Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obat merupakan suatu bahan atau perpaduan bahan – bahan yang dimaksud untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah , mengurani, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit luka pada manusia. Bahan aktif obat agar
di gunakan nyaman dan aman di kemas dalam bentuk sediaan obat (BS0) atau disebut
farmasi. Bentuk sediaan obat (BSO) dapat mengandung satu atau lebih komponen bahan
aktif obat juga tersedia dalam berbagai bentuk atau preparat bentuk obat menentukan rute
obat. Misalnya kapsul di berikan peroral dan larutan diberikan perintravena.komposisi
obat dibuat untuk meningkatkan absorbsi dan metabolisme di dalam darah. Farmasi
didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat,
dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada
pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai
identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,
analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan
kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman,
baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun
melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung
kepada pemakai.

Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau
elok, yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi
menjadi obat atau bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah
orang yang paling mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat,
karena pengetahuan keahlian mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam
mengenai semua aspek kefarmasian seperti yang tercantum pada definisi di atas.

B. Tujuan

1. Mahasiswa mampu dan mengetahui obat golongan NSID


2. Mahasiswa mampu dan mengerahui obat antibiotik
BAB II
PEMBAHASAN

A. Golongan NSAID Non steroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)

Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau nonsteroidal anti-inflammatory drugs


(NSAIDs) adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengurangi peradangan,
sehingga meredakan nyeri dan menurunkan demam. NSAIDs sering dikonsumsi untuk
mengatasi sakit kepala, nyeri menstruasi, keseleo, atau nyeri sendi. NSAIDs tersedia
dalam bentuk kapsul, tablet, krim, gel, suppositoria (obat yang langsung dimasukkan ke
dalam anus), dan suntik. Dalam mengatasi nyeri, NSAIDs atau OAINS bekerja dengan
cara menghambat hormon pemicu peradangan, yaitu hormon prostaglandin. Dengan
berkurangnya peradangan, rasa nyeri juga akan berkurang dan demam akan turun.

Peringatan Sebelum Mengonsumsi Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)

 Diskusikan dengan dokter jika Anda pernah menderita asma, tukak lambung, penyakit
asam lambung, serta gangguan jantung, ginjal, hati, atau pencernaan.
 Jika Anda berusia di atas 65 tahun, disarankan untuk berkonsultasi dulu dengan
dokter sebelum menggunakan obat-obatan jenis ini.
 Konsultasi ke dokter terlebih dahulu sebelum menggunakan obat golongan ini jika
Anda sedang menyusui, hamil, atau memiliki rencana kehamilan.
 Sampaikan kepada dokter jika Anda sedang mengonsumsi obat untuk mengatasi
hipertensi, diabetes, atau penyakit jantung, juga bila Anda sedang mengonsumsi
vitamin atau obat herbal.
 Konsultasikan kepada dokter sebelum menggunakan obat ini jika Anda akan
menjalani prosedur tertentu, seperti operasi, dalam waktu dekat.
 Beri tahu dokter bila Anda memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan golongan
antiinflamasi nonsteroid.

Efek Samping Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)

NSAIDs atau obat antiinflamasi nonsteroid termasuk golongan obat yang paling
sering digunakan. Namun, perlu diingat bahwa golongan obat-obat ini juga dapat
menimbulkan beberapa efek samping. Berikut adalah efek samping NSAIDs yang paling
sering terjadi:

 Mual
 Mutah
 Konstipasi
 Diare
 Penurunan nafsu makan
 Sakit kepala
 Pusing
 Ruam kulit

Selain itu, ada juga efek samping lainnya yang lebih serius, yaitu:

 Masalah pencernaan
 Tekanan darah tinggi
 Perdarahan saluran cerna
 Gangguan hati dan ginjal
 Gangguan jantung

Jenis dan Merek Dagang Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)

Berikut ini adalah jenis-jenis obat yang termasuk ke dalam golongan NSAIDs atau
OAINS:

