Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KULIAH LAPANGAN EKOLOGI LAUT (BI-3108)

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG,


INTERAKSI TROFIK PADA STASIUN CORAL, EKOSISTEM LAMUN,
KONSERVASI PENYU, DAN TRANSPLANTASI KARANG
DI KAWASAN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

Tanggal Kuliah Lapangan: 23-24 November 2019


Tanggal Pengumpulan: 20 Desember 2019

Tim Penyusun :
Kelompok 4
Adriel Prayoga 10616017
Sylvia Tifani Siswanto 10616053
Maylinda Nur Setyaningrum 10616079
Elviena Zahra Malik Hadibrata 12915036
Patrick Aditya Sulistyo 12916032

Asisten :

Afri Rizky 10615046

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekosistem laut atau disebut juga ekosistem bahari merupakan ekosistem yang terdapat di
perairan laut, terdiri atas ekosistem perairan dalam, ekosistem pantai pasir dangkal/litoral, dan
ekosistem pasang surut. Scura et al. (1992) dalam Cicin-Sain and Knecht (1998), mengemukakan
bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, yang didalamnya terdapat
hubungan yang erat antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan dan lingkungan laut.
Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari berbagai macam
ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai berpasir dan lainnya yang satu sama
lain saling terkait (Masalu, 2008), sehingga memiliki karakter yang unik dan berbeda dari wilayah
lainnya. Pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, diterangkan
secara singkat bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Ekosistem pesisir memiliki peranan penting
dalam menjaga lingkungan akuatik maupun lingkungan terrestrial, antara lain merupakan tempat
tinggal bagi banyak spesies dan mengurangi dampak polusi dari darat ke laut serta melindungi
dampak erosi pada kawasan pesisir.
Wilayah Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang memiliki potensi keanekaragaman hayati
seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem lamun, serta biota lainnya. Sehingga ekosistem
pesisir memberikan manfaat yang sangat besar bagi penduduk di kawasan tersebut. Ekosistem
pesisir dapat menyediakan sumberdaya ekonomi nasional, dimana dapat menghasilkan gross
national product (GNP) dari kegiatan seperti pengembangan perkapalan, perminyakan dan gas,
pariwisata dan pesisir dan lain-lain. Namun karena wilayah Kepulauan Seribu yang berada di DKI
Jakarta menyebabkan wilayah tersebut rentan terhadap pencemaran yang berasal dari aktivitas
manusia di sekitar wilayah Kepulauan Seribu. Hal tersebut dapat mengancam keanekaragaman
hayati di Kepulauan Seribu.
1.2 Tujuan
Pada kegiatan kuliah lapangan Ekologi Laut (BI 3108) yang dilaksanakan pada tanggal 23-24
November di kawasan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang di sekitar Pulau Air.
2. Menggambarkan interaksi trofik yang terjadi pada ekosistem terumbu karang di sekitar Pulau
Paggang.
3. Mendeskripsikan status ekologis ekosistem padang lamun di Pulau Panggang.
4. Mendeskripsikan sistem pengelolaan konservasi penyu dan transplantasi karang pada ekosistem
Pulau Pramuka.
1.3 Daerah Kajian
Kegiatan kuliah lapangan Ekologi Laut (BI 3108) yang dilaksanakan pada tanggal 23-24
November di kawasan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Tepatnya di sekitar Pulau Pramuka, Pulau
Air, dan Pulau Panggang pada 5o 23′ − 5o 40′ LS dan 106o 25′ − 106o 37′ BT (Gambar 1.1).

Gambar 1. 1 Lokasi Kuliah Lapangan (Sumber: Google Earth)


BAB II

PENGAMATAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU AIR

2.1 Latar Belakang


Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang keberadaannya sangat
penting di laut karena ekosistem ini merupakan hotspot keanekaragaman hayati laut. Sebanyak
93.000 spesies hingga satu juta spesies mendiami ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem
terumbu karang berperan sebagai stok karbon alam (blue carbon) serta memiliki jasa ekosistem
yang luas diantaranya provisioning, supporting, regulating, dan cultural. Ekosistem ini terdapat di
perairan dangkal iklim tropis dan subtropis dan sangat rentan terhadap adanya perubahan
lingkungan. Banyak faktor yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang diantaranya
sedimentasi, arus, cahaya, salinitas, nutrien, dan suhu (LIPI, 2010). Terumbu karang merupakan
struktur yang tersusun dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang yang bersimbiosis
dengan zooxanthellae. Karang termasuk jenis filum Cnidaria dan kelas Anthozoa. Mereka hidup
secara berkoloni yang terdiri atas polip. Untuk bertahan hidup, karang memiliki strategi berupa
bentuk pertumbuhan dan kemampuan bereproduksi yang unik (Castro & Huber, 2005). Ekosistem
terumbu karang yang sehat dapat dilihat diantaranya dari persentase tutupan karang dan
keberadaan ikan.
2.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya pengamatan ekosistem terumbu karang di Pulau Air yaitu untuk
menentukan status kesehatan ekosistem terumbu karang di Pulau Air berdasarkan persentase
tutupan karang berdasarkan parameter fisika-kimia, dan keberadaan ikan karang.
2.3 Metodologi
2.3.1 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data diantaranya meteran gulung
sebagai transek, kertas newtop, pensil, kamera bawah air, botol sampel, papan jalan, DO-
meter, dan SCT-meter.
2.3.2 Pengambilan Data Tutupan Karang
Pengambilan data tutupan karang dilakukan dengan metode LIT (Line Intercept
Transect). Metode LIT dilakukan dengan membentangkan garis transek sepanjang 95 meter
diatas terumbu karang sejajar garis pantai dengan pembagian pengamatan transek per
kelompok yaitu sepanjang 20 m selama 60 menit. Pada akhir transek kelompok awal dengan
transek kelompok selanjutnya terdapat jarak 5 m. Identifikasi dilakukan dengan bantuan
kamera bawah air dan dicatat substrat, bentuk hidup, dan panjang transek pada kertas newtop
dengan pensil 2B.
2.3.3 Analisis Data Terumbu Karang
Perhitungan persentase tutupan karang keras dilakukan dengan rumus:
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 (𝑐𝑚)
% 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 = × 100%
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘
Persentase tutupan karang kemudian disesuaikan dengan status kesehatan ekosistem
terumbu karang yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Status Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Persentas Tutupan Karang (Dahl, 1981)
Persentase Tutupan Karang (%) Status Kesehatan

0-24,9 Buruk

25,0-49,9 Sedang

50,0-74,9 Baik

75,0-100 Sangat Baik

2.3.4 Survei Ikan dan Invertebrata


Pengambilan data survei ikan dan invertebrata dilakukan dengan metode BIT (Belt
Intercept Transect) bersamaan dengan pengambilan data tutupan karang. Metode BIT
dilakukan dengan menyusuri transek sambil mengamati wilayah sejauh 2.5 meter di kanan dan
kiri pengamat (English, et al., 1997). Identifikasi dilakukan dengan bantuan kamera bawah air
dan dicatat jenis dan jumlah individu ikan serta invertebrata pada kertas newtop dengan pensil
2B.
2.4 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan tutupan karang yang ditunjukkan pada Tabel 3.2, persentase
rata – rata tutupan karang yang hidup di Pulau Air sebesar 63.74%, sedangkan persentase rata –
rata tutupan karang yang mati di Pulau Air sebesar 18.77%. Status kesehatan ekosistem terumbu
karang pada Pulau Air dapat dikategorikan baik dikarenakan persentase tutupan karang hidup
berada diantara rentang 50-74.9% (Dahl, 1981). Tutupan karang didominasi oleh genus acropora,
lebih tepatnya tipe acropora encrusting dan acropora branching. Acropora dapat tumbuh optimal
dalam rentang suhu ~20–30° C, substrat keras, air yang jernih, rendah sedimentasi (Bruckner,
2002). Hal tersebut sesuai dengan rata-rata suhu di Pulau Air sebesar 30.85° C sehingga dapat
mendukung pertumbuhan acropora secara optimal (Tabel 3.3). Selain itu, acropora memiliki
kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dengan cepat. Tutupan karang mati
sebesar 18.77% disebabkan oleh aktivitas manusia di daerah tersebut seperti kegiatan pariwisata
seperti snorkeling. Namun kegiatan pariwisata tersebut hanya mempengaruhi sedikit dari tutupan
terumbu karang sehingga persentase tutupan karang yang mati tidak terlalu besar.
Tabel 2.2 Persentase tutupan karang di Pulau Air
Persentase tutupan karang Genus
Lokasi Stasiun Hidup Mati dominan

