Tim Penyusun :
Kelompok 4
Adriel Prayoga 10616017
Sylvia Tifani Siswanto 10616053
Maylinda Nur Setyaningrum 10616079
Elviena Zahra Malik Hadibrata 12915036
Patrick Aditya Sulistyo 12916032
Asisten :
0-24,9 Buruk
25,0-49,9 Sedang
50,0-74,9 Baik
Salinitas 32.77
Konduktivitas 46.602
pH 7.837
Suhu 30.85
Ekosistem terumbu karang merupakan hotspot keanekaragaman hayati bagi daerah laut. Oleh
sebab itu banyak terdapat jenis ikan karang yang hidup di ekosistem tersebut. Terdapat 46 jenis
spesies yang terdapat di Pulau Air. Keberadaan ikan karang juga dapat menandakan kondisi
ekosistem terumbu karang. Indeks keanekaragaman jenis (H’) ikan karang yang didapat sebesar
3.19. Hal tersebut menandakan keanekaragaman sedang karena berada direntang 2.30 - 6.91. Pada
indeks kemerataan didapatkan nilai sebesar 0.83 yang menunjukkan jumlah individu tiap spesies
cukup merata. Keanekaragaman sedang menandakan komunitas ikan karang di Pulau Air memiliki
kestabilan yang sedang dan tekanan lingkungan terhadap komunitas yang sedang. Ikan karang
memiliki ketergantungan hidup dengan kondisi kesehatan karang karena karang berperan sebagai
penghasil makanan utama, tempat berlindung dan agen simbiosis (Williams & Hatcher, 1993).
Ekosistem terumbu karang dapat dikatakan baik karena dapat menunjang keanekaragaman jenis
ikan terumbu karang.
2.5 Kesimpulan
Status kesehatan ekosistem karang di Pulau Air yaitu baik berdasarkan tinjauan dari tutupan
karang hidup, indeks keanekaragaman ikan karang, dan indeks kemerataan ikan karang.
BAB III
Trophic guild merupakan suatu kelompok spesies yang berkompetisi dalam menggunakan
sumber daya yang sama, misalnya sumber makanan. Kelompok spesies yang tergabung dalam satu
guild yang sama tidak selalu berada dalam kelompok taksonomi yang sama. Suatu trophic guild
antara lain ditentukan berdasarkan cara makan kelompok spesies tersebut. Secara umum, trophic
guild tersusun dari produsen dan konsumen yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi konsumen
primer,sekunder dan tersier. Trophic guild akan memberikan gambaran lebih jelas tentang posisi
dari suatu organisme pada level trophic dan menjelaskan juga bagaimana suatu spesies mampu
mendapat sumber daya. (Sheaves ,et al,2017)
Trophic guild menentukan kompleksitas dari rantai makanan atau jejaring makanan. Jejaring
makanan yang rumit dan memiliki keanekaragaman tinggi mampu menentukan kesehatan suatu
ekosistem. Keanekaragaman makhluk hidup memastikan terjadinya banyak interaksi antar spesies
yang berperan dalam menjaga dinamika suatu populasi. Keberadaan herbivora memastikan tidak
terjadinya peledakkan populasi produsen yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan laut,
kemudian keberadaan predator memastikan bahwa trofik dibawahnya tidak bertumbuh tanpa
kontrol. Keberadaan detritivor dan dekomposer juga penting untuk menjaga keberlanjutan daur
nutrisi (Sheaves ,et al,2017).
3.2 Tujuan
Mengelompokkan spesies berdasarkan trophic guild di Pulau Pramuka.
3.3 Metode
Pengamatan dilakukan dengan menentukan daerah pengamatan terlebih dahulu dengan ukuran
5x5 m yang ditentukan secara acak. Seluruh organisme yang teramati dicatat dan dideskripisikan
ciri-cirinya serta aktivitasnya seperti cara mendapat makan,sumber makanan,ukuran makanan
,metode memakan,pergerakan dan kebiasaannya. Identifikasi dilakukan dengan bantuan kamera
bawah air dan dicatat pada kertas newtop dengan pensil 2B.
