Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH

MANAJEMEN KINERJA

BALANCED SCORECARD DALAM PENGELOLAAN KINERJA

DISUSUN OLEH:

HARI AGUNG PRAPTOMO

1821100082

FAKULTAS EKONOMI

JURUSAN MANAJEMEN

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA

KLATEN
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan kinerja organisasi merupakan hal yang sangat penting karena


organisasi dalam mencapai tujuannya harus memiliki kinerja yang terus menerus menjadi
lebih baik, efisien dan efektif serta apabila dimungkinkan ekonomis. Pengelolaan kinerja
organisasi merupakan materi penting yang diperlukan oleh organisasi dalam setiap
perencanaan dan pengambilan keputusan. Kinerja organisasi dari periode awal yang terus
berjalan dengan periode-periode berikutnya harus memiliki penilaian yang tepat, cermat
dan benar-benar mencerminkan kondisi kinerja organisasi dan sumber daya yang dimiliki
dengan sebenar-benarnya.

Organisasi harus memiliki tools dalam mengukur keandalan kinerja


organisasinya. Salah satu alat yang saat ini sering digunakan adalah Balance Scorecard
(BSC). Balanced scorecard adalah model pengukuran kinerja yang diperkenalkan
pertama kali oleh Profesor Robert S. Kaplan dan Doktor David P. Norton tahun 1992
melalui tulisan ilmiahnya yang berjudul “BSC: Measures That Drive Performance” pada
jurnal ilmiah Amerika Serikat yaitu Harvard Business Review edisi Januari-Februari
1992. Balanced scorecard semula merupakan aktivitas tersendiri yang terkait dengan
penentuan sasaran, tetapi kemudian diintegrasikan dengan sistem manajemen strategis.
Balanced scorecard bahkan dikembangkan lebih lanjut sebagai sarana untuk
berkomunkasi dari berbagai unit dalam suatu organisasi. Balanced scorecard juga
dikembangkan sebagai alat bagi organisasi untuk berfokus pada strategi.

Balanced scorecard secara singkat adalah suatu sistem manajemen strategis untuk
mengelola, menterjemahkan, menerapkan strategi, mengukur kinerja secara utuh,
mengkomunikasikan visi, strategi dan sasaran kepada stakeholders. Kata balanced dalam
balanced scorecard merujuk pada konsep keseimbangan antara berbagai perspektif,
jangka waktu (pendek dan panjang), lingkup perhatian (intern dan ekstern). Kata
scorecard mengacu pada rencana kinerja organisasi dan bagian-bagiannya serta
ukurannya secara kuantitatif.
Adapun inti dari konsep BSC adalah suatu sistem manajemen kinerja yang bisa
membantu organisasi untuk mewujudkan visi dan stategi organisasi menjadi sebuah
tindakan nyata dengan cara melakukan pengukuran terhadap seluruh aspek strategis
organisasi yang meliputi 4 (empat) perspektif yaitu perspektif keuangan (financial),
pelanggan (customer), proses internal (internal process), dan perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan (learning and growth), sehingga menghasilkan output, outcomes, dan/atau
impact yang diinginkan organisasi.

B. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan makalah ini disusun adalah merupakan suatu bahan refreshment bagi
para pembaca yang membutuhkan informasi mengenai bagaimana konsep pengelolaan
kinerja menggunakan Balance Scorecard digunakan dalam mengukur kinerja organisasi
serta merupakan salah satu bagian penugasan dalam mata kuliah manajemen kinerja.
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Balanced Scorecard, atau biasa disingkat BSC, adalah sebuah konsep pengukuran
yang digunakan perusahaan untuk menilai kinerja tidak hanya dari segi finansial, tapi juga
non-finansial. BSC terdiri dari dua kata, yaitu balanced dan scorecard. Balanced berarti
adanya keseimbangan antara aspek finansial dan non-finansial, performa jangka pendek
dan jangka panjang, serta performa yang bersifat internal maupun eksternal. Sedangkan
Scorecard berarti kartu yang digunakan untuk mengukur performa. Sehingga dapat
dirumuskan bahwa Balanced scorecard adalah suatu sistem manajemen strategis untuk
mengelola, menterjemahkan, menerapkan strategi, mengukur kinerja secara utuh,
mengkomunikasikan visi, strategi dan sasaran kepada stakeholders dan elemen internal
organisasi.

B. Penerapan BSC

Sejak pertama kali dicetuskan, konsep BSC mulai sukses diterapkan pada
beberapa organisasi swasta di Amerika Serikat, dan kemudian berhasil diterapkan di
banyak perusahaan di seluruh dunia seperti Rockwater Inc., AT&T Canada Long
Distance, Siemens AG, BMW Financial Services, Daimler Chrysler, Bank of Tokyo-
Mitsubishi, Philips Electronics, dan lainnya. Seiring perkembangannya, konsep BSC juga
telah berhasil diterapkan pada organisasi sektor publik di seluruh dunia. Organisasi sektor
publik berbentuk pemerintahan yang pertama kali sukses menerapkan konsep BSC adalah
pemerintah kota Charlotte City, North Caroline, Amerika Serikat pada tahun 1996.
Berawal dari kesuksesan tersebut, maka kemudian BSC berhasil diterapkan di banyak
lembaga pemerintahan dan organisasi nonprofit di berbagai negara seperti di Amerika
Serikat, Inggris, Kanada, Ethiopia, Kenya, pemerintahan Malaysia, Singapura, Filipina,
dan lainnya.
Bagaimana dengan organisasi pemerintahan di Indonesia? Organisasi
pemerintahan di Indonesia yang pertama kali menerapkan konsep BSC adalah
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan hal ini merupakan terobosan besar bagi
pemerintah Indonesia. Pada tahun 2008, Kemenkeu menerapkan konsep BSC secara
bertahap yaitu dimulai pada level atas (belum sampai pada level unit organisasi terkecil).
Penerapan BSC sampai pada unit organisasi terkecil (secara koheren) baru dimulai pada
tahun 2011, hal ini sebagaimana diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.
12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan yang
kemudian diganti dengan KMK No. 454/KMK.1/2011, dan diganti lagi dengan KMK No.
467/KMK.01/2014 dan diubah terakhir dengan KMK No. 556/KMK.01/2015.

Kebijakan Kemenkeu mengadopsi BSC sebagai tools untuk mengukur kinerja


organisasi sekaligus sebagai alat manajemen strategis bertujuan untuk menciptakan
pemerintahan yang good governance dan terciptanya kepercayaan masyarakat Indonesia
maupun dunia terhadap kinerja organisasi Kementerian Keuangan.

Penerapan konsep BSC pada Kemenkeu dilatarbelakangi oleh adanya reformasi


birokrasi yang mulai efektif dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Pada Diktum KETIGA Instruksi Presiden
dimaksud, Presiden menginstruksikan untuk membuat penetapan indikator dan target
kinerja di seluruh kementerian yang menjelaskan keberhasilan pencapaian kinerja baik
berupa hasil (output) maupun manfaat (outcome).

Reformasi birokrasi tersebut diawali dengan reformasi keuangan negara yang


ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta
UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara. Perjalanan reformasi birokrasi dipertegas dengan
diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 81 tahun 2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Perpres ini menjadi acuan bagi
Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah dalam melakukan reformasi birokrasi guna
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Tujuan reformasi birokrasi adalah
mewujudkan tata kelola keuangan negara yang profesional, amanah, dan tepat arah (good
governance) serta membangun kepercayaan publik melalui peningkatan pelayanan
publik. Dalam rangka mewujudkan tujuan reformasi birokrasi, agenda reformasi birokrasi
di lingkungan Kementerian Keuangan bertumpu pada penataan dan penajaman fungsi
organisasi, penyempurnaan proses bisnis (business process), serta peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM).

Penerapan BSC pada Kementerian Keuangan dapat digambarkan sebagai berikut:

Pengelolaan kinerja berbasis BSC di Kementerian Keuangan dibagi ke dalam 6

(enam) level, yaitu:

I. Kemenkeu-Wide : level Kementerian (Komitmen Kinerja Menteri dan


KontrakKinerja Wakil Menteri);
II. Kemenkeu-One : level Unit Eselon I (Kontrak Kinerja Pejabat Struktural Eselon I);
III. Kemenkeu-Two : level Unit Eselon II (Kontrak Kinerja Pejabat Struktural Eselon
II);
IV. Kemenkeu-Three : level Unit Eselon III (Kontrak Kinerja Pejabat Struktural
Eselon III);
V. Kemenkeu-Four : level Unit Eselon IV (Kontrak Kinerja Pejabat Struktural
Eselon IV);
VI. Kemenkeu-Five : Kontrak Kinerja Staf Ahli Menteri, Tenaga Pengkaji, Pejabat
Fungsional, level unit Eselon V dan Pelaksana.
Ada 4 perspektif dalam penerapan BSC pada Kementerian Keuangan yaitu:

1) Perspektif Stakeholder
Perspektif ini mencakup Sasaran Stategis yang ingin diwujudkan organisasi untuk
memenuhi harapan sehingga dinilai berhasil dari sudut pandang stakeholder.
Stakeholder (pemangku kepentingan) adalah pihak internal maupun eksternal yang
secara langsung atau tidak langsung memiliki kepentingan atas output atau
outcome dari suatu organisasi, namun tidak menggunakan layanan organisasi
secara langsung.
2) Perspektif Customer
Perspektif ini mencakup Sasaran Stategis yang ingin diwujudkan organisasi untuk
memenuhi harapan customer dan/atau harapan organisasi terhadap customer.
Customer (pengguna layanan) merupakan pihak luar yang terkait langsung dengan
pelayanan suatu organisasi.
3) Perspektif Internal Process
Perspektif ini mencakup Sasaran Stategis yang ingin diwujudkan melalui rangkaian
proses yang dikelola organisasi dalam memberikan layanan serta menciptakan nilai
bagi stakeholder dan customer (value chain).
4) Perspektif Learning and Growth
Perspektif ini mencakup Sasaran Stategis yang berupa kondisi ideal atas sumber
daya internal organisasi yang ingin diwujudkan atau yang seharusnya dimiliki oleh
organisasi untuk menjalankan proses bisnis guna menghasilkan output atau
outcome organisasi yang sesuai dengan harapan customer dan stakeholder.

Untuk organisasi diluar pemerintah, maka 4 perspektif BSC tersebut dapat


diuraikan sebagai berikut:
1) Perspektif Finansial
Perspektif finansial dapat dilihat dari aspek finansial yang tersedia di laporan
keuangan perusahaan, seperti profit margin yang dialami oleh perusahaan,
pertumbuhan penjualan, asset turnover, serta kinerja keuangan lainnya. Pengukuran
perspektif finansial memiliki peranan, yaitu semua perspektif tergantung pada
pengukuran keuangan yang menunjukan implementasi dari strategi perusahaan serta
memberi dorongan bagi tiga perspektif lainnya mengenai target serta tujuan yang
hendak dicapai perusahaan.

2) Perspektif Pelanggan
Perspektif yang kedua adalah perspektif pelanggan. Dalam menjalankan perspektif
pelanggan, manajemen perusahaan terlebih dahulu menentukan segmen pasar dan
pelanggan yang menjadi target bagi perusahaan. Selanjutnya, perusahaan mengukur
kinerja setiap unit operasi dalam mencapai target tersebut. Terdapat dua kelompok
pengukuran dalam perspektif pelanggan. Pertama adalah kelompok pengukuran inti
(core measurement group), yang digunakan untuk mengukur bagaimana kinerja
perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan dan mencapai target pasar.
Kelompok yang kedua adalah kelompok pengukuran nilai pelanggan (customer value
proposition), yang mengukur nilai pasar yang mereka kuasai serta seberapa besar
loyalitas pelanggan terhadap produk dan jasa perusahaan.

3) Perspektif Bisnis Internal


Perspektif yang ketiga adalah perspektif bisnis internal. Perspektif bisnis internal
berfokus pada cara perusahaan mempertahankan pelanggannya di segmen pasar dan
memuaskan para pemegang saham melalui laporan keuangan. Kaplan dan Norton
(1996) membagi perspektif bisnis internal kedalam tiga prinsip dasar, yaitu proses
inovasi, proses operasi, serta pelayanan purna jual.
4) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Perspektif yang terakhir adalah perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif
ini lebih menekankan pada aspek internal dari perusahaan. Perspektif ini mencakup
tiga prinsip kapabilitas yang terkait dengan internal perusahaan, yaitu ketersediaan
infrastruktur berupa kapabilitas pekerja yang meliputi kepuasan, retensi. dan
produktivitas pekerja, serta kapabilitas sistem informasi dan iklim organisasi yang
mendorong munculnya motivasi.
PENUTUP

Kesimpulan

Pertumbuhan popularitas BSC di dunia tentu bukan tanpa sebab. Para pengelola
organisasi percaya bahwa informasi yang diberikan metode BSC memiliki lebih banyak
keunggulan dibandingkan metode konvensional, sehingga semakin banyak manajemen
yang beralih dari metode konvensional ke metode BSC. Beberapa keunggulan dari proses
evaluasi dengan metode BSC dibanding metode konvensional antara lain BSC dapat
memberikan informasi dengan lebih komprehensif, koheren, seimbang, dan terukur.

Melalui empat perspektif yang terdapat di dalam BSC, informasi yang diberikan BSC
tentu saja lebih komprehensif, karena tidak hanya memuat informasi finansial saja tetapi
juga memuat informasi non-finansial. Melalui informasi tersebut, manajemen akan
mengetahui sejauh mana kinerja organisasi, apakah kinerja organisasi telah mencapai
target yang ditentukan, serta strategi apa yang perlu dirancang oleh perusahaan.

Selain itu, Balanced Scorecard juga koheren, antara satu aspek dengan aspek lain terdapat
hubungan kausal atau sebab-akibat, maka setiap sasaran stratejik yang ditetapkan dalam
perspektif non-finansial harus memiliki hubungan sebab-akibat dengan perspektif
finansial. Keunggulan ini membuat manajemen menjadi lebih paham mengenai dampak
finansial yang terjadi setelah sebuah strategi diterapkan. Oleh karena itu, manajemen
dapat segera mengambil keputusan mengenai apa saja yang perlu diperbaiki dari sebuah
strategi dan apakah strategi tersebut perlu dilanjutkan atau dihentikan.

Keunggulan yang ketiga yaitu terkait dengan keseimbangannya. BSC dikatakan seimbang
karena memiliki komponen yang sama penting antara aspek finansial dan nonfinansial.
Di samping itu, sasaran stratejik yang dihasilkan dalam keempat perspektif meliputi
jangka pendek dan jangka panjang, aspek internal maupun eksternal, serta keberhasilan
BSC juga tercermin dari keselarasan antara scorecard personal staf dengan scorecard
organisasi. Dengan begitu, setiap personal staf bertanggung jawab terhadap kemajuan
organisasi.
Keempat, BSC memiliki keunggulan yaitu dapat terukur. Berbeda dengan aspek finansial,
aspek non-finansial sangat sulit untuk diukur dengan metode konvensional. Akan tetapi
dengan menggunakan konsep BSC, manajemen dapat mengukur prestasi aspek non-
finansial dengan menjabarkan visi dan misi perusahaan ke dalam beberapa objektif yang
harus dicapai. Selain dapat mengukur aspek-aspek tersebut, BSC juga mampu
mengintegrasikan visi dan misi ke dalam tolok ukur evaluasi perusahaan sehingga tujuan
perusahaan dapat menjadi lebih jelas.

Berdasarkan paparan di atas, BSC sangat jelas memiliki keunggulan yang tidak dimiliki
oleh metode konvensional, yaitu lebih komprehensif, koheren, seimbang, dan terukur.
Keunggulan-keunggulan ini sangat membantu manajemen dalam mengevaluasi kinerja
mereka dan juga merumuskan strategi perusahaan selanjutnya. Meski demikian, terlepas
dari segala keunggulan tersebut, penggunaan metode ini tidak akan efektif apabila
manajemen tidak memanfaatkan informasi-informasi yang tersedia dalam BSC dengan
teliti dan objektif.
Daftar Pustaka

1. KMK No. 467/KMK.01/2014 dan diubah terakhir dengan KMK No.


556/KMK.01/2015 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian
Keuangan
2. Buletin Kinerja Edisi XXXVII/Kuartal III 2018
3. Kementerian Keuangan dan Balanced Scorecard, oleh Risman
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/kementerian-keuangan-
dan-balanced-scorecard/
4. Perbandingan Sistem Pengukuran Kinerja Perusahaan, Jurnal, Fredy Simbolon.
5. https://spa-febui.com/balanced-scorecard-efektif-kah/
6. https://sheismariyati.blogspot.com/2016/12/balanced-scorecard-dalam-
perspektif.html
7. http://maielvasundari.blogspot.com/2014/05/balanced-scorecard-sistem-
manajemen.html
8. https://16aksyaclompat.blogspot.com/2018/03/makalah-balanced-scorecard.html

Anda mungkin juga menyukai