Pulau Air Kelompok 1-5 Acropora


53.75% 25% encrusting

Kelompok 6-10 Acropora


73.22% 12.55% branching

Rata-rata 63.74% 18.77%

Tabel 2.3 Parameter Fisika dan Kimia di Pulau Air

Parameter Fisika dan Kimia Rata-rata

Dissolved Oxygen 9.287

Salinitas 32.77

Konduktivitas 46.602

pH 7.837

Suhu 30.85

Ekosistem terumbu karang merupakan hotspot keanekaragaman hayati bagi daerah laut. Oleh
sebab itu banyak terdapat jenis ikan karang yang hidup di ekosistem tersebut. Terdapat 46 jenis
spesies yang terdapat di Pulau Air. Keberadaan ikan karang juga dapat menandakan kondisi
ekosistem terumbu karang. Indeks keanekaragaman jenis (H’) ikan karang yang didapat sebesar
3.19. Hal tersebut menandakan keanekaragaman sedang karena berada direntang 2.30 - 6.91. Pada
indeks kemerataan didapatkan nilai sebesar 0.83 yang menunjukkan jumlah individu tiap spesies
cukup merata. Keanekaragaman sedang menandakan komunitas ikan karang di Pulau Air memiliki
kestabilan yang sedang dan tekanan lingkungan terhadap komunitas yang sedang. Ikan karang
memiliki ketergantungan hidup dengan kondisi kesehatan karang karena karang berperan sebagai
penghasil makanan utama, tempat berlindung dan agen simbiosis (Williams & Hatcher, 1993).
Ekosistem terumbu karang dapat dikatakan baik karena dapat menunjang keanekaragaman jenis
ikan terumbu karang.
2.5 Kesimpulan
Status kesehatan ekosistem karang di Pulau Air yaitu baik berdasarkan tinjauan dari tutupan
karang hidup, indeks keanekaragaman ikan karang, dan indeks kemerataan ikan karang.
BAB III

PENGAMATAN INTERAKSI TROFIK DI PULAU PANGGANG

3.1 Latar Belakang

Trophic guild merupakan suatu kelompok spesies yang berkompetisi dalam menggunakan
sumber daya yang sama, misalnya sumber makanan. Kelompok spesies yang tergabung dalam satu
guild yang sama tidak selalu berada dalam kelompok taksonomi yang sama. Suatu trophic guild
antara lain ditentukan berdasarkan cara makan kelompok spesies tersebut. Secara umum, trophic
guild tersusun dari produsen dan konsumen yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi konsumen
primer,sekunder dan tersier. Trophic guild akan memberikan gambaran lebih jelas tentang posisi
dari suatu organisme pada level trophic dan menjelaskan juga bagaimana suatu spesies mampu
mendapat sumber daya. (Sheaves ,et al,2017)

Trophic guild menentukan kompleksitas dari rantai makanan atau jejaring makanan. Jejaring
makanan yang rumit dan memiliki keanekaragaman tinggi mampu menentukan kesehatan suatu
ekosistem. Keanekaragaman makhluk hidup memastikan terjadinya banyak interaksi antar spesies
yang berperan dalam menjaga dinamika suatu populasi. Keberadaan herbivora memastikan tidak
terjadinya peledakkan populasi produsen yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan laut,
kemudian keberadaan predator memastikan bahwa trofik dibawahnya tidak bertumbuh tanpa
kontrol. Keberadaan detritivor dan dekomposer juga penting untuk menjaga keberlanjutan daur
nutrisi (Sheaves ,et al,2017).

3.2 Tujuan
Mengelompokkan spesies berdasarkan trophic guild di Pulau Pramuka.

3.3 Metode
Pengamatan dilakukan dengan menentukan daerah pengamatan terlebih dahulu dengan ukuran
5x5 m yang ditentukan secara acak. Seluruh organisme yang teramati dicatat dan dideskripisikan
ciri-cirinya serta aktivitasnya seperti cara mendapat makan,sumber makanan,ukuran makanan
,metode memakan,pergerakan dan kebiasaannya. Identifikasi dilakukan dengan bantuan kamera
bawah air dan dicatat pada kertas newtop dengan pensil 2B.
3.4 Hasil dan Pembahasan

Nama Spesies Food Diet type Food Type Feeding Motility Habit
source mode
Bulu babi EB OM Sed, Pom Su, Gr D U
Gomphosussp. SS Ca Mac Gr M F
Blue Tang SS OM Phy, Mac Gr M F
Epaulette SS OM Zoo Gr M F
Surgeonfish
Eightband SS OM Zoo Gr M F
Butterflyfish
Pale-nose EB OM mic Br M F
Parrotfish
Yellow Tang SS OM Phy, Mac Gr M F
Swarthy Parrotfish SS OM mic Br M F
Whitestreak SS Ca Mac Pr M F
monocle bream
Jewel damselfish SS OM Mic, Mac Gr,Pr M F
Seargent major SS OM Zoo,Mac Gr,Pr M F
Siganus virgatus SS OM Zoo,Phy,Mac Gr,Pr M F

Cleaner wrasse SS OM Mac Pr M F


Black damselfish SS OM Zoo,Mac Gr,Pr M F
Pastel Green EB Ca Mac Pr M F
Wrasse
Staghorn SS OM Zoo,Mac Gr M F
damselfish
Blackeye thicklip EB Ca Mac Pr M F
clark's eb ca mac, zoo Sc, Gr D F
anemonefish
black-spot snaper eb, ss ca mac Pr M F
lemon damselfish eb, ss ca mac Pr M F
two-lined monocle eb, ss ca mac Pr M F
bream
razor fish eb, ss ca mei, zoo Su, Pr M F
oriental sweetlips berenang ca mac Pr M F
black backed berenang OM mac Gr M F
butterflyfish
cushion starfish EB Ca Mac Pr D U
anemone SS OM Mac Pr D U
trochus (ss) alga, he pom su d b
diatom
Blak-backed Subsurface Ca Mac Pr M F
butterflyfish
Two lined monocle Subsurface Ca Mac Pr M F
bream
Schooling Subsurface Ca Zoo Pr M F
bannerfish
Blue-stripped Subsurface Om Mac & mic Gr M F
snapper
Nose Strip Subsurface Om Mac & mic Br M F
Clownfish
Corals Symbiosis Symbiosis Symbiosis Symbiosis S A
with with with with
autotroph autotroph autotroph, autotroph,
POM Su
Violet-lined EB He Mac Br M F
parrotfish (Scarus
globiceps)
Scissortail sergeant SS Om Zoo, Mac Pr, Su, Gr M F
(Abudefduf
sexfasciatus)
Barred spinefoot EB He Mac Gr M F
(Siganus doliatus)
Bridled monocle EB, SS Ca Mac Pr M F
bream (Scolopsis
bilineatus)
Copperband EB Ca Mac Pr, Br M F
butterflyfish
(Chelmon
rostratus)
Peacock grouper SS Ca Mac Pr M F
(Cephalopholis
argus)
Moon wrasse EB, SS Ca Mac Pr M F
(Thalassoma
lunare)
Scarlet-breasted EB Ca Mac Pr M F
maori wrasse
(Cheilinus
fasciatus)
Six-banded wrasse EB,SS Ca Mac Pr M F
(Thalassoma
hardwicke)
Black-spotted toad EB Om Mac Pr, Br M F
fish (Arothron
nigropunctatus)
Green flat rock EB Ca Mac Pr D F
crab (Percnon
abbreviatum)
Banded urchin EB Om Sed, Pom Su, Gr D U
(Echinothrix
calamaris)
Feather star / Sea EB Om POM, Mic, Su, Gr S A
lilies (Crinoidea) Phy, Zoo

Giant clam Symbiosis Symbiosis Symbiosis Symbiosis S A


(Tridacna sp.) with with with with
autotroph autotroph autotroph, autotroph,
POM Su
Coral scallop EB Om Phy, Zoo Su S A
(Pedum
spondyloideum)
White scroll algae autotroph autotroph autotroph autotroph S A
(Padina
jamaicensis)

Hasil pengamatan dan pencatatan ditemukan 49 spesies dengan bentuk hidup yang berbeda-
beda. Sumber energi pada ekosistem ini terjamin karena ditemukannya produsen yaitu alga dan
terumbu karang. Selain itu, walaupun pengambilan data plankton tidak dilakukan, dapat ditemukan
ikan dengan diet berupa zooplankton dan phytoplankton, sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat plankton di perairan ini. Konsumen primer merupakan organisme yang memakan
konsumen, organisme yang dapat ditemukan di perarian ini seperti bulu babi, pale-nose parrotfish
dan black damselfish. Bulu babi dan black damselfish memakan beberapa spesies alga dan pale-
nose parrotfish merupakan coralivore, selain itu terdapat pula ikan seperti yellow tang yang
mengonsumsi fitoplankton. Konsumen sekunder adalah organisme yang memakan konsumen
primer, contoh ikan yang ditemukan adalah six banded wrasse,two lined monocle bream , blue
stripe snapper,blackspot snapper dan peacock grouper.Six banded wrasse dan monocle bream
memakann crustacea bentik sedangkan snapper dan grouper memakan ikan lain yang merupakan
pemakan alga. Berdasarkan tabel, dapat dilihat hanya sedikit konsumen sekunder yang mampu
mengontrol konsumen primer,namun keberadaan terumbu karang dan alga masih cukup
berlimpah, hal ini mungkin dapat disebabkan oleh adanya food partitioning atau pembagian
sumber makanan untuk menghindari kompetisi (Vignoli, et al., 2016). Selain itu, terdapat
kemungkinan masih banyak hewan lain yang belum ditemukan tapi juga turut mengontrol populasi

Jejaring makanan organisme laut sulit dipetakan karena suatu organisme dapat menempati
level trofik yang berbeda terutama hewan-hewan omnivora seperti ikan seargent major yang
memakan alga ataupun krustasea, contoh lainnya adalah oriental sweetlips yang bisa menjadi
konsumen sekunder maupun tersier (Speights & Henderson, 2010). Apabila dilihat dari
kompleksitas jejaring habitatnya, maka bisa diperkirakan perairan ini cukup sehat karena hewan
yang hidup beranekaragam dan terdapat terumbuh karang yang cukup berlimpah.