3.4 Hasil dan Pembahasan
Nama Spesies Food Diet type Food Type Feeding Motility Habit
source mode
Bulu babi EB OM Sed, Pom Su, Gr D U
Gomphosussp. SS Ca Mac Gr M F
Blue Tang SS OM Phy, Mac Gr M F
Epaulette SS OM Zoo Gr M F
Surgeonfish
Eightband SS OM Zoo Gr M F
Butterflyfish
Pale-nose EB OM mic Br M F
Parrotfish
Yellow Tang SS OM Phy, Mac Gr M F
Swarthy Parrotfish SS OM mic Br M F
Whitestreak SS Ca Mac Pr M F
monocle bream
Jewel damselfish SS OM Mic, Mac Gr,Pr M F
Seargent major SS OM Zoo,Mac Gr,Pr M F
Siganus virgatus SS OM Zoo,Phy,Mac Gr,Pr M F
Hasil pengamatan dan pencatatan ditemukan 49 spesies dengan bentuk hidup yang berbeda-
beda. Sumber energi pada ekosistem ini terjamin karena ditemukannya produsen yaitu alga dan
terumbu karang. Selain itu, walaupun pengambilan data plankton tidak dilakukan, dapat ditemukan
ikan dengan diet berupa zooplankton dan phytoplankton, sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat plankton di perairan ini. Konsumen primer merupakan organisme yang memakan
konsumen, organisme yang dapat ditemukan di perarian ini seperti bulu babi, pale-nose parrotfish
dan black damselfish. Bulu babi dan black damselfish memakan beberapa spesies alga dan pale-
nose parrotfish merupakan coralivore, selain itu terdapat pula ikan seperti yellow tang yang
mengonsumsi fitoplankton. Konsumen sekunder adalah organisme yang memakan konsumen
primer, contoh ikan yang ditemukan adalah six banded wrasse,two lined monocle bream , blue
stripe snapper,blackspot snapper dan peacock grouper.Six banded wrasse dan monocle bream
memakann crustacea bentik sedangkan snapper dan grouper memakan ikan lain yang merupakan
pemakan alga. Berdasarkan tabel, dapat dilihat hanya sedikit konsumen sekunder yang mampu
mengontrol konsumen primer,namun keberadaan terumbu karang dan alga masih cukup
berlimpah, hal ini mungkin dapat disebabkan oleh adanya food partitioning atau pembagian
sumber makanan untuk menghindari kompetisi (Vignoli, et al., 2016). Selain itu, terdapat
kemungkinan masih banyak hewan lain yang belum ditemukan tapi juga turut mengontrol populasi
Jejaring makanan organisme laut sulit dipetakan karena suatu organisme dapat menempati
level trofik yang berbeda terutama hewan-hewan omnivora seperti ikan seargent major yang
memakan alga ataupun krustasea, contoh lainnya adalah oriental sweetlips yang bisa menjadi
konsumen sekunder maupun tersier (Speights & Henderson, 2010). Apabila dilihat dari
kompleksitas jejaring habitatnya, maka bisa diperkirakan perairan ini cukup sehat karena hewan
yang hidup beranekaragam dan terdapat terumbuh karang yang cukup berlimpah.
3.4 Kesimpulan
Ditemukan organisme pada level trofik produsen, konsumen primer, dan sekunder.
