Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI (ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

A. DEFINISI
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah
rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat
insufisiensi aliran darah koroner oleh proses
degeneratif maupun di pengaruhi oleh banyak faktor
dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan
enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG.
STEMI adalah cermin dari pembuluh darah koroner
tertentu yang tersumbat total sehingga aliran
darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang
dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.
STEMI adalah salah satu dari jenis ACS
sehingga patofisiologinya dimulai ketika terjadi
plak aterosklerosis dalam pembuluh koroner yang
merangsang terjadinya agregasi platelet dan
pembentukan thrombus. Kemudian thrombus tersebut
akan menyumbat pada pembuluh darah dan
menghalangi/mengurangi perfusi miokardial. (Kristin
j.o,2009)
http://hikmahliabasuni.blogspot.com/2013/06/primary-
angioplasti-pada-stemi.html

B. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi
yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi
jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture
atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi
arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan
plak koroner cendeeung mengalami rupture jika
mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya
lipid (lipid rich core).
Saat miokardium kekurangan oksigen akibat
terhalangnya perfusi, maka terjadi metabolism
anaerob dengan produksi ATP yang sedikit, kegagalan
pada system pompa Natrium-Potassium dan Kalsium dan
akumulasi asam laktat dan ion hydrogen sehingga
menyebabkan asidosis. Proses yang terjadi terbagi
dalam tiga fase yaitu, fase iskemia, dimana masih
terdapat metabolism aerob disamping terjadinya
metabolism anaerob Jika penurunan perfusi terus
terjadi maka metabolism aerob terhenti dan
metabolism anaerob pun semakin berkurang, fase ini
dinamakan fase injury (Kristen J.O, 2009).
Selanjutnya, jika perfusi tidak dikembalikan dalam
20 menit maka, akan masuk kefase berikutnya yaitu
fase nekrosis sel miokardium yang irreversible
(Kristen J.O, 2009) .
Kegagalan kontraksi miokardium akibat
jaringan parut yang terbentuk pada daerah nekrosis
akan mengurangi cardiac output, perfusi ke organ dan
jaringan perifer yang jika semakin berat akhirnya
berkontribusi terhadap terjadinya shock. Untuk
mengkompensasinya, saraf simpatis mengeluarkan
epinephrine dan norepinephrin dalam upaya
meningkatkan denyut nadi, tekanan darah dan
afterload yang akan lebih meningkatkan kebutuan
oksigen miokardium, sementara perfusi koroner
terhalang, maka akan mempercepat daerah iskemia
menjadi daerah nekrosis sehingga menjadi semakin
luas. Efek lain adalah ketika penurunan perfusi
berlanjut maka penurunan tekanan darah akan
merangsang suatu mekanisme kompensasi pengaktifan
sistem RAA (Renin Angiotensin Aldosteron) yang
mengakibatkan vasokonstriksi retensi natrium dan air
yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan beban
kerja jantung (Kristen J.O, 2009) .
Jika oklusi < 6 jam, maka daerah nekrose
masih pada subendokardium, dan jika perfusi dapat
dikembalikan maka biasanya fungsi miokardium dapat
reversible karena daerah nekrose masih kecil, namun
jika melebihi 6 jam maka daerah nekrose telah
mencapai dinding ventrikel dan dalam 12 jam setelah
oklusi progresifitas kerusakan sel semakin meningkat
dan menjadi irreversible. Antara 4-7 hari setelah
insiden STEMI, maka miokardium menjadi mudah sekali
mengalami injuri sehingga dalam 2 minggu pertama
resiko berulangnya insiden dapat terjadi kapan saja
dan biasanya fatal (10% mortalitas). Setelah 2-3
bulan maka terjadi remodeling dengan jaringan parut
yang setelah beberapa bulan menyebabkan dilatasi
progresif dan akan mempengaruhi kontraktilitas
seluruh miokadium dan meningkatkan resiko CHF,
aritmia ventrikel, dan ruptur dinding miokardium
dimana saja (Leslie Mukau, 2011).
C. ETIOLOGI
1. Faktor pencetus
 Suplai oksigen kemiokard berkurang disebabkan
beberapa factor
Faktor pembuluh darah misalnya:
aterosklerosis, spasme, arteritis
Faktor sirkulasi misalnya: hipotensi,
stenosis aurta, insufisiensi.