 Ibuprofen
Merek dagang: Aknil, Alaxan FR, Anafen, Arbupon, Arfen, Arthrifen, Axofen,
Bimacyl, Bodrex, Bodrexin IBP.
 Aspirin
Merek dagang: Aspirin, Aspilets, Cardio aspirin, Farmasal, Miniaspi 80, Thrombo
 Naproxen
Merek dagang: Xenifar, Alif 500
 Diclofenac
Merek dagang: Aclonac, Anuva, Araclof, Atranac, Bufaflam, Cataflam, Catanac,
Deflamat, Diclofam, Diclofenac.
 Celecoxib
Merek dagang: Celebrex, Novexib.
 Etoricoxib
Merek dagang: Arcoxia, Coxiron, Etoricoxib, Etorvel, Orinox.
 Indomethacin
Merek dagang: Dialon
 Asam mefenamat
Merek dagang: Allogon, Altran, Amistan, Analspec, Anastan Forte, Argesid, Asmef,
Asam Mefenamat, Asimat.
 Piroxicam
Merek dagang: Feldene, Scandene
 Meloxicam
Merek dagang: Movi-cox, Mecox
 Ketoprofen
Merek dagang: Profenid, Noflam
 Dexketoprofen
Merek dagang: Ketesse

B. OBAT ANTIBIOTIK

Antibiotik adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengatasi dan mencegah
infeksi bakteri. Obat ini bekerja dengan cara membunuh dan menghentikan bakteri
berkembang biak di dalam tubuh. Antibiotik tidak dapat digunakan untuk mengatasi
infeksi akibat virus, seperti flu.

Pada dasarnya, infeksi bakteri yang tergolong ringan dapat pulih dengan sendirinya,
sehingga pemberian antibiotik dirasa tidak perlu. Namun, ketika infeksi bakteri yang
diderita tidak kunjung membaik, dokter dapat meresepkan antibiotik. Selain keparahan
kondisi, terdapat juga beberapa pertimbangan lain sebelum akhirnya pasien diberikan
antibiotic seperti Infeksi yang diderita adalah infeksi menular, terasa mengganggu dan
diduga membutuhkan waktu lama untuk sembuh dengan sendirinya dan terdapat risiko
tinggi menyebabkan komplikasi.

Penggunaan antibiotik harus dengan anjuran dokter. Dokter akan menyesuaikan dosis
dengan kondisi pasien, memberitahukan hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dan
saat menggunakan obat, serta efek samping yang dapat terjadi atas penggunaan
antibiotik. Hindari penggunaan antibiotik tanpa anjuran dokter terutama pada Ibu hamil
dan menyusui, tengah dalam pengobatan lain, memiliki riwayat alergi
antibiotik.Antibiotik juga dapat diberikan sebagai langkah pencegahan infeksi bakteri
atau dalam dunia medis dikenal sebagai profilaksis. Orang-orang yang diberikan
antibiotik untuk profilaksis adalah orang yang memiliki risiko tinggi mengalami infeksi
bakteri, seperti ketika orang tersebut menjalani operasi glaukoma atau operasi
penggantian sendi.

Jenis-jenis Antibiotik

Antibiotik terbagi menjadi beberapa jenis, dan masing-masing digunakan untuk mengatasi
kondisi yang berbeda. Jenis-jenis antibiotik meliputi:

1. Penisilin

Penisilin digunakan untuk banyak kondisi akibat adanya infeksi bakteri, beberapa di
antaranya adalah infeksi Streptococcus, meningitis, gonore, faringitis, dan juga untuk
pencegahan endocarditis. Terutama pada penderita atau memiliki riwayat gangguan ginjal,
akan lebih baik penggunaan penisilin melalui anjuran dan pengawasan dokter. Penisilin
tersedia dalam berbagai bentuk, seperti kaplet, sirop kering, dan suntikan. Masing-masing
bentuk obat dapat digunakan untuk kondisi yang berbeda. Baca keterangan yang ada di
kemasan dan konsultasikan penggunaan obat dengan dokter.

Berikut adalah jenis-jenis antibiotik penisilin:

 Amoxicillin
 Ampicillin
 Oxacillin
 Penicillin G

 Klasifikasi penisilin :
Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi, mekanisme kerja,
farmakologi, dan karakterisktik imunologis dengan sefalosforin, monobaktam,
karbapenem, dan penghambat beta-laktamase. Semua obat tersebut merupakan
senyawa beta laktam yang dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam
beranggota empat yang unik (Katzung, 2012). Penisilin mempunyai mekanisme kerja
dengan cara mempengaruhi langkah akhir sintesis dinding sel bakteri (transpepetidase
atau ikatan silang), sehingga membran kurang stabil secara osmotik. Lisis sel dapat
terjadi, sehingga penisilin disebut bakterisida. Keberhasilan penisilin menyebabkan
kematian sel berkaitan dengan ukurannya, hanya defektif terhadap organisme yang
tumbuh secara cepat dan mensintesis peptidoglikan dinding sel (Mycek et al., 2001).
 Farmakokinetik penisilin :
ABSORPSI.
Penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2). Cairan lambung dengan pH 4
tidak terlalu merusak penisilin. Bila dibandingkan dengan dosis oral terhadap IM,
maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis penisilin G oral haruslah 4
sampai 5 kali lebih besar daripada dosis IM. Oleh karena itu penisilin G tidak
dianjurkan untuk diberikan oral. Larutan garam Na-penisilin G 300.000 IU.

DISTRIBUSI.
Penisilin G didistribusi luas dalam tubuh. Kadar obat yang memadai dapat tercapai
dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe dan semen, tetapi dalam CSS sukar dicapai. Bila
meningen dalam keadaan normal, sukar sekali dicapai kadar 0,5 IU/mL dalam CSS walaupun kadar
plasmanya 50 IU/mL. Adanya radang meningen lebih memudahkan penetrasi penisilin G ke
CSS tetapi tercapai tidaknya kadar efektif tetap sukar diramalkan. Pemberian
intratekal jarang dikerjakan karena risiko yang lebih tinggi dan efektivitasnya tidak
lebih memuaskan.

BIOTRANSFORMASI DAN EKSKRESI.


Biotransformasi penisilin umumnya dilakukan oleh mikroba berdasarkan pengaruh
enzim penisilinase dan amidase. Proses biotransformasi oleh hospes tidak bermakna.
Akibat pengaruh penisilinase terjadi pemecahan cincin betalaktam, dengan
kehilangan seluruh aktivitas antimikroba. Amidase memecah rantai samping, dengan
akibat penurunan potensi antimikroba

 Indikasi
Dosis untuk pemberian secara oral untuk Fenoksimetilpenisilin (Penisilin V) (tablet,
tablet salut selaput, sirup kering)
 Endokarditis bakterial, Pada pasien dengan penyakit jantung kongenital atau
rematik atau penyakit katup jantung lainnya; Profilaksis
o Dosis dewasa: 2 g 1 jam sebelum prosedur dan kemudian 1 g 6 jam kemudian
o Dosis anak 12 tahun dan lebih tua, 27 kg atau lebih: 2 g 1 jam sebelum
prosedur dan kemudian 1 g 6 jam kemudian
o Dosis anak 12 tahun dan lebih tua, kurang dari 27 kg: 1 g 1 jam sebelum
prosedur dan kemudian 500 mg 6 jam kemudian.

 Kontraindikasi penisilin :

Penisilin sebaiknya tidak diberikan kepada Hipersensitivitas terhadap penisilin.

2. Sefalosporin

Sefalosforin tersedia dalam bentuk suntik, tablet, dan sirop kering. Konsultasikan
dengan dokter terkait cara penggunaan obat, karena beda bentuk obat dapat berbeda
pula kondisi yang ditangani. Beberapa kondisi yang diobati menggunakan
sefalosporin, di antaranya adalah infeksi tulang, otitis media, infeksi kulit, dan infeksi
saluran kemih. Obat ini berpotensi menimbulkan efek samping berupa sakit kepala,
nyeri pada dada, bahkan syok. Penggunaan sefalosporin harus dengan anjuran dan
pengawasan dokter.

Jenis-jenis sefalosporin meliputi:

 Cefadroxil
 Cefuroxime
 Cefixime
 Cefotaxim
 Cefotiam
 Cefepime
 Ceftarolin

 Klasifikasi sefalosporin :

