pengembangan


Merupakan tahap pengembangan produk yang berupa aplikasi
interaktif. Tahap pengembangan ini meliputi pembuatan storyboard sebagai

43
pedoman pengembang dalam input materi, mengembangkan desain
interface yang akan digunakan, mengembangkan penyajian konten yang
disajikan, melakukan review atau perbaikan, dan melakukan pengemasan
produk dalam bentuk aplikasi berbasis android (.apk).
3.2.4 Tahap Implementasi
Pada tahap ini, dilakukan validasi ahli media dan validasi ahli materi.
Setelah produk dinyatakan layak oleh ahli, selanjutnya diujicobakan kepada
siswa. Tahap implementasi ini mencakup serangkaian kegiatan uji coba
audiens yang terdiri dari uji coba kelompok kecildan uji coba kelompok
besar. Kegiatan uji coba kelompok kecil (beberapa siswa sebagai sampel)
dan uji coba kelompok besar (melibatkan siswa satu kelas, namun siswa
yang telah mengikuti uji coba kelompok kecil tidak di ikut sertakan pada uji
coba kelompok besar).
3.2.5 Tahap Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan pada penelitian pengembangan bahan
belajar ini adalah evaluasi yang berorientasi pada kevalidan multimedia
yang dikembangkan melalui validasi ahli media, ahli materi serta hasil uji
coba produk. Tahap evaluasi ini berkaitan dengan tahap sebelumnya, karena
dilakukan setelah masing-masing serangkaian kegiatan di tahap keempat
(validasi ahli dan uji coba produk) dilakukan.
3.3 Ujicoba Produk
Uji coba produk yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang kualitas, efektifitas dan daya tarik produk yang akan
digunakan (Rusijono, 2008). Adapun tahapan uji coba produk yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah melalui beberapa langkah, yaitu; desain uji coba, subjek
uji coba, teknik dan instrumen pengumpulan data, serta teknik analisis data.
3.3.1 Desain Ujicoba
Adapun desain ujicoba produk dalam penelitian ini meliputi Uji Alpha
dan Uji Beta, berikut adalah penjelasan dari desain ujicoba terebut;
a. Uji Alpha

44
Pada tahap ini, produk bahan belajar interaktif yang
dikembangkan akan divalidasi oleh dua ahli media dan dua ahli materi
yang menguasai bidangnya menggunakan instrumen yang telah disusun
sebelumnya. Setelah mendapatkan berbagai masukan dari para ahli,
maka akan dilakukan uji beta.
b. Uji Beta
Uji beta dalam penelitian ini dilakuakn dalam dua tahapan, yakni
tahapan pertama yang diberikan pada kelompok kecil siswa dan tahapan
kedua pada kelompok besar siswa. pada uji beta tahap pertama,
pengujian produk dilakukan pada siswa kelas IX yang telah menerima
materi pada materi Interaksi Keruangan dalam Kehidupan di Negara-
Negara ASEAN, sedangkan uji beta tahapan kedua diberikan pada
kelompok besar, yakni siswa kelas VIII di MTs Negeri Malang.
Tujuan diberikan uji beta ini yaitu untuk mengetahui respon
siswa tentang produk bahan belajar interaktif yang digunakan. Setelah
instrumen respon siswa diperoleh, langkah selanjutnya data tersebut
diolah dan dianalisis.

3.3.2 Subjek Ujicoba


Subjek coba dalam penelitian ini yaitu ahli materi, ahli media, dan siswa
kelas VIII MTs Negeri Malang tahun ajaran 2019/2020 semester 2. Ahli materi dan
ahli media berperan melakukan validasi terhadap produk. Sementara itu, banyak
subyek coba pada uji beta tahap pertama adalah beberap orang siswa kelas IX
MTs Negeri Malang tahun ajaran 2019/2020 semester 2, sedangkan jumlah total
subjek coba pada uji beta tahapan kedua adalah seluruh siswa kelas VIII MTs Negeri
Malang tahun ajaran 2019/2020 semester 2.
3.3.3 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara, kuesioner, observasi, dan dokumentasi. Sementara itu, instrumen
penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam

45
atau fenomena sosial yang diamati secara spesifik, yang disebut sebagai variabel
penelitian. Jadi, instrumen penelitian merupakan alat bantu yang digunakan pada
waktu meneliti untuk mengumpulkan data (Sugiyono, 2015). Dalam penelitian ini,
instrumen penelitian yang digunakan adalah instrumen wawancara, kuesioner, dan
lembar obeservasi.
a. Observasi
Merupakan cara mengumpulkan data dengan melalui pengamatan
terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Observasi merupakan kegiatan
awal dalam prosedur pengembangan bahan belajar, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi kebutuhan pengguna. Observasi yang digunakan peneliti
adalah kombinasi observasi terus terang dan tersamar. Peneliti menerapkan
observasi terus terang kepada sumber data bahwa akan melakukan penelitian,
sedangkan penggunaan observasi tersamar dilakukan karena merahasiakan
data yang dicari kepada subjek (Sugiyono, 2015).
b. Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam
suatu topik tertentu (Sugiyono, 2015). Pedoman wawancara digunakan sebagai
alat untuk mengumpulkan informasi dari guru sebagai acuan dalam
mengembangkan produk pembelajaran interaktif. Pengumpulan data melalui
wawancara dalam penelitian ini dilaksanakan pada tahap pra penelitian.
c. Kuesioner
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
memberikan seperangkat pertanyaan kepada responden untuk dijawab
(Sugiyono, 2015). Pengumpulan data melalui kuesioner dalam penelitian ini
menggunakan kuesioner tertutup, yang berarti pertanyaan atau pernyataan-
pernyataan telah memiliki alternatif jawaban yang tinggal dipilih oleh
responden. Responden tidak dapat memberikan jawaban atau respon lain
kecuali yang telah tersedia sebagai alternatif jawaban (Syaodih Sukmadinata,
2006).

46
Peran kuesioner adalah sebagai penilaian uji coba produk, karena
kuesioner mengumpulkan pendapat responden terhadap bahan belajar
interaktif dari tiga jenis validasi, yaitu validasi media, validasi materi dan
kuesioner respon siswa setelah menggunakan bahan belajar interaktif.
Sebelum ketiga kuesioner tersebut diuji coba, terlebih dahulu kuesioner
divalidasi oleh validasi ahli instrumen.
1) Validasi Ahli Media
2) Validasi Ahli Materi
3) Respon Siswa
d. Dokumentasi
Pengumpulan data dalam penelitian ini juga dilakukan dengan
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal tau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan sebaginya (Arikunto, 2010),
sebagai data pendukung untuk memperkuat hasil penelitian

3.3.4 Teknik Analisis data


Data yang telah terkumpul dari hasil penelitian segera diolah dan dimaknai
sehingga segera dapat diketahui apakah tujuan penelitian tercapai atau tidak
(Arikunto, 2010). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Penelitian ini
dilakukan untuk menguji tingkat kelayakan produk bukan untuk menguji hipotesis.
Produk diuji dengan menggunakan instrumen penilaian kelayakan dengan skala
likert. Skala likert dikembangkan pertama kali menggunakan 5 titik respon yaitu
sangat setuju, setuju, tidak memutuskan, tidak setuju, dan sangat tidak setuju
(Likert, 1932). Sedangkan pada penelitian ini hamya menggunakan empat titik
respon agar tanggapan responden lebih tegas pada posisi yang mana sehingga tidak
menggunakan pilihan jawaban netral atau ragu-ragu (Mulyatiningsih et al., 2013).
a. Analisis Kulaitatif
Analisism kualitatif digunakan untuk menganalisa hasil pengumpulan
data dari evaluasi para ahli menggunakan pendekatan kualitatif berupa