BAB IV
Lamun adalah tumbuhan bebrbunga yang dapat tumbuh baij pada laut dangkal (Wood, et al..,
1996) Lamun merupakan tumbuhan berbiji satu/monokotil, memiliki akar rimpang (rhizoma),
daun, bunga, dan buah sama halnya seperti tumbuhan pada umumnya (Tomlinson, 1974). Terdapat
sekitar 50 jenis lamun yang ditemukan di dunia (Stiling, 2012). Dari 50 jenis lamun tersebut,
terdapat 13 jenis yang telah ditemukan di Indonesia yaitu, Syringodium isoetifolium, Halophila
ovalis, Halophila, spinulosa, Halophila, minor, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii,
Enhalus acroides, dan lain-lain. Namun sebarannya terbatas di seluruh Indonesia (Rachmawati et
al., 2014)
Padang lamun ditemukan di dasar teluk yang dilindungi dan perairan pantai dangkal dengan
air yang jernih dan substrat lunak, berpasir, atau berlumpur. Biasanya padang lamun ditemukan
diperairan hangat dan dingin di seluruh dunia. Lamun memiliki akar yang sanga5t kuat dan tebal
memungkinkan untuk menahan gelombang yang cukup keras. Ekosistem padang lamun berfungsi
sebagai penstabil sedimen dasar, penyedia kontrol erosi untuk tepian/garis pantai. Lamun
menyaring sedimen-sediman halus untuk meningkatkan kejernihyan suatu badan air. Limpasan
lepas pantai, polusi teluk, baling-baling kapal dapat mengakibatkan kematian padang lamun
(Stiling, 2012). Selain itu padang lamun juga memberikan perlindungan bagi berbagai hewan laut
dan tempat hidup tumbuhan alga. Disamping itu, padang lamun dapat dijadikan sebagai sumber
makanan dari berbagai ikan herbivora dan ikan-ikan karang (Rachmawati et al., 2014)
4.2 Tujuan
Berdasarkan hasil data pengamatan ekosistem lamun, didapatkan beberapa analisis data
yaitu proporsi komposisi tiap jenis lamun, kerapatan tiap jenis lamun, dan persentase penutupan
lamun. Untuk proporsi komposisi tiap jenis lamun dan kerapatan tiap jenis lamun dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
80.00%
70.00%
58.22%
60.00%
Proporsi tiap jenis lamun
50.00%
40.00%
30.00%
20.41%
20.00% 16.33%
10.00% 4.83%
0.21%
0.00%
Cr En Th Hm Cs
-10.00%
-20.00%
Spesies Lamun
14
12 10.84
Kerapatan tiap jenis lamun (ind/m2)
10
6
3.8
4 3.04
2 0.9
0.04
0
Cr En Th Hm Cs
-2
-4
Spesies Lamun
Lamun ini mempunyai rimpang (rhizoma) yang berwarna coklat atau hitam dengan
ketebalan 1 – 4 mm dan panjang 3 – 6 cm. Setiap nodus ditumbuhi oleh satu akar dimana akar
dikelilingi oleh rambut kecil yang padat. Setiap tegakan mempunyai 2 – 5 helaian daun dengan
apeks daun yang membulat, dengan panjang 6 – 30 cm dan lebar 5 – 10 mm. Sebaran Lamun ini
termasuk dalam relatif sempit, dari daerah eulitoral sampai kedalaman 4 – 5 m, walaupun juga
ditemukan pada kedalaman 30 m. sering merupakan spesies yang melimpah di
daerah intertidal rataan terumbu karang yang menerima hempasan energi yang tinggi dengan
substrat pasir dan pecahan-pecahan karang yang kasar. Pada prinsipnya jenis ini didapatkan di
daerah subtidal dari pasang rendah sampai kedalaman 5 m, juga dapat tumbuh di
daerah intertidal sampai pinggiran mangrove (Latuconsina, 2012).
Selain melihat proporsi dan kelimpahan jenis lamun, dilihat pula presentase penutupan lamun
yang dapat memberi gambaran mengenai status kesehatan padang lamun. Berdasarkan data hasil
perhitungan yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa nilai presentase penutupan lamun
sebesar 59.25 yang mengindikasikan bahwa status kesehatan padang lamun tersebut adalah kurang
sehat.
Salah satu fungsi lamun yang telah dijelaskan sebelumnya adalah untuk memberikan
tempat perlindungan bagi berbagai hewan dan tempat menempel tumbuh-tumbuhan seperti alga.
Berikut adalah gambar grafik kelimpahan realtif biota laut yang ditemukan pada ekosistem
padang lamun.
60.00%
50.00% 43.39%
Kelimpahan relatif
40.00% 33.47%
30.00%
20.00%
9.50%
10.00% 4.13% 4.13% 2.07%
1.65% 0.41% 0.41% 0.41% 0.41%
0.00%
-10.00%
Spesies
Gambar 4.3.3 Kelimpahan relatif biota laut pada ekosistem padang lamun
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa biota laut yang paling banyak ditemukan di
ekosistem padang lamun di Pulau Panggang adalah spesies moluska. Moluska merupakan salah
satu biota laut yang berperan penting dalam rantai makanan di ekosistem padang lamun. Filum
mollusca meliputi keong, kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, sotong dan sebangsanya. Moluska
merupakan komponen yang sangat penting dari ekosistem padang lamun, baik hubungannya ke
biomasa maupun perannya didalam aliran energi, sebanyak 20 % - 60 % biomasa epifit di padang
lamun dimanfaatkan oleh epifauna yang didominasi oleh gastropoda (Klumpp et al dalam Kiswara,
2004).