3.4 Kesimpulan
Ditemukan organisme pada level trofik produsen, konsumen primer, dan sekunder.
BAB IV

PENGAMATAN PADANG LAMUN

4.1 Latar Belakang

Lamun adalah tumbuhan bebrbunga yang dapat tumbuh baij pada laut dangkal (Wood, et al..,
1996) Lamun merupakan tumbuhan berbiji satu/monokotil, memiliki akar rimpang (rhizoma),
daun, bunga, dan buah sama halnya seperti tumbuhan pada umumnya (Tomlinson, 1974). Terdapat
sekitar 50 jenis lamun yang ditemukan di dunia (Stiling, 2012). Dari 50 jenis lamun tersebut,
terdapat 13 jenis yang telah ditemukan di Indonesia yaitu, Syringodium isoetifolium, Halophila
ovalis, Halophila, spinulosa, Halophila, minor, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii,
Enhalus acroides, dan lain-lain. Namun sebarannya terbatas di seluruh Indonesia (Rachmawati et
al., 2014)

Padang lamun ditemukan di dasar teluk yang dilindungi dan perairan pantai dangkal dengan
air yang jernih dan substrat lunak, berpasir, atau berlumpur. Biasanya padang lamun ditemukan
diperairan hangat dan dingin di seluruh dunia. Lamun memiliki akar yang sanga5t kuat dan tebal
memungkinkan untuk menahan gelombang yang cukup keras. Ekosistem padang lamun berfungsi
sebagai penstabil sedimen dasar, penyedia kontrol erosi untuk tepian/garis pantai. Lamun
menyaring sedimen-sediman halus untuk meningkatkan kejernihyan suatu badan air. Limpasan
lepas pantai, polusi teluk, baling-baling kapal dapat mengakibatkan kematian padang lamun
(Stiling, 2012). Selain itu padang lamun juga memberikan perlindungan bagi berbagai hewan laut
dan tempat hidup tumbuhan alga. Disamping itu, padang lamun dapat dijadikan sebagai sumber
makanan dari berbagai ikan herbivora dan ikan-ikan karang (Rachmawati et al., 2014)

4.2 Tujuan

1. Menentukan kondisi status kesehatan padang lamun

2. Menentukan keanekaragaman biota pada ekosistem padang lamun

4.3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil data pengamatan ekosistem lamun, didapatkan beberapa analisis data
yaitu proporsi komposisi tiap jenis lamun, kerapatan tiap jenis lamun, dan persentase penutupan
lamun. Untuk proporsi komposisi tiap jenis lamun dan kerapatan tiap jenis lamun dapat dilihat
pada gambar berikut ini.

80.00%
70.00%
58.22%
60.00%
Proporsi tiap jenis lamun

50.00%
40.00%
30.00%
20.41%
20.00% 16.33%

10.00% 4.83%
0.21%
0.00%
Cr En Th Hm Cs
-10.00%
-20.00%
Spesies Lamun

Gambar 4.3.1 Proporsi komposisi tiap jenis lamun

14

12 10.84
Kerapatan tiap jenis lamun (ind/m2)

10

6
3.8
4 3.04

2 0.9
0.04
0
Cr En Th Hm Cs
-2

-4
Spesies Lamun

Gambar 4.3.2 Kerapatan tiap jenis lamun


Berdasarkan gambar 4.3.1 dapat dilihat bahwa proporsi jenis lamun paling tinggi adalah
pada spesies Thallasia hemprichii, diikuti oleh spesies Enhalus acroides, dan Cymodocea
serrulata. Proporsi jenis lamun juga akan mempengaruhi kerapatannya. Berdasarkan gambar 4.3.2
dapat dilihat bahwa kerapatan jenis lamun didominasi oleh spesies yang sama yaitu Thallasia
hemprichii, diikuti oleh spesies Enhalus acroides, dan Cymodocea serrulata. Spesies lamun
Thallasia hemprichii merupakan salah satu jenis lamun dari keluarga Hydrocharitaceae, yang
tumbuh di perairan tropik dan penyebarannya cukup luas. Lamun jenis ini sangat umum dan
banyak ditemukan di daerah rataan terumbu, baik yang tumbuh sendiri-sendiri (monospesifik)
maupun yang tumbuh bersama-sama dengan lamun jenis lain atau tumbuhan lain (mixed
vegetasi).

Lamun ini mempunyai rimpang (rhizoma) yang berwarna coklat atau hitam dengan
ketebalan 1 – 4 mm dan panjang 3 – 6 cm. Setiap nodus ditumbuhi oleh satu akar dimana akar
dikelilingi oleh rambut kecil yang padat. Setiap tegakan mempunyai 2 – 5 helaian daun dengan
apeks daun yang membulat, dengan panjang 6 – 30 cm dan lebar 5 – 10 mm. Sebaran Lamun ini
termasuk dalam relatif sempit, dari daerah eulitoral sampai kedalaman 4 – 5 m, walaupun juga
ditemukan pada kedalaman 30 m. sering merupakan spesies yang melimpah di
daerah intertidal rataan terumbu karang yang menerima hempasan energi yang tinggi dengan
substrat pasir dan pecahan-pecahan karang yang kasar. Pada prinsipnya jenis ini didapatkan di
daerah subtidal dari pasang rendah sampai kedalaman 5 m, juga dapat tumbuh di
daerah intertidal sampai pinggiran mangrove (Latuconsina, 2012).
Selain melihat proporsi dan kelimpahan jenis lamun, dilihat pula presentase penutupan lamun
yang dapat memberi gambaran mengenai status kesehatan padang lamun. Berdasarkan data hasil
perhitungan yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa nilai presentase penutupan lamun
sebesar 59.25 yang mengindikasikan bahwa status kesehatan padang lamun tersebut adalah kurang
sehat.

Salah satu fungsi lamun yang telah dijelaskan sebelumnya adalah untuk memberikan
tempat perlindungan bagi berbagai hewan dan tempat menempel tumbuh-tumbuhan seperti alga.
Berikut adalah gambar grafik kelimpahan realtif biota laut yang ditemukan pada ekosistem
padang lamun.
60.00%

50.00% 43.39%

Kelimpahan relatif
40.00% 33.47%
30.00%

20.00%
9.50%
10.00% 4.13% 4.13% 2.07%
1.65% 0.41% 0.41% 0.41% 0.41%
0.00%

-10.00%

Spesies

Gambar 4.3.3 Kelimpahan relatif biota laut pada ekosistem padang lamun

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa biota laut yang paling banyak ditemukan di
ekosistem padang lamun di Pulau Panggang adalah spesies moluska. Moluska merupakan salah
satu biota laut yang berperan penting dalam rantai makanan di ekosistem padang lamun. Filum
mollusca meliputi keong, kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, sotong dan sebangsanya. Moluska
merupakan komponen yang sangat penting dari ekosistem padang lamun, baik hubungannya ke
biomasa maupun perannya didalam aliran energi, sebanyak 20 % - 60 % biomasa epifit di padang
lamun dimanfaatkan oleh epifauna yang didominasi oleh gastropoda (Klumpp et al dalam Kiswara,
2004).

4.4 Kesimpulan

Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa

1. Status kesehatan padang lamun adalah kurang sehat dengan indeks 59,25.
2. Biota yang terdapat pada padang lamun didominasi oleh spesies dari filum mollusca.
BAB V

KEGIATAN KONSERVASI PENYU DAN TERUMBU KARANG

5.1 Latar Belakang

Konservasi Penyu

Penyu merupakan sejenis reptil yang hidup di laut, hidupnya berpindah dan berpencar dalam
jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan Asia Tenggara.
Penyu mendapatkan ancaman baik dari alam maupun dari kegiatan manusia yang membahayakan
populasi penyu secara langsung atau tidak langsung, misalnya pengambilan telur dan penangkapan
penyu. Tidaklah mengejutkan apabila satwa ini kemudian digolongkan sebagai satwa yang rentan,
terancam punah atau sangat terancam punah. Kelestarian dan keberlangsungan hidupnya
tergantung pada upaya pelestarian satwa tersebut dalam wilayah yang luas serta bermacam-macam
habitat laut dan pesisir. Terdapat enam dari delapan spesies penyu ditemukan di Indonesia, yaitu
penyu belimbing (Dermochelys coriachea), penyu sisik ( Eretmochelysimbricata), penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu abu&abu atau lekang (Lepidochelys olivachea), penyu tempayan
(Caretta carreta), serta penyu pipih (Natator depressus). IUCN (International Union for
theConservation of Nature) menetapkan status penyu belimbing dan penyu sisik dalam kategori
kritis (critically endangered), sedangkan penyu hijau, penyu tempayan, dan penyu lekang
dikategorikan hewan terancam punah (endangered), dan penyu pipih dikategorikan rentan
(vulnerable). Pemerintah Indonesia telah menetapkan semua jenis penyu sebagai satwa yang
dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa 0iar (Chandra ,2011).

Di Pulau Pramuka selain kita dapat melihat keindahan pantainya, kita juga dapat berkunjung
ke tempat penangkaran penyu yang sudah berdiri sejak tahun 1984, dimana di tempat itu kita
dapat melihat siklus kehidupan penyu mulai dari tukik (bayi penyu) sampai penyu dewasa.
Perawatan dan pemeliharaan yang baik membuat penyu di dalam penangkaran dapat tumbuh
secara sempurna. Apabila penyu telah cukup umur, mereka akan dilepaskan di tepi pantai.
Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang mempunyai tingkat produktifitas paling
tinggi di bumi yang didukung oleh kumpulan biota-biota yang sangat beragam. Kondisi terumbu
karang sangat rentanterhadap gangguan perubahan lingkungan perairan. Perubahan kualitas
perairanakan mempengaruhi kondisi terumbu karang disekitarnya. Aktivitas manusia yang
berlangsung di darat akan mempengaruhi ekosistem perairan disekitarnyakhususnya ekosistem
terumbu karang. Tekanan lingkungan akibat aktivitas didaratan tersebut, dapat menurunkan
keanekaragaman hayati di wilayah terumbukarang sebesar 30 – 60%.

Demikian juga dengan kondisi terumbu karang di perariran Pulau Bangkayang tidak luput dari
pengaruh aktifitas manusia. Perubahan sekecil apapun yangterjadi di darat dapat mempengaruhi
perairan disekitarnya. Aktifitas penambangantimah baik yang dilakukan di darat maupun di laut
telah mengakibatkankekeruhan. Sedimentasi terlihat baik di dasar perairan dan di kolom air. Hal
inisangat berpengaruh terhadap terumbu karang serta biota yang berasosiasidengannya. Upaya
untuk mengatasi masalah yang terjadi akibat rusaknya ekosistem terumbu karang dan terjadinya
penurunan produktivitas perairan maka perlu dilakukan alternatif pemulihan ekosistem melalui
pengembangan teknologi transplantasi karang pada substrat buatan, seperti yang dilakukan di
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

5.2 Tujuan

1. Menentukan dan menjelaskan alur konservasi penyu yang dilakukan di Taman Nasional
Kepulauan Seribu.
2. Menentukan dan menjelaskan alur konservasi ekosistem terumbu karang melalui kegiatan
transplantasi karang yang dilakukan di Taman Nasional Kepulauan Seribu.
5.3 Hasil dan Pembahasan

Konservasi Penyu

Gambar 5.1 Penyu Berusia 2 Bulan

Gambar 5.2 Penyu Berusia 7 Bulan

Di tempat penangkaran penyu kita dijelaskan tentang banyak hal, termasuk mengapa penyu
masuk ke dalam daftar satwa yang hamper punah. Penyu masuk ke dalam daftar satwa yang hampir
punah adalah karena banyak faktor yang dapat membuat penyu mati. Untuk dapat menetas dari
telur saja sangat tidak mudah, banyak predator , termasuk manusia yang masih mengincar telur
penyu dengan dalil budaya turun menurun. Padahal telur penyu sangatlah berbahaya untuk
dikonsumsi, selain beracun tingkat kolestrol yang dikandung telur penyu sangatlah tinggi. Di
Pulau Pramuka terdapat dua jenis penyu yang dapat dijumpai, yaitu penyu hijau dan penyu sisik.
Penyu biasanya bertelur saat laut sedang sangat surut dan bulan sedang sangat gelap-gelapnya, hal
itu dilakukan penyu untuk menghindari kemungkinan telur-telurnya dimangsa oleh predator. Pada
saat musim bertelur tersebut, tim Taman Nasional Kepulauan Seribu akan mengecek dan mencari
ke tempat-tempat yang biasanya dijadikan tempat bertelur oleh penyu untuk diamankan telurnya
ke tempat penangkaran. Namun hanya 50% dari jumlah telurnya saja yang diambil. Telur-telur
yang diambil tersebut ditetaskan akan ditetaskan di tempat penangkarang dan akan dirawat hingga
sekitar umur 2 bulan (Gambar 5.1) sebelum dilepaskan lagi ke laut, atau hingga umur 7 bulan
(Gambar 5.2) untuk sarana edukasi di penangkaran. Penyu yang berusia 2 bulan biasanya
diepaskan saat pagi buta atau saat malam hari agar meminimalisir kemungkinan bayi penyu
tersebut dimangsa oleh predator.

Transplantasi karang

Gambar 5.3 Pemotongan Karang


Gambar 5.4 Karang yang telah ditempelkan pada Substrat Buatan

Transplantasi karang di Pulau Pramuka dilakukan untuk memulihkan ekosistem terumbu


karang yang mati. Pembudidayaan karang secara buatan memiliki banyak kelebihan, salah satunya
adalah karang yang dibudidayakan akan tumbuh lebih cepat dari pada karang yang hidup di alam.
Terdapat beberapa tahap dalam melakukan transplantasi karang di Pulau Pramuka ini, yang
pertama membuat substrat buatan dari karang yang sudah mati, dimana karang tersebut diambil
dan dipasang di dudukan yang terbuat dari semen (campuran semen dan garam). Lalu yang kedua
karang yang menjadi bibit dipotong menjadi bagian-bagian kecil (Gambar 5.3), selanjutnya
karang ditempelkan di karang yang sudah mati menggunakan semen yang sudah dicampur dengan
garam (Gambar 5.4). Setelah bibit karang ditempel, tunggu sekitar 30 menit agar karang cukup
mengeras , setelah cukup mengeras transplantasi karang disimpan di kedalaman sekitar 1 meter
hingga semen benar-benar keras, lalu setelah itu karang disimpan di kedalaman 2 sampai dengan
5 meter dan biasanya di tempat yang jumlah karangnya sedikit.

5.4 Kesimpulan

1. Penyu bertelur - 50% dari telur-telurnya diambil oleh tim penangkaran - telur-telur ditetaskan
di penangkaran - penyu dipelihara hingga 2 bulan – penyu dilepaskan ke laut.

2. Karang mati diambil dan dipasang di dudukan yang terbuat dari semen - karang yang menjadi
bibit dipotong menjadi bagian-bagian kecil - karang ditempelkan di karang yang sudah mati
menggunakan semen yang sudah dicampur dengan garam - tunggu sekitar 30 menit agar
karang cukup mengeras - karang disimpan di kedalaman sekitar 1 meter hingga semen benar-
benar keras - karang disimpan di kedalaman 2 sampai. 5 meter dan di tempat yang sedikit
karang.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari keseluruhan hasil pengamatan dapat diperoleh kesimpulan

1. Kondisi ekosistem terumbu karang di sekitar Pulau Air adalah baik.


2. Interaksi trofik yang terjadi pada ekosistem terumbu karang di sekitar pulau Panggang
ditemukan interaksi antara trofik produsen, konsumen primer, dan sekunder.
3. Status ekologis ekosistem padang lamun di Pulau Panggang adalah kurang sehat.
4. Sistem pengelolaan konservasi penyu dan transplantasi kerang pada ekosistem Pulau
Pramuka dikelola dengan baik oleh pengurus Taman Nasional Kepulauan Seribu.

6.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dalam kuliah lapangan ini adalah semoga peserta dapat lebih baik
lagi dalam pengambilan data saat di lapangan, semoga peserta dapat lebih cepat dalam
mengcompile data sehingga data dapat lebih cepat diolah, dan semoga laporan ini bias berguna
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I. B. W & C. Hitipeuw. 2009. Panduan melakukan pemantauan populasi penyu di pantai
peneluran di Indonesia. WWF-Indonesia & Universitas Udayana.

Bruckner, A. W. 2002. Proceedings of the Caribbean Acropora Workshop: Potential application


of the U.S. Endangered Species Act as a conservation strategy. NOAA Technical
Memorandum NMFS-OPR-24, Silver Spring, MD.

Castro, P. & Huber, M., 2005. Marine Biology. 5th ed. New York: Mc Graw Hill International.

Chandra H.Y. A., 2001, Konservasi Penyu, Warta Konservasi, 2 (3): 3-4.

Dahl, A. L. 1981. Monitoring Coral Reefs for Urban Impact. Bulletin of Marine Science, 31(3),
544-551

Pusat Penelitian Oseanografi LIPI/DitJen Dikti Kemdiknas. 2010. Modul Pelayaran Kebangsaan
bagi Ilmuwan Muda (PKIM). Modul Lamun, Modul Karang, Modul Ikan.

Sheaves, Marcus, Hargreaves, Donna, and Buckland, Amanda (2017) Trophic guild concept:
factors affecting within-guild consistency for tropical estuarine fish. Marine Ecology -
Progress Series, 564. pp. 175-186.

Speights, M. & Henderson, P., 2010. Marine ecology :Concept and Applications. Oxford: John
Wiley and Sons.

Syarifuddin. Amirah Aryani. 2011. Studi Kelangsungan Hidup Dan PertumbuhanKarang


Acropora Formosa (Veron & Terrence, 1979) MenggunakanTeknologi Biorock Di Pulau
Barrang Lompo Kota Makassar. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan Dan
PerikananUniversitas Hasanuddinmakassar.

Vignoli, L., Bissattini, M. A. & Luiselli, L., 2016. Food partitioning and the evolution of non‐
randomly structured communities in tailed amphibians: a worldwide systematic review.
Biological Journal of Linnean Society, pp. 2-9.
Wallace, C. 1999. Staghorn corals of the world : a revision of the genus Acropora,CSIRC
Publishing: Collingwood.

Williams, D.M. C. B. & A. I. Hatcher.1993. Structure of fish communities on outer slopes of


inshore, mid shelf, and outer shelf reefs of the Great Barrier Reef. Mar. Ecol. Prog. Ser.
10: p. 234-250

Anda mungkin juga menyukai