Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

SKIZOFRENIA

Disusun oleh:

Pembimbing:
dr., Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JIWA


RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 9 DESEMBER 2019 – 4 JANUARI 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa :
Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS dr. H. Marzoeki Mahdi
Periode : Periode 9 Desember 2019 – 4 Januari 2020
Judul : Schizofrenia
Pembimbing : dr. , Sp.KJ

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :


Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Jiwa RS dr. H. Marzoeki Mahdi.

Jakarta, 16 Desember 2019

dr., Sp. KJ
BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini


mengganggu proses kognitif, perilaku dan emosi. Skizofrenia sendiri terdiri dari beberapa
simtom. Skizofrenia mengganggu fungsi sosial manusia. Individu yang mengalami gangguan
skizofrenia biasanya menarik diri dari orang lain dan kenyataan. Hal ini disebabkan individu
yang mengalami gangguan skizofrenia memiliki fantasi yang berlawanan dengan kenyataan
(waham) dan halusinasi.1
Prevalensi skizofrenia di Indonesia berkisar 0,3-1 % dan biasanya timbul pada usia
sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang berusia 11-12 tahun sudah menderita skizofrenia.
Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan 2 juta jiwa menderita
skizofrena.2 Laki-laki ditemukan lebih banyak mengalami skizofrenia, akan tetapi perubahan
suasana hati yang dialami oleh penderita laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama.
Skizofrenia berkembang diusia remaja akhir hingga pertengahan 30 tahun. Laki-laki biasanya
mengembangkan skizofrenia diusia awal 20 tahun hingga pertengahan 20 tahun, sedangkan
perempuan mengembangkan skizofrenia diusia pertengahan 20 tahun.1
Penyebab skizofrenia terdiri dari faktor biologis, faktor sosial dan faktor psikologis.
Penyebab yang berasal dari faktor biologis seperti genetika dan neuropatologi. Kelas sosial
juga menjadi faktor sosial penyebab skizofrenia. Kelas sosial yang rendah dapat menjadi suatu
kerentanan individu mudah mengembangkan skizofrenia. Sedangkan faktor psikologis yang
menjadi penyebab skizofrenia adalah faktor keluarga dan kejadian atau peristiwa hidup yang
menyebabkan terjadinya suatu tekanan. 2
Skizofrenia juga memiliki dampak yang sangat besar. Hal ini terjadi karena kebanyakan
individu yang mengembangkan skizofrenia tidak dapat sembuh sepenuhnya dan harus
memperoleh perawatan dalam jangka panjang. Salah satu dampak dari skizofrenia adalah
penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif seperti gangguan fungsional, ingatan,
bahasa hingga proses berpikir yang lamban.3
Pasien skizofrenia merasa bahwa dirinya akan ditolak oleh lingkungan dan tidak bisa
berbuat apa-apa karena fungsi yang menurun. Pasien skizofrenia akhirnya merasa kesepian dan
mengembangkan konsep diri yang buruk hingga tidak percaya diri dalam lingkungan sosial.1
Mengalami gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada
keluarga dan negara. Kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehan jiwa mencapai 20
Triliun rupiah. Karena itu masalah gangguan jiwa ini perlu mendapatkan perhatioan yang serius
dari pemerintah agar pelayanan bagi penderita gangguan jiwa ini bisa lebih baik. Pelayanan
bagi penderita gangguan jiwa tidak terlepas dari peran para profesional kesehatan seperti
psikiater, psikolog, perawat psikiatri, occupational therapist dan pekerja sosial. Sehingga
diperlukan peningkatan pemahaman yang terus menerus tentang gangguan jiwa. Pada
kesempatan kali ini, kelompok kami akan menyampaikan tentang pengertian, teori, tanda –
tanda dan tipe-tipe skizofrenia, serta kasus dan diagnosis menurut PPDGJ . Diharapkan dengan
penyampaian materi ini terjadi peningkatan pemahaman dan sedikit merubah persepsi negatif
menjadi positif pada penderita skizofrenia.2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau
pecah dan phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ ketidakserasian antara afek,
kognitif, dan perilaku. Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan
utama pada proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi,
kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan
halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek dan emosi
inadekuat, serta psikomotor yang menunjukkan penarikan diri, ambivalensi dan
perilaku bizar. Kesadaran dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara,
walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang dikemudian hari. Skizofrenia adalah
gangguan yang berlangsung selama minimal 6 bulan dan mencakup setidaknya 1 bulan