4.4 Kesimpulan
1. Status kesehatan padang lamun adalah kurang sehat dengan indeks 59,25.
2. Biota yang terdapat pada padang lamun didominasi oleh spesies dari filum mollusca.
BAB V
Konservasi Penyu
Penyu merupakan sejenis reptil yang hidup di laut, hidupnya berpindah dan berpencar dalam
jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan Asia Tenggara.
Penyu mendapatkan ancaman baik dari alam maupun dari kegiatan manusia yang membahayakan
populasi penyu secara langsung atau tidak langsung, misalnya pengambilan telur dan penangkapan
penyu. Tidaklah mengejutkan apabila satwa ini kemudian digolongkan sebagai satwa yang rentan,
terancam punah atau sangat terancam punah. Kelestarian dan keberlangsungan hidupnya
tergantung pada upaya pelestarian satwa tersebut dalam wilayah yang luas serta bermacam-macam
habitat laut dan pesisir. Terdapat enam dari delapan spesies penyu ditemukan di Indonesia, yaitu
penyu belimbing (Dermochelys coriachea), penyu sisik ( Eretmochelysimbricata), penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu abu&abu atau lekang (Lepidochelys olivachea), penyu tempayan
(Caretta carreta), serta penyu pipih (Natator depressus). IUCN (International Union for
theConservation of Nature) menetapkan status penyu belimbing dan penyu sisik dalam kategori
kritis (critically endangered), sedangkan penyu hijau, penyu tempayan, dan penyu lekang
dikategorikan hewan terancam punah (endangered), dan penyu pipih dikategorikan rentan
(vulnerable). Pemerintah Indonesia telah menetapkan semua jenis penyu sebagai satwa yang
dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa 0iar (Chandra ,2011).
Di Pulau Pramuka selain kita dapat melihat keindahan pantainya, kita juga dapat berkunjung
ke tempat penangkaran penyu yang sudah berdiri sejak tahun 1984, dimana di tempat itu kita
dapat melihat siklus kehidupan penyu mulai dari tukik (bayi penyu) sampai penyu dewasa.
Perawatan dan pemeliharaan yang baik membuat penyu di dalam penangkaran dapat tumbuh
secara sempurna. Apabila penyu telah cukup umur, mereka akan dilepaskan di tepi pantai.
Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang mempunyai tingkat produktifitas paling
tinggi di bumi yang didukung oleh kumpulan biota-biota yang sangat beragam. Kondisi terumbu
karang sangat rentanterhadap gangguan perubahan lingkungan perairan. Perubahan kualitas
perairanakan mempengaruhi kondisi terumbu karang disekitarnya. Aktivitas manusia yang
berlangsung di darat akan mempengaruhi ekosistem perairan disekitarnyakhususnya ekosistem
terumbu karang. Tekanan lingkungan akibat aktivitas didaratan tersebut, dapat menurunkan
keanekaragaman hayati di wilayah terumbukarang sebesar 30 – 60%.
Demikian juga dengan kondisi terumbu karang di perariran Pulau Bangkayang tidak luput dari
pengaruh aktifitas manusia. Perubahan sekecil apapun yangterjadi di darat dapat mempengaruhi
perairan disekitarnya. Aktifitas penambangantimah baik yang dilakukan di darat maupun di laut
telah mengakibatkankekeruhan. Sedimentasi terlihat baik di dasar perairan dan di kolom air. Hal
inisangat berpengaruh terhadap terumbu karang serta biota yang berasosiasidengannya. Upaya
untuk mengatasi masalah yang terjadi akibat rusaknya ekosistem terumbu karang dan terjadinya
penurunan produktivitas perairan maka perlu dilakukan alternatif pemulihan ekosistem melalui
pengembangan teknologi transplantasi karang pada substrat buatan, seperti yang dilakukan di
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
5.2 Tujuan
1. Menentukan dan menjelaskan alur konservasi penyu yang dilakukan di Taman Nasional
Kepulauan Seribu.
2. Menentukan dan menjelaskan alur konservasi ekosistem terumbu karang melalui kegiatan
transplantasi karang yang dilakukan di Taman Nasional Kepulauan Seribu.
