Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA LAPORAN KASUS SEPTEMBER 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

EPISODE DEPRESI BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK (F32.2)

DISUSUN OLEH:
Gianina Helena Manapa Sampetoding
C0 14 191 009

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Edy Husnul M.

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Indrawaty S., M.Kes, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LAPORAN KASUS
EPISODE DEPRESI BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK (F32.2)

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. L
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/ tanggal Lahir : Cakke, 12 Januari 1982
Agama : Islam
Suku : Bugis
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Lapasi pasi, Kolaka Utara

LAPORAN PSIKIATRIK
Diperoleh dari catatan medis dan autoanamnesis dari pasien itu sendiri.
I.RIWAYAT PSIKIATRI

1. Keluhan Utama

Sulit tidur
2. Riwayat Gangguan Sekarang

a) Keluhan dan Gejala

Seorang perempuan berusia 37 tahun datang ke IRD RSWS untuk pertama kalinya,
diantar suaminya dengan keluhan sulit tidur. Pasien merasa tidak tenang, jantung
berdebar-debar, takut, dan sulit berkonsenterasi. Pasien tidak ada semangat hidup karena
putus asa memikirkan keadaannya sekarang yang tidak bisa melakukan kegiatan seperti
biasanya. Pasien selalu merasa lemas di pagi hari sehingga tidak ada kegiatan dan tidak
bisa berkonsenterasi untuk melakukan pekerjaannya. Pasien juga merasa tidak nafsu
makan dan merasakan sakit kepala seperti ingin pecah.

Awal perubahan perilaku, beberapa bulan terakhir ini pasien memikirkan hubungan
dengan suaminya yang suka pulang larut ke rumah sehingga pasien selalu merasa takut
dan was-was. Selain itu pasien juga memikirkan anak laki-lakinya yang lari dari
pesantren. Pasien terus memikirkan hubungan dengan suaminya dan juga anak laki-
lakinya sehingga keluhan sulit tidur terus datang. Pasien sering mengonsumsi obat
paramex untuk meredakan sakit kepalanya.

b) Hendaya/disfungsi
Hendaya dalam bidang sosial ada
Hendaya dalam bidang pekerjaan ada
Hendaya dalam waktu senggang ada

c) Faktor stressor psikososial


Pasien memikirkan suaminya yang suka minum alkohol dan pulang laru malam. Selain
itu pasien merasa sedih anaknya lari dari pesantren.
d) Hubungan gangguan, sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan psikis sebelumnya:
 Riwayat infeksi (-)
 Riwayat trauma (-)
 Riwayat kejang (-)
 Riwayat NAPZA: - alkohol (-)
- Merokok (-)
- Zat psikoaktif lain tidak ada
3. Riwayat gangguan sebelumnya:
1. Riwayat penyakit fisik: tidak ada

2. Riwayat penggunaan NAPZA: tidak ada.

3. Riwayat gangguan psikiatri sebelumnya: tidak ada.

4. Riwayat kehidupan pribadi:


a) Riwayat Prenatal dan Perinatal (0-1 tahun)
Pasien lahir di Kolaka Utara pada tanggal 12 Januari 1982, lahir normal, cukup bulan,
dibantu oleh dukun. Riwayat ASI hingga umur 1 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan
baik. Pada saat hamil ibu pasien tidak mengalami permasalahan dan cedera kecacatan
kelahiran. Pasien merupakan anak yang diinginkan.
b) Riwayat Kanak Awal (1-3 tahun)
Perkembangan masa kanak-kanak pasien seperti berjalan dan berbicara baik.
Perkembangan bahasa dan perkembangan motorik berlangsung baik.
c) Riwayat Kanak Pertengahan (3-11 tahun)
Pada usia 6 tahun pasien masuk SD. Pasien dapat bergaul dengan baik dengan temannya.
Pasien tinggal bersama ibu dan ayahnya, pasien mendapatkan perhatian serta kasih sayang
yang cukup dari kedua orang tuanya.
d) Riwayat Kanak Akhir dan Remaja (12-18 tahun)
Pasien melanjutkan sekolahnya sampai jenjang SMA
e) Riwayat Masa Dewasa
 Riwayat Pendidikan: Pendidikan terakhir pasien adalah SMA
 Riwayat Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
 Riwayat Pernikahan: Pasien sudah menikah dan telah dikaruniai 2 orang anak.
 Riwayat Kehidupan Beragama: Pasien memeluk agama Islam dan menjalankan
kewajiban agama dengan baik.
5. Riwayat kehidupan keluarga:
 Pasien merupakan anak ke 4 dari sepuluh bersaudara (♀,♂,♀,♀,♀,♀,♀,♀,♂,♀)
 Hubungan dengan anggota keluarga baik. Pasien tinggal bersama suami dan 2 orang anak.
 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga pasien tidak ada.

GENOGRAM

: Laki – laki : Gangguan Jiwa

: : Perempuan : Tinggal serumah

: Pasien

6. Situasi sekarang:
Saat ini pasien tinggal bersama suami dan 2 orang anaknya. Kedua anaknya belum ada yang
menikah. Hubungan dengan suami dan anak-anaknya baik. Namun, pasien sudah jarang
bergaul dengan teman dan tetangga sekitar karena jarang ke luar rumah.
7. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya:
Pasien merasa menderita karena sulit tidur sehingga keesokan paginya pasien merasa lelah.
Pasien sering merasa tidak punya semangat hidup. Pasien menyadari dirinya sakit dan ingin
sembuh.