47
wawancara. Data kualitatif ini dapat berupa saran, masukan, komentar dan
lain-lain.
b. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisa kelayakan produk
yang dihasilkan melalui kuesioner. Teknik Analisa kelayakan ini diadopsi
dari Mardapi (2008), dengan tahapan analisis sebagai berikut (Mardapi,
2008):
1) Skor hasil penilaian angket yang diperoleh dari ahli media, ahli materi,
dan respon siswa berupa data kuantitatif diubah dalam bentuk
beberapa ketegori dengan pedoman pada tabel berikut:

Kategori Skor
Sangat Baik 4
Baik 3
Kurang 2
Sangat Kurang 1

2) Menghitung skor rata-rata dari instrumen-instrumen dengan


menggunakan rumus berikut:

Keterangan:
𝑀 = Skor rata-rata
∑X = Jumlah Skor
N = Jumlah Penilai
3) Mengubah skor rata-rata menjadi nilai kualitatif dengan kriteria
penilaian sebagai berikut

Rentang Skor Kriteria


𝑋 ≥ 𝑀 + SBi Sangat Layak
𝑀 + SBi > 𝑋 ≥ 𝑀 Layak

48
𝑀>𝑋≥𝑀−1 Kurang Layak
𝑋<𝑀−1 Sangat Kurang Layak

Keterangan:

X = Skor yang diperoleh

M = Rata-rata Skor Ideal

= (1/2) (Skor Tertinggi Ideal + Skor Terendah Ideal)

= 1/2 (4 + 1)

= 2,5

SBi = Simpangan Baku

= (1/6) (Skor tertinggi Ideal – Skor terendah Ideal)

= 1/6 (4 − 1)

= 3/6

= 0,5

Berdasarkan data tersebut, dapat disusun tabel kriteria penilaian bahan ajar

interaktif dapat disimpulkan dalam tabel berikut:

Skor Rentang skor Kategori


4 X ≥ 3,0 Sangat layak
3 3,0 > X ≥ 2,5 Layak
2 2,5 > X ≥ 2,0 Kurang Layak
1 X < 2,0 Sangat kurang layak

49
Daftar Pustaka

Abdurofiq, A. (2014). Menakar pengaruh masyarakat ekonomi ASEAN 2015 terhadap pembangunan

Indonesia. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-i, 1(2).

Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian. Jakarta: rineka cipta.

Arsyad, A. (2013). Media pembelajaran edisi revisi. Jakarta: Rajawali Pers.

Asra, S. (2008). Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.

Bicen, H., & Beheshti, M. (2017). The Psychological Impact of Infographics in Education. BRAIN. Broad

Research in Artificial Intelligence and Neuroscience, 8(4), 99–108.

Borkin, M. A., Vo, A. A., Bylinskii, Z., Isola, P., Sunkavalli, S., Oliva, A., & Pfister, H. (2013). What

Makes a Visualization Memorable? IEEE Transactions on Visualization and Computer

Graphics, 19(12), 2306–2315. https://doi.org/10.1109/TVCG.2013.234

Brophy, J., Alleman, J., & Halvorsen, A.-L. (2016). Powerful social studies for elementary students.

Cengage Learning.

Cairo, A. (2012). The Functional Art: An introduction to information graphics and visualization. New

Riders.

Chen, P., & McGrath, D. (2005). Visualize, visualize, visualize: Designing projects for higher-order

thinking. Learning & Leading with Technology, 32(4), 54–57.

Dale, E. (1969). Audiovisual methods in teaching.

Deden Maulana, A., Nugraha, H., & Jaya, U. P. (2017). Peranan Visual Infografis Pada Surat Khabar.

Dur, B. U. (2014). Data Visualization and Infographics in Visual Communication Design Education at

the Age of Information. Journal of Arts and Humanities, 5, 12.

50
Effiong, O. E., & Igiri, C. E. (2015). Impact of Instructional Materials in Teaching and Learning of

Biology in Senior Secondary Schools in Yakurr LG A. International Letters of Social and

Humanistic Sciences, 62, 27–33.

Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1999). Curriculum development in vocational and technical education.

Planning, content, and implementation. ERIC.

Gray, C., & MacBlain, S. (2015). Learning theories in childhood. Sage.

Harlen, W. (1992). The teaching of science. David Fulton.

Hoekstra, A. R. (2009). A Socio-Cultural Analysis of the Use of Clickers in Higher Education. ProQuest

LLC.

Ivers, K. S., & Barron, A. E. (1998). Multimedia projects in education: Designing, producing, and

assessing. Libraries Unlimited Englewood, CO.

Kemendikbud Republik Indonesia. (2017). Buku Guru Ilmu Pengetahuan Sosial VIII Kurikulim 2013

edisi revisi 2017: Vol. II. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Kesuma, A. I. (2016). Pengembangan Pembelajaran IPS Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Prosiding Seminar Nasional Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial, 1, 41–50.

Komara, E. (2014). Belajar dan pembelajaran interaktif. Bandung: Refika Aditama.

Lankow, J., Ritchie, J., & Crooks, R. (2014). Infografis: Kedasyatan cara bercerita visual. Kompas

Gramedia.

Lee, W. W., & Owens, D. L. (2004). Multimedia-based instructional design: Computer-based training,

web-based training, distance broadcast training, performance-based solutions. John Wiley &

Sons.

Likert, R. (1932). A technique for the measurement of attitudes. Archives of Psychology.

Mardapi, D. (2008). Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.

51
Marieb, E. N., & Hoehn, K. (2013). The cardiovascular system: Blood vessels. Human Anatomy &

Physiology, 703–720.

Mayer, R. E. (2009). Multimedia learning: Prinsip-prinsip dan aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

93–119.

Milovanovic, M., Obradovic, J., & Milajic, A. (2013). Application of Interactive Multimedia Tools in

Teaching Mathematics—Examples of Lessons from Geometry. Turkish Online Journal of

Educational Technology-TOJET, 12(1), 19–31.

Mol, L. (2011). The potential role for infographics in science communication. Master’s Thesis,

Biomedical Sciences, Vrije University, Amsterdam, Netherlands.

Mudlofir, A. (2011). Aplikasi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan bahan ajar

dalam pendidikan agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Muhammad, T., & Arif, M. (2011). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Mulyatiningsih, E., Santoso, D., & Usman, T. (2013). Buku Ajar Mata Kuliah Metodologi Penelitian

Pendidikan. Yogyakarta: UNY.

Naparin, H., & Binti Saad, A. (2017). Infographics in Education: Review on Infographics Design. The

International Journal of Multimedia & Its Applications, 9(4/5/6), 15–24.

https://doi.org/10.5121/ijma.2017.9602

Niebaum, K., Cunningham-Sabo, L., Carroll, J., & Bellows, L. (2015). Infographics: An Innovative Tool

to Capture Consumers’ Attention. Journal of Extension, 53(6), n6.

Ozdamlı, F., Kocakoyun, S., Sahin, T., & Akdag, S. (2016). Statistical Reasoning of Impact of

Infographics on Education. Procedia Computer Science, 102, 370–377.

https://doi.org/10.1016/j.procs.2016.09.414

52
Piaget, J. (1964). Part I: Cognitive development in children: Piaget development and learning. Journal

of Research in Science Teaching, 2(3), 176–186.

Prastowo, A. (2015). Panduan Kreatif membuat Bahan Ajar Inovatif Cet VIII. Jogjakarta: Diva Press.

Pribadi, B. A. (2009). Model desain sistem pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat, 35.

Purmadi, A., & Surjono, H. D. (2016). Pengembangan bahan ajar berbasis web berdasarkan gaya

belajar siswa untuk mata pelajaran Fisika. Jurnal Inovasi Teknologi Pendidikan, 3(2), 151–165.

Putri, D. P. E., & Muhtadi, A. (2018). Pengembangan multimedia pembelajaran interaktif kimia

berbasis android menggunakan prinsip mayer pada materi laju reaksi. Jurnal Inovasi

Teknologi Pendidikan, 5(1), 38–47. https://doi.org/10.21831/jitp.v5i1.13752

Rahman, A. Z., Hidayat, T. N., & Yanuttama, I. (2017). MEDIA PEMBELAJARAN IPA KELAS 3 SEKOLAH

DASAR MENGGUNAKAN TEKNOLOGI AUGMENTED REALITY BERBASIS ANDROID. 6.

Rahmat, S. T. (2015). Pemanfaatan multimedia interaktif berbasis komputer dalam pembelajaran.

Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan Missio, 7(2), 196–2018.

Riwu, I. U., Laksana, D. N. L., & Dhiu, K. D. (2019). Pengembangan bahan ajar elektronik bermuatan

multimedia pada tema peduli terhadap makhluk hidup untuk siswa sekolah dasar kelas IV di

kabupaten ngada. Journal Of Education Technology, 2(2), 56–64.

Ru, G., & Ming, Z. Y. (2014). Infographics applied in design education. 2014 IEEE Workshop on

Advanced Research and Technology in Industry Applications (WARTIA), 984–986.

Rusijono, M. (2008). Penelitian Teknologi Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.

Sadiman, A. S. (2009). Media Pendidikan pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya.

Sanaky, H. A. (2009). Media pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insania Press.

Santyasa, I. W. (2007). MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF. 16.

Sapriya, D. (2009). Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

53
Saptodewo, F. (2016). Desain infografis sebagai penyajian data menarik. Jurnal Desain, 1(03), 193–

198.

Saud, U. S. (2009). Pengembangan profesi guru. Bandung: Alfabeta.

Schunk, D. H. (2012). Teori-teori pembelajaran: Perspektif pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Seels, B. B., & Richey, R. C. (1994). Teknologi pembelajaran: Definisi dan kawasannya. Penerjemah

Dewi S. Prawiradilaga Dkk. Jakarta: Kerjasama IPTPI LPTK UNJ.

Shafipoor, M., Sarayloo, R., & Shafipoor, A. (2016). Infographic (information graphic); a tool for

increasing the efficiency of teaching and learning processes. International Academic Journal

of Innovative Research, 3(4), 39–45.

Short, J. E. (2013). How much media? 2013 report on American consumers. Institute for

Communication Technology and the USC Marshall School of Business.

Sihkabuden, S. P. (2005). Media Pembelajaran. Malang: Elang Press.

Soehner, M., & Johnson, D. W. (n.d.). Extension Education: How do we learn best? 1.

Soehner, M., & Johnson, W. (2018). Extension Education: How do we learn best? 3rd Entomology

Undergraduate Research Poster Symposium. Manhattan, KS: Kansas State University,

Department of Entomology.

Stansfield, M., McLellan, E., & Connolly, T. (2004). Enhancing student performance in online learning

and traditional face-to-face class delivery. Journal of Information Technology Education:

Research, 3(1), 173–188.

Sugiyono, P. D. (2015). Metode Penelitian dan Pengembangan. Res. Dev. D.

Susanto, A. (2014). Pengembangan Pembelajaran IPS di SD. Kencana.

Syaodih Sukmadinata, N. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

54
Taufik, M. (2012). Infografis Sebagai Bahasa Visual Pada Surat Kabar Tempo. Techno. Com, 11(4),

156–163.

Widodo, C. S., Jasmadi, P. M. B. A. B., & Kompetensi, P. T. (2008). Elex Media Komputindo. Jakarta.

Wijayanti, W., Zulaeha, I., & Rustono, R. (2015). Pengembangan Bahan Ajar Interaktif Kompetensi

Memproduksi Teks Prosedur Kompleksyang Bermuatan Kesantunan Bagi Peserta Didik Kelas

X SMA/MA. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 4(2).

Wiroatmojo, P., & Harjo, S. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: LAN.

Yudhanto, Y. (2007). Pengantar Panduan Infografis. 5.

Yuniarti, A. (2018). Strategy Asean Membangun Sense of Community. Paradigma, 16(2).

Yuvaraj, M. (2017). Infographics: Tools for designing, visualizing data and storytelling in libraries.

Library Hi Tech News, 34(5), 6–9.

55

Anda mungkin juga menyukai