Dunkin Donuts Maklah Waralaba
Dunkin Donuts Maklah Waralaba
PENDAHULUAN
1. Amerika
2. Eropa Barat
3. Inggris Raya
4. Bagian Dunia Lainnya.
650 tempat berhasil menghasilkan 220 juta dolar. Usaha ini juga sedang diperluas
ke Spanyol, Korea dan Inggris. Perhitungan terakhir pada tanggal 29 Februari
1993 menghasilkan 1,35 milyar dolar dari 3000 tempat penjualan dalam negri.
Tahun 1992 memperoleh 1,22 milyar dolar dan 1,03 milyar dolar berasal dari
dalam negri.
Dunkin’ Donuts selalu mengutamakan kualitasnya dan setiap anggota selalu
bekerja sama untuk membangun Dunkin’ Donuts menjadi tambah berkembang.
Dunkin’ Donuts mampu menyediakan pasokan tepat waktu. Setiap manager
bertanggung jawab atas pengembangan, pengemasan, penelitian pasar, penetapan
harga, dan penyediaan bahan.
Ketiga golongan produk lainnya adalah donat, cairan termasuk kopi, dan sop serta
bakaran termasuk sandwich. Dunkin’ Donuts tidak sepenuhnya sesuai dengan
keinginan para konsumen, apalagi macam rasanya tidak mempunyai variasi maka
peminatnya berkurang. Para pelanggan menginginkan makanan lebih bergizi dan
sehat. Penjualan Dunkin’ Donuts dilakukan di arena penjualan setempat. Mc
Donald’s dan Burger King juga memasuki perang makanan pagi / siang, sehingga
mengancam Dunkin’ Donuts akan mengalami kebangkrutan.
Dengan Dunkin’ Donuts mengeluarkan produk yang lebih beragam. Dunkin’
Donuts telah mengalami proses pembelajaran dari perluasan usahanya dalam
tahun 60an, masalah berat telah dipecahkan oleh perusahaan yaitu dengan
meningkatkan penjualan tanpa terlalu memperluas usaha dan mampu memasuki
pesaingan di pasaran.
Dengan banyaknya pesaing di pasaran Dunkin’ Donuts mengurangi waktu
usahanya, dan Dunkin’ Donuts juga mengeluarkan produk menarik untuk
pelanggan. Dunkin’ Donuts juga mampu meyakini pelanggan bahwa Dunkin’
Donuts tidak hanya membuat donut namun menyediakan sandwich dan sop.
Dalam pandangan yang sederhana, waralaba adalah inti mutlak dari
kewirausahaan dan perusahaan bebas, dan tidak diragukan lagi menjadi faktor
ekonomi paling dinamik di dunia kini. ( William Rosenberg, pendiri Dunkin’
Donuts ).
Saat ini Dunkin’ Donuts mengalami beberapa masalah seperti konsumen mulai
bosan dengan bentuk produk Dunkin’ Donuts yang tebal
(Agungagriza.wordpress.com/2011/12/21).
Produk yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen juga mempunyai aspek-
aspek tertentu, seperti kualitas produk. Saat ini kualitas produk Dunkin’ Donuts
dari segi rasa kalah dari J.CO Donut, karena produk J.CO Donut lebih legit bagi
para penikmat Donat (Annisamardiana.wordpress.com/Kualitas Pelayanan dan
Kualitas Produk Dunkin’ Donuts/2011/12/21).
Kemudian dari perspektif konsumen kualitas minuman Dunkin’ Donuts tidak
mencerminkan harganya (www.detik.com/Kualitas Minuman Dunkin’
Donuts/2011/04/08).
Dalam hal ini yang dimaksud adalah minuman cream float yang dimana saat
diberikan kepada konsumen creamnya tidak layak untuk diminum. Dunkin’
Donuts dalam menjual produknya menggunakan cara yang tidak jujur. Hal ini
terbukti saat seorang konsumen membeli 1 lusin donut, roti keju, kopi dengan
total harga Rp86.000,00, oleh Dunkin’ Donut’s diberikan free 1 roti tawar gratis.
