FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DISUSUN OLEH:
Gianina Helena Manapa Sampetoding
C0 14 191 009
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Edy Husnul M.
SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Indrawaty S., M.Kes, Sp.KJ
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. L
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/ tanggal Lahir : Cakke, 12 Januari 1982
Agama : Islam
Suku : Bugis
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Lapasi pasi, Kolaka Utara
LAPORAN PSIKIATRIK
Diperoleh dari catatan medis dan autoanamnesis dari pasien itu sendiri.
I.RIWAYAT PSIKIATRI
1. Keluhan Utama
Sulit tidur
2. Riwayat Gangguan Sekarang
Seorang perempuan berusia 37 tahun datang ke IRD RSWS untuk pertama kalinya,
diantar suaminya dengan keluhan sulit tidur. Pasien merasa tidak tenang, jantung
berdebar-debar, takut, dan sulit berkonsenterasi. Pasien tidak ada semangat hidup karena
putus asa memikirkan keadaannya sekarang yang tidak bisa melakukan kegiatan seperti
biasanya. Pasien selalu merasa lemas di pagi hari sehingga tidak ada kegiatan dan tidak
bisa berkonsenterasi untuk melakukan pekerjaannya. Pasien juga merasa tidak nafsu
makan dan merasakan sakit kepala seperti ingin pecah.
Awal perubahan perilaku, beberapa bulan terakhir ini pasien memikirkan hubungan
dengan suaminya yang suka pulang larut ke rumah sehingga pasien selalu merasa takut
dan was-was. Selain itu pasien juga memikirkan anak laki-lakinya yang lari dari
pesantren. Pasien terus memikirkan hubungan dengan suaminya dan juga anak laki-
lakinya sehingga keluhan sulit tidur terus datang. Pasien sering mengonsumsi obat
paramex untuk meredakan sakit kepalanya.
b) Hendaya/disfungsi
Hendaya dalam bidang sosial ada
Hendaya dalam bidang pekerjaan ada
Hendaya dalam waktu senggang ada
GENOGRAM
: Pasien
6. Situasi sekarang:
Saat ini pasien tinggal bersama suami dan 2 orang anaknya. Kedua anaknya belum ada yang
menikah. Hubungan dengan suami dan anak-anaknya baik. Namun, pasien sudah jarang
bergaul dengan teman dan tetangga sekitar karena jarang ke luar rumah.
7. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya:
Pasien merasa menderita karena sulit tidur sehingga keesokan paginya pasien merasa lelah.
Pasien sering merasa tidak punya semangat hidup. Pasien menyadari dirinya sakit dan ingin
sembuh.
V. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I:
Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan gejala klinis yang
bermakna yaitu pasien sulit tidur, ada sakit kepala, tidak ada semangat hidup, serta afek depresif
yang menimbulkan distress (penderitaan) berupa rasa tidak nyaman bagi diri pasien serta terdapat
hendaya (disabilitas) dalam hubungan sosial, pekerjaan dan waktu senggang sehingga pasien
dapat disimpulkan mengalami gangguan jiwa.
Pada pemeriksaan status mental tidak ditemukan hendaya berat dalam menilai realita
sehingga pasien dikatakan mengalami gangguan jiwa non psikotik. Dari pemeriksaan fisik
tidak ditemukan tanda disfungsi otak sehingga dapat digolongkan gangguan jiwa non psikotik
non organik.
Dari autoanamnesis didapatkan afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi pada pasien yang digambarkan melalui rasa tidak semangat dan mudah
lelah. Berkurangnya konsentrasi, tidur terganggu, nafsu makan berkurang, gejala berupa rasa
sakit kepala yang hebat. Gangguan persepsi lainnya tidak ada. Hal ini memenuhi kriteria episode
depresif.
Dari autoanamnesis serta pemeriksaan status mental, didapatkan pasien diatas memiliki
gejala-gejala pada penyakit episode depresif berat yakni memiliki 3 gejala utama dan 6
gejala tambahan. Berupa afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan karena sering
merasa murung dan banyak fikiran, merasa lemas setiap pagi, kepercayaan diri berkurang,
konsentrasi berkurang, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang. Hal tersebut menunjang
diagnosis untuk Episode Depresif Berat Tanpa Gejala Psikotik (F32.2).
Diagnosis Banding
Axis II
Berdasarkan informasi yang didapatkan, data yang diperoleh belum cukup untuk diarahkan
ke salah satu ciri khas kepribadian. Pasien cenderung pendiam.
