Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan


sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa
dibatasi oleh wilayah. Sebenarnya, globalisasi belum memiliki definisi yang pasti
karena mencakup banyak aspek dan kekompleksan sifatnya, sehingga bergantung
dari sisi mana orang melihatnya. Sebagai bukti, ada yang menyebut globalisasi di
bidang budaya atau di bidang ekonomi, atau di bidang informasi dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, disamping memberikan manfaat bagi perekonomian
suatu negara ternyata perusahaan multinasional juga turut berperan sebagai
penghambat karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari
perdebatan mana yang lebih dominan, manfaat atau kerugiannya, yang pasti harus
dipikirkan bersama cara-cara untuk menanggulangi dampak negatif dari adanya
perusahaan multinasional.
Dewasa ini pertumbuhan Perusahaan Multinasional (Multinational Corporations)
semakin berkembang pesat. Eksistensi Multinational Corporations sendiri sudah
ada sejak lama, bahkan sejak sebelum Perang Dunia I dimulai. Sejak awal
kehadirannya, hingga pertengahan tahun 1980an MNC sudah tumbuh berkali-kali
lipat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan perdagangan dunia. MNC atau
multinational corporation atau di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai
perusahaan multinasional adalah salah satunya. Adanya perjanjian kerjasama
secara global untuk mengadakan daerah pasar bebas (AFTA) mendorong banyak
pihak eksternal atau yang dalam hal ini adalah Multi-National
Corporations (MNCs) untuk berinvestasi ke negara-negara berkembang yang
memiliki kelebihan dalam aspek Sumber Daya Manusia dan bahan baku yang
mudah di dapatkan pada kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Akan
tetapi dengan kehadiran MNCs di Indonesia, tidak serta merta hanya membawa
dampak yang positif.
Berbagai macam dampak negatif turut serta hadir sebagai konsekuen-
si kehadiran MNCs tersebut, baik pada dimensi pekerja maupun pada dimen
si lingku-ngan hidup serta dengan kehadiran MNCs, tidak berarti negara
berkembang dengan otomatis akan mendapatkan keuntungan di segala dimensi,
akan tetapi ada dimensi lain yang justru tereksploitasi, seperti pada dimensi SDM
dan lingkungan hidup. Berkembangnya Perusahaan Multi Nasional disuatu
Negara sangatlah berpengaruh terhadap Ekonomi Negara itu sendiri dimana
pengangguran akan berkurang sehingga pendapatan Negara itu sendiri otomatis
akan bertambah. Dalam rangka membantu perubahan terhadap Negara khususnya
Indonesia perkembangan perusahaan multi Nasional merupakan prioritas utama
dalam pembangunan negara maka pembangunan ini memerlukan konsep yang
sangat bagus agar tujuan-tujuan tercapai semua. Dengan demikian unsur
pemerintahan merupakan hal yang penting sebelum mengarah kepada perusahaan
itu sendiri. Dalam perkembangannya, disamping memberikan manfaat bagi
perekonomian suatu negara ternyata perusahaan multinasional juga turut berperan
sebagai penghambat karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari
perdebatan mana yang lebih dominan, manfaat atau kerugiannya, yang pasti harus
dipikirkan bersama cara-cara untuk menanggulangi dampak negatif dari adanya
perusahaan multinasional.
Persaingan bisnis makanan ketat di Indonesia begitu juga dalam bisnis makanan
seperti donut. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya bermunculan merek-
merek donat yang ada di Indonesia sehingga konsumen diadapkan pada pilihan
merek yang beraneka ragam. Seperti Dunkin’s Donuts, J.CO Donut, Krispy
Kreme, I-Crave, dan sebagainya.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah sejarah Dunkin’s Donuts?
2. Bagaimanakah masuknya Dunkin’s Donust ke Indonesia?
3. Apa isu yang berkaitan dengan Dunkin’s Donuts di Indonesia?
4. Apa sajakah pengaruh masuknya Dunkin’s Donuts ke Indonesia?
5. Apa sajakah dampak kehadiran Dunkin’s Donuts terhadap pertumbuhan
dan perkembangan usaha lokal?
6. Bagaimanakah penanggulangan atas dampak kehadiran Dunkin’s Donuts
ke Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah Dunkin’s Donuts.
2. Untuk mengetahui bagaimana masuknya Dunkin’s Donuts ke Indonesia.
3. Untuk mengetahui isu yang berkaitan dengan Dunkin’s Donuts di Indonesia.
4. Untuk mengetahui apa saja pengaruh masuknya Dunkin’s Donuts ke
Indonesia.
5. Untuk mengetahui dampak dari kehadiran Dunkin’s Donuts ke Indonesia.
6. Untuk mengetahui bagaimana cara penanggulangan atas dampak kehadiran
Dunkin’s Donuts ke Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Dunkin’s Donuts


Eksistensi Perusahaan Multinasional semakin berkembang pesat di berbagai
negara yang bergerak di segala bidang. Salah satunya adalah perusahaan
multinasional yang bergerak di bidang kafe yang menyediakan makanan lezat
yaitu Dunkin Donut’s atau yang lebih dikenal dengan sebutan ’DD’.
Dunkin’Donuts pada mulanya tumbuh dan berkembang di kota Boston, Amerika
Serikat pada tahun 1940 (dengan nama awal Open Kettle). Kemudian perusahaan
ini terus tumbuh dan berkembang hingga akhirnya pada tahun 1970,
Dunkin’Donuts telah berhasil menjadi perusahaan dengan merek internasional.
Kemudian pada tahun 1983 perusahaan Dunkin’Donuts dibeli oleh Domecq
Sekutu (Allied Domecq) yang juga membawahi Togo’s dan Baskin Robins. Di
bawah Allied Domecq, perluasan pasar Dunkin’Donuts secara internasional
semakin diintensifkan. Hingga akhirnya gerai Dunkin’Donuts tersebar tidak hanya
di benua Amerika saja, tetapi juga meluas ke benua-benua seperti Eropa dan
Asia.
Sejak tahun 1970 Dunkin Donut’s menjadi merek internasional dengan reputasi
yang sangat luar biasa dalam kualitas dan pelayanan. Dunkin Donut’s mempunyai
lebih dari 5000 tempat penjualan di Amerika dan 41 negara di seluruh indonesia,
salah satunya adalah di Indonesia. Dunkin Donut’s itu sendiri pertama kali berdiri
di Indonesia pada tahun 1985, yang berlokasi di jalan Hayam Wuruk No.9 Jakarta
Pusat. Perusahaan yang membeli franchise Dunkin Donut’s tersebut adalah PT.
DUNKINDO LESTARI. Perusahaan ini merupakan badan usaha swata nasional
yang bergerak dibidang jasa pada jenis usaha makanan cepat saji.
Sementara sejarah dari sosok pendirinya, yaitu William Rosenberg, adalah
bermula ketika ia terpaksa berhenti sekolah untuk membantu kedua orang tuanya.
Dia bekerja di “Western Union” hanya sebentar lalu dia bekerja sebagai penjual di
“Jack & Jill Ice Cream, dalam waktu 4 tahun dia bisa menjadi manajer penjualan
untuk distribusi ke restaurant dan lembaga-lembaga.
Dia mengumpulkan 2500 dolar dan memulai usahanya yang bergerak dibidang
Industri Jasa Hidangan. Yang dijualnya adalah sandwich dan hidangan makan
siang untuk pekerja pabrik di daerah Boston dan sekitarnya. Usaha Industri Jasa
Hidangan ini meluas cepat mencapai 140 truk namun segera menyurut pada akhir
tahun 1940an.
Pada tahun 1950 membuka “The Open Kettle” lalu diganti nama menjadi
“Dunkin’ Donuts” yang diambil nama dari komedi lama “Red Skelton”. Dan
tahun 1963, William Rosenberg mengalihkan jabatannya CEO kepada putranya
yang bernama “Robert”.
Di tahun 1963 mempunyai 100 toko yang menghasilkan 100 juta dolar. Dunkin’
Donuts lalu menjual sahamnya kepada masyarakat tahun 1968 yang pada saat itu
telah mempunyai 334 toko menjadi 700 toko dalam waktu 3 tahun. Dengan
strateginya yang agresif dalam memperluas dia mampu mencapai 90 juta dolar
tahun 1970 dan tahun 1971 mencapai 950.000 dolar, tahun 1972 mampu
mencapai 120 juta dolar. Pada tahun 1973 menghadapi menurunan sehingga dia
harus menjual 56 toko dan perusahaan merugi hingga 1,7 juta dolar. Itu menurun
hingga 12% dari semua toko Dunkin’ Donuts.
Ketika dia sudah mengalami penurunan, namun dia tetap membuka usahanya
dengan memilih tempat dengan hati-hati seperti pompa bensin, bandar udara,
toko-toko diskon yang menyenangkan. Pada tahun 1989 Dunkin’ Donuts
berpindah tangan kepada “Allied Lyson” membelinya dengan harga 325 juta
dolar. Akibat kecerobohan Robert, perusahaan Dunkin’ Donuts mengalami
kerugian besar dan hampir memusnahkan perusahaan ini.
Dunkin’ Donuts ingin memperluasnya dengan melakukan analisa pasar.
Pendapatan semakin lama semakin meningkat mencapai 10-15%. Perusahaan ini
menetapkan pandangannya dalam membangun dan mempertahankan staf
perusahaan yang paling stabil dan efektif dalam industri ini dan perusahaan ini
menyadari bahwa usaha tanpa staf perusahaan yang stabil dan efektif maka tidak
akan bisa maju malahan akan menghadapi ancaman.
- Mengambil ahli pesaing yang ada dan mengubah toko mereke menjadi
toko Dunkin’ Donuts.
Pada tahun 1991 pesaing Dawn Donuts di Timur telah di gulung. 59 toko dibeli
dan diubah namanya menjadi Dunkin’ Donuts dan Mister Donut juga diambil alih.
Lebih dari 28 juta dolar dihabiskan untuk mengambil alih 550 toko Mister Donut
dari perusahaan Internasional Multifood.

- Menemukan daerah yang baru dan menguntungkan.


Salah satunya adalah usaha toko mini, usaha toko mini ini dibuka disekitar stasiun
kereta api, terminal bus, bandar udara. Lalu daerah selanjutnya adalah pompa
bensin, pompa bensin Exxon, Citgo, Shell, dan Amoco adalah pompa bensin yang
sudah bekerja sama dengan Dunkin’ Donuts. Dunkin’ Donuts sudah mempunyai
ratusan tempat sampai 1995. Dunkin’ Donuts tidak hanya di dalam negri saja
namun sudah keluar negri dari Brazil sampai ke Arab Saudi, selain itu Allied
sudah mempersiapkan 4 tempat baru yaitu :

1. Amerika
2. Eropa Barat
3. Inggris Raya
4. Bagian Dunia Lainnya.

650 tempat berhasil menghasilkan 220 juta dolar. Usaha ini juga sedang diperluas
ke Spanyol, Korea dan Inggris. Perhitungan terakhir pada tanggal 29 Februari
1993 menghasilkan 1,35 milyar dolar dari 3000 tempat penjualan dalam negri.
Tahun 1992 memperoleh 1,22 milyar dolar dan 1,03 milyar dolar berasal dari
dalam negri.
Dunkin’ Donuts selalu mengutamakan kualitasnya dan setiap anggota selalu
bekerja sama untuk membangun Dunkin’ Donuts menjadi tambah berkembang.
Dunkin’ Donuts mampu menyediakan pasokan tepat waktu. Setiap manager
bertanggung jawab atas pengembangan, pengemasan, penelitian pasar, penetapan
harga, dan penyediaan bahan.
Ketiga golongan produk lainnya adalah donat, cairan termasuk kopi, dan sop serta
bakaran termasuk sandwich. Dunkin’ Donuts tidak sepenuhnya sesuai dengan
keinginan para konsumen, apalagi macam rasanya tidak mempunyai variasi maka
peminatnya berkurang. Para pelanggan menginginkan makanan lebih bergizi dan
sehat. Penjualan Dunkin’ Donuts dilakukan di arena penjualan setempat. Mc
Donald’s dan Burger King juga memasuki perang makanan pagi / siang, sehingga
mengancam Dunkin’ Donuts akan mengalami kebangkrutan.
Dengan Dunkin’ Donuts mengeluarkan produk yang lebih beragam. Dunkin’
Donuts telah mengalami proses pembelajaran dari perluasan usahanya dalam
tahun 60an, masalah berat telah dipecahkan oleh perusahaan yaitu dengan
meningkatkan penjualan tanpa terlalu memperluas usaha dan mampu memasuki
pesaingan di pasaran.
Dengan banyaknya pesaing di pasaran Dunkin’ Donuts mengurangi waktu
usahanya, dan Dunkin’ Donuts juga mengeluarkan produk menarik untuk
pelanggan. Dunkin’ Donuts juga mampu meyakini pelanggan bahwa Dunkin’
Donuts tidak hanya membuat donut namun menyediakan sandwich dan sop.
Dalam pandangan yang sederhana, waralaba adalah inti mutlak dari
kewirausahaan dan perusahaan bebas, dan tidak diragukan lagi menjadi faktor
ekonomi paling dinamik di dunia kini. ( William Rosenberg, pendiri Dunkin’
Donuts ).

2.2 Sejarah masuknya Dunkin’ Donuts ke Indonesia

Dunkin’Donuts pertama kali masuk ke Indonesia melalui Penanaman Modal


Asing Langsungnya dengan membuka perusahaan pertamanya di Jakarta. Dunkin’
Donuts sebelumnya juga telah membuka cabang-cabangnya (franchise) di
berbagai negara, seperti negara-negara di Eropa. Sebelumnya, dengan mengacu
pada UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, mari kita lihat
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penanaman modal asing: “Pengertian
penanaman modal asing di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi
penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan … berdasarkan
ketentuan-ketentuan undang-undang …. dan yang digunakan untuk menjalankan
Perusahaan di Indonesia…” Sedangkan yang dimaksud dengan Modal Asing
dalam undang-undang tersebut adalah: “Alat pembayaran luar negeri yang tidak
merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan
Pemerintah digunakan untuk pembiayaan Perusahaan di Indonesia.” Salah satu
bentuk pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan Multinasional di Indonesia
adalah dalam bentuk pajak (taxation).
Di Indonesia sendiri, Dunkin’ Donuts mulai merambah pasarnya pada tahun 1985
dengan gerai pertama didirikan di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Khusus
wilayah Indonesia, master franchise Dunkin’Donuts dipegang oleh Dunkin’
Donuts Indonesia. Saat pertama kali Dunkin’Donuts membuka gerai pertamanya
di Indonesia (pada tahun 1980-an), tidak ada reaksi keras dari masyarakat yang
menentang perusahaan tersebut untuk masuk. Masyarakat cenderung menganggap
positif atas upaya perusahaan tersebut dalam memperluas jaringan pasarnya.
Mereka justru cenderung merasa senang atas hadirnya Dunkin’Donuts di
Indonesia.
Sebenarnya, Dunkin’ Donuts bukan merupakan perusahaan donuts multinasional
pertama yang masuk ke Indonesia. Di tahun 1968, American Donut merupakan
perintis donat pertama yang digoreng dengan mesin otomatis di Pekan Raya
Jakarta. Selain membuka gerainya di pekan raya, American Donut juga
membuka gerainya di berbagai tempat di Jakarta. Selain itu, masih ada
perusahaan-perusahaan multinasional donut lainnya yang juga berusaha
mengimbangi gerak Dunkin’ Donuts, seperti Country Style Donuts asal Kanada,
Donuts Xpress asal Australia, Krispy Kreme yang juga berasal dari AS, serta
masih banyak lagi perusahaan-perusahaan donut lainnya.
Meskipun demikian, Dunkin’ Donuts-lah yang dinilai paling berhasil dalam
meluaskan jaringan pasarnya di Indonesia, bahkan di dunia. Dunkin’ Donuts telah
berhasil membuka lebih dari 8.800 gerai donatnya di lebih dari 35 negara di
berbagai benua. Di Indonesia sendiri Dunkin’ Donuts telah membuka 200 gerai
lebih di kota-kota besar di seluruh Indonesia, seperti Medan, Yogyakarta,
Bandung, Bali, Surabaya, Makassar, Jakarta, dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Dunkin’Donuts telah berhasil menjadi model dalam hal pelayanan serta konsep
gerai yang dimilikinya. Bahkan Dunkin’Donuts terkadang dianggap sebagai
bayang-bayang bagi perusahaan donut lainnya. Di Jogjakarta, Dunkin’ Donuts
telah merambah ke mall-mall, swalayan serba ada, jalan-jalan di malioboro,
hingga ke bookstore-bookstore seperti Gramedia.

2.3 Isu terkait Dunkin’ Donut di Indonesia

Saat ini Dunkin’ Donuts mengalami beberapa masalah seperti konsumen mulai
bosan dengan bentuk produk Dunkin’ Donuts yang tebal
(Agungagriza.wordpress.com/2011/12/21).
Produk yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen juga mempunyai aspek-
aspek tertentu, seperti kualitas produk. Saat ini kualitas produk Dunkin’ Donuts
dari segi rasa kalah dari J.CO Donut, karena produk J.CO Donut lebih legit bagi
para penikmat Donat (Annisamardiana.wordpress.com/Kualitas Pelayanan dan
Kualitas Produk Dunkin’ Donuts/2011/12/21).
Kemudian dari perspektif konsumen kualitas minuman Dunkin’ Donuts tidak
mencerminkan harganya (www.detik.com/Kualitas Minuman Dunkin’
Donuts/2011/04/08).
Dalam hal ini yang dimaksud adalah minuman cream float yang dimana saat
diberikan kepada konsumen creamnya tidak layak untuk diminum. Dunkin’
Donuts dalam menjual produknya menggunakan cara yang tidak jujur. Hal ini
terbukti saat seorang konsumen membeli 1 lusin donut, roti keju, kopi dengan
total harga Rp86.000,00, oleh Dunkin’ Donut’s diberikan free 1 roti tawar gratis.
Setelah dicek pada kuitansi pembayaran ternyata roti tersebut tidak gratis, karena
harus membayar sebesar Rp10.000,00 (home of veronica of tan/Hati hati ketika
membeli Dunkin’ Donuts/2012/01/05). Kemudian dari segi pelayanan Dunkin
Donuts tidak memahami apa yang diinginkan konsumennya. Contoh kasus
seorang konsumen memesan 1 lusin donat dengan harga Rp71.000, yang dimana
dalam paket tersebut tidak dimasukkan donat dengan rasa selai srikaya sehingga
hal ini membuat kecewa konsumen tersebut(www.detik.com/Semoga kedepan
Dunkin’ Donuts lebih manis lagi/2012/01/05).
PT Dunkindo Lestari selaku pemegang waralaba Dunkin’ Donuts di Indonesia
perlu melakukan tindakan atau usaha serius untuk meningkatkan citra merek yang
positif dibenak konsumen. Salah satu upaya yang telah dilakukan melakukan
edukasi tentang donat ke sekolah-sekolah, pembagian donat-donat ke konsumen
(pelanggan), berpromosi melalui sinetron yang didalamnya menampilkan produk
Dunkin’ Donuts. Citra merek merupakan refleksi dari asosiasi merek yang
terbentuk dalam ingatan konsumen, dan asosiasi merek merupakan segala hal
yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek. Asosiasi merek yang membentuk
citra merek, merupakan pijakan konsumen dalam keputusan pembelian.

Jika disusun secara ringkas, berikut isu terkait Donkin’s Donuts:


1. Konsumen mulai bosan dengan bentuk produk Dunkin’ Donuts yang tebal.
2. Kualitas produk donat milik Dunkin’ Donuts dari segi rasa kalah dari J.CO
Donut, karena produk J.CO Donut lebih legit dirasakan oleh para penikmat donat
3. Kualitas produk minuman tidak sebanding dengan harganya
4. Dunkin Donut dalam menjual produknya menggunakan cara yang tidak jujur
5. Dalam hal pelayanan, Dunkin’ Donuts tidak memahami apa yang diinginkan
konsumennya.

Dalam menghadapi isu tersebut, tampak argument dan upaya pelayanan yang
berkembang pada Dunkin’ Donuts. Dari segi produk, Dunkin Donuts terus
mencoba melakukan penyesuaian rasa sesuai kemauan konsumen, tanpa
menghilangkan rasa asli donat Amerika. Dunkin’ Donuts memiliki tekstur donat
yang agak berbeda dengan pesaingnya. Donat Dunkin lebih tebal teksturnya dan
lebih terasa kenyang di perut. Produk-produk donat yang ada di Dunkin kurang
lebih sama dengan produk-produk milik kompetitornya, misalnya seperti donat
dengan lapisan biji almond.

Dari segi iklan, Dunkin’ Donuts sepertinya sudah melalui masa-masa dimana
iklan memegang peranan penting. Hal ini karena Dunkin Donuts telah memiliki
outlet yang sangat banyak di Indonesia, dan memasukkan nama Dunkin sebagai
“pemain lama” yang telah banyak dikenal masyarakat. Masuknya Dunkin Donuts
sebagai market leader di industri donat Indonesia telah berlangsung sejak tahun
1985.
Dari segi outlet dan layanan, Dunkin tidak menerapkan konsep mempertontonkan
proses pembuatan. Namun sejak Oktober 2006, Dunkin meluncurkan konsep
layanan self service. Dengan konsep ini, para pelanggan bisa langsung memilih
produk yang diinginkannya. Tidak perlu lagi menunjuk produk dan meminta
pelayan untuk mengambilkannya. Konsep tersebut berhasil menghilangkan
pembatas antara customer ke produk. Dengan dilepasnya pembatas tersebut,
customer bisa punya pengalaman tersendiri.
Untuk mengaplikasikan konsep ini, Dunkin masih dalam tahap transisi. Di dua
outlet itu masih disediakan crew untuk membantu. Pada akhirnya, tidak akan ada
lagi crew yang membantu pelanggan untuk memilih donat. Rencananya, konsep
ini akan berlaku di semua outlet Dunkin yang berjumlah 200-an, dan diperkirakan
dapat terwujud dalam kurun waktu 4 tahun.
Konsep self service ini digunakan dengan tujuan meningkatkan penjualan dan
menghadapi kompetitor yang semakin gencar. Konsep ini ternyata dapat membuat
item-item produk terjual secara merata. Bahkan, untuk beberapa item produk yang
tadinya mati bisa hidup kembali. Selain self service, Dunkin juga menyediakan
fasilitas hot spot bagi pelanggannya.

2.4 Pengaruh Masuknya Dunkin’ Donut ke Indonesia

Hadirnya suatu Perusahaan Multinasional baru, tentunya membawa pengaruh bagi


negara penerima perusahaan tersebut. Demikian pula kehadiran Dunkin’Donuts
sendiri yang juga membawa pengaruh bagi masyarakat.
Secara sosial, pengaruh yang dibawa oleh perusahaan Dunkin’Donuts tidak
membawa dampak yang signifikan bagi pola kehidupan masyarakat. Ada yang
berpendapat bahwa kehadiran MNC dapat mengubah pola hidup masyarakat
menjadi lebih konsumtif. Masyarakat dinilai akan saling berlomba-lomba dalam
menggunakan (mengonsumsi) produk dari Perusahaan Multinasional tersebut
untuk menunjukkan strata sosial mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Namun,
dalam hal ini tidak terjadi demikian. Sebelum kehadiran Dunkin’Donuts sendiri
(tahun 1985), sudah ada American Donuts yang masuk terlebih dahulu pada tahun
1968. Sementara, donuts sendiri bukanlah suatu produk makanan yang baru. Ia
sudah ada dan populer di tengah-tengah masyarakat sama seperti halnya roti.
Sedangkan mengenai isu outsourcing yang juga dinilai akan memberikan
kontribusi bagi peningkatan jumlah penduduk perumahan kumuh di daerah
perkotaan tidak berlaku bagi kehadiran perusahaan ini. Produksi donut yang
dihasilkan dari perusahaan ini menggunakan teknologi mesin penggoreng
otomatis. Sehingga, tenaga manusia yang digunakan lebih banyak bergerak di
bidang Manajemen dan Pelayanan. Hal ini justru membawa dampak yang positif
bagi masyarakat, yaitu yang paling pokok adalah mengurangi angka
pengangguran dan memberdayakan produktivitas sumber daya manusia. Selain
itu, bagi masyarakat pribadi, hal ini dapat meningkatkan keterampilan mereka
dalam bidang manajemen dan pemasaran ditambah lagi dengan perluasan jaringan
kerja (work networking).
Sedangkan secara ekonomi, kehadiran dan keberadaan Dunkin’Donuts tidak
sampai mengancam eksistensi (keberadaan) usaha-usaha donut lokal yang ada.
Buktinya saja sampai saat ini kita masih menjumpai penjual-penjual yang
menjajakan donut buatan industri rumah tangga ataupun industri kecil. Baik di
pasar-pasar tradisional, sekolah-sekolah maupun kantor, warung, serta pedagang-
pedagang keliling. Kehadiran Dunkin’Donuts dianggap sebagai salah satu varian
dari jenis-jenis donut yang ada. Selain itu, adanya segmentasi pasar tersendiri dari
Dunkin’ Donut, membuat eksistensi usaha-usaha donut lokal yang ada tetap
terjaga.
Ada satu hal yang menarik dari pengaruh kehadiran Perusahaan Multinasional
Dunkin’Donuts di Indonesia. Secara empiris, hadirnya Dunkin’ Donuts telah
menstimulus timbulnya persaingan dari perusahaan lokal sejenis. Terbukti saat ini
mulai banyak bermunculan perusahaan donut lokal yang menghasilkan donut-
donut berkualitas sampai dengan yang berorientasi pada bentuk resto donut dan
kopi. Sebut saja donut I-Crave, Java Donut, Donut Kampoeng Utami (Dku.
Donuts Indonesia), Ring Master, sampai perusahaan donut J.CO (milik penata
rambut Indonesia ternama, Johnny Andrean) yang semakin digemari para
penikmat donut. Dunkin’ Donuts yang merupakan restoran donut dan kopi dengan
jaringan terbesar di dunia saat ini terbukti mampu merangsang pertumbuhan
perusahaan donut lokal yang ada.
Saat ini bahkan perusahaan donut J.CO dinilai mampu menandingi
Dunkin’Donuts dalam hal pelayanan dan kualitas produk yang ditawarkan
(berdasarkan jumlah pengunjung yang datang dan antre setiap harinya). Hal ini
mungkin sejalan dengan istilah laissez-faire(“let be” atau biarkan saja). Di mana
pemerintah membiarkan “Perusahaan” masuk dan berkembang hingga akhirnya
mampu memicu persaingan dengan pengusaha lokal. Hal ini mungkin juga sejalan
dengan prinsip liberalisme dalam tulisan Adam Smith (1776), yaitu teori The
Invisible Hand. Smith yakin pada sifat baik manusia yang mau bekerjasama dan
konstruktif. Masyarakat bisa saling bekerja dalam keselarasan dengan sesamanya,
walaupun bersaing dalam melayani pelanggan yang sama ataupun menghasilkan
produk yang sama.
Kehadiran Donkin Donut’s ini dapat mengubah pola hidup masyarakat menjadi
lebih konsumtif. Masyarakat cenderung menganggap positif atas upaya
perusahaan ini dalam memperluas jaringan pasarnya. Mereka justru mejadi lebih
senang dengan kehadiran perusahaan ini. Karena hal tersebut berkaitan erat
dengan strata kehidupan sosial, ataupun berkaitan dengan gaya hidup manusia
yang mengarah lebih modern. Hadirnya suatu Perusahaan Multinasional baru,
tentunya membawa pengaruh bagi negara penerima perusahaan tersebut.
Demikian pula kehadiran Dunkin’Donuts sendiri yang juga membawa pengaruh
bagi masyarakat.
Secara sosial, pengaruh yang dibawa oleh perusahaan Dunkin’Donuts tidak
membawa dampak yang signifikan bagi pola kehidupan masyarakat. Ada yang
berpendapat bahwa kehadiran MNC dapat mengubah pola hidup masyarakat
menjadi lebih konsumtif. Masyarakat dinilai akan saling berlomba-lomba dalam
menggunakan (mengonsumsi) produk dari Perusahaan Multinasional tersebut
untuk menunjukkan strata sosial mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Namun,
dalam hal ini tidak terjadi demikian. Sebelum kehadiran Dunkin’Donuts sendiri
(tahun 1985), sudah ada American Donuts yang masuk terlebih dahulu pada tahun
1968. Sementara, donuts sendiri bukanlah suatu produk makanan yang baru. Ia
sudah ada dan populer di tengah-tengah masyarakat sama seperti halnya roti.

2.5 Dampak Kehadiran Dunkin’s Donuts Terhadap Pertumbuhan Dan


Perkembangan Usaha Local

Kembali kepada isu mengenai MNC yang mengundang banyak polemik dari
berbagai kalangan, terutama mengenai kehadirannya di Negara-Negara Dunia
Ketiga. Perusahaan-perusahaan Multinasional dianggap sebagai ancaman bagi
usaha-usaha lokal di negara tempat ia berada. Namun, meskipun demikian,
pemerintah negara-negara tersebut tetap saja saling berlomba-lomba (bidding
wars) untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di negara mereka
dalam bentuk Foreign Direct Investment. Kehadiran MNC terkadang memang
membawa keuntungan dan kerugian. Hal inilah yang menjadi perdebatan antara
pihak-pihak yang pro dan kontra atas kehadiran Perusahaan Multinasional di
negara mereka.
Memang, jika kita lihat dari segi pengukuran kinerja Dunkin’ donut ini, mereka
lebih memiliki beberapa unggulan seperti hanya berikut ini:
Dari segi produk, Dunkin Donuts mencoba terus melakukan penyesuaian rasa
sesuai kemauan konsumen, tanpa menghilangkan rasa asli donat Amerika. Dunkin
memiliki tekstur donat yang agak berbeda pesaingnya. Donat Dunkin lebih tebal
teksturnya dan lebih terasa kenyang di perut. Produk-produk donat yang ada di
Dunkin kurang lebih sama dengan produk-produk milik kompetitornya, misalnya
seperti donat dengan lapisan biji almond.
Dari segi iklan, Dunkin Donuts sepertinya sudah melalui masa-masa dimana iklan
memegang peranan penting. Hal ini karena Dunkin Donuts telah memiliki outlet
yang sangat banyak di Indonesia, dan memasukkan nama Dunkin sebagai
“pemain lama” yang telah banyak dikenal masyarakat. Masuknya Dunkin Donuts
sebagai market leader di industri donat Indonesia telah berlangsung sejak tahun
1985.
Dari segi outlet dan layanan, Dunkin tidak menerapkan konsep mempertontonkan
proses pembuatan. Namun sejak Oktober 2006, Dunkin meluncurkan konsep
layanan self service. Dengan konsep ini, para pelanggan bisa langsung memilih
produk yang diinginkannya. Tidak perlu lagi menunjuk produk dan meminta
pelayan untuk mengambilkannya. Konsep tersebut berhasil menghilangkan
pembatas antara customer ke produk. Dengan dilepasnya pembatas tersebut,
customer bisa punya pengalaman tersendiri.
Untuk mengaplikasikan konsep ini, Dunkin masih dalam tahap transisi. Di dua
outlet itu masih disediakan crew untuk membantu. Pada akhirnya, tidak akan ada
lagi crew yang membantu pelanggan untuk memilih donat. Rencananya, konsep
ini akan berlaku di semua outlet Dunkin yang berjumlah 200-an, dan diperkirakan
dapat terwujud dalam kurun waktu 4 tahun.
Konsep self service ini digunakan dengan tujuan meningkatkan penjualan dan
menghadapi kompetitor yang semakin gencar. Konsep ini ternyata dapat membuat
item-item produk terjual secara merata. Bahkan, untuk beberapa item produk yang
tadinya mati bisa hidup kembali. Selain self service, Dunkin juga menyediakan
fasilitas hot spot bagi pelanggannya.
Pihak yang kontra berpendapat bahwa Perusahaan Multinasional dalam
praktiknya membawa lebih banyak kerugian daripada keuntungan bagi negara
mereka. Salah satu isu yang paling kontroversial mengenai kehadiran MNC—
terutama di negara-negara berkembang—adalah isu mengenai outsourcing. Selain
itu, terkadang kedaulatan nasioal juga tergadaikan dengan adanya upaya MNC
untuk masuk ke dalam negara tersebut. Upaya alih teknologi yang pada mulanya
diisukan sebagai keunggulan dari masuknya perusahaan multinasional di negara-
negara berkembang ternyata tidak terbukti. Di samping itu, masih banyak lagi
reaksi-reaksi negatif lainnya yang bermunculan akibat masuknya perusahaan
multinasional di negara-negara dunia ketiga.
Namun, terkadang orang menjadi lupa bahwa kehadiran Perusahaan
Multinasional sebenarnya tidak hanya membawa dampak yang negatif saja bagi
negara penerima. Selain membawa modal asing dan pemasukan berupa pajak,
MNC sebenarnya juga membawa dampak positif lainnya. Perbincangan mengenai
MNC tidak akan berkembang jika hanya mengenai dampak negatif yang dibawa
oleh MNC saja. Kehadiran MNC sebenarnya bisa menjadi stimulus bagi
berkembangnya usaha-usaha lokal sejenis yang ada bagi negara penerima. Salah
satu contoh kasus yang disajikan dalam tulisan ini adalah kehadiran
Dunkin’Donuts yang memacu hadirnya usaha-usaha donut lokal seperti J.CO, I-
Crave, Java Donut, dan lain sebagainya.
Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa keberadaan Perusahaan
Multinasional Dunkin’Donuts terbukti tidak sampai mengancam eksistensi
(keberadaan) perusahaan lokal yang ada. Pedagang-pedagang tradisional banyak
yang menjajakan donut-donut dari usaha industri kecil ataupun usaha rumah
tangga. Bahkan saat ini pun industri rumahan tersebut banyak yang mengadaptasi
adonan kue donat yang lebih lembut. Adanya segmentasi pasar juga menjamin
keberlangsungan perusahaan donut-donut lokal. Sehingga kehadiran
Dunkin’Donuts tidak terlalu mengancam usaha-usaha tersebut.
Di samping itu, saat ini pun sudah mulai banyak perusahaan-perusahaan
donut lokal yang mampu menghasilkan produk-produk donut berkualitas. Bahkan
sebagian dari mereka sudah mempunyai nama ataupun membuka gerai berkonsep
resto donut dan kopi seperti halnya Dunkin’Donuts. Sebut saja donut I-Crave,
Java Donut, J.CO, Donut Oishii, Mister Donut, dan lain sebagainya. Donut-donut
lokal ini juga tidak kalah digemarinya oleh para penikmat donut. Sebuah polling
dalam sebuah situs internet baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
kegemaran para penikmat donut terhadap rasa dari jenis-jenis donut yang ada,
baik lokal maupun yang dari luar.
Item Dunki’ J.CO Krispy iCrave Donat Donat Tidak
donuts Kreme Pasar Kentang suka
donat
Persentase 29,7% 48,6 0% 2,7% 10,8% 5,4% 2,7%
%
Total Voters: 37
Keterangan:

 Donut Lokal = J.CO, iCrave, Donut Pasar dan Donut Kentang

 Donut dari Perusahaan Multinasional = Dunkin’Donuts dan Krispy Kreme

Di sini terlihat bahwa jumlah para penikmat donut lokal ternyata jumlahnya
justru lebih banyak (sekitar 70%) dibandingkan jumlah penikmat donut dari
Perusahaan Multinasional seperi Dunkin’Donuts (30% sisanya). Hal ini karena
adanya segmentasi pasar yang berbeda selain karena adanya permasalahan
mengenai cita rasa.
Salah satu dari perusahaan-perusahaan donut lokal yang mampu bersaing dengan
Perusahaan Dunkin’Donuts adalah J.CO (perusahaan milik penata rambut Johnny
Andrean). J.CO mulai berdiri sejak tahun 2005. Perusahaan ini bahkan dianggap
mampu menyaingi Dunkin’Donuts dalam hal cita rasa dan pelayanan. J.CO pun
telah membuka gerai-gerainya di mall-mall besar di kota-kota besar di Indonesia.
J.CO dianggap sebagai salah satu perusahaan donut lokal yang mampu keluar dari
bayang-bayang Perusahaan Multinasional Dunkin’Donuts. Perusahaan donut J.CO
dianggap sebagai perusahaan donut lokal yang berhasil membuat gebrakan dalam
bisnis di bidang resto donut dan kopi. J.CO dianggap berhasil “tampil beda”
dengan para pemain sebelumnya karena berhasil menawarkan konsep gerai baru.
J.CO menggunakan konsep gerai “Open Kitchen” (sama seperti Bread Talk,
keduanya juga berada dalam satu payung perusahaan yang sama). Namun, bukan
hanya konsep gerai saja yang membuat J.CO dianggap lebih unggul daripada
Dunkin’Donuts. Kualitas jasa (tingkat pelayanan) J.CO juga dinilai lebih baik
daripada tingkat pelayanan Dunkin’Donuts.
Di samping itu, kualitas produk dalam hal rasa dan bahan J.CO juga dinilai lebih
baik dan lebih berkualitas. J.CO dinilai lebih legit dan lebih lembut bagi para
penikmat donut dibandingkan dengan rasa Dunkin’ Donuts. Bahan-bahan yang
digunakan juga dinilai baik dan sehat. Misalnya, coklat putih Belgia, yoghurt dan
susu bebas lemak, biji kopi yang dikembangkan dari Brazil dan lain sebagainya
yang memang dinilai sebagai bahan-bahan yang berkualitas. Selain itu, teknologi
mesin penggoreng yang digunakan juga diimpor langsung dari Amerika Serikat.
Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan lokal juga mampu memiliki kualitas
dalam hal produk, pelayanan, maupun sistem manajemen yang tidak kalah dengan
Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Ditambah lagi, perusahaan J.CO juga
memiliki “wadah” komunitas berupa J.CO Community dan jejaring sosial berupa
facebook. Sehingga memudahkan J.CO untuk menyalurkan info-info kepada para
pelanggannya, baik berupa launching gerai ataupun outlet baru, promosi produk,
sampai dalam hal pelayanan baru misalnya berupa Midnite Sale. Event-event
ataupun kegiatan-kegiatan yang diadakan perusahaan tersebut, biasanya juga
diinformasikan melalui sarana media tersebut. Hal ini membuat perusahaan J.CO
semakin dekat dengan para pelanggannya.
Tidak hanya memasarkan produknya di dalam negeri (tingkat lokal) saja. J.CO
Donuts & Coffee Indonesia juga telah membuka cabang-cabangnya di negara-
negara Asia Tenggara.seperti Malaysia, Singapura dan Filipina. Di Malaysia
sendiri, J.CO Donuts & Coffee telah membuka gerainya di Kuala Lumpur dan
Petaling Jaya, Selangor—yang dianggap sebagai pusat kegiatan ekonomi
Malaysia. Saat ini bahkan J.CO dianggap sebagai waralaba resto Donut & Coffe
yang laju pertumbuhannya paling cepat di Asia Tenggara.
Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa, perusahaan-perusahaan lokal
terbukti juga tidak kalah bersaing dengan Perusahaan-Perusahaan Multinasional
yang berasal dari luar negeri. Bisnis di bidang pangan berupa resto Donut & Coffe
merupakan salah satu contoh kemajuan yang dimiliki oleh usaha-usaha lokal.
Masih banyak lagi usaha-usaha lokal yang juga “memiliki nama” di tingkat
regional bahkan global. Misalnya saja perusahaan Mustika Ratu ataupun Sari Ayu
yang merupakan produk di bidang kecantikan. Hal ini tentunya juga menjadi
pemicu bagi perusahaan-perusahaan lokal lainnya untuk turut bersaing di era
globalisasi ini. Tidak selamanya Perusahaan Multinasional hanya dikuasai oleh
negara-negara ekonomi maju. Bahkan saat ini disebutkan bahwa para pelaku
MNC dari negara-negara ekonomi maju eksistensinya mulai terancam, karena
mendapatkan saingan yang cukup ketat dari negara-negara industri berkembang
serta negara-negara berkembang lainnya (new emergent forces).
Dewasa ini kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional di bidang
ekonomi dan politik dunia, terasa sangat mencolok. Perusahaan-perusahaan
multinasional yang “menancapkan kukunya” juga tentu saja memberikan
implikasi kepada, saya sebut sebagai, Negara yang di’ekspansi’nya, baik dampak
positif maupun dampak negatifnya. Dampak positif pertama yang paling sering
disebut-sebut sebagai sumbangan positif penanaman modal asing ini adalah,
peranannya dalam mengisi kekosongan atau kekurangan sumber daya antara
tingkat investasi yang ditargetkan dengan jumlah actual “tabungan domestik”
yang dapat dimobilisasikan. Dampak positif kedua adalah, dengan memungut
pajak atas keuntungan perusahaan multinasional dan ikut serta secara financial
dalam kegiatan-kegiatan mereka di dalam negeri, pemerintah Negara-negara
berkembang berharap bahwa mereka akan dapat turut memobilisasikan sumber-
sumber financial dalam rangka membiayai proyek-proyek pembangunan secara
lebih baik.
Dampak positif ketiga adalah, perusahaan multinasional tersebut tidak
hanya akan menyediakan sumber-sumber financial dan pabrik-pabrik baru saja
kepada Negara-negara miskin yang bertindak sebagai tuan rumah, akan tetapi
mereka juga menyediakan suatu “paket” sumber daya yang dibutuhkan bagi
proses pembangunan secara keseluruhan, termasuk juga pengalaman dan
kecakapan manajerial, kemampuan kewirausahaan, yang pada akhirnya nanti
dapat dimanifestasikan dan diajarkan kepada pengusaha-pengusaha domestic
Dampak positif keempat adalah, perusahaan multinasional juga berguna
untuk mendidik para manajer local agar mengetahui strategi dalam rangka
membuat relasi dengan bank-bank luar negeri, mencari alternative pasokan
sumber daya, serta memperluas jaringan-jaringan pemasaran sampai ke tingkat
internasional. Dampak positif kelima adalah, perusahaan multinasional akan
membawa pengetahuan dan teknologi yang tentu saja dinilai sangat maju dan
maju oleh Negara berkembang mengenai proses produksi sekaligus
memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada Negara-negara dun
ia ketiga.
Selain dampak positif yang telah dikatakan diatas, tentu saja dalam
pelaksanaan kegiatan ekonominya, perusahaan multinasional juga mempunyai
dampak negatif yang terjadi pada Negara tamu. Pada umumnya pasar yang
menjadi sasaran pemasaran perusahaan multinasional ini memang adalah Negara-
negara yang notabenenya adalah Negara-negara yang sedang berkembang atau
Negara-negara dunia ketiga. Hal ini mereka lakukan karena Negara-negara dunia
ketiga ini dinilai belum mempunyai perlindungan yang baik atau belum
mempunyai “kekuatan” yang cukup untuk menolak “kekuatan” daripada
perusahaan-perusahaan raksasa multinasional ini sehingga bukan tidak mungkin
mereka bisa melakukan intervensi terhadap pemerintahan yang dilangsungkan
oleh Negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain Negara-negara ini
menghadapi dilema di mana sebagian besar negara terlalu lemah untuk
menerapkan prinsip aturan hukum, dan juga perusahaan-perusahaan raksasa ini
sangat kuat menjalankan kepentingan ekonomi untuk keuntungan mereka sendiri.
Kemudian kita juga harus menyadari bahwa perusahaan-perusahaan
mutinasional ini tidak tertarik untuk menunjang usaha pembangunan suatu
Negara. Perhatian mereka hanya tertuju kepada upaya maksimalisasi keuntungan
atau tingkat hasil financial atas setiap sen modal yang mereka tanamkan.
Perusahaan-perusahaan multi nasional ini senantiasa mencari peluang ekonomi
yang paling menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberi
perhatiam kepada soal-soal kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan lonjakan
pengangguran. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan multinasional hanya
sedikit memperkerjakan tenaga-tenaga setempat. Operasi mereka cenderung
terpusat di sector modern yang mampu menghasilkan keuntungan yang maksimal
yaitu di daerah perkotaan.
Selain tidak bisa diharapkan untuk ikut membantu mengatasi masalah
ketenagakerjaan di Negara tuan rumah, mereka bahkan seringkali memberi
pengaruh negative terhadap tingkat upah rata-rata, karena mereka biasanya
memberikan gaji dan aneka tunjangan kesejahteraan yang jauh lebih tinggi
ketimbang gaji gaji rata-rata kepada para karyawannya, baik itu yang berasal dari
Negara setempat atau yang didatangkan dari Negara-negara lain. Di atas telah
dikatakan bahwa keuatan mereka juga ditunjang oleh posisi oligopolitik yang
mereka genggam dalam perekonomian domestik atau bahkan internasional pada
sektor atau jenis-jenis produk yang mereka geluti. Hal ini bertolak berlakang dari
keyataan bahwa mereka cenderung beroperasi di pasar-pasar yang dikuasai oleh
beberapa penjual dan pembeli saja. Situasi seperti ini memberi mereka
kemampuan serta kesempatan yang sangat besar untuk secara sepihak
menentukan harga-harga dan laba yang mereka kehendaki, bersekongkol dengan
perusahaan lainnya dalam membagi daerah operasinya serta sekaligus untuk
mencegah atau membatasi masuknya perusahaan-perusahaan baru yang nantinya
dikhawatirkan akan menjadi saingan mereka.
Hal-hal tersebut mereka upayakan dengan menggunakan kekuatan yang
mereka miliki dalam penguasaan teknologi-teknologi baru yang paling canggih
dan efisien, keahlian-keahlian khusus, diferensiasi produk, serta berbagai kegiatan
periklanan secara gencar dan besar-besaran untuk mempengaruhi, kalau perlu
mengubah, selera dan minat konsumen. Kemudian walaupun dampak-dampak
awal (berjangka awal) dari penanaman modal perusahaan multinasional memang
dapat memperbaiki posisi devisa Negara yang menerima mereka (Negara tuan
rumah), tetapi dalam jangka panjang dampak-dampaknya justru negatif, yakni
dapat mengurangi penghasilan devisa itu, baik dari sisi neraca transaksi berjalan
maupun neraca modal. Neraca transaksi berjalan bisa memburuk karena adanya
impor besar-besaran atas barang-barang setengah jadi dan barang modal oleh
perusahaan multinasional itu, dan hal tersebut masih diperburuk lagi oleh adanya
pengiriman kembali keuntungan hasil bunga, royalty, dan biaya-biaya jasa
manajemen ke Negara asalnya. Jadi praktis pihak Negara tuan rumah tidak
memperoleh bagian keuntungan yang adil dan wajar.

Selain itu perusahaan-perusahaan multinasional berpotensi besar untuk


merusak perekonomian tuan rumah dengan cara menekan timbulnya semangat
bisnis para usahawan local, dan menggunakan tingkat penguasaan pengetahuan
teknologi mereka yang superior, jaringan hubungan luar negeri yang luas dan
tertata baik, keahlian dan agresivitas di bidang periklanan, serta penguasaan atas
berbagai berbagai jenis jasa pelengkap lainnya untuk mendorong keluar setiap
perusahaan local yang cukup potensial yang dianggap mengganggu atau
mengancam dalam kancah persaingan, dan sekaligus untuk menghalangi
munculnya perusahaan-perusahaan baru yang berpotensi untuk menjadi saingan
mereka. Perusahaan-perusahaan multinasional juga sering menggunakan kekuatan
ekonomi mereka untuk mempengaruhi, menyuap, dan memanipulasi berbagai
kebijakan pemerintah di Negara tuan rumah ke arah yang tidak menguntungkan
bagi pembangunannya.

Dampak Negatif Perusahaan Multinasional

Alasan utama banyaknya negara berhati-hati sebelum mengizinkan operasi


suatu perusahaan multinasional di negaranya adalah dampak-dampak negatif yang
mungkin ditimbulkannya. Salvatore paling tidak menyebutkan 6 dampak ini di
dalam bukunya,
Terhadap negara asal

1. Hilangnya sejumlah lapangan kerja domestik. Ini karena perusahaan


multinasional mengalihkan sebagian modal dan aktivitas bisnisnya ke luar
negeri.
2. Ekspor teknologi, yang oleh sebagian pengamat, secara perlahan-lahan
akan melunturkan prioritas teknologi negara asal dan pada akhirnya
mengancam perekonomian negara bersangkutan.
3. Kecenderungan praktik pengalihan harga sehingga mengurangi pemasukan
perpajakan
4. Mempengaruhi kebijakan moneter domestik.

Terhadap negara tuan rumah:

1. Keengganan cabang perusahaan multinasional untuk mengekspor suatu


produk karena negara tersebut bukan mitra dagang negara asalanya.
2. Mempengaruhi kebijakan moneter negara yang bersangkutan.
3. Budaya konsumsi yang dibawa perusahaan tersebut bisa mengubah budaya
konsumsi konsumen local dan pada akhirnya mematikan unit-unit usaha
tradisional.
Dan tentu saja dampak-dampak lainnya masih banyak mengingat masalah ini
adalah masalah yang kompleks. Mulai dari politik yang mempengaruhinya, belum
lagi bidang lainnya yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik di bidang sosial,
budaya, pendidikan dan sebagainya.
Selain dampak gaya hidup, dampak positif yang paling utama adalah
mengurangi angka pengangguran dan memberdayakan produktivitas sumber daya
manusia. Bagi mereka, hal ini menjadi sebuah kesempatan dalam meningkatkan
keterampilan mereka dalam bidang manajemen dan pemasaran ditambah lagi
dengan perluasan jaringan kerja. Sedangkan secara ekonomi, kehadiran dan
keberadaan Dunkin Donut’s ini tidak mengancam eksistensi industri dalam negeri.
Terbukti sampai saat ini masih banyak para penjual donut-donut lokal yang mulai
menjual makanannya di berbagai tempat. Seperti di pasar, sekolah, kantor, warung
serta pedagang-pedagang keliling. Hal ini membuktikan bahwa kehadiran
perusahaan ini membuat eksistensi usaha donut lokal yang ada tetap terjaga.
Selain itu, dampak dari kehadiran perusahaan ini yang paling menarik
dianalisis adalah menstimulus persaingan produk lokal didalam negeri, dimana
produk internasional ini tidak mematikan pasar dalam negeri, malah sebaliknya
produk internasional ini mampu menandingi kualitas ataupun pemasaran
perusahaan asing. Seperti halnya banyak para pemilik donut lokal yang
bermunculan di Indonesia ,dimana mereka berkreasi menciptakan sebuah inovasi
baru bagi produk yang mereka tawarkan. Contoh produk tersebut adalah Donut J-
CO, I-Crave ,Java Donut,dll. Mereka terbukti mampu merangsang pertumbuhan
perusahaan donut lokal yang ada. Bahkan perusahaan donut J-CO yang
merupakan perusahaan milik penata rambut terkenal yaitu Johnny Andrean dilihat
mampu menandingi Dunkin Donut’s dalam segala hal, tentunya dalam hal kualitas
produk yang banyak digemari masyarakat Indonesia, seperti para remaja putra-
putri maupun usia lanjut.
Selain perusahaan J-CO milik penata rambut Johnny Andrean, masih
banyak lagi industri lokal seperti halnya produk home industry yang berlomba-
lomba mengembangkan donut-donut dengan berciri khas unik dibandingkan
dengan donut lainnya. Mereka memulai sebuah inovasi baru dengan kemasan
yang menaraik dan kualitas kelezatannya terjamin. Sehingga produk mereka tidak
kalah tandingannya dengan donut-donut yang berada di mall-mall sekitarnya.
Mereka mencoba untuk menghasilkan kualitas terbaik dengan menciptakan harga
yang cukup ekonomis bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sehingga
para penikmat donut dari berbagai kalangan mampu membeli produk tersebut
tanpa harus mengeluarkan ongkos yang relatif mahal.
Hal tersebut merupakan sebuah terobosan baru bagi Indonesia untuk dapat
menjadikan hambatan menjadi sebuah peluang. Salah satunya dengan eksistensi
atau keberadaan multinasional yang dipandang negatif, mampu dijadikan
masyarakat Indonesia dipandang positif sebagai kesempatan yang
menguntungkan. Sehingga dengan berkembangnya perusahaan lokal ini, beberapa
manfaat yang dapat dipetik adalah dapat mengembangkan sumber daya manusia,
salah satunya dengan menciptakan lapangan kerja lebih banyak di dalam negeri,
menambah income perkapita, memberikan peluang maupun kesempatan bagi
pengusaha lokal untuk mengekspor produknya ke luar negeri, dan tentunya
memiliki prestise yang tinggi di kancah internasional. Seperti halnya J-CO yang
mulai memasarkan produknya ke berbagai negara, yaitu Filiphina, Malaysia,
Singapura dan negara-negara lainnya.
Disamping itu perusahaan lokal juga mampu memiliki kualitas dalam hal
pelayanan, maupun sistem manajemen yang tidak kalah menariknya dengan
perusahaan multinasional. Seperti halnya J-CO mulai mengembangkan segi
pemasarannya melalui media internet sebagai ajang jejaring sosial yang banyak
digemari masyarakat Indonesia. Beberapa varian produk, berikut harga dan
segmentasi pasarnya mulai dikembangkan melalui jejaring sosial ini. Bahkan
event-event yang sering diselenggarakan oleh perusahaan lokal ini mampu
meningkatkan penggemar donut di Indonesia. Hal tersebut dapat dikatakan sebuah
langkah yang baik bagi pengembangan produk dalam negeri dan juga
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan lokal terbukti tidak kalah bersaing
dengan perusahaan multinasional yang berasal dari luar negeri.
Kemudian, berkaitan dengan fakta-fakta kasus yang telah dijelaskan
diatas, penulis berusaha untuk mengkaitkannya dengan teori sistem dunia yang
dikemukakan oleh Wallerstain dimana strategi dalam proses kenaikan kelas, akan
terjadi dengan merebut kesempatan kepada beberapa negara yang telah siap,
seperti halnya Indonesia itu sendiri mampu meraih kesempatan ini dengan lebih
baik. Salah satunya dengan munculnya produk makanan Dunkin Donuts ini
sangat mempengaruhi pengusaha lokal ke arah positif dalam berkreasi
mengembangkan bisnisnya di dalam negeri. Tidak hanya produk makanan seperti
Dunkin Donuts, alat perangkat mesin canggih yang digunakan Indonesia pun
telah mulai dikembangkan sendiri. Mungkin pada awalnya negara Indonesia
mengimpor alat canggih teknologi dari luar negeri dalam mengolah produknya.
Namun hal ini menjadi kesempatan bagi Indonesia dengan mencoba untuk
merakit kembali teknologi tersebut, dengan membongkar komponen-komponen
khusus yang ada di dalamanya. Sehingga masyarakat akan lebih mempelajari
lebih dalam terkait alat canggih tersebut. Sehingga ketika alat canggih tersebut
mengalami kerusakan ataupun gangguan, mereka tidak perlu lagi membeli mesin
yang baru. Mereka bisa memperbaikinya sendiri karena telah mempelajari mesin
tersebut. Dari sini mereka bahkan bisa merakit dan memproduksi mesin tersebut
(produksi lokal) tanpa perlu membeli lagi dari luar. Hal ini mungkin patut
dicontoh sebagai usaha alih-alih transfer teknologi yang dipromosikan sebagai
keuntungan masuknya perusahaan asing.

2.6 Penanggulangan Dampak Negatif Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional, seperti halnya perusahaan komersial lainnya


akan tetap dan selalu bersifat profit oriented. Disini akan timbul suatu masalah
dalam kaitannya dengan penanggulangan dampak negative perusahaan
multinasional. Program-program penanggulangan dampak negative, bisa
dicontohkan asuransi kesehatan pegawai, pajak lingkungan hidup (di luar negeri),
jamsostek, reservasi lingkungan, akan dianggap sebagai suatu inefisiensi karena
sifat profit orientednya tadi, dimana perusahaan berusaha mencari keuntungan
yang sebesar-besarnya sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap
shareholder. Sehingga tidak akan tercapai titik temu antara tujuan perusahaan
dengan tujuan masyarakat. Disinilah pemerintah mengambil peranannya.
Namun, tidak selamanya hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah apalagi
pemerintah yang korup. Demi peningkatan usaha penanggulangan dampak negatif
MNC, harus dicari akar masalah dari hambatan atas penanggulangan ini. Ekonom
dan peraih nobel, Joseph E stiglitz dalam bukunya Making Globalization Works
(2006) mengemukan 4 dilema yang dialami perusahaan sehingga mereka
sebenarnya tidak mau melakukan usaha penanggulangan dampak negatif atas
aktivitas yang mereka lakukan.

1. Sifatnya yang profit oriented, sebagaimana penjelasannya di atas.


2. Kompetisi. Ini mengakibatkan perusahaan harus melakukan operasi
seefisien mungkin dengan cara menghasilkan untung yang sebesar-
besarnya dan menekan biaya dalam waktu singkat agar dapat tetap
survive. Dalam kondisi seperti ini, tentu perusahaan akan menghindari
segala biaya yang tidak esensial bagi operasi seperti, misalkan biaya
pembangunan rumah sakit bagi warga sekitar.
3. Kekuatan ekonomi dan politik, mengingat kekuatan peusahaan
multinasional yang luar biasa secara ekonomi dan politik, perusahaan
semacam ini bisa saja “membeli” negara-negara yang memang sedang
membutuhkan modal dari mereka. Contohnya Freeport di Papua dan
Exxon di Aceh. Dilema akan terjadi karena semakin perusahaan ini
berperan dalam pembangunan sosial ekonomi semakin pembangunan
ditentukan oleh praktik-praktik untuk memenuhi interest dari perusahaan
tersebut. Misalnya Freeport memang membangun rumah-rumah sakit,jalan
sekolah, tetapi warga sekitar tetap mengeluh. Mereka mengeluh karena
kenyataannya fasilitas-fasilitas tersebut untuk melayani kepentingan
pegawai dan staf perusahaan saja.
4. Kolusi perusahaan-pemerintah. Perusahaan bisa melakukan lobi-lobi
kepada para birokrat, baik daerah maupun pusat untuk membuat undang-
undang yang memenuhi interest dan kebutuhan mereka. Tidak jarang biaya
untuk melakukan lobi-lobi ini melebihi biaya investasi lainnya.
Perusahaan perminyakan seringkali mengurangi biaya kompensasi dan
konservasi alam dengan cara menyuap pejabat publik. Lagipula kebijakan
tersebut adalah banyak dipengaruhi pejabat publik dan perusahaan saja,
tetapi minim partisipasi masyarakat sehingga tidak jarang mengabaikan
hak-hak publik. Contoh yang bagus adalah kasus Freeport di Indonesia,
“Dalam 20 tahun berikutnya, proses pemakaian tanah yang tidak
transparan—dan pemindahan paksa komunitas lokal—berlanjut pada
1995, anggota-anggota masyarakat memahami untuk pertama kalinya
bahwa, menurut sumber-sumber pemerintah, mereka telah menyerahkan
tanah-tanah ulayat di wilayah Timika (hampir 1 juta hektar) kepada
pemerintah untuk penempatan transmigrasi, termasuk kota Timika dan
lokasi Freeport yang baru, Kuala Kencana.” (Aderito de Jesus Soares,
jurnal LIBERTASAUN V/2005)
Dari akar masalah di atas paling tidak bisa dirumuskan 3 pendekatan dalam
menanggulangi masalah di atas sebagai berikut:

1. Pendekatan hukum. Dilema perusahaan akan profit oriented dapat dicegah


melalui legislasi, dimana peraturan perundang-undangan yang mengikat
semua pihak akan menempatkan perusahaan pada standar yang sama.
Perusahaan yang berbisnis dengan standar tinggi pasti akan menyambut
baik hal ini. Perusahaan yang berbisnis dengan standar tinggi, dalam
menjalankan praktiknya akan memperhatikan etika berbisnis (code of
conduct). Peraturan dan legislasi akan melindungi perusahaan tersebut
terhadap kompetisi yang tidak fair dari perusahaan yang tidak memenuhi
standar yang sama. Pentingnya peraturan dan hukum ini, seperti dikatakan
oleh stiglitz, “tanpa tekanan peraturan pemerintah dan masyarakat,
korporasi enggan melindungi dampak lingkungan secara memadai.
Sejatinya mereka memiliki motivasi untuk merusak lingkungan hidup jika
hal tersebut dapat menyelamatkan uang mereka”
2. Pendekatan sosial dan etika. Pendekatan lainnya untuk menjamin
pertanggungjawaban publik perusahaan multinasional ialah melalui
berbagai macam tekanan sosial dan etik masyarakat. Paling tidak ada 4
kelompok yang dapat mengadakan presure antara lain, konsumen,
investor, pekerja dan LSM. Menurut Wegner-Tsukamoto, kelompok ini
dapat menciptakan apa yang disebut “ethical capital” yang artinya nilai
yang merasuki empat kelompok tadi untuk melakukan gerakan moral
secara aktif. Contoh nyatanya adalah boikot yang dilakukan Gandhi, tentu
saja diikuti pengikutnya, atas perusahaan kapas kolonialis Inggris di India,
kemudian boikot partai solidaritas buruh di Glasgow atas perusahaan
galangan kapal. Kemudian, contoh dari LSM yang memberikan tekanan
adalah yang sering didengar tentang kampanye “blood diamond” di Sierra
atau “Dirty Oil” di Nigeria yang cukup efektif menarik perhatian dunia
sehingga perusahaan multinasional yang bersangkutan tidak bisa
seenaknya sendiri. Kasus di Indonesia yang terkenal adalah kasus Freeport
di mana LSM bentukan masyarakat/ suku lokal bernama LEMASA
(Lembaga Masyaraka Adat Komoro) mengajukan gugatannya di
pengadilan New Orleans, kota dimana kantor pusat Freeport berada.
3. Rahmad Paul, master pada Conflict Transformation di Center for Justice
and Peacebuilding Eastern Mennonite University, US menyarankan
pendekatan melalui transformasi konflik. Konflik itu seperti pedang
bermata dua, di satu sisi bisa menghambat tetapi jika dikelola dengan baik
dapat menjadikannya sesuatu yang konstruktif. Kalau dinamika konflik
dikelola secara tepat akan berdampak pada perubahan sosial yang
transformative dan significant bagi kepentingan rakyat banyak. Negosiasi
dan mediasi konflik merupakan cara pendekatan yang berprinsip pada
nonkekerasan dan dialog untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak
yang bertikai. Para pihak yang berkonflikperlu duduk bersama dan setara
di meja perundingan negosiasi guna mencari titik temu dan menjembatani
perbedaan persepsi dan kepentingan dan secara bersama-sama
membangun consensus yang membangun dan mengakomodasi semua
pihak.

Adapun Nopirin, Ph.D dalam bukunya ekonomi internasional jilid 3


mengungkapkan setidaknya ada 5 cara dalam hal pengaturan perusahaan
multinasional demi penghindaran efek buruk yang mungkin terjadi:

1. Pengaturan tentang masuknya MNC. Pengaturan meliputi penilaian


tentang kemungkinan efek suatu perusahaan multinasional di masa yang
akan datang terhadap politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Jika
penilaian ini menunjukkan kemungkinan yang sangat buruk atau dengan
kata lain kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya, maka
perusahaan multinasional tersebut ditolak kehadirannya.
2. Penentuan sektor-sektor tertentu yang sudah tertutup untuk investasi asing
atau penentuan pemilikan, sehingga memberi peluang pada wiraswasta
local untuk ikut melakukan kegiatan atau mengambil keputusan.
3. Negara penerima dapat mengatur kegiatan perusahaan multinasional
dengan cara membatasi bahan yang diimpor, penentuan harga produk,
pengaturan tentang kredit, pemilikan serta pengaturan tentang efeknya
terhadap lingkungan.
4. Negara penerima melakukan pengaturan tentang keuntungan yang boleh
dikirimkan kembali ke negara induk.
5. Negara penerima dapat melakukan nasionalisasi perusahaan multinasional.
Biasanya ini adalah tindakan terakhir yang dilakukan suatu negara dan
harus dipertimbangkan secara hati-hati karena hal ini dapat melenyapkan
minat investor untuk berinvestasi di masa-masa yang akan datang.

Pada kenyataannya, memang suatu negara tidak akan membiarkan perusahaan


multinasional untuk sertamerta masuk dan beroperasi di wilayahnya. Akan banyak
terdapat pembatasan-pembatasan. Negara Kanada misalnya, saat ini menerapkan
tingkat pajak yang lebih tinggi terhadap anak atau cabang perusahaan asing,
termasuk perusahaan patungan, dengan jumlah saham yang dikuasai warga
Kanada kurang dari 25%. India secara ketat membatasi sector-sektor industry
yang boleh menerima penanaman modal asing secara langsung. Beberapa negara
berkembang bahkan tidak memperbolehkan perusahaan yang sahamnya dikuasai
100% oleh pihak asing.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dewasa ini pertumbuhan Perusahaan Multinasional (Multinational Corporations)
semakin berkembang pesat. Eksistensi Multinational Corporations (selanjutnya
disebut MNC)sendiri sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum Perang Dunia I
dimulai. Sejak awal kehadirannya, hingga pertengahan tahun 1980an MNC sudah
tumbuh berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan perdagangan
dunia. MNC memiliki jenis-jenis yang beragam, mulai dari perusahaan eksplorasi
tambang migas dan mineral, perusahaan-perusahaan manufaktur, hingga ke
bidang pendidikan serta gerai-gerai pangan seperti kafe. Salah satu Perusahaan
Multinasional yang bergerak di bidang kafe ataupun gerai-gerai pangan
adalah Dunkin’ Donuts, atau yang lebih akrab disingkat dengan sebutan DD.
Meskipun demikian, Dunkin’ Donuts-lah yang dinilai paling berhasil dalam
meluaskan jaringan pasarnya di Indonesia, bahkan di dunia. Dunkin’ Donuts telah
berhasil membuka lebih dari 8.800 gerai donatnya di lebih dari 35 negara di
berbagai benua. Di Indonesia sendiri Dunkin’ Donuts telah membuka 200 gerai
lebih di kota-kota besar di seluruh Indonesia, seperti Medan, Yogyakarta,
Bandung, Bali, Surabaya, Makassar, Jakarta, dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Dunkin’Donuts telah berhasil menjadi model dalam hal pelayanan serta konsep
gerai yang dimilikinya. Bahkan Dunkin’Donuts terkadang dianggap sebagai
bayang-bayang bagi perusahaan donut lainnya. Di Jogjakarta, Dunkin’ Donuts
telah merambah ke mall-mall, swalayan serba ada, jalan-jalan di malioboro,
hingga ke bookstore-bookstore seperti Gramedia.
Dunkin’ Donuts sendiri mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1985, dengan gerai
pertamanya di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Sebenarnya, Dunkin’ Donuts
bukan merupakan perusahaan donut multinasional pertama yang masuk ke
Indonesia. Di tahun 1968, American Donut merupakan perintis donat pertama
yang digoreng dengan mesin otomatis di Pekan Raya Jakarta. Selain membuka
gerainya di pekan raya, American Donut juga membuka gerainya di berbagai
tempat di Jakarta. Selain itu, masih ada perusahaan-perusahaan multinasional
donut lainnya yang juga berusaha mengimbangi gerak Dunkin’ Donuts, seperti
Country Style Donuts asal Kanada, Donuts Xpress asal Australia, Krispy Kreme
yang juga berasal dari AS, serta masih banyak lagi perusahaan-perusahaan donut
lainnya.

Kembali kepada isu mengenai MNC yang mengundang banyak polemik dari
berbagai kalangan, terutama mengenai kehadirannya di Negara-Negara Dunia
Ketiga. Perusahaan-perusahaan Multinasional dianggap sebagai ancaman bagi
usaha-usaha lokal di negara tempat ia berada. Namun, meskipun demikian,
pemerintah negara-negara tersebut tetap saja saling berlomba-lomba (bidding
wars) untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di negara mereka
dalam bentuk Foreign Direct Investment.Kehadiran MNC terkadang memang
membawa keuntungan dan kerugian. Hal inilah yang menjadi perdebatan antara
pihak-pihak yang pro dan kontra atas kehadiran Perusahaan Multinasional di
negara mereka.
Pihak yang kontra berpendapat bahwa Perusahaan Multinasional dalam
praktiknya membawa lebih banyak kerugian daripada keuntungan bagi negara
mereka. Salah satu isu yang paling kontroversial mengenai kehadiran MNC—
terutama di negara-negara berkembang—adalah isu mengenai outsourcing. Selain
itu, terkadang kedaulatan nasioal juga tergadaikan dengan adanya upaya MNC
untuk masuk ke dalam negara tersebut. Upaya alih teknologi yang pada mulanya
diisukan sebagai keunggulan dari masuknya perusahaan multinasional di negara-
negara berkembang ternyata tidak terbukti. Di samping itu, masih banyak lagi
reaksi-reaksi negatif lainnya yang bermunculan akibat masuknya perusahaan
multinasional di negara-negara dunia ketiga.
Namun, terkadang orang menjadi lupa bahwa kehadiran Perusahaan
Multinasional sebenarnya tidak hanya membawa dampak yang negatif saja bagi
negara penerima. Selain membawa modal asing dan pemasukan berupa pajak,
MNC sebenarnya juga membawa dampak positif lainnya. Perbincangan mengenai
MNC tidak akan berkembang jika hanya mengenai dampak negatif yang dibawa
oleh MNC saja. Kehadiran MNC sebenarnya bisa menjadi stimulus bagi
berkembangnya usaha-usaha lokal sejenis yang ada bagi negara penerima. Salah
satu contoh kasus yang disajikan dalam tulisan ini adalah kehadiran
Dunkin’Donuts yang memacu hadirnya usaha-usaha donut lokal seperti J.CO, I-
Crave, Java Donut, dan lain sebagainya.
Secara sosial, pengaruh yang dibawa oleh perusahaan Dunkin’Donuts tidak
membawa dampak yang signifikan bagi pola kehidupan masyarakat. Ada yang
berpendapat bahwa kehadiran MNC dapat mengubah pola hidup masyarakat
menjadi lebih konsumtif.
Masyarakat dinilai akan saling berlomba-lomba dalam menggunakan
(mengonsumsi) produk dari Perusahaan Multinasional tersebut untuk
menunjukkan strata sosial mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Namun,
dalam hal ini tidak terjadi demikian. Sebelum kehadiran Dunkin’Donuts sendiri
(tahun 1985), sudah ada American Donuts yang masuk terlebih dahulu pada tahun
1968. Sementara, donuts sendiri bukanlah suatu produk makanan yang baru. Ia
sudah ada dan populer di tengah-tengah masyarakat sama seperti halnya roti.
Sedangkan mengenai isu outsourcing—yang juga dinilai akan memberikan
kontribusi bagi peningkatan jumlah penduduk perumahan kumuh di daerah
perkotaan tidak berlaku bagi kehadiran perusahaan ini. Produksi donut yang
dihasilkan dari perusahaan ini menggunakan teknologi mesin penggoreng
otomatis. Sehingga, tenaga manusia yang digunakan lebih banyak bergerak di
bidang Manajemen dan Pelayanan. Hal ini justru membawa dampak yang positif
bagi masyarakat, yaitu yang paling pokok adalahmengurangi angka pengangguran
dan memberdayakan produktivitas sumber daya manusia. Selain itu, bagi
masyarakat pribadi, hal ini dapat meningkatkan keterampilan mereka dalam
bidang manajemen dan pemasaran ditambah lagi dengan perluasan jaringan kerja
(work networking).
Sedangkan secara ekonomi, kehadiran dan keberadaan Dunkin’Donuts tidak
sampai mengancam eksistensi (keberadaan) usaha-usaha donut lokal yang ada.
Buktinya saja sampai saat ini kita masih menjumpai penjual-penjual yang
menjajakan donut buatan industri rumah tangga ataupun industri kecil. Baik di
pasar-pasar tradisional, sekolah-sekolah maupun kantor, warung, serta pedagang-
pedagang keliling. Kehadiran Dunkin’Donuts dianggap sebagai salah satu varian
dari jenis-jenis donut yang ada. Selain itu, adanya segmentasi pasar tersendiri dari
Dunkin’ Donut, membuat eksistensi usaha-usaha donut lokal yang ada tetap
terjaga.

Di samping itu, saat ini pun sudah mulai banyak perusahaan-perusahaan


donut lokal yang mampu menghasilkan produk-produk donut berkualitas. Bahkan
sebagian dari mereka sudah mempunyai nama ataupun membuka gerai berkonsep
resto donut dan kopi seperti halnya Dunkin’Donuts. Sebut saja donut I-Crave,
Java Donut, J.CO, Donut Oishii, Mister Donut, dan lain sebagainya. Donut-donut
lokal ini juga tidak kalah digemarinya oleh para penikmat donut. Sebuah polling
dalam sebuah situs internet baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
kegemaran para penikmat donut terhadap rasa dari jenis-jenis donut yang ada,
baik lokal maupun yang dari luar.
3.2 Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini tentang “Perusahaan Frienchise Dunkin Donut’s”,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai