Anda di halaman 1dari 6

Perdagangan Energi Indonesia-China: Sebuah Cermin Buram bagi Penerapan

Good Governance1 1

Anne Margareth Simarmata2 2

ABSTRAK

Esai ini berusaha mengkaji bagaimana strategi yang digunakan Indonesia dalam melakukan
perdagangan bebas dengan China, khususnya masalah energi. Esai ini difokuskan pada argumen tidak
ada visi strategik yang pasti serta implementasi visi tersebut di Indoenesia melalui pemerintah yang
berkerja saat ini. Hal ini semakin terlihat jelas ketika dibedah dengan menggunakan konsep “good
governance”. Konsep ini dapat dioperasionalisasikan dengan pertama, membandingkan strategi
perusahaan energi nasional Cina dengan Indonesia. Kedua, melihat efek liberalisasi perusahaan
migas yang menyebabkan pertamina hanya memiliki posisi tawar yang kecil, dibandingkan dengan
perusahaan multinasional asing yang juga menguasasi cadangan energi di Indonesia misalnya Exxon,
Petronas, Chevron, dll. Ketiga menilai orientasi pemerintah Indonesia dalam menangani isu energi,
hasilnya adalah Indonesia lebih condong berorientasi pada dominasi peran pasar dibandingkan
dengan adanya intervensi dan regulasi dari negara. Fluktuasi dan kertidakpastian pasar tentu
menambah kekhawatiran masyarakat Indonesia dalam jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan
energinya. Di masa mendatang, Indonesia masih memiliki tantangan dan kesempatan untuk
memanfaatkan dan menjaga keamanan energi, terdapat dua masukan bagi kebijakan energi
Indonesia, yaitu meningatkan self sufficiency di dalam negeri dan juga melakukan kebijakan energi
yang pro-aktif ke luar negeri.

Kata Kunci: perdagangan bebas, kebijakan energi, good governance, self-effeciency, visi strategik.