II. STATUS MENTAL (13/2/2019)


A. Deskripsi umum
 Penampilan : Tampak perempuan 37 tahun, wajah lebih tua dari umur
(37 tahun), memakai baju terusan merah dan jilbab merah
bata.
 Kesadaran : Berubah
 Aktivitas psikomotor : Hipoaktif
 Pembicaraan : Spontan, lancar, intonasi agak pelan
 Sikap terhadap pemeriksa : Cukup kooperatif
B. Keadaan Afektif (mood), perasaan, dan empati, perhatian:
 Mood : Depresif
 Afek : Depresif
 Empati : Tidak dapat dirabarasakan
C. Fungsi Intelektual (kognitif):
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan: Sesuai dengan tingkat
pendidikannya
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
 Waktu : Baik
 Orang : Baik
 Tempat : Baik
4. Daya ingat :
 Jangka panjang : Baik
 Jangka pendek : Baik
 Jangka segera : Baik
5. Pikiran abstrak : Baik
6. Bakat kreatif : Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri: Baik
D. Gangguan Persepsi:
1. Halusinasi : Tidak ada visual maupun auditorik
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada
E. Proses Berpikir:
1. Arus pikiran:
 Produktivitas : Cukup
 Kontinuitas : Relevan dan koheren
 Hendaya berbahasa : Tidak ada hendaya dalam berbahasa
2. Isi pikiran:
 Preokupasi : Memikirkan masalah keluarganya
 Gangguan isi pikiran : Tidak ada
F. Pengendalian impuls : Baik
G. Daya nilai:
 Norma sosial : Terganggu
 Uji daya nilai : Terganggu
 Penilaian realitas : Terganggu
H. Tilikan (insight) :
Derajat III (pasien menyatakan sakit dan menyalahkan orang lain)
I. Taraf dipercaya : Akurat / dapat dipercaya

III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI


1. Status Internus
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda vital
- Tekanan darah : 120/100 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- Suhu : 36°C
- Pernapasan :19x/menit
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, jantung, paru dan abdomen dalam batas
normal, ekstremitas atas dan bawah tidak ada kelainan.
2. Status Neurologi
a. GCS : E4M6V5
b. Tanda rangsang meninges : Tidak dilakukan
c. Pupil : Bulat, isokhor, diameter 2.5 mm/2.5 mm
d. Nervus kranialis : Dalam batas normal
e. Sistem saraf motorik dan sensorik dalam batas normal
f. Tidak ditemukan tanda bermakna dari pemeriksaan neurologis

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Dari autoanamnesis didapatkan :
Seorang pasien perempuan umur 37 tahun masuk perawatan Pakis dengan keluhan sulit
tidur kurang lebih 2 bulan yang lalu dan memberat 1 bulan terakhir. Apabila tidur sering
terbangun, sulit berkonsenterasi. Pasien mengatakan sering merasa takut dan sedih bila
mendengar kabar duka. Awal perubahan perilaku 2019 bulan April. Pasien memikirkan
suaminya yang sering minum alkohol dan anaknya yang lari dari pesantren.

Pada pemeriksaan status mental didapatkan:


Tampak perempuan berumur 37 tahun dengan wajah lebih tua dari umurnya, memakai
baju terusan merah bata dan jilbab merah bata. Perawakan sedang, dan perawatan diri cukup.
Mood depresif, afek depresif, empati dapat dirabarasakan. Pada preokupasi pasien memikirkan
masalah keluarga yaitu suaminya yang suka pulang larut dan minum alkohol, juga anaknya yang
lari dari pesantren.

V. EVALUASI MULTIAKSIAL
 Aksis I:
Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan gejala klinis yang
bermakna yaitu pasien sulit tidur, ada sakit kepala, tidak ada semangat hidup, serta afek depresif
yang menimbulkan distress (penderitaan) berupa rasa tidak nyaman bagi diri pasien serta terdapat
hendaya (disabilitas) dalam hubungan sosial, pekerjaan dan waktu senggang sehingga pasien
dapat disimpulkan mengalami gangguan jiwa.
Pada pemeriksaan status mental tidak ditemukan hendaya berat dalam menilai realita
sehingga pasien dikatakan mengalami gangguan jiwa non psikotik. Dari pemeriksaan fisik
tidak ditemukan tanda disfungsi otak sehingga dapat digolongkan gangguan jiwa non psikotik
non organik.

Dari autoanamnesis didapatkan afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi pada pasien yang digambarkan melalui rasa tidak semangat dan mudah
lelah. Berkurangnya konsentrasi, tidur terganggu, nafsu makan berkurang, gejala berupa rasa
sakit kepala yang hebat. Gangguan persepsi lainnya tidak ada. Hal ini memenuhi kriteria episode
depresif.

Dari autoanamnesis serta pemeriksaan status mental, didapatkan pasien diatas memiliki
gejala-gejala pada penyakit episode depresif berat yakni memiliki 3 gejala utama dan 6
gejala tambahan. Berupa afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan karena sering
merasa murung dan banyak fikiran, merasa lemas setiap pagi, kepercayaan diri berkurang,
konsentrasi berkurang, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang. Hal tersebut menunjang
diagnosis untuk Episode Depresif Berat Tanpa Gejala Psikotik (F32.2).

