Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH BIOTEKNOLOGI LINGKUNGAN

PERKEMBANGAN BIOTEKNOLOGI LINGKUNGAN

Disusun oleh :

Kelompok I
Zikir Akbar Kemala (1607115740)
Elma Anggrayni (1607115586)
Ulfa Dwi Artha (1607111903)
Juniati Safitri (1607123672)

Dosen Pengampu:
Dr. Said Zul Amraini, ST.MT

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU

2019
Lembar Pengesahan
Bioteknologi Lingkungan

Dosen pengampu mata kuliah bioteknologi lingkungan dengan ini menyatakan bahwa:

Kelompok I
Zikir Akbar Kemala (1607115740)
Elma Anggrayni (1607115586)
Ulfa Dwi Artha (1607111903)
Juniati Safitri (1607123672)

1. Telah melakukan perbaikan-perbaikan yang disarankan oleh Dosen Pengampu/Asisten


Dosen.
2. Telah menyelesaikan makalah bioteknologi lingkungan tentang “Perkembangan
Bioteknologi Lingkungan” yang disetujui oleh Dosen Pengampu/Asisten Dosen.

Catatan Tambahan:

Dosen Pengampu
Pekanbaru, 2019

Dr. Said Zul Amraini, ST.MT

i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Perkembangan
Bioteknologi Lingkungan“.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi.
Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya
mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Pekanbaru, 15 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... i
KATA PENGENTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
1.3 Tujuan............................................................................................................ 2
1.4 Lingkup Kajian .............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Bioteknologi ................................................................................ 3
2.2 Sejarah dan Perkembangan Bioteknologi ...................................................... 5
2.3 Jenis-jenis Bioteknologi ................................................................................ 9
2.3.1 Bioteknologi Tradisional ...................................................................... 9
2.3.2 Bioteknologi Modern ........................................................................... 10
2.4 Aplikasi Bioteknologi.................................................................................... 11
2.4.1 Bidang Kesehatan ................................................................................. 11
2.4.2 Bidang Pertanian .................................................................................. 12
2.4.3 Bidang Indusri ...................................................................................... 15
2.4.4 Bidang Lingkungan .............................................................................. 17
2.4.5 Bidang Pangan ...................................................................................... 17
2.4.6 Bidang Peternakan................................................................................ 18
2.5 Implikasi Bioteknologi .................................................................................. 19
2.5.2 Bioteknologi dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) ................... 19
2.5.3 Bioteknologi dan Keamanan Hayati ..................................................... 20
BAB III STUDI KASUS
3.1 Studi Kasus Enzim pada Vaksin ..................................................................... 21
3.2 Studi Kasus Mikoremediasi Logam Berat ...................................................... 23
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Studi Kasus Enzim pada Vaksin ..................................................................... 25
4.2 Studi Kasus Mikoremediasi Logam Berat ...................................................... 28
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 37
3.2 Saran .............................................................................................................. 37

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bioteknologi dalam Bidang Kesehatan ................................................. 12
Gambar 2.2 Bioteknologi pada Tanaman Jagung ..................................................... 13
Gambar 2.3 Pupuk kompos. ...................................................................................... 14
Gambar 2.4 Contoh aplikasi teknik kultur jaringan menggunakan organ
vegetative tanaman................................................................................. 14
Gambar 2.5 Salah satu produk pupuk hayati cair. ..................................................... 15
Gambar 2.6 Produksi Minuman Beer ........................................................................ 16
Gambar 2.7 Tomat Flavr savr ................................................................................... 18
Gambar 2.8 Sapi Herman merupakan sapi perah dengan hormon manusia
dan merupakan hasil cloning ................................................................. 19
Gambar 2.9 Domba dengan Pemberian BST. ........................................................... 19
Gambar 4.1 Struktur kristal toksin difteri ................................................................. 26
Gambar 4.2 Mekanisme infeksi toxin difteri............................................................. 27

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sejarah Perkembangan Bioteknologi ......................................................... 6

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada awalnya, bioteknologi diartikan sebagai teknologi yang menggunakan sel
hidup, yakni mikroorganisme, untuk menghasilkan suatu produk. Bioteknologi
tradisional ini sudah ada sejak lama seperti pada pembuatan keju, minuman anggur,
tempe, dan tape. Sedangkan bioteknologi modern (bioteknologi molekular) merupakan
teknologi yang memanfaatkan agen hayati atau komponen-komponennya yang telah
mengalami rekayasa genetik melalui teknologi DNA rekombinan untuk menghasilkan
barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungan (Sudjadi,
2008).
Saat ini Bioteknologi telah menjadi salah satu simbol perkembangan mutakhir
dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang penerimaannya telah mendunia. Banyak
negara-negara di dunia yang menaruh banyak harapan pada bioteknologi. Tumbuhnya
berbagai perusahaan kecil sampai raksasa yang berasaskan bioteknologi dan
pembentukan komite-komite bioteknologi di pemerintahan menandakan
perkembangan pesatnya. Selain itu, di berbagai Universitas mulai diperkenalkan mata
kuliah bioteknologi (Suwanto, 1998)
Pemerintah dari negara-negara maju maupun yang sedang berkembang telah
mengalokasikan sejumlah dana untuk mempercepat perkembangan bioteknologi di
negaranya, meskipun ada perbedaan dalam hal jumlah dana dan efisiensi
pemakaiannya. Pada umumnya mereka mengharapkan agar kesejahteraan masyarakat
dapat dipercepat dan ditingkatkan dengan bantuan bioteknologi. Banyak aspek
bioteknologi yang telah membuahkan hasil berupa produk yang mempunyai nilai
komersial tinggi (Suwanto, 1998).

1.2 Rumusan Masalah


Bioteknologi terus berkembang dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Sementara itu, banyak orang-orang yang belum memahami apa sebenarnya
bioteknologi itu, implikasi dan dalam bidang apa saja bioteknologi dapat diaplikasikan.

1
Kemudian diharapkan pembaca dapat memahami dan membedakan antara bioteknologi
modern dan tradisional dan penerapannya dalam kehidupan.

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dan pembaca mempelajari dan memahami mengenai bioteknologi,
mulai dari pengertian, sejarah perkembangan, implikasi dan aplikasinya.
2. Mahasiswa dapat mendefinisikan secara ringkas apa itu bioteknologi.
3. Pembaca dapat membedakan jenis-jenis bioteknologi yang ada serta
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
1.4 Lingkup Kajian
Lingkup kajian dalam makalah ini adalah mengenai pengertian, sejarah
perkembangan, jenis-jenis, implikasi dan aplikasi dari bioteknologi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bioteknologi


Istilah bioteknologi pertama kali dikemukakan oleh Karl Ereky, seorang
insinyur hongaria, pada tahun 1917 untuk mendeskripsikan produksi babi dalam skala
besar dengan menggunakan bit gula sebagai sumber pakannya. Sampai tahun 1970-an
bioteknologi selalu berasosiasi dengan rekayasa biokimia (biochemical engineering)
dan pada umumnya kuliah-kuliah yang berhubungan dengan bioteknologi juga
diberikan oleh Jurusan Rekayasa Kimia atau Rekayasa Biokimia (Suwanto, 1998).
Selama sekitar 45 tahun sejak Karl Ereky memperkenalkan istilah bioteknologi,
istilah ini telah dipakai dengan pengertian berbeda oleh pakar yang berbeda sehingga
menimbulkan kerancuan. Kerancuan ini berakhir pada 1961 ketika Carl Goren Heden
merekomendasikan agar nama suatu jumal saintifik untuk mempublikasi penelitian
dalam bidang mikrobiologi terapan dan fermentasi diubah dari Journal of
Microbiological and Biochemical Engineering and Technology menjadi Biotechnology
and Bioengineering. Sejak saat itu, bioteknoloogi diartikan sebagai: "produksi barang
dan jasa menggunakan organisme, sistem, atau proses biologi". Oleh karena itu
penelitian bioteknologi sangat bergantung pada mikrobiologi, biokimia, dan rekayasa
kimia (Suwanto, 1998).
Menurut Nurcahyo, H. (2011), Beragam batasan dan pengertian dikemukakan
oleh berbagai lembaga untuk menjelaskan tentang Bioteknologi. Beberapa diantaranya
akan diulas singkat sebagai berikut:
1. Bioteknologi merupakan penerapan asas-asas sains (ilmu pengetahuan alam)
dan rekayasa (teknologi) untuk pengolahan suatu bahan dengan melibatkan
aktivitas jasad hidup untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.
2. Bioteknologi merupakan penerapan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan
kerekayasaan untuk penanganan dan pengolahan bahan dengan bantuan agen
biologis untuk menghasilkan bahan dan jasa.
3. Bioteknologi adalah teknik pendayagunaan organisme hidup atau bagian
organisme untuk membuat atau memodifikasi suatu produk dan

3
meningkatkan/memperbaiki sifat tanaman atau hewan atau mengembangkan
mikroorganisme untuk penggunaan khusus.
4. Secara lebih sederhana bioteknologi merupakan eksploitasi komersial
organisme hidup atau komponennya seperti enzim.
5. Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup dan
'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari paduan
dua kata tersebut European Federation of Biotechnology mendefinisikan
bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa
yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian dari
organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan
jasa.
6. Atau secara tegas dinyatakan, Bioteknologi merupakan penggunaan terpadu
biokimia, mikrobiologi, dan ilmu-ilmu keteknikan dengan bantuan mikroba,
bagian-bagian mikroba atau sel dan jaringan organisme yang lebih tinggi dalam
penerapannya secara teknologis dan industry.
Menurut Nurcahyo, H. (2011), berdasarkan terminologinya, maka bioteknologi
dapat diartikan sebagai berikut:
1. “Bio” memiliki pengertian agen hayati (living things) yang meliputi; organisme
(bakteri, jamur (ragi), kapang), jaringan/sel (kultur sel tumbuhan atau hewan),
dan/atau komponen sub-selulernya (enzim).
2. “Tekno” memiliki pengertian teknik atau rekayasa (engineering) yaitu segala
sesuatu yang berkaitan dengan rancang-bangun, misalnya untuk rancang
bangun suatu bioreactor. Cakupan teknik disini sangat luas antara lain teknik
industri dan kimia.
3. “Logi” memiliki pengertian ilmu pengetahuan alam (sains) yang mencakup;
biologi, kimia, fisika, matematika dsb. Ditinjau dari sudut pandang biologi
(biosain), maka bioteknologi merupakan penerapan (applied); biologi
molekuler, mikrobiologi, biokimia, dan genetika. Dengan demikian,
bioteknologi merupakan penerapan berbagai bidang (disiplin) ilmu
(interdisipliner). Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang dapat menguasai
seluruh aspek bioteknologi.

4
Berdasarkan definisi dan pengertian di atas, maka bioteknologi tidak lain adalah
suatu proses yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Input yaitu bahan kasar (raw material) yang akan diolah seperti; beras, anggur,
susu, dsb.
2. Proses yaitu mekanisme pengolahan yang meliputi; proses penguraian atau
penyusunan oleh agen hayati.
3. Output yaitu produk baik berupa barang dan/atau jasa, seperti; alkohol, enzim,
antibiotika, hormon, pengolahan limbah.
Apapun batasan yang diberikan oleh para ahli yang pasti dalam proses
bioteknologi terkandung tiga hal pokok :
1. Agen biologis (mikroba, enzim, sel tanaman, sel hewan)
2. Pendayagunaan secara teknologis dan industrial
3. Produk dan jasa yang diperoleh.

2.2 Sejarah dan Perkembangan Bioteknologi


Kemajuan dan perkembangan bioteknologi tidak dapat terlepas dari kemajuan
dan dukungan ilmu-ilmu dasar seperti: mikrobiologi, biokimia, biologi molekuler, dan
genetika. Kompetensi menguasai bioteknologi tersebut dapat tercapai manakala
pembinaan sumber daya manusia diorientasikan pada kompetensi meneliti dan
menerapkan metode-metode mutakhir bioteknologi. Kemampuan menguasai dan
mengaplikasikan metode-metode mutakhir bioteknologi (current methods of
biotecnology) seperti kultur jaringan, rekayasa genetik, hibridoma, kloning, dan
polymerase chains reaction (PCR) secara prospektif telah mampu menghasilkan
produk-produk penemuan baru (Nurcahyo, H., 2011).
Secara umum, bioteknologi dapat diklafikasikan menjadi dua aras yaitu:
bioteknologi konvensional dan bioteknologi modern. Aplikasi bioteknologi
sesungguhnya telah berlangsung cukup lama, dalam peradaban manusia, seperti upaya
produksi antibiotik, fermentasi, alkohol, pangan dan teknologi pengolahan limbah ,
yang kesemuanya dapat dikelompokan ke dalam bioteknologi konvensional. Tetapi
mengapa nampaknya bioteknologi baru saja berkembang pada kurun abad ke dua puluh
ini? Karena secara implisit yang dimaksud bioteknologi adalah biteknologi modern,
yang intinya adalah rekayasa genetik, dengan teknik gen kloning yang berkembang

5
berdasar penemuan struktur dan fungsi DNA oleh Watson dan Creck (Nurcahyo, H.,
2011). Berikut ditampilkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sejarah Perkembangan Bioteknologi.
Tahun Penemuan/Perkembangan
1917 Karl Ereky memperkenalkan istilah bioteknologi
1943 Penisilin diproduksi dalam skala industri
1944 Avery, MacLeod, McCarty mendemonstrasikan bahwa DNA
adalah bahan genetik
1955 Watson & Crick menentukan struktur DNA
1961 Jurnal Biotechnology and Bioengineering ditetapkan
1961-1966 Seluruh sandi genetik terungkapkan
1970 Enzim restriksi endonuklease pertama kali diisolasi
1972 Khorana dan kawan-kawan berhasil mensintesa secara kimiawi
seluruh gen tRNA
1973 Boyer dan Cohen memaparkan teknologi DNA rekombinan
1975 Kohler dan Milstein menjabarkan produksi antibodi monoclonal
1976 Perkembangan teknik-teknik untuk menentukan sekuen DNA
1978 Genetech menghasilkan insulin manusia dalam E.coli
1980 US Supreme Court: Mikroorganisme hasil manipulasi dapat
dipatenkan
1981 Untuk pertama kalinya automated DNA synthesizers dijual
secara komersial
Untuk pertama kalinya kit diagnostik berdasar antibodi disetujui
untuk dipakai di USA
1982 Untuk pertama kalinya vaksin hewan hasil teknologi DNA
rekombinan disetujui pemakaiannya di Eropa
1983 Plasmid Ti hasil rekayasa genetik dipakai untuk transformasi
tanaman
1988 US Patent diberikan untuk mencit hasil rekayasa genetik
sehingga rentan terhadap kanker (untuk penelitian tumor)
Metode Polymerase Chain Reaction dipubliikasi
1990 USA: Telah disetujui percobaan Terapi gen sel somatik pada
manusia
1997 Kloning hewan (domba Dolly) dari sel dewasa (sel kambing)
2000 Pro dan kontra tanaman transgenik di Indonesia. Kapas
transgenik ditanam di Sulawesi Selatan
2001 Konstruksi monyet transgenik (ANDi) yang mengandung gen
GFP dari sejenis ubur-ubur

6
Selain itu, bioteknologi modern tidak terlepas dengan aplikasi metode-metode
mutakhir bioteknologi (current methods of biotecnology) seperti:
1. Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk memperbanyak jaringan/sel
yang berasal atau yang didapat dari jaringan original tumbuhan atau hewan
setelah terlebih dahulu mengalami pemisahan (disagregasi) secara mekanis,
atau kimiawi (enzimatis) secara in vitro (dalam tabung kaca).
2. Teknologi DNA rekombinan (recombinant DNA technology) adalah suatu
metode untuk merekayasa genetik dengan cara menyisipkan (insert) gena yang
dikehendaki ke dalam suatu organisme. Transgenik adalah suatu metode untuk.
Rekayasa protein (protein engineering).
3. Hibridoma adalah suatu metode untuk menggabungkan dua macam sel eukariot
dengan tujuan mendapatkan sel hibrid yang memiliki kemampuan kedua sel
induknya.
4. Kloning adalah suatu metode untuk menghasilkan keturunan yang dikehendaki
sama persis dengan induknya.
5. Polymerase Chains Reaction (PCR) merupakan metode yang sangat sensitif
untuk mendeteksi dan menganalisis sekuen asam nukleat. RT-PCR untuk
memperbanyak (amplifikasi) rantai RNA menjadi DNA
6. Hibridisasi DNA adalah metode untuk menyeleksi sekuen DNA dengan
menggunakan probes DNA untuk hibridisasi (pencangkokan) rantai DNA. Pita
ganda
7. (double stranded, ds) DNA secara artifisial dapat dipisahkan dengan pemanasan
atau agen kimia untuk mendapatkan pita tunggal (single stranded, ss), disebut
proses denaturasi. Dengan pendinginan dan terkontrol, pita yang terpisah dapat
disatukan lagi (reanneal) tetapi hanya dalam sekuen komplementer.
8. Northern blot analysis adalah metode untuk analisis sekuen asam amino
messenger RNA (mRNA).
9. Western blot analysis adalah metode untuk analisis sekuen asam amino DNA.
Biasanya tahapan meliputi; seleksi dan penyaringan → pemeliharaan kultur
→propagasi.
Bioteknologi dalam artian pemanfaatan mikroorganisme untuk mengolah
makanan dan minuman, telah dikenal sejak jaman dahulu sebelum masehi. Orang mesir

7
kuno telah mengenal pemanfaatan mikroorgansime untuk membuat bir, anggur,
vinegar, keju, tuak, yoghurt dsb (Nurcahyo, H., 2011).
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, bioteknologi telah mengalami
perkembangan sangat pesat. Di beberapa negara maju, bioteknologi mendapatkan
perhatian serius dan dikembangkan secara intensif dengan harapan dapat memberi
solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi manusia pada saat ini
maupun yang akan datang yang menyangkut kebutuhan pangan, obat-obatan,
penelitian, yang pada gilirannya semuanya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup umat manusia (Nurcahyo, H., 2011).
Sebagai ilustrasi, penemuan-penemuan baru dibidang immunologi (ilmu yang
mempelajari sistem kekebalan tubuh) telah berhasil memproduksi antibodi-monoklonal
(MAb) secara massal. Penemuan MAb dengan metode klonasi (clone), memiliki
kelebihan antara lain, peka (sensitivitas), khas (spesifitas), dan akurat. Selain itu, MAb
dapat pula digunakan untuk memberikan jasa pelayanan dalam berbagai hal seperti,
diagnosis suatu penyakit dengan akurat, pencegahan dan pengobatan penyakit.
Kontribusi MAb telah dapat dirasakan manfaatnya khususnya dalam dunia riset
(research) seperti: enzymeimmunoassay (EIA), radioimmunoassay (RIA), dan
immunositokimia (immunocytochemistry) (Nurcahyo, H., 2011).
Prospek ke depan, terdapat indikasi bahwa perkembangan penerapan
bioteknologi dalam segala bidang kehidupan akan semakin meningkat dengan
didukung oleh penemuan-penemuan baru dan penerapan metode-metode baru
(Nurcahyo, H., 2011).
Dalam perkembangannya, bioteknologi telah mencapai tingkat rekayasa yang
lebih terarah, sehingga hasilnya dapat dikendalikan. Dengan teknik yang dikenal
sebagai teknik DNA rekombinan, atau secara popular dikenal sebagai rekayasa
genetika. Para ilmuan dapat menyambung molekul-molekul DNA yang berbeda
menjadi suatu molekul DNA rekombinan yang inti prosesnya adalah “kloning gena”
(Nurcahyo, H., 2011).
Kompetensi menguasai bioteknologi dapat tercapai manakala pembinaan
sumber daya manusia diorientasikan pada kompetensi meneliti dan menerapkan
metode-metode mutakhir bioteknologi. Kemampuan menguasai dan mengaplikasikan
metode-metode mutakhir bioteknologi seperti: kultur jaringan, rekayasa genetik,

8
hibridoma, kloning, dan polymerase chains reaction(PCR) secara prospektif akan
mampu menghasilkan produk-produk penemuan baru (Nurcahyo, H., 2011).

2.3 Jenis-Jenis Bioteknologi


Secara umum bioteknologi dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni tradisional/
konvesional dan modern, berikut adalah penjelasan dari masing-masing jenis
bioeknologi tersebut.

2.3.1 Bioteknologi Konvensional


Bioteknologi konvensional atau bioteknologi tradisional adalah bioteknologi
yang menggunakan jasa mikroba untuk dapat menghasilkan produk yang dibutuhkan
oleh manusia melalui proses fermentasi. Bioteknologi tradisional tanpa rekayasa
genetika fokus pada seleksi alammikroba yang digunakan dalam modifikasi lingkungan
sehingga dapat mendapatkan hasil yang optimal.
Hasil yang didapatkan seperti pada proses pembuatan tempe, tape, roti, dan lain
sebagainya. Tujuan dari bioteknologi konvensional atau bioteknologi tradisional
memiliki tujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Selain produk
makanan, bioteknologi juga dapat diterapkan dalam pertanian (hidropnik), peternakan,
dan antibiotik (kedokteran serta farmasi).
Keunggulan dari bioteknologi konvensional seperti:
1. Biaya yang diperlukan relatif lebih murah.
2. Teknologi yang digunakan relatif lebih sederhana
3. Pengaruh untuk jangka panjang biasanya sudah diketahui.

Selain beberapa keunggulan dari bioteknologi konvensional tersebut. Ternyata


bioteknologi konvensional juga memiliki beberapa kelemahan seperti:
1. Tidak dapat mengatasi ketidaksesuaian genetic
2. Hasil yang didapatkan tidak dapat diperkirakan sebelumnya
3. Cenderung memerlukan waktu yang relatif lebih lama
4. Proses perbaikan genetik tidak terarah

Bioteknologi konvensional adalah jenis bioteknologi yang untuk menghasilkan


jasa dan barangnya memakai bantuan mikrooorganisme seperti bakteri dan jamur agar
bisa menciptakan enzim-enzim tertentu. Untuk bioteknologi jenis ini, pengaplikasian

9
teknik biokimia, biologi dan rekayasa masih terbatas. Contoh dari bioteknologi yang
masuk dalam kategori konvensional salah satunya adalah yogurt. Seperti yang
diketahui bahwa Yogurt adalah susu cair yang kemudian difermentasikan dengan
bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus termophillus.
Contoh lainnya adalah kecap yang difermentasi dengan jamur Aspergillus
wentii dan Aspergillus soyae. Ada lagi tempe yang dibuat dari fermentasi kedelai
dengan jamur Rhizopous stolonifer dan Rhizopus oligosporus. Pembuatan keju juga
termasuk dalam bioteknologi. Dimana bahan makanan ini terbuat dari susu yang
difermentasi dengan memakai bakteri Propioni bacterium, Lactobacillus lactis dan
Lactobacillus bulgaricus.
Hampir semua contoh bioteknologi yang termasuk konvensional dapat dengan
mudah ditemukan di sekeliling Anda. Hal ini tentu saja karena proses bioteknologi
konvensional yang bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja dengan peralatan apa
adanya. Kedua jenis bioteknologi ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Untuk
lebih jelasnya, di bawah ini adalah perbedaan antara bioteknologi modern dan
konvensional.

2.3.2 Bioteknologi Modern


Berbeda dengan bioteknologi konvensional, dalam bioteknologi modern yang
dilakukan dengan rekayasa genetika memanfaatkan keterampilan manusia dalam
memanipulasi makhluk hidup supaya dapat dimanfaatkan dalam menghasilkan barang
yang diinginkan dalam bidang produksi pangan seperti pada tanaman transgenik.
Selain memanfaatkan dasar mikrobiologi dan biokimia, bioteknologi modern
merupakan bioteknologi yang didasarkan pada rekayasa dan manipulasi DNA.
Sehingga bioteknologi modern juga disebut sebagai rekayasa genetika.
Rekayasa genetika inilah yang dapat menghasilkan organisme transgenik atau
organisme yang susunan gen yang ada didalam kromosomnya sudah diubah, sehingga
memiliki sifat yang menguntungkan yang tentunya dikehendaki oleh manusia.
Bioteknologi modern diaplikasikan juga dalam berbagai aspek kehidupan. Aspek
unggulan tersebut dapat diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya:
1. Dalam bidang peternakan, berupa ternak unggulan hasil dari manipulasi
2. Dalam bidang pangan, seperti buah tomat hasil manipulasi yang tahan lama

10
3. Dalam bidang pertanian, seperti tanaman jagung serta kapas yang resisten
terhadap suatu serangan penyakit tertentu
4. Dalam bidang farmasi dan kedokteran, berupa hormon insulin yang dihasilkan
oleh bakteri E. coli.

Bioteknologi modern memiliki beberapa kelebihan seperti:


1. Dalam perbaikan sifat genetik dapat dilakukan dengan terarah
2. Kendala ketidaksesuaian genetik dapat diatasi
3. Dapat menghasilkan organisme yang memiliki sifat baru yang tidak ada pada
sifat alaminya.

Selain kelebihan yang ada dalam bioteknologi modern, tentunya juga memiliki
kelemahan, yaitu sebagai berikut:
1. Biaya yang dikeluarkan relatif lebih mahal
2. Teknologi yang diperlukan berupa teknologi-teknologi canggih
3. Pengaruh jangka panjang yang belum diketahui.

2.4 Aplikasi Bioteknologi


Penerapan bioteknologi sangatlah luas, mengingat peranannya yang sangat besar
terhadap masyarakat, berikut adalah beberapa aplikasi bioteknologi.

2.4.1 Bidang Kesehatan


Bioteknologi kesehatan merupakan bidang yang menonjol perkembangannya
karena mempunyai nilai komersial tinggi. Sebagai contoh, asetosal, berat molekul 180,
dibuat dengan sintesis, dosis satu hari 3 g, bernilai 1 sen dolar. Sedangkan leukine,
protein berukuran 17 kDa, yang dibuat dengan teknologi DNA rekombinan dan
diekspresikan dalam Escherichia coli, dosis pemakaian 250 µg berharga 1.000 dolar.
Lingkup bioteknologi kesehatan meliputi penggunaan sel hidup, yakni
mikroorganisme, kultur jaringan, atau enzim untuk menghasilkan suatu obat,
pengobatan, atau alat diagnostik (Sudjadi, 2008).
Senyawa obat, seperti hormon, dahulu diekstraksi dari jaringan biologis hewan,
tetapi senyawa seperti itu sekarang diproduksi dengan bantuan rekayasa genetik.
Sebagian obat itu berupa protein seperti insulin, antibodi, dan enzim. Banyak protein
farmasetik sekarang diproduksi dengan teknologi DNA rekombinan (Sudjadi, 2008).

11
Gambar 2.1 Bioteknologi dalam Bidang Kesehatan
Penelitian biomedik terus berkembang pada aras molecular baik pada keadaan
sehat maupun sakit sehingga diketahui bahwa biomolekul, misalnya interferon, yang
biasa terdapat dalam tubuhdapat digunakan untuk pengobatan. Kendala utama dalam
aplikasinya disebabkan oleh jumlahnya yang sangat rendah dalam alam. Kemajuan
teknologi DNA rekombinan dan teknologi monoclonal antibody dapat mengatasi
masalah ini dan dunia kesehatan mulai dengan era baru (Sudjadi, 2008).

2.4.2 Bidang Pertanian


Bioteknologi telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini
telah menjadi salah satu teknologi yang paling menjanjikan untuk menghadapi
tantangan yang muncul dan banyak dihadapi manusia. Peningkatan produktivitas dan
nilai gizi tanaman yang dihasilkan oleh perkembangan terbaru dalam pemuliaan dengan
bantuan penanda molekuler dan rekayasa genetika, memiliki efek positif seperti dapat
mengurangi krisis pangan dan memerangi perubahan iklim (Pabendon, 2013).
Mengingat dampak besar dari perubahan iklim terhadap produksi pertanian,
sejumlah negara telah mengembangkan program riset berbasis bioteknologi
multidisiplin beberapa tahun belakangan. Program kegiatan mencakup pemuliaan dan
seleksi varietas tanaman baru untuk mengatasi perubahan iklim, identifikasi dan
manajemen terpadu hama dan penyakit utama, dan pemanfaatan agen mikroba untuk
pupuk hayati manufaktur dan biopestisida (Pabendon, 2013).
Langkah-langkah lain juga telah diambil untuk memastikan pertumbuhan yang
berkelanjutan di sektor pertanian.Tanaman rekayasa genetika seperti jagung, kacang
kedelai dan kapas yang tahan cekaman hama atau efek sampingnya, telah
dikembangkan dengan menggunakan bioteknologi dan berkembang di banyak negara

12
maju dan negara berkembang. Tanaman GM memerlukan penggunaan bahan kimia
lebih sedikit namun memiliki hasil yang lebih baik. Dengan demikian, bioteknologi
sangat diharapkan dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan pangan
(Pabendon, 2013).

Gambar 2.2 Bioteknologi pada Tanaman Jagung (Pabendon, 2013).

Penyebaran bioteknologi tanaman merupakan salah satu revolusi teknologi


tercepat dalam sejarah pertanian di AS. Dalam kurun waktu lebih 10 tahun, petani AS
pada umumnya telah menanam kedelai, kapas dan jagung dalam luasan besar
menggunakan benih hasil rekayasa genetik yang resisten terhadap hama atau resistensi
herbisida. Sampai saat ini, tanaman hasil rekayasa genetik, secara rata-rata,menurunkan
biaya produksi petani dan jumlah pestisida berkurang dan/atau toksisitas rendah yang
digunakan pada varietas tanaman non rekayasa genetik (Pabendon, 2013). Beberapa
contoh penerapan bioteknologi dalam bidang pertanian misalnya pada produksi pupuk
kompos (bokashi), kultur jaringan, pemuliaan varietas unggul, pupuk hayati, insektisida
hayati, dan lainnya.

13
a. Pupuk Kompos (Bokashi)

Gambar 2.3 Pupuk kompos.

Untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari


dedaunan atau rerumputan, para pembuat pupuk kompos umumnya akan menambahkan
mikroorganisme pengurai bahan organik. Dalam hal ini, mikroorganisme yang
digunakan misalnya bakteri fotosintetik, actinomicetes, bakteri asam laktat, ragi, dan
jamur fermentasi. Dengan penambahan mikroorganisme tersebut, fermentasi bahan
organik berlangsung lebih cepat sehingga produksi pupuk kompos dapat terus tersedia.
b. Kultur Jaringan

Gambar 2.4 Contoh aplikasi teknik kultur jaringan menggunakan organ vegetative
tanaman.

Kultur jaringan adalah teknik produksi bibit menggunakan organ-organ


vegetatif tanaman secara in vitro. Melalui teknik ini, petani dapat dengan mudah
memperoleh bibit-bibit yang seragam dan bibit-bibit yang sulit disemaikan
menggunakan benih seperti bunga anggrek. Teknik kultur jaringan juga dapat
menyediakan bibit dalam jumlah banyak sekaligus.