Axis III
Tidak ditemukan kelainan organobiologik
Axis IV
Masalah family support group (suami dan anak)
Axis V
GAF Scale saat ini 50 - 41 GCS E4M6V5
VIII. PROGNOSIS
Dubia et bonam: Ad vitam
Dubia et bonam: Ad functionem
Dubia et bonam: Ad sanationem
Faktor pendukung:
- Tidak terdapat kelainan organik
- Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama
- Kepatuhan meminum obat dan mau menerima nasehat dokter
IX. PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan
munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah,
gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi dan penurunan konsentrasi. Episode depresi
dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan bipolar. Jika berdiri sendiri disebut
depresi unipolar. Simtom terjadi sekurang-kurangnya dua minggu dan terdapat perubahan dari
derajat fungsi sebelumnya.
Menurut PPDGJ III pada pasien depresif harus menunjukkan gejala utama:
Afek depresif (sedih, murung, lesu, menangis),
Gejala lainnya:
Konsentrasi dan perhatian berkurang,
Tidur terganggu,
Kriteria diagnostik
DISUSUN OLEH:
Gianina Helena Manapa Sampetoding
C014 191 009
RESIDEN PEMBIMBING
dr. Edy Husnul M.
SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Indrawaty S., M.Kes, Sp.KJ
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Gangguan
Somatisasi”. Referat ini penulis susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun 2019.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Indrawaty S., M.Kes, Sp.KJ dan dr. Edy
Husnul M. yang telah membimbing dan membantu penulis dalam melaksanakan
kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini.
Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata penulis berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua
pihak yang ingin mengetahui tentang “Gangguan Somatisasi”.
Penulis,
Gianina Helena Manapa Sampetoding
DAFTAR ISI
Gangguan somatisasi ini sering dijumpai pada remaja atau dewasa muda. Wanita
dengan gangguan somatisasi melebihi jumlah laki-laki sebesar 5-20 kali, walaupun
perkiraan tertinggi mungkin karena kecenderungan awal yang tidak mendiagnosis
gangguan somatisasi pada laki-laki.2 Prevelansi gangguan somatoform sepanjang hidup
0,2-2% pada perempuan dan 0,2% pada laki-laki. Wanita lebih banyak menderita gangguan
somatisasi dibandingkan pria dengan rasio 5 berbanding 1.6 Awitan gangguan ini sebelum
usia 30 tahun dan biasanya dimulai ketika usia remaja. Pasien dengan gangguan somatisasi
mempunyai kecenderungan dalam menghadapi tekanan psikososial dan stressor disertai
gejala-gejala fisik. Gangguan somatisasi ini dapat di diagnosa berdasarkan beberapa
kriteria dari PPDGJ-III atau DSM-5 dan pasien itu harus bergejala secara berterusan
minimal selama 6 bulan.3
BAB 2
GANGGUAN SOMATISASI
2.1 Definisi
Ini merupakan kondisi kronis di mana ada banyak keluhan fisik. Keluhan-keluhan
ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun dan menghasilkan kerusakan
substansial.Dalam International Classification of Diseases edisi 10 (ICD-10), somatisasi
didefinisikan sebagai gejala-gejala fisik multipel, berulang dan sering berubah yang
biasanya muncul selama beberapa tahun, (paling tidak dua tahun) sebelum pasien dirujuk
ke psikiater. Lebih terakhir, istilah 'keluhan somatik yang tidak dapat dijelaskan'
diperkenalkan untuk menggambarkan pasien yang mengalami gejala fisik dan kunjungan
medis yang sering meskipun ada investigasi negatif. Istilah ini dianggap lebih dapat
diterima oleh pasien dan memiliki implikasi etiologi yang lebih sedikit. Dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders versi 5 (DSM-5), kondisi ini telah diubah
menjadi somatic symptom disorder (SSD).
Ada keberangkatan signifikan dari kategorisasi DSM-IV yang mengidentifikasi
gangguan somatisasi, hipokondriasis, gangguan nyeri, dan gangguan somatoform yang
tidak dapat dibedakan. Semua ini sekarang termasuk di bawah judul SSD. Inovasi lain
adalah bahwa gejala tidak perlu lagi secara medis tidak dapat dijelaskan tetapi mungkin
atau mungkin tidak terkait dengan kondisi medis lain. Dengan demikian, pasien yang
memiliki komorbiditas organik seperti penyakit jantung, osteoarthritis atau kanker - yang
sebelumnya dikeluarkan di bawah DSM-IV - sekarang dapat dimasukkan dalam diagnosis
SSD dan dipertimbangkan untuk pengobatan yang tepat.
Diagnosis DSM-IV dari gangguan somatisasi yang membutuhkan sejumlah
keluhan spesifik dari empat kelompok gejala tidak lagi merupakan persyaratan dalam
diagnosis DSM-5 dari SSD. Literatur terbaru telah menggunakan istilah gangguan
somatisasi, gangguan gejala somatik, sindrom somatik fungsional dan sindrom somatisasi
yang kurang lebih secara bergantian. Banyak bukti yang berhubungan dengan gangguan
somatisasi juga relevan dengan SSD dan telah dikutip jika diperlukan. SSD dapat
dikaitkan dengan banyak stigma; ada risiko bahwa pasien dapat diberhentikan oleh dokter
mereka memiliki masalah yang 'semua di kepala mereka'. Namun, ketika para peneliti
mempelajari hubungan antara otak, sistem pencernaan dan sistem kekebalan, SSD
menjadi lebih baik dipahami. Seharusnya tidak dilihat sebagai kondisi 'berpura-pura' yang
dapat dikontrol oleh pasien.7
2.2 Epidemiologi
Dalam populasi praktik umum, prevelansi 6 bulan gangguan ini berkisar antara 4%
hingga 6% tetapi bahkan dapat mencapai 1,5%. Selain itu, prevalensi seumur hidup dari
gangguan somatisasi bervariasi dari 0,2% hingga 2% di antara wanita dan kurang dari
0,2% pada pria. Gangguan ini biasanya dimulai pada tahun-tahun remaja dan dewasa
muda. Onset setelah 30 tahun sangat jarang berlaku.3 Gangguan somatisasi tampaknya
lebih umum terjadi pada kelompok sosio ekonomi yang kurang terdidik dan lebih rendah.
Orang tua biologis atau angkat dengan kepribadian antisosial, gangguan penyalahgunaan
zat atau gangguan somatisasi juga meningkatkan risiko pasien mengembangkan satu atau
semua gangguan ini, Inin menunjukkan bahwa kombinasi faktor lingkungan dan genetik
berkontribusi pada risiko mengembangkan gangguan somatisasi.2 Beberapa penelitian
telah menemukan bahwa gangguan somatisasi sering kali bersama-sama dengan
gangguan mentak lainnya. Kira-kira dua pertiga dari semua pasien dengan gangguan
somatisasi memiliki gejala psikiatrik yang dapat di identifikasi.8
2.3 Etiologi
Penyebab gangguan somatisasi masih belum jelas. Namun ada penelitian mendapati
genetik dan faktor biologikal sangat berperan dalam gangguan somatisasi. St. Louis ada
melakukan penelitian dan mendapati ada hubungan antara Briquet syndrome pada
perempuan dengan personaliti antisosial pada relatif pria generasi pertama. Ada juga
penelitian mendapatkan hubungan antara anak angkat yang mempunyai riwayat ayah
biologikal yang alkoholism serta kekerasan.3
Namun terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan gangguan somatisasi antara lain:
1. Faktor psikososial
Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan
interpretasi gejala komunikasi sosial yang tujuan hanya untuk
menghindari kewajiban. Sebagai contoh mengerjakan sesuatu yang tidak
sesuai. Mengekpresikan emosis seperti kemarahan pada pasangan serta
untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan. Sebagai contoh nyeri
pada usus seseorang. Aspek pembelajaran menekan bahwa pengajaran dari orang
tua, contoh orang tua dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan
somatisasi. Faktor social, kultut dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan
gejala-gejala somatisasi.1
2. Faktor biologi.
D a t a g e n e t i k a m e n y a t a k a n a d a n ya t r a n s i m i s i g e n e t i k d e n g a n g a
n g g u a n somatik. Data menyatakan bahwa gangguan somatisasi cenderung terjadi
pada 10-20% saudara wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya
cenderung menjadi penyalagunaan zat dan ganguan kepribadian
antisosial."ada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.1
Pasien dengan gangguan somatisasi selalunya datang dengan keluhan yang samar-
samar dan dramatis dalam melaporkan riwayat medis serta sering melompat-lompat dari
satu keluhan ke keluhan yang lain. Hasil pemeriksaan fisik selalunya menunjukan tiada
kelainan atau beberapa lesi kulit hasil operasi sebelumnya. Gangguan somatisasi sering
menganggu persepsi kesehatan pasien dimana pasien mula percaya bahwa dia ada
kelaianan secara fisik dan tidak dapat bekerja. Pasien juga lebih tumpu perhatian yang
melampaui lingkup medis daripada keluarga dan karir profesional hingga hubungan
peribadi dan perkejaan dikorbakan atau diabaikan. Selain itu, pasien dengan gangguan
somatisasi tidak senang dengan pernyataan dokter seperti ‘Tidak ada kelainan’ atau ‘anda
baik-baik saja dan sehat’.6
2.5 Diagnosis
Gangguan somatisasi bisa di diagnosis berdasarkan dua kriteria yaitu:
a. Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ-III)4:
Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak
dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun;
Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.