Setelah dicek pada kuitansi pembayaran ternyata roti tersebut tidak gratis, karena
harus membayar sebesar Rp10.000,00 (home of veronica of tan/Hati hati ketika
membeli Dunkin’ Donuts/2012/01/05). Kemudian dari segi pelayanan Dunkin
Donuts tidak memahami apa yang diinginkan konsumennya. Contoh kasus
seorang konsumen memesan 1 lusin donat dengan harga Rp71.000, yang dimana
dalam paket tersebut tidak dimasukkan donat dengan rasa selai srikaya sehingga
hal ini membuat kecewa konsumen tersebut(www.detik.com/Semoga kedepan
Dunkin’ Donuts lebih manis lagi/2012/01/05).
PT Dunkindo Lestari selaku pemegang waralaba Dunkin’ Donuts di Indonesia
perlu melakukan tindakan atau usaha serius untuk meningkatkan citra merek yang
positif dibenak konsumen. Salah satu upaya yang telah dilakukan melakukan
edukasi tentang donat ke sekolah-sekolah, pembagian donat-donat ke konsumen
(pelanggan), berpromosi melalui sinetron yang didalamnya menampilkan produk
Dunkin’ Donuts. Citra merek merupakan refleksi dari asosiasi merek yang
terbentuk dalam ingatan konsumen, dan asosiasi merek merupakan segala hal
yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek. Asosiasi merek yang membentuk
citra merek, merupakan pijakan konsumen dalam keputusan pembelian.
Dalam menghadapi isu tersebut, tampak argument dan upaya pelayanan yang
berkembang pada Dunkin’ Donuts. Dari segi produk, Dunkin Donuts terus
mencoba melakukan penyesuaian rasa sesuai kemauan konsumen, tanpa
menghilangkan rasa asli donat Amerika. Dunkin’ Donuts memiliki tekstur donat
yang agak berbeda dengan pesaingnya. Donat Dunkin lebih tebal teksturnya dan
lebih terasa kenyang di perut. Produk-produk donat yang ada di Dunkin kurang
lebih sama dengan produk-produk milik kompetitornya, misalnya seperti donat
dengan lapisan biji almond.
Dari segi iklan, Dunkin’ Donuts sepertinya sudah melalui masa-masa dimana
iklan memegang peranan penting. Hal ini karena Dunkin Donuts telah memiliki
outlet yang sangat banyak di Indonesia, dan memasukkan nama Dunkin sebagai
“pemain lama” yang telah banyak dikenal masyarakat. Masuknya Dunkin Donuts
sebagai market leader di industri donat Indonesia telah berlangsung sejak tahun
1985.
Dari segi outlet dan layanan, Dunkin tidak menerapkan konsep mempertontonkan
proses pembuatan. Namun sejak Oktober 2006, Dunkin meluncurkan konsep
layanan self service. Dengan konsep ini, para pelanggan bisa langsung memilih
produk yang diinginkannya. Tidak perlu lagi menunjuk produk dan meminta
pelayan untuk mengambilkannya. Konsep tersebut berhasil menghilangkan
pembatas antara customer ke produk. Dengan dilepasnya pembatas tersebut,
customer bisa punya pengalaman tersendiri.
Untuk mengaplikasikan konsep ini, Dunkin masih dalam tahap transisi. Di dua
outlet itu masih disediakan crew untuk membantu. Pada akhirnya, tidak akan ada
lagi crew yang membantu pelanggan untuk memilih donat. Rencananya, konsep
ini akan berlaku di semua outlet Dunkin yang berjumlah 200-an, dan diperkirakan
dapat terwujud dalam kurun waktu 4 tahun.
Konsep self service ini digunakan dengan tujuan meningkatkan penjualan dan
menghadapi kompetitor yang semakin gencar. Konsep ini ternyata dapat membuat
item-item produk terjual secara merata. Bahkan, untuk beberapa item produk yang
tadinya mati bisa hidup kembali. Selain self service, Dunkin juga menyediakan
fasilitas hot spot bagi pelanggannya.
Kembali kepada isu mengenai MNC yang mengundang banyak polemik dari
berbagai kalangan, terutama mengenai kehadirannya di Negara-Negara Dunia
Ketiga. Perusahaan-perusahaan Multinasional dianggap sebagai ancaman bagi
usaha-usaha lokal di negara tempat ia berada. Namun, meskipun demikian,
pemerintah negara-negara tersebut tetap saja saling berlomba-lomba (bidding
wars) untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di negara mereka
dalam bentuk Foreign Direct Investment. Kehadiran MNC terkadang memang
membawa keuntungan dan kerugian. Hal inilah yang menjadi perdebatan antara
pihak-pihak yang pro dan kontra atas kehadiran Perusahaan Multinasional di
negara mereka.
