Anda di halaman 1dari 105

TUGAS MANDIRI PORTOFOLIO

IKGM V

OLEH
KELAS B

DEPARTEMEN IKGM
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017

1
DAFTAR ISI

BAB I PENGERTIAN UPAYA PELAYANAN KESEHATAN ....................................... 1

BAB II STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN PELAYANAN KESEHATAN GIGI ...... 12

BAB III PERSYARATAN PENDIRIAN PELAYANAN KESEHATAN GIGI ............. 24

BAB IV PENGELOLAAN LOGISTIK ........................................................................... 37

BAB V KERJASAMA DENGAN PIHAK LAIN ............................................................ 44

BAB VI PENETAPAN TARIF ........................................................................................ 52

BAB VII COST EFFECTIVENESS ANALYSIS ................................................................ 60

BAB VIII PENYUSUNAN ANGGARAN....................................................................... 69

BAB IX ANALISIS BREAK EVEN POINT ..................................................................... 79

BAB X PELAYANAN KESEHATAN GIGI DI ERA JKN ............................................ 89

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 101

2
BAB I
PENGERTIAN UPAYA PELAYANAN KESEHATAN

Upaya kesehatan gigi dan mulut adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat dalam
bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Setiap upaya pelayanan
kesehatan gigi ini dilakukan oleh tenaga kerja kesehatan profesional yang dapat
berupa praktek pribadi, klinik dan Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM).

A. Rumah Sakit Gigi dan Mulut

Menurut PerMenKes Nomor 159b/MEN.KES/PER/II/1988, Rumah


Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan
pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga
kesehatan dan penelitian. Berdasarkan bentuk pelayanannya, Rumah Sakit
dapat dibedakan :
- Rumah Sakit Umum
- Rumah Sakit Khusus

Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) tergolong rumah sakit khusus.
Menurut KepMenKes Nomor 1173/MENKES/PER/2004 pada pasal 1
RSGM adalah sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut perorangan untuk pelayanan
pengobatan dan pemulihan tanpa mengabaikan pelayanan peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit yang dilaksanakan melalui pelayanan
rawat jalan, gawat darurat dan pelayanan tindakan medik. Fungsi RSGM
adalah menyelenggarakan :
1. Pelayanan medik gigi dasar, spesialistik dan subspesialistik
2. Pelayanan penunjang; seperti pelayanan kefarmasian,
laboratorium,
radiologi gigi, pelayanan anastesi.
3. Pelayanan rujukan;

3
4. Pelayanan gawat darurat kesehatan gigi dan mulut;
5. Pendidikan;
6. Penelitian dan pengembangan.

RSGM Pendidikan adalah RSGM yang menyelenggarakan


pelayanan kesehatan gigi dan mulut, yang juga digunakan sebagai sarana
proses pembelajaran, pendidikan dan penelitian bagi profesi tenaga
kesehatan kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya, dan terikat melalui
kerjasama dengan fakultas kedokteran gigi. Penyelenggaraan Rumah Sakit
Gigi dan Mulut bertujuan menyediakan sarana untuk meningkatkan mutu
pelayanan, pendidikan, penelitian di bidang kesehatan gigi dan mulut dari
tingkat dasar sampai spesialistik sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
perkembangan IPTEK Kedokteran dan Kedokteran Gigi, serta menjadi
sarana upaya rujukan.

RSGM dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah


Daerah dan atau swasta. Penyelenggaraan RSGM bersifat sosial ekonomi.
RSGM harus berbentuk Badan Hukum, dalam menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan gigi dan mulut harus memiliki prinsip dasar
kemandirian profesi dan kewirausahaan. RSGM harus mempunyai struktur
organisasi dan tata kerja, organisasi yang dimaksud sekurang-kurangnya
meliputi bidang :
a. Pelayanan kesehatan gigi dan mulut
b. Administrasi dan keuangan
c. Pelayanan penunjang
d. Pendidikan
e. Penelitian dan pengembangan
f. Rekam medik dan komite klinik
g. Satuan medik fungsional dan instalasi.

Berdasarkan fungsinya Rumah Sakit Gigi dan Mulut dibedakan


menjadi RSGM Pendidikan dan Non Pendidikan. RSGM Pendidikan harus
menyediakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang meliputi pelayanan

4
medik gigi dasar, spesialistik dan atau subspesialistik. RSGM Pendidikan
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Kebutuhan akan proses pendidikan;
b. Fasilitas dan peralatan fisik untuk pendidikan;
c. Aspek manajemen umum dan mutu pelayanan rumah sakit;
d. Aspek keuangan dan sumber dana; dan
e. Memiliki kerja sama dengan Fakultas Kedokteran Gigi dan
Kolegium Kedokteran Gigi.

Fungsi dan Tipologi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan


Menurut PerMenKes Nomor 159b/MEN.KES/PER/II/1988, pada bab 3
mengenai klasifikasi rumah sakit umum pemerintah terdapat 5 kelas rumah
sakit yang terdiri dari :
a. Kelas A mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
spesialistik dan sub-spesialistik luas.
b. Kelas B-II mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik spesialistik luas dan sub-spesialistik terbatas.
c. Kelas B-I mempunyai mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik spesialistik sekurang-kurangya 11 jenis
spesialistik.
d. Kelas C mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
spesialistik sekurang-kurangnya spesialistik 4 dasar lengkap.
e. Kelas D mempunyai fasilitas dan kemampuan sekurang-
kurangnya pelayanan medik dasar.

Rumah Sakit Kelas A dan B-II dapat berfungsi sebagai Rumah Sakit
Pendidikan. Rumah Sakit Pendidikan sendiri secara umum berfungsi sebagai
pusat pelayanan dan pusat pendidikan, disamping itu dapat juga dijadikan
pusat penelitian dan pengembangan teknologi kedokteran.

Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGMP) tergolong ke


dalam tipologi bangunan pelayanan kesehatan (Health Care), Namun di
dalamnya terdapat unsur bangunan pendidikan atau sekolah. Dua fungsi
utama RSGMP sebagai pusat pelayanan dan pusat pendidikan mengharuskan

5
Rumah Sakit tipe ini mengintegrasikan dua tipologi bangunan kesehatan dan
pendidikan agar menjadi satu bangunan yang senergi sesuai dengan dua
fungsi utama tersebut.

Peraturan MenKes Nomor 1173/MENKES/PER/2004 tentang Rumah


Sakit Gigi dan Mulut menjadi sebuah standar keharusan minimal yang harus
dipenuhi setiap RSGM yang akan dibangun ataupun yang sudah terbangun.
Berikut beberapa tinjauan penting dari isi PerMenKes yang perlu
diperhatikan :

1. Persyaratan sarana dan prasarana bangunan serta peralatan RSGM


a. Ruang Rawat Jalan;
b. Ruang Gawat Darurat;
c. Ruang pemulihan/Recovery room
d. Ruang Operasi;
e. Farmasi dan Bahan Kedokteran Gigi;
f. Laboratorium Klinik;
g. Laboratorium Teknik Gigi;
h. Ruang Sentral Sterilisasi;
i. Radiologi;
j. Ruang Tunggu;
k. Ruang Administrasi;
l. Ruang Toilet; dan Prasarana yang meliputi tenaga listrik,
penyediaan air bersih, instalasi pembuangan limbah, alat
komunikasi, alat pemadam kebakaran dan tempat parkir.

2. Ketentuan persyaratan minimal peralatan RSGM yaitu :


a. Jumlah Dental Unit : 50
b. Jumlah Dental Chair 50 unit
c. Jumlah Tempat Tidur 3 buah
d. Peralatan Medik meliputi :
1) 1 unit Intra Oral Camera
2) 1 unit Dental x-ray
3) 1 unit Panoramic x-ray

6
4) 1 unit Chepalo Metri x-ray
5) 1 unit Autoclave / 7 unit Sterilisator
6) 1 Camera
7) 1 Digital Intra Oral
8) RSGM dapat memiliki peralatan medik khusus lainnya
yaitu 1 unit laser dan 1 radiografi (Radio Visio Graphi).

3. RSGM harus mempunyai tenaga yang meliputi :


a. Tenaga medis kedokteran gigi :
1) Dokter Gigi
2) Dokter Gigi Spesialis yang meliputi:
a) Bedah Mulut;
b) Meratakan Gigi (Orthodonsi);
c) Penguat Gigi (Konservasi);
d) Gigi Tiruan (Prosthodonsi);
e) Kedokteran Gigi Anak (Pedodonsi);
f) Penyangga Gigi (Periodonsi); dan
g) Penyakit Mulut;
a. Dokter/Spesialis lainnya :
1) Dokter dengan pelatihan PPGD
2) Dokter Anestesi
3) Dokter Penyakit Dalam
4) Dokter spesialis anak
b. Tenaga Keperawatan :
1) Perawat Gigi
2) Perawat
c. Tenaga Kefarmasian:
1) Apoteker
2) Analis farmasi
3) Asisten apoteker
d. Tenaga Keteknisisan Medis :
1) Radiografer

7
2) Teknisi Gigi
3) Analis kesehatan
4) Perekam medis
e. Tenaga Non Kesehatan :
1) Administrasi.
2) Kebersihan.

4. Jenis-jenis Komponen Pelayanan RSGM


a. Konsultasi medis;
b. Administrasi rumah sakit;
c. Penunjang Diagnostik;
d. Tindakan Medik Operatif;
e. Tindakan Medik Non Operatif;
f. Radiologi;
g. Farmasi;
h. Ambulans dan jasa rumah sakit
i. Bahan dan alat habis pakai
j. Laboratorium klinik;
k. Laboratorium teknik gigi;
l. Pelayanan untuk pendidikan dan penelitian, bagi RSGM
Pendidikan.
5. Pelayanan penunjang pada Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM)
meliputi :
a. Pelayanan kefarmasian
b. Pelayanan laboratorium yang meliputi laboratorium klinik dan
laboratorium teknik gigi
c. Pelayanan radiologi gigi
d. Pelayanan anastesi.
6. Setiap RSGM dalam memberikan pelayanan mempunyai
kewajiban :
a. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan
RSGM dan standar profesi kedokteran gigi yang ditetapkan

8
b. Memberikan pertolongan pertama kepada pasien gawat
darurat tanpa memungut biaya pelayanan terlebih dahulu
c. Menyelenggarakan pelayanan selama 24 (dua puluh empat)
jam
d. Melaksanakan fungsi rujukan.

RSGM dalam memberikan pelayanan harus menjamin hak-hak pasien


dan setiap tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan wajib
menghormati hak-hak pasien. Setiap tindakan kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan tindakan medik
(informed consent). Setiap tenaga kesehatan di RSGM berhak mendapat
perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. RSGM wajib
membuat dan memelihara rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta wajib melaksanakan pencatatan
dan pelaporan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

B. Klinik

Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan


dan menyediakan pelayanan medis dasar dan atau spesialistik,
diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin
oleh seorang tenaga medis (Permenkes RI No.9, 2014) .
Menurut Peraturan Menteri Republik Indonesia Nomor
028/Menkes/Per/I/2011, klinik berdasarkan pelayanannya dibagi menjadi 2
yaitu:
 Klinik Pratama Klinik yang melayani pelayanan medik dasar.
 Klinik Utama Klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik
spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik.
Klinik gigi menurut peraturan menteri nomor
920/Menkes/Per/XIII/1986 merupakan sarana pelayanan kesehatan gigi dan
mulut yang diberikan kepada masyarakat (Utoyo, 2008). Klinik adalah
sarana atau tempat yang dibangun untuk melakukan pelayanan perawatan
kesehatan pada seluruh masyarakat. Klinik gigi adalah sarana atau tempat
yang dibangun untuk melakukan perawatan gigi pada seluruh masyarakat

9
yang meliputi usaha-usaha pencegahan, pengobatan dan pemulihan (Depkes
RI, 1996). Menurut Utoyo, S. (2008) klinik gigi dibagi menjadi 6 jenis yaitu:
1. Klinik Gigi Orthodonti
Merupakan klinik gigi yang menangani pasien dengan
masalah pertumbuhan, perkembangan, variasi wajah, rahang dan
gigi dan abnormalitas dari hubungan gigi dan wajah serta perawatan
perbaikannya. Secara garis besar ada dua macam alat orthodonti
yang sering disebut dengan bracket atau behel, yaitu alat orthodonti
lepasan dan cekat. Selain beda cara pemakaiannya, kedua alat ini
juga memiliki fungsi yang berbeda. Pada umumnya alat orthodonti
lepasan digunakan pada anak-anak dengan kasus mudah, sedangkan
alat orthodonti cekat digunakan untuk pasien dewasa atau anak-anak
dengan kasus yang lebih sulit atau kompleks (Indriati, 2010).

2. Klinik Gigi Pedodonti


Merupakan klinik gigi yang menangani masalah
pertumbuhan dan perkembangan pada gigi dan mulut pasien anak.
Hal tersebut dibedakan dengan pasien dewasa karena pasien anak
memiliki jenis gigi yang berbeda dengan gigi orang dewasa, dimana
pasien anak masih memiliki gigi susu sedangkan pasien dewasa
memiliki gigi tetap. Pada anak-anak, berada dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan yang memerlukan perhatian
khusus (Fajarrid, 2011).

3. Klinik Gigi Prosthodonti


Merupakan klinik gigi yang menangani penggantian satu
atau beberapa gigi asli dan jaringannya yang hilang dengan gigi
tiruan. Secara umum gigi tiruan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
gigi tiruan lepas dan gigi tiruan cekat (Fajarrid, 2011).

4. Klinik Gigi Bedah Mulut


Merupakan klinik gigi yang menangani pasien yang
membutuhkan tindakan bedah, termasuk disini tindakan cabut gigi
(ekstraksi) sehingga didalam bagian klinik ini ada yang disebut

10
bagian eksodonti. Mulai dari cabut gigi sampai operasi gigi dan
mulut dilakukan di dalam klinik gigi ini (Fajarrid, 2011).

5. Klinik Gigi Konservasi


Merupakan klinik gigi yang menangani perawatan restorasi
gigi (misalnya tambalan gigi, pembuatan mahkota buatan) tiap-tiap
gigi. Terdapat bagian Endodontik yaitu perawatan saluran akar gigi.
Segala upaya yang ditujukan untuk mempertahankan gigi selama
mungkin di dalam mulut, yang salah satunya dengan membuatkan
restorasi pada tiap-tiap gigi yang membutuhkan (Fajarrid, 2011).

6. Klinik Gigi Periodonti


Merupakan klinik gigi yang menangani pasien dengan
perawatan jaringan penyangga gigi, termasuk diantaranya gusi,
tulang rahang, dll. Misalnya bila gusi terlihat gelap dan mudah
berdarah, ini merupakan salah satu tanda adanya penyakit pada gusi
tersebut. Dari pembersihan karang gigi (skalling) sampai operasi
Flap, kuret, dilakukan di klinik gigi ini (Fajarrid, 2011).

C. Praktek Pribadi (Praktik perorangan)

Menurut Pasal 1 ayat (1) UUPK, “Praktik kedokteran adalah


rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dalam
melaksanakan upaya kesehatan”. Tempat praktik dokter disebut sebagai
sarana pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan tersebut
diantaranya. (UURI No. 29 tahun 2004)

Praktik perorangan/praktik mandiri adalah praktik swasta yang


dilakukan oleh dokter, baik umum maupun spesialis. Dokter mempunyai
tempat praktik yang diurusnya sendiri, dan biasanya memiliki jam praktik.
Adakalanya dokter dibantu oleh tenaga administrasi yang mengatur pasien,
kadang juga dibantu oleh perawat, ada juga yang benar-benar sendiri dalam
memberikan pelayanan, sehingga dokter tersebut menangani sendiri semua
prosedur pelayanan kesehatan yang diberikannya. (Ali, 2006)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Permenkes No.


2052/MenKes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik

11
Kedokteran, “Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh dokter terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan”. Pada
penyelenggaraan praktik kedokteran, dokter yang membuka praktik
kedokteran atau layanan kesehatan harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan pemerintah. Kendatinya dokter telah mempunyai Surat Tanda
Registrasi (STR) atau telah resmi menyandang profesi dokter, dokter gigi,
dokter spesialis, dokter gigi spesialis. Setelah mempunyai STR seorang
dokter yang hendak menyelenggarakan praktik kedokteran wajib
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP). Kewajiban mempunyai SIP tertuang
pada Permenkes No. 2052/MenKes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran. (Suryani, 2013)

Dokter praktek pribadi, berdasarkan fatwa fatwa IDI dalam SK


No.315/PB/A.4/88, yang menekankan bahwa praktek profesi kedokteran
harus membuat rekam medis. Peraturan tersebut dipertegas oleh Peraturan
Menteri Kesehatan RI no. 749.a/Menkes/per/XII/1989 tentang rekam
medis. Rekam medis merupakan berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pengobatan, pemeriksaan, tindakan yang
dilakukan tenaga kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu. Keuntungan
dari rekam medis yaitu sebagai alat komunikasi antara tenaga kesehatan
dengan dokter lainya, dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan
pengobatan/perawatan, sebagai bukti tertulis atas semua perkembangan
penyakit serta tindakan ke pasien, melindungi kepentingan hukum pasien,
dan sebagai bahan pertanggung jawaban serta laporan kepada pihak yang
memerlukan masa mendatang (Hanafiah dan Amri, 1999).

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 mengharuskan untuk memasang


papan praktik pada tempat praktik kedokteran masing-masing. Pada pasal
41 ayat (1) yang berbunyi: dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai
surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana
dimaksud dalam pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
Adapun ketentuan dalam membuat papan nama praktik dokter dalam Kode
etik Kedokteran Indonesia yaitu papan praktik maksimum berukuran 60x90
cm, dengan dasar putih dan huruf hitam, mencantumkan nama, jenis

12
spesialis, nomor SIP, waktu praktik, nomor rekomendasi IDI, dan
mengunakan penerangan sewajarnya.

13
BAB II
STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN PELAYANAN KESEHATAN GIGI
(PRAKTEK PRIBADI DAN KLINIK, RSGM)

Studi Kelayakan (Feasibility Study) adalah hasil analisis dan penjelasan


kelayakan dari segala aspek yang akan mendasari pendirian atau pengembangan
suatu Rumah Sakit, terkait dengan penentuan Rencana Kerja Pelayanan Kesehatan
Rumah Sakit yang baru akan dilakukan maupun lanjutan dari yang sudah ada dalam
melakukan rencana pengembangan atau peningkatan kelas dari suatu Rumah Sakit.
Pedoman Studi Kelayakan (Feasibility Study) Rumah Sakit ini dimaksudkan agar
dalam mendirikan atau mengembangkan rumah sakit dapat mendeterminasi fungsi
layanan yang tepat dan terintegrasi sehingga sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan yang diinginkan (health needs), kebudayaan daerah setempat (cultures),
kondisi alam daerah setempat (climate), lahan yang tersedia (;sites) dan kondisi
keuangan manajemen RS (budget). Ruang Lingkup Studi Kelayakan (Feasibility
Study) suatu Rumah Sakit meliputi pembahasan Analisis Lingkungan/ Situasi
Kecenderungan Aspek Internal dan Eksternal, Analisis Permintaan terkait
Kelayakan dari Aspek-aspek yang dapat mempengaruhinya, Analisis Kebutuhan
dan Analisis Keuangan serta Rekomendasi Kelayakan dari Rencana Pendirian atau
Pengembangan Rumah Sakit tersebut (Menkes RI, 2014).

2.1 Praktek Pribadi dan Klinik

2.1.1 Pengertian Praktek Pribadi dan Klinik

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


028/Menkes/Per/I/2011, pengertian klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan
pelayanan medis dasar dan spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis
tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (Menkes RI, 2001).
Klinik gigi menurut peraturan menteri nomor 920/Menkes/Per/XIII/1986
merupakan sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang diberikan kepada
masyarakat (Utoyo, 2008). Klinik gigi adalah sarana atau tempat yang dibangun
untuk melakukan perawatan gigi pada seluruh masyarakat yang meliputi usaha-
usaha pencegahan, pengobatan dan pemulihan (Depkes RI, 1996).

14
2.1.2 Proses Studi Kelayakan Praktek

Studi kelayakan yang diterapkan pada praktek pribadi dokter gigi, di klinik,
dan di rumah sakit gigi dan mulut memiliki perbedaan. Studi kelayakan pendirian
praktek dokter gigi meliputi analisis situasional, kelengkapan proses perijinan,
analisis eksternal internal, analisis kebutuhan dan administrasi.
1. Analisis situasional
Analisis situasi dalam kesehatan masyarakat meliputi proses
menelaah kondisi kesehatan dan perkembangan penduduk di situasi
wilayah tertentu.
a. Gambaran kondisi daerah
b. Ability to pay
c. Willingness to pay
d. Need and demand
e. Desain praktek
f. Konsep kerja ruang praktek
g. Organizing and directing
2. Kelengkapan proses perizinan
Kelengkapan berkas
a. Persyaratan Surat Tanda Registrasi (STR)
b. Surat Rekomendasi Izin Praktek
c. Persyaratan Surat Izin Praktek (SIP)
3. Analisis eksternal internal
Analisis TOWS
a. Ancaman / threat
b. Peluang / opportunity
c. Kelemahan / weaknesses
d. Kekuatan / strength
4. Analisis kebutuhan dan administrasi
Proses administrasi dan finansial diatur dalam sistem informasi
manajemen yang meliputi
a. Rekam medik
b. Catatan tindakan perawatan dan harga perawatan

15
c. Laporan keuangan (catatan pemasukan dan pengeluaran)
d. Administrasi alat dan bahan (laporan alat bahan yang
digunakan)

Sebuah rencana pengembangan investasi dalam rangka peningkatan mutu


layanan kesehatan gigi di klinik seharusnya diawali dengan studi kelayakan
terhadap rencana tersebut. Studi kelayakan penting karena dapat membantu dalam
menentukan apakah proyek tersebut layak untuk dilanjutkan atau dilaksanakan.
Studi kelayakan yang diterapkan di klinik meliputi:
1. Kelayakan Teknis
Penilaian kelayakan teknis dapat dinilai dari dua hal yaitu
ketersediaan teknologi dan ketersediaan tenaga yang
mengoperasionalkan.

a. Ketersediaan teknologi
Ketersediaan teknologi yang dinilai contohnya seperti
komputer dan printer. Penerapan teknologi informasi dalam
bidang kesehatan seringkali mengalami hambatan kultural,
dimana penggunaan teknologi informasi belum dipandang
sebagai suatu hal yang penting.

b. Ketersediaan tenaga
Sistem informasi dapat diterapkan bila tersedia tenaga yang
dapat mengoperasikan sistem tersebut. Ketersediaan tenaga
yang mampu menggunakan komputer maka penerapan sistem
informasi klinik gigi yang menggunakan media komputer tidak
menimbulkan permasalahan dalam pengoperasiannya.
2. Kelayakan Operasional
Kelayakan operasional digunakan untuk mengukur apakah sistem
informasi klinik gigi yasng akan dikembangkan dapat dioperasikan
dengan baik. Penilaian kelayakan operasional meliputi:
a. Kemampuan petugas
Kemampuan petugas dalam mengoperasikan komputer
sangat diperlukan dalam penerapan sistem informasi berbasis

16
komputer. Kemampuan petugas dalam mengoperasikan
komputer pada umumnya tidak melalui pendidikan formal akan
tetapi melalui sistem pendampingan. Sistem pendampingan
dilakukan dengan cara petugas yang lebih mahir mendampingi
petugas yang kurang mahir dalam penggunaan komputer.
Sehingga untuk mengembangkan sistem informasi klinik gigi,
kemampuan petugas dalam menjalankan komputer tidak
menjadi masalah.

b. Kemampuan sistem untuk menghasilkan informasi


Sistem informasi klinik gigi pada saat ini telah dapat
menghasilan informasi keuangan, tenaga layanan serta alat dan
bahan pelayanan namun informasi tersebut tidak dapat diperoleh
secara cepat. Kemampuan sistem yang masih lambat dalam
menghasilkan informasi disebabkan data keuangan, tenaga
pelayanan serta alat bahan pelayanan belum terkomputerisasi
dan penyimpanannya dalam buku maupun formulir yang ditulis
tangan. Sistem informasi klinik gigi yang belum dapat
menghasilkan informasi secara tepat waktu dikarenakan
pencatatan data pelayanan menggunakan tulisan tangan dan
disimpan pada beberapa buku ataupun formulir. Teknik
penulisan dan penyimpanan tersebut menyebabkan kesulitan
dalam pencarian data pelayanan untuk menampilkan informasi
yang dibutuhkan pengguna.

c. Efisiensi sistem
Sebelum terdapat pengembangan pada sistem pencatatan
data, sistem informasi klinik gigi banyak mengalami
pengulangan, penyimpanan data masih terpisah dan belum dapat
direlasikan dan informasi yang dihasilkan belum akurat, relevan
serta membutuhkan waktu yang lama. Hal tersebut menunjukkan
sistem informasi menjadi kurang efisien dalam
pengoperasiannya karena belum menggunakan pendekatan

17
manajemen basis data sehingga kesulitan dalam penggunaan
data maupun informasi.

3. Kelayakan Jadwal
Kelayakan jadwal digunakan untuk menentukan pengembangan
sistem dapat dikembangkan sesuai dengan batas waktu yang telah
ditetapkan.

2.1.3 Contoh Studi Kelayakan Pendirian Praktek Pribadi

Seorang dokter gigi akan mendirikan sebuah praktek pribadi di daerah


sekitarnya. Tahap – tahap yang perlu dilakukan untuk mencapai keinginan dokter
gigi tersebut untuk membuka praktik pribadi adalah:

1. Membuat tujuan dan target dalam pelaksaan praktik pribadi.

2. Melakukan studi kelayakan, meliputi tentang data masyarakat sekitar,


penentuan sumber biaya pelaksanaan praktik maupun model
pembiayaan yang diterapkan,jenis pelayanan yang diberikan, model
praktik yang digunakan, mempersiapkan segala aspek hukum yang
diperlukan dalam pelaksanaan praktik pribadi seperti STR (surat tanda
registrasi) dan SIP (surat ijin praktek).

3. Melakukan analisa lingkungan untuk menjaga kesehatan dan


keselamatan lingkungan kerja selama melakukan praktik, seperti
pengelolaan sampah biasa maupun sampah medis dan pengelolaan
kontrol infeksi.

Mengevaluasi apakah semua aspek yang berhubungan dengan pendirian


praktik pribadi tersebut telah sesuai dengan kode etik kedokteran gigi dan UU
Praktik Kedokteran.

2.2 RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut)

2.2.1 Pengertian RSGM


Tujuan utama pendirian RSGM yaitu sebagai sarana pendidikan bagi
peserta didik tahap profesi dan/ spesialis dan sebagai sarana pelayanan kesehatan
gigi dan mulut bagi masyarakat. Dalam penyelenggaraan pendidikan profesi
kedokteran gigi, para peserta didik dibekali dengan ketrampilan motorik khusus,

18
yang diawali di tahap akademik, pada phantom; yang kemudian di tingkat profesi
dilakukan tindakan perawatan pada berbagai ragam variasi kasus yang tersedia di
sebuah RSGM secara langsung (‘hands on’) pada pasien.

RSGM Sebagai Wahana Pendidikan Profesi Kedokteran Gigi:


a. Adanya pengawasan ketat oleh para pendidik klinik melalui
pelaksanaan chair side teaching. Setiap tindakan pelayanan yang
dilakukan harus mengacu pada standar prosedur operasional di RSGM,
agar keselamatan pasien dapat tetap terjamin
b. Adanya kebutuhan peserta didik terhadap sejumlah besar dental chair
unit sebagai sarana utama untuk melakukan pelayanan rawat jalan
kesehatan gigi mulut. Pelayanan rawat inap umumnya dibutuhkan hanya
untuk kasus one day care serta pra dan pasca tindakan bedah (fraktur
rahang, tumor, trauma, kelainan maksilofasial, dll)
c. Peserta didik perlu dibekali pengetahuan dan pengenalan yang memadai
tentang cedera dan penyakit gigi dan mulut akut, serta stabilisasi (Basic
Life Support /Advance Traumatic Life Support ) yang dilakukan oleh
para dokter/dokter gigi yang sudah mempunyai kualifikasi Pelatihan
Kegawatdaruratan (PGD)
d. Daya tampung serta jumlah sarana prasarana yang dimiliki RSGM
sebagai wahana pendidikan profesi kedokteran gigi harus sesuai dengan
jumlah peserta didik yang akan menjalani proses pendidikan tersebut.
e. Standar fasilitas RSGM yang dimiliki sebuah institusi pendidikan
kedokteran gigi harus sesuai dengan metode pembelajaran klinik yang
digunakan

Berdasarkan standar pendidikan dokter gigi yang dikeluarkan oleh KKI


(Konsil Kedokteran Indonesia) tahun 2006 tentang keberadaan Rumah Sakit Gigi
dan Mulut Pendidikan sebagai wahana pendidikan tahap profesi, rasio ideal antara
fasilitas dental chair unit dan peserta didik di RSGM adalah 1: 2, dengan asumsi
bahwa jika jam kerja adalah 8-10 jam/ hari, maka 1 dental chair unit yang digunakan
untuk 2 peserta didik setiap harinya, akan menyediakan alokasi waktu kerja yang
memenuhi ketentuan SKS (1 SKS Klinik setara dengan 4 jam kegiatan praktikum)

19
RSGMP (Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan):
RSGM Pendidikan merupakan sebuah sarana pelayanan kesehatan mulai
dari tingkat dasar sampai dengan spesialistik, sekaligus merupakan sarana
pendidikan bagi dokter gigi dan dokter gigi spesialis, sehingga perlu memenuhi
persyaratan sebagai rumah sakit pendidikan sesuai standar/peraturan yang berlaku
agar kompetensi dokter gigi dan dokter gigi spesialis yang dihasilkan dapat tercapai.
RSGM dapat mengajukan permohonan untuk diakreditasi yang umumnya
dilakukan oleh KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit), 3 tahun sejak izin
penyelenggaraan diterbitkan

2.2.2 Proses Studi Kelayakan RSGM


Proses penerapan studi kelayakan pendirian pelayanan kesehatan gigi
meliputi proses pembahasan mengenai analisis lingkungan / situasi kecenderungan
aspek internal dan eksternal, analisis permintaan terkait dari aspek-aspek yang
dapat mempengaruhinya, analisis kebutuhan dan analisis keuangan serta
rekomendasi kelayakan dari rencana pendirian pelayanan kesehatan gigi.
1. Persiapan
Sebelum dilakukan proses penerapan studi kelayakan rumah sakit,
dilakukan persiapan yaitu kompilasi data dari pengumpulan data primer
dan sekunder. Pengumpulan data primer meliputi observasi lapangan,
kondisi serta potensi yang ada. Pengumpulan data sekunder meliputi
standar, pedoman, dan ketentuan serta sasaran.

2. Analisis lingkungan/ situasi kecenderungan aspek internal dan eksternal


Analisis situasi kecenderungan meliputi aspek internal yaitu :
a. Kebijakan
b. Geografi
c. Demografi
d. Sosekbud
e. Ketenagakerjaan
f. Kesehatan

Sedangkan aspek internal meliputi


a. Sarana kesehatan

20
b. Pola penyakit di rumah sakit
c. Teknologi
d. SDM rumah sakit
e. Organisasi
f. Kinerja dan keuangan

3.Analisis permintaan terkait dari aspek - aspek yang dapat


mempengaruhinya
Analisis permintaan akan membahas mengenai analisis posisi
kelayakan rumah sakit menjadi 5 aspek. Dari analisis sebelumnya,
dilakukan analisis yang bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman yang menjadi
pertimbangan kelayakan rumah sakit.
a. Lahan dan lokasi
b. Klasifikasi kelas rumah sakit
c. Kapasitas TT
d. Jenis layanan
e. Produk unggulan

4. Analisis kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan analisis mengenai kebutuhan yang
harus disediakan rumah sakit secara keseluruhan berdasarkan analisis
permintaan yang telah dilakukan, dilihat dari aspek :
a. Kebutuhan lahan
b. Kebutuhan ruang
c. Peralatan medis dan non medis
d. Sumber daya manusia
e. Organisasi dan uraian tugas

5. Analisis keuangan
Analisis keuangan memberi gambaran rencana penggunaan sumber
anggaran yang dimiliki sehingga dapat diketahui tingkat pengembalian
biaya yang akan diinvestasikan. Aspek yang akan dianalisis terdiri dari
:

21
a. Rencana investasi dan sumber dana
b. Proyeksi pendapatan dan biaya
c. Proyeksi cash flow
d. Analisis keuangan : Break event point (BEP) , internal rate of return
(IRR) , dan net present value (NPV)

6. Kesimpulan dan rekomendasi kelayakan


Bagian kesimpulan dari studi kelayakan akan memberi perspektif
dari 4 sudut pandang yaitu analisis situasi, analisis permintaan, analisis
kebutuhan, dan analisis keuangan. Rekomendasi kelayakan memberi
gambaran berupa rekomendasi langkah yang harus ditempuh
berdasarkan hasil dari 4 analisis dan dapat pula dijadikan rencana
strategi dari manajemen rumah sakit.

2.2.3 Contoh Studi Kelayakan Pendirian RSGM

Dalam tata aturan Permenkes No 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan


Perizinan Rumah Sakit sebagai dasar Dinas Kesehatan Kab/Kota memberikan izin
operasional kelas C dan D Pasal 67 Ayat 1 “Pemilik atau pengelola yang akan
mendirikan Rumah Sakit mengajukan permohonan Izin mendirikan kepada
pemberi izin sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit yang akan didirikan,
melampirkan b.Studi Kelayakan. Pada Ayat 2 disebutkan kaidah penyusunan studi
kelayakan.

1. Kajian kebutuhan pelayanan Rumah Sakit yang meliputi:

● Kajian demografi yang mempertimbangkan luas wilayah dan kepadatan


penduduk serta karakteristik penduduk yang terdiri dari umur, jenis
kelamin, dan status perkawinan;

● Kajian sosio-ekonomi yang mempertimbangkan kultur/kebudayaan,


tingkat pendidikan, angkatan kerja, lapangan pekerjaan, pendapatan
domestik rata-rata bruto

● Kajian morbiditas dan mortalitas, yang mempertimbangkan sekurang-


kurangnya sepuluh penyakit utama, angka kematian (GDR, NDR), dan
angka persalinan;

22
● Kajian kebijakan dan regulasi, yang mempertimbangkan kebijakan dan
regulasi pengembangan wilayah pembangunan sektor nonkesehatan,
kesehatan, dan perumah sakitan.

● Kajian aspek internal Rumah Sakit merupakan rancangan sistem-sistem


yang akan dilaksanakan atau dioperasionalkan, yang terdiri dari sistem
manajemen organisasi termasuk sistem manajemen unit-unit pelayanan,
system unggulan pelayanan, ariff teknologi peralatan, sistem tarif, serta
rencana kinerja dan keuangan.

2. Kajian kebutuhan lahan, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, dan


peralatan sesuai kriteria klasifikasi Rumah Sakit yang akan didirikan yang
meliputi:

● Lahan dan bangunan Rumah Sakit harus dalam satu kesatuan lokasi yang
saling berhubungan dengan ukuran, luas dan bentuk lahan serta
bangunan/ruang mengikuti ketentuan tata ruang daerah setempat yang
berlaku.

● Rencana cakupan, jenis pelayanan kesehatan, dan fasilitas lain;

o Jumlah, spesialisasi, dan kualifikasi sumber daya manusia

o Jumlah, jenis, dan spesifikasi peralatan mulai dari peralatan


sederhana hingga peralatan canggih.

3. Persyaratan lokasi meliputi :

● Tidak berada di lokasi area berbahaya (di tepi lereng, dekat kaki gunung
yang rawan terhadap longsor, dekat anak sungai atau badan air yang dpt
mengikis pondasi, dekat dengan jalur patahan aktif/gempa, rawan
tsunami, rawan banjir, berada dalam zona topan/badai, dan lain- lain).

● Harus tersedia infrastruktur aksesibilitas untuk jalur transportasi.

● Ketersediaan utilitas publik mencukupi seperti air bersih, jaringan air


kotor, listrik, jalur komunikasi/telepon.

● Ketersediaan lahan parkir.

● Tidak berada di bawah pengaruh SUTT dan SUTET.

23
4. Kajian kemampuan pendanaan/pembiayaan yang meliputi:

● Prakiraan jumlah kebutuhan dana investasi dan sumber pendanaan;

● Prakiraan pendapatan atau proyeksi pendapatan terhadap prakiraan


jumlah kunjungan dan pengisian tempat tidur;

● Prakiraan biaya atau proyeksi biaya tetap dan biaya tidak tetap terhadap
prakiraan sumber daya manusia;

● Proyeksi arus kas 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun

● Proyeksi laba atau rugi 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun.

Berdasarkan pertimbangan diatas, maka proses penyusunan studi kelayakan


membutuhkan kualifikasi SDM sebagai berikut :

1. Team Leader Dokter dengan S2 Perumahsakitan

2. Ahli Landscape

3. Ahli Arsitektur

4. Ahli Geologi

5. Ahli Kesehatan

6. Ahli Kesehatan

7. Ahli Sosial Budaya

8. Ahli Pengukuran

Pada proses pengerjaan studi kelayakan menggunakan metodologi sebagai berikut:

1. Survey Instansi meliputi :

● BPS (Badan Pusat Statistik)

● BPN (Badan Pertanahan Nasional)

● Dinas Kesehatan Kota/Kab dan Provinsi

● Dan institutisi lainnya

2. Survey Rumah Sakit Existing sekitar meliputi data :

● Kunjungan Pasien IGD

24
● Kunjungan Pasien Rawat Inap

● Laporan Keuangan Rumah Sakit

● Dan data lainnya

3. Survey Masyarakat meliputi :

● Survey Harapan Masyarakat

● Survey Kecenderungan Kesehatan Wilayah

● Dan jenis survey lainnya

4. Survey dan Ukur Lokasi meliputi :

● Pengukuran Kontour Tanah

● Pengukuran Elevasi Tanah

Dan Pengukuran tanah lainnya

25
BAB III

PERSYARATAN PENDIRIAN PELAYANAN KESEHATAN GIGI

1. Praktik Pribadi Dokter Gigi

1.1 Pengertian
Menurut PERMENKES Republlik Indonesia No.
1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan
Dokter Gigi; Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
dokter gigi terhadap pasien dalam upaya kesehatan. Dokter Gigi yang
dimaksud adalah dokter gigi, dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Seorang dokter dan dokter gigi harus memenuhi berbagai
persyaratan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum bisa
mendirikan praktik pribadi. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Dokter dan Dokter Gigi dalam penyelenggaraan praktik pribadi terdapat dua
garis besar persyaratan yaitu syarat izin praktik dan syarat dalam pelaksanaan
praktik.
1.2 Persyaratan Praktik Pribadi
1. Setiap dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran perorangan
wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP) dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Kota dokter gigi bersangkutan. SIP berlaku sepanjang Surat Tanda
Registrasi masih berlaku dan tempat praktik masih sama dengan yang
tercantum pada SIP.
2. Praktek tenaga kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan oleh seorang tenaga kesehatan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Mempunyai surat registrasi dan surat izin kerja/izin praktik tenaga
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;

26
b. Mempunyai tempat praktik yang menetap dan terdiri dari ruang
periksa minimal 3x4 m2, ruang tunggu, dan ruangan kamar mandi /
WC yang memenuhi persyaratan kesehatan;
c. Memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi serta pengelolaan limbah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang
berlaku;
d. Mempunyai peralatan kedokteran dan atau peralatan/perbekalan
kesehatan sesuai dengan kompetensinya;
e. Melaksanakan praktik dan memberikan pelayanan yang aman,
bermutu dengan mengutamakan kepentingan terbaik pasien sesuai
standar kompetensi dan standar profesi;
f. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
g. Melaksanakan fungsi sosial sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan;
h. Menyelenggarakan rekam medis;
i. Melaksanakan sistem rujukan;
j. Memasang papan nama praktek sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
k. Dalam melaksanakan praktik tenaga kesehatan dapat menyimpan
obat-obatan untuk kepentingan gawat darurat dalam jumlah terbatas
sesuai dengan kewenangan dan kompetensinya.
l. Tenaga kesehatan dapat menyimpan obat-obatan tertentu yang
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan praktiknya dalam jumlah
terbatas sesuai dengan kewenangan dan kompetensinya.
m. Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis,
bidan dan perawat sesuai ketentuan peraturan yang berlaku
n. Untuk medirikan sebuah praktek pribadi, seorang dokter gigi wajib
memenuhi kriteria tersebut dan menyediakan fasilitas sesuai
ketentuan. Hal ini diatur agar praktek pribadi seorang dokter gigi
dapat memberikan pelayanan semaksimal mungkin dan terstandar.

27
1.3 Contoh Penerapan Persyaratan Pendirian Praktik Pribadi Dokter Gigi
Seorang dokter gigi ingin mendirikan praktik pribadi setelah
menyelesaikan pendidikan dari FKG Unair. Praktek pribadi tersebut
rencananya akan didirikan di daerah Lakarsantri.

Langkah pertama, dokter gigi tersebut harus mengurus SIP dan papan
nama untuk praktek pribadinya. Dokter gigi tersebut juga harus meminta izin
pada sejawat yang menyelenggarakan praktek di tempat tersebut. Dokter
harus bertanggung jawab terhadap sanitasi serta pengolahan limbah medis dan
nonmedis yang dihasilkan dari praktik pribadinya.

Setelah praktek pribadinya berhasil didirikan, dokter gigi tersebut


dalam melaksanakan praktiknya harus mengindahkan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, seperti peraturan terkait kesepakatan
antara dokter gigi dengan pasien sebelum tindakan, proses pemberian
kewenangan terhadap tenaga kesehatan tertentu, pembuatan rekam medis,
penjelasan pada pasien sebelum pemberian pelayanan, rahasia kedokteran,
SIP, papan nama, dokter gigi pengganti, dan kegawatdaruratan.

Persiapan seperti peralatan medis dasar serta penunjang sesuai


ketentuan yang telah ditentukan pada tempat praktek pribadi harus
disediakan. Selain itu dokter gigi tersebut juga perlu mempersiapkan biaya
untuk penyelenggaraan klinik atau praktek pribadi, seperti biaya listrik, air,
asisten dan pajak.

2. Klinik Dokter gigi

2.1 Pengertian
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 028/Menkes/Per/I/2011, pengertian klinik adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang
menyediakan pelayanan medis dasar dan spesialistik, diselenggarakan oleh
lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga
medis. Sehingga dapat diartikan bahwa klinik adalah suatu tempat yang
mempunyai fasilitas dan beberapa tenaga medis yang mumpuni untuk
menyediakan pelayanan medis dan yang menjadi pimpinan adalah seorang

28
tenaga medis (dokter atau dokter gigi untuk Klinik Pratama dan dokter atau
dokter gigi spesialis untuk Klinik Utama).Menurut Peraturan Menteri
Republik Indonesia Nomor 028/Menkes/Per/I/2011, klinik berdasarkan
pelayanannya dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Klinik Pratama : Klinik yang melayani pelayanan medik dasar.
2. Klinik Utama : Klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik
spesialistik atau pelayanan medik dasar dan
spesialistik. Sehingga pada pelaksanaannya, klinik
utama wajib menyediakan pelayanan dokter/dokter
gigi spesialis.
Klinik gigi menurut peraturan menteri nomor
920/Menkes/Per/XIII/1986 merupakan sarana pelayanan kesehatan gigi dan
mulut yang diberikan kepada masyarakat. Klinik adalah sarana atau tempat
yang dibangun untuk melakukan pelayanan perawatan kesehatan pada
seluruh masyarakat. Klinik gigi adalah sarana atau tempat yang dibangun
untuk melakukan perawatan gigi pada seluruh masyarakat yang meliputi
usaha-usaha pencegahan, pengobatan dan pemulihan.

2.2 Proses Penerapan Persyaratan Pendirian Klinik Dokter Gigi

Menurut Persyaratan Berdasarkan Rancangan Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1295/Menkes/Per /XII/2007: Pasal 1,
Klinik Kedokteran Gigi merupakan tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kedokteran gigi yang dilaksanakan oleh lebih
dari satu orang dokter gigi, dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Dipimpin oleh seorang dokter gigi /dokter gigi spesialis yang
mempunyai Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik sebagai
penanggung jawab pelayanan.
2. Masing-masing dokter gigi /dokter gigi spesialis mempunyai Surat
Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Bangunan/ruangan sebagai berikut:
a. Mempunyai bangunan fisik yang permanen dan tidak bergabung
dengan tempat tinggal.

29
b. Mempunyai ruang pendaftaran /ruang tunggu, ruang konsultasi
kedokteran gigi minimal 3x4 m2 dengan fasilitas tempat cuci
tangan dengan air yang mengalir, ruang administrasi, ruang
emergency, kamar mandi/WC dan ruang lainnya yang
memenuhi persyaratan kesehatan.
c. Memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi.
d. Ventilasi yang menjamin peredaran udara yang baik dilengkapi
dengan mekanis (AC, kipas angin, exhaust fan) dan penerangan
yang cukup.
e. Mempunyai sarana pembuangan limbah dan limbah harus
dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Memiliki Peraturan Internal, Standar Prosedur Operasional dan
Peraturan Disiplin yang tidak bertentangan dengan Standar
Kompetensi, Standar Profesi dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
g. Memiliki izin fasilitas pelayanan kesehatan, izin
penyelenggaraan dan izin peralatan kedokteran sesuai dengan
ketentuan peratuan perundang-undangan yang berlaku.
h. Memasang papan nama fasilitas pelayanan kesehatan dan daftar
nama dokter yang berpraktik di klinik tersebut.

2.3 Contoh Penerapan Persyaratan Pendirian Klinik Dokter Gigi


Sebuah klinik bersama di daerah Rungkut, Surabaya ingin didirikan
oleh sekelompok dokter gigi spesialis yang berbeda. Syarat pertama
dibutuhkan untuk membuat sebuah klinik adalah dibutuhkan seorang
pemimpin untuk mengelola klinik tersebut yang mana seorang dokter gigi/
dokter gigi spesialis yang mempunyai Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin
Praktik sebagai penanggung jawab pelayanan. Masing-masing dokter gigi
/dokter gigi spesialis mempunyai Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin
Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Syarat lain yang harus dipenuhi adalah sarana dan fasilitas penunjang
untuk mendirikan klinik tersebut. Bangunan/ruangan meliputi bangunan fisik

30
yang permanen dan tidak bergabung dengan tempat tinggal, ruang
pendaftaran /ruang tunggu, ruang konsultasi kedokteran gigi minimal 3x4 m2
dengan fasilitas tempat cuci tangan dengan air yang mengalir, ruang
administrasi, ruang emergency, kamar mandi/WC dan ruang lainnya yang
memenuhi persyaratan kesehatan. Memenuhi persyaratan hygiene dan
sanitasi.

Ventilasi yang menjamin peredaran udara yang baik dilengkapi


dengan mekanis (AC, kipas angin, exhaust fan) dan penerangan yang cukup.
Mempunyai sarana pembuangan limbah dan limbah harus dikelola sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

Klinik tersebut harus memiliki Peraturan Internal, Standar Prosedur


Operasional dan Peraturan Disiplin yang tidak bertentangan dengan Standar
Kompetensi, Standar Profesi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, izin fasilitas pelayanan kesehatan, izin penyelenggaraan dan izin
peralatan kedokteran sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan
yang berlaku, serta memasang papan nama fasilitas pelayanan kesehatan dan
daftar nama dokter yang berpraktik di klinik tersebut.

3. Rumah Sakit Pendidikan Gigi dan Mulut

3.1 Pengertian
Dalam Pasal 1 BAB I PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1173/MENKES/PER/X/2004
TENTANG RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT menyatakan bahwa
Rumah Sakit Gigi dan Mulut, selanjutnya disingkat RSGM adalah sarana
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan
mulut perorangan untuk pelayanan pengobatan dan pemulihan tanpa
mengabaikan pelayanan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
yang dilaksanakan melalui pelayanan rawat jalan, gawat darurat dan
pelayanan tindakan medik. Dalam Pasal 1 nomor 2 juga menyatakan bahwa
RSGM Pendidikan adalah RSGM yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut, yang juga digunakan sebagai sarana proses
pembelajaran, pendidikan dan penelitian bagi profesi tenaga kesehatan

31
kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya, dan terikat melalui kerjasama
dengan fakultas kedokteran gigi. Salah satu RSGM Pendidikan adalah
RSGM Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi Unair.

3.2 Proses Penerapan Persyaratan Pendirian Rumah Sakit Pendidikan Gigi


dan Mulut
Berdasarkan PERMENKES Republik Indonesia No.
1173/MENKES/PER/X/2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut,
pendirian RSGM harus memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 10-20,
sebagai berikut:
PASAL 10
1) Rumah Sakit Gigi dan Mulut harus memenuhi persyaratan bangunan,
sarana dan prasarana serta peralatan sesuai dengan peruntukannya.
2) Persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi :
a. Lokasi atau letak bangunan dan prasarana harus sesuai dengan
rencana umum tata ruang.
b. Bangunan dan prasarana dan harus memenuhi persyaratan
keamanan, keselamatan kerja, dan analisis dampak lingkungan
RS dan sarana kesehatan lain.
c. Peralatan harus memenuhi persyaratan kalibrasi, standar
kebutuhan pelayanan, keamanan, keselamatan dan kesehatan
kerja.
3) Ketentuan persyaratan minimal sarana dan prasarana RSGM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Ruang Rawat Jalan;
b. Ruang Gawat Darurat
c. Ruang pemulihan/Recovery room ;
d. Ruang Operasi;
e. Farmasi dan Bahan Kedokteran Gigi;
f. Laboratorium Klinik;
g. Laboratorium Teknik Gigi;
h. Ruang Sentral Sterilisasi;
i. Radiologi;

32
j. Ruang Tunggu;
k. Ruang Administrasi;
l. Ruang Toilet; dan
m. Prasarana yang meliputi tenaga listrik, penyediaan air bersih,
instalasi pembuangan limbah, alat komunikasi, alat pemadam
kebakaran dan tempat parkir.
4) Ketentuan persyaratan minimal peralatan RSGM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Jumlah Dental Unit 50
b. Jumlah Dental Chair 50 unit
c. Jumlah Tempat Tidur 3 buah
d. Peralatan Medik meliputi :
1) 1 unit Intra Oral Camera;
2) 1 unit Dental X – ray;
3) 1 unit Panoramic x-ray;
4) 1 unit Chepalo Metri x-ray;
5) 1 unit Autoclave / 7 unit Sterilisator;
6) 1 Camera; dan
7) 1 Digital Intra Oral
5) RSGM dapat memiliki peralatan medik khusus lainnya meliputi :
a. 1 unit Laser.
b. 1 Radiografi (Radio Visio Graphi).

1)
1. Tenaga medis kedokteran gigi :
a. Dokter Gigi
b. Dokter Gigi Spesialis yang meliputi:
1) Bedah Mulut;
2) Meratakan Gigi (Orthodonsi);
3) Penguat Gigi (Konservasi);
4) Gigi Tiruan (Prosthodonsi)
5) Kedokteran Gigi Anak (Pedodonsi);

33
6) Penyangga Gigi ( Periodonsi ); dan
7) Penyakit Mulut;
2. Dokter/Spesialis lainnya :
a. Dokter dengan pelatihan PPGD
b. Dokter Anestesi
c. Dokter Penyakit Dalam
d. Dokter spesialis anak
3. Tenaga Keperawatan :
a. Perawat Gigi
b. Perawat
4. Tenaga Kefarmasian:
a. Apoteker
b. Analis farmasi
c. Asisten apoteker
5. Tenaga Keteknisisan Medis:
a. Radiografer
b. Teknisi Gigi
c. Analis kesehatan
d. Perekam medis
6. Tenaga Non Kesehatan ;
a. Administrasi
b. Kebersihan
2) Tenaga dokter gigi, dokter gigi spesialis dan perawat gigi yang bekerja di
RSGM 50% atau lebih bekerja secara purna waktu.
3) Bagi RSGM Pendidikan, selain 7 dokter gigi spesialis tersebut diatas dalam
memenuhi kurikulum pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus menyediakan dokter gigi spesialis lainnya meliputi bidang
kesehatan gigi masyarakat (dental public health), dental material, oral
biologi dan dental radiologi.

Pasal 12

34
Setiap RSGM harus menyediakan berbagai jenis, bahan dan obat-obatan
sekurang-kurangnya sama dengan yang ditetapkan dalam Daftar Obat
Esensial Nasional ( DOEN).

Bagian Kedua Pelayanan


Pasal 13
1) Setiap RSGM dalam memberikan pelayanan mempunyai kewajiban:
a. melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan RSGM
dan standar profesi kedokteran gigi yang ditetapkan. b. memberikan
pertolongan pertama kepada pasien gawat darurat tanpa memungut
biaya pelayanan terlebih dahulu. c. menyelenggarakan pelayanan
selama 24 (dua puluh empat) jam. d. melaksanakan fungsi rujukan.
2) Evaluasi penerapan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit yang bersifat
independen.
Pasal 14
1) RSGM dalam memberikan pelayanan harus menjamin hak-hak
pasien.
2) Setiap tenaga kesehatan di RSGM yang memberikan pelayanan
kesehatan wajib menghormati hak-hak pasien.
3) Setiap tindakan kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapat persetujuan tindakan medik ( informed
consent).
4) Setiap tenaga kesehatan di RSGM berhak mendapat perlindungan
hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 15
1) RSGM wajib membuat dan memelihara rekam medis sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) RSGM wajib melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

35
1) RSGM wajib membantu program Pemerintah di bidang pelayanan
kesehatan kepada masyarakat.
2) RSGM yang tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien yang ditanganinya wajib merujuk pasien yang
dimaksud ke rumah sakit lain yang lebih mampu dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
3) RSGM dapat bekerjasama dengan rumah sakit lainnya dalam
rangka rujukan medik.
Pasal 17
RSGM wajib menyelenggarakan peningkatan mutu pelayanan secara
berkesinambungan dan mengikuti kegiatan peningkatan mutu pelayanan
yang diselenggarakan Pemerintah.
Pasal 18
RSGM harus menyelenggarakan upaya kesehatan dan keselamatan kerja
(K3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 19
RSGM harus memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan lingkungan
rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 20
RSGM wajib memiliki peraturan internal RSGM (Dental Hospital
Bylaws) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3.3 Contoh Penerapan Persyaratan Pendirian Rumah Sakit Pendidikan


Gigi dan Mulut

Dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan


mulut, Perusahan Pelayanan Kesehatan Swasta ignin mendirikan Rumah
Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) di Juono, Nganjuk.

Langkah awal persiapan sebelum pembangunan RSGM dengan


melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah di kota Nganjuk serta
Perusahaan Swasta lainnya untuk bersama-sama membangunan RSGM yang

36
berkualitas. Langkah selanjutnya yaitu menentukan Direktur Rumah Sakit
dari seorang dokter gigi/dokter gigi spesialis yang kemudian direktur tersebut
menunjuk beberapa orang untuk mengatur manajemen rumah sakit gigi dan
mulut yang meliputi bagian pelayanan kesehatan gigi dan mulut, administrasi
dan keuangan, pelayanan penunjang, pendidikan, penelitian, pengembangan,
rekam medik dan komite klinik, satuan medik fungsional dan instalasi.

Kemudian pembangunan sarana dan prasarana telah disiapkan lebih


dulu dengan mempertimbangkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi yang
diatur dalam pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1173/MENKES/PER/X/2004 Tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut
meliputi lokasi, keamanan dan keselamatan kerja, peralatan sesuai standart
kebutuhan pelayanan, prasarana minimal yang harus dimiliki RSGM tersebut
meliputi ruang rawat jalan, ruang gawat darurat, ruang pemulihan/recovery
room, ruang operasi, farmasi dan bahan kedokteran gigi, laboratorium klinik,
laboratorium teknik gigi;, ruang sentral sterilisasi, radiologi, ruang tunggu,
ruang administrasi, ruang toilet dan prasarana yang meliputi tenaga listrik,
penyediaan air bersih, instalasi pembuangan limbah, alat komunikasi, alat
pemadam kebakaran dan tempat parkir.

Adapun untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja medis yang


mengacu pada pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1173/MENKES/PER/X/2004 Tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut
meliputi dokter gigi, dokter gigi spesialis, dokter/spesialis lainnya, tenaga
keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga keteknisian medis. Tenaga dokter
gigi, dokter gigi spesialis dan perawat gigi yang bekerja di RSGM 50% atau
lebih bekerja secara purna waktu.

RSGM harus menyediakan berbagai jenis, bahan dan obat-obatan


sekurang-kurangnya sama dengan yang ditetapkan dalam Daftar Obat
Esensial Nasional ( DOEN) serta memeuhi persyaratan minimal peratalatan
untuk RSGM meliputi dental unit 50, dental chair 50 unit, tempat tidur 3
buah, peralatan medik; 1 unit Intra Oral Camera, 1 unit Dental X – ray, 1 unit

37
Panoramic x-ray, 1 unit Chepalo Metri x-ray, 1 unit Autoclave / 7 unit
Sterilisator, 1 Camera dan 1 Digital Intra Oral

38
BAB IV

PENGELOLAAN LOGISTIK

4.1 Pengertian Logistik

Logistik adalah bahan untuk kegiatan operasional yang sifatnya habis pakai.
Logistik adalah salah satu subsistem di rumah sakit yang memiliki tugas untuk
menyediakan barang dan bahan dalam jumlah , kualitas, dan waktu yang tepat
sesuai kebutuhan dengan harga yang efisien untuk kegiatan operasional rumah sakit
(Djojodibroto, 1997). Menurut Subagya MS (1994), logistik merupakan ilmu
pengetahuan dan seni serta proses mengenai perencanaan dan penentuan
kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan pemeliharaan, serta
penghapusan material/ alat-alat (Aditama, 2003).

Manajemen logistik adalah suatu ilmu pengetahuan, seni serta proses


mengenai perencanaan dan penentuan kebutuhan pengadaan, penyimpanan,
penyaluran dan pemeliharaan serta penghapusan material/alat. (Subagya, 1994),
sehingga manajemen logistik mampu menjawab tujuan dan bagaimana cara
mencapai tujuan dengan ketersediaan bahan logistik setiap saat bila dibutuhkan dan
dipergunakan secara efisien dan efektif.
Secara umum, logistik memiliki tiga tujuan, yaitu:
a. Tujuan operasional, adalah agar barang tersedia dengan jumlah yang
tepat dan mutu yang memadai.
b. Tujuan keuangan, adalah agar tujuan operasional dapat terlaksana
dengan biaya yang serendah-rendahnya.
c. Tujuan pengamanan, adalah agar persediaan tidak terganggu ioleh
kerusakan, pemborosan, penggunaan tanpa hak, pencurian, dan nilai
persediaan yang sesunguhnya dapat tercermin dalam sistem akuntansi.

Menurut Imron, 2009 logistik sebuah rumah sakit adalah suatu perbekalah
dari rumah sakit untuk dapat beroperasi. Tidak hanya barang inventaris saja, tetapi
lebih kepada seluruh sumber daya yang digunakan guna kepentingan beroperasinya
sebuah rumah sakit tersebut. Manajemen logistik juga harus mampu mengantisipasi
kejadian darurat, membuat skala prioritas serta melakukan perubahan yang
dibutuhkan untuk pencapaian tujuan umum rumah sakit. Manajemen logistik juga

39
harus mencapai efisiensi dan efektivitas. Manajemen logistik memiliki kemampuan
untuk mencegah atau meminimalkan pemborosan, kerusakan, kadaluarsa,
kehilangan alat yang akan memiliki dampak kepada pengeluaran ataupun biaya
operasional rumah sakit. Menurut pemanfaatannya, bahan atau alat yang harus
disediakan rumah sakit dikelompokkan menjadi persediaan farmasi (obat, bahan
kimia, gas medik, peralatan kesehatan), persediaan makanan, persediaan logistik
umum dan teknik.

Logistik dalam rumah sakit bermula dari perolehan (procurement) dan


berakhir dengan dokumen penuh dari usaha pembedahan dan pengobatan. Sehingga
dapat dikatakan bahwa manajemen logistik dalam lingkungan rumah sakit adalah
suatu proses pengolahan secara strategis terhadap pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian, serta pemantauan persediaan barang (stock, material, supplies,
inventory, etc) yang diperlukan bagi produksi jasa rumah sakit. Logistik di rumah
sakit memiliki fungsi-fungsi yang membentuk suatu siklus yang terdiri dari:

1. Fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan


Perencanaan merupakan langkah awal dalam melaksanakan kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit. Perencanaan adalah proses
menetapkan sasaran, pedoman, dan dasar ukuran untuk
penyelenggaraan pengelolahan barang logistik dalam jangka waktu
tertentu. Kegiatan perencanaan ini mempengaruhi kelancaran pelayanan
yang diberikan rumah sakit kepada pasien (Bowersox, 2002).
2. Fungsi penganggaran (budgetting)
Penganggaran merupakan kegiatan untuk merumuskan rincian
penentuan kebutuhan. Ada hal yang perlu diperhatikan dalam
penganggaran yaitu penyesuaian rencana pembelian dengan dana yang
tersedia dan mengenali adanya kendala dan keterbatasan agar tercipta
reliable budgeting.
3. Fungsi pengadaan
Pengadaan adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan barang
berdasarkan perencanaan, penentuan kebutuhan, dan penganggaran
yang telah dibuat sebelumnya. Sasaran dalampengadaan yaitu

40
pemenuhan kebutuhan dengan kualitas terbaik dan harga yang minimal,
serta pengiriman barang dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
4. Fungsi penyimpanan
Penyimpanan dilakuan agar persediaan dalam keadaan stabil, mudah
dicari, mudah diawasi, dan terjaga keamanannya.
5. Fungsi pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menjamin agar
sarana/barang logistik selalu dalam kondisi daya guna yang baik dan
untu mempertahankan kondisi ekonomis dari barang tersebut.
6. Fungsi pendistribusian
Pendistribusian adalah keiatan pengurusan, penyelenggaraan, dan
pengaturan pemindahan barang logistik dari tempat penyimpanan ke
tempat pemakai sehingga menjamin kelancaran pelayanan yang
bermutu.
7. Fungsi penghapusan
Penghapusan merupakan kegiatan pembebasan barang dari
pertanggungjawaban secara fisik. Usaha untuk menghapus kekayaan
(aset) karena kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi, dinyatakan
sudah tua dari segi ekonomis maupun teknis, kelebihan, hilang, susut,
dan karena hal-hal lain menurut perundang-undangan yang berlaku.
8. Fungsi pengendalian
Pengendalian merupakan fungsi inti dari pengelolaan logistik yaitu
meliputi usaha untuk memonitor dan mengamankan keseluruhan
pengelolaan logistik. Pengendalian ialah tindakan untuk memastikan
pelaksanaan logistik sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
dengan menggunakan umpan balik sehingga tujuan rumah sakit dapat
tercapai.
Menurut barang yang harus disediakan di rumah sakit, peran logistik dapat
dikelompokkan menjadi :
a. Logistik Obat
Meliputi aktivitas logistik yang terkait dengan obat yang digunakan
dalam proses pelayanan kesehatan di rumah sakit. Obat merupakan

41
salah satu komponen utama pendapatan rumah sakit. Tantangan dalam
melaksanakan logistik obat di rumah sakit secara baik tergolong tinggi.
Berbagai pihak terlibat dalam logistik obat di rumah sakit.
b. Logistik Alat Kesehatan
Adalah kegiatan logistik yang terkait dengan alat kesehatan yang
digunakan dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Masalah utama
yang sering terjadi adalah manajemen inventaris yang kurang baik,
sehingga mengakibatkan alat kesehatan yang disimpan berlebihan.
c. Logistik Food and Baverages
Adalah kegiatan logistik yang terkait dengan pelayanan gizi, baik untuk
pasien atau untuk karyawan rumah sakit. Masalah yang sering muncul
adalah barang hilang atau berkurang dan mutu proses yang bervariasi.
d. Logistik Bahan Habis Pakai
Adalah kegiatan logistik yang terkait dengan bahan-bahan yang
dikategorikan sebagai bahan habis pakai. Masalah yang paling sering
dihadapi adalah sediaan bahan habis pakai yang berlebihan.
e. Logistik Barang Kuasi
Adalah kegiatan logistik yang terkait dengan barang kelengkapan
administrasi rumah sakit. Masalah yang sering terjadi adalah sediaan
barang kuasi yang terlalu banyak.
f. Logistik Peralatan Medis dan Non Medis
Adalah kegiatan logistik yang terkait dengan peralatan medis dan non
medis yang digunakan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Masalah yang sering dihadapi adalah penyimpanan alat dan persediaan
suku cadang.
g. Logistik Sarana dan Prasarana Gedung
Adalah kegiatan logistik yang terkait dengan sarana dan prasarana
gedung rumah sakit. Nilai sarana dan prasarana gedung rumah sakit dapat
mencapai sekitar 40% dari nilai aset total rumah sakit. Masalah yang
sering muncul :
1. Pembangunan sarana dan prasarana yang tidak efisien

42
2. Pemeliharaan saran dan prasarana yang tidak sesuai standar yang
tidak ditentukan.
h. Logistik Linen
Adalah kegiatan logistik yang terkait dengan bahan kelompok linen.
Masalah yang dihadapi adalah sediaan yang berlebihan dan proses yang
bervariasi.

4.2 Proses Penerapan Logistik

Pelaksanaan pengelolaan logistik cenderung semakin kompleks sehingga


harus didasari oleh perencanaan yang baik supaya mudah dalam pengendaliannya.
Perencanaan yang baik menuntut adanya sistem monitoring, evaluasi dan reporting
yang memadai dan berfungsi sebagai umpan balik untuk tindakan pengandalian
terhadap devisi yang terjadi. Suatu rencana harus didukung oleh semua pihak,
karena bila suatu rencana dipaksakan maka akan sulit untuk mendapat dukungan
sehingga akan mengganggu kelancaraan pelaksanaan.

Pada umumnya, dalam tahapan perencanaan logistik dapat menjawab dan


menyimpulkan pernyataan sebagai berikut:
a. Apakah yang di butuhkan (what) untuk menentukan jenis barang yang
tepat
b. Berapa yang di butuhkan (how much, how many) untuk menentukan
jumlah yang tepat
c. Bilamana dibutuhkan (when) untuk menentukan waktu yang tepat
d. Dimana dibutuhkan (where) untuk menentukan tempat yang tepat
e. Siapa yang mengurus atau siapa yang menggunakan (who) untuk
menentukan orang atau unit yang tepat
f. Bagaimana diselenggarakan (how) untuk menentukan proses yang tepat
g. Mengapa dibutuhkan (why) untuk memeriksa apakah keputusan yang
diambil sudah tepat.

Selain itu, pengaturan keuangan juga harus diperhatikan. Pengaturan


keuangan yang jelas, sederhana dan tidak rumit akan sangat membantu kegiatan.
Sumber anggaran di suatu rumah sakit beragam, tergantung rumah sakit tersebut
milik pemerintah atau swasta. Pada Rumah sakit Pemerintah, sumber anggaran

43
dapat berasal dari Dana Subsidi (Bappenas, Depkes, Pemda) dan dari penerimaan
rumah sakit. Sedangkan pada rumah sakit swasta sumber anggaran berasal dari
Dana Subsidi (Yayasan dan Donatur), Penerimaan rumah sakit dan dana dari pihak
ketiga (Mustikasari).

Setelah itu, melakukan proses pengadaan barang yang semula tidak ada atau
habis menjadi ada, yang kemudian diikuti dengan proses penyimpanan. Rumah
sakit harus memikirkan dimana dan bagaimana cara menyimpan suatu alat atau
barang tersebut.

4.3 Contoh Penerapan

Pengelolaan logistik sangat berpengaruh terhadap berjalannya sistem


operasional suatu rumah sakit atau instansi pelayanan kesehatan, karena dengan
adanya pengelolaan logistik yang baik maka dapat menunjukkan manajemen bahan
dan barang yang baik pula. Pengelolaan obat merupakan salah satu segi manajemen
logistik yang sangat penting dan saling terkait, prosesnya dimulai dari pemilihan,
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan,
penarikan, dan pengendalian, serta kelengkapan administrasi yang diperlukan bagi
kegiatan pelayanan kefarmasian dalam penyediaan pelayanan kesehatan secara
keseluruhan, karena ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat akan
memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medik, sosial maupun
secara ekonomi (Novianne et al, 2015). Pengontrolan dan evaluasi dari manajemen
rumah sakit sangat penting untuk masalah logistik obat-obatan, karena beberapa
rumah sakit terkadang memiliki kendala meliputi fasilitas gudang farmasi dan
instalasi farmasi yang belum memadai sehingga terjadi penumpukan obat.
Pelaporan untuk pemusnahan dan penarikan obat-obatan yang sudah rusak maupun
expired date harus dilakukan dengan standar yang telah ditetapkan, begitu pula
untuk penerimaan dan penggunaan obat juga harus dilaporkan sesuai dengan
standar yang ditetapkan. Tujuannya agar administrasi dalam hal pencatatan dan
pelaporan dapat berjalan dengan optimal, dan yang paling penting mengoptimalkan
penggunaan obat termasuk perencanaan untuk menjamin ketersediaan, keamanan
dan keefektifan penggunaan obat.

44
Logistik sebuah rumah sakit merupakan suatu perbakalan yang harus
dimiliki rumah sakit untuk dapat beroperasi. Selanjutnya terbentuk manajemen
logistik yang merupakan kumpulan dari beberapa kegiatan dengan fungsi yang
masing-masing namun saling terkait satu sama lain sehingga membentuk sebuah
sistem pengelolaan logistik atau manajemen logistik. Rumah sakit umum daerah
(RSUD) di suatu kota besar merupakan organisasi perangkat daerah kota tersebut,
RSUD dalam melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kebutuhan masyarakat
akan pelayanan kesehatan diperlukan pelaksanaan operasional yang maksimal.
Agar pelaksanaan operasional berjalan efektif dan efesien diperlukan adanya
sumber daya, salah satunya adalah barang umum yang digunakan untuk kegiatan
operasionil rumah sakit sehari-hari. Barang umum yang terdapat dalam RSUD
merupakan aset dan persediaan barang merupakan barang milik daerah yang
tentunya harus dikelola dengan baik, dapat digunakan dengan kualitas yang baik,
waktu yang tepat dan dengan pengadaan harga yang minimum. Sehingga,
majaemen logistik yang baik sangat dibutuhkan. Manajemen logistik mengacu pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Barang Milik Daerah dan Peraturan Daerah yang dimiliki oleh kota tersebut.
Pelaksanaan majemen logistik di rumah sakit biasanya memiliki beberapa masalah
seperti penyimpanan barang logistik yang masih belum sesuai dengan ketentuan
karena masih banyak barang yang masih disimpan diruang penyimpanan tanpa ada
adanya pendataan dan pendistribusian yang jelas, terkadang juga terjadi
penumpukan beberapa jenis persediaan barang seperti form Askes dan Jamkesmas
tahun sebelumnya.

45
BAB V

KERJASAMA DENGAN PIHAK LAIN

5.1 Pengertian

Kerjasama atau yang bisa disebut dengan kemitraan menurut Notoatmodjo


(2003) merupakan sebuah kerja yang formal antara individu-individu, kelompok-
kelompok, maupun organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan
tertentu. Menurut dari promkes depkes secara umum adalah:
a. Kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi minimal
antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak merupakan
“mitra” atau “partner”
b. Kemitraan adalah proses pencarian/perwujudan bentuk-bentuk
kebersamaan yang saling menguntungkan dan saling mendidik secara
sukarela untuk mencapai kepentingan bersama
c. Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik sektor,
kelompok masyarakat, lembaga pemerintah atau non-pemerintah untuk
bekerja sama mencapai tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan,
prinsip, dan peran masing-masing.
Kerjasama dengan pihak lain merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh
suatu instansi, dalam hal ini adalah rumah sakit, untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan baik melalui pengembangan sumber daya manusia, fasilitas, manejemen,
dan administrasi yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan.

5.2 Tujuan Kerjasama dan Hasil yang Diharapkan

Tujuan umum : Meningkatkan percepatan, efektivitas dan efisiensi upaya


pembangunan pada umumnya.

Tujuan khusus :

1) Meningkatkan saling pengertian

2) Meningkatkan saling percaya

3) Meningkatkan saling memerlukan

4) Meningkatkan rasa kedekatan

46
5) Membuka peluang untuk saling membantu

6) Meningkatkan daya, kemampuan, dan kekuatan

7) Meningkatkan rasa saling menghargai

Hasil yang diharapkan :Adanya percepatan, efektivitas dan efisiensi


berbagai upaya untuk mencapai suatu tujuan.

5.3 Prinsip Kerjasama

Terdapat prinsip kunci yang perlu dipahami dalam membangun suatu


kemitraan oleh masing masing naggota kemitraan yaitu:
1. Prinsip Kesetaraan (Equity)
Individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin
kemitraan harusmerasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang
lain dalam mencapai tujuan yang disepakati.
2. Prinsip Keterbukaan
Keterbukaan terhadap kekurangan atau kelemahan masing-masing
anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki. Semua itu harus
diketahui oleh anggota lain. Keterbukaan ada sejak awal dijalinnya
kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Dengan saling keterbukaan ini
akan menimbulkan saling melengkapi dan saling membantu diantara
golongan (mitra).
3. Prinsip Azas manfaat bersama (mutual benefit)
Individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan
memperoleh manfaatdari kemitraan yang terjalin sesuai dengan
kontribusi.

5.4 Pelaksanaan Kerjasama

Pelaksanaan kerjasama dan sistem informasi pendidikan dapat dilakukan


dengan menempuh tahapan yaitu: tahap penjajakan, tahap penanda tangan
kerjasama, tahap penyusunan program, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan
tahap pelaporan.

47
Ada beberapa cara yang dapat menjadikan kerjasama dapat berjalan dengan
baik dan mencapai tujuan yang telah disepakati oleh dua orang atau lebih tersebut
yaitu:
1) Saling terbuka, dalam sebuah tatanan kerjasama yang baik harus ada
komasi yang komunikatif antara dua orang yang berkerjasama atau lebih.
2) Saling mengerti, kerjasama berarti dua orang atau lebih bekerja sama
untuk mencapai suatu tujuan, dalam proses tersebut, tentu ada, salah satu
yang melakukan kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan yang
sedang dihadapkan.

5.5 Prosedur perjanjian kerjasama


1) Melakukan evaluasi diri dengan analisis yang tepat
2) Berdasarkan hasil evaluasi diri, dipilihlah potensi yang layak dan
menguntungkan (feasible dan profitable) untuk ditawarkan sebagai bentuk
kerjasama
3) Menetapkan bentuk kerjasama yang akan dilaksanakan dan tujuan yang
akan dicapai
4) Menetapkan ruang lingkup kerjasama: institusional, lokal, nasional, atau
internasional
5) Menentukan pihak yang memiliki potensi, membutuhkan, dan
melaksanakan kerjasama.
6) Menetapkan kewenangan dan batas kewenangan pihak yang
bekerjasama/terkait
7) Menetapkan karakteristik kerjasama yang dilakukan mengacu pada asas
saling menguntungkan, income generating, dan resource sharing
8) Menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan
9) Menetapkan pihak yang berwenang untuk melakukan monitoring dan
evaluasi
10) Menetapkan tindak lanjut berdasarkan perencanaan yang telah dibuat.
Kegiatan kerjasama yang dilakukan dengan pihak lain haruslah dibuat dalam
bentuk naskah yang disetujui oleh kedua belah pihak, yang disebut dengan
Piagam Kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU).

48
5.6 Tahapan kerjasama
Berikut adalah tahapan kerjasama yang dilakukan bersama pihak lain, yaitu
sebagai berikut:
1. Tahap penjajakan, merupakan tahap awal yang dilakukan untuk menjajaki
kemungkinan adanya kerjasama antara kedua belah pihak. Pada tahap ini,
dilakukan sebuah pengenalan dengan saling bertukar informasi mengenai
profil instansi masing-masing serta penjelasan mengenai usulan
kerjasama yang ditawarkan. Selanjutnya dapat dilakukan analisis
mengenai tawaran kerjasama yang telah dipaparkan, yaitu dari segi
keuntungan, kerugian, prospek jangka panjang, dan lain-lain. Apabila
kerjasama disepakati, maka segera disusun draf naskah piagam kerjasama.
2. Melakukan diskusi mengenai ketentuan-ketentuan yang harus ada di
dalam MoU bersama dengan kedua belah pihak. Pada tahap ini akan
dibahas substansi dan masalah teknis yang disepakati untuk ditulis dalam
MoU.
3. Menyusun MoU bersama kedua belah pihak yang bekerjasama, meliputi:
a. Dasar kerjasama
b. Tujuan kerjasama
c. Ruang lingkup kerjasama
d. Kewajiban masing-masing pihak
e. Pembatasan kegiatan
f. Hak atas kelayakan intelektual
g. Pemanfaatan peralatan pasca program
h. Penyesuaian perbedaan
i. Penutup amandemen, durasi, terminasi.
j. Lampiran rencana kerja, mekanisme perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan, evaluasi.
4. Melakukan revisi draf MoU bersama kedua belah pihak.
5. Menyepakati draf MoU untuk ditandatangani oleh kedua belah pihak.
6. Penandatanganan MoU oleh wakil kedua belah pihak.

49
5.7 Dasar Pemikiran Kerjasama dalam Kesehatan
a) Kesehatan adalah hak asasi manusia, merupakan investasi, dan sekaligus
merupakan kewajiban bagi semua pihak.
b) Masalah kesehatan saling berkaitan dan saling mempengaruhi dengan
masalah lain, seperti masalah pendidikan, ekonomi, sosial, agama, politik,
keamanan, ketenagakerjaan, pemerintahan, dll.
c) Karenanya masalah kesehatan tidak dapat diatasi oleh sektor kesehatan
sendiri, melainkan semua pihak juga perlu peduli terhadap masalah
kesehatan tersebut, khususnya kalangan swasta.
d) Dengan peduli pada masalah kesehatan tersebut, berbagai pihak khususnya
pihak swasta diharapkan juga memperoleh manfaat, karena kesehatan
meningkatkan kualitas SDM dan meningkatkan produktivitas.
e) Pentingnya kemitraan (partnership) ini mulai digencarkan oleh WHO pada
konfrensi internasional promosi kesehatan yang keempat di Jakarta pada
tahun 1997.
f) Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan upaya kerjasama yang saling
memberikan manfaat. Hubungan kerjasama tersebut akan lebih efektif dan
efisien apabila juga didasari dengan kesetaraan.

5.8 Indikator Keberhasilan


a) Indikator input : Jumlah mitra yang menjadi anggota
b) Indikator proses : Kontribusi mitra dalam jaringan kemitraan, jumlah
pertemuan yang diselenggarakan, jumlah dan jenis kegiatan bersama yang
dilakukan, keberlangsugan kemitraan yang dijalankan
c) Indikator output : Jumlah produk yang dihasilkan, percepatan upaya yang
dilakukan, efektivitas dan efisiensi upaya yang diselenggarakan

5.9 Contoh pelaksanaan kerjasama dengan pihak lain

Pendidikan profesi dokter gigi sebagai salah satu profesi dibidang kesehatan
telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1928, dan telah mengalami pasang surut
sampai saat ini. Pada hakikatnya, sistem pendidikan dokter gigi di Indonesia saat
ini terdiri atas tahap akademik dan tahap profesi. Tahap akademik adalah

50
pendidikan sarjana untuk mencapai tingkat kemampuan dasar sesuai dengan standar
kompetensi dokter gigi. Tahap profesi merupakan pendidikan setelah sarjana
kedokteran gigi yang bertujuan untuk pembekalan dengan kompetensi klinik
tertentu yang sesuai kompetensi dokter gigi yang telah disahkan oleh Konsil
Kedokteran Gigi Indonesia untuk meraih gelar dokter gigi.

Tahap profesi merupakan sebuah tahap yang harus diselesaikan agar


seseorang memiliki kemampuan klinik untuk menunjang kemahiran seorang calon
dokter gigi. Hal ini sesuai dengan undang undang nomor 20 tahun 2013 pasal 4,
yaitu tujuan dari pendidikan dokter gigi salah satunya untuk mencetak seorang
dokter gigi yang kompeten. Untuk itu diperlukan sebuah wahana untuk menunjang
proses atau sebuah tahapan ini yaitu diperlukannya Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Pendidikan. Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGM-P) bertugas untuk
menjalankan fungsi pendidikan dalam rangka untuk mencapai kompetensi tenaga
kesehatan, dalam hal ini kompetensi dokter gigi. Dalam berjalannya maupun sejak
berdirinya sebuah RSGM-P diperlukan kerjasama dari berbagai stake holder, mulai
dari Fakultas Kedokteran Gigi sendiri sampai Pemerintah Daerah setempat.

Fakultas kedokteran gigi merupakan instansi penyedia mahasiswa yang


akan melanjutkan tahapan profesi setelah menempuh tahapan akademik terlebih
dahulu. Oleh sebab itu, diperlukan adanya relasi untuk mengatur segala regulasi
yang terkait dengan mahasiswa kedokteran gigi khususnya dalam sinkronisasi
antara jumlah mahasiswa yang masuk ke tahap profesi dengan segala keperluan
yang dibutuhkan seperti jumlah dental unit, bahan yang dibutuhkan, hingga flow
pasien yang setiap harinya berkunjung ke RSGM-P. Fakultas kedokteran gigi juga
memegang peranan penting terhadap kualitas mahasiswa, dalam hal ini adalah
kompetensi standar kedokteran gigi yang akan diimplementasikan pada tahap
profesi ini untuk tercapainya sebuah pelayanan yang sesuai dengan prosedur. Proses
perpindahan mahasiswa dari pendidikan di fakultas menjadi pendidikan profesi
tidak hanya terbatas pada mahasiswa yang akan memperoleh gelar dokter gigi,
namun juga dokter gigi yang sedang menempuh program pendidikan dokter gigi
spesialis, karena fungsi dari RSGM-P yaitu pendidikan, serta menjadi pusat layanan
kesehatan mulut dan gigi bagi masyarakat yang tidak hanya pada tingkat layanan
kesehatan gigi primer, namun juga pada tingkat layanan yang lanjut.

51
Rumah sakit gigi dan mulut pendidikan umumnya merupakan sebuah aset
bagi universitas. Konsekuensinya adalah pendanaan untuk berlangsungnya
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Hubungan
kerjasama antara rumah sakit gigi dan mulut pendidikan dan universitas adalah
tentang cost (biaya) pelayanan rumah sakit. Sebagai rumah sakit gigi dan mulut
pendidikan, biaya yang ditetapkan untuk pengobatan jauh lebih murah dari rumah
sakit pada umumnya. Hal ini dikarenakan para koas (mahasiswa yang menjalani
profesi kedokteran gigi) masih berstatus sebagai mahasiswa di universitas, dimana
mereka memiliki kewajiban untuk membayar UKT (Uang Kuliah Tunggal).
Sumber dana yang berasal dari UKT inilah yang kemudian digunakan juga untuk
memfasilitasi pelayanan kesehatan di rumah sakit gigi dan mulut pendidikan tempat
mereka menjalankan pendidikan profesinya khususnya dalam perawatan pasien
agar layanan kesehatan bisa dijangkau oleh berbagai kalangan masyarakat.

Mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi di RSGM-P disebut


dengan koas. Para koas memiliki dua peran yang sangat penting yaitu sebagai
mahasiswa dan sebagai tenaga medis. Sebagai mahasiswa, koas dibawahi oleh
Kemenristekdikti yang bertugas untuk mengawasi segala kegiatan yang dilakukan
agar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, peran koas sebagai
tenaga medis dibawahi oleh Kementerian Kesehatan yang di dalamnya diatur
Undang-Undang dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, asuransi, hingga
persebaran dokter gigi di Indonesia.

Pendirian dari RSGM-P selain banyak andil dari Fakultas kedokteran gigi
dan universitas pada umumnya, peran dari Pemerintah daerah khususnya
pemerintah kota juga sangat penting. Pada pendirian RSGM-P juga perlu adanya
izin dari instansi pemerintah setempat, disamping itu juga RSGM-P ini berperan
untuk menyukseskan program pemerintah daerah dibidang yang berkenaan dengan
kesehatan secara umum dan kesehatan gigi dan mulut secara khusus.Dengan adanya
RSGM-P ini sendiri diharapkan masyarakat Indonesia khususnya Surabaya dapat
memiliki kesehatan gigi seperti yang telah diharapkan oleh pemerintah sehingga
dapat mewujudkan salah satu program pemerintah yaitu ”MENUJU INDONESIA
SEHAT’’. Peran dari masyarakat sendiri sangat penting untuk mempromosikan
keberadaan dari RSGM-P karena memang masih banyak masyarakat yang belum

52
mengetahui keberadaan dari RSGM-P ini sendiri. Selain itu, untuk meningkatkan
daya jual dari RSGM-P sendiri dibutuhkan suatu dukungan dari segala pihak yang
ada salah satunya bisa dengan cara meningkatkan pelayanan yang ada di RSGM-P.

53
BAB VI

PENETAPAN TARIF

6.1 Pengertian
Tarif menurut KBBI ialah harga satuan jasa. Dalam konteks ini, Tarif adalah
nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang
berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah rumah sakit
bersedia memberikan jasa kepada pasien. Penetapan tarif rumah sakit harus selalu
berpedoman pada biaya yang dikeluarkan untuk menciptakan pelayanannya, sebab
bila rumah sakit menetapkan tarif dibawah biayanya, maka rumah sakit tersebut
akan 110 mengalami kerugian sehingga kelangsungan hidup rumah sakit tidak
terjamin. Perkembangan pelayanan pada masa kini tidak harus selalu pada
penentuan tarif biaya pelayanan yang diberikan dan bukan pada persaingan semata
(Primadinta,2009).

Tarif rumah sakit merupakan aspek yang sangat diperhatikan oleh rumah
sakit swasta juga oleh rumah sakit milik pemerintah. Bagi sebagian rumah sakit
pemerintah, tarif memang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menkes atau
Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat pemerintah sebagai
pemilik terhadap rumah sakit sebagai firma atau pelaku usaha. Akan tetapi disadari
bahwa tarif pemerintah umumnya mempunyai cost recovery (pemulihan biaya)
yang rendah. Rumah sakit swasta, baik yang bersifat mencari laba maupun yang
nirlaba harus mampu mendapatkan biaya untuk membiayai segala aktifitasnya dan
untuk dapat terus memberikan pelayanan kepada masyarakat sekitarnya. Rumah
sakit pemerintah yang tidak mendapatkan dana yang memadai untuk memberikan
pelayanan secara cuma- cuma kepada masyarakat, juga harus menentukan tarif
pelayanan. Di Indonesia, praktis seluruh rumah sakit, apakah itu rumah sakit umum
ataupun rumah sakit perusahaan atau rumah sakit swasta, harus mencari dana yang
memadai untuk membiayai pelayanannya. Jadi semua rumah sakit di Indonesia,
harus mampu menetapkan suatu tarif pelayanan.

6.2 Tujuan Penetapan Tarif


Dalam kaitan dengan tujuan sosial, penetapan tarif dapat menunjukkan
tujuannya. Oleh karena itu, menarik untuk diperhatikan bahwa tarif rumah sakit

54
keagamaan ternyata lebih tinggi dibandingkan tarif rumah sakit pemerintah. Hal ini
disebabkan oleh rumah sakit keagamaan sudah tidak mendapat subsidi dari
pemerintah ataupun dari masyarakat baik melalui gereja ataupun dana-dana
kemanusiaan lain. Di pandang dari aspek masyarakat sebagai pengguna, maka
rumah sakit keagamaan saat ini bukan tempat berobat untuk orang miskin. Dengan
latar belakang kepemilikan tersebut, tarif dapat ditetapkan dengan berbagai tujuan
sebagai berikut: (Trisnantoro, 2006)
a. Penetapan Tarif untuk Pemulihan Biaya
Tarif dapat ditetapkan untuk meningkatkan pemulihan biaya rumah
sakit. Keadaan ini terutama terdapat pada rumah sakit pemerintah yang
semakin lama semakin berkurang subsidinya. Pada masa lalu kebijakan
swadana rumah sakit pemerintah pusat ditetapkan berdasarkan
pemulihan biaya (cost-recovery.) Oleh karena itu, muncul pendapat yang
menyatakan bahwa kebijakan swadana berkaitan dengan naiknya tarif
rumah sakit. (Trisnantoro, 2006)
b. Penetapan Tarif untuk Subsidi Silang
Dalam manajemen rumah sakit diharapkan ada kebijakan agar
masyarakat ekonomi kuat dapat ikut meringankan pembiayaan pelayanan
rumah sakit bagi masyarakat ekonomi lemah. Dengan konsep subsidi
silang ini maka tarif bangsal VIP atau kelas I harus berada di atas unit
cost agar surplusnya dapat dipakai untuk mengatasi kerugian di bangsal
kelas III. Selain subsidi silang berbasis pada ekonomi, rumah sakit juga
diharapkan melakukan kebijakan penetapan tarif yang berbeda pada
bagian-bagiannya. Sebagai contoh IRD mempunyai potensi sebagai
bagian yang mendatangkan kerugian. Oleh karena itu, perlu disubsidi
oleh bagian lain yang mempunyai potensi mendatangkan keuntungan,
misalnya instalasi farmasi. Kebijakan subsidi silang ini secara praktis
sulit dilakukan karena terjadi tarif rumah sakit yang melakukan subsidi
silang jauh berada di atas tarif pesaingnya. Apabila rumah sakit
memaksakan melakukan subsidi silang dari tarif–tarif yang ada
dikhawatirkan akan terjadi penurunan mutu pelayanan dalam jangka

55
panjang dibandingkan dengan rumah sakit yang tidak mempunyai tujuan
untuk subsidi silang(Trisnantoro, 2006)
c. Penetapan Tarif untuk Meningkatkan Akses Pelayanan
Ada suatu keadaan rumah sakit mempunyai misi untuk melayani
masyarakat miskin. Oleh karena itu, pemerintah atau pemilik rumah sakit
ini mempunyai kebijakan penetapan tarif serendah mungkin. Diharapkan
dengan tarif yang rendah maka akses orang miskin menjadi lebih baik.
Akan tetapi, patut diperhatikan bahwa akses tinggi belum berarti
menjamin mutu pelayanan yang baik. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa mutu pelayanan rumah sakit pemerintah rendah akibat subsidi
pemerintah terbatas dan tarif rumah sakit rendah dengan sistem
manajemen yang birokratis. Kegagalan pemerintah memberikan subsidi
cukup bagi biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit yang
mempunyai tarif rendah menyebabkan mutu pelayanan rumah sakit
semakin rendah secara berkesinambungan. (Trisnantoro, 2006)
d. Penetapan Tarif untuk Meningkatkan Mutu Pelayanan
Di berbagai rumah sakit pemerintah daerah, kebijakan penetapan
tarif pada bangsal VIP dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk
peningkatan mutu pelayanan dan peningkatan kepuasan kerja dokter
spesialis. Sebagai contoh, bangsal VIP dibangun untuk mengurangi
waktu spesialis di rumah sakit swasta. Terlalu lamanya waktu yang
dipergunakan dokter spesialis pemerintah bekerja di rumah sakit swasta
dapat mengurangi mutu pelayanan. (Trisnantoro, 2006)
e. Penetapan Tarif untuk Tujuan Lain
Beberapa tujuan lainnya, misalnya mengurangi pesaing,
memaksimalkan pendapatan, meminimalkan penggunaan, menciptakan
corporate image. Penetapan tarif untuk mengurangi pesaing dapat
dilakukan untuk mencegah adanya rumah sakit baru yang akan menjadi
pesaing. Dengan cara ini, rumah sakit yang sudah terlebih dahulu
beroperasi mempunyai strategi agar tarifnya tidak sama dengan rumah
sakit baru. Penetapan tarif untuk memperbesar keuntungan dapat
dilakukan pada pasar rumah sakit yang cenderung dikuasai satu rumah

56
sakit (monopoli). Oleh karena itu, penetapan tarif dapat dilakukan
dengan tujuan memaksimalisasikan pendapatan. Tanpa kehadiran
pesaing dalam suasana pasar dengan demand tinggi, maka tarif dapat
dipasang pada tingkat yang setinggi-tingginya, sehingga dapat
meningkatkan surplus secara maksimal. (Trisnantoro, 2006)

6.3 Proses Penetapan Tarif

Proses penetapan tarif berbeda tergantung dari jenis rumah sakit yang dapat
berupa for-profit ataupun non-profit. Penetapan tarif rumah sakit swasta dan
pemerintah ini mempunyai perbedaan. Pada rumah sakit pemerintah, pemerintah
lah yang mengatur penetapan tarif. Hal ini dilakukan untuk menjamin terjadinya
pemerataan pelayanan rumah sakit. Salah satu tugas pemerintah dalam penetapan
tarif ini adalah menegaskan beberapa komponen biaya penyelenggaraan rumah
sakit tetap disubsidi, misalnya gaji, investasi, dan penelitian pengemabangan.
Proses penetapan tarif dalam rumah sakit pemerintah seringkali lamban karena
harus menunggu persetujuan pihak-pihak berwenang. Selain itu, rumah sakit
pemerintah cenderung mempunyai over head cost yang tinggi, terutama karena gaji
yang tinggi akibat besarnya jumlah pegawai tetap, tetapi tidak disertai dengan
produktivitas yang tinggi. Akibatnya, dalam proses pentarifan sering kali biaya
sumber daya manusia tidak diperhitungkan. Proses penetapan tarif pada rumah sakit
pemerintah harus memperhatikan berbagai isu, misalnya isu sosial dan amanat
rakyat, isu ekonomi, dan isu politik.

Penetapan tarif rumah sakit swasta dibagi atas empat macam pricing, yaitu
full-cost pricing, kontrak dan cost-plus, target rate of return pricing, dan
acceptance pricing. Masing-masing metode penetapan tarif rumah sakit memiliki
sisi negatif dan positif yang berbeda-beda. Full-cost pricing memperhitungan unit
cost ditambah dengan kentungan tanpa melihat sisi demand dan pesaing lainnya
sehingga membutuhkan penghitungan biaya yang rumit dan modal yang besar
untuk mengembangkan sistem akuntansi yang baik. Yang kedua adalah metode
kontrak dan cost-plus. Metode ini menetapkan tarif rumah sakit berdasarkan
kontrak dengan perusahaan lain, misalnya perusahaan asuansi atau konsumen yang
tergabung dalam satu oganisasi. Dalam kontrak tersebut, penghitungan tarif juga

57
berbasis pada biaya dengan tambahan surplus sebagai keuntungan bagi rumah sakit.
Namun, sisi negatif dari metode ini adalah perhitungan tarif kontrak antara pihak
rumah sakit dan perusahaan lain belum tentu akan menguntungkan rumah sakit.
Rumah sakit bisa mendapatkan surplus dari kontrak, rugi, atau memberi subsidi.
Selain itu, pihak rumah sakit harus menyesuaikan tarifnya sesuai kontrak dengan
perusahaan tersebut. Target Rate of Return Pricing merupakan modifikasi dari
metode full-cost pricing. Misalnya, tarif ditentukan oleh direksi harus mempunyai
10% keuntungan. Dengan demikian, apabila biaya produksi suatu pemeriksaan
darah Rp 5.000,00, maka tarifnya harus sebesar Rp5.500,00 agar memberi
keuntungan 10%. Walaupun cara ini masih dikritik karena berbasis pada unit cost,
tetapi faktor demand dan pesaing telah diperhitungkan. Metode ini banyak
menguntungkan pihak rumah sakit karena tidak perlu menunggu persetujuan pihak
lain dalam menentukan tarif. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah pihak rumah
sakit harus dapat memperkirakan besar pemasukan dan memiliki pandangan jangka
panjang terhadap kegiatannya. Metode yang terakhir adalah acceptance pricing.
Teknik ini digunakan jika terdapat rumah sakit yang dianggap panutan untuk
penentuan harga. Sisi positif dari metode ini adalah tidak adanya persaingan antara
rumah sakit yang lain karena masing-masing enggan merugikan satu sama lain.
Masalah akan timbul apabila pemimpin harga ini merubah tarifnya. Para
pengikutnya harus mengevaluasi apakah akan mengikutinya atau tidak.

6.3.1 Penghitungan unit cost

Biaya adalah kas atau nilai setara kas yang dikorbankan untuk
mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau
di masa depan bagi organisasi Menurut Hansen dan Mowen (2009), biaya per
unit (unit cost) adalah jumlah biaya yang berkaitan dengan unit yang
diproduksi dibagi dengan jumlah unit yang diproduksi. (Hansen dan Mowen,
2009).

Unit Cost = Jumlah pendapatan untuk setiap jenis pelayanan


Jumlah kunjungan untuk pelayanan tersebut

58
Unit cost yang tinggi menunjukkan bahwa pelayanan tidak efisien atau
populasi memiliki risiko biaya tinggi (banyak penyakit degeneratif). Unit cost
ini penting untuk menghitung tarif atau kapitasi, serta kontrol biaya dan
ketaatan tim terhadap SOP yang telah sisepakati.

Utilisasi adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang dimiliki


sebuah klinik/praktik. Utilisasi dinyatakan dalam persen (prosentase) dengan
rumus:

Utilisasi = Jumlah kunjungan


X 100%
Total Populasi

6.4 Contoh Penerapan Tarif dan Unit Coast bangsal :

Kegiatan/ Bangsal Unit Coast Tarif

IRJ 1.245 1000

2000

Kelas III 3.960 3000 (3A)

2000 (3B)

Kelas II 14.000 10.000

Kelas I 27.890 25.000

VIP 39.800 40.000

Tabel 6.1 Contoh penerapan tarif unit cost bangsal

Dalam tabel tersebut terlihat bahwa keuntungan yang didapat dari sewa
kamar bangsal VIP sangat kecil. Hal ini karena jumlah tempat tidur VIP 5% dari
seluruh tempat tidur rumah sakit, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan croos-
subsidy tidak dapat berjalan. Dicatat bahwa biata investasi dan biaya sumber daya
manusia tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan biaya. Kelas 1 rugi sebesar
Rp2.890,00 untuk setiap tempat tidur yang berisi tiap harinya. Kerugian ini menjadi

59
bertambah besar karena kelas I meliputi 25% jumlah kamar dengan BOR yang
hampir 100%.

Contoh tarif dan Unit Coast Tindakan

Tindakan Unit Coast Tarif

Persalinan 27.050 52.800

EKG 3.050 5.400

EEG 7.696 17.500

USG 14.902 40.000

Treadmil 17.676 50.000

Radiologi sederhana 1.650 3.700

Radiologi canggih 35.078 75.000

Laborat sederhana 423 900

Laboratorium sedang 603 1.350

Tabel 6.2 Contoh tarif dan unit cost tindakan

Secara tidak langsung, pasien kelas I yang seharusnya dapat mensubsudi


kelas lainnya melainkan disubsidi oleh tindakan lain di rumah sakit. Pada tabel
tersebut, rumah sakit pemerintah dapat mengambil keuntungan dari tindakan. Pada
beberapa tindakan medis , margin keuntungan sangat besar karena rumah sakit
pemerintah tersebut memonopoli alat yang tersedia semisal tread-mill.

Contoh perhitungan unit cost tindakan kedokteran gigi

NO Nama Barang Jumlah Pasien Harga (Rupiah) Per-pasien

1 Set pemeriksaan umum 47.433

2 ART kit 1500 900.000 600

60
3 Plastis instrument 200 21.000 105

4 Artikulating paper 20 8000 400

5 Kuas bonding 50 20000 400

6 Etsa 68 80000 1.176

7 Bonding + primer 102 480000 4.706

8 Flowable kompomer 74 412000 5.568

9 Cavity cleaner 368 335000 910

10 Sinar LC 2000 1800000 900

11 Finishing bur 150 75000 500

12 Polishing 18 22000 1.222

13 jasa medic 1 34000 34.400

Tabel 6.3 Perhitungan unit cost tindakan kedokteran gigi

No Jenis perawatan Tarif (rupiah)

1 Pemeriksaan umum dan konsultasi 47.433

2 Scaling 99.219

3 Topical aplikasi fluor 89.343

4 Fissure sealant 97.921

5 Tumpatan sederhana 128.496

6 Cabut dengan injeksi 120.970

Tabel 6.4 Penetpan tarif dari hasil perhitungan unit cost

61
BAB VII

COST EFFECTIVENESS ANALYSIS

Menjadi sehat adalah hal yang diinginkan oleh manusia. Kebutuhan akan
kesehatan manusia meningkat secara drastis selama beberapa abad terakhir, namun
ketimpangan dalam dunia kesehatan tetap terjadi. Ketimpangan tersebut dapat
disebabkan oleh adanya keterbatasan dana atau sumber daya. (Probandari, 2007)
Untuk menyikapi ketimpangan yang terjadi dan mewujudkan kemajuan dalam
dunia kesehatan, diperlukan suatu strategi agar sumber daya yang ada dapat
dimanfaatkan dengan baik. Strategi yang dimaksud adalah alokasi sumber daya
yang ada dengan cara prioritas. (Depdagri, 2004).

Dalam rangka menetapkan prioritas, salah satu pertimbangan yang dapat


dipakai adalah faktor efisiensi. Untuk membandingkan tingkat efisiensi beberapa
intervensi/program kesehatan dapat dilakukan evaluasi ekonomi. Ada empat jenis
evaluasi ekonomi yaitu cost minimization analysis, cost effective analysis, cost
utility analysis, dan cost benefit analysis. (Haycoz & Noble, 2009) Perbedaan
keempat jenis evaluasi tersebut terdapat pada tabel berikut,

Tabel 7.1 Jenis-jenis evaluasi ekonomi kesehatan (Probandani, 2007).

7.1 Pengertian Cost Effectiveness Analysis (CEA)


Cost Effectiveness Analysis (CEA) sebagai suatu evaluasi ekonomi
merupakan suatu analisis yang digunakan untuk evaluasi hubungan biaya dan efek
kesehatan yang ditimbulkan terhadap intervensi tertentu. Dalam analisis ini, biaya

62
dan efektivitas dari segala kemungkinan intervensi yang ada dibandingkan agar
diperoleh kombinasi metode yang tepat sehingga dapat memaksimalkan kesehatan.

Dasar penghitungan CEA adalah membagi biaya dari suatu intervensi dalam
satuan moneter dengan kesehatan yang diharapkan dalam natural unit seperti
berapa jumlah nyawa yang diharapkan dapat diselamatkan. (Jamison, et al., 2006)

7.2 Dasar dan Unsur-unsur dari CEA

Menurut Jamison, Breman, & Mesham (2006), dasar dari CEA yang akan
diaplikasian, dihitung biaya dan hasilnya kemudian dianalisa adalah sebuah
intervensi. Intervensi merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang secara fisik,
dan membutuhkan sumber finansial untuk meningkatkan kesehatan dengan
mengurangi resiko, durasi, atau keparahan dari masalah kesehatan. Intervensi yang
sering digunakan merupakan upaya pencegahan primer dalam level populasi serta
intervensi individual. Dalam level populasi, dikategorikan menjadi :

 Promosi perbuhan perilaku personal (diet, olahrga, rokok, aktivitas seksual)

 Kontrol bahaya lingkungan (polusi udara dan air, vektor penyakit)

 Intervesi kesehatan (imunisasi, skrining skala besar).

Sedangkan dalam level individu dapat berupa pencegahan primer;


pencegahan sekunder (menghindari penyakit lain yang sejenis atau untuk
mengurangi resiko); penyembuhan (untuk mengembalikan fungsi normal tubuh);
manajemen penyakit akut; manajemen penyakit kronis (yang di dalamnya dapat
pencegahan sekunder); rehabilitasi; tindakan paliatif (mengurangi nyeri atau
bertahan pada kondisi yanng mana tidak ada penyembuhan).

Beberapa unsur yang perlu diketahui menurut Muennig (2007) antara lain
sebagai berikut :
1. Health interventions
Intervensi kesehatan dapat berupa perawatan, tes skrining, atau
pencegahan primer. Pada umumnya, intervensi bertujuan untuk
mengurangi angka kejadian suatu penyakit atau komplikasinya,
meningkatkan kualitas hidup seseorang yang menderita penyakit, atau

63
meningkatkan harapan hidup seseorang. Kombinasi beberapa intervensi
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
2. Competing alternatives
Intervensi yang dibandingkan dengan intervensi lain disebut competing
alternatives. Membandingkan intervensi perlu dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dengan
biaya tertentu.
3. Kondisi kesehatan
4. Status kesehatan
5. Quality-adjusted life year (QALY)
6. Biaya

7.3 Proses Penerapan CEA


Dalam membandingkan intervensi pada analisa ini hanya ditujukan untuk
yang memiliki efisiensi dalam meningkatkan bidang kesehatan. Sebagai contoh
dalam program menurunan penyakit gastrointestinal terdapat salah satu intervensi
berupa perbaikan saluran air dan layanan sanitasi. Dalam perhitungan efektifitas
biaya, intervensi ini memiliki nilai yang rendah, namun intervensi ini diniliai oleh
masyarakat dapat meningkatakan kenyamanan dan sebagai perbaikan lingkungan.
Kenyamanan masyarakat dan perbaikan lingkungan termasuk dalam keuntungan
non-kesehatan sehingga tidak akan mempengaruhi hasil suatu efektivitas biaya
(Jamison, et al., 2006).
Penghitungan CEA melibatkan biaya yang dikeluarkan dan hasil (health
outcome) dari suatu program kesehatan untuk menghitung incremental cost-
effectiveness ratio terhadap suatu pembanding tertentu. Outcome yang dimaksud
dapat berupa intermediate outcome ataupun distal outcome. Dalam melakukan cost-
effective analysis, pertama-tama perlu dilakukan penghitungan biaya dan efek dari
satu intervensi dan alternatif intervensi lainnya. Kemudian melakukan

64
penghitungan Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) dengan rumus (Jamison,
Breman, & Mesham, 2006):
Setelah mendapatkan hasil dari setiap intervensi, diperlukan menghitung
selisih antar biaya tiap intervensi dan selisih dari efeknya. Selisih tersebut disajikan
dalam bentuk rasio. Analis biasanya akan mengacu pada incremental cost,
incremental effect, dan incremental cost-effectiveness ratio (ICER). ICER disini

merupakan rasio dari perbedaan biaya dan perbedaan efek. Efek dari tiap jenis
intervensi dapat dihitung dengan berbagai unit pengukuran. Dari data tersebut,
pengambil keputusan umumnya tertarik dengan alokasi sumber daya pada bidang
medis yang berbeda. Oleh karena itu, pengukuran outcome yang dapat digunakan
dalam bidang medis yang berbeda-beda lebih sering digunakan seperti quality-
adjusted life-year ( QALY ) ( Gray et.al, 2011 ) .

Salah satu langkah awal dalam menentukan biaya untuk melakukan suatu
intervensi adalah mengidentifikasi jenis biaya yang dikeluarkan. Secara umum,
pembagian jenis biaya terbagi menjadi programme costs dan patient costs.
Programme costs adalah biaya yang berhubungan dengan pengembangan dan
adminitrasi dari suatu jenis intervensi.

7.4 Contoh Penerapan CEA


CEA dapat diterapkan di berbagai tingkat dan kepentingan. Penerapan CEA
digunakan agar program yang dipilih memiliki nilai biaya dan efektivitas yang
paling baik. Salah satu contoh penerapan CEA adalah sebagai berikut:

65
A. Dalam sebuah rumah sakit memiliki tujuan untuk menyembuhkan penyakit
X dengan terdapat 2 usulan program, yaitu :
a. Menghabiskan biaya $150 tiap pasien, dengan 10% kesempatan
menyelamatkan hidup seseorang
b. Menghabiskan biaya $50 tiap pasien, dengan 5% kesempatan
menyelamatkan hidup seseorang
Dalam pencapaian program ini perlu diingat bahwa rumah sakit
tersebut tidak memiliki cukup biaya untuk menyembuhkan setiap orang,
hanya memiliki biaya $150K. Maka program yang dipilih adalah program
yang kedua. Apabila memilih program pertama maka memiliki 2x lebih
efektifitas (dalam menyelamatkan hidup seseorang) namun 3x lebih besar
biaya yang harus dikeluarkan, sehingga dipilih program kedua.
B. Rumah sakit “A” akan melaksanan program vaksin hepatitis dengan 2 opsi
cara yang diguanakan, yaitu:
a. Biaya satuan untuk pelaksanaan vaksin Hepatitis B dengan alat
suntik disposable sebesar Rp40.000,00
b. Biaya satuan untuk pelaksanaan vaksin Hepatitis B dengan alat
suntik Uniject sebesar Rp25.000,00
Maka dalam hal ini, program yang dipilih adalah program B
dikarenakan dari segi biaya untuk pelaksanaan vaksin, biaya pemeliharaan,
dan pasien yang tercakup dengan suntik Uniject lebih efektif dibandingkan
dengan suntik disposable.
C. Suatu rumah sakit sedang menjalankan program imunisasi dengan memiliki
3 intervensi yang berbeda, yaitu :
1. X menggambarkan intervensi saat ini yang sedang dijalankan, yaitu
dengan cara memperbaiki fasilitas yang ada. Intervensi ini akan
menghasilkan efek sebesar E2 (diukur dari berkurangnya penyakit)
dengan biaya total yang dibutuhkan C2. Perbandingan C2 terhadap E2
merupakan ACER, yang digambarkan dengan garis O-X. Diluar titik X,
pelebaran efek akan manghabiskan biaya yang tinggi.
 Apabila dilakukan pelebaran efek hingga E3 akan menghasilkan
ACER pada titik X1, dengan peningkatan biaya C2 ke C3. Garis

66
yang terbentuk X-X1 menggambarkan ICER dari pelebaran
tersebut (C3-C2 / E3-E2).
 Apabila dilakukan pengurangan efek hingga E1 akan
menghasilkan ACER pada titik X2, dengan penuruan biaya C2
ke C1. Garis yang terbentuk X-X2 menggambarkan ICER dari
pengeurangn tersebut (C2-C1 / E2-E1).
2. Y merupakan intervensi berupa tim yang bergerak untuk program
imunisasi. Intervensi ini menghasilkan efek imunisasi yang hampir
maksimal yaitu E4 dengan total biaya yang dihabiskan sebesar C4.
ICER intervensi ini merupakan garis yang dibentuk X-Y. Dari hasil
perhitungan tersebut, lebih baik meningkatkan intervensi X dengan
meningkatkan fasilitas (bangunan dan pegawai).
3. Z merupakan intervensi alternatif yang lebih baik, karena menggunakan
basis tim imunisasi yang dapat beroprasi jauh dari fasilitas karena
menggunakan vaksin yang stabil panas, sehingga tidak butuh rantai
dingin. ICER dari intervensi ini digambarkan oleh garis X-Z. Hasil
penghitungan ini lebih baik daripada intervensi Y dan X. Sehingga
intervensi ini lebih dipilih.

67
7.5 Keuntungan Penerapan CEA
Penerapan CEA sebagai evaluasi ekonomi kesehatan untuk menentukan
strategi dilakukan karena CEA memiliki beberapa keuntungan. Beberapa
keuntungan tersebut antara lain (Jamison, et al., 2006):
a. Membantu mengidentifikasi peluang yang tidak terpikirkan dengan
memfokuskan pada intervensi yang relatif murah, namun berpotensi
mengurangi beban penyakit secara substansial.
b. Membantu mengidentifikasi sumber daya yang tersembunyi untuk
memperoleh hasil yang lebih
c. Dalam menggunakan analisis ini dapat digunakan variabel pengukuran hasil
yang objektif
d. Menghindari adanya dilema etik dan kesusahan analisis yang ditimbulkan
apabila menggunakan Cost-Benefit Analysis (CBA)
e. Lebih mudah untuk membuat kebijakan untuk membandingkan program jika
hanya mempedulikan satu hasil saja.
f. Analisa ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi efektifitas dari sebuah
kebijakan yang akan diimplentasikan (ex-ante), atau untuk mengukur
efektifitas kebijakan yang telah berlaku (ex-post) (Anonymous, 2008).

68
7.6 Kerugian dan Hambatan Penerapan CEA

Meski CEA memiliki keuntungan yang dapat membantu dalam pengambilan


keputusan dan strategi di bidang pelayanan kesehatan, ada beberapa kerugian dan
hambatan yang dihadapi bila CEA diterapkan. Kerugian dari penerapan CEA yaitu:
a. Dalam melakukan analisis sulit untuk mendapatkan data biaya (misalnya
data biaya dari pelaksana, dan juga data dari peneliti lain apabila akan
dilakukan CEA komparatif)
b. Apabila digunakan untuk menghitung penyakit dan cara penyembuhan tidak
dapat digunakan pada daerah yang memiliki prevalensi yang berbeda (contoh
CEA penyembuhan bakteri penyebab kanker usus di daerah Colombia
memiliki nilai tinggi apabila dibandingkan dengan daerah United States
karena di Colombia prevalensi penyakit kanker usus terhitung tinggi dan
biaya pengobatan ternilai rendah).
c. Tidak dapat menggunakan indikator prevalensi sebagai sebuah intervensi
dalam menentukan sebuah CEA (Jamison, et al., 2006).
d. Penggunaan analisis ini tidak dapat memunculkan skala intervensi mana
yang lebih layak atau optimal
e. Tidak dapat digunakan untuk membandingkan intervensi dengan hasil
akhirnya memiliki tujuan yang berbeda (Anonymous, 2008).
Sementara itu, menurut Probandini (2007), hambatan yang mungkin
dihadapi dalam menerapkan CEA antara lain:
a. Ketersediaan Sistem Informasi yang Mendukung
Hambatan ketersediaan data yang bermutu merupakan persoalan
utama (Greiner, 2005). Di negara berkembang seperti Indonesia, sistem
informasi kesehatan masih dirasakan belum mendukung bagi kepentingan
evaluasi efektivitas program, apalagi dari sisi biaya. Hal ini karena sistem
informasi yang dibuat dalam suatu program kesehatan seringkali tidak
mendukung bagi ketersedian data-data untuk evaluasi dari sudut pandang
biaya dan efektivitas program.
b. Variasi Instrumen yang Dipakai
Metode melakukan evaluasi ekonomi pada umumnya masih
berkembang. Demikian halnya instrumen yang dipakai. Sebagai contoh,

69
dalam mengukur efektivitas berupa health-related quality of life masih
terdapat perbedaan pendapat tentang aspek-aspek yang diukur di dalamnya
sehingga menghasilkan dua instrumen yang berbeda yaitu SF-6D dsn EQ-
5D (Bryan, 2005).
c. Penggunaan Analisis Statistik
Analisis statistik dalam publikasi tentang evaluasi ekonomi
kesehatan pada umumnya dipandang belum mempunyai kualitas yang
memadai (Doshi, 2006). Kualitas penelitian yang kurang memadai tentu
saja akan menghalangi potensi hasilnya yang dipakai dalam pengambilan
keputusan. Untuk menyakinkan banyak pihak termasuk pembuat keputusan,
maka dibutuhkan argumetasi yang didukung oleh bukti-bukti yang
berkualitas.
d. Penerimaan Pembuat Kebijakan
Perjalanan dari hasil evaluasi ekonomi ke perubahan kebijakan
dapat dikatakan “berliku dan panjang”. Hal ini terjadi pula pada negara-
negara maju. Aplikasi hasil evaluasi ekonomi sangat ditentukan oleh sejauh
mana para pembuat kebijakan dapat meyakinkan bahwa hasil tersebut
dibuat dengan metode yang tepat dan mampu menjawab pertanyaan praktis
yang mereka hadapi. Hal ini tidak lepas dari kesadaran para pembuat
kebijakan tentang pentingnya melakukan evaluasi ekonomi serta peran
peneliti evaluasi ekonomi kesehatan untuk menterjemahkan hasil penelitian
menjadi informasi yang jelas bagi pembuat kebijakan (Williams, 2007).

70
BAB VIII

PENYUSUNAN ANGGARAN

8.1 Pengertian Penganggaran


Penganggaran adalah suatu proses dimana biaya dialokasikan pada kegiatan
tertentu yang telah di rencanakan untuk jangka waktu yang telah ditetapkan. Selain
itu, pengertian penganggaran adalah proses kegiatan yang menghasilkan anggaran
sebagai suatu hasil kerja (out-put), serta berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-
fungsi anggaran, yaitu fungsi pedoman kerja, alat pengkoordinasian kerja dan
pengawasan kerja (Munandar, 1990).

Beberapa prinsip penganggaran dilihat dari perspektif tradisional, sudah


lazim dikenal dengan sebutan The three Es, yaitu Ekonomis, Efisien, dan Efektif.
Hasil tersebut mengandung makna bahwa ekonomis hanya berhubungan dengan
input, efektifitas hanya berkepentingan dengan output, sedangkan efisiensi
umumnya dalam kaitan antara output dengan input (Rowan & Pendlebury, 1988).

Sebagai pedoman kerja, anggaran memberikan arah serta sekaligus


memberikan target yang harus dicapai oleh kegiatan rumah sakit pada waktu yang
akan datang. sebagai alat koordinasi, anggaran mengkoordinasi semua bagian yang
ada di rumah sakit sehingga saling menunjang, saling bekerja sama dengan baik
untuk menuju sasaran yang telah ditetapkan. Demikian juga anggaran sebagai tolak
ukur maupun pembanding untuk menilai realisasi kegiatan rumah sakit, kelemahan
maupun kekuatan yang dimiliki oleh rumah sakit. Hal ini menunjukan bahwa
anggaran dapat pula berfungsi sebagai alat pengawas kerja.

Sebagai suatu sistem, anggaran terdiri dari komponen-komponen yang


saling bergantung dan saling mempengaruhi yang kesemuanya dipersiapkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen-komponen penganggaran
tersebut antara lain :

a. Komponen masukan (input) yang terdiri dari tenaga penyusun anggaran,


informasi kegiatan dan keuangan, organisasi dan tatalaksana, kebijakan-
kebijakan direktur serta peralatan yang diperlukan dalam penggaran.
b. Komponen proses terdiri dari perencanaan (planning for planning),
pengorganisasian, kegiatan yaitu mengumpulkan, mengolah, menganalisa

71
data, dan menyusun anggaran, serta pengawasan dan pengendalian melalui
konsultasi kepada direktur dan pemerintah.
c. Komponen keluaran (out-put) adalah anggaran yang telah disetujui dan
disahkan oleh pemerintah.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem penganggaran rumah sakit
adalah unit-unit lain di rumah sakit (UPF, instalasi, urusan umum, PPL,
kepala seksi medis/perawatan dan ketenagaan), peraturan pemerintah
pusat/daerah, sumber dan biaya pelayanan kesehatan, perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Kedokteran (Iptek) serta keadaan
perekonomian masyarakat.
e. Umpan balik sebagai hasil evaluasi anggaran

Proses penyusunan anggaran adalah proses penyusunan rincian kebutuhan


dana dan penyusunan laba dengan rancangan dapat menyusun rencana dengan baik
agar laba yang didapat maksimal (Soleman, 2016). Menurut Brownwell dikutip
melalui Mardiasmo (2002) menjelaskan bahwa penyusunan anggaran memerlukan
tiga pendekatan yakni :
1. Top Down Approach

72
Penyusunan anggaran dengan menggunakan pendekatan top down, dimulai
dari manajemen puncak yang menetapkan kebijakan pokok organisasi
dengan memberikan pedoman bagi manajer yang menyusun anggaran
dalam membuat dan mengajukan rancangan anggaran pusat-pusat
pertanggung jawaban.
2. Bottom Up Approach
Penyusunan anggaran menggunakan pendekatan bottom up dimulai dari
para manajer yang menyusun usulan anggaran, kemudian diteruskan ke atas
sampai pada manajemen puncak. Proses penilaian dan pengesahan menjadi
sangat penting dalam pendekatan ini.
3. Kombinasi
Penyusunan anggaran dengan pendekatan partisipatif adalah dengan
menggabungkan kedua pendekatan top down dengan bottom up. Anggaran
dengan pendekatan ini dimulai dari manajer menyiapkan draft pertama
untuk anggaran di wilayah tanggung jawabnya berdasarkan
panduan/pedoman yang telah dibuat oleh atasan. Selanjutnya, manajer
puncak akan memeriksa dan mengkritisi anggaran yang diusulkan. Proses
penyusunan anggaran dengan pendekatan gabungan lebih efektif
dibandingkan dengan pendekatan top down ataupun bottom up.

Penyusunan anggaran pada organsasi pemerintahan pada dasarnya


mempunyai kesamaan bila dibandingkan dengan organisasi yang motifnya mencari
laba. Beberapa kesamaan tersebut adalah: (1) Organisasi pemerintah merupakan
bagian dari sistem ekonomi yang sama dan menggunakan sumber daya yang sama
pula untuk memenuhi tujuannya; (2) Organisasi pemerintah juga harus
menggunakan sumber daya yang langka untuk menciptakan barang dan jasa
sehingga memerlukan analisis biaya dan pengendalian biaya untuk memastikan
bahwa sumber daya yang langka tersebut telah digunakan secara efisien dan efektif
(Mahsun et al., 2011).

Pendekatan penyusunan anggaran yang ditujukan pada rakyat memiliki


sedikit perbedaan. Menurut Kunarjo dikutip dari Hesrini (2015) dijelaskan bahwa
secara umum anggaran negara adalah suatu rencana untuk penyelesaian program
atau kegiatan dalam rangka pencapaian sasaran dalam waktu tertentu (satu tahun)

73
termasuk perkiraan sumber-sumber dana dan daya yang tersedia. Maka anggaran
negara merupakan perencanaan yang sistematis oleh negara mengenai pendanaan
atas suatu kegiatan yang akan dilakukan dalam waktu yang akan datang selama
masa 1 tahun.

Menurut Kunarjo dikutip dari Hesrini (2015) dijelaskan mengenai


penyusunan anggaran dibuat untuk kepentingan rakyat, oleh sebab itu perlu
didasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Harus berdasarkan persetujuan eksekutif dan legislatif


2. Anggaran disusun sedemikian rupa sehingga rakyat dapat memahami
tentang pengalokasian dana yang berasal dari pajak atau sumber lain
3. Anggaran negara disusun dengan tujuan mengalokasi sumber daya
nasional untuk kesejahteraan rakyat
4. Penyusunan anggaran negara harus berpihak pada kepentingan rakyat
5. Anggaran negara berlaku 1 tahun anggaran dalam arti bahwa sejak
tahun dimulainya anggaran, pelaksanaan pengeluaran negara sudah
harus dimulai dan selesai pada akhir tahun anggaran
6. Pelaksanaan anggaran berurutan, dimulai dari persiapan, dilanjutkan
dengan pelaksanaan dan diakhiri evaluasi.

Pendekatan penyusunan anggaran dalam pemerintahan dijadikan acuan bagi


pemangku kepentingan bidang penganggaran dalam merancang dan menyusun
anggaran. Pendekatan tersebut meliputi menurut Hesrini (2015):
a. Pendekatan Penganggaran Terpadu
Penganggaran terpadu merupakan unsur yang paling mendasar bagi
penerapan pendekatan penyusunan anggaran lainnya yaitu:
Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) dan Kerangka Pengeluaran
Jangka Menengah (KPJM). Dengan kata lain bahwa pendekatan
anggaran terpadu merupakan kondisi yang harus terwujud terlebih
dahulu.
b. Pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja
Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) merupakan suatu pendekatan
dalam sistem penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara

74
pendanaan dan kinerja yang diharapkan, serta memperhatikan efisiensi
dalam pencapaian kinerja tersebut.
c. Pendekatan Kerangka Penganggaran Jangka Menengah (KPJM)
Kerangka Penganggaran Jangka Menengah adalah pendekatan
penyusunan anggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan
keputusan yang menimbulkan implikasi anggaran dalam jangka waktu
lebih 1 (satu) tahun anggaran. Kerangka Penganggaran Jangka
Menengah bertujuan untuk pengalokasian sumber daya anggaran yang
lebih efisien, untuk meningkatkan kualitas perencanaan anggaran, agar
lebih fokus terhadap kebijakan prioritas, untuk meningkatkan disiplin
fiskal, serta menjamin adanya kesinambungan fiskal.

8.2 Sumber Pembiayaan dan Penganggaran

Kebijakan pembiayaan kesehatan diatur dalam Undang-undang Nomor 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan yang juga dikutip dalam Peraturan Presiden Nomor
72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Keduanya membedakan
dengan jelas sumber pembiayaan untuk program Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yaitu sebagai berikut:

1. Ayat 114. Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang


publik (public good) yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan
untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat privat,
kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi
tanggung jawab pemerintah.
2. Ayat 115. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan
melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi
sosial yang pada waktunya diharapkan akan mencapai Universal Health
Coverage (UHC) sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).

Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009, upaya kesehatan dibiayai


dari sumber Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran dan

75
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang ada di berbagai sektor. Dana APBN
dapat berupa dana Dekonsentrasi, Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus
(DAK), dan Dana Alokasi Umum (DAU). Kemudian ada Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau (DBHCHT) dan Pajak Rokok yang sudah diatur agar sebagian
dipergunakan untuk kesehatan. Demikian juga Alokasi Dana Desa sebagian harus
dipergunakan untuk kegiatan kesehatan di tingkat desa, utamanya untuk
pemberdayaan masyarakat. Daerah juga bisa memobilisasi dana Corporate Social
Responsibility (CSR) untuk membiayai kegiatan UKM. Pembiayaan UKM memang
tidak bisa diklaim ke asuransi, misalnya ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Anggaran untuk pelatihan Kader atau rapat dengan Kepala Desa dalam
rangka UKM tidak bisa di klaim ke BPJS karena memang tidak termasuk dalam
“benefit package” Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemerintah Daerah perlu
memilah kegiatan mana saja yang sudah dan belum terdanai sehingga tidak terjadi
duplikasi sumber pendanaan untuk kegiatan di bidang kesehatan.

8.3 Prosedur Penganggaran

Pada dasarnya yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap


penyusunan serta pelaksanaan anggaran adalah pimpinan tertinggi organisasi,
karena pimpinan organisasilah yang paling berwenang dan bertanggung jawab atas
kegiatan organisasi secara keseluruhan. Namun demikian dalam penyusunannya
dapat didelegasikan kepada bagian administrasi, panitia anggaran, kedua-duanya,
atau kepada panitia anggaran di mana bagian administrasi merupakan anggotanya.
Pada umumnya penganggaran diserahkan kepada bagian administrasi bagi
organisasi yang kecil dengan kegiatan yang tidak terlalu kompleks, sedangkan
panitia anggaran, digunakan bagi organisasi yang besar dengan kegiatan yang
kompleks, beraneka ragam serta ruang lingkup yang berbeda (Munandar, 1990).

Di dalam panitia anggaran inilah diadakan pembahasan-pembahasan


tentang rencana kegiatan yang akan datang, sehingga anggaran yang dihasilkan
merupakan kesepakatan bersama, sesuai dengan fasilitas dan kemampuan masing-
masing bagian secara terpadu. Kesepakatan bersama ini sangat penting agar dalam
pelaksanaannya nanti didukung oleh semua pihak di Rumah Sakit.

76
Anggaran yang disusun oleh panitia anggaran ini baru merupakan rencana
anggaran, yang selanjutnya dikonsultasikan kepada pimpinan rumah sakit. Untuk
penyusunan anggaran di Rumah Sakit Pemerintah akan dibicarakan pada bagian
akhir dari bab ini. Pada prinsipnya istilah panitia ini diberikan kepada beberapa
orang (sekelompok orang) yang ditunjuk dan diberi wewenang untuk melakukan
suatu tugas (Wursanto,1989).

Wewenang yang diberikan kepada panitia ini sangat bervariasi, ada yang
diberi wewenang mengambil keputusan atau yang sifatnya memberi saran saja dan
ada juga yang hanya digunakan sebagai alat penerima informasi saja.

Penggunaan panitia dalam suatu organisasi disebabkan oleh berbagai


pertimbangan sebagai berikut:
1. Sifatnya demokratis
2. Sebagai alat koordinasi, alat untuk menampung informasi, alat dalam
konsolidasi wewenang dan untuk pemusatan wewenang dalam
merencanakan program.
3. Pertimbangan dan keputusan kelompok lebih baik daripada perorangan.
4. Motivasi melalui partisipasi.
Namun demikian Wursanto juga mengemukakan bahwa penggunaan panitia
dalam suatu organisasi, juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain
pemborosan, baik waktu maupun biaya, tidak mampu mengambil keputusan dengan
cepat, serta memecah tanggung jawab.

8.5 Contoh Penganggaran

Penyusunan perincian proyeksi anggaran tiap tahun untuk masing-masing


bagian pada rumah sakit, direktur sebagai manajemen puncak memberikan
pengarahan kepada Kabid Keuangan sebagai penyusun anggaran dalam suatu rapat
staff, tentang dasar-dasar penyusunan anggaran dan batasan-batasan untuk
membuat formulir tentang daftar usulan program dan dikirimkan kepada semua
kepala bagian untuk diisi. Atas dasar evaluasi tahun berjalan dan pertimbangan-
pertimbangan relevan lainnya serta usulan dari masing-masing bagian, Kabid
Keuangan merakit perincian proyeksi anggaran tahun selanjutnya untuk masing-
masing bagian. Proyek ini menjadi draft anggaran yang akan dibahas dengan

77
direktur dan Dewan Legislatif Pemerintah Daerah dan kemudian akan
dinegosiasikan dengan para kabid sebagai pelaksana anggaran.

Hasil pembahasan tersebut menjadi konsep anggaran tahun selanjutnya,


yang akan segera dibukukan dan disahkan oleh direktur menjadi anggaran yang sah.
Selanjutnya anggaran tersebut yang akan didistribusikan kepada masing-masing
kepala bagian sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyusun anggaran tahunan oleh


pihak penyusun anggaran:
● Realisasi anggaran tahun lalu, berikut asumsi-asumsinya
● Realisasi kegiatan usaha pelayanan tahun berjalan
● Estimasi hasil kegiatan usaha pelayanan yang dapat dicapai dalam
tahun berjalan
● Rencana jangka panjang
● Pertimbangan penting lainnya

Pada suatu rumah sakit,penyusunan anggaran dipengaruhi/ditentukan oleh


proyeksi target-target yang akan dicapai ataupun ketentuan-ketentuan manajemen
yang berkaitan dengan penyusunan anggaran, meliputi :
● Bed Ocupancy Ratio (BOR) yang diharapkan
● Kondisi tarif tahun mendatang
● Asumsi tingkat inflasi ataupun kebijaksanaan-kebijaksanaan baru
manajemen
● Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam mencapai target-
target yang mendukung tercapainya realisasi anggaran tahunan secara
keseluruhan.

Anggaran tahunan yang disusun harus mencakup anggaran/proyeksi sebagai


berikut : anggaran hasil, anggaran biaya, anggaran investasi.

Adapun langkah yang ditempuh dalam penyusunan anggaran, yaitu:


1. Penyusunan perencanaan strategik dan program
Proses ini dibuat oleh pihak yang berwenang yaitu
manajemen puncak. Penyusunan perencanaan strategik dan

78
program ini harus didasarkan pada informasi yang cukup relevan,
sehingga perencanaan yang disusun menjadi realistik dan logis.

2. Penyusunan usulan anggaran


Setiap kepala bagian menyusun daftar usulan program
dengan pedoman yang telah disiapkan oleh manajemen puncak.
Hal ini dilakukan bila rumah sakit menerapkan sistem bottom up
(dari bawah ke atas) atau sistem partisipatif, karena para pelaksana
anggaran dilibatkan secara langsung yaitu dengan menyusun
sendiri usulan program untuk bagiannya sendiri-sendiri. Sistem ini
akan memberikan manfaat bagi perusahaan yaitu: keakuratan atau
ketepatan penyusunan anggaran setidaknya dapat dicapai, motivasi
untuk bekerja lebih meningkat dan semangat kerja akan semakin
tinggi.

3. Pelaksanaan revisi usulan anggaran


Kegiatan ini dilaksanakan oleh kepala bagian keuangan
dengan jalan mengadakan konsolidasi terhadap usulan-usulan
program yang telah terkumpul. Hal ini dilakukan untuk
menghindari adanya overlap atau duplikasi antar anggaran dari
tiap-tiap bagian.

4. Proses negosiasi
Dalam proses ini anggaran yang telah dirakit atau disusun
oleh kepala bagian keuangan akan dinegosiasikan dengan para
kabag sebagai pelaksana dan pengusul (pembuat) anggaran. Hal ini
perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pendapat dari
tiap-tiap kabag tentang anggaran yang telah disusun dan untuk
mengetahui kesanggupan mereka dalam melaksanakan anggaran
tersebut. Proses negosiasi ini akan bekerja dengan baik jika
didukung oleh sistem kerja yang terjalin melalui komunikasi dua
arah antar perakit anggaran dan pelaksana anggaran.
5. Pengesahan anggaran

79
Anggaran yang telah direvisi disahkan oleh manajemen
puncak dan didistribusikan kepada tiap-tiap kabag, sebagai
pedoman pelaksaaan kegiatan sekaligus sebagai alat pengendalian.
Dengan demikian para kabag dapat memantau hasil kerja
bagiannya sendiri berdasarkan anggaran tersebut.

80
BAB IX
ANALISIS BREAK EVEN POINT

9.1 Pengertian Analisis Break Even Point

Menurut Munawir (2007), analisis Break Even Point merupakan suatu


analisis yg digunakan oleh manajemen sebagai acuan pemberian keputusan
terhadap perencanaan keuangan, khususnya pada tingkat laba yang ingin dicapai
serta berhubungan dengan tingkat penjualannya. Manajemen perlu mengetahui
hubungan antara biaya, volume penjualan dan laba sebagai dasar informasi
penunjangnya. Semaksimal mungkin harus terus berupaya menghindari kerugian
walaupun tidak juga mendapat laba, namun tetap berada pada keadaan Break Event.
Break Even Point atau titik impas merupakan suatu titik yang menunjukkan bahwa
pendapatan total yang dihasilkan perusahaan sama dengan jumlah biaya yang
dikeluarkan, sehingga perusahaan tidak memperoleh laba dan tidak mengalami
kerugian. Break Even Point dapat diartikan suatu keadaan dimana dalam operasi,
perusahaan tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi (penghasilan = total
biaya) (Munawir, 2007).

Analisis Break Even Point sangat bermanfaat untuk merencanakan laba


operasi dan volume penjualan suatu perusahaan. Setelah mengetahui informasi
besarnya hasil titik impas yang dicapai, maka industri dapat melakukan kebijakan,
yaitu menentukan berapa jumlah produk yang harus dijual (budget sales), harga
jualnya (sales price) apabila industri menginginkan laba tertentu dan dapat
meminimalkan kerugian yang akan terjadi. Analisis Break Even Point adalah suatu
analisis yang bertujuan untuk menemukan satu titik pada suatu unit yang
menunjukkan bahwa pendapatan bernilai sama dengan biaya yang dikeluarkan.
Titik tersebut dinamakan titik BEP. Dengan begitu, analis dapat mengetahui pada
jumlah penjualan berapa suatu instansi mendapatkan titik yang tidak rugi dan tidak
untung, sehingga tepat impas. Bila melebihi titik tersebut, maka perusahaan dapat
dikatakan untung. Namun, bila kurang dari titik tersebut, berarti perusahaan rugi.
Dengan kata lain, metode analisis ini digunakan untuk menghitung berapa nilai
rupiah yang harus dibutuhkan agar dapat menutupi biaya tetap dan biaya variabel
sehingga tidak mengalami kerugian. Contohnya, akan didapatkan titik BEP bila

81
biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 1000 dan produk ataupun jasa terjual
Rp. 1000 pula (Prasetya & Lukiastuti, 2009; Rangkuti, 2002).

9.2 Tujuan Analisis Break Even Point

Umumnya, tujuan utama dari suatu kegiatan berbisnis adalah untuk


mendapatkan keuntungan yang optimal. Harapan untuk mendapatkan keuntungan
yang besar tidak dapat terlaksana apabila tidak disertai dengan peningkatan jumlah
penjualan produk. Manajemen harus mampu untuk membuat suatu rencana yang
strategis agar meningkatkan volume penjualan di pasar konsumen, sehingga
mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut. Analisis Break Even Point
merupakan metode yang dapat membantu perencanaan kegiatan dan penyusunan
anggaran perusahan, sehingga dapat digunakan untuk menetukan target penjualan
optimal dengan mendapatkan laba yang maksimum.

Penetapan harga ditentukan oleh tingkat permintaan dan penawaran yang


terjadi di pasar konsumen. Penetapan harga perlu diperhitungkan agar dapat
mencapai tingkat yang optimum, sehingga dapat menutupi semua biaya-biaya
operasional yang dikeluarkan oleh perusahaan terlebih mendapatkan laba. Harga
yang tinggi dapat menurunkan volume penjualan yang diminta konsumen. Harga
yang rendah dapat meningkatkan kuantitas penjualan tetapi dapat menurunkan total
laba. Penerapan analisis Break Even Point merupakan salah satu metode yang dapat
menetapkan harga dengan cara menentukan biaya yang dikeluarkan perusahaan
dengan tingkat laba yang diharapkan.

9.3 Manfaat Analisis Break Even Point

Analisis Break Even Point sangat bermanfaat untuk merencanakan laba


operasi dan volume penjualan suatu perusahaan. Setelah mengetahui informasi
besarnya hasil titik impas yang dicapai, maka dapat dilakukannya menentukan
harga jualnya (sales price) apabila menginginkan laba tertentu dan dapat
meminimalkan kerugian yang akan terjadi (Munawir, 2007).

Manfaat atau kegunaan Break Even Point menurut Bustam (2006) adalah
sebagai berikut:

82
a. Mengetahui jumlah penjualan minimum yang harus dipertahankan
perusahaan agar tidak mengalami kerugian. Jumlah penjualan
minimum ini juga berarti jumlah produksi minimum yang harus dibuat.
b. Mengetahui jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh
laba yang telah direncanakan. Dapat diketahui bahwa tingkat produksi
harus ditetapkan untuk memperoleh laba tersebut.
c. Mengetahui seberapa jauh berkurangnya penjualan agar perusahaan
tidak menderita kerugian
d. Mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya, dan volume
penjualan

9.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Break Even Point

Faktor-faktor yang mempengaruhi Break Even Point adalah:


a. Perubahan Biaya Variabel
Meningkatnya variable cost per unit akan meninggikan tingkat Break
Even Point, sedangkan penurunan variable cost per unit akan
mempunyai pengaruh yang sebaliknya.
b. Perubahan Biaya Tetap
Suatu perusahaan apabila meningkatkan fixed operating cost, maka
tingkat Break Even Point akan meningkat pula, demikian juga halnya
bila fixed operating cost diturunkan, maka tingkat Break Even Point
pun akan bergerak turun ke titik yang lebih rendah.
c. Perubahan Harga Jual
Kenaikan harga jual per unit akan menurunkan tingkat Break Even
Point dan sebaliknya penurunan tingkat harga jual per unit akan
membawa pengaruh terhadap menurunnya Break Even Point
(Syamsuddin, 2011).

9.5 Penerapan Analisis Break Even Point

Penetapan harga ditentukan oleh tingkat permintaan dan penawaran yang


terjadi di pasar konsumen. Penerapan harga perlu diperhitungkan agar dapat
mencapai tingkat yang optimum, sehingga dapat menutupi semua biaya-biaya
operasional yang dikeluarkan oleh perusahaan terlebih mendapatkan laba. Harga

83
yang tinggi dapat menurunkan volume penjualan yang diminta konsumen. Harga
yang rendah dapat meningkatkan kuantitas penjualan tetapi dapat menurunkan total
laba. Penerapan analisis Break Even Point merupakan salah satu metode yang dapat
menetapkan harga dengan cara menentukan biaya yang dikeluarkan perusahaan
dengan tingkat laba yang di harapkan (Tjiptono dkk, 2008).

Analisa Break Even Point memberikan penerapan yang luas untuk menguji
tindakan-tindakan yang diusulkan dalam mempertimbangkan alternatif atau tujuan
pengambilan keputusan yang lain. Analisa Break Even Point tidak semata-mata
untuk mengetahui keadaan perusahaan yang break even saja, akan tetapi analisa
Break Even Point mampu meberikan informasi kepada pimpinan perusahaan
mengenai berbagai tingkat volume penjualan, serta hubungan dengan kemungkinan
memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan.

9.5.1 Asumsi Analisis Break Even Point


Analisis impas bergantung pada sejumlah asumsi yang membatasi. Di
antaranya asumsi tersebut adalah:
1. Bahwa biaya harus dapat dipisahkan atau diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu biaya tetap dan biaya variabel dan prinsip variabilitas biaya dapat
diterapkan dengan tepat.
2. Bahwa biaya tetap secara total akan selalu konstan sampai tingkat
kapasitas penuh.
3. Bahwa biaya variabel akan berubah secara proporsional (sebanding)
dengan perubahan volume penjualan dan adanya sinkronisasi antara
produksi dan penjualan.
4. Harga jual per satuan barang tidak akan berubah berapapun jumlah
satuan barang yang dijual atau tidak ada perubahan harga secara umum.
5. Bahwa hanya ada satu macam barang yang diproduksi atau dijual atau
jika lebih dari satu macam, maka kombinasi atau komposisi
penjualannya (sales mix) akan tetap konstan (Munawir, 2007).

9.5.2 Penentuan Tingkat Break Even Point


Dalam melakukan analisis BEP, perlu mengetahui tiga hal yaitu biaya
tetap, biaya variabel, dan pendapatan. Biaya tetap adalah biaya yang

84
dikeluarkan perusahaan dengan besarnya tetap, dan tidak tergantung volume
penjualan. Biaya variabel adalah biaya yang besarnya bervariasi sesuai
dengan unit yang dijual. Terakhir, pendapatan merupakan elemen lain dari
analisis break even dan diasumsikan berbentuk linier, akan bertambah sesuai
dengan pertambahan volume penjualan (Prasetya & Lukiastuti, 2009).
Cara menentukan titik BEP (Rangkuti, 2002):
1. Hitung seluruh biaya tetap.
2. Tentukan biaya apa saja yang termasuk biaya variabel untuk
tingkat produksi yang berbeda-beda.
3. Biaya tetap terkadang mengacu pada overhead cost, yaitu
pengeluaran yang tidak tergantung pada banyaknya produk yang
dihasilkan.
4. Variable cost adalah pengeluaran yang sangat tergantung pada
jumlah produk yang dihasilkan.
5. Seluruh biaya overhead (biaya tetap) dan biaya inremental per
unit (biaya variabel) diketahui sebelum menghitung BEP.
6. Terakhir, nilai-nilai biaya tetap dan biaya variabel tersebut
dimasukkan ke dalam rumus break even.

A. Metode Penghitungan Break Event Point


Break Even Point umumnya dapat dihitung dengan tiga metode yaitu
metode persamaan, metode margin kontribusi dan metode grafis. Ketiga
metode tersebut pada dasarnya adalah pendekatan yang mempunyai hasil
akhir sama, akan tetapi ketiga metode tersebut memiliki perbedaaan pada
bentuk dan variasi dari persamaan laporan laba rugi kontribusi.
a. Metode Persamaan
Metode Persamaan (equation method) adalah metode yang berdasarkan
pada pendekatan laporan laba rugi . Dengan persamaan dasar sebagai
berikut menurut Halim, (2011:75) :
Penghasilan total = Biaya total
Penghasilan total = Biaya variabel + Biaya tetap
Persamaan tersebut dapat diuraikan dalam rumus: pX = a + bX
Keterangan:

85
p = Harga jual per unit produk
X= Unit produk yang dijual/yang diproduksi
a= Total Biaya Tetap
b= Biaya variabel setiap unit produk
Dari rumus diatas dapat diketahui rumus Break Even Point
sebagai berikut:
Break Even Point dalam satuan uang penjualan

Break Even Point dalam unit produk

Pada keadaaan titik impas laba operasinya sama dengan nol,


sehingga akan menghasilkan jumlah produk (dalam satuan unit maupun
satuan uang penjualan) yang dijual mencapai titik impas ditambah biaya
tetap (Prasetya & Lukiastuti, 2009).
.
b. Metode Kombinasi Unit
Menurut Simamora (2012:171) Metode Kontribusi Unit
merupakan variasi metode persamaan. Setiap unit atau satuan produk
yang terjual akan menghasilkan jumlah margin kontribusi tertentu yang
akan menutup biaya tetap. Metode kontribusi unit adalah metode jalan
pintas dimana harus diketahui nilai margin kontribusi. Margin
Kontribusi adalah hasil pengurangan pendapatan dari penjualan dengan
biaya variabel. Untuk mencari titik Impas rumusnya adalah sebagai
berikut:

86
c. Metode Grafis
Manajer dapat menggambarkan titik impas melalui grafis, grafis
titik impas akan menunjukkan volume penjualan pada sumbu x atau
garis horizontal dan biaya akan terletak pada sumbu y atau garis
vertikal. Sedangkan titik impas akan terletak pada perpotongan antara
garis pendapatan dan garis biaya. Garis sebelah kiri garis impas
menunjukkan sisi kerugian, sebaliknya sisi kanan menunjukkan sisi
laba usaha. Dengan menggunakan metode grafis manajer dapat
menghindari metode matematis pada waktu tingkat penjualan yang
berbeda tengah dipertimbangkan. Metode grafis akan membantu
manajer dalam mengevaluasi akibat perubahan volume tahun lalu dan
dapat memproyeksikan volume penjualan pada tahun yang akan datang.

Gambar. Grafik analisis BEP

87
Menurut Simamora (2012:173) Grafis titik impas mempunyai
beberapa hal penting yaitu selama harga jual melebihi biaya variabel (
margin kontribusinnya positif), maka penjualan yang lebih banyak akan
menguntungkan perusahaan, baik dengan meningkatkan laba ataupun
mengurangi kerugian. Oleh karena itu, perusahaan lebih baik tetap
beroperasi karena kerugian mereka akan lebih besar lagi jika
perusahaan menghentikan atau menutup kegiatan usahanya, hal ini pada
umumnya sering terjadi pada bisnis musiman.

B. Contoh Penggunaan Analisis Break Even Point


Contoh penerapan analisis BEP dapat dilihat dalam kasus berikut:
bangsal VIP Kencana Husada di Rumah Sakit Kabupaten Jatiwangi
mempunyai 15 tempat tidur. Biaya tetap (fixed cost) untuk menjalankan
bangsal VIP adalah Rp24.000.000,00 per tahun. Biaya variabel (variable
cost) untuk tiap tempat tidur yang dihuni adalah Rp16.000,00 per hari.
Tarif tiap tempat tidur sehari adalah Rp40.000,00.
Dalam hal ini terdapat beberapa pertanyaan:
1. Berapa hari-tempat tidur yang harus dipakai minimum agar
mencapai break-even?
2. Berapa keuntungan yang diperoleh bila X tempat tidur-hari
terjual?
3. Jika hanya X tempat tidur-hari yang terisi, berapa tarif yang
harus ditetapkan?

88
Grafik analisis BEP dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 9.1 Grafik Analisis BEP

Grafik di atas menunjukkan bahwa sebelum mencapai 1.000 hari


tempat tidur terpakai dalam setahun maka Bangsal Kencana Husada
masih rugi. Jika mencapai 1.000 maka pendapatan totalnya adalah
Rp40.000.000,00 sedangkan biayanya adalah Rp24.000.000,00 + (1.000
x Rp16.000,00). Analisis pulang pokok tersebut dapat dilakukan secara
aljabar sebagai berikut.
S = FC + VC
Keterangan :
S: Pendapatan
FC: Fixed Cost
VC: Variable Cost
Persamaan tersebut dipakai untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan di atas:
a. Berapa hari-tempat tidur yang harus dipakai minimum agar
mencapai BEP?
S = FC + VC
Rp40.000.000,00 = Rp24.000.000,00 + (1.000 x Rp16.000,00)
Dengan demikian, sebanyak 1.000 hari-tempat tidur yang
harus terisi selama setahun agar mencapai BEP.

b. Berapa keuntungan yang ada bila 1.500 hari-tempat tidur


terpakai selama setahun?

89
Profit dapat dimasukkan sebagai salah satu komponen yang
mempengaruhi pendapatan, seperti yang tertulis di bawah
ini:
S = FC + VC + P
P = S - FC - VC
P = (1.500 x Rp40.000,00) – Rp24.000.000,00 – (1.500 x
Rp16.000,00)
P = Rp12.000.000,00
c. Jika hanya 600 hari-tempat tidur yang terisi dalam setahun
(BOR lebih kurang 15%), berapa tarif yang harus
ditetapkan untuk mencapai Break Even Point?
S = FC + VC
S = Rp24.000.000,00 + (600 x Rp16.000,00) =
Rp33.600.000,00

Penerimaan minimal harus sebesar Rp33.600.000,00.


Dengan demikian tarif per tempat tidur sebesar
Rp33.600.000,00 dibagi 600 = Rp56.000,00 per hari.

Perlu dipahami bahwa contoh analisis BEP ini sangat disederhanakan.


Kasus-kasus yang terjadi di lapangan tentu lebih rumit dan sulit karena pembagian
fixed cost dan variable cost mungkin tidak telalu jelas (Trisnantoro, 2015).

90
BAB X

PELAYANAN KESEHATAN GIGI DI ERA JKN (JAMINAN


KESEHATAN NASIONAL)

10.1. Pengertian Pelayanan Kesehatan Gigi Era JKN

Pelayanan kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari pelayanan


kesehatan secara keseluruhan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan dalam bidang kedokteran gigi. Pelayanan kesehatan gigi dan mulut
dilakukan melalui pendekatan pelayanan kedokteran gigi keluarga, yang berarti
Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) tingkat pertama dalam bidang kesehatan gigi
dan mulut secara terintegrasi yang meliputi kegiatan preventif, promotif, kuratif
dan rehabilitatif (Kepmenkes, 2007).

Pemerintah berusaha meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang


optimal dengan menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan salah satunya dengan
membuat sistem jaminan sosial kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat
Indonesia yang kemudian disebut dengan sistem JKN (BPJS Kesehatan, 2014).
Selain untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, JKN juga bertujuan
untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat di
Indonesia.

Konsep pelayanan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia saat ini


membagi pelayanan menjadi tiga (3) struktur layanan, yaitu pelayanan primer,
pelayanan sekunder dan pelayanan tersier. PDGI sebagai organisasi profesi bidang
kedokteran gigi telah menetapkan bahwa pelayanan kedokteran gigi berada dalam
strata pelayanan primer dan sekunder pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

Saat ini, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan gigi dan mulut
masih rendah dan cenderung mencari pengobatan pada waktu muncul keluhan.
Rata-rata masyarakat berkunjung ke dokter gigi dalam kondisi memerlukan
perawatan yang kompleks dengan risiko biaya yang lebih tinggi. Keadaan ini
menunjukkan bahwa effective demand untuk pengobatan gigi di Indonesia masih
rendah, yaitu hanya 7% dari populasi. Akibat terlambatnya perawatan gigi,
sebagian besar kasus penyakit gigi berakhir dengan kehilangan gigi dikarenakan
pencabutan. Pola masyarakat yang seperti ini memerlukan tindakan pencegahan

91
dan promosi yang bersifat intervensi yang hanya dapat dilakukan apabila dokter
gigi berperan pada pelayanan primer (Dewanto dan Lestari, 2014).

Perhitungan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada


era JKN ini dapat kita hitung dengan model perhitungan utilization rate. Utilization
rate didefinisikan sebagai angka probabiliti terjadinya suatu jenis pelayanan
kesehatan oleh provider kepada pasien. Utilization rate dapat diketahui dengan
menghitung jumlah kunjungan pasien dalam satu bulan dibagi dengan jumlah
seluruh peserta kemudian dikalikan 100% (Dewanto dan Lestari, 2014). Estimasi
perhitungan angka utilisasi yang baik idealnya adalah 2% - 3%, karena pada
perhitungan ini sudah menghitung resiko dan pembiayaan yang seimbang pada
pelayanan dokter gigi di Indonesia.

Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan. UUD 1945 mengamanatkan bahwa jaminan
kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang miskin dan tidak mampu, adalah
tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pada UUD 1945 Perubahan, Pasal
34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah menjalankan UUD 1945 tersebut dengan
mengeluarkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) untuk memberikan jaminan sosial menyeluruh bagi setiap orang dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak menuju terwujudnya
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Dalam UU No 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan juga ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004, SJSN diselenggarakan dengan


mekanisme Asuransi Sosial dimana setiap peserta wajib membayar iuran guna
memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya. Dalam SJSN, terdapat Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang merupakan bentuk komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan
jaminan kesehatan masyarakat Indonesia seluruhnya. Sebelum JKN, pemerintah
telah berupaya merintis beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, antara

92
lain Askes Sosial bagi pegawai negeri sipil (PNS), penerima pensiun dan veteran,
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek bagi pegawai BUMN dan
swasta, serta Jaminan Kesehatan bagi TNI dan Polri. Untuk masyarakat miskin dan
tidak mampu, sejak tahun 2005 Kementerian Kesehatan telah melaksanakan
program jaminan kesehatan sosial, yang awalnya dikenal dengan nama program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPKMM), atau lebih
populer dengan nama program Askeskin (Asuransi Kesehatan Bagi Masyarakat
Miskin). Kemudian sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2013, program ini
berubah nama menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Seiring dengan dimulainya JKN per 1 Januari 2014, semua program


jaminan kesehatan yang telah dilaksanakan pemerintah tersebut (Askes PNS, JPK
Jamsostek, TNI, Polri, dan Jamkesmas), diintegrasikan ke dalam satu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Sama halnya dengan
program Jamkesmas, pemerintah bertanggungjawab untuk membayarkan iuran
JKN bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI) (Dewanto dan Lestari, 2014).

10.2. Proses Penerapan Pelayanan Kesehatan Gigi Era JKN

10.2.1 Prinsip Penatalaksanaan JKN

Sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, maka Jaminan


Kesehatan Nasional dikelola dengan prinsip :

1. Gotong royong.
Dengan kewajiban semua peserta membayar iuran maka akan
terjadi prinsip gotong royong dimana yang sehat membantu yang
sakit, yang kaya membantu yang miskin
2. Nirlaba.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak diperbolehkan
mencari untung. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah
dana amanat, sehingga hasil pengembangannya harus
dimanfaatkan untuk kepentingan peserta.
3. Keterbukaan, kehati – hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan
efektivitas.

93
Prinsip manajemen ini mendasari seluruh pengelolaan dana yang
berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangan.
4. Portabilitas.
Prinsip ini menjamin bahwa sekalipun peserta berpindah tempat
tinggal atau pekerjaan, selama masih di wilayah Negara Republik
Indonesia tetap dapat mempergunakan hak sebagai peserta JKN.
5. Kepesertaan bersifat wajib.
Agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.
Penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
6. Dana Amanat.
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan
kepada badan penyelenggara untuk dikelola sebaik – baiknya
demi kepentingan peserta.
7. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar – besar
kepentingan peserta.

10.2.2 Prinsip Pelayanan Kedokteran Gigi Primer

Menurut BPJS Kesehatan (2014) penyelenggaraan pelayanan


primer kedokteran gigi berdasarkan pada prinsip :
1. Kontak pertama (first contact)
Dokter gigi harus berperan sebagai kontak pertama. Pasien
yang memiliki masalah kesehatan gigi dan mulut pertama kali
menemui dokter gigi untuk memberikan pelayanan kesehatan.
2. Layanan bersifat pribadi (personal care)
Dokter gigi membina hubungan yang baik dengan pasien dan
seluruh keluarganya. Dokter gigi harus memahami masalah
kesehatan gigi dan mulut pasien secara luas.
3. Pelayanan paripurna (comprehensive)
Pelayanan kesehatan diberikan secara menyeluruh dengan
pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif) dan

94
pemulihan (rehabilitatif). Tujuan pelayanan paripurna yang
sesuai masalah pasien adalah untuk menciptakan paradigma
sehat.
4. Paradigma sehat
Dokter gigi dituntut mampu mendorong masyarakat dapat
bersikap mandiri. Dokter gigi harus memotivasi masyarakat
untuk menjaga kesehatan mereka sendiri dan keluarga.
5. Pelayanan berkesinambungan (continous care)
Pelayanan primer diharapkan menjadi media terbinanya
pelayanan yang berkesinambungan. Dokter gigi dalam
pelayanan primer perlu membina hubungan dengan pasien
yang berlangsung jangka panjang dan berkesinambungan
dalam tahap kehidupan pasien.
6. Koordinasi dan kolaborasi
Dokter gigi di fasilitas kesehatan tingkat pertama perlu
berkonsultasi dengan disiplin ilmu lain atau merujuk ke dokter
gigi spesialis. Dokter gigi perlu memberi informasi kepada
pasien dalam mengatasi masalah.
7. Family and community oriented
Dokter gigi di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
dalam menangani masalah pasien perlu mempertimbangkan
kondisi pasien terhadap keluarga. Dokter gigi juga perlu
meninjau pengaruh sosial budaya sekitarnya.

Program pelayanan kesehatan di negara berkembang masih berpusat


pada pelayanan kuratif dan preventif. Keadaan ini sebanding dengan status
kesehatan gigi dan mulut masyarakat dinyatakan dalam prevalensi karies
dan penyakit periodontal yang cukup tinggi. Pengalaman karies atau status
kesehatan gigi pada gigi permanen dapat dinilai dengan menggunakan
indeks DMF-T (Decayed Missing Filled Teeth). Menurut Riskesdas (2013),
indeks DMF-T penduduk Indonesia untuk semua umur mencapai angka 4,6
dengan masing-masing nilai DT=1,6; M-T=2,9; F-T=0,08; yang berarti
angka kerusakan gigi dari 100 penduduk adalah sebanyak 460 buah gigi,

95
dan keadaan ini cenderung meningkat dengan bertambahnya usia, yang
mana hal ini akan berpengaruh juga terhadap tingkat kesehatan masyarakat
secara umumnya (Riskesdas, 2013). Mengingat tingkat urgensi dari
kesehatan, World Health Assembly (WHA) mengeluarkan kebijakan
Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2005 yang wajib diterapkan
oleh setiap negara yang menjadi anggota asosiasinya, termasuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Lestari, 2013).

Pemerintah Indonesia selanjutnya menanggapi himbauan tersebut


dengan mengeluarkan kebijakan berupa Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Depkes,
2004). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) sejak 1 Januari
2014 (BPJS Kesehatan, 2014). Perubahan sistem yang signifikan ini
dimaksudkan agar pola pemanfaatan pelayanan kesehatan yang masih
menganut konsep dan paradigma sakit yang ada di masyarakat berubah
kedalam paradigma sehat, sehingga tidak terjadi kesenjangan (inequity)
antara ketersediaan pelayanan kesehatan (supply) dan keterpakaian /
pemanfaatan (demand / utilization) (Maharani, 2009). Keterbatasan iuran
dan paket manfaat yang ditawarkan oleh BPJS Kesehatan memberikan
trigger bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) untuk selalu aktif me-
monitoring pendayagunaan pelayanan melalui penelaahan utilization review
sebagai dasar penetapan besaran kapitasi yang akan diterima oleh PPK
(Dewanto dan Lestari, 2014). Utilization review bidang kesehatan
merupakan metode yang digunakan untuk menelaah pemanfaatan pelayanan
kesehatan yang mengandung 3 unsur pokok, yakni : utilization rate (tingkat
pemanfaatan pasien terhadap PPK), claim review (kesesuaian pelayanan
yang diklaim oleh jaminan), dan pattern review (pola pendayagunaan
pelayanan pada masing-masing unit pelayanan) (Kusuma, 2014).
Pencatatan terkait utilisasi penting untuk dilakukan oleh PPK, guna untuk
menghindari terjadinya over utilization, under utilization, dan misuse
utilization yang nantinya akan membawa dampak yang merugikan bagi

96
peserta BPJS Kesehatan, provider, maupun bagi pihak BPJS Kesehatan itu
sendiri (Maharani, 2009).

Ditinjau dari jenjang tenaga profesional menurut World Health


Organization (WHO) dan World Dental Federation – FDI, Dokter Gigi
sebagai first professional degree yang bekerja pada tingkat pelayanan
primer. Dokter Gigi Spesialis sebagai second professional degree yang
bekerja pada tingkat pelayanan sekunder, dan Dokter Gigi Spesialis
Konsultan bekerja pada tingkat pelayanan tersier. Demikian pula tatanan
pelayanan kedokteran profesional adalah berjenjang mulai dari primer,
sekunder, tersier, yang menjadi dasar dari sistem rujukan Kedokteran Gigi.
Menurut Permenkes Nomor 1438 Tahun 2010 (tentang standar Pelayanan
Kedokteran) syarat diagnosis penyakit agar dapat masuk dalam pelayanan
primer adalah harus memenuhi salah satu kriteria dibawah ini :
1. Penyakit yang paling sering terjadi atau banyak terjadi
2. Penyakit yang memiliki resiko tinggi
3. Penyakit yang memerlukan biaya tinggi
4. Penyakit yang terdapat variasi dalam pengelolaannya

Berdasarkan hasil Riskesdas (2007), dimana prevalensi nasional


masalah gigi dan mulut adalah 23.5%, dan prevalensi pengalaman karies
sebesar 72.1%. Prevalensi nasional karies aktif adalah 43.4%, Indeks DMF-
T secara nasional sebesar 4.85. Ini berarti rata-rata kerusakan gigi pada
penduduk Indonesia adalah 5 buah gigi per orang. Dari data ini maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa masalah kesehatan gigi termasuk kasus yang
banyak terjadi di masyarakat, memerlukan biaya relatif tinggi, dan terdapat
variasi dalam pengelolaannya, sehingga perlu dimasukkan dalam pelayanan
primer atau Gate Keeper (Dewanto dan Lestari, 2014).

Pelayanan kedokteran gigi primer merupakan suatu pelayanan


kesehatan dasar gigi dan mulut secara paripurna dengan tujuan untuk
meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut setiap individu dalam
keluarga binaannya. Pelayanan kedokteran gigi pada strata sekunder

97
merupakan pelayanan tingkat lanjutan yang diberikan berdasarkan rujukan
dari pelayanan primer atau tingkat pertama (BPJS Kesehatan, 2014).

10.2.3 Penyelenggara JKN

Menurut Undang-Undang No 24 tahun 2011 tentang Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) program JKN diselenggarakan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) khususnya BPJS Kesehatan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial merupakan suatu badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan SJSN dan bertujuan agar jaminan
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota
keluarganya dapat terpenuhi. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
diselenggarakan serentak diseluruh Indonesia mulai 1 Januari 2014.

10.2.4 Sistem Pembiayaan JKN

Menurut Peraturan Presiden No.12 pasal 16 tahun 2013 tentang


jaminan kesehatan, pembiayaan JKN berasal dari iuran peserta, pemberi
kerja, dan atau Pemerintah untuk program jaminan kesehatan yang
dibayarkan secara teratur. Pembayaran dilakukan oleh BPJS Kesehatan
dengan sistem kapitasi untuk fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
dan sistem Indonesia Case Based Groups (INA CBG’s) untuk fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan mempunyai wewenang untuk melakukan pembayaran
dengan cara lain, jika tidak memungkinkan pembayaran secara kapitasi
pada daerah dengan kondisi geografis tertentu.

Kapitasi adalah metode pembayaran jasa pelayanan kesehatan


dimana pemberi pelayanan jasa kesehatan yaitu dokter atau rumah sakit
mendapat penghasilan tetap per peserta, per periode waktu, untuk pelayanan
yang telah ditentukan untuk periode waktu tertentu (Dewanto dan Lestari,
2014). Besaran kapitasi untuk dokter gigi menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014 adalah sebesar Rp. 2.000,- per orang per
bulan. Tarif kapitasi puskesmas yang memiliki dokter gigi ditetapkan Rp.
6.000,- per orang per bulan.

98
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 32 tahun 2014 jasa pelayanan
kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FTKP) adalah sekurang-
kurangnya 60% dari total dana kapitasi JKN dan sisanya dimanfaatkan
untuk biaya operasional. Pembagian jasa pelayanan kesehatan menurut
pertimbangan jenis ketenagaan dan/atau jabatan dan kehadiran.

10.3 Contoh Penerapan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut dengan


JKN

Salah satu contoh penerapan pelayanan kesehatan gigi di era JKN ini
adalah yang telah diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Pemberlakuan pelayanan kesehatan
berjenjang pada program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan,
telah membedakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut menjadi 3 tingkatan
menurut Dewanto dan Lestari (2014), yaitu :
1. Pelayanan primer, dilakukan oleh seorang dokter gigi umum
2. Pelayanan sekunder, oleh dokter gigi spesialis
3. Pelayanan tersier, oleh dokter gigi sub spesialis atau
konsultan
Menurut Dewanto dan Lestari (2014) pelayanan kedokteran gigi yang
tercakup dalam JKN antara lain :
1. Konsultasi
2. Pencabutan gigi sulung
3. Pencabutan gigi permanen
4. Tumpatan dengan Resin Komposit (tumpatan sinar)
5. Tumpatan dengan semen ionomer kaca
6. Pulp capping (proteksi pulpa)
7. Kegawatdaruratan oro-dental
8. Scaling (pembersihan karang gigi) satu kali per tahun
9. Premedikasi/pemberian obat
10. Protesa gigi (gigi tiruan lengkap maupun sebagian dengan
ketentuan yang diatur tersendiri)

99
Dibawah ini adalah contoh penghitungan JKN pada kasus
pencabutan gigi permanen: Seorang dokter merawat pasien cabut gigi
permanen dengan utilisasi 0.6 dan total tarif sebesar Rp 120.000 serta
kapitasinya 720, maka dapat dibuat simulasi perhitungan terhadap tindakan
satu (1) tindakan KG yang memerlukan pembiayaan sebagai berikut:
1. Perhitungan estimasi jumlah kunjungan dengan utilisasi
(persentase pemanfaatan) 0.6 sebesar 60 kunjungan per bulan.
2. Perhitungan penggunaan dana kapitasi dokter gigi dengan kasus
cabut gigi permanen dengan utilisasi 0.6 maka dapat
diperkirakan jumlah kebutuhan belanja bahan (variable cost)
dokter gigi yang dikontrak BPJS (dengan asumsi jumlah peserta
10.000 dan utilisasi 0.6 sehingga estimasi angka kunjungan
perbulan 60 kunjungan), maka perkiraan belanja bahan medis
habis pakai dalam waktu sebulan sebesar Rp. 1.800.000 atau
sebesar 25% dari total kapitasi yang diterima.
Dengan demikian, per tindakan besar bahan medis habis pakai
adalah Rp1.800.000/60 = Rp30.000
3. Budget investasi peralatan yang menjadi satu dengan budget
jasa layanan maka ilustrasi perhitungannya adalah sebagai
berikut:

Dental Chair:
o Asumsi harga dental chair dengan merek China sebesar =
Rp45.000.000.
o Estimasi lama penggunaan adalah 3 tahun sehingga biaya yang
digunakan per bulan adalah Rp45.000.000/(3*12) = Rp1.250.000.
o Estimasi biaya penggunaan dental chair per tindakan adalah
Rp1.250.000/60=Rp20.833,33333.
Dental Instrument:

100
Dental Instrument adalah peralatan pendukung Dokter Gigi
agar dapat melaksanakan praktek sesuai mutu yang ditetapkan
(standar). Kebutuhan tersebut, antara lain:
- alat autoclave untuk sterilisasi,
- kompresor / gas untuk menggerakkan contra angel (high
speed / low speed) agar bur dapat berputar,
- alat set tang cabut dan bein / cryer,
- Diagnostic kit dokter gigi,
- Light cure unit dan set tambal untuk melakukan
penambalan gigi,
- alat scaler untuk membersihkan karang gigi
o Estimasi pembiayaan dental instrument per bulan adalah
Rp57.000.000/(3*12) = Rp1.583.333,333.
o Estimasi biaya dental instrument per tindakan adalah
Rp1.583.333,333/60 = Rp26.388,88888.
Tempat:
Praktek Dokter gigi harus mempunyai aksesibilitas yang
mudah bagi pesertanya (termasuk krendensialing BPJS) sehingga
banyak praktek Dokter Gigi atau klinik Dokter Gigi menyewa tempat
yang berada di pinggir jalan (walaupun bukan jalan utama).
o Alokasi budget untuk sewa tempat ini memang masih rendah (dan
mungkin belum layak / mencukupi) dikarenakan keterbatasan dari
nilai kapitasi yang ada saat ini, besaran alokasi uang tempat sewa
adalah Rp24.000.000/tahun atau Rp2.000.000 per bulan.
o Estimasi biaya sewa tempat pertindakan Rp2.000.000/60 =
Rp33.333,33333.
o Total Biaya Kebutuhan Investasi = Rp20.833,33333 +
Rp26.388,88888 + Rp33.333,33333 = Rp80.555.55554.
4. Maintenace Cost
Maintenance cost merupakan biaya yang dikeluarkan untuk merawat
sistem dalam masa operasi seperti biaya perawatan dental chair dan
fasilitas lain.

101
o Asumsi maintenance cost klinik Dokter Gigi dalam enam bulan
adalah Rp3.400.000
o Estimasi maintenance cost pertindakan adalah Rp3.400.000/(6*60)
= Rp9444,4445.
5. Total Unit Cost Per Tindakan Kedokteran Gigi
= Biaya Kebutuhan Bmph + Biaya Kebutuhan Investasi +
Maintenance Cost
= Rp30.000 + Rp80.555.55554 + Rp9444,4445
= Rp120.000.

102
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Chandra Yoga. 2003. Manejemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta:


Penerbit Universitas Indonesia (Ui-Press).

Anonymous. 2008. Cost-Effectiveness Analysis (Cea). Institute For Environmental


Studies.Availableat:Http://Www.Defra.Gov.Uk/Environment/Water/Wfd/
Economics/Pdf/CefrreOrt.Pdf. Accessed On 3 September 2017

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan. (2014). Panduan Praktis


Pelayanan Gigi Dan Prothesa Gigi Bagi Peserta Jkn. Jakarta: Bpjs
Kesehatan.

Bowersox Dan Cooper, 2010, Supply Chain Logistics Management, Third Edition,
Mcgraw Hill Companies Inc, New York

BPJS Kesehatan. 2014. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan. Jakarta.

Depkes. 2004. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan


Sosial Nasional Bab Ii Dan Vi, Pasal 2, 3, Dan 18. Jakarta.

Dewanto, I., Dan Lestari, N.I. 2014. Panduan Pelaksanaan Pelayanan Kedokteran
Gigi Dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: Pengurus Besar
Pdgi.

Dillon, Ray D. 1979. Zero Base Budgeting For Health Care Institution. Maryland:
Aspen SyStem Corporation.

Djojodibroto, 1997, Kiat Mengelola Rumah Sakit, Hipokrates, Jakarta.

Horngren, Charles T & Foster, George. 1988. Alih Bahasa Oleh Marianus Sinaga.
Akuntansi Biaya. Jakarta: Erlangga.

Imron, Moch. 2009. Manajemen Logistik Rumah Sakit. Jakarta: Cv. Sagung Seto

Jamison, Dt., Et Al. 2006. Priorities In Health. Washington (Dc): The International
Bank For Reconstruction And Development / The World Bank.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Kumpulan Materi


Pelatihan Manajemen Puskesmas. Jakarta: Pusat Pelatihan Sdmk Badan
Ppsdm Kesehatan Kementerian Kesehatan Ri.

103
Kepmenkes. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.128/Menkes/Sk/Ii/2004 Tentang Kebijaksanaan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Pedoman Pelayanan Kesehatan Puskesmas Depkes Ri.

Kusuma, R., 2014. Implementasi Utilisasi Pelayanan Kesehatan Di Era Jaminan


Kesehatan Nasional Pada Puskesmas Di Kabupaten Tojo Una Una.
Yogyakarta : Ugm

Lestari, A.B., 2013. Jaminan Kesehatan Nasional Dan Peran Bpjs Kesehatan.
Yogyakarta : Pt.Askes.

Maharani, D.A., 2009. Inequity In Dental Care Utilization In The Indonesian


Population With Self Assessed Need For Dental Treatment. Department Of
Preventive And Community Dentistry, 218, 229-239.

Mowen, M.,M., & Hansen, D.,R, (2006).Akutansi Manajemen, Salemba Empat,


Jakarta.

Munandar, M. 1990. Budgeting. Perencanaan Kerja, Pengkoordinasian Kerja,


Pengawasan Kerja. Yogyakarta: Bpfe.

Munawir, S. 2007. Analisa Laporan Keuangan Edisi Keempat. Yogyakarta:


Liberty. P. 184

Novianne. E. R. Malinggas, J. Posangi, T. Soleman. “Analysis Of Logistic


Management Drugs In Pharmacy Installation District General Hospital Dr.
Sam Ratulangi Tondano”. Jikmu, Vol. 5, No. 2b April 2015.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan


Kesehatan.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan


Dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.

Prasetya, Hery & Fitri Lukiastuti. 2009. Manajemen Operasi. Yogyakarta: Media
Pressindo

104
Primadinta, (2009). Analisa Cost Sharing Perhitungan Tarif Hemodialisis (HD)
Masyarakat Miskin Di rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Unit 1
Yogyakarta, Skripsi S1 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat UAD,
Yogyakarta

Rangkuti, Freddy. 2002. Creating Effective Marketing Plan: Teknik Membuat


Marketing Plan Berdasarkan Customer. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta : Badan Penelitian Dan Pengembangan


Kesehatan, Departemen Kesehatan, Ri.

Silalahi, B.N.B. 1989. Prinsip Manajemen Rumah Sakit. Jakarta: Lpmi.

S, Subagya M. 1994 .Manajemen Logistik.Jakarta : Pt Gunung Agung.

Tjiptono, Fandy, Gregorius Chndra, Dadi Adriana. 2008. Pemasaran Strategik.


Yogyakarta: Penerbit Andi.

Trisnantoro, L.. 2006. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen


Rumah Sakit, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Trisnantoro, L. 2015. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen


Rumah Sakit. 5th Ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Undang-Undang Ri Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan


Sosial (Bpjs).

Wursanto. 1989. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jakarta: Pustaka Dian.

105

Anda mungkin juga menyukai