Diagnosis Banding

a. Gangguan cemas menyeluruh (F41.1). Pasien merasakan gejala ketegangan motorik


yaitu gelisah dan sakit kepala. Pasien juga merasakan overaktivitas otonomik yaitu
merasa sesa napas, keluhan lambung (nyeri ulu hati) dan pusing kepala. Pasien tidak
menunjukkan gejala anxietas sebagai gejala primer dan gejala-gejala depresi yang
menonjol sehingga diagnosis ini disingkirkan.
b. Gangguan panik (F41.0). Pada pasien ini, terdapat gejala dimana pasien pernah merasa
seperti ingin bunuh diri. Pasien juga merasakan sesak seperti nyawanya terlepas. Pasien
tidak menunjukkan gejala cemas antisipatorik dimana disaat serangan panik datang
terdapat gejala-gejala hebat yang mendasari dan pasien cenderung menunjukkan gejala
depresi sehingga diagnosis ini disingkirkan.
c. Gangguan somatisasi (F45.0). Pada pasien ini Pada pasien ini ditemukan beberapa
gejala fisik seperti nyeri ulu hati, tengkuk terasa tegang, rasa sesak , merasakan sakit
kepala hebat. Tetapi pada pasien ini dia tidak ini mencari tahu apa penyebab gejala fisik
tersebut tetapi pasien hanya ini menghilangkan gejala depresi yang dikeluhkannya
sehingga diagnosis ini disingkirkan.

 Axis II
Berdasarkan informasi yang didapatkan, data yang diperoleh belum cukup untuk diarahkan
ke salah satu ciri khas kepribadian. Pasien cenderung pendiam.
 Axis III
Tidak ditemukan kelainan organobiologik
 Axis IV
Masalah family support group (suami dan anak)
 Axis V
GAF Scale saat ini 50 - 41 GCS E4M6V5

VI. DAFTAR MASALAH


 Organobiologik:
Tidak ditemukan kelainan fisik yang bermakna, namun diduga terdapat ketidakseimbangan
neurotransmitter, maka dari itu pasien memerlukan farmakoterapi.
 Psikologik:
Ditemukan adanya hendaya dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan gejala psikis
sehingga pasien membutuhkan psikoterapi
 Sosiologik:
Ditemukan adanya hendaya ringan dalam penggunaan waktu senggang, hubungan sosial
dan pekerjaan maka membutuhkan sosioterapi.

VII. RENCANA TERAPI


 Psikofarmakoterapi :
- R/Fluoxetine 20 mg 1 tab/24 jam/oral/malam
- R/Alprazolam 0,5 mg ½ tab/oral/pagi-siang
- R/Alprazolam 0,5 mg 1 tab/oral/malam
- Awasi tanda vital dan intake oral
 Psikoterapi supportif:
- Ventilasi : Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi hati dan
keinginannya sehingga pasien merasa lega.
- Konseling : Memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien tentang penyakitnya
agar pasien memahami kondisi dirinya, dan memahami cara menghadapinya, serta
memotivasi pasien agar tetap minum obat secara teratur.
 Sosioterapi:
Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang terdekat pasien tentang
keadaan pasien agar tercipta dukungan sosial sehingga membantu proses penyembuhan
pasien sendiri.
 Terapi Kognitif Perilaku
Tujuan terapi ini untuk mengubah proses berfikir individu agar menjadi lebih rasional
agar pasien mempunyai kemampuan untuk mengenali dan kemudian mengevaluasi atau
mengubah cara berfikir, keyakinan dan perasannya (mengenai diri sendiri, masalah dan
lingkungannya) yang salah sehingga pasien dapat mengubah perilaku yang salah dengan
cara mempelajari keterampilan pengendalian diri dan strategi pemecahan masalah yang
efektif.

VIII. PROGNOSIS
Dubia et bonam: Ad vitam
Dubia et bonam: Ad functionem
Dubia et bonam: Ad sanationem
 Faktor pendukung:
- Tidak terdapat kelainan organik
- Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama
- Kepatuhan meminum obat dan mau menerima nasehat dokter
IX. PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan
munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah,
gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi dan penurunan konsentrasi. Episode depresi
dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan bipolar. Jika berdiri sendiri disebut
depresi unipolar. Simtom terjadi sekurang-kurangnya dua minggu dan terdapat perubahan dari
derajat fungsi sebelumnya.
Menurut PPDGJ III pada pasien depresif harus menunjukkan gejala utama:
 Afek depresif (sedih, murung, lesu, menangis),

 kehilangan minat dan kegembiraan

 Berkurangnya energi sehingga mudah lelah dan aktivitas berkurang.

Gejala lainnya:
 Konsentrasi dan perhatian berkurang,

 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang,

 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna,

 Pandangan masa depan yang suram dan pesimis,

 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri,

 Tidur terganggu,

 Nafsu makan berkurang

Berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, tapi periode yang lebih pendek dapat di


benarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. Berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan status mental pasien, didapatkan gejala-gejala yang mengarah pada depresi, yaitu
gejala utama dan gejala lainnya. Seperti afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan karena
sering merasa murung dan banyak fikiran, berkurangnya energi sehingga mudah lelah,
kepercayaan diri berkurang, adanya gagasan rasa bersalah, rasa ingin bunuh diri, tidur terganggu,
nafsu makan berkurang. Sehingga menurut PPDGJ III, jika terdapat 3 gejala utama dan minimal
4 gejala lainnya.dan tidak ditemukan hendaya berat dalam menilai realita sehinggadapat di
kategorikan ke dalam diagnosis Episode Depresif Berat Tanpa Gejala Psikotik (F32.2)
Pemberian Alprazolam dosis 1 mg diberikan sebagai terapi kombinasi pada pasien depresi
dengan keluhan sulit tidur. Pemilihan alprazolam adalah karena obat ini bekerja secara cepat dan
mempunyai komponen efek antidepresan. Pemberian fluoxetine pada pasien ini adalah sebagai
terapi antidepresan. Pemilihan fluoxetine sebagai terapi pasien ini adalah karena obat ini kurang
menyebabkan antikolinergik, hampir tidak menimbulkan sedasi sehingga efek sampingnya lebih
ringan dan fluoxetine memiliki masa kerja yang paling panjang (24-96 jam) diantara golongan
SSRI yang lain dan cukup diberikan sekali sehari.