Sefalosporin adalah antibiotik beta-laktam yang berkaitan erat dengan penislin


secara struktur dan fungsional. Kebanyakan sefalosporin dihasilkan secara
semisintetik dengan pengikatan kimia pada rantai samping asam 7. Sefalosporin dan
sefamisin mempunyai mekanisme kerja sama dengan penislin dan dipengarungi oleh
mekanisme resistensi yang sama, tetapi obat−obat tersebut lebih cenderung menjadi
lebih resisten dibandingkan penislin terhadap beta-laktam (Mycek et al, 2001).
Sefotaksim termasuk golongan sefalosporin generasi III. Golongan ini diindikasikan
pada pasien dengan infeksi traktus respiratorius bawah, infeksi kulit atau struktur
kulit, infeksi tulang dan sendi, infeksi intra-abdomen, dan infeksi traktus
genitourinarius.Seftriakson diindikasikan pada pasien dengan infeksi serius
disebabkan oleh bakteri yang sensitif termasuk septikemia, pneumonia, dan
meningitis, profilaksis pada pembedahan profilaksis meningitis meningokokal,
gonore. Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap
sefalosporin, porfiria, neonatus dengan ikterus, hipoalbuminemia, asidosis atau
gangguan pengikatan bilirubin.

 Farmakokinetik sefalosporin :

Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2 golongan. Sefaleksin,


sefradin, sefaklor dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui
saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan
sefapirin umumnya diberikan secara intravena karena menimbulkan iritasi pada
pemberian intramuskular. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya
moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim dan seftriakson mencapai kadar yang tinggi
dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis
purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi
dalam cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar
sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai
vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon. Kebanyakan
sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian
besar diekskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya sebaiknya disesuaikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

 Farmakodinamik sefalosporin :
o Sefalosporin merupakan antibiotic yang bersifat bakterisidal = menghambat
sintesis dinding sel bakteri ,yang menyebabkan lisisnya bakteri pathogen.
o Untuk mencapai efek tersebut ,antibiotic harus melewati dinding sel bakteri
dan berikatan dengan penicillin binding proteins (PBPs) ->berupa enzim
(transpeptidase) yang termasuk dalam reaksi silang polimer peptidoglikans.
 Indikasi sefalosporin :

Sefalosporin merupakan antibiotik spektrum luas yang digunakan untuk terapi


septikemia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran empedu, peritonitis, dan infeksi
saluran urin. Aktivitas farmakologi dari sefalosporin sama dengan penisilin,
diekskresi sebagian besar melalui ginjal. Kemampuan sefalosporin melintas sawar
otak sangat rendah kecuali pada kondisi inflamasi; sefotaksim merupakan
sefalosporin yang baik untuk infeksi sistem saraf pusat (misalnya meningitis). Efek
samping utama dari sefalosporin adalah hipersensitifitas dan sekitar 10% dari pasien
sensitif terhadap penisilin juga akan alergi terhadap sefalosporin.

 Kontraindikasi sefalosporin :

Hipersensitivitas pada antibiotik sefalosporin atau golongan betalaktam lainnya.


Sebelum penggunaan antibiotik sefalosporin, terlebih dahulu dilakukan skin test.

Kontraindikasi pada pasien yang memiliki riwayat hipersensitif terhadap mereka.


Karena mungkin ada reaktivitas silang, gunakan sefalosporin hati-hati pada pasien
yang didokumentasikan hipersensitif terhadap antibiotik beta-laktam lain (misalnya,
penisilin, cefamycins, carbapenems). Antibiotik oral sistemik tidak boleh diberikan
pada pasien dengan septikemia, syok atau penyakit berat lainnya sebagai penyerapan
obat dari saluran pencernaan mungkin jauh ditunda atau berkurang. Rute parenteral
(sebaiknya IV) harus digunakan untuk kasus ini.
3. Aminoglikosida

Aminoglikosida adalah obat yang biasa digunakan untuk mengatasi banyak penyakit
infeksi bakteri, seperti otitis eksterna, infeksi kulit, dan peritonitis. Penggunaan
aminoglikosida harus dengan anjuran serta pengawasan dokter, karena obat ini
berpotensi menimbulkan efek samping berupa gangguan kesadaran.Aminoglikosida
tersedia dalam banyak bentuk, di antaranya adalah salep, tetes mata, dan suntik.
Masing-masing bentuk obat dapat diresepkan untuk kondisi yang berbeda. Sebelum
menggunakan obat, pasien disarankan untuk membaca keterangan cara penggunaan
yang ada di kemasan obat.