Memang, jika kita lihat dari segi pengukuran kinerja Dunkin’ donut ini, mereka
lebih memiliki beberapa unggulan seperti hanya berikut ini:
Dari segi produk, Dunkin Donuts mencoba terus melakukan penyesuaian rasa
sesuai kemauan konsumen, tanpa menghilangkan rasa asli donat Amerika. Dunkin
memiliki tekstur donat yang agak berbeda pesaingnya. Donat Dunkin lebih tebal
teksturnya dan lebih terasa kenyang di perut. Produk-produk donat yang ada di
Dunkin kurang lebih sama dengan produk-produk milik kompetitornya, misalnya
seperti donat dengan lapisan biji almond.
Dari segi iklan, Dunkin Donuts sepertinya sudah melalui masa-masa dimana iklan
memegang peranan penting. Hal ini karena Dunkin Donuts telah memiliki outlet
yang sangat banyak di Indonesia, dan memasukkan nama Dunkin sebagai
“pemain lama” yang telah banyak dikenal masyarakat. Masuknya Dunkin Donuts
sebagai market leader di industri donat Indonesia telah berlangsung sejak tahun
1985.
Dari segi outlet dan layanan, Dunkin tidak menerapkan konsep mempertontonkan
proses pembuatan. Namun sejak Oktober 2006, Dunkin meluncurkan konsep
layanan self service. Dengan konsep ini, para pelanggan bisa langsung memilih
produk yang diinginkannya. Tidak perlu lagi menunjuk produk dan meminta
pelayan untuk mengambilkannya. Konsep tersebut berhasil menghilangkan
pembatas antara customer ke produk. Dengan dilepasnya pembatas tersebut,
customer bisa punya pengalaman tersendiri.
Untuk mengaplikasikan konsep ini, Dunkin masih dalam tahap transisi. Di dua
outlet itu masih disediakan crew untuk membantu. Pada akhirnya, tidak akan ada
lagi crew yang membantu pelanggan untuk memilih donat. Rencananya, konsep
ini akan berlaku di semua outlet Dunkin yang berjumlah 200-an, dan diperkirakan
dapat terwujud dalam kurun waktu 4 tahun.
Konsep self service ini digunakan dengan tujuan meningkatkan penjualan dan
menghadapi kompetitor yang semakin gencar. Konsep ini ternyata dapat membuat
item-item produk terjual secara merata. Bahkan, untuk beberapa item produk yang
tadinya mati bisa hidup kembali. Selain self service, Dunkin juga menyediakan
fasilitas hot spot bagi pelanggannya.
Pihak yang kontra berpendapat bahwa Perusahaan Multinasional dalam
praktiknya membawa lebih banyak kerugian daripada keuntungan bagi negara
mereka. Salah satu isu yang paling kontroversial mengenai kehadiran MNC—
terutama di negara-negara berkembang—adalah isu mengenai outsourcing. Selain
itu, terkadang kedaulatan nasioal juga tergadaikan dengan adanya upaya MNC
untuk masuk ke dalam negara tersebut. Upaya alih teknologi yang pada mulanya
diisukan sebagai keunggulan dari masuknya perusahaan multinasional di negara-
negara berkembang ternyata tidak terbukti. Di samping itu, masih banyak lagi
reaksi-reaksi negatif lainnya yang bermunculan akibat masuknya perusahaan
multinasional di negara-negara dunia ketiga.
Namun, terkadang orang menjadi lupa bahwa kehadiran Perusahaan
Multinasional sebenarnya tidak hanya membawa dampak yang negatif saja bagi
negara penerima. Selain membawa modal asing dan pemasukan berupa pajak,
MNC sebenarnya juga membawa dampak positif lainnya. Perbincangan mengenai
MNC tidak akan berkembang jika hanya mengenai dampak negatif yang dibawa
oleh MNC saja. Kehadiran MNC sebenarnya bisa menjadi stimulus bagi
berkembangnya usaha-usaha lokal sejenis yang ada bagi negara penerima. Salah
satu contoh kasus yang disajikan dalam tulisan ini adalah kehadiran
Dunkin’Donuts yang memacu hadirnya usaha-usaha donut lokal seperti J.CO, I-
Crave, Java Donut, dan lain sebagainya.
Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa keberadaan Perusahaan
Multinasional Dunkin’Donuts terbukti tidak sampai mengancam eksistensi
(keberadaan) perusahaan lokal yang ada. Pedagang-pedagang tradisional banyak
yang menjajakan donut-donut dari usaha industri kecil ataupun usaha rumah
tangga. Bahkan saat ini pun industri rumahan tersebut banyak yang mengadaptasi
adonan kue donat yang lebih lembut. Adanya segmentasi pasar juga menjamin
keberlangsungan perusahaan donut-donut lokal. Sehingga kehadiran
Dunkin’Donuts tidak terlalu mengancam usaha-usaha tersebut.
Di samping itu, saat ini pun sudah mulai banyak perusahaan-perusahaan
donut lokal yang mampu menghasilkan produk-produk donut berkualitas. Bahkan
sebagian dari mereka sudah mempunyai nama ataupun membuka gerai berkonsep
resto donut dan kopi seperti halnya Dunkin’Donuts. Sebut saja donut I-Crave,
Java Donut, J.CO, Donut Oishii, Mister Donut, dan lain sebagainya. Donut-donut
lokal ini juga tidak kalah digemarinya oleh para penikmat donut. Sebuah polling
dalam sebuah situs internet baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
kegemaran para penikmat donut terhadap rasa dari jenis-jenis donut yang ada,
baik lokal maupun yang dari luar.
Item Dunki’ J.CO Krispy iCrave Donat Donat Tidak
donuts Kreme Pasar Kentang suka
donat
Persentase 29,7% 48,6 0% 2,7% 10,8% 5,4% 2,7%
%
Total Voters: 37
Keterangan:
Di sini terlihat bahwa jumlah para penikmat donut lokal ternyata jumlahnya
justru lebih banyak (sekitar 70%) dibandingkan jumlah penikmat donut dari
Perusahaan Multinasional seperi Dunkin’Donuts (30% sisanya). Hal ini karena
adanya segmentasi pasar yang berbeda selain karena adanya permasalahan
mengenai cita rasa.
Salah satu dari perusahaan-perusahaan donut lokal yang mampu bersaing dengan
Perusahaan Dunkin’Donuts adalah J.CO (perusahaan milik penata rambut Johnny
Andrean). J.CO mulai berdiri sejak tahun 2005. Perusahaan ini bahkan dianggap
mampu menyaingi Dunkin’Donuts dalam hal cita rasa dan pelayanan. J.CO pun
telah membuka gerai-gerainya di mall-mall besar di kota-kota besar di Indonesia.
J.CO dianggap sebagai salah satu perusahaan donut lokal yang mampu keluar dari
bayang-bayang Perusahaan Multinasional Dunkin’Donuts. Perusahaan donut J.CO
dianggap sebagai perusahaan donut lokal yang berhasil membuat gebrakan dalam
bisnis di bidang resto donut dan kopi. J.CO dianggap berhasil “tampil beda”
dengan para pemain sebelumnya karena berhasil menawarkan konsep gerai baru.
J.CO menggunakan konsep gerai “Open Kitchen” (sama seperti Bread Talk,
keduanya juga berada dalam satu payung perusahaan yang sama). Namun, bukan
hanya konsep gerai saja yang membuat J.CO dianggap lebih unggul daripada
Dunkin’Donuts. Kualitas jasa (tingkat pelayanan) J.CO juga dinilai lebih baik
daripada tingkat pelayanan Dunkin’Donuts.
Di samping itu, kualitas produk dalam hal rasa dan bahan J.CO juga dinilai lebih
baik dan lebih berkualitas. J.CO dinilai lebih legit dan lebih lembut bagi para
penikmat donut dibandingkan dengan rasa Dunkin’ Donuts. Bahan-bahan yang
digunakan juga dinilai baik dan sehat. Misalnya, coklat putih Belgia, yoghurt dan
susu bebas lemak, biji kopi yang dikembangkan dari Brazil dan lain sebagainya
yang memang dinilai sebagai bahan-bahan yang berkualitas. Selain itu, teknologi
mesin penggoreng yang digunakan juga diimpor langsung dari Amerika Serikat.
Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan lokal juga mampu memiliki kualitas
dalam hal produk, pelayanan, maupun sistem manajemen yang tidak kalah dengan
Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Ditambah lagi, perusahaan J.CO juga
memiliki “wadah” komunitas berupa J.CO Community dan jejaring sosial berupa
facebook. Sehingga memudahkan J.CO untuk menyalurkan info-info kepada para
pelanggannya, baik berupa launching gerai ataupun outlet baru, promosi produk,
sampai dalam hal pelayanan baru misalnya berupa Midnite Sale. Event-event
ataupun kegiatan-kegiatan yang diadakan perusahaan tersebut, biasanya juga
diinformasikan melalui sarana media tersebut. Hal ini membuat perusahaan J.CO
semakin dekat dengan para pelanggannya.
Tidak hanya memasarkan produknya di dalam negeri (tingkat lokal) saja. J.CO
Donuts & Coffee Indonesia juga telah membuka cabang-cabangnya di negara-
negara Asia Tenggara.seperti Malaysia, Singapura dan Filipina. Di Malaysia
sendiri, J.CO Donuts & Coffee telah membuka gerainya di Kuala Lumpur dan
Petaling Jaya, Selangor—yang dianggap sebagai pusat kegiatan ekonomi
Malaysia. Saat ini bahkan J.CO dianggap sebagai waralaba resto Donut & Coffe
yang laju pertumbuhannya paling cepat di Asia Tenggara.
Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa, perusahaan-perusahaan lokal
terbukti juga tidak kalah bersaing dengan Perusahaan-Perusahaan Multinasional
yang berasal dari luar negeri. Bisnis di bidang pangan berupa resto Donut & Coffe
merupakan salah satu contoh kemajuan yang dimiliki oleh usaha-usaha lokal.
Masih banyak lagi usaha-usaha lokal yang juga “memiliki nama” di tingkat
regional bahkan global. Misalnya saja perusahaan Mustika Ratu ataupun Sari Ayu
yang merupakan produk di bidang kecantikan. Hal ini tentunya juga menjadi
pemicu bagi perusahaan-perusahaan lokal lainnya untuk turut bersaing di era
globalisasi ini. Tidak selamanya Perusahaan Multinasional hanya dikuasai oleh
negara-negara ekonomi maju. Bahkan saat ini disebutkan bahwa para pelaku
MNC dari negara-negara ekonomi maju eksistensinya mulai terancam, karena
mendapatkan saingan yang cukup ketat dari negara-negara industri berkembang
serta negara-negara berkembang lainnya (new emergent forces).
Dewasa ini kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional di bidang
ekonomi dan politik dunia, terasa sangat mencolok. Perusahaan-perusahaan
multinasional yang “menancapkan kukunya” juga tentu saja memberikan
implikasi kepada, saya sebut sebagai, Negara yang di’ekspansi’nya, baik dampak
positif maupun dampak negatifnya. Dampak positif pertama yang paling sering
disebut-sebut sebagai sumbangan positif penanaman modal asing ini adalah,
peranannya dalam mengisi kekosongan atau kekurangan sumber daya antara
tingkat investasi yang ditargetkan dengan jumlah actual “tabungan domestik”
yang dapat dimobilisasikan. Dampak positif kedua adalah, dengan memungut
pajak atas keuntungan perusahaan multinasional dan ikut serta secara financial
dalam kegiatan-kegiatan mereka di dalam negeri, pemerintah Negara-negara
berkembang berharap bahwa mereka akan dapat turut memobilisasikan sumber-
sumber financial dalam rangka membiayai proyek-proyek pembangunan secara
lebih baik.