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

Kriteria diagnostik

 Semua 3 gejala utama depresi harus ada


 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantarnya harus
berintensitas berat
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka
pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejala nya secara
rinci, dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat
masih dapat dibenarkan
 Episode depresif biasanya akan harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan
tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas
Diagnosa banding dari gangguan depresi yaitu:
a) Gangguan mood disebabkan oleh kondisi medis umur
b) Gangguan mood diinduksi zat
c) Skizofrenia
d) Berduka
e) Gangguan kepribadian
f) Gangguan skizoafektif
g) Gangguan penyesuaian dengan mood depresi
h) Gangguan tidur primer
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2018. Depression. [diakses tanggal 7 September 2019]. Available from:


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/depression
2. Arozal W., Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: FKUI, 2007.
3. Kaplan, Saddock. 2010. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott
Wiliams And Wilkins. Philadelphia.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa. Jakarta.
5. Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis RI. Jakarta.
6. Haeba N. 2011. Pengaruh Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengurangi Depresi Pada
Pecandu Cybersex.Jurnal Intervensi Psikologi. Hal: 235
LAMPIRAN WAWANCARA AUTOANAMNESIS
DM: Dokter Muda
P: Pasien
DM : Assalamualaikum selamat pagi bu. Perkenalkan saya Gianina, dokter muda yang
bertugas pagi ini. Tabe bu, ibu namanya siapa?
P :L
DM : Umurnya bu?
P : 37 tahun dok
DM : Ibu sudah menikah?
P : Iya sudah dok
DM : Pekerjaan ibu apa?
P : Ibu Rumah Tangga
DM : Jadi ibu ada keluhan apa?
P : Begini dok, sudah lama sekali saya susah sekali tidur kalau malam
DM : Sejak kapan bu?
P : Kurang lebih 2 bulan yang lalu dok
DM : Tiap malam ibu susah tidur atau ada hari-hari tertentu?
P : Hampir tiap malam dok, tapi semakin ku rasa tidak enak 1 bulan ini dok
DM : Selain susah tidur apa lagi yang ibu rasakan?
P : Gelisah ka dok, pokoknya tidak enak ku rasa
DM : Bisa ibu ceritakan bagaimana awal mulanya keluhan ibu?
P : Awalnya baik ji ku rasa dok tapi semenjak suamiku suka minum alkohol baru suka
pulang larut jadi tidak tenang ku rasa
DM : Sejak kapan itu bu?
P : Dua bulan terakhir ini dok
DM : Ohiya baik bu. Kalau kegiatan sehari-hari ibu selain pekerjaan rumah?
P : Begitu ji dok menyapu, mengepel, menyetrika kalau tidak adami ku kerja apalagi kalau
tidak tidurka malamnya pasti lemas terus ku rasa tapi tetap tidak bisa ka tidur
DM : Jadi ibu sekarang lebih suka diam-diam saja tinggal dirumah bu?
P : Iya dok, apalagi kalo datang ini penyakitku malaska keluar rumah
DM : Kalau dirumah seringki mondar-mandi bu?
P : Iya dok biasa ka mondar-mandir, biasa juga dikamarka sendiri tidak bicara sama
keluargaku. Lebih senangka sendiri
DM : Ohiya bu, kalo nafsu makannya gimana?
P : Malas sekali ka makan dok, tidak ada semangat ku untuk makan dok. Baru itu terus
suamiku saya pikir
DM : Iya bu itu jadi pemicu penyakitnya ibu. Terlalu banyak pikiran ta
DM : Dulu waktu ta lahir cukup bulanji bu?
P : Iya cukup bulan ji dok. 9 bulan ka dikandung ibuku
DM : ASI ibu minum atau susu formula langsung?
P : ASI dok
DM : Ibu tidak sakit-sakitan ji pas masih kecil?
P : Pernahka cacar dok waktu umur 6 tahun
DM : Kalau jatuh atau kejang pernah bu?
P : Tidak pernah ji dok
DM : Tabe bu, pendidikan terakhirta apa bu?
P : SMA dok
DM : Kalau hubungan ta sama keluarga bagaimana bu?
P : Baikji dok
DM : Hubungan ta sama suami bagaimana bu?
P : Baikji hubungan ku sama suami. Tapi itumi kupikir teruski kalau pulang larut ki
minum-minum. Mauka tegur tapi takut hubunganku rusak sama suamiku jadi tidak
berani ka tegur ki dok.
DM : Ibu berapa bersaudara bu?
P : Sepuluh bersaudara ka dok
DM : Ibu anak ke berapa?
P : Saya anak ke empat dok
DM : Coba ibu sebutkan satu-satu dari pertama saudaranya ibu laki-laki atau perempuan
P : Kakakku yang paling pertama perempuan dok. Baru kedua laki-laki, baru perempuan
lagi. Habis itu saya mi, baru 4 adikku berturut-tutrut cewe. Baru ada lagi cowo, yang
paling terakhir adikku perempuan
DM : Ibu sudah punya anak?
P : Iya sudah, 2 dok sepasang cowok cewek. Pusing ka pikirkan anakku yang pertama
dok
DM : Anak pertama ibu cowo?
P : Iya dok
DM : Ada apa dengan anaknya bu?
P : Itu anakku yang pertama kabur dari pesantren dok. Itumi suka bikin saya sedih juga
DM : Di rumah tinggal sama siapa bu?
P : Sama suami sama 2 anakku dok
DM : Oh anak ta tidak mau kembali ke pesantren bu?
P : Iya dok
DM : Baik ibu, kalau keluarganya ibu yang sama keluhannya kayak ibu sekarang?
P : Tidak ada dok
DM : Ibu pernah demam atau jatuh sebelumnya sampai muncul ini keluhannya ibu?
P : Dulu pernah pas ka kecil jatuh dari rumah ke halaman sampai tangga dibawah
DM : Selain itu ada penyakit lainnya ibu?
P : Tidak ada dok
DM : Ibu pernah merokok atau minum alkohol?
P : Tidak pernah dok
DM : Ada lagi keluhan lainnya bu?
P : Itu saja dok
DM : Ohiya bu. Terima kasih bu. Semoga cepat membaik keluhannya
P : Iya dok makasih juga dok
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GANGGUAN SOMATISASI (F45.0)

DISUSUN OLEH:
Gianina Helena Manapa Sampetoding
C014 191 009

RESIDEN PEMBIMBING
dr. Edy Husnul M.

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Indrawaty S., M.Kes, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Gianina Helena Manapa Sampetoding


NIM : C0 14 191 009
Judul Referat : Gangguan Somatisasi (F45.0)

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, September 2019

Residen Pembimbing Supervisor Pembimbing

dr. Edy Husnul M. dr. Indrawaty S., M.Kes, Sp.KJ


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Gangguan
Somatisasi”. Referat ini penulis susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun 2019.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Indrawaty S., M.Kes, Sp.KJ dan dr. Edy
Husnul M. yang telah membimbing dan membantu penulis dalam melaksanakan
kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini.
Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca.

Akhir kata penulis berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua
pihak yang ingin mengetahui tentang “Gangguan Somatisasi”.

Makassar, September 2019

Penulis,
Gianina Helena Manapa Sampetoding
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ...................................................................... 2


Kata Pengantar .............................................................................. 3
Daftar isi ........................................................................................ 4
Bab I Pendahuluan ........................................................................ 5
Bab II Gangguan Somatisasi ......................................................... 7
A. Definisi ..................................................................................... 7
B. Epidemiologi ............................................................................ 7
C. Etiologi ..................................................................................... 8
D. Komorbiditas ............................................................................ 8
E. Gambaran Klinis ....................................................................... 9
F. Diagnosis .................................................................................. 10
G. Diagnosis Banding ................................................................... 11
H. Penatalaksanaan ....................................................................... 12
I. Perjalanan Gangguan dan Prognosis ......................................... 13
Bab III Penutup ............................................................................. 14
Daftar Pustaka ............................................................................... 15
BAB 1
PENDAHULUAN

Istilah somatoform berasal dari Bahasa Yunani. Gangguan somatoform didefinisikan


sebagai kelompok kelainan dimana terdapat gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan
gangguan medis namun tidak dapat dibuktikan patologi atau bukti-bukti yang mendukung
penyakit fisik sebagai penyebab gejala serta adanya adanya dugaan kuat bahwa gejala-
gejala tersebut berkaitan dengan factor psikologis.
Oliver Oyama juga mengatakan gangguan somatoform merupakan sekelompok gangguan
jiwa dimana pasien datang dengan keluhan yang signifikan secara klinis tetapi gejala fisik
tidak dapat dijelaskan. Gangguan ini sering menyebabkan tekanan emosional yang
signifikan bagi pasien dan merupakan tantangan bagi ahli dokter.3

Gangguan somatoform memiliki beberapa ciri umum yaitu manifestasi stress


psikologik menjadi gejala stomatik serta perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness
behaviour) yaitu disebabkan adanya ketidak sesuaian antara pengertian yang ditangkap
pasien tentang kondisi sakitnya (perceived illness) dengan penyakit yang dialaminya.
Seterusnya adanya amplifikasi yaitu dimana sensasi dari gejala fisik mengakibatkan rasa
cemas (anxiety), kemudia rasa cemas dan aktivitas autonomik yang diasosiasikan dengan
rasa cemas tersebut mengakibatkan eksaserbasi gejala fisik dan penderitaan bermakna dan
seringnya angka kunjungan untuk pelayanan medis.1

Klasifikan gangguan somatoform terdapat beberapa versi pergolongan menurut


Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ-III) dan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 5 th edition (DSM-V).1 Menurut DSM-V terdapat
7 kategori gangguan somatoform yaitu gangguan somatisasi, somatisasi tidak terinci,
konversi, hipokondriasis, Body Dismorphic Disorder, somatoform yang tidak tergolongkan
manakala menurut PPDGJ-III terdapat 6 kategori.5 Yaitu gangguan somatisasi,
somatoform tidak terinci, hipokondrik, disfungsi otonomik somatoform, gangguan nyeri
somatoform menetap dan somatoform lainnya.4
DSM-5 mendefinisikan gangguan gejala somatik sebagai satu atau lebih gejala
somatik yang menyusahkan atau mengakibatkan gangguan yang signifikan dalam
kehidupan sehari-hari dan pikiran, perasaan, atau perilaku berlebihan yang terkait dengan
gejala atau masalah kesehatan terkait dengan setidaknya salah satu dari berikut: (A) pikiran
yang berlebihan dan terus-menerus tentang keseriusan gejala, (b) tingkat kecemasan yang
terus-menerus tinggi tentang kesehatan atau gejala, atau (c) waktu dan energi berlebihan
yang dihabiskan untuk gejala-gejala atau masalah kesehatan ini. Ini juga menunjukkan
bahwa keadaan menjadi gejala harus persisten (biasanya lebih dari 6 bulan) bahkan jika
salah satu gejala somatik mungkin tidak terus menerus hadir. Penentu dapat: dengan nyeri
menonjol, persisten, dan spesifitas berat atau ringan, sedang, dan berat. Menurut DSM-5,
pasien dengan gangguan ini
biasanya memiliki beberapa gejala termasuk rasa sakit, dan gejalanya mungkin
spesifik atau umum (misalnya, kelelahan). Gejala mungkin atau mungkin tidak terkait
dengan kondisi medis lain, misalnya, pasien dapat dinonaktifkan dengan gangguan gejala
somatik setelah infark miokard tanpa komplikasi.6

Gangguan somatisasi ini sering dijumpai pada remaja atau dewasa muda. Wanita
dengan gangguan somatisasi melebihi jumlah laki-laki sebesar 5-20 kali, walaupun
perkiraan tertinggi mungkin karena kecenderungan awal yang tidak mendiagnosis
gangguan somatisasi pada laki-laki.2 Prevelansi gangguan somatoform sepanjang hidup
0,2-2% pada perempuan dan 0,2% pada laki-laki. Wanita lebih banyak menderita gangguan
somatisasi dibandingkan pria dengan rasio 5 berbanding 1.6 Awitan gangguan ini sebelum
usia 30 tahun dan biasanya dimulai ketika usia remaja. Pasien dengan gangguan somatisasi
mempunyai kecenderungan dalam menghadapi tekanan psikososial dan stressor disertai
gejala-gejala fisik. Gangguan somatisasi ini dapat di diagnosa berdasarkan beberapa
kriteria dari PPDGJ-III atau DSM-5 dan pasien itu harus bergejala secara berterusan
minimal selama 6 bulan.3
BAB 2
GANGGUAN SOMATISASI

2.1 Definisi
Ini merupakan kondisi kronis di mana ada banyak keluhan fisik. Keluhan-keluhan
ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun dan menghasilkan kerusakan
substansial.Dalam International Classification of Diseases edisi 10 (ICD-10), somatisasi
didefinisikan sebagai gejala-gejala fisik multipel, berulang dan sering berubah yang
biasanya muncul selama beberapa tahun, (paling tidak dua tahun) sebelum pasien dirujuk
ke psikiater. Lebih terakhir, istilah 'keluhan somatik yang tidak dapat dijelaskan'
diperkenalkan untuk menggambarkan pasien yang mengalami gejala fisik dan kunjungan
medis yang sering meskipun ada investigasi negatif. Istilah ini dianggap lebih dapat
diterima oleh pasien dan memiliki implikasi etiologi yang lebih sedikit. Dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders versi 5 (DSM-5), kondisi ini telah diubah
menjadi somatic symptom disorder (SSD).
Ada keberangkatan signifikan dari kategorisasi DSM-IV yang mengidentifikasi
gangguan somatisasi, hipokondriasis, gangguan nyeri, dan gangguan somatoform yang
tidak dapat dibedakan. Semua ini sekarang termasuk di bawah judul SSD. Inovasi lain
adalah bahwa gejala tidak perlu lagi secara medis tidak dapat dijelaskan tetapi mungkin
atau mungkin tidak terkait dengan kondisi medis lain. Dengan demikian, pasien yang
memiliki komorbiditas organik seperti penyakit jantung, osteoarthritis atau kanker - yang
sebelumnya dikeluarkan di bawah DSM-IV - sekarang dapat dimasukkan dalam diagnosis
SSD dan dipertimbangkan untuk pengobatan yang tepat.
Diagnosis DSM-IV dari gangguan somatisasi yang membutuhkan sejumlah
keluhan spesifik dari empat kelompok gejala tidak lagi merupakan persyaratan dalam
diagnosis DSM-5 dari SSD. Literatur terbaru telah menggunakan istilah gangguan
somatisasi, gangguan gejala somatik, sindrom somatik fungsional dan sindrom somatisasi
yang kurang lebih secara bergantian. Banyak bukti yang berhubungan dengan gangguan
somatisasi juga relevan dengan SSD dan telah dikutip jika diperlukan. SSD dapat
dikaitkan dengan banyak stigma; ada risiko bahwa pasien dapat diberhentikan oleh dokter
mereka memiliki masalah yang 'semua di kepala mereka'. Namun, ketika para peneliti
mempelajari hubungan antara otak, sistem pencernaan dan sistem kekebalan, SSD
menjadi lebih baik dipahami. Seharusnya tidak dilihat sebagai kondisi 'berpura-pura' yang
dapat dikontrol oleh pasien.7

2.2 Epidemiologi
Dalam populasi praktik umum, prevelansi 6 bulan gangguan ini berkisar antara 4%
hingga 6% tetapi bahkan dapat mencapai 1,5%. Selain itu, prevalensi seumur hidup dari
gangguan somatisasi bervariasi dari 0,2% hingga 2% di antara wanita dan kurang dari
0,2% pada pria. Gangguan ini biasanya dimulai pada tahun-tahun remaja dan dewasa
muda. Onset setelah 30 tahun sangat jarang berlaku.3 Gangguan somatisasi tampaknya
lebih umum terjadi pada kelompok sosio ekonomi yang kurang terdidik dan lebih rendah.
Orang tua biologis atau angkat dengan kepribadian antisosial, gangguan penyalahgunaan
zat atau gangguan somatisasi juga meningkatkan risiko pasien mengembangkan satu atau
semua gangguan ini, Inin menunjukkan bahwa kombinasi faktor lingkungan dan genetik
berkontribusi pada risiko mengembangkan gangguan somatisasi.2 Beberapa penelitian
telah menemukan bahwa gangguan somatisasi sering kali bersama-sama dengan
gangguan mentak lainnya. Kira-kira dua pertiga dari semua pasien dengan gangguan
somatisasi memiliki gejala psikiatrik yang dapat di identifikasi.8

2.3 Etiologi
Penyebab gangguan somatisasi masih belum jelas. Namun ada penelitian mendapati
genetik dan faktor biologikal sangat berperan dalam gangguan somatisasi. St. Louis ada
melakukan penelitian dan mendapati ada hubungan antara Briquet syndrome pada
perempuan dengan personaliti antisosial pada relatif pria generasi pertama. Ada juga
penelitian mendapatkan hubungan antara anak angkat yang mempunyai riwayat ayah
biologikal yang alkoholism serta kekerasan.3

Namun terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan gangguan somatisasi antara lain:
1. Faktor psikososial
Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan
interpretasi gejala komunikasi sosial yang tujuan hanya untuk
menghindari kewajiban. Sebagai contoh mengerjakan sesuatu yang tidak
sesuai. Mengekpresikan emosis seperti kemarahan pada pasangan serta
untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan. Sebagai contoh nyeri
pada usus seseorang. Aspek pembelajaran menekan bahwa pengajaran dari orang
tua, contoh orang tua dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan
somatisasi. Faktor social, kultut dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan
gejala-gejala somatisasi.1

2. Faktor biologi.
D a t a g e n e t i k a m e n y a t a k a n a d a n ya t r a n s i m i s i g e n e t i k d e n g a n g a
n g g u a n somatik. Data menyatakan bahwa gangguan somatisasi cenderung terjadi
pada 10-20% saudara wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya
cenderung menjadi penyalagunaan zat dan ganguan kepribadian
antisosial."ada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.1

2.4 Gambaran Klinis


Pasien dengan gangguan somatisasi mempunyai kecenderungan untuk bereaksi
terhadap tekanan psikososial dan linkungan dengan gejala-gejala fisik yang tidak dapat
dijelas secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan lab. Gejala umum yang
dikeluhkan pasien sering ditumpukan pada kardiovaskular, gastrointestinal, respiratori
serta kulit. Tabel 1 menunjukan berapa gejala klinis gangguan stomatisasi berdasarkan
sistem organ.3
Tabel 1 menunjukan berapa gejala klinis gangguan somatisasi berdasarkan sistem organ.6

Pasien dengan gangguan somatisasi selalunya datang dengan keluhan yang samar-
samar dan dramatis dalam melaporkan riwayat medis serta sering melompat-lompat dari
satu keluhan ke keluhan yang lain. Hasil pemeriksaan fisik selalunya menunjukan tiada
kelainan atau beberapa lesi kulit hasil operasi sebelumnya. Gangguan somatisasi sering
menganggu persepsi kesehatan pasien dimana pasien mula percaya bahwa dia ada
kelaianan secara fisik dan tidak dapat bekerja. Pasien juga lebih tumpu perhatian yang
melampaui lingkup medis daripada keluarga dan karir profesional hingga hubungan
peribadi dan perkejaan dikorbakan atau diabaikan. Selain itu, pasien dengan gangguan
somatisasi tidak senang dengan pernyataan dokter seperti ‘Tidak ada kelainan’ atau ‘anda
baik-baik saja dan sehat’.6

2.5 Diagnosis
Gangguan somatisasi bisa di diagnosis berdasarkan dua kriteria yaitu:
a. Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ-III)4:
 Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak
dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun;
 Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
 Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.

b. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5 th edition


(DSM-V)5:
 Satu atau lebih gejala somatik kesukaran atau hasil dari gangguan signifikan
dalam kehidupan sehari-hari.
 Pikiran, perasaan, perilaku atau kebiasaan yang berlebihan atau terlalu
banyak terkait dengan gejala somatik atau terkait masalah kesehatan seperti
yang diwujudkan paling tidak satu dari dibawah ini:
- Pikiran yang tidak seimbang dan terus-menerus tentang keseriusan
dari suatu gejala.
- Kecemasan yang menetap dalam level tinggi tentang kesehatan atau
gejala-gejala.
- Waktu dan energi berlebihan yang dicurahkan untuk gejala-gejala
tersebut atau kekhawatiran tentang kesehatan.
 Meskipun beberapa gejala somatik tidak muncul berkelanjutan, keadaan
saat mengalami gejala muncul menetap (biasanya lebih dari 6 bulan).
2.6 Diagnosa banding
Gangguan somatisasi selalunya di diagnose banding dengan 4:
a. Gangguan somatoform lainya yaitu:
 Gangguan konversi: adanya satu atau lebih gejala neurologik (paralisis, buta,
parasthesia) yang tidak dapat dijelaskan dengan (adanya) gangguan
neurologik/medik.
 Hipokondriasis: Pasien menginterpretasi gejala somatik atau sensasi somatik secara
tidak realistik atau tidak akurat menyebabkan pre-okupasi & ketakutan bahwa dia
menderita penyakit serius walaupun tidak ditemukan sebab somatik.
 Gangguan nyeri somatoform: Keluhan yangg predominan adalah nyeri berat,
menyiksa dan menetap serta tidak dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses
fisiologis maupun adanya gangguan fisik.
b. Factitious disorder:
istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang berpusat pada
berlebihan atau pada pemalsuan masalah kesehatan sendiri atau masalah kesehatan
orang lain.