14
c. Pupuk Hayati
Penelitian di bidang pertanian yang terus dilakukan telah menghasilkan
penemuan yang luar biasa. Kini, telah diketahui bahwa ada beberapa jamur dan bakteri
yang dapat bersimbiosis dengan perakaran dan mampu menguraikan unsur-unsur yang
dibutuhkan tanaman, seperti Nitrogen dan Fosfat, melalui fiksasi maupun autolisis.
Beberapa mikroorganisme tersebut misalnya jamur Mikoriza sp. dan bakteri
Rhizobium.

Gambar 2.5 Salah satu produk pupuk hayati cair.

2.4.3 Bidang Industri


Semua proses industri yang digambarkan sudah membuktikan kemampuan
suatu mikroorganisme. Tetapi sekarang, dengan hadirnya teknologi gen kita berada
dalam era baru bioteknologi mikroorganisme. Teknologi gen memungkinkan suatu
pendekatan baru secara lengkap terhadap bioteknologi mikroorganisme yang
menggunakan mikroorganisme yang direkayasa untuk menghasilkan suatu substansi
atau bahan yang secara normal tidak dapat dihasilkan (Kusnadi, 2014).
Menurut Kusnadi (2014), sampai saat ini, sudah ribuan produk komersial
dihasilkan melalui manipulasi mikroorganisme. Produk komersial tersebut dapat
dipisahkan menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Sel mikroorganisme itu sendiri, yang digunakan sebagai bahan makanan
tambahan atau untuk bahan imunisasi untuk mencegah penyakit.
2. Molekul besar, misalnya enzim, yang disintesis oleh mikroorganisme.
3. Produk metabolit primer yang dibentuk oleh mikroorganisme yang penting
untuk pertumbuhan sel, misalnya vitamin.

15
4. Produk metabolit sekunder, misalnya antibiotika, yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan sel mikroorganisme.
Berbagai proses industri digunakan untuk menghasilkan produk mikrobiologi
tersebut dan dipisahkan menjadi beberapa kategori, berdasarkan kecenderungan
penggunaan produk akhir, yaitu:
1. Produksi bahan kimia farmasi. Produk yang paling terkenal dari kelompok ini
adalah antibiotika dan obat-obat steroid. Produk farmasi lain yang sering
digunakan adalah insulin dan interferon, yang sekarang dihasilkan melalui
bakteri rekayasa genetika, juga sejumlah produk baru dari hasil rekayasa
genetika.
2. Produksi bahan kimia bernilai komersial. Produk dalam kelompok ini termasuk
pelarut dan enzim, juga berbagai senyawa yang digunakan untuk bahan pemula
(‘starting’) untuk industri sintesis senyawa lain.
3. Produksi makanan tambahan. Produksi massa ragi, bakteri dan alga, dari media
yang murah mengandung garam nitrogen anorganik dan yang lainnya, cepat
saji, dan menyediakan sumber protein dan senyawa lain yang sering digunakan
sebagai makanan tambahan untuk manusia dan hewan.
4. Produksi minuman alkohol. Pembuatan “beer” dan “wine”, dan produksi
minuman alkohol lain yang merupakan proses bioteknologi berskala-besar
paling tua.

Gambar 2.6 Produksi Minuman Beer (Kusnadi, 2014)


5. Produksi vaksin. Sel mikroorganisme maupun bagiannya, atau produknya
dihasilkan dalam jumlah besar dan digunakan untuk produksi vaksin.

16
2.4.4 Bidang Lingkungan
Dengan perkembangan bioteknologi, kini pencemaran lingkungan dapat
semakin dikurangi dengan berbagai teknik pengolahan limbah, misalnya penguraian
minyak, air limbah dan plastik. Pengolahan limbah secara bioteknologi melibatkan
bakteri aerob dan anaerob (Pratiwi, dkk.,2006).
Pencemaran air oleh minyak sangat sering terjadi di laut, sungai dan perairan
lainnya. Minyak sangat resisten terhadap degradasi oleh mikroba. Kini dengan
bioteknologi telah ditemukan cara untuk menguraikan minyak, yaitu dengan
menggunakan jamur Cladosporium resinae. Jamur Cladosporium resinae dapat
mendegradasi plastik dan parafin efektif. Mikroba lain adalah Pseudomonas, hasil
rekayasa genetika oleh Dr. Chakrabarty, yang dapat memecah ikatan hidrokarbon
minyak (Pratiwi, dkk.,2006).
2.4.5 Bidang Pangan
Peran bioteknologi, khususnya pemanfaatan mikroba dalam industri makanan,
telah cukup luas dikenal masyarakat. Dengan mudah, kita dapat menemukan makanan
atau minuman hasil fermentasi mikroba. Secara garis besar, produk makanan hasil
bioteknologi konvensional dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu produk
makanan bergizi tinggi, produk makanan hasil fermentasi asam, produk makanan dan
minuman hasil fermentasi alkohol dan produk penyedap makanan.
Beberapa contoh bioteknologi konvensional di bidang pangan misalnya, tempe
dibuat dari kedelai menggunakan jamur Rhizopus atau keju dan yoghurt dibuat dari
susu sapi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus. Penerapan bioteknologi pada
makanan secara modern, diawali pada 1992. Saat itu sebuah perusahaan Amerika,
Calgene, mendapatkan izin untuk memasarkan OHMG yang disebut Flavr savr.
OHMG ini adalah tomat yang dibuat lebih tahan hama dan tidak dapat membusuk.

17
Gambar 2.7 Tomat Flavr savr
.
Secara umum, penerapan bioteknologi modern pada makanan tidak dapat
dipisahkan dengan bioteknologi modern pada bidang pertanian. Produk-produk
makanan yang dihasilkan dari OHMG, seperti tanaman pertanian, hewan, atau
mikroorganisme, disebut makanan hasil modifikasi genetik.
2.4.6 Bidang Pangan
Bioteknologi juga banyak yang diaplikasikan di bidang peternakan dengan
memanfaatkan teknik DNA rekombinan. Teknik DNA rekombinan bertujuan untuk
memperoleh bibit unggul. Prosesnya yaitu dengan cara memindahkan gen unggul dari
satu organisme ke organisme lainnya melalui perantara mikroorganisme yang ada di
alam.
a. Sapi Perah dengan Hormon Manusia
Teknologi DNA rekombinan mampu menyisipkan gen laktoferin pada manusia
yang memproduksi HLF (Human Lactoferin) pada sapi perah. Dengan
aplikasi/penerapan bioteknologi tersebut maka akan didapatkan sapi yang
memproduksi susu dengan kandungan laktoferin. Contohnya sapi Herman.

18
Gambar 2.8 Sapi Herman merupakan sapi perah dengan hormon manusia dan
merupakan hasil cloning

b. Bovine Somatotropin (BST)

Gambar 2.9 Domba dengan Pemberian BST.

Teknologi modern ini dilakukan dengan cara menyisipkan gen somatotropin


sapi pada plasmid bakteri Escherichia coli untuk menghasilkan BST. BST tersebut
ditambahkan pada makanan ternak, sehingga efeknya adalah dapat meningkatkan
produksi daging dan susu pada hewan ternak yang dipelihara.
2.5 Implikasi Bioteknologi
Menurut Pratiwi, dkk. (2006), Implikasi bioteknologi pada sains, teknologi dan
lingkungan mencakup hal-hal berikut ini.

2.5.1 Bioteknologi dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)


Kemajuan dan perkembangan bioteknologi yang mempunyai prospek bisnis
telah menggerakkan adanya HaKI untuk melindungi penemuan-penemuan baru, baik
produk ataupun proses sehingga hanya dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh pakar

19
penemu atau institusi yang membiayai penemuan tersebut. Dewasa ini, gen/bagian gen,
bahkan gen manusia telah dipatenkan. Pada tahun 1997, tidak kurang dari 1.100 gen
telah dipatenkan. Perlindungan terhadap hak paten ini telah menjadi bagian dari
kesepakatan internasional (Convention Biology Diversity dan World Trade
Organization).

2.5.2 Bioteknologi dan Keamanan Hayati


Bioteknologi, seperti juga teknologi lainnya, mengandung risiko akan dampak
negatif. Sudah cukup lama masalah potensi dampak negatif ini diperdebatkan, baik di
tingkat internasional maupun tingkat nasional. Di tingkat internasional, telah diakui dan
ditandatangani sebuah konvesi yang mengikat secara hukum, yaitu konvensi
keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity, 1992), yang tidak ikut
ditandatangani oleh Amerika Serikat.
Dampak merugikan terhadap keanekaragaman hayati disebabkan oleh adanya
potensi terjadinya transfer gen (horizontal and vertical gene flow) ke tanaman sekerabat
atau kerabat dekat. Selain itu, kloning akan menyebabkan keanekaragaman genetic
yang merugikan populasi, terutama terhadap kesehatan manusia. Ada kemungkinan
produk gen asing, seperti gen cry dari Bacillus thuringiensis maupun Bacillus
sphaericus, dapat menimbulkan reaksi alergi pada tubuh manusia. Perlu dicermati pula,
insersi atau penyisipan gen asing ke genom inang sehingga menghasilkan perubahan
sifat yang tidak diinginkan.