gejala fase aktif. Sementara itu gangguan skizofrenia dikarakteristikan dengan gejala
positif (delusi dan halusinasi), gejala negatif (apatis, menarik diri, penurunan daya pikir,
dan penurunan afek), dan gangguan kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah,
dan sosial). Terdapat beberapa tipe dari skizofrenia (Paranoid, hiberfrenik, katatonik,
undifferentiated, dan Residual). 1
Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ III, untuk mendiagnosa skizofrenia harus ada
sedikitnya satu gejala berikut ini yang jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila
gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): Thought echo = isi pikiran dirinya
sendiri yang bergema dan berulang dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran
ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda. Thought insertion or
withdrawal = isi pikiran asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal). Thought
broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya. Delution of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu
kekuatan tertentu dari luar. Delution of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi
oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar. Delution of passivity = waham tentang dirinya
tidak berdaya dan pasrah terhadap kekuatan dari luar. Delution of perception =
pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat. Gejala-gejala lainnya adalah Halusinasi
auditorik: suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus tentang perilaku
pasien. Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara). Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
Waham- waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus
selalu ada secara jelas: halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued
ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan
atau neologisme. Perilaku katatonik, seperti gaduh- gelisah, posisi tubuh tertentu, atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor. Gejala-gejala negatif, seperti
sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional yang menumpul atau
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Gejala harus berlangsung minimal
1 bulan. Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
dari beberapa aspek perilaku pribadi. 1
Sementara berdasarkan PPDGJ-III untuk memdiagnosis skizofrenia paranoid
harus memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahannya terdapat:
Halusinasi dan atau waham arus menonjol, suara-suara halusinasi yang mengancam
pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming) atau bunyi tawa (laughing). Halusinasi
pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , atau lain-lain, perasaan tubuh,
halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol. Waham dapat berupa hampir
setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence) atau passivity (delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol. 1
2.2 Epidemiologi
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1%
penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia
biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki
biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis
biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah
umur 40 tahun jarang terjadi. 2
Kejadian skizofrenia pada pria lebih besar daripada wanita. Kejadian tahunan
berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada imigran dibanding penduduk
asli sekitar 4,7%, kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita. Di
Indonesia, hampir 70% mereka yang dirawat di bagian psikiatri adalah karena
skizofrenia. Angka di masyarakat berkisar 1-2% dari seluruh penduduk pernah
mengalami skizofrenia dalam hidup mereka. Indonesia sebagai negara dengan jumlah
penduduk yang banyak dapat memiliki prevalensi skizofrenia yang tinggi. 2
Data America Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan bahwa
1 % populasi penduduk dunia menderita skizofrena dan 75% penderita dari skizofrenia
dapat terjadi pada usia 16-25 tahun. Adapun data prevalensi penderita skizofrenia di
Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya penyakit ini timbul di usia sekitar 18-45 tahun,
dan ada juga yang baru berusia 11-12 tahun sudah menderita skizofrenia. 3
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 bahwa prevalensi
gangguan jiwa berat tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 20,3 per
1000 penduduk. Adapun menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
bahwa prevalensi psikosis atau skizofrenia tertinggi adalah di DI Yogyakarta dan Aceh
(masing-masing 2,7 per 1000 penduduk). 3

