Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kehidupan bermasyarakat di Lampung mengalami krisis yang amat
memilukan menjelang pergantian abad 21, kondisi tersebut tidak berbeda dengan
beberapa daerah yang disebutkan diatas. Berbagai pihak telah memberi analisis
masalah kerusuhan sosial dalam berbagai perspektif, misalnya analisis yang
mengaitkan kerusuhan sebagai bagian dari rencana investasi usaha pembukaan
lahan untuk perkebunan dengan memanfaatkan dinamika sosial-politik lokal.
Konflik horisontal mengalami tahap pengkondisian sebagai wilayah tidak aman,
karena itu menjadi alasan mendasar untuk menggelar proyek pengamanan besar
oleh militer.
Kesalahan persepsi kultur subyektif dalam menyikapi keragaman identitas
etnik, budaya, dan agama dalam kehidupan bermasyarakat di Provinsi Lampung
tercermin dalam kasus kerusuhan sosial yang terjadi di Kabupaten Lampung
Selatan pada 27 Oktober 2012 sampai dengan 29 Oktober 2012 yang melibatkan
Etnik Lampung (etnik pribumi/ mayoritas beragama Islam) dan Etnik Bali
(pendatang/ mayoritas beragama Hindu) dipicu persoalan sepele yang tidak
terselesaikan secara hukum adat istiadat yang berlaku. Konflik bermula dari
peristiwa kecelakaan sepeda motor yang melibatkan pemuda dari Desa Balinuraga
Kecamatan Way Panji (mayoritas Etnik Bali) dan pemudi dari Desa Agom
Kecamatan Kalianda (mayoritas Etnik Lampung). Kedua desa tersebut masuk
dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Selatan, secara geografis letak
keduanya tidak terlalu berjauhan, jarak kedua desa hanya sekitar lima kilo meter.
Peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut kemudian berkembang menjadi Isu
SARA yang tidak hanya melibatkan kedua desa tersebut, namun melibatkan
banyak desa dari kedua etnik yang ada, Etnik Lampung dan Etnik Bali. Konflik
bermula pada tanggal 27 Oktober 2012, kemudian berlanjut pada hari berikutnya,
dan memuncak pada tanggal 29 Oktober 2012. Peristiwa penyerbuan dan bentrok
berdarah oleh ribuan warga Desa Agom serta desa-desa sekitarnya yang
berpenduduk Etnik Lampung terhadap warga Desa Balinuraga (Etnik Bali)
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 14 orang tewas, puluhan orang
luka-luka, 166 unit rumah warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno dibakar massa,
27 unit rumah mengalami rusak berat, sebelas unit sepeda motor dibakar, dan dua
gedung sekolah juga ikut dibakar massa. Selain itu satu unit mobil Isuzu Panther
milik Dit Shabara Polda Lampung, satu unit mobil Honda CRV, dan Strada juga
ikut dirusak massa, serta ribuan orang dari Desa Balinuraga harus di evakuasi
(http://dutaonline.com/korban-lampung-14-tewas-bentrok-laindi3daerah/downloa
ad.04/01/2013).
Berdasarkan paparan di atas, kekerasan antar etnik di Lampung Selatan yang
terjadi pada tanggal 27 Oktober 2012 sampai dengan 29 Oktober 2012 bukanlah
kejadian pertama namun merupakan rangkaian dari konflik-konflik sebelumnya.
Dalam tiga tahun terakhir, yaitu periode Januari 2010 sampai Desember 2012
tercatat lima kali kerusuhan besar berlangsung di daerah ini yang melibatkan
etnik-etnik yang ada di dalamnya. Konflik tersebut yaitu: 1) pembakaran Pasar
Probolinggo di Lampung Timur oleh Etnik Bali pada tahun 2010, 2) bentrokan
antara Etnik Jawa dan Bali melawan Etnik Lampung pada 29 Desember 2010 di
Lampung Tengah yang berawal dari pencurian ayam, 3) bentrokan antara Etnik
Jawa melawan Etnik Lampung pada September 2011 di Sidomulyo Lampung
Selatan yang dikarenakan sengketa pengelolaan lahan parkir, 4) bentrokan antara
Etnik Bali melawan Etnik Lampung pada Januari 2012 disusul dengan bentrokan
kedua antara Etnik Bali melawan Etnik Lampung di Sidomulyo Lampung Selatan
pada Oktober 2012, 5) bentrokan antara Etnik Jawa melawan Etnik Lampung di
Lampung Tengah pada November 2012. Selain konflik besar tersebut, di
Lampung juga sering terjadi konflik-konflik kecil antar etnik, namun biasanya
masih dapat diredam oleh tokoh-tokoh yang ada, sehingga tidak membesar
(http://www.lintasberita.web.id/perang-etnik-di-lampung-sebuah-dendam-
lama/download.20/01/2013).