2.7 Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Medikasi harusnya dielakan atau diawasi karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obatnya dengan tidak teratur atau tidak dapat
dipercayai kecuali disertai gejala anxietas, depresi atau psikotik.3
Antidepressi:
Amytriptiline (trisiklik) 75-150 mg/ 24jam/ oral
Antianxiety:
Diazepam (Benzodiazepine) 10-30mg/ 24jam /oral
Antipsikotik:
Tipikal: Chlorpromazine (phenothiazine) 150-600mg/ 24jam /oral
Atipikal: Risperidone (Benzisoxazole) 2-6 mg/ 24jam /oral
2. Cognitive-Behavioral Therapy.
CBT tampak bisa membantu pasien dalam memodifikasi fikiran serta tingkah laku
terkait dengan gangguan somatisasi. Program CBT melibatkan beberapa teknik yaitu
latihan releksasi serta peningkatan aktivitas secara bertahap. CBT bisa membatu
pasien untuk indetikasi fikiran atau stressor yang menyebabkan peningkatan stress,
inaktiviti atau masalah kesehatan.3
3. Psikoterapi
Psikoterapi bertujuan untuk mengungkap konflik-konflik emosional yang
tersembunyi atau tidak dikenal cenderung bersifat kontraproduktif. Sebuah suportif
yang konsisten terhadap dukungan stress dalam kehidupan pasien dan dalam
kehidupan keluarga agar dapat menyediakan cara untuk memantau aktivitas atau
kontak pasien dengan para professional kesehatan lainnya. Pemantau tersebut dapat
mencegah prosedur diganostik yang tidak perlu serta obat resep yang diresepkan dari
dokter lain yang dihubungi pasien. Psikoterapi kelompok sering menguntungkan
pasien, sebagian karena memberikan dukungan social dan interaksi social yang
tampaknya mengurangi kecemasan mereka.3
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai
oleh banyanknya keluhan atau gejala somatic yang mengenai banyak sistem organ yang
tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1-0,2% dan biasanya
gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun)
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi diduga terdapat
beberapa faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yakni factor
psikososial dan factor biologis. Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-
gejala fisik yang bermacam-macam (multiple), berulang dan sering berubah-rubah, yang
biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Jika
gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan
keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Pengobatan
psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai gangguan penyerta.
DAFTAR PUSTAKA
1) Ruiz P, Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan dan Sadock Comprehensive
Textbook Of Psychiatry 10th Edition. Wolters Kluwer Publisher.
Hal:1301;2489;3651-53.
2) Benjamin. 2015. Kaplan and Sadock: Synopsis of Psychiatric Behavioral Sciences
/ Clinical Psychiatry 11th Edition. Wolters Kluwer Publisher. Hal: 465-490.
3) Elvira SD, Hadisukanto G. 2017. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga. Badan Penerbit
Fakultas Kedoktersan Universitas Indonesia.
4) Maslim R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
5) America Psychiatric Association. 2013. Desk Reference to The Diagnostic Criteria
from DSM-5. London: American Psychiatric Publisher. Page:161-169.
6) Hani Roul Khouzam. 2000. Khouzam and Field: Somatization Disorder: Clinical
Presentation and Treatment in Primarycare: pp20-24:45
7) Egan, Jonathan. 2011. The Irish Psychologist, Somatization Disorder: What
Clinical Needs to Know. Volume 37. Issues 4. p: 93
8) Driel TJ. 2017. Sage Journal: Assessment of Somatization and Medically
Unexplained Symptoms in Later Life. Volume 25. Issues 3. p: 374-393
9) Rahul Shidhaye. 2013. International Review of Psychiatry: Association of
Somatoform Disorders with Anxiety and Depression in Women in Low and Middle
Income Countries: A Systematic Review. Volume 25. Issues 1. p: 65-76.
10) Zijlema W, Stolk R, Lowe B, Rief W. (2013). How to Assess Common Somatic
Symptoms in Large-Scale Studies: A Systematic Review of Questionnaires.
Journal of Psychosomatic Research 4. p: 459-468.