20
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Studi Kasus Enzim pada Vaksin


Industri produk protein di Indonesia hampir seluruhnya mengandalkan sumber dari
impor, padahal sumber daya alam di Indonesia sangat melimpah. Enzim merupakan salah
satu protein yang memiliki sifat katalitik dan dapat diaplikasikan di berbagai bidang,
seperti bidang industri pangan, tekstil, kesehatan, dan farmasi. Pada bidang industri pangan
misalnya, enzim digunakan untuk mengolah bahan pangan menjadi produk yang memiliki
nilai tambah. Alfa amilase merupakan salah satu enzim dengan nilai pasar terbesar di dunia.
Enzim ini dapat mengubah sumber karbohidrat seperti tepung tapioca menjadi
maltodekstrin, gula dengan tingkat kemanisan tinggi, maupun juga bioetanol. Sayangnya,
sampai saat ini belum ada enzim dari sumber lokal yang dikembangkan langsung
diaplikasikan di tingkat industri. Hal ini disebabkan karena proses industri seringkali
melibatkan kondisi yang tidak alami sehingga enzim natif tidak dapat bekerja dengan baik.
Di negara maju, enzim di industri telah direkayasa dengan cara memodifikasi
struktur proteinnya sehingga sifat fisiko-kimianya meningkat. Salah satu contoh enzim
tersebut adalah Fungamyl, varian enzim alfa amylase yang telah direkayasa sehingga dapat
bertahan pada suhu tinggi dan dalam kondisi pH rendah. Fungamyl merupakan salah satu
produk yang dikembangkan oleh perusahaan terkemuka dunia, Novozyme. Metode yang
digunakan pada pengembangan Fungamyl ini adalah bioinformatika. Teknik simulasi
dinamika molekul (DM), salah satu metode bioinformatika yang digunakan untuk meniru
pergerakan partikel, atom, atau molekul pada suatu sistem di dalam program komputer,
digunakan untuk menentukan gen yang perlu dimodifikasi pada sekuen alfa amilase
Aspergillus oryzae (Frantzen et al., 2002). Melalui simulasi DM ini, daerah yang memiliki
fleksibilitas tinggi dibuat menjadi lebih kaku dengan mengubah asam amino pada daerah
tersebut agar menjadi lebih stabil. Beberapa varian Fungamyl, seperti tercantum pada paten
US20070128313A1, dihasilkan dengan mengubah asam amino berdasarkan hasil simulasi
DM pada struktur A. oryzae. Meskipun metode ini telah lama berkembang, sayangnya
aplikasi di Indonesia untuk pengembangan enzim masih sangat jarang. Oleh karena itu,

21
kami bermaksud untuk mengadakan pelatihan kepada para pelaku industri maupun peneliti
di lingkungan akademik untuk dapat mengaplikasikan bioinformatika dalam
pengembangan produk bioteknologi, khususnya protein.
Selain bidang industri, bidang kesehatan juga berkaitan erat dengan aplikasi enzim.
Salah satu topic yang mengundang perhatian kami adalah munculnya Kejadian Luar Biasa
(KLB) penyakit difteri yang telah lama dianggap sudah tereradikasi. Unsur berbahaya dari
patogen difteri adalah suatu enzim, yaitu toksoid yang dapat mengatalisis reaksi
ribosiltransferase dari NAD sehingga menghambat sintesis protein dari sel yang terinfeksi.
Dalam pengembangan vaksin, toksin ini dipakai sebagai bahan utama vaksin difteri
maupun penyakit lainnya melalui prinsip konjugasi. Namun, metode yang digunakan untuk
“melemahkan” toksin masih sangat konvensional, yaitu dengan menggunakan
formaldehida. Meskipun metode ini masih direkomendasikan oleh WHO, tetapi metode ini
memiliki beberapa kelemahan, seperti ketidakhomogennya produk toksoid (toksin yang
dilemahkan) hasil reaksi. Untuk menanggulangi hal tersebut, modifikasi toksin secara
genetic dapat digunakan dan hal ini telah lama dikembangkan serta telah dipatenkan
sebagai toksoid yang lebih homogen dan aman. Pengembangan komponen vaksin seperti
ini juga dapat dibantu dan diakselerasi dengan metode bioinformatika. Sayangnya, belum
banyak peneliti vaksin di Indonesia yang mengembangkan komponen vaksin ini dengan
berbantukan bioinformatika. Oleh karena itu, pada tahun ini fokus dari pelatihan
bioinformatika yang dilakukan adalah penggunakan bioinformatika dalam pengembangan
enzim sebagai komponen vaksin dan aplikasinya. Kami berkoordinasi dengan beberapa
industri vaksin nasional dan mengundang mereka untuk mengimplementasikan
bioinformatika untuk pengembangan vaksin.
Beberapa bulan yang lalu, Indonesia mengalami KLB difteri yang menarik
perhatian seluruh dunia. Penyakit ini telah lama dianggap punah, salah satunya adalah
karena keberhasilan program vaksinasi sehingga manusia memiliki imunitas yang baik
terhadap penyakit difteri. Munculnya kembali difteri dapat disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu perubahan genetika patogen yang menyebabkan imunitas terdahulu gagal

22
memberikan proteksi terhadap penyakit baru, serta berkurangnya kualitas vaksin yang
diberikan kepada masyarakat.
Pada tahun 2017, Mulyastuti dkk menemukan bahwa gen pengode protein toksin
pada difteri yang diambil dari isolat penyebab outbreak pada KLB tahun lalu tidak berubah.
Meskipun terdapat beberapa mutasi genetik, namun mutasi tersebut tidak menyebabkan
perubahan asam amino. Hal ini menandakan bahwa struktur toksin difteri tidak atau
berubah dari dulu. Sehingga, salah satu hal yang berpotensi menyebabkan KLB kemarin
adalah menurunnya kualitas vaksin difteri yang digunakan oleh masyarakat Indonesia.

3.2 Studi Kasus Mikromediasi Logam Berat


Salah satu permasalahan lingkungan yang menjadi perhatian masyarakat global
adalah cemaran logam berat yang mengkontaminasi alam dan manusia. Logam berat
merupakan kontaminan yang terpenting di dalam lingkungan (Tangahu et al. 2011) dan
menjadi permasalahan serius bagi lingkungan sekarang ini (Fu dan Wang 2011).
Keberadaan logam berat dalam jangka waktu yang lama dapat menjadi ancaman signifikan
bagi kesehatan diakibatkan akumulasi pada lingkungan dan sepanjang rantai makanan
(Rajendran et al. 2003; Mkumbo 2012; Verma dan Gupta 2013). Pada konsentrasi berlebih,
logam berat memiliki efek toksik bagi organisme hidup (Chaalal dan Zekri 2005), termasuk
hewan (Lone et al. 2008), pertanian (Jaiswal 2011), dan kemudian menjadi ancaman serius
bagi kesehatan manusia (Rai 2008).
Beberapa jenis logam berat seperti kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb), nikel
(Ni), seng (Zn), dan lain sebagainya terdeteksi berada di tanah dan lingkungan perairan
(Dixit et al.. 2015). Penelitian lain menunjukkan bahwa arsenik (As), tembaga (Cu), timbal
(Pb), timah (Sn), dan Zn berada di tanah dan ditransfer ke tanaman melalui akar, daun, dan
bunga (Ashraf et al. 2011) serta pada beberapa kasus, manusia terpapar logam berat melalui
ikan tercemar logam berat seperti besi (Fe), seng (Zn), tembaga (Cu), mangan (Mn),
kadmium (Cd), dan timbah (Pb) di dalam organ ikan yang dikonsumsinya (Saeed dan
Shaker 2008; Ahmad dan Al-Mahaqeri 2015).

23
Kontaminasi logam berat di dalam lingkungan perlu ditangani dengan baik untuk
mereduksi toksisitasnya. Namun, metode penanganan membutuhkan biaya tinggi
dikarenakan sulit untuk memisahkan toksisitasnya dari lingkungan (Krishnani dan
Ayyappan 2006; Wang et al. 2012). Namun, aktivitas biologis dipercaya mampu menjadi
metode alternatif untuk mengurangi cemaran logam berat (Dhokpande dan Kaware 2013),
khususnya menggunakan mikroorganisme yang memiliki kemampuan untuk
menghancurkan sejumlah kontaminan (Akhtar et al. 2013) dan mengakumulasinya sebagai
biosorben (Javanbakht et al. 2014). Metode ini dikenal sebagai bioremediasi, yaitu suatu
metode dengan melibatkan peran mikroorganisme dalam pereduksian cemaran yang
terdapat di alam sehingga kondisi lingkungan dapat dimanfaatkan kembali secara optimal,
aman, sehat, dan berkelanjutan.

24
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Studi Kasus Enzim pada Vaksin


Difteri merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheria (Funke, 1997), bakteri ini akan menghasilkan toxin yang
dapat menyerang saluran pernafasan pada penderita yang menyebabkan pembengkakan
serta menyerang organ lain seperti jantung, hati, paru-paru dan ginjal, jika tidak dilakukan
tindakan dapat menyebabkan kematian (Rydell, 2004). Wabah difteri petama di Indonesia
ditemukan pada tahun 1990 dan berhasil diatasi secara baik dengan pemberian vaksin
difteri kemudian difteri kembali muncul pada tahun 2015 terdapat 252 kasus diantaranya
5 pasien meninggal, lalu pada tahun 2016 terdapat 415 kasus diantaranya 24 pasien
meninggal, pada tahun 2017 kasus difteri semakin meningkat menjadi 593 kasus
diantaranya 32 meninggal yang terjadi di seluruh Indonesia sehingga dinyatakan sebagai
kejadian luar biasa oleh KEMENKES RI (Depkes, 2018)
Untuk mengatasi KLB pemerintah Indonesia mengadakan vaksinasi untuk
mencegah penyebaran penyakit difteri (Depkes, 2018). Vaksin difteri merupakan suatu
toksin yang telah dilemahkan atau dihilangkan toksisitasnya yang disebut toksoid. Dalam
pembuatan toksoid difteri terdapat 2 metode yang dapat digunakan yaitu dengan reaksi
kimia atau rekayasa genetik (Metz, 1992). Metode rekayasa genetik pada pembuatan
toksoid ialah dengan memutasi asam amino glisin menjadi asam glutamat yang
mempengaruhi sisi pengikatan Nicoinamide Adenosine Dinucleotide (NAD) sehingga
dapat mengurangi toksisitas dari toksin difteri yang dikenal sebagai CRM197 (Malito et
al., 2012).
Metode reaksi kimia pada pembuatan toksoid ialah dengan mereaksikan difteri
toksin (DT) dengan formaldehid dan natrium borocianohidirida (NaCNBH3) sehingga
menghasilkan reaksi berupa asam amino lisin yang termetilasi (Glenny, 1923). Dalam
pembuatan vaksin difteri metode yang digunakan hingga saat ini adalah metode reaksi
kimia (CDC, 2018). Penelitian Metz et al., 2003 menghasilkan bahwa DT yang dimetilasi
>50% menyebabkan menurunnya toksisitas dan menghilangkan immunogenisitasnya

25
terhadap antibodi spesifik. Antibodi spesifik yang dihasilkan oleh sel limfosit B tidak dapat
mengenali sisi pengenalan pada antigen yang menyebabkan antibody spesifik DT tidak
terbentuk. Untuk membuktikan pengaruh lysin termetilasi terhadap epitop maka metode in
silico merupakan metode yang tepat karena dapat membuktikan perubahan struktur yang
terjadi pada toksoid dengan menganalisis pada epitop mapping.