BAB II
PEMBAHASAN
Masyarakat Etnik Bali (Balinuraga) dan masyarakat Etnik Lampung
(Agom) yang menjadi pelaku sekaligus korban konflik diliputi kebingungan,
perasaan dilematis, sekaligus kemarahan selama konflik berlangsung. Mereka
menganggap konflik merupakan hal yang biasa, namun pengalaman-pengalaman
dari konflik yang sebelumnya terjadi belum memberikan pelajaran yang berarti
untuk semua pihak yang terlibat. Konflik yang berulang-ulang terlihat
sepertiarena balas dendam antara etnik-etnik yang terlibat. Penyelesaian masalah
dengan cara kekerasan, seolah olah menjadi sebuah keharusan.
Fakta-fakta yang ditemukan menyangkut Akar Penyebab Konflik, adalah
sebagai berikut:
1. Faktor penyebab utama tejadinya konflik antara Etnik Bali (Balinuraga)
dengan Etnik Lampung (Agom) disebabkan oleh perilaku warga Desa
Balinuraga dalam hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung
perasaan dan tidak sesuai dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik
Lampung).

2. Peristiwa yang dianggap memicu konflik antara etnik Bali (Balinuraga)


dengan Etnik Lampung (Agom) adalah peristiwa kecelakaan sepeda motor
yang melibatkan pemuda dari Etnik Bali (Balinuraga) dengan gadis dari
Etnik Lampung (Desa Agom dan Desa Negeri Pandan) yang diwarnai
dengan pelecehan seksual terhadap korban. Pelecehan seksual tersebut
menimbulkan kemarahan pada Etnik Lampung.

3. Faktor yang memobilisasi massa sehingga terlibat dalam konflik, yaitu:

a) Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Etnik


Balinuraga dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung dan sekitar Desa
Balinuraga.

b) Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari Etnik Lampung, karena
banyak tanah penduduk milik pribumi yang beralih tangan kepada warga
Desa Balinuraga melalui jerat hutang.
c) Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang tidak pernah tuntas
menyentuh sampai akar permasalahannya. Penyelesaian tampak hanya
terselesaikan di permukaan saja dan di tataran elit tokoh kedua etnik,
namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat ditataran lapangan yang
langsung bersentuhan dengan konflik, menjadi pelaku konflik, serta turut
menjadi korban yang dirugikan dari konflik yang ada.

Konflik antara Etnik Bali (Balinuraga) dengan Etnik Lampung (Agom)