5.3 Hasil dan Pembahasan
Konservasi Penyu
Di tempat penangkaran penyu kita dijelaskan tentang banyak hal, termasuk mengapa penyu
masuk ke dalam daftar satwa yang hamper punah. Penyu masuk ke dalam daftar satwa yang hampir
punah adalah karena banyak faktor yang dapat membuat penyu mati. Untuk dapat menetas dari
telur saja sangat tidak mudah, banyak predator , termasuk manusia yang masih mengincar telur
penyu dengan dalil budaya turun menurun. Padahal telur penyu sangatlah berbahaya untuk
dikonsumsi, selain beracun tingkat kolestrol yang dikandung telur penyu sangatlah tinggi. Di
Pulau Pramuka terdapat dua jenis penyu yang dapat dijumpai, yaitu penyu hijau dan penyu sisik.
Penyu biasanya bertelur saat laut sedang sangat surut dan bulan sedang sangat gelap-gelapnya, hal
itu dilakukan penyu untuk menghindari kemungkinan telur-telurnya dimangsa oleh predator. Pada
saat musim bertelur tersebut, tim Taman Nasional Kepulauan Seribu akan mengecek dan mencari
ke tempat-tempat yang biasanya dijadikan tempat bertelur oleh penyu untuk diamankan telurnya
ke tempat penangkaran. Namun hanya 50% dari jumlah telurnya saja yang diambil. Telur-telur
yang diambil tersebut ditetaskan akan ditetaskan di tempat penangkarang dan akan dirawat hingga
sekitar umur 2 bulan (Gambar 5.1) sebelum dilepaskan lagi ke laut, atau hingga umur 7 bulan
(Gambar 5.2) untuk sarana edukasi di penangkaran. Penyu yang berusia 2 bulan biasanya
diepaskan saat pagi buta atau saat malam hari agar meminimalisir kemungkinan bayi penyu
tersebut dimangsa oleh predator.
Transplantasi karang
5.4 Kesimpulan
1. Penyu bertelur - 50% dari telur-telurnya diambil oleh tim penangkaran - telur-telur ditetaskan
di penangkaran - penyu dipelihara hingga 2 bulan – penyu dilepaskan ke laut.
2. Karang mati diambil dan dipasang di dudukan yang terbuat dari semen - karang yang menjadi
bibit dipotong menjadi bagian-bagian kecil - karang ditempelkan di karang yang sudah mati
menggunakan semen yang sudah dicampur dengan garam - tunggu sekitar 30 menit agar
karang cukup mengeras - karang disimpan di kedalaman sekitar 1 meter hingga semen benar-
benar keras - karang disimpan di kedalaman 2 sampai. 5 meter dan di tempat yang sedikit
karang.
BAB VI
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dalam kuliah lapangan ini adalah semoga peserta dapat lebih baik
lagi dalam pengambilan data saat di lapangan, semoga peserta dapat lebih cepat dalam
mengcompile data sehingga data dapat lebih cepat diolah, dan semoga laporan ini bias berguna
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. B. W & C. Hitipeuw. 2009. Panduan melakukan pemantauan populasi penyu di pantai
peneluran di Indonesia. WWF-Indonesia & Universitas Udayana.
Castro, P. & Huber, M., 2005. Marine Biology. 5th ed. New York: Mc Graw Hill International.
Chandra H.Y. A., 2001, Konservasi Penyu, Warta Konservasi, 2 (3): 3-4.
Dahl, A. L. 1981. Monitoring Coral Reefs for Urban Impact. Bulletin of Marine Science, 31(3),
544-551
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI/DitJen Dikti Kemdiknas. 2010. Modul Pelayaran Kebangsaan
bagi Ilmuwan Muda (PKIM). Modul Lamun, Modul Karang, Modul Ikan.
Sheaves, Marcus, Hargreaves, Donna, and Buckland, Amanda (2017) Trophic guild concept:
factors affecting within-guild consistency for tropical estuarine fish. Marine Ecology -
Progress Series, 564. pp. 175-186.
Speights, M. & Henderson, P., 2010. Marine ecology :Concept and Applications. Oxford: John
Wiley and Sons.
Vignoli, L., Bissattini, M. A. & Luiselli, L., 2016. Food partitioning and the evolution of non‐
randomly structured communities in tailed amphibians: a worldwide systematic review.
Biological Journal of Linnean Society, pp. 2-9.
Wallace, C. 1999. Staghorn corals of the world : a revision of the genus Acropora,CSIRC
Publishing: Collingwood.