4.1.1 Toxin Difteri


Toxin difteri terdiri atas 535 asam amino yang terdiri atas 3 domain diantaranya
domain katalitik (C) residu 1 – 187, transmembran (T) residu 201 – 384, dan reseptor (R)
387 – 535 (Choe S et al., 1992). Terdapat 2 fragmen pada toxin difteri yaitu fragmen A
yang terdiri atas domain katalitik dan fragmen B yang terdiri atas domain transmembrane
dan reseptor. Kedua fragmen ini dihubungkan oleh jembatan cystein antara 186 dan 201
(Gambar 4.1) (Pappenheimer, 1977).

Gambar 4.1 Struktur kristal toksin difteri (Choe S et.al, 1992).

Setiap domain pada DT memiliki peran dalam mekanisme penyerangan toksin


terhadap sel inang, domain reseptor pada DT akan berikatan dengan reseptor heparin-
binding epidermal growth factor (HB-EGF) yang ada pada permukaan sel sehingga DT
dapat masuk kedalam sel(Naglich et al., 1992). Selanjutnya DT dibawa oleh endisitosin
menuju lisosom disini domain transmembran berfungsi agar DT dapat masuk kedalam
lisosom, lisosommemiliki enzim sulfatase yang dapat memotong jembatan disulfida

26
sehingga memutus fragmen A dan B. Domain katalitik pada fragmen A akan keluar dari
lisosom menuju sitoplasma dan berikatan dengan NAD+ kemudian NAD akan dipotong
menjadi Adenosine diphosphate ribose (ADP-ribose) dan ditransfer ke factor elongasi-2
yang menyebabkan proses sintesis protein tidak terjadi (Metz, 1992).

Gambar 4.2 Mekanisme infeksi toxin difteri (Metz, 1992)

4.1.2 Toksoid
Toksoid Difteri (DTx) adalah toksin yang telah dilemahkan atau dihilangkan
toksisitasnya. Terdapat 2 cara dalam pembuatan toksoid dengan menggunakan rekayasa
genetik dan reaksi kimia. Pembuatan toksoid dengan rekayasa genetik ialah dengan
mengubah salah satu atau lebih asam amino yang dapat menghilangkan toksisitasnya.
Salah satu produkhasil rekayasa genetik adalah CRM197, yang dapat digunakan sebagai
konjugat vaksin. Dengan mengubah asam amino glisin menjadi asam glutamat pada posisi
52 (G52) dapat mempengaruhi fleksibelitas loop pada sisi pengikatan NAD sehingga
afinitas toksin dengan NAD berkurang (Malito et al., 2012).

27
Selain itu juga dalam membuat toksoid dapat menggunakan rekasi kimia, toksin
akang direaksikan dengan formaldehid yang menyebabkan asam amino lisin pada toksin
akan termetilasi sehingga menghilangkan toksisitas dari toksin (Gambar 3). Metode ini
ditemukan oleh salah satu vaksin yang paling sukses dan telah menghilangkan difteri di
banyak negara. Ini disiapkan dari toksin difteri. Toksin diubah oleh formaldehida menjadi
toksoid difteri tidak beracun tetapi masih imunogenik. Metode ini telah dijelaskan oleh
Ramon dan Glenny pada tahun 1920. Kualitas toksoid difteri sangat dipengaruhi oleh
proses detoksifikasi, di mana kondisi reaksi memiliki pengaruh yang besar seperti
konsentrasi formaldehida, waktu reaksi dan suhu, serta komposisi matriks (Metz, 1992).
Hingga saat ini dalam pembuatan vaksin metode yang digunakan ialah mereaksikan toksin
dengan formaldehid (CDC, 2018). Modifikasi lisin pada toksoid menyebabkan terjadinya
interaksi cross-link antar lisin termetilasi. Interaksi cross-link ini terjadi antara residu lisin
dan beberapa asam amino yang dapat termetilasi seperti arginin, asparagin, glutamin,
histidin, triptofan dan tirosin. Untuk menentukan aksesibilitas masing-masing residu lisin
untuk formaldehida, toksin difteri ditreatment dengan formaldehida dan NaCNBH3.
Dalam reaksi ini kelompok amino primer residu lisin dan N-terminal diubah menjadi
struktur dimetilasi dengan peningkatan massa 28 Da (Gambar 2.3) (Metz, 1992).

4.2 Pembahasan Studi Kasus Mikromediasi pada Logam Berat


4.2.1 Bioremediasi
Bioremediasi telah dikenal luas dan menjadi teknologi dekontaminasi yang
dipandang lebih aman, lebih bersih, harga murah, lebih efektif, mudah dilakukan, efisiensi
tinggi, dan ramah lingkungan (Kensa 2011; Bhatnagar dan Kumari 2013; Kulshreshtha et
al. 2014a, Javanbakht et al. 2014) sehingga dapat dimaknai sebagai teknologi hijau (green
technology) di dalam sistem manajemen lingkungan (Hlihor dan Gavrilescu 2012). Secara
umum, aplikasi bioremediasi menggunakan organisme hidup, khususnya mikroorganisme
yang digunakan untuk mereduksi polutan (Samal dan Kotiyal 2013). Agen biologi di dalam
proses bioremediasi disebut bioremediator.

28
Mikroorganisme membawa materi genetik alami, kemampuan biokimia, dan sifat
fisiologis yang membuatnya mampu berperan sebagai agen yang ideal di dalam remediasi
polutan (Prakash et al. 2013). Mikroorganisme tersebut menggunakan sel atau metabolit
mereka berupa enzim untuk mengembalikan lingkungan tercemar ke kondisi aslinya
dengan cara biosorpsi yang dapat terjadi melalui proses kompleksasi, kelasi, koordinasi,
presipitasi, pertukaran ion, atau proses oksidatif-reduktif (Kumar et al. 2010; Kumar et al.
2011; Sayyed dan Patel 2011; Ahemad 2012; Juwarkar et al. 2014). Selain itu,
mikroorganisme tersebut meng-hancurkan kontaminan (Adams et al. 2015) dan
menjadikan logam tersebut sebagai kofaktor enzimatis (Remy et al. 2013).
Sejumlah logam berat atau trace element seperti kobalt (Co), tembaga (Cu),
kromium (Cr), besi (Fe), arsenik (As), nikel (Ni), dan seng (Zn) dibutuhkan sebagai nutrien
esensial serta memegang peranan penting bagi proses kehidupan organisme. Namun pada
konsentrasi yang tinggi di atas ambang batas, maka logam-logam berat tersebut berpotensi
menjadi racun (Pede 2012).
Berbagai mikroorganisme telah menunjukkan kemampuan resistensinya terhadap
logam berat di dalam air, tanah, maupun limbah industri. Mikroorganisme menggunakan
logam berat tersebut sebagai mikronutrien dan digunakan dalam proses redoks, untuk
menstabilkan molekul melalui inteksi elektrostatis, sebagai komponen beberapa enzim,
dan pengaturan tekanan osmosis. Mikroorganisme telah beradaptasi terhadap keberadaan
logam esensial maupun non esensial melalui proses pengembangan berbagai mekanisme
resistensi, seperti keluar masuk melalui membran permiabel, aktivitas intra- dan ekstra-
selular, transpor aktif, detoksifikasi enzimatis, dan reduksi ionik (Bruins et al. 2000; Dixit
et al. 2015).
Bioremediasi menekankan pada kapasitas maupun aktivitas mikroorganisme
heterotrofik anaerob maupun aerob dan aktivitas mikroorganisme dipengaruhi oleh
sejumlah faktor fisika kimia lingkungan. Faktor-faktor yang dapat secara langsung
berpengaruh di dalam proses bioremediasi antara lain sumber energi (donor elektron),
akseptor elektron, nutrisi, pH, temperatur, substrat atau metabolit penghambat, bentuk
alami polutan (solid, semisolid, liquid, volatil, toksik atau tidak, organik atau anorganik),

29
logam berat atau tidak, bentuk hidrokarbon aromatik polisiklik, atau bentuk lainnya, serta
diversitas mikroorganisme (Boopathy 2000; Mani 2014).
4.2.2 Mikoremediator
Kemampuan mikroorganisme untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang
terkontaminasi telah banyak diteliti (Pushkar et al. 2015; Yin et al. 2015). Salah satu
pendekatan yang telah dilakukan pada proses bioremediasi adalah mikoremediasi
(Agunwamba et al. 2013). Mikoremediasi adalah suatu proses pendegradasian atau
penghilangan toksik dari lingkungan yang tercemar dengan menggunakan fungi (Asiriuwa
et al. 2013). Aktivitas degradasi atau deteriorasi yang dilakuan oleh fungi dikenal juga
dengan istilah mikodegradasi atau mikodeteriorasi (Gupta dan Shrivastava 2014).
Mikoremediasi berperan penting pada penanganan limbah yang mengandung bahan
toksi, seperti senyawa hidrokarbon, alifatik hidrokarbon (n-alkana: tridekana tetradekana,
pentadekana, heksadekana, heptadekana, oktadekana), senyawa poliklorinasi, logam berat,
fenolik dan turunannya, senyawa sianida, pestisida (fungisida, insetisida, herbisida),
logam, pewarna industri, lignin dan selulosa, serta xenobiotik yang berasal dari industri
lainnya. Fungi memanfaatkan senyawa-senyawa yang berbahaya ini sebagai sumber nutrisi
dan mendegradasi atau memfragmentasi polutan tersebut menjadi bentuk lebih sederhana
yang bersifat non toksik (Pinedo-Rivilla et al. 2009; Singh dan Sharma 2013).
Kemampuan mikoremediasi untuk mendegradasi sejumlah jenis substrat dan
polutan bergantung pada enzim yang diproduksi (Kulshreshtha et al. 2014b). Sejumlah
enzim yang diproduksi oleh fungi antara lain enzim pendegradasi lignin yang meliputi
lignin perosidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), enzim penghasil H2O2, lakkase,
amilase, lipase, dan protease. Fungi memanfaatkan sejumlah pati, lemak, protein, pektin,
selulosa, hemiselulosa sebagai sumber karbon. Bahkan, beberapa fungi mampu mengurai
polimer komplek seperti keratin, kitin, ataupun lignin (Adenipekun dan Lawal 2012;
Rhodes 2014; Gupta dan Shrivastava 2014).
Salah satu contoh fungi yang telah digunakan sebagai agen bioremediator adalah
Saccharomyces cerevisiae yang mampu mengasorpsi cemaran ion timbal (Pb2+) sebanyak

30
67-82% dan ion kadmium (Cd2+) sebanyak 73-79 % yang dilakukan selama 30 hari
(Damodaran et al. 2011).
Selain itu, sejumlah fungi lainnnya yang telah diteliti dan digunakan sebagai agen
mikoremediasi antara lain Aspergillus sp, Fusarium sp., dan Penicillium sp. yang telah
diuji memiliki toleransi terhadap logam berat seng (Zn), timbal (Pb), nikel (Ni), serta
kadmium (Cd) (Iram et al. 2009), Aspergillus flavus, A. niger, Fusarium solani, Penicillium
chrysogenum resisten terhadap kromium (Cr) dan timbal (Pb) (Iram et al. 2012), fungi
filamentus yang mampu mengabsopsi sejumlah logam berat seperti seng (Zn), kadmium
(Cd), timbal (Pb), besi (Fe), nikel (Ni), dan lainnya (Bishnoi dan Garina 2005), fungi dari
jenis A. awamori, A. flavus, Phanerochaete chrysosporium, dan Trichoderma viride yang
mampu toleran timbal (Pb), kadmium (Cd), kromium (Cr), dan nikel (Ni) (Joshi et al.
2011), kelompok Trichoderma, yaitu jenis T. asperellum, T. Harzianum, dan T.
tomentosum dalam penurunan kadmium (Cd) (Mohsenzadeh dan Shahrokhi 2014), serta
termasuk juga Aspergillus niger dan strain Phanerocheate chrysosporium yang mampu
menghambat dan mendegradasi Total Organic Carbons (TOC) (Maruthi et al. 2013).

4.2.3 Kemampuan Toleransi Fungi


Beberapa mekanisme dikembangkan oleh mikroorganisme untuk mentoleransi
konsentrasi logam berat yang tinggi (Ahemad dan Malik 2011). Secara umum, kemampuan
toleransi yang ditunjukkan oleh fungi terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pemisahan
secara ekstraselular melalui khelasi dan pengikatan dinding sel serta pemisahan intraselular
fisik logam melalui pengikatan ke protein atau ligan lainnya untuk mencegahnya dari
kerusaan target selular sensitif logam. Mekanisme ekstraselular berupaya menghindarkan
sel dari masuknya logam, sedangkan sistem atau mekanisme intraselular bertujuan untuk
mengurangi beban logam dalam sitosol (Anahid et al. 2011).
Mikroorganisme berperan di dalam pengendalian toksik logam berat di lingkungan
dengan mengembangkan berbagai mekanisme pertahanan yang dapat mempengaruhi
transformasi antara bentuk terlarut dan bentuk tidak terlarut. Mekanisme-mekanisme ini

31
merupakan komponen yang terintegrasi secara alami di dalam siklus biogeokimiawi dan
berpotensi dalam proses bioremediasi secara in situ maupun ex situ (Gadd 2000).
Mikroorganisme memegang kunci penting dalam peran geoaktif di biosfere,
khususnya pada siklus biogeokimiawi dan biotransformasi unsur, tranformasi logam dan
mineral, dekomposisi, pelapukan biologis, serta pembentukan tanah dan sedimen. Semua
jenis mikroorganisme, baik prokariot atau eukariot serta asosiasi simbiotiknya dapat
berkontribusi secara aktif di dalam fenomena geologikal (Gadd 2010).
Beberapa prinsip yang digunakan mikroorganisme untuk mereduksi logam berat
antara lain biosorpsi, bioakumulasi, biopresipitasi, bioreduksi, dan bioleaching (Rao et al.
2002; Siswati et al. 2009; Damodaran et al. 2011; Chaturved et al. 2015; Dixit et al. 2015)
yang dikerjakan melalui modifikasi kimiawi maupun dengan cara mempengaruhi
bioavailabilitas kimiawi (Harms et al. 2011).

4.2.4 Biosorpsi
Remediasi cemaran logam berat yang dilakukan oleh mikroorganisme bertujuan
untuk menghilangkan atau menurunkan mobilitas logam dan toksisitasnya, salah satunya
melalui mekanisme biosorpsi (Congeevaram et al. 2007; Kumar et al. 2010; Rani et al.
2010). Biosorpsi dapat diartikan sebagai proses penghilangan logam dari suatu larutan
dengan menggunakan bahan biologis (Gelagutashvili 2013). Biosorpsi juga dapat diartikan
sebagai suatu proses penghilangan logam berat melalui pengikatan pasif ke biomassa tidak
hidup dari suatu larutan dan mekanisme reduksi ini tidak dikendalikan secara metabolik.
Biosorpsi merupakan proses penyerapan logam secara pasif oleh sel-sel mikroorganisme,
biasanya adalah hasil dari formasi organik komplek-logam dengan penyusun dinding sel
mikroorganisme, kapsul, atau polimer ekstraseluler yang disintesis dan diekskresikan oleh
mikroorganisme tersebut. Hal ini berbeda dengan bioakumulasi yang dideskripsikan
sebagai suatu proses aktif penghilangan logam berat yang membutuhkan aktivitas
organisme hidup dan energi dibutuhkan di dalam proses penyerapan kation metalik (Davis
et al. 2003; Gavrilescu 2004).

32
Proses biosorpsi melibatkan fase padatan (sorbent atau biosorbent; materi biologis)
dan fase cairan (solvent, pada umumnya berupa) yang mengandung bahan-bahan tidak larut
yang akan diserap (sorbate, ion logam) (Das et al. 2008). Berdasarkan ketergantungannya
pada metabolisme, mekanisme biosorpsi dapat dikelompokkan menjadi mekanisme yang
bergantung metabolisme (metabolism-dependent mechanisms) dan mekanisme yang tidak
bergantung dengan metabolisme (metabolism-independent mechanisms) (Pagnanelli et al.
2000).
Pengikatan logam tidak bergantung metabolisme (metabolism-independent metal
binding) ke dinding sel dan permukaan eksternal hanya terjadi pada biosorpsi yang
melibatkan biomassa tidak hidup (non-living biomass). Sedangkan pada metabolism-
independent metal binding melibatkan proses adsorpsi seperti ionik, kimiawi, dan fisik oleh
grup fungsional dinding sel biomassa. Biosorben memiliki berbagai sisi fungsional seperti
karboksil, imidazole, sulfidril (thiol), amino, fosfat, sulfat, thioether, fenol, karbonil
(keton), amida, gugus hidroksil, fosfonat, dan fosfodiester yang memiliki potensi (Gupta
dan Mohapatra 2003; Javanbakht et al. 2014). Interaksi pasif dinding sel dengan ion logam
dalam proses biosorpsi juga melibatkan makromolekul seperti lipid, protein, dan
polisakarida yang terdapat pada permukaan dinding sel (Chipasa 2003).
Mekanisme biosorpsi merupakan proses kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain status biomassa (hidup atau tidak hidup, komposisi dinding sel), tipe
biomaterial, sifat kimia larutan logam, serta kondisi lingkungan seperti pH, oksigen
terlarut, suhu, dosis biosorben, dan konsentrasi tinggi dari logam yang tidak berbahaya
seperti sodium, kalsium, dan mag-nesium (Gavrilescu 2004; Hansda et al. 2015).

4.2.5 Bioakumulasi
Suatu organisme memiliki kapasitas untuk mengakumulasi logam berat lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi yang biasanya terdapat di lingkungan. Proses akumulasi ini
dapat dikelompokkan menjadi biokonsentrasi dan bioakumulasi. Biokonsentrasi
merupakan peningkatan secara langsung konsentrasi polutan sewaktu berpindah dari
lingkungan ke suatu organisme. Sedangkan bioakumulasi adalah spesifik untuk organisme

33
hewan dan merupakan manifestasi dari absorpsi polutan secara langsung yang
terakumulasi melalui nutrisi yang ditambahkan (Smical et al. 2008). Bioakumulasi logam
berat pada organisme hidup dideskripsikan sebagai suatu proses dan jalur migrasi polutan
dari satu level trofik ke level lainnya, termasuk melalui rantai makanan sehingga dapat
terakumulasi pada jaringan hingga organ dari suatu organisme pada level tertentu (Kouba
et al. 2010; Akan et al. 2012; Alia et al. 2015). Bioakumulasi oleh mikroorganisme dapat
juga diartikan sebagai interaksi aktif antara logam berat dengan sel mikroorganisme
dimana ion logam akan berpenetrasi ke dalam sel-sel mikroorganisme tersebut (Chipasa
2003).
Keberadaan logam berat berbeda pada setiap level trofik di dalam suatu ekosistem,
tergantung pada karakteristik bioakumulasi logam yang terkonsentrasi. Bioakumulasi
logam berat terjadi secara aktif dan dikendalikan secara metabolik oleh organisme.
Sedangkan bioavailabilitas logam berat, akumulasi, dan toksisitasnya tergantung pada
variabel-variabel yang terdapat di lingkungan (Arunakumara dan Xuecheng 2008).

4.2.6 Biopresipitasi
Secara prinsip, di dalam proses presipitasi terjadi reaksi kimiawi terhadap logam
berat sehingga terbentuk presipitat tidak larut dan kemudian presipitat tersebut dipisahkan
melalui proses sedimentasi atau filtrasi (Fu dan Wang 2011). Presipitasi diikuti oleh proses
koagulasi atau peng-gumpalan yang terjadi di dalam pembentu-kan presipitat hidroksida
logam melalui penambahan bahan alkali untuk menghi-langkan kation logam berat seperti
Pb(II), Cd(II), Cu(II) dan Ni(II) (Dhakal et al. 2005).
Di dalam biopresipitasi, pereduksian logam berat menjadi presipitat dilakukan oleh
mikroorganisme dalam kondisi anaerob dimana proses ini berbeda dengan biomineralisasi
yang terjadi secara aerob (Martinez et al. 2007). Biopresipitasi biasanya melibatkan bakteri
pereduksi sulfat (sulphate reducing bacteria) yang mampu memproduksi H2S untuk
mempresipitasi logam (Foucher et al. 2001). Bakteri pereduksi sulfat memiliki kapasitas
untuk mereduksi sulfat menjadi sulfide yang kemudian bereaksi dengan logam tertentu
menjadi bentuk presipitat yang tidak larut. Selain itu, sistem asiditas direduksi oleh

34
kationnya sendiri dari reduksi sulfat dan melalui metabolisme karbon bakteri (Cao et al.
2009). Salah satu contoh mekanisme presipitasi sulfide dijelaskan sebagai berikut (Fu dan
Wang 2011):
FeS(s) + 2H+(aq) → H2S(g) + Fe2+(aq)
M2+(aq) + H2S(g) → MS(s)↓ + 2H+(aq)
4.2.7 Bioreduksi
Pereduksian toksik dari suatu lingkungan atau detoksifikasi dengan menggunakan
mikroorganisme adalah salah satu pendekatan perlindungan lingkungan yang ramah
lingkungan dari toksisitas yang mencemarinya. Proses bioreduksi atau biodetoksifikasi
oleh mikroorganisme dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Bioreduksi
secara langsung terjadi dengan melibatkan aktivitas enzimatis, sedangkan mekanisme tidak
langsung melibatkan produk metabolisme (reduktan maupun oksidan) melalui reaksi
reduksi oksidasi kimiawi (Wani dan Ayoola 2015). Beberapa contoh proses reduksi Co2+,
Ni2+, Cu2+, dan Cd2+ menjadi bentuk metaliknya oleh Saccharomyces cerevisiae di
dalam larutan buffer (Rahatgaonkar dan Mahore 2008), reduksi Au(III) menjadi Au(0)
menggunakan biomassa alga cokelat Fucus vesiculosus (Mata et al. 2009), serta reduksi
Cr(VI) yang bersifat karsinogen menjadi Cr(III) oleh bakteri Pseudomonas sp, Bacillus sp,
dan sebagainya adalah contoh dari mekanisme bioreduksi logam berat (Narayani dan
Shetty 2013).

4.2.8 Bioleaching
Bioleaching adalah suatu proses pengembalian logam dari bentuk matrik solid ke
cairan yang kemudian diikuti oleh proses dekontaminasi matrik solid, berkurangnya
jumlah kontaminan, serta berkurangnya paparan dan bioavailabilitas (Ohimain et al. 2009).
Bioleaching juga didefinisikan sebagai proses pelarutan atau solubilisasi logam dari
substrat padatan yang secara langsung dapat dilakukan melalui metabolisme
mikroorganisme leaching seperti bakteri maupun secara tidak langsung yang dilakukan
oleh produk metabolisme. Salah satu contoh mekanisme bioleaching dijelaskan Chen dan

35
Lin (2001) dan pada proses bioleaching, logam berat akan mengalami proses solubilisasi,
pertukaran kation, presipitasi, adsorpsi, kompleksasi, dan reaksi lainnya (Chen et al. 2005).
Mekanisme bioleaching langsung:
MS + 2O2 MSO4
Mekanisme bioleaching tidak langsung:
S0 + H2O + 1,5O2 H2SO4
H2SO4 + Sedimen-M → Sedimen-2H + MSO4
Mikroorganisme memiliki peran yang menentukan di dalam aliran unsur (Coleine
et al. 2015) dan menjadi penggerak siklus biogeokimiawi (Burgin et al. 2011). Unsur-
unsur dapat mengalami proses asimilasi, degradasi, serta metabolisme senyawa organik
dan anorganik seperti C, H, O. Selain itu juga dapat terjadi pada unsur N berupa
dekomposisi senyawa, denitrifikasi dan nitrifikasi, oksidasi amonia dan nitrit, atau sintesis
biopolimer yang mengandung nitrogen (N); delusi fosfat anorganik dan mineral yang
mengandung fosfor (P); degradasi senyawa organik yang mengandung sulfur (S);
pelapukan biologis mineral yang mengandung besi (Fe), pelarutan Fe oleh siderofor atau
asam organik dan metabolit lainnya, seperti bomineralisasi, dan oksidasi; bioakumulasi,
immobilisasi, biosorpsi, presipitasi intraselular, oksidasi, reduksi, dan biomineralisasi Mn;
oksidasi, reduksi, dan akumulasi kromium (Cr); pelapukan, biosorpsi, biopresipitasi, serta
penyerapan dan akumulasi pada unsur magnesium (Mg), kalsium (Ca), kobalt (Co), nikel
(Ni), seng (Zn), dan kadmium (Cd); reduksi, biosorpsi, dan akumulasi perak (Ag);
akumulasi, translokasi melalui miselium, dan mobilisasi kalium (K) dan natirum (Na);
mobilisasi mineral yang mengandung tembaga (Cu); degradasi organotin pada timah (Sn);
dispersi mineral emas (Au); volatilisasi raksa (Hg) menjadi Hg(0), biometilasi Hg, dan
reduksi Hg(II) menjadi Hg(0); dan peran lainnya di dalam siklus mineral, termasuk proses
dehalorespirasi (Gadd 2010).

36
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Bioteknologi berasal dari kata “bio” yang berarti makhluk hidup
dan “teknologi” yang berarti cara untuk memproduksi barang dan jasa, dan secara
bebas dapat didefinisikan secara bebas sebagai pemanfaatan organisme hidup untuk
menghasilkan produk dan jasa yang bermanfaat bagi manusia.
2. Bioteknologi mempunyai dua jenis, yaitu bioteknologi konvesional dan
bioteknologi modern. Dalam perkembanganya, lahirlah bioteknologi kedoktoran,
bioteknologi farmasi, bioteknologi pertanian, bioteknologi peternakan dan
sebagainya.
3. Dalam penerapannya, bioteknologi mempunyai beberapa dampak negatif,
diantaranya adalah dampak terhadap lingkungan, kesehatan, sosial dan ekonomi,
serta dampak terhadap etika.
4. Dalam perkembangnya, bioteknologi didukung oleh beberapa ilmu penunjang,
seperti mikrobiologi, biokimia, genetika, biologi sel, enzimologi, dan virologi.

5.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya
dengan judul makalah ini.Penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi sempurnanya
makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga
makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

Andel, I. & Collieie, R.J. (1974) Nicotinamide of Fragment A from Diphtheria Adenine
Dinucleotide * Toxin with. 249.
Belenky, P., Bogan, K.L., & Brenner, C. (2006) NAD + metabolism in health and disease.
32.
Bell, C.E. & Eisenberg, D. (1996) Crystal Structure of Diphtheria Toxin Bound to
Nicotinamide Adenine, 1137–1149.
Bell, C.E. & Eisenberg, D. (1997) Crystal Structure of Nucleotide-Free Diphtheria Toxin.
2960 (96), 481–488.
Choe S, J, B.M., G, F., G, C.P.M., A, kantardjieff K., J, C.R., & D, E. (1992) The crystal
structure of diphteria toxin. Nature Publishing Group. 357, 216–222.
Douzi, B. (2017) Protein–Protein Interactions: Surface Plasmon Resonance. Laure
Journet and Eric Cascales. 1615, 257–275.
Frantzen, H.., Pedersen, S. & Svendsen, A. 2002. Fungamyl-like alpha-amylase variants
EP 1230351 A1.
Giannini, G., R, R., & G, R. (1984) The amino-acid sequence of two non-toxic mutants of
diphtheria toxin: CRM45 and CRM197. Nucleic acid research. 12(10), 4063–4069.
Glenny, A.T. (1923) Diphtheria toxoid as an immunizing agent. Han, M.K., Lee, J.Y., Cho,
Y.S., Song, Y.M., An, N.H., Kim, H.R., & Kim, U.H. (1996) Regulation of NAD+
glycohydrolase activity by NAD+ dependent auto- ADP-ribosylation. The
Biochemical journal. 318. Pt 3, 903–908.
Kusnadi. 2014. Buku Teks Mikrobiologi. http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/. Diunduh
21 September 2014.
Kuswanti, Nur ddk. 2008. Contextual Teaching and Learning Ilmu Pengetahuan Alam:
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas IX Edisi 4. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Liang, J. (2011) Surface Plasmon Resonance: An Introduction to a Surface Spectrosc opy
Technique.87(7), 742–746.

38
Malito, E., Bursulaya, B., Chen, C., Lo, P., Picchianti, M.& Balducci, E. (2012) Structural
basis for lack of toxicity of the diphtheria toxin mutant CRM197. (Md), 1–6.
Metz, B. (1992) Structural Characterisation of Diphtheria Toxoid. Naglich, J.G., Metherall,
J.E., Russell, D.W., & Eidels, L. (1992) Expression Cloning of a Diphtheria Identity
with a Heparin-Binding EGF-like Growth Factor Precursor Toxin Receptor. 69,
1051–1061. Pappenheimer, A.M. (1977) Diphtheria toxin. . 1884 (1). Pollard, A.J.,
Perrett, K.P., & Beverley, P.C. (2009) Maintaining protection against invasive
bacteria with protein – polysaccharide conjugate vaccines.. 426(2000), 422–426.
Nurcahyo, Heru. 2011. Diktat Bioteknologi. Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Yogyakarta.
Yogyakarta.,
Pabendon , Marcia Bunga. 2013. Peran Penelitian Bioteknologi Menunjang Pertanian
Bioindustri. Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Pratiwi, D. A., Maryati Sri, Srikini, Suharno, S. Bambang. 2006. Biologi SMA Jilid III.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Qiao, J., Ghani, K., & Caruso, M. (2008) Diphtheria toxin mutant CRM197 is an inhibitor
of protein synthesis that induces cellular toxicity. Toxicon. 51 (3), 473–477.
Rydell, N. (2004) Development of a New Oral Vaccine against Diphtheria and the Study
of its Immunogenicity in Mouse and Man.
Stenberg, E S.A. (1990) Quantitative Determination of Surface Concentration of Protein
with Surface Plasmon Resonance Using Radiolabeled Proteins. Vollrath, F.,
Hawkins, N., Porter, D., Holland, C., & Boulet-Audet, M. (2014) Differential
scanning fluorimetry provides high throughput data on silk protein transitions.
Scientific Reports. 4, 1–6.
Sudjadi. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta.
Suwanto, Antonius. 1998. Bioteknologi Molekuler: Mengoptimalkan Manfaat Keanekaan
Hayati Melalui Teknologi DNA Rekombinan. Hayati Vol.5. No.1: hal 25-28.

39
Wariyono, Sukis dan Yani Muharomah. 2008. Mari Belajar Ilmu Alam Sekitar Panduan
Belajar IPA Terpadu untuk Kelas IX SMP/MTs. Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional.
Wilson, B.A., Blankea, S.R., Reichlll, K.A., & Collier, R.J. (1994) Active-site Mutations
of Diphtheria Toxin. 269(37), 23296–23301

40

Anda mungkin juga menyukai