2.3 Patofisiologi
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi
sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada dopamin
yang mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan
pada serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang
pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari
jalur neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan gejala-gejala skizofrenia. 4
Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu:
a. Jalur Mesolimbik: berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental ke
batang otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini memiliki
fungsi berhubungan dengan memori, indera pembau, efek viseral automatis,
dan perilaku emosional. Hiperaktivitas pada jalur mesolimbik akan
menyebabkan gangguan berupa gejala positif seperti waham dan halusinasi;
b. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke korteks
prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial, menahan
diri, dan aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur mesokortikal akan
menyebabkan gangguan berupa gejala negatif dan kognitif pada skizofrenia.
Jalur mesokortikal terdiri dari mediasi gejala kognitif (dorsolateral
prefrontal cortex / DLPFC ) dan gejala afektif (ventromedial prefrontal
cortex / VMPFC) skizofrenia.
c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari
dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal ganglia
atau striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi menginervasi sistem
motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur nigrostriatal berhubungan
dengan efek neurologis (Ekstrapiramidal / EPS) yang disebabkan oleh obat-
obatan antipsikotik tipikal / APG-I (Dopamin D2 antagonis).

d. Jalur Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamus dan


memproyeksikan pada anterior glandula pituitari. Fungsi dopamin disini
mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar, haus,
fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan
ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik mempunyai efek samping pada
fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin.
e. Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk
periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus,
nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun,
fungsinya masih belum diketahui.
Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari
skizofrenia adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Hipotesis ini
disokong dari hasil observasi pada beberapa obat antipsikotik yang digunakan untuk
mengobati skizofrenia dimana berhubungan dengan kemampuannya menghambat
dopamin (D2) reseptor. 4
2.4 Etiologi
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu.
Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih
minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya
skizofrenia, antara lain:3,5
a. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu
telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung
7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-
16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu ttelur (monozigot) 61-86%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada
lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.
b. Endokrin
Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh gangguan
endokrin. Teori ini dikemukakan karena skizofrenia sering timbul pada waktu
pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal
ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Ada orang yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh
gangguan metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan
tidak sehat. Ujung extremitas agak sianotik, nafsu makan berkurang dan berat
menurun. Hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini
teori metabolisme mendapat perhatian lagi karena penelitian dengan memakai
obat halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik diethilamide (LSD-25).
Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala
skizofrenia, tetapi reversibel. Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn
error of metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.
Teori-teori tersebut di atas ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok
teori somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam
kelainan badaniah. Kelompok teori lain adalah teori psikogenik, yaitu
skizofrenia diaggap sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama
adalah konflik, stress psikologis dan hubungan antarmanusia yang
mengecewakan.
Kemudian muncil teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu
sindrom yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyebab, antara lain
keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badan
seperti luas otak atherosclerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.
Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan
psikosomatis, gejala-gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar
yang psikogenik, atau merupakan manifestasi somatic dari gangguan
psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru kesukarannya adalah untuk
menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan
penyebab dan mana yang hanya akibat saja.
d. Neurokimia
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
overaktivitas pada jaras dopamine mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan
bahwa amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamine, dapat
menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat antipsikotik (terutama
antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik) bekerja dengan
memblok reseptor dopamine, terutama reseptor D2.2,3
2.5 Penegakan Diagnosis
Adanya halusinasi atau waham tidak mutlak untuk diagnosis skizofrenia;
gangguan pada pasien didiagnosis sebagai skizofrenia apabila pasien menunjukkan dua
gejala yang terdaftar sebagai gejala 3 sampai 5 pada kriteria A (1. Waham 2. Halusinasi
3. Bicara kacau 4. Perilaku yang sangat kacau/katatonik 5. Gejala negatif, yaitu: afek
medatar, alogia, atau anhedonia). Hanya dibutuhkan satu gejala kriteria A bila
wahamnya bizare atau halusinasinya terdiri atas suara yang terus-menerus memberi
komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling
bercakap-cakap. Kriteria B membutuhkan adanya hendaya fungsi, meski tidak
memburuk, yang tampak selama fase aktif penyakit. Gejala harus berlangsung selama
paling tidak 6 bulan dan diagnosis gangguan skizoafektif atau gangguan mood harus
disingkirkan. Setidaknya salah satu hal ini harus ada:
1. Gema pikiran (thought echo)
2. Waham kendali, pengaruh, atau pasivitas
3. Suara-suara halusinasi yang terus-menerus mengomentari perilaku pasien atau saling
mendiskusikan pasien, atau suara halusinasi lain yang berasal dari bagian tubuh
tertentu; dan
4. Waham persisten jenis lain yang secara budaya tidak sesuai dan sangat tidak masuk
akal.

Diagnosis juga dapat ditegakkan bila setidaknya dua hal berikut ada:
1. Halusinasi persisten dalam modalitas apapun, bila terjadi setiap hari selama
sekurangnya 1 bulan, atau bila disertai waham
2. Neologisme, kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan
menggabungkan suku kata atau dari kata-kata lain.
3. Perilaku katatonik, seperti eksitasi, postur atau fleksibilitas serea, negativisme,
mutisme, dan stupor
4. Gejala negatif, seperti apatis yang nyata, miskin isi pembicaraan, dan respons
emosional tumpul serta ganjil (harus ditegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan
depresi atau pengobatan antipsikotik).6
2.6 Pemeriksaan Fisik
1. Status fisik
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu
pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi
memerlukan pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian dari
proses somatik. Bila ada, yang berperan menyebabkan penderitaan tersebut. Hal
yang sama dapat digunakan pada gejala mental misalnya depresi, ansietas,
halusinasi, dan waham kejar, yang bisa jadi merupakan ekspresi dan proses somatik.
Terkadang keadaan menyebabkan kita perlu menunda pemeriksaan medis lengkap.
Misalnya, pasien dengan waham atau panik dapat menunjukkan perlawanan sikap
bertahan atau keduanya. Pada keadaan ini, riwayat medis harus diperoleh dari
anggota keluarga bila memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan mendesak untuk
melanjutkan pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien menurut.
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan atensi
pasien terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara bicara, postur,
dan cara berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk dua
tujuan. Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan neurologis rutin, yaitu
terutama dirancang untuk mengungkap asimetri fungsi motorik, persepsi, dan
refleks pada kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh penyakit hemisferik fokal.
Tujuan kedua tercapai dengan mencari untuk memperoleh tanda yang selama ini
dikaitkan dengan disfungsi otak difus atau penyakit lobus frontal. Tanda ini
meliputi refleks mengisap, mencucur, palmomental, dan refleks genggam serta
menetapnya respons terhadap ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks genggam,
tanda seperti itu tidak berkaitan erat dengan patologi otak yang mendasari.7
2. Status mental
 Deskripsi umum
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien skizofrenia
dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit, dan
teragitasihingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan
imobil.
o Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata
Kategori ini merujuk pada aspek kuantitatif dan kualitatif dari perilaku
motorik pasien. Termasuk diantaranya adalah manerisme, tik, gerakan tubuh,
kedutan, perilaku streotipik, ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi, sikap
melawan, fleksibilitas, rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan.
o Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai kooperatif,
bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan, seduktif, defensif,
merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu,
menyenangkan, suka mengelak, atau berhati-hati.
 Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang mewarnai
persepsi orang tersebut terhadap dunia.
Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi pasien saat ini, yang tersirat dari
ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan kisaran perilaku ekspresif.
 Kakteristik gaya bicara
Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm pendiam,
tidak spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari pewawancara. Gaya
bicara dapat cepat atau lambat, tertekan, tertahan, emosional, dramatis, monoton,
keras, berbisik, cadel, terputus-putus, atau bergumam. Gangguan bicara,
contohnya gagap, dimasukkan dalam bagian ini.
 Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau
lingkungannya, dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat
(contohnya: auditorik, visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi
tersebut harus dijelaskan.
 Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan organ
tubuh yang terganggu. Contoh halusinasi senestik mencakup sensasi terbakar
pada otak, sensasi terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi tertusuk pada
sumsum tulang.
 Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang
nyata, sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau sensasi yang nyata.
Ilusi dapat terjadi pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun dapat pula
terjadi dalam fase prodromal dan selama periode remisi.
 Isi pikir dan kecenderungan mental
o Proses pikir (bentuk pemikiran)
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat
terjadi proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat ekstrim, disebut
flight of ideas. Seorang pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang
lambat atau tertahan. Gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang
bersifat tangensial, sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau
perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide selesai
diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya kemampuan berpikir
yang mengarah ke tujuan dalam mengemukakan suatu ide, pasien
menyertakan banyak detail yang tidak relevan dan komentar tambahan namun
pada akhirnya mampu ke ide semula. Tangensialitas merupakan suatu
gangguan berupa hilangnya benang merah pembicaraan pada seorang pasien
dan kemudian ia mengikuti pikiran tangensial yang dirangsang oleh berbagai
stimulus eksternal atau internal yang tidak relevan dan tidak pernah kembali
ke ide semula. Gangguan proses pikir dapat tercermin dari word salad
(hubungan antarpemikiran yang tidak dapat dipahami atau inkoheren), clang
association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi berdasarkan makna
ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh pasien melalui
kombinasi atau pemadatan kata-kata lain).
o Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia,
rencana, niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau pembunuhan, gejala
hipokondriakal, dan kecenderungan antisosial tertentu.
 Sensorium dan kognisi
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi pasien,
kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.
o Kesadaran
Gangguan kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan organik
pada otak.
o Orientasi dan memori
Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan orang.
o Konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan. Gangguan kognitif,
ansietas, depresi, dan stimulus internal, seperti halusinasi auditorik, semuanya
dapat berperan menyebabkan gangguan konsentrasi.
o Membaca dan menulis
o Kemampuan visuospasial
Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan jam
dinding atau segilima bertumpuk.
o Pikiran abstrak
Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin memiliki
gangguan dalam membuat konsep atau menangani ide.
o Informasi dan inteligensi

 Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan


Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan
kognitif atau psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang kronik,
seperti yang dijumpai pada gangguan kepribadian.
Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara pasien skizofrenik yang
tidak diobati. Waham yang bersifat kejar, episode kekerasan sebelumnya, dan
defisit neurologis merupakan faktor resiko perilaku kekerasan atau impulsif.
Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik mencoba bunuh diri, dan 10
sampai 15 persen pasien skizofrenia meninggal akibat bunuh diri. Mungkin
faktor yang paling tidak diperhitungkan yang terlibat dalam kasus bunuh diri
pasien ini adalah depresi yang salah diagnosis sebagai afek mendatar atau efek
samping obat. Faktor pemicu lain untuk bunuh diri mencakup perasaan
kehampaan absolut, kebutuhan melarikan diri dari penyiksaan mental, atau
halusinasi auditorik yang memerintahkan pasien mebunuh diri sendiri.
Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar melakukan pembunuhan, hal
itu mungkin dilakukan dengan alasan yang aneh atau tak disangka-sangka yang
didasarkan pada halusinasi atau waham.
 Daya nilai dan tilikan
- Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial.
Dapatkah pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam situasi
imajiner. Contohnya: apa yang akan pasien lakukan ketika ia mencium asap
dalam suasana gedung bioskop yang penuh sesak?
- Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Pasien
dapat menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau mungkin
menunjukkan sedikit kesadaran kalau dirinya sakit namun menyalahkan
orang lain, faktor eksternal, atau bahkan faktor organik. Mereka mungking
menyadari dirinya sakit, namun menganggap hal tersebut sebagai sesuatu
yang asing atau misterius dalam dirinya.
 Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan
untuk melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila pasien terbuka
mengenai penyalahgunaan obat tertentu secara aktif mengenai keadaan yang
menurut pasien dapat berpengaruh buruk (mislnya, bermasalah dengan hukum),
psikiater dapat memperkirakan bahwa realiabilitas pasien adalah baik.7,8
3. Pemeriksaan tambahan
Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat, dan tes
neuropsikologis.
 Tes inteligensi
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient)
sebagai suatu cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya
sebagai berikut:

Umur mental
HI= ------------------------- x 100
Umur kalender

Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling tinggi
15 (biarpun sebenarnya lebih), karena tes inteligensi yang ada sekarang sukar
untuk mengukur perbedaan inteligensi di atas umur 15 tahun.
 Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas dan
validitas kurang dari tes inteligensi. Hal ini disebabkan antara lain karena begitu
banyaknya sifat kepribadian manusia dan sukarnya mencari parameter atau
indikatro yang tepat dan dapat diukur untuk suatu sifat kepribadian tertentu.
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku manusia atau perannya dalam
hubungan antar manusia, pribadinya dapat dibedakan dari pribadi lain. Peran ini
bukan saja perilaku yang nyata, tetapi juga sikap internal, kecenderungan
bertindak dan hambatan. Kepribadian dapat dievaluasi dengan cara observasi,
wawancara, atau melalui daftar pertanyaan, tes melengkapi kalimat atau tes
proyeksi.
 Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara otak dan
perilaku dengan menggunakan prosedur tes yang terstandarisasi dan objektif.
Tes ini menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes neuropsikologis adalah
identifikasi, kuantifikasi, dan deskripsi perubahan kognitif dan perilaku yang
disebabkan oleh disfungsi otak. Dalam hal ini, ranah (domain) yang dievaluasi
adalah kemampuan berbahasa, memori, penalaran dan pertimbangan intelektual,
fungsi visual-motor, fungsi sensori-perseptual, dan fungsi motorik.7,8

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Meskipun pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang, tetapi
peranannya penting dalam menjelaskan dan menkuantifikasi disfungsi neurofisiologis,
memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis. Hasil pemeriksaan laboratorik harus
dapat diintegrasikan dengan data riwayat penyakit, wawancara dan pemeriksaan
psikiatrik untuk memperoleh gambaran komprehensif tentang diagnosis dan
pengobatan yang diperlukan oleh pasien.

Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan
sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk dipertimbangkan:
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Elektrolit serum
3. Glukosa darah
4. Tes fungsi hepar
5. Tes fungsi ginjal
6. Kalsium serum
7. Uji fungsi tiroid
8. Pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA)
9. Tes urin untuk obat terlarang.6,7

2.8 Jenis – Jenis Skizofrenia


a. Tipe paranoid
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau
halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik yang sugestif
untuk tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid
terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien skizofrenia
paranoid biasanya mengalami episode pertama penyakit pada usia yang lebih tua
dibanding pasien skizofrenia hebefrenik dan katatonik. Pasien yang skizofrenianya
terjadi pada akhir usia 20-an atau 30-an biasanya telah memiliki kehidupan sosial
yang mapan yang dapat membantu mengatasi penyakitnya, dan sumber ego pasien
paranoid cenderung lebih besar dibanding pasien skizofrenia hebefrenik atau
katatonik. Pasien skizofrenia paranoid menunjukkna regresi kemampuan mental,
respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia
tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid biasanya tegang, mudah curiga, berjaga-jaga,
berhati-hati, dan terkadang bersikap bermusuhan atau agresif, namun mereka
kadang-kadang dapat mengendalikan diri mereka secara adekuat pada situasi sosial.
Inteligensi mereka dalam area yang tidak dipengaruhi psikosisnya cenderung tetap
utuh.

b. Tipe disorganized
Skizofrenia tipe disorganized (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai dengan
regresi nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak
adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Onset subtipe ini biasanya
dini, sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik biasanya aktif namun dalam sikap
yang nonkonstruktif dan tak bertujuan. Gangguan pikir menonjol dan kontal dengan
realitas buruk. Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan, respons
emosional mereka tidak sesuai dan tawa mereka sering meledak tanpa alasan jelas.
Seringai atau meringis yang tak pantas lazim dijumpai pada pasien inim yang
perilakunya paling baik dideskripsikan sebagai konyol atau tolol.
c. Tipe katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari beberapa bentuk katatonia:
- Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap lingkungan
atau orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di sekitarnya.
- Negativsme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau usaha-
usaha untuk menggerakkan fisiknya.
- Rigiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rigid.
- Postur katatonik yaitu pasein mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.
- Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat
mengancam jiwanya (misalnya, karena kelelahan).
d. Tipe tak terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang
menonjol (misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia
tetapi tidak dapat digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual,
dan depresi pasca skizofrenia.
e. Tipe residual
Pasien dalam keadaan remmsi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan
gejala-gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi,
perilaku eksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).
f. Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks adalah sulatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinka
karena bergantung pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan,
progresif dari gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya
riwayat halusinasi, waham atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode
psikotik sebelumnya, dan disertai degan perubahan-perubahan yang bermakna pada
perilaku perorangan, yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok,
kemalasan, dan penarikan diri secara sosial.6,8

2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.
2.9.1 Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk
mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup
dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
1. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama
terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama.
Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat
memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor
dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek
yang paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-parkinsonian
berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda
dan sindrom neuroleptik maligna.
2. Antagonis Serotonin-Dopamin
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada,
berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding
antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun
glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan
endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala
negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal ini
tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas
dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan
ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif
skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada,
menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah disetujui di
antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan
ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor
dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen
antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood
ditambah penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini
digunakan mengobati keadaan skizofrenia.7,8,10
Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.9
Nama Obat
Haloperidol Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan suara pada
(Haldol) anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas ditentukan,
tetapi diseleksi oleh competively blocking postsynaptic dopamine (D2)
reseptor dalam sistem mesolimbic dopaminergic; meningkatnya
dopamine turnover untuk efek tranquilizing. Dengan terapi subkronik,
depolarization dan D2 postsynaptic dapat memblokir aksi antipsikotik.
Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2 dopamine
(Risperdal) selama 20 menit, lebih rendah afinitasnya dibandingkan reseptor 5-
HT2. Juga mengikat reseptor alpha1-adrenergic dengan afinitas lebih
rendah dari H1-histaminergic dan reseptor alpha2-adrenergic.
Memperbaiki gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian
pada efek ekstrpiramidal.
Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi sistem
(Zyprexa) reseptor (seperti serotonin, dopamine, kolinergik, muskarinik, alpha
adrenergik, histamine). Efek antipsikotik dari perlawanan dopamine
dan reseptor serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis
dan gangguan bipolar.
Clozapine Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi
(Clozaril) nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin, dan reaksi arousal
menghambat efek signifikan. Tepatnya antiserotonin. Resiko
terbatasnya penggunaan agranulositosis pada pasien nonresponsive
atau agen neuroleptik klasik tidak bertoleransi.
Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang. Mampu
(Seroquel) melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih awal
antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan kurangnya distonia,
parkinsonism, dan tardive diskinesia.
Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme
(Abilify) kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari antipsikotik
lainnya. Aripiprazole menimbulkan partial dopamine (D2) dan
serotonin (5HT1A) agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).
Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran
Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Risperidone
Tab. 1 – 2 – 3 mg 2 – 6 mg/hari
(Risperdal)
Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100 mg 25 – 100 mg/hari
Quetiapine (Seroquel) Tab. 25 – 100 mg
50 – 400 mg/hari
200 mg
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10 – 15 mg/hari

3. Profil Efek Samping


Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:
o Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
o Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut
kering, kesulitan miksi&defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
o Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom parkinson:
tremor, bradikinesia, rigiditas).
o Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian panjang.

Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada
yang sampai membutuhkan obat simptomatik untuk meringankan penderitaan
pasien.
Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan
berulang involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak,
dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada
pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut.
Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis.
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik
harus dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin lengkap, fungsi
hati, fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.
Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai
akibat overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari
akibat yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila
obat belum lama dimakan.
4. Interaksi Obat
 Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik
meningkat (hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus,
penyakit jantung).
 Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk
kasus dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah antipsikosis
Haloperidol.
 Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn disebabkan
gangguan absorpsi.

2.9.2 Terapi Psikososial


- Pelatihan keterampilan sosial
Pelatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan
berguna untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang
biasa tampak pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat
melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk kontak mata
yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh,
kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak akurat atau
kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan keterampilan perilaku
diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video tape berisi orang lain dan
si pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk
keterampilan khusus yang dipraktekkan.
- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus
pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok dapat
berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.
- Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi
kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang
membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang memiliki
tilikan terhadap penyakitnya.
- Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk
membangun hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas
terapis, jarak emosional antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis
sebagaimana yang diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi pengalaman
terapeutik. Psikoterapi untuk pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan
untuk dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi,
bulan, atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti menekankan bahwa
kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk aliansi terapeutik dengan
terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu
membentuk aliansi terapeutik yang baik cenderung bertahan dalam psikoterapi,
terapi patuh pada pengobatan, serta memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi
tindak lanjut 2 tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal
merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien skizofrenia yang baru-
baru ini terbentuk. Tujuannya adalah meningkatkan penyesuaian personal dan
sosial serta mencegah terjadinya relaps. Terapi ini merupakan metode pilihan
menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi
diri, kesadaran diri, serta eksplorasi kerentanan individu terhadap stress.7,8

2.10 Komplikasi
Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan
mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami penderita
yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi sosial, dimana
penderita dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga menjadi korban kekerasan
dan melukai diri sendiri. Pada komplikasi depresi, penderita dapat melakukan tindakan
bunuh diri. Disamping bunuh diri karena depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia
yang tadinya tidak merokok, banyak menjadi perokok berat ini diperkirakan karena
faktor obat, yang memblok satu reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang
menimbulkan rasa senang, pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya
penderita skizofrenia mencari kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari
rokok. Dan resiko dari perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran
pernapasan, kanker, jantung, dan penyakit fisik lainnya.
Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap hormon
estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga dapat
terjadi osteoporosis.9

2.11 Prognosis
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun setelah
rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% persen
yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat
digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi
gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia
tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor
dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari
10-60%, dan taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami
gejala sedang, dan 40-60% pasien tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat
gangguan tersebut selama hidup mereka.8

2.12 Pencegahan
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa
dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting,
terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah
didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah terjadinya gejala
skizofrenia berkelanjutan.9
BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir
serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai
distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga
muncul inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang menunjukkan penarikan
diri, ambivalensi dan perilaku bizar.
Skizofrenia berlangsung selama minimal 6 bulan dan mencakup setidaknya 1 bulan
gejala fase aktif. Sementara itu gangguan skizofrenia dikarakteristikan dengan gejala positif
(delusi dan halusinasi), gejala negatif (apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan
penurunan afek), dan gangguan kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah, dan sosial).
Terdapat beberapa tipe dari skizofrenia (Paranoid, hiberfrenik, katatonik, undifferentiated, dan
Residual).
Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ III, untuk mendiagnosa skizofrenia harus ada
sedikitnya satu gejala berikut ini yang jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-
gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang
bergema dan berulang dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda.
Penyebab schizophrenia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor biologis,
endokrin dan metabolism. Penegakan diagnosis dengan adanya halusinasi atau waham tidak
mutlak untuk diagnosis skizofrenia; gangguan pada pasien didiagnosis sebagai skizofrenia
apabila pasien menunjukkan dua gejala yang terdaftar sebagai gejala 3 sampai 5 pada kriteria
A (1. Waham 2. Halusinasi 3. Bicara kacau 4. Perilaku yang sangat kacau/katatonik 5. Gejala
negatif, yaitu: afek medatar, alogia, atau anhedonia).
Tatalaksana yang diberikan mencakup farmakoterapi dan terapi psikososial. Lebih dari
50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang,
eksaserbasi gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun,
skizofrenia tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor
dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-
60%, dan taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala
sedang, dan 40-60% pasien tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan
tersebut selama hidup mereka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendarsyah F. Diagnosis dan tatalaksana skizofrenia paranoid dengan gejala-gejala
positif dan negatif. J Medula Unila 2016;4(3):57-62.
2. Zahnia S, Sumekar DW. Kajian epidemiologis skizofrenia. MAJORITY
2016;5(4):160-6.
3. Handayani L, Febriani, Rahmadani A, Saufi A. Faktor risiko kejadian skizofrenia di
rumah sakit jiwa Grhasia daerah istimewa Yogyakarta (DIY). Humanitas
2016;13(2):135-48.
4. Fatani BZ, Aldawod R, Alhawaj FA, Alsadah S, Slais FR, Alyaseen EN, et al.
Schizophrenia: etiology, pathophysiology and management. The Egyptian Journal of
Hospital Medicine 2017;69(6):2640-6.
5. Wahyudi A, Fibriana AI. Faktor resiko terjadinya skizofrenia (studi kasus di wilayah
kerja di puskesmas pati II). Public Health Perspective Journal 2016;1(1):1-12.
6. Amir N. Skizofrenia. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar
psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2010.h.170-94.
7. Muttaqin H, Sihombing RNE, penyunting. Skizofrenia. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA.
Kaplan & sadock’s concise textbook of clinical psychiatry. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2010.h.147-75.
8. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi ke-2. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009.h.195-277.
9. Sobell JL, Mikesell MJ, Mcmurray CT. Genetics and etiopathophysiology of
schizophrenia. Mayo Clin Proc Oct 2005;77:1068-82.
10. Safitri A, penyunting. Obat antipsikosis. Dalam: Neal MJ. Medical pharmacology at a
glance. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.h.60-1.

Anda mungkin juga menyukai