Faktor darah misalnya anemia, hipoksemia.
 Curah jantung yang meningkat
Aktifitas yang berlebih, emosi.
 Kebutuhan oksigen yang meningkat
Kerusakan miokard, hipertropimiocard,
hipertansi.
2.Faktor presdiposisi
 Faktor resiko yang tidak dapat dirubah
Usia, jenis kelamin, hereditas, ras.
 Faktor resiko yang dapat diubah
Merokok, hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes, obesitas, stress psiklogi.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang
berat , seperti rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir,
tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak
berkurang dengan pemberian nitrat, gejala yang
menyertai : berkeringat, pucat dan mual, sulit
bernapas, cemas, dan lemas.
2. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat
atau obat nitrat.
3. Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung
atau gagal jantung.
4. Bisa atipik:
Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
Pada pasien diabetes: perburukan status
metabolik atau atau gagal jantung bisa tanpa
disertai nyeri dada.

E. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien STEMI,
adalah:
a. Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri akan mengalami
perubahan serial dalam bentuk, ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan
non infark. Proses ini disebut remodeling
ventikuler dan umumnya mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan
atau tahun pasca infark. Segera setelah infark
ventrikel kiri mengalami dilatasi.Secara akut,
hasil ini berasal dari ekspansi infark al ;
slippage serat otot, disrupsi sel miokardial
normal dan hilangnya jaringan dalam zona
nekrotik.
Selanjutnya, terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang
didisprosional dan elongasi zona infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang
terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
dengan dilatasi tersebar pasca infark pada apeks
ventikrel kiri yang yang mengakibatkan penurunan
hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya
dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan
vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi
ejeksi < 40 % tanpa melihat ada tidaknya gagal
jantung, inhibitor ACE harus diberikan.
b. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan ( puump failure ) merupakan
penyebab utama kematian di rumah sakit pada
STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai
korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal ( 10 hari infark ) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai
adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3
dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai
kongesti paru.
c. Gagal jantung
d. Syok kardiogenik
e. Perluasan IM
f. Emboli sitemik/pulmonal
g. Perikarditis
h. Kelainan septal ventrikel
i. Disfungsi katup
j. Aneurisma ventrikel
k. Sindroma infark pascamiokarditis

F. Data penunjang
1. Laboratorium
a. CKMB
Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung
meningkat antara 4-6 jam kejadian, dan
memuncak dalam 12-24 jam. Akan kembali normal
dalam 36-48 jam
b. LDH
Meningkat dalam rentang waktu 12-24 jam dan
akan memakan waktu lama untuk kembali normal
c. CTn (CTn I dan CTn T)
Enzim ini akan Meningkat setelah 2 jam bila
ada infak miokard dan akan memuncak dalam 10-
24 jam dan untuk CTn T masih dapat terdeteksi
5-14 hari sedangkan CTn I setelah 5-10 hari.
2. Ecg
Pemeriksaan ekg 12 lead harus dilakukan pada semua
pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang
dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak
kedatangan diIGD sebagai landasan dalam menentukan
keputusan terapi reperfusi. Perubahan EKG yang
terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi
dan simetris. Setelah ini terjadi fase segmen ST.
perubahan yang terjadi kemudian ialah adanya
gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.EKG
sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI
inferio, untuk mendeteksi kemungkinan infak di
ventrikel kanan.
3. Elektrolit.
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan
kontraktilitas, missal hipokalemi, hiperkalemi
4. Sel darah putih
Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada
hari ke-2 setelah IMA berhubungan dengan proses
inflamasi
5. Kecepatan sedimen
Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI ,
menunjukkan inflamasi.
6. Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi
atau perfusi organ akut atau kronis
7. GDA
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit
paru akut atau kronis.
8. Kolesterol atau trigliser
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai
penyebab AMI.
9. Foto thorak
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung
diduga GJK atau aneurisma ventrikuler.
10. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi,
gerakan katup atau dinding ventrikuler dan
konfigurasi atau fungsi katup.