Dampak positif ketiga adalah, perusahaan multinasional tersebut tidak
hanya akan menyediakan sumber-sumber financial dan pabrik-pabrik baru saja
kepada Negara-negara miskin yang bertindak sebagai tuan rumah, akan tetapi
mereka juga menyediakan suatu “paket” sumber daya yang dibutuhkan bagi
proses pembangunan secara keseluruhan, termasuk juga pengalaman dan
kecakapan manajerial, kemampuan kewirausahaan, yang pada akhirnya nanti
dapat dimanifestasikan dan diajarkan kepada pengusaha-pengusaha domestic
Dampak positif keempat adalah, perusahaan multinasional juga berguna
untuk mendidik para manajer local agar mengetahui strategi dalam rangka
membuat relasi dengan bank-bank luar negeri, mencari alternative pasokan
sumber daya, serta memperluas jaringan-jaringan pemasaran sampai ke tingkat
internasional. Dampak positif kelima adalah, perusahaan multinasional akan
membawa pengetahuan dan teknologi yang tentu saja dinilai sangat maju dan
maju oleh Negara berkembang mengenai proses produksi sekaligus
memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada Negara-negara dun
ia ketiga.
Selain dampak positif yang telah dikatakan diatas, tentu saja dalam
pelaksanaan kegiatan ekonominya, perusahaan multinasional juga mempunyai
dampak negatif yang terjadi pada Negara tamu. Pada umumnya pasar yang
menjadi sasaran pemasaran perusahaan multinasional ini memang adalah Negara-
negara yang notabenenya adalah Negara-negara yang sedang berkembang atau
Negara-negara dunia ketiga. Hal ini mereka lakukan karena Negara-negara dunia
ketiga ini dinilai belum mempunyai perlindungan yang baik atau belum
mempunyai “kekuatan” yang cukup untuk menolak “kekuatan” daripada
perusahaan-perusahaan raksasa multinasional ini sehingga bukan tidak mungkin
mereka bisa melakukan intervensi terhadap pemerintahan yang dilangsungkan
oleh Negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain Negara-negara ini
menghadapi dilema di mana sebagian besar negara terlalu lemah untuk
menerapkan prinsip aturan hukum, dan juga perusahaan-perusahaan raksasa ini
sangat kuat menjalankan kepentingan ekonomi untuk keuntungan mereka sendiri.
Kemudian kita juga harus menyadari bahwa perusahaan-perusahaan
mutinasional ini tidak tertarik untuk menunjang usaha pembangunan suatu
Negara. Perhatian mereka hanya tertuju kepada upaya maksimalisasi keuntungan
atau tingkat hasil financial atas setiap sen modal yang mereka tanamkan.
Perusahaan-perusahaan multi nasional ini senantiasa mencari peluang ekonomi
yang paling menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberi
perhatiam kepada soal-soal kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan lonjakan
pengangguran. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan multinasional hanya
sedikit memperkerjakan tenaga-tenaga setempat. Operasi mereka cenderung
terpusat di sector modern yang mampu menghasilkan keuntungan yang maksimal
yaitu di daerah perkotaan.
Selain tidak bisa diharapkan untuk ikut membantu mengatasi masalah
ketenagakerjaan di Negara tuan rumah, mereka bahkan seringkali memberi
pengaruh negative terhadap tingkat upah rata-rata, karena mereka biasanya
memberikan gaji dan aneka tunjangan kesejahteraan yang jauh lebih tinggi
ketimbang gaji gaji rata-rata kepada para karyawannya, baik itu yang berasal dari
Negara setempat atau yang didatangkan dari Negara-negara lain. Di atas telah
dikatakan bahwa keuatan mereka juga ditunjang oleh posisi oligopolitik yang
mereka genggam dalam perekonomian domestik atau bahkan internasional pada
sektor atau jenis-jenis produk yang mereka geluti. Hal ini bertolak berlakang dari
keyataan bahwa mereka cenderung beroperasi di pasar-pasar yang dikuasai oleh
beberapa penjual dan pembeli saja. Situasi seperti ini memberi mereka
kemampuan serta kesempatan yang sangat besar untuk secara sepihak
menentukan harga-harga dan laba yang mereka kehendaki, bersekongkol dengan
perusahaan lainnya dalam membagi daerah operasinya serta sekaligus untuk
mencegah atau membatasi masuknya perusahaan-perusahaan baru yang nantinya
dikhawatirkan akan menjadi saingan mereka.