11
Karya merupakan juara 1 Esai Nasional LIMAS UI 2010
22
Penulis adalah mahasiswi jurusan Ilmu Hubungan Internasional angkatan 2007
Negara-negara saat ini dihadapkan pada fenomena interdependensi, yaitu kondisi di mana tidak ada
satu negara di dunia yang tidak membutuhkan negara lain. Perdagangan internasional menjadi salah satu
indikator bagaimana suatu negara saling berkaitan dan saling tergantung dengan negara lain. Perdagangan
internasional secara sederhana dapat dikatakan sebagai kegiatan pertukaran modal, barang dan jasa yang
melintasi batas-batas negara atau wilayah. Alasan mengapa suatu negara mengadakan perdagangan dengan
negara lain adalah karena adanya keunggulan komparatif yang dimiliki suatu negara atas satu atau beberapa
komoditasnya, selain itu, terdapat juga faktor endowment (kelebihan) yang dimiliki suatu negara karena
kepemilikan sumber daya alam atau kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh negara lain serta sebaliknya.
Oleh karena itu, perdagangan internasional sangat dibutuhkan sebagai instrumen bagi negara-negara untuk
mencapai kepentingan nasionalnya (national interest).
Walaupun perdagangan internasional telah menjadi instrumen yang dipakai negara-negara di dunia,
namun hal ini belum cukup, karena dalam perdagangan internasional sangat dikendalikan oleh aspek politik
dan kekuasaan negara-negara lain yang terlibat dalam perdagangan. Akibatnya ada beberapa hambatan yang
dihadapi oleh negara-negara untuk melakukan perdagangan internasional, sehingga dibutuhkan perdagangan
bebas (free trade) yang memperkecil hambatan-hambatan yang ada dalam perdagangan internasional.
Fenomena perdagangan bebas telah muncul pada tahun 1950-an ketika negara-negara Eropa sepakat
untuk mengadakan perdagangan bebas batu bara yang menjadi kebutuhan bersama mereka. Perdagangan
bebas adalah perdagagan interanasional yang tidak memiliki hambatan dan pembatasan lagi. Masing-masing
negara di dunia sedang mengusahakan peningkatan pembangunan domestik negaranya, khususnya negara
berkembang. Dalam konteks ini, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari
kebutuhan negara tersebut terhadap pasokan energi. Bagi negara-negara berkembang hingga negara maju,
energi menjadi modal dasar kegiatan ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Adapun sumber energi yang paling di cari-cari adalah energi fosil (fossil fuels), yaitu
energi yang paling penting karena
statusnya yang tidak dapat diperbaharui. Hal ini juga dapat menimbulkan persaingan dan rawan konflik antar
negara-negara yang mencari sumber energi.
Secara umum, Indonesia adalah negara yang cukup kaya akan sumber energi, sehingga ini dapat
dijadikan sebagai comparative advantage dalam perdagangan bebas. Namun, cadangan minyak Indonesia
hingga saat ini menurun sekitar 12,59% dari 9,61 miliar barel pada tahun 2000 menjadi sekitar 8,4 barel
pada tahun 2007 hal ini diikuti dengan cadangan gas (cadangan yang nyata dan potensial) sebesar 165 triliun
kubik tahun 2007 yang juga mengalami penurunan sebesar 3.12% dari tahun 2000. Indonesia dulunya adalah
salah satu anggota OPEC selama 47 tahun dan pada tahun 2008 indonesia keluar, karena adanya penurunan
produksi minyak Indonesia. Keputusan Indonesia untuk meninggalkan OPEC karena menurut Indonesia
minyak tidak berarti sebatas komoditas ekonomi, melainkan juga politik. Keberadaan minyak dapat
mempengaruhi reaksi maysrakat terhadap pemerintah. Hal ini terbukti dengan reaksi keras masyarakat pada
awal tahun 2004 dimana pemerintah mulai mengurangi subsidi minyak.
Dalam konteks ini, kerjasama energi Indonesia dan Cina telah menghasilkan beberapa kontrak dan
kerjasama yang sudah dimulai tahun 1993 hingga tahun 2008 yang menghasilkan kesepakatan bahwa
Indonesia akan memproduksi sejumlah besar energi sebagai respon atas dana yang telah diberikan Cina. Oleh
karena itu dapat disebutkan bahwa perdagangan energi Indonesia-Cina sebagai salah satu bentuk dari
perdagangan bebas.
Dalam esai ini, penulis secara khusus akan menilai bagaimana kerangka kerja pemerintah Indonesia
melalui kerjasamanya dengan Cina dalam perdagangan energi. Seharusnya dengan sumber cadangan energi
yang semakin terbatas tanpa adanya upaya penambahan sumber energi baru yang intensif, pemerintah
Indonesia lebih berhati-hati dalam membuat kesepakatan. Salah satu kebijakan pemerintah yang tidak
dihasilkan dari visi yang strategik adalah pada tahun 2002 Indonesia dan Cina melalui CNOOC telah
memperoleh saham sebesar 12,5% pada proyek LNG di Tangguh-Papua Indonesia sebesar AS$ 275 juta.
Kebijakan pemerintah yang mengundang pertanyaan besar dari masyarakat Indonesia adalah pada Bulan
September 2002, Indonesia menyepakati kontrak kerja 25 tahun dari Tangguh-Papua ke Provinsi Fujian-Cina
proyek ini dimenangkan oleh perusahaan multinasional berbasis pemerintah Cina (CNOOC). Konsekuensi
perjanjian tersebut Indonesia akan menyediakan gas alam cair sebanyak 2,6 juta metrik ton setiap tahun
selama 25 tahun, pelaksanaan perjanjian ini telah dilakukan mulai tahun 2008. Secara langsung perdagangan
energi antara Indonesia-Cina dapat dikategorikan ke dalam payung perdagangan bebas yang tidak lagi
mendapatkan hambatan dalam prosesnya.
Kenyataannya, kerjasama ini hanya bernilai AS$ 8,5 miliar untuk jangka waktu yang cukup panjang,
25 tahun. Pada tahun 2008 terjadi lonjakan harga gas alam cair dunia dan dalam hal ini pemerintah didesak
oleh masyarakat untuk mengadakan renegosiasi untuk harga yang dinilai terlalu rendah. Seharusnya
pemerintahan Indonesia lebih mempertimbangkan kembali latar belakang Cina sebagai negara yang semakin
pesat pembangunannya tentu bukan hanya memiliki tujuan ekonomi, melainkan juga tujuan politis.
Tujuan politis Cina dapat dinilai dari kebijakan kemanan energi Cina (Energy security policy of China),
terutama dalam bagian outward looking. Cina menggunakan perusahaan minyak milik negara sebagai upaya
untuk meningkatkan self Sufficiency domestik. Perusahaan-perusahaan energi milik negara ini diletakkan
sebagai aktor utama dalam menyediakan energi yang dibutuhkan. Mulai tahun 1998, pemerintah Cina
mengorganisir aset gas alam dan minyak bumi kepada tiga perusahaan negara yaitu: China National
Petrochemical Corporation (Sinopec), The China National Off-shore Oil Corporation (CNOOC) dan The China
National Petroleum Corporation (CNPC). Ketiga perusahaan ini beroperasi di luar Cina sebagai agen pelaksana
strategi kebijakan energy security Cina. CNPC memfokuskan pada eksplorasi dan produksi gas, sementara
Sinopec bertugas dalam penyulingan dan penyaluran minyak. Sedangkan CNOOC bertugas dalam
mengkesplorasi sumber cadangan minyak dan pembukaan lahan energi baru.
Jika dilihat secara keseluruhan kebijakan energi Cina, dapat dilihat bahwa Cina bukan hanya
menginginkan kebutuhan energinya tercukupi, melainkan juga untuk mengikat hubungan baik dengan
Indonesia dalam rangka pendekatannya ke ASEAN (Association Of Southeast Asian Nation) mengapa? Sebab
Cina adalah negara eksportir terbesar di dunia saat ini, sehingga ia membutuhkan pasar untuk
mendistribusikan produknya. Dalam hal ini Cina menilai Indonesia sebagai aktor kunci dalam ASEAN. Hal
yang lebih penting lagi adalah upaya perluasan kekuasaan Cina di jalur laut Selat Malaka dimana 50% dari
pelayaran minyak mentah diangkut melalui selat ini, 60% dari kapal yang berlayar ini adalah kapal Cina, serta
80% dari impor minyak mentah Cina diangkut melalui selat ini. Selain itu Indonesia juga dapat menjadi buffer
zone bagi Cina sebagai penstimulus hubungan baiknya dengan negara-negara Timur Tengah, dimana Cina juga
sangat membutuhkan pasokan energi dari wilayah ini. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Cina bukan
hanya tergantung pada suplai energi dunia, tetapi juga tergantung pada keamanan jalur pelayaran
perdagangan energinya serta permainan geopolitiknya dengan negara-negara timur tengah. Sehingga hal ini
seharusnya dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam kerjasamanya dengan Cina.
Di sisi lain, respon Indonesia mengahadapi berbagai tantangan ini, baik dari Cina, maupun kondisi
kelangkaan energi yang suatu saat nanti akan terjadi belum mampu diregulasikan dengan baik. Sebenarnya
masalah energi di Indonesia ada pada masalah manajemen dari pemerintahan domestik. Instansi pemerintah
melalui badan pengembangan energi dan sumber mineral belum memiliki visi strategik yang pasti.
Keputusan-keputusan yang dihasilkan masih cenderung jangka pendek dan bersifat tergesa-gesa dan tidak
dipertimbangkan dengan matang. Demikian juga untuk komunikasi dan sosialisasi kebijakan dan
pengambilan keputusan pemerintah terhadap masyarakat Indonesia.
Apabila dibandingkan dengan perusahaan nasional Cina, Indonesia hanya mempunyai Pertamina
(perusahaan minyak negara) dan Perusahaan Gas Alam negara yang tidak memiliki kebebasan mutlak. Pasca
pemberlakuan UU migas No. 22 tahun 2001 tentang liberalisasi perusahaan minyak dan gas milik negara,
pertamina benar-benar menjadi entitas bisnis murni. Adalah benar bahwa Pertamina tetap dimiliki 100%
oleh pemerintah, hanya saja pertamina diperlakukan sebagai kontraktor perminyakan biasa. Semua perizinan
harus diminta kepada pemerintah. Sehingga kalau terdapat daerah-daerah yang potensial, Pertamina harus
mengajukan tender kepada pemerintah bersama-sama dengan perusahaan minyak asing lainnya yang ada di
Indonesia, seperti Arco, Cevron, Exxon, dan Shell.
Kebijakan energi dibuat dan dipertanggungjawabkan oleh negara. Dalam konteks ini, menurut
pendapat penulis Indonesia belum mampu menggunakan potensinya sumber-sumber energi secara maksimal
melalui perdagangan dan perjanjian internasional dengan Cina. Hal ini terbukti dengan kondisi lebih besarnya
permintaan energi Indonesia dibandingkan dengan suplai setiap harinya. Untuk menganalisis masalah ini
konsep good governance menjadi pisau analisis yang tepat untuk membedahnya. Good governance sebenarnya
adalah terminologi yang menyimbolkan adanya perubahan paradigma pada peran pemerintah. Oleh karena
itu menurut pendapat penulis, pemerintah tidak hanya dipandang sebagai organ atau aktor, melainkan yang
lebih penting lagi bahwa pemerintah dipandang dan dinilai dari kualitas yang diekspresikan melalui berbagai
elemen dan dimensi.
Masalah energi adalah masalah yang vital bagi setiap negara. Tanpa energi, kegiatan manusia akan
terhenti. Cadangan minyak Indonesia sebesar 9 miliar barel hanya akan bertahan hingga 18 tahun lagi jika
tidak ada eksplorasi tambahan, demikian juga untuk gas alam, Indonesia diperkirakan hanya memiliki
cadangan yang cukup hingga 67 tahun lagi. Lalu bagaimana pemerintah bercermin dari kondisi ini? Penulis
dalam hal ini akan menganalisis kebijakan pemerintah Indonesia terkait dengan konsep good governance.
Ditinjau dari elemen-elemen yang ada konsep good governance dari UNDP, menurut pendapat
penulis, Masalah utama yang menyebabkan ketidakmaksimalan usaha dan strategi indonesia karena belum
adanya direction yang tepat, dengan kata lain pemerintah Indonesia belum memiliki visi strategis yang tepat
terkait dengan keamanan energi! Cina memiliki kebijakan energi dengan adanya perkiraan yang tepat dan
strategi yang kuat. Hal ini yang menjadi beban utama para pemerintah. Penduduk Indonesia yang berjumlah
sekitar 220 juta jiwa dapat dianggap sebagai tantangan sekaligus juga kesempatan bagi pemerintah.
Tantangannya adalah pertama, bagaimana memberikan performance terbaik (yang menyangkut
efektivitas dan efisiensi, serta respon pemerintah dan para instansi yang menyediakan kebutuhan energi)
bagi kepentingan rakyat yang cukup banyak dan sangat bervariasi kebutuhannya, kedua meningkatkan
akuntabilitas (berupa kebijakan dan implementasi yang dapat dipertanggungjawabkan) serta ketiga, adanya
transparansi dalam proses pembuatan kebijakan dan pengimplementasian kebijakan kepada masyarakat.
Sedangkan kesempatan dalam hal ini adalah pertama, Self Sufficiency langkah upaya untuk
mengurangi kerusakan atau resiko yang ditimbulkan apabila terjadi penghentian atau penggangguan
terhadap supply energi. Hal ini diwujudkan melalui a) publikasi dan informasi lewat kampanya publik, b)
regulasi dan standarisasi pada industri, bangunan dan transportasi, c) membuat organisasi yang diinisiatifkan
oleh pemerintah bersama-sama dengan pihak swasta, d) menetapkan tingkat pajak penggunaan energi pada
masyarakat dan e) mengembangkan sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui, misalnya
mengembangkan bahan bakar bio-diesel dari biji jarak atau kelapa sawit.

Kedua, proactive energy policy yaitu upaya pemerintah untuk meningkatkan cadangan energi
minyak bumi dalam negeri dengan mengupayakan pencarian sumber-sumber energi yang baru dan
meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi energi mineral di luar negeri. Proaktif dalam bagian ini sangat
berbeda dengan kebijakan Indonesia yang selama ini lebih bersifat reaktif. Proaktif dapat dimengerti juga
sebagai kebijakan yang sudah dipersiapkan dari kondisi yang telah diprediksi sebelumya. Dalam konteks
keamanan energi, tentu pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah menyadari bahwa di suatu saat nanti
sumber energi akan habis. Oleh karena itu kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah
melakukan pencegahan agar sumber energi dalam negeri tidak diekspoitasi dengan mudah tanpa
pertimbangan yang matang atas dampak jangka panjangnya. Hal ini dapat disiasati dengan mengembangkan
networking dan kerjasama bilateral dengan negara lain yang dapat dibantu dengan diversifikasi perdagangan
produk-produk manufaktur Indonesia ke luar, sehingga tidak hanya terkesan mencari sumber energi, tetapi
juga bekerjasama dengan isu-isu lain.
Kesimpulan
Kepentingan negara-negara yang tidak dapat diakomodasikan secara sepihak telah membawa
hubungan antar negara dalam satu proses interdependen. Perdagangan bebas adalah satu payung besar yang
memfasilitasi ketergantungan hubungan negara-negera di dunia. Perdagangan energi antara Indonesia dan
Cina melalui perjanjian kesepakatan yang telah dilakukan tahun 1993 hingga 2008 ternyata belum dapat
menghasilkan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia, sebab Indonesia sendiri belum mendapatkan
sumber bahan energi yang pasti. Sebab: pertama, pemerintah telah menerapkan liberalisasi perusahaan
mstrategi perusahaan nasional Indonesia dan BP migas yang tidak didukung oleh pemerintah yang malah
tidak memberikan ruang bagi Pertamina untuk bersaing dengan perusahaan minyak dari negara lain. Kedua,
pemerintah masih sangat berorientasi pada pasar yang mengendalikan perdagangan energi, padahal
seharusnya pemerintah yang harus bertanggung jawab meregulasi dan memberikan kesempatan untuk
perusahaan nasional untuk lebih berkembang. Ketiga, walaupun demikian Indonesia melalui kerangka good
governance harus tetap optimis dengan kesempatan yang ada, yaitu untuk meningkatkan potensi domestik
dengan menekankan nilai self-sufficiency dan dengan menerapkan kebijakan pro-aktif mencari cadangan
minyak di luar negeri.

Daftar Pustaka
Buku
Balaam, David N. dan Veseth, Michael. (2005). Introduction to International Political Economy, Third edition.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Dupont, Alan. (2001). East Asia Imperilled: Transnational Challanges to security. Cambridge: Cambridge
University press.
Frieden, Jeffry A. (2006). Global Capitalism. London dan New York: W. W. Norton
Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia. (2009). Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Klare, Michael T, Rising Power (2008), Shrinking Planet: The New Geopolitics of Energy, New York:
Metropolitan Books.
Marc, Holzer & Joon, Kim Byong- (ed.), (2002). Building Good Governance: Reforms in Seoul, National Center
for Public Productivity.
Michael Zuü rn. (2001). From Interdependence to Globalization, dalam Handbook of International Relations,
London: Sage Publication.
Wibowo, Ignatius dan Hadi, Syamsul (ed.), (2009). Merangkul Cina: Hubungan Indonesia-Cina pasca-Soeharto.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Willrich, Mason (1975) Energy and World Politics. New York: Mac Millan Publishing Company Inc.

Jurnal
Formaini, Robert L. (April 2010). David Ricardo:Theory of Free International Trade dalam “Economic Insights”
Federal Reserve Bank of Dallas Vol.9 No. 2, diakses dari
http://www.dallasfed.org/research/ei/ei0402.pdf pada tanggal, pukul 13.05 WIB.
Keliat, Makmur, Kebijakan Keamanan Energy, (November 2006) dalam Jurnal Global Vol 8, No.2.
Klare, Michael T. (April 2006). Fuelling the Dragon: China’s Strategic Energy Dilemma, dalam Current History.
Laura Edgar, Claire Marshall dan Bassett, Michael. (Agustus, 2006) Partnership, Putting Good Governance
Principles in Practice, dalam Institute On Governance. Diakses dari
http://www.iog.ca/publications/2006_partnerships.pdf pada tanggal 21 April 2010, pukul 13.00
WIB.
Artikel dan sumber Website
”China’s Policy on Mineral Resources“ (Desember 2009) diakses dari
http://English.gov.cn/oficial/2005/07/28/content_17963.htm, , pukul 19.43 WIB
Key Indicator of Indonesia Energy and Mineral Resources, centre for data and information on Energy and
Minerak resources. (2007) Ministry of Energy and Mineral Resources, www.esdm.go.id
www.bpmigas.com

Anda mungkin juga menyukai