11. Pemeriksaan pencitraan nuklir
Talium : mengevaluasi aliran darah miocardia dan
status sel miocardia missal lokasi
Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar
area nekrotik
12. Pencitraan darah jantung
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum,
gerakan dinding regional dan fraksi ejeksi (aliran
darah)
13. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri
koroner. Biasanya dilakukan sehubungan dengan
pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi
ventrikel kiri (fraksi ejeksi) Prosedur tidak
selalu dilakukan pad fase AMI kecuali mendekati
bedah jantung angioplasty atau emergensi.
14. Digital subtraksion angiografi
Teknik yang digunakan untuk menggambarkan
15. Nuklir magnetic resonance
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi
jantung atau katup ventrikel, lesivaskuler,
pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan
bekuan darah.
16. Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap
aktifitas atau sering dilakukan sehubungan dengan
pencitraan talium pada fase penyembuhan.

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanan STEMI mengacu pada data-data
evidence based berdasarkan penelitianrandomized
clinic trial yang terus berkembang ataupun consensus
dari para ahli sesuai pedoman (guidlen)
Tujuan utama tatalaksana pada pasien IMA adalah
mendiagnosis secara cepat, menghilangkan nyeri,
menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan
antiplatelet, memberikan obat penunjang.
Pedoman dalam pemberian terapi mengacu pada
ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu
disesuaikan dengan kondisisarana dan fasilitas dan
kemampuan ahli yang ada.
Berikut ini tahap penatalaksanaan:
1.Penatalaksanaan pra rumah sakit
Kematian diluar RS pada STEMI sebagian besar
diakibatkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak
yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan
lebih separuhnya terjadi pada jam pertama sehingga
elemen utama penatalaksanaan pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
a) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera
mencari pertolongan medis.
b) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat
melakukan tindakan resusitasi.
c) Transportasi pasien keRS yang mempunyai
fasilitas ICCU/ICU serta staf medis yang
terlatih.
d) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien
disebabkan oleh lamanya waktu mulai onset nyeri
dada sampai keputusan paien untuk meminta
pertolongan.
Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi
kepada masyarakan oleh tenaga professional
kesehatan mengenai pentingnya penatalaksanaan
dini.
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa
dikerjakan jika paramedic diambulance yang
sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG
dan managemen STEMI serta ada kendali medis
online yang bertanggung jawab pada pemberian
terapi.
2.Penatalaksanaan diruang emergensi
Tujuan penataaksanaan di IGD adalah mengurangi
nyeri pada, mengidentifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi reperfusisegera, triase
pada risiko rendah keruangan yang tepat kerumah
sakit dan menghindari pemulangan cepat.
a) Pemberian oksigen : suplai oksigen harus
diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
kurang dari 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa
komplikasi dapat diberikan oksigen selam 6jam
pertama
b) Pemberian obat-obatan
Nitrogliserin : dapat diberikan dengan dosis
0,4mg dan dapat diberikan sampai 3dosis
interval 5 menit.
Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyerii
dada dan merupakan analgesi piihan pertama
dalam tatalaksana pada kasusu STEMI dengan
dosis 2-4mg dan dapat diulang 5-15 menit samapi
dosis total 20mg.
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien
yang dicurigai STEMI dan efektif pda spectrum
syndrome coroner akut dengan dosis diruang
emergensi 160-325mg setelah itu dengan dosis
peroral dengan dosiis 75-162mg.
3.Penatalaksanaan diruang ICCU
a) Aktivitas : pasien harus istiraat dalam 12 jam
pertama
b) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair
dengan mulut dalam 4-12 jam karena resiko
muntah dan aspirasi segera setelah infak
miokard.
c) Sedasi : diberikan sedasi untuk mempertahankan
periode inaktivitas degan penenang. Diazepam
5mg, oksazepam 15-30mg, atau lorazepam 0,5-2mg,
diberikan 3-4kali.
d) Saluran pencernaan : dapat diberikan pencahar
ringan agar tidak terjadi konstipasi, diit
tinggi serat.
4.Penatalaksanaa komplikasi
a. Syok kardiogenetik
Penatalaksana syok kardiogenetik:
 Terapi O2, Jika tekanan darah sistolik <70
mmHg dan terdapat tanda syok diberikan
norepinefrin.
 Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg dan
terdapat tanda syok diberikan dopamin dosis 5-
15 ug/kgBB/menit.
 Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg namun
tidak terdapat tanda syok diberikan dobutamin
dosis 2-20 ug/kgBB/menit.
 Revaskularisasi arteri koroner segera, baik
PCI atau CABG, direkomendasikan pada pasien
<75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang
mengalami syok dalam 36 jam IMA dan ideal
untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan
dalam 18 jam syok, kecuali jika terdapat
kontraindikasi atau tidak ideal dengan
tindakan invasif.
 Terapi trombolitik yang diberikan pada pasien
STEMI dengan syok kardiogenik yang tak ideal
dengan trapi invasif dan tidak mempuyai
kontraindikasi trombolisis.
 Intra aortic ballo pump (IABP)
direkomendasikan pasien STEMI dengan syok
kardiogenik yang tidak membaik dengan segera
dangan terapi farmakologis, bila sarana
tersedia.
b. Infark Ventrikel Kanan
Infark ventrikel kanan secari klinis
menyebabkan tanda gejala ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda kussmaul
s, hepatomegali) atau tanda hipotensi.
Penatalaksana infark ventrikel kanan:
 Pertahankan preload ventrikel kanan.
 Loading volume (infus NaCL 0,9 %) 1-2 liter
cairan jam I selanjutnya 200ml/jam (terget
atrium kanan >10 mmHg (13,6 cmH20).
 Hindari penggunaan nitrat atau diuretik.
 Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardial
harus dikoreksi. Pacu jantung sekuensial A-V
pada blok jantung derajat tinggi simtomatik
yang tidak respon dengan atropin.
 Diberikan inotropik jika curah jantung tidak
meningkat setelah loading volume.
 Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai
dengan disfungsi ventrikel kiri.
 Pompa balon intra-aortik.
 Vasolidator arteri (nitropospid, hidralazin)
 Penghambat ACE
 Reporfusi
 Obat trombolitik
 Percutaneous coronari intervention (PCI)
primer
 Coronary arteru bypass graft (GABG) (pada
pasien tertentu dengan penyakit multivesel).
c. Takikardia dan Vibrilasi Ventrikel
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan
vibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda
bahaya aritmia sebelumnya.
Penatalaksana Takikardia vebtrikel:
 Takikardia ventrikel (VT) polimorvik yang
menetap (lebih dari 30 detik atau
menyebabkan kolaps hemodinamik) harus
diterapi dengan DC shock unsynchoronizer
menggunakan energi awal 200 j; jika gagal
harus diberikan shock kedua 200-300 J;, dan
jika perlu shock ketiga 360J.
 Takikardia ventrikel (VT) monomorfik, menetap
yang diikuti dengan angina , edema paru dan
hipotensi (tekanan darah<90 mmHg ) harus
diretapi dengan shock synchoronized energi
awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika
dosis awal gagal.
 Takikardia ventrikel (VT) monomorfik yang
tidak disertani angina, edema paru dan
hipotensi (tekanan darah<90 mmHg) diterapi
salah satu regimen berikut:
 Lidokain: bolus 1-1-5mg/kg. Bolus tambahan
0,5-0,75mg/kg tiap 5-10 menit sampai dosis
loding total maksimal 3 mg/kg. Kemudian
loading selanjutnya dengan infus 2-4 mg/
menit(30-50 mg/l/menit).
 Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit,
dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam.
 Amiodaron: 150mg infus selama 5-10 menit atau
5 ml/kgBB 20-60 menit, dilanjutkan infus tetap
1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus
pemeliharaan 0,5 mg/menit.
 Kardioversi elektrik synchoronized dimulai
dosis 50 J ( anestasi sebelumnya).
d. Penatalaksana fibrilasi Ventrikel
 Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel
pulseless diberikan terapi DC shock
unsynchoronized dengan energi awal 200 J jika
tak berhasil harus diberikan shock kedua 200
sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J
( klas I)
 Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel
pulseless yang refraksi terhadap shock
elektrik diberika terapi amiodaron 300 mg atau
5/kg. IV bolus dilanjutkan pengulangan shock
unsynchoronized.

Anda mungkin juga menyukai