tidak terjadi secara tiba-tiba, rentetan peristiwa konflik sebelumnya yaitu Konflik
di Marga Catur dan Konflik di Napal menjadi jalan pembuka dari konflik ini.
Konflik Balinuraga merupakan puncak gunung es dari kompetisi superioritas
diantara keduanya. Dikarenakan jika kita melihat kronologis kejadian konflik
antara Etnik Balinuraga dan Etnik Lampung, pada tanggal 27 sampai dengan 29
Oktober 2012, konflik ini hanya dipicu oleh permasalahan sepele yang melibatkan
pemuda-pemudi dari kedua etnik yang ada. Konflik berusaha dicegah melalui
penyelesaian secara kekeluargaan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dari desa yang
terlibat, sejak permasalahan pemuda-pemudi dari kedua etnik baru muncul
kepermukaan sampai sekitar tengah malam, tanggal 27 Oktober 2012 yang tidak
menghasilkan kata sepakat.
Kunci untuk melihat konflik ini yaitu adanya fakta bahwa mobilisasi massa
berlangsung sangat cepat, secara solidaritas, dan tanpa digerakan. Dalam hitungan
jam saja, pada malam tanggal 27 Oktober 2012 massa yang berkumpul menunggu
untuk masuk ke Desa Balinuraga sudah ada lebih dari dua ribu orang yang berasal
dari berbagai desa, tidak hanya dari desa Etnik Lampung yang terlibat langsung,
yaitu Desa Agom dan Desa Balinuraga. Serta alasan yang banyak
dikemukakandari etnik Lampung mengenai persoalan harga diri yang menyangkut
self-esteem dan streotype negative terhadap etnik Bali yang suka merusak,
memicu konflik, menyelesaikan permasalahan dengan jalan kekerasan, serta
dominasi ekonomi yang menggeser etnik pribumi. Sehingga muncul reaksi
pembelaan untuk mempertahankan superioritas etnik pribumi.
Aparat pemerintahan dan keamanan, berdasarkan kronologis fakta yang ada
sebenarnya sudah menjalankan perannya sesuai fungsinya. Fungsi pencegahan/
peacekeeping sejak konflik terjadi sudah dilakukan oleh aparat desa maupun
aparat keamanan. Aparat Desa Balinuraga, Agom, dan desa Negeri Pandan
sudahmelakukan negoisasi untuk mencari penyelesaian permasalahan secara
kekeluargaan. Aparat Desa Agom juga sudah berusaha menahan massa untuk
tidak melakukan penyerangan. Pencegahan tersebut kemudian dilanjutkan
bersama aparat kepolisian beserta Kepala Desa Agom dengan menyetop massa
yang sedang bergerak dari Desa Agom menuju ke Desa Balinuraga di Pasar Patok.
Namun dikarenakan jumlah aparat kalah banyak dibandingkan massa Etnik
Lampung, massa berhasil sampai ke Desa Balinuraga, kemudian terjadi konflik
kekerasan pertama antara Etnik Lampung dan Etnik Bali (Balinuraga) yang
mengakibatkan satu kendaraan roda dua dibakar dan beberapa orang mengalami
luka-luka.
Peristiwa pada hari kedua, Minggu, 28 Oktober 2012 tidak luput juga dari
pencegahan aparat. Aparat telah memblokade massa dengan melakukan penjagaan
dengan memasang kawat berduri serta menerjunkan ribuan aparat untuk
mencegah massa masuk ke Desa Balinuraga di wilayah perbatasan Desa
Balinuraga dan Desa Sidoreno. Namun konflik ternyata tidak dapat dicegah,
bentrokan antara kedua etnik tetap terjadi. Pada hari Minggu itu jatuh korban tiga
orang meninggal dunia di pihak Etnik Lampung. Peristiwa ini memicu konflik
lanjutan dengan jumlah massa dari Etnik Lampung yang lebih banyak.
Hari ketiga, Senin, 29 Oktober 2012, penjagaan oleh aparat untuk
mencegah konflik tidak berkurang dan justru bertambah dengan hadirnya aparat
dari luar Polda Lampung, dalam hal ini Polda Banten. Aparat melakukan
pencegahan dengan tetap melakukan blokade massa dengan memasang kawat
berduri dan menurukan aparat bersenjatakan lengkap diperbatasan Desa
Balinuraga dengan Desa Sidorena untuk mencegah massa agar tidak masuk ke
Desa Balinuraga. Selain itu pencegahan yang dilakukan aparat dengan melakukan
blokade jalan masuk ke Desa Agom di Simpang Tiga Way Arong. Blokade jalan
dengan memasang kawat berduri, menerjunkan aparat untuk memblokade jalan
masuk, serta sweeping terhadap segala jenis senjata yang dibawa massa
penyerang. Namun lagi-lagi jumlah massa aparat yang kalah banyak dibandingkan
massa penyerang, membuat aparat memilih mundur untuk menghindari bentrokan,
sehingga massa dari luar dapat bergabung dengan massa yang sudah ada di Desa
Agom.
Ketika massa sudah berhasil masuk, aparat juga masih berusaha mencegah
agar tidak semua massa bisa masuk ke Desa Balinuraga. Konsentrasi aparat yang
terpecah, membuat aparat hanya bisa berusaha menahan massa agar tidak
semuanya masuk. Sementara aparat hanya bisa melihat saja bentrokan langsung
antara Etnik Lampung dengan Etnik Balinuraga di Desa Balinuraga. Ketika
korban sudah banyak berjatuhan, aparat hanya bisa menghimbau massa untuk
menghentikan aksinya.
Setelah kekerasan fisik yang terjadi secara langsung mulai mereda dan
massa mulai meninggalkan Desa Balinuraga, aparat melakukan evakuasi dengan
mengeluarkan Etnik Balinuraga untuk diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN)
di daerah Kemiling, wilayah Kota Bandar Lampung. Tujuan dari mengungsikan
warga Desa Balinuraga adalah agar ada jarak yang cukup jauh untuk kedua etnik
kembali berperang. Setelah itu, aparat pemerintah baik pemerintah pusat,
Pemerintah Provinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, serta
160 berbagai unsur stake holder yang ada, berusaha mempertemukan tokoh dari
kedua etnik untuk duduk dalam satu meja untuk melakukan perundingan damai
(peacemaking). Pada tanggal, 4 November perundingan damai antara kedua etnik
terjadi, dengan ditandatanganinya pernyataan permohonan maaf dari Etnik Bali
kepada Etnik Lampung dan ditandatanganinya surat perjanjian damai antara
keduanya. Proses ini berlanjut dengan Deklarasi Perjanjian Damai yang
disaksikan seluruh masyarakat dari kedua etnik yang ada dan terlibat konflik serta
perwakilan warga desa sekitar yang ada di kabupaten Lampung Selatan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara Etnik Bali (Balinuraga)


dan Etnik Lampung (Agom) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012
disebabkan oleh satu akar penyebab utama dengan beberapa faktor yang
memperkuat. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan antara satu sama lain, yaitu:
1. Akar penyebab utama (primer), yaitu perilaku Etnik Bali (Balinuraga) dalam
hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung perasaan dan tidak sesuai
dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik Lampung).

2. Faktor yang memperkuat (sekunder), yaitu:

a. Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Etnik Bali


(Balinuraga) dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung di sekitar Desa
Balinuraga.

b. Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari Etnik Lampung, karena
banyak tanah penduduk yang beralih tangan kepada warga Desa
Balinuraga melalui jerat hutang.

c. Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang tidak pernah tuntas


menyentuh sampai akar permasalahan konflik. Penyelesaian konflik
tampak hanya terselesaikan di permukaan saja dan ditataran elit tokoh
kedua etnik, namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat di tataran
lapangan yang langsung bersentuhan dengan konflik, menjadi pelaku
konflik, serta turut menjadi korban yang dirugikan dari konflik yang ada.

Pemahaman akan akar penyebab konflik dapat menjadi bahan sosialiasi


tokoh-tokoh adat dan lembaga adat beserta berbagai lembaga sosial masyarakat
dan paguyuban masyarakat yang ada, dalam rangka memberikan penyadaran
kepada masyarakat dan memulihkan mental masyarakat agar dapat memandang
konflik dari sudut pandang yang positif. Resolusi konflik pada setiap individu
yang terlibat dalam konflik dan proses pemaafan timbul saat kondisi kembali
menjadi positif. Kondisi positif ini ditentukan oleh seberapa jauh pemahaman 168
setiap individu tentang akar penyebab timbulnya konflik. Proses memberikan
pemahaman tersebut merupakan bagian dari proses pemulihan pasca konflik. Hal
tersebut sangat menentukan kondisi setiap individu untuk dapat bangkit dari
konflik.

Anda mungkin juga menyukai