2.7 Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Medikasi harusnya dielakan atau diawasi karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obatnya dengan tidak teratur atau tidak dapat
dipercayai kecuali disertai gejala anxietas, depresi atau psikotik.3
Antidepressi:
Amytriptiline (trisiklik) 75-150 mg/ 24jam/ oral
Antianxiety:
Diazepam (Benzodiazepine) 10-30mg/ 24jam /oral
Antipsikotik:
Tipikal: Chlorpromazine (phenothiazine) 150-600mg/ 24jam /oral
Atipikal: Risperidone (Benzisoxazole) 2-6 mg/ 24jam /oral
2. Cognitive-Behavioral Therapy.
CBT tampak bisa membantu pasien dalam memodifikasi fikiran serta tingkah laku
terkait dengan gangguan somatisasi. Program CBT melibatkan beberapa teknik yaitu
latihan releksasi serta peningkatan aktivitas secara bertahap. CBT bisa membatu
pasien untuk indetikasi fikiran atau stressor yang menyebabkan peningkatan stress,
inaktiviti atau masalah kesehatan.3

3. Psikoterapi
Psikoterapi bertujuan untuk mengungkap konflik-konflik emosional yang
tersembunyi atau tidak dikenal cenderung bersifat kontraproduktif. Sebuah suportif
yang konsisten terhadap dukungan stress dalam kehidupan pasien dan dalam
kehidupan keluarga agar dapat menyediakan cara untuk memantau aktivitas atau
kontak pasien dengan para professional kesehatan lainnya. Pemantau tersebut dapat
mencegah prosedur diganostik yang tidak perlu serta obat resep yang diresepkan dari
dokter lain yang dihubungi pasien. Psikoterapi kelompok sering menguntungkan
pasien, sebagian karena memberikan dukungan social dan interaksi social yang
tampaknya mengurangi kecemasan mereka.3

2.8 Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Perjalan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosa biasanya ditegakkan
sebelum usia 25 tahun, namun gejala awalnya sudah dimulai saat remaja. Masalah
mestruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan
seksual sering kali berkaitan dengan perselisihan dalam perkahwinan. Periode keluhan
yang ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan pengembangan dari
keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum setahun pasien sudah
mencari pertolongan medis. Ada peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan
eksaserbasi gejala-gejala somatik.3
BAB 3
PENUTUP

Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai
oleh banyanknya keluhan atau gejala somatic yang mengenai banyak sistem organ yang
tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1-0,2% dan biasanya
gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun)

Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi diduga terdapat
beberapa faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yakni factor
psikososial dan factor biologis. Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-
gejala fisik yang bermacam-macam (multiple), berulang dan sering berubah-rubah, yang
biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Jika
gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan
keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Pengobatan
psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai gangguan penyerta.
DAFTAR PUSTAKA

1) Ruiz P, Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan dan Sadock Comprehensive
Textbook Of Psychiatry 10th Edition. Wolters Kluwer Publisher.
Hal:1301;2489;3651-53.
2) Benjamin. 2015. Kaplan and Sadock: Synopsis of Psychiatric Behavioral Sciences
/ Clinical Psychiatry 11th Edition. Wolters Kluwer Publisher. Hal: 465-490.
3) Elvira SD, Hadisukanto G. 2017. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga. Badan Penerbit
Fakultas Kedoktersan Universitas Indonesia.
4) Maslim R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
5) America Psychiatric Association. 2013. Desk Reference to The Diagnostic Criteria
from DSM-5. London: American Psychiatric Publisher. Page:161-169.
6) Hani Roul Khouzam. 2000. Khouzam and Field: Somatization Disorder: Clinical
Presentation and Treatment in Primarycare: pp20-24:45
7) Egan, Jonathan. 2011. The Irish Psychologist, Somatization Disorder: What
Clinical Needs to Know. Volume 37. Issues 4. p: 93
8) Driel TJ. 2017. Sage Journal: Assessment of Somatization and Medically
Unexplained Symptoms in Later Life. Volume 25. Issues 3. p: 374-393
9) Rahul Shidhaye. 2013. International Review of Psychiatry: Association of
Somatoform Disorders with Anxiety and Depression in Women in Low and Middle
Income Countries: A Systematic Review. Volume 25. Issues 1. p: 65-76.
10) Zijlema W, Stolk R, Lowe B, Rief W. (2013). How to Assess Common Somatic
Symptoms in Large-Scale Studies: A Systematic Review of Questionnaires.
Journal of Psychosomatic Research 4. p: 459-468.

Anda mungkin juga menyukai