Hal-hal tersebut mereka upayakan dengan menggunakan kekuatan yang
mereka miliki dalam penguasaan teknologi-teknologi baru yang paling canggih
dan efisien, keahlian-keahlian khusus, diferensiasi produk, serta berbagai kegiatan
periklanan secara gencar dan besar-besaran untuk mempengaruhi, kalau perlu
mengubah, selera dan minat konsumen. Kemudian walaupun dampak-dampak
awal (berjangka awal) dari penanaman modal perusahaan multinasional memang
dapat memperbaiki posisi devisa Negara yang menerima mereka (Negara tuan
rumah), tetapi dalam jangka panjang dampak-dampaknya justru negatif, yakni
dapat mengurangi penghasilan devisa itu, baik dari sisi neraca transaksi berjalan
maupun neraca modal. Neraca transaksi berjalan bisa memburuk karena adanya
impor besar-besaran atas barang-barang setengah jadi dan barang modal oleh
perusahaan multinasional itu, dan hal tersebut masih diperburuk lagi oleh adanya
pengiriman kembali keuntungan hasil bunga, royalty, dan biaya-biaya jasa
manajemen ke Negara asalnya. Jadi praktis pihak Negara tuan rumah tidak
memperoleh bagian keuntungan yang adil dan wajar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dewasa ini pertumbuhan Perusahaan Multinasional (Multinational Corporations)
semakin berkembang pesat. Eksistensi Multinational Corporations (selanjutnya
disebut MNC)sendiri sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum Perang Dunia I
dimulai. Sejak awal kehadirannya, hingga pertengahan tahun 1980an MNC sudah
tumbuh berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan perdagangan
dunia. MNC memiliki jenis-jenis yang beragam, mulai dari perusahaan eksplorasi
tambang migas dan mineral, perusahaan-perusahaan manufaktur, hingga ke
bidang pendidikan serta gerai-gerai pangan seperti kafe. Salah satu Perusahaan
Multinasional yang bergerak di bidang kafe ataupun gerai-gerai pangan
adalah Dunkin’ Donuts, atau yang lebih akrab disingkat dengan sebutan DD.
Meskipun demikian, Dunkin’ Donuts-lah yang dinilai paling berhasil dalam
meluaskan jaringan pasarnya di Indonesia, bahkan di dunia. Dunkin’ Donuts telah
berhasil membuka lebih dari 8.800 gerai donatnya di lebih dari 35 negara di
berbagai benua. Di Indonesia sendiri Dunkin’ Donuts telah membuka 200 gerai
lebih di kota-kota besar di seluruh Indonesia, seperti Medan, Yogyakarta,
Bandung, Bali, Surabaya, Makassar, Jakarta, dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Dunkin’Donuts telah berhasil menjadi model dalam hal pelayanan serta konsep
gerai yang dimilikinya. Bahkan Dunkin’Donuts terkadang dianggap sebagai
bayang-bayang bagi perusahaan donut lainnya. Di Jogjakarta, Dunkin’ Donuts
telah merambah ke mall-mall, swalayan serba ada, jalan-jalan di malioboro,
hingga ke bookstore-bookstore seperti Gramedia.
Dunkin’ Donuts sendiri mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1985, dengan gerai
pertamanya di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Sebenarnya, Dunkin’ Donuts
bukan merupakan perusahaan donut multinasional pertama yang masuk ke
Indonesia. Di tahun 1968, American Donut merupakan perintis donat pertama
yang digoreng dengan mesin otomatis di Pekan Raya Jakarta. Selain membuka
gerainya di pekan raya, American Donut juga membuka gerainya di berbagai
tempat di Jakarta. Selain itu, masih ada perusahaan-perusahaan multinasional
donut lainnya yang juga berusaha mengimbangi gerak Dunkin’ Donuts, seperti
Country Style Donuts asal Kanada, Donuts Xpress asal Australia, Krispy Kreme
yang juga berasal dari AS, serta masih banyak lagi perusahaan-perusahaan donut
lainnya.
Kembali kepada isu mengenai MNC yang mengundang banyak polemik dari
berbagai kalangan, terutama mengenai kehadirannya di Negara-Negara Dunia
Ketiga. Perusahaan-perusahaan Multinasional dianggap sebagai ancaman bagi
usaha-usaha lokal di negara tempat ia berada. Namun, meskipun demikian,
pemerintah negara-negara tersebut tetap saja saling berlomba-lomba (bidding
wars) untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di negara mereka
dalam bentuk Foreign Direct Investment.Kehadiran MNC terkadang memang
membawa keuntungan dan kerugian. Hal inilah yang menjadi perdebatan antara
pihak-pihak yang pro dan kontra atas kehadiran Perusahaan Multinasional di
negara mereka.
Pihak yang kontra berpendapat bahwa Perusahaan Multinasional dalam
praktiknya membawa lebih banyak kerugian daripada keuntungan bagi negara
mereka. Salah satu isu yang paling kontroversial mengenai kehadiran MNC—
terutama di negara-negara berkembang—adalah isu mengenai outsourcing. Selain
itu, terkadang kedaulatan nasioal juga tergadaikan dengan adanya upaya MNC
untuk masuk ke dalam negara tersebut. Upaya alih teknologi yang pada mulanya
diisukan sebagai keunggulan dari masuknya perusahaan multinasional di negara-
negara berkembang ternyata tidak terbukti. Di samping itu, masih banyak lagi
reaksi-reaksi negatif lainnya yang bermunculan akibat masuknya perusahaan
multinasional di negara-negara dunia ketiga.
Namun, terkadang orang menjadi lupa bahwa kehadiran Perusahaan
Multinasional sebenarnya tidak hanya membawa dampak yang negatif saja bagi
negara penerima. Selain membawa modal asing dan pemasukan berupa pajak,
MNC sebenarnya juga membawa dampak positif lainnya. Perbincangan mengenai
MNC tidak akan berkembang jika hanya mengenai dampak negatif yang dibawa
oleh MNC saja. Kehadiran MNC sebenarnya bisa menjadi stimulus bagi
berkembangnya usaha-usaha lokal sejenis yang ada bagi negara penerima. Salah
satu contoh kasus yang disajikan dalam tulisan ini adalah kehadiran
Dunkin’Donuts yang memacu hadirnya usaha-usaha donut lokal seperti J.CO, I-
Crave, Java Donut, dan lain sebagainya.
Secara sosial, pengaruh yang dibawa oleh perusahaan Dunkin’Donuts tidak
membawa dampak yang signifikan bagi pola kehidupan masyarakat. Ada yang
berpendapat bahwa kehadiran MNC dapat mengubah pola hidup masyarakat
menjadi lebih konsumtif.
Masyarakat dinilai akan saling berlomba-lomba dalam menggunakan
(mengonsumsi) produk dari Perusahaan Multinasional tersebut untuk
menunjukkan strata sosial mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Namun,
dalam hal ini tidak terjadi demikian. Sebelum kehadiran Dunkin’Donuts sendiri
(tahun 1985), sudah ada American Donuts yang masuk terlebih dahulu pada tahun
1968. Sementara, donuts sendiri bukanlah suatu produk makanan yang baru. Ia
sudah ada dan populer di tengah-tengah masyarakat sama seperti halnya roti.
Sedangkan mengenai isu outsourcing—yang juga dinilai akan memberikan
kontribusi bagi peningkatan jumlah penduduk perumahan kumuh di daerah
perkotaan tidak berlaku bagi kehadiran perusahaan ini. Produksi donut yang
dihasilkan dari perusahaan ini menggunakan teknologi mesin penggoreng
otomatis. Sehingga, tenaga manusia yang digunakan lebih banyak bergerak di
bidang Manajemen dan Pelayanan. Hal ini justru membawa dampak yang positif
bagi masyarakat, yaitu yang paling pokok adalahmengurangi angka pengangguran
dan memberdayakan produktivitas sumber daya manusia. Selain itu, bagi
masyarakat pribadi, hal ini dapat meningkatkan keterampilan mereka dalam
bidang manajemen dan pemasaran ditambah lagi dengan perluasan jaringan kerja
(work networking).
Sedangkan secara ekonomi, kehadiran dan keberadaan Dunkin’Donuts tidak
sampai mengancam eksistensi (keberadaan) usaha-usaha donut lokal yang ada.
Buktinya saja sampai saat ini kita masih menjumpai penjual-penjual yang
menjajakan donut buatan industri rumah tangga ataupun industri kecil. Baik di
pasar-pasar tradisional, sekolah-sekolah maupun kantor, warung, serta pedagang-
pedagang keliling. Kehadiran Dunkin’Donuts dianggap sebagai salah satu varian
dari jenis-jenis donut yang ada. Selain itu, adanya segmentasi pasar tersendiri dari
Dunkin’ Donut, membuat eksistensi usaha-usaha donut lokal yang ada tetap
terjaga.