Jenis-jenis aminoglikosida meliputi:

 Paromomycin
 Tobramycin
 Gentamicin
 Amikacin
 Kanamycin
 Neomycin

 Klasifikasi aminoglikosida :

Aminoglikosisda dihasilkan oleh jenis−jenis fungi Streptomyces dan


Micromanospora semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau
tiga gula amino di dalam molekulnya yang saling terikat secara glukosidis. Dengan
adanya gugusan-amino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam sulfatnya yang
digunakan dalam terapi mudah larut dalam air (Tjay & Rahardja, 2010).
Spektrum aktivitas obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram negatif. Obat
ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada ginjal dan
pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut. Efek samping yang
ditumbulkan adalah toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular),
blokade neuromuskular lebih jarang (Kemenkes. 2011).
Gentamisin termasuk golongan Aminoglikosida. Gentamisin bersifat bakterisid yang
aktif terutama terhadap gram negatif termasuk Pseudomonas aerogenosa, Proteus
serratia. Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan pneumonia, kolesistisis,
peritonitis, septikemia, pyelo nefritis, infeksi kulit, inflamasi pada tulang panggul,
endokarditis, meningitis, listeriosis, brucellosis, pes, pencegahan infeksi setelah
pembedahan.

 Farmakodinamika dan Farmakokinetika Aminoglikosida :

Sifat farmakodinamik dan farmakokinetik aminoglikosida tertentu penting untuk


penerapan klinisnya. Efek paska antibiotik (PAE) dan konsentrasi yang bergantung
pada konsentrasi dari aminoglikosida memungkinkan keampuhan saat diberikan pada
interval diperpanjang untuk infeksi tertentu, dan efek sinergis dengan agen aktif
dinding sel telah menyebabkan penggunaan aminoglikosida yang sering
dikombinasikan dengan agen ini. untuk infeksi serius Keterbatasan dalam distribusi
aminoglikosida membatasi penggunaannya pada infeksi di tempat anatomis tertentu,
karena penetrasi yang buruk dicapai di CSF, sistem empedu, dan sekresi bronkial.

 Indikasi

 Kegunaan antibiotik aminoglikosida adalah untuk pengobatan penyakit yang


disebabkan oleh infeksi bakteri aerob gram negatif, misalnya Pseudomonas,
Acinetobacter, dan Enterobacter.
 Antibiotik golongan ini, misalnya streptomycin berguna untuk pengobatan penyakit
TBC meskipun saat ini penggunaanya untuk ini relatif jarang karena alasan toksisitas
dan ketidaknyaman saat pemberian.
 Secara umum antibiotik ini digunakan untuk terapi infeksi serius pada saluran
pencernaan, infeksi saluran kemih, dan infeksi pada saluran pernafasan.

 Kontraindikasi

 Antibiotik golongan aminoglikosida sebaiknya tidak diberikan pada pasien miastenia


gravis karena dapat memperburuk kondisi pasien tersebut.
 Pemberian antibiotik aminoglikosida pada pasien penderita penyakit mitokondria
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan terjemahan mtDNA.
 Jangan memberikan antibiotik golongan ini pada penderita gangguan pendengaran,
gangguan organ jantung dan ginjal.
4. Tetrasiklin

Tetrasiklin tersedia dalam berbagai macam bentuk obat, yakni salep, salep mata,
kapsul, dan suntik. Tetrasiklin digunakan untuk mengobati berbagai macam kondisi
yang muncul akibat adanya infeksi bakteri. Beberapa di antaranya adalah sifilis,
anthrax, tifus, brucellosis, dan jerawat. Tetrasiklin tertentu tidak dapat digunakan
pada anak usia di bawah 12 tahun. Jangan menggunakan tetrasiklin tanpa anjuran
dokter.

Jenis-jenis tetrasiklin meliputi:

 Doxycycline
 Minocycline
 Tetracycline
 Oxytetracycline
 Tigecycline

 Klasifikasi tetrasiklin :

Tetrasiklin adalah suatu grup senyawa yang terdiri dari 4 cincin yang berfungsi
dengan suatu sistem ikatan ganda konjugasi. Perbedaannya yang kecil yaitu dalam
efektivitas klinik menunjukan variasi farmakokinetik secara individual akibat
subsitusi pada cincin−cincin tersebut. Doksisiklin Doksisiklin merupakan antibiotik
golongan tetrasiklin dan mempunyai spektrum luas. Efektif pada kondisi yang
disebabkan oleh Chlamydia sp, Riketsia sp, Brucella sp dan Spirochaete, Borrelia
burgdorfer (Lyme disease). Merupakan golongan tetrasiklin yang paling disukai
karena mempunyai profil farmakokinetik yang lebih baik dibandingkan dengan
tetrasiklin.

 Farmakokinetik tetrasiklin :

Absorpsi
Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam salura cerna. Doksisiklin dan minosiklin
iserap lebih dari 90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus
halus. Adanya makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali minosiklin
dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi dan
pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar
diserap seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya
terdapat dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau 2
jam sesudah makan.

Distribusi
Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang
bervariasi. Dalam cairan cerebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-
20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya
meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat
golongan ini ditimbun di hati, limpa dan sumssum tulang serta di sentin dan email
gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri dan terdapat
dalam ASI dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya,
doksisiklin dan minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih baik.

Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan melalui
empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin diekskresi
melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu
mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke
dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih
terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi
obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami
kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.

 Farmakodinamik tetrasiklin :
Tetrasiklin bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerjanya adalah dengan mengikatkan
diri pada subunit ribosom 30S. Kemudian, mencegah akses aminoacyl-tRNA di lokasi
akseptor (A) pada kompleks mRNA-ribosome sehingga menghambat sintesis protein
bakteri. Tetrasiklin juga mengikatkan diri secara reversibel pada subunit ribosom 50S
dan juga mengganggu membran sitoplasmik bakteri sehingga terjadi kebocoran
intraseluler.
Tetrasiklin adalah antibiotik spektrum luas yang dapat digunakan dalam tata laksana
infeksi oleh Chlamydiacease, Mycoplasma spp., Rickettsia spp., spirosera, berbagai
bakteri patogen gram negatif dan positif, serta sejumlah protozoa
 Indikasi
Indikasi tetrasiklin adalah sebagai antibiotik spektrum luas untuk infeksi bakteri yang
sensitif terhadap obat , misalnya pada acne, sifilis, gonorrhea, amebiasis, kolera, dan
brucellosis.
 Kontraindikasi tetrasiklin :

Kontraindikasi tetrasiklin adalah pada individu dengan hipersensitivitas terhadap


golongan tetrasiklin. Tetrasiklin juga tidak dapat digunakan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal berat atau pasien yang menyusui. Penggunaan tetrasiklin
berbarengan dengan methoxyflurane, vitamin A, dan retinoid juga
dikontraindikasikan.

5. Makrolid

Beberapa kondisi yang diobati menggunakan antibiotik makrolid adalah bronkitis,


servisitis, penyakit Lyme, pemfigus, dan sinusitis. Makrolid sendiri tersedia dalam
banyak bentuk, yakni tablet, kaplet, sirop kering, dan suntik. Beberapa jenis makrolid
tidak dapat digunakan bersamaan dengan obat seperti cisapride. Dianjurkan untuk
berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum menggunakan makrolid atau
mengombinasikannya dengan obat lain.

Jenis-jenis makrolid meliputi:

 Erythromycin
 Azithromycin
 Clarithromycin

 Klasifikasi makrolid :

Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat


beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob
resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela.
Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H. influenzae, tapi azitromisin
mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. Pylori (Kemenkes,
2011). Makrolida mengikat secara ireversible pada tempat subunit 50S ribosom
bakteri, sehingga menghambat langkah translokasi sintesisi protein (Mycek et al.,
2001).
Eritromisin Efektif terhadap organisme yang sama seperti penisilin, karena itu obat ini
digunakan pada penderita yang alergi terhadap penisilin (Mycek et al., 2001).
Diindikasikan untuk pasien hipersensitif terhadap penisilin, Enteritis campylobacter,
difteri.

 Farmakokinetik makrolid :
1) Pemberian: basa erytromycin dihancurkan oleh asam lambung, sehingga harus
diberikan dalam bentuk tablet berselaput enterik atau berbentuk antibiotik yang
diesterifikasi. Semua diabsorpsi secara adekuat pada pemberian oral. Clarithromycin,
azithromycin dan telithromycin bersifat stabil terhadap asam lambung dan mudah
diabsorpsi.

2) Distribusi: erythromycin didistribusikan secara baik hingga ke seluruh cairan


tubuh, kecuali CSF. Obat ini merupakan antibiotik yang berdifusi ke dalam cairan
prostatik dan memiliki karakteristik akumulasi yang unik dalam makrofag. Keempat
obat ini terkonsentrasi dalam hati. Inflamasi membuat penetrasi dalam jaringan lebih
besar. Secara serupa, clarythromycin, azithromycin, dan telithromycin di distribusikan
secara luas dalam jaringan. Kadar azitromycin dalam serum adalah rendah. Obat
terkonsentrasi dalam neutrofil, makrofag, dan fibroblas. Azithromycin mempunyai
waktu paruh yang paling lama dan volume distribusi yang paling besar diantara
keempat obat.

3) Metabolisme: erithromycin dan telithromycin dimetabolisme secara ekstensif dan


diketahui menghambat oksidasi sejumlah obat melalui interaksinya sengan sistem
sitokrom P450. Gangguan terhadap metabolisme obat, seperti theophyllin dan
carbamazepine, pernah digunakan dalam penggunaan clarithromyccin.
Clarythromycin dioksidasi menjadi derivat 14-hidroksi yang mempertahankan
aktivitas antibiotika.

4) Ekskresi: erithromycin dan azithromycin terutama terkonsentrasi dan diekskresi


dalam bentuk aktif dalam empedu. Reabsorpsi parsial terjadi melalui sirkulasi
enterohepatik. Metabolit inaktif diekskresikan dalam urine. Sebaliknya,
clarithromycin dan metabolitnya dieliminasi oleh ginjal dan juga hati, dan dianjurkan
agar dosis obat ini disesuaikan pada pasien dengan fungsi ginjal yang menurun

Farmakodinamik antibiotik makrolida Erythromycin menekan sintesis protein bakteri.


Mulai terjadi preparat oral adalah 1 jam. Waktu utuk mencapai puncak adalah 4 jam
dan lama kerjanya adalah 6 jam.

 Indikasi makrolida :

Infeksi Mycoplasma pneumonia, penyakit Legionnaire, Infeksi Klamidia, Difteri,


Infeksi streptokokus, Infeksi stapilokokus8, Infeksi campylobacter, tetanus, sifilis,
gonore, pengunaan profilaksis, pertusis.

 Kontraindikasi makrolida:

Hipersensitivitas terhadap Clarithromycin,Eritromisin atau antibiotic makrolida


lainnya.
6. Quinolone

Quinolone memiliki bentuk yang berbeda, dan dengan indikasi yang berbeda. Bentuk
obat ini, di antaranya adalah tablet, suntik, dan kaplet.

Quinolone digunakan untuk mengatasi banyak kondisi yang disebabkan oleh infeksi
bakteri. Beberapa di antaranya adalah infeksi tulang, cystitis, servisitis, dan infeksi
kulit. Penggunaan quinolone dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan
pada sistem saraf pusat. Maka dari itu, jangan gunakan obat ini tanpa anjuran dokter.

Jenis-jenis quinolone meliputi:

 Ciprofloxacin

 Levofloxacin

 Moxifloxacin

 Norfloxacin
 Klasifikasi quinolone :
Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae. Golongan
fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin, moksifloksasin,
pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi
yang disebabkan oleh Gonokokus, Shigella sp, E. coli, Salmonella sp, Haemophilus
sp, Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P. Aeruginosa (Kemenkes,
2011).
 Indikasi kuinolon :
Gastroenteritis termasuk kolera ,shigelosis,diare turis, salmonella ,kankroid, penyakit
radang panggul ,penyakit legionela,meningitis, infeksi saluran napas, infeksi kulit dan
antraks.
 Kontraindikasi kuinolon :
Riwayat gangguan tendon berhubungan dengan penggunaan kuinolon.
DAFTAR PUSTAKA

Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C., 2001, Farmakologi Ulasan


Bergambar 2nd ed. H. Hartanto, ed., Jakarta, Widya Medika.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K.. (2010). Obat-Obat Penting, Elex Media
Komputindo, Jakarta.

Kemenkes RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.


Jakarta: Direktorat Bina Gizi

Agoes, A., 2010, Tanaman Obat Indonesia, Edisi 3, ed. A. Suslia, Jakarta,
Penerbit Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai