ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai perlihan hak milik yang diilakukan kreditur berdasarkan
perjanjian Hak Tanggungan antara Debitur dan Kreditur secara melawan hukum. Hal ini
terjadi dalam kasus Perjanjian Hak Tanggungan antara Nunung Herlina dan Hani
Haryani, dimana objek yang diperjanjikan adalah tanah milik Nunung untuk
ditanggungkan namun yang terjadi adalah peristiwa hukum jual beli tanah milik Nunung
Herlina tersebut. Metodologi yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah yuridis
normatif.
2. Bagaimana pengaturan peralihan hak milik tanah yang terdapat dalam suatu
perjanjian hutang piutang terkait dengan kasus Nunung Herlina dengan Hani Haryani.
Kesimpulan dari penulisan ini adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Hani Haryani dengan merubah konsep perjanjian hutang piutang menjadi perjanjian jual
beli.
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1
R. Subekti (a), Hukum Perjanjian, Cet. 21, (Jakarta: Internusa, 2005), hal. 1.
2
Salim (a), Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 2, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hal. 3
3
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. 1, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal.
49.
4
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Cet. 2, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 322.
5
Indonesia (a), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijke Wetboek),
diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), ps.
1233.
6
Ibid., ps. 1313.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
3
Verbintenis merupakan suatu istilah dalam bahasa Belanda yang oleh para
sarjana Indonesia diterjemahkan ke dalam berbagai istilah, seperti istilah
perikatan, perutangan, dan perjanjian. 7 Akan tetapi, istilah perikatan dianggap
cenderung lebih tepat karena pengertian dari verbintenis lebih sesuai dengan
istilah perikatan di mana di dalam perikatan itu para pihak saling terikat oleh hak
dan kewajiban atas suatu prestasi. 8 Penerjemahan istilah verbintenis ke dalam
istilah perikatan dan perjanjian inilah yang mengakibatkan sebagian orang
menganggap istilah perjanjian dan perikatan merupakan dua istilah yang memiliki
pengertian yang sama walaupun kedua istilah itu sebenarnya berbeda. Di dalam
buku yang ditulisnya, Prof. Subekti mengartikan perikatan sebagai suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.9 Pihak yang berhak menuntut sesuatu
hal diistilahkan sebagai kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan kreditur atau si berpiutang diistilahkan sebagai
debitur atau si berutang. 10 Kreditur dan debitur ini merupakan para pihak yang
menjadi subjek dalam suatu perikatan, sedangkan yang menjadi objek dalam suatu
perikatan merupakan hak dari kreditur dan kewajiban dari debitur yang umumnya
disebut sebagai prestasi.11
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
4
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986),
hal. 13.
13
Ibid., hal. 46.
14
Ibid.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
5
15
Ibid., hal. 22.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
6
Pada dasarnya setiap orang dapat membuat perjanjian, namun setiap orang
yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1320. Pasal ini berlaku
untuk setiap jenis perjanjian yang ada, termasuk perjanjian tersebut adalah
perjanjian hutang piutang. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa isi
perjanjian harus memperhatikan pada prinsip-prinsip perjanjian yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu prinsip tersebut harus
dilihat dari asas kebebasan berkontrak, bahwa isi-isi dari suatu perjanjian dapat
dibuat secara bebas, namun asas ini juga membatasi bahwa suatu perjanjian tidak
boleh menyimpang dari apa yang telah diatur dalam undang-undang. Berdasarkan
hal ini maka jelaslah bahwa asas ini menghendaki para pihak untuk membuat isi
perjanjian tidaklah melawan hukum.
16
R. Subekti, Op.ci., hal. 36.
17
Yahya Harahap, Op.cit, hal. 56.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
7
Lahirnya perikatan dari perjanjian ini juga membawa para pihak kepada
akibat hukum yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Adanya hak dan
kewajiban para pihak yang terikat juga dapat dilihat menurut tujuan (strekking)
dari perjanjian dan sifat perjanjian. Hal ini sesuai dengan apa yang ditentukan
dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata, antara lain yang disebutkan dalam
KUH Perdata Pasal 1348 menyebutkan bahwa: si persetujuan harus disimpulkan
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan maksud tujuan perjanjian. Dapat
disimpulkan bahwa pasal ini mengatur setiap orang yang membuat perjanjian
pada dasarnya memiliki tujuan yang hendak dicapai, dan untuk mewujudkan
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
8
tujuan tersebut harus dibuat secara jelas apa saja yang menjadi perangkat-
perangkat pendukung terciptanya tujuan tersebut. Sebagaimana adanya hak dan
kewajiban yang lahir dari perjanjian tersebut, maka perlu memperhatikan terlebih
dahulu jenis perjanjian apa yang teradapat dalam kasus ini. Mengingat dalam
kasus ini adanya pengakuan telah terjadi perjanjian hutang piutang berdasarkan
bukti yang dilampirkan oleh Penggugat di Pengadilan tidak sesuai dengan jenis
perjanjian yang diberikan oleh Tergugat. Berdasarkan pengakuan Tergugat
perjanjian yang telah terjadi tersebut adalah perjanjian jual beli tanah. Namun
disini terdapat kelemahan Tergugat, dimana perjanjian jual beli yang dapat
meyakinkan hakim, namun perbuatan tergugat tersebut tidak memenuhi unsur
perjanjian jual beli melainkan telah terjadi perjanjian hutang piutang. Hal ini dapat
dilihat dengan tindakan yang dilakukan oleh Tergugat yang selalu menerima uang
cicilan yang dibayarkan oleh Penggugat untuk tujuan pelunasan hutang piutang
tersebut. Dalam kasus ini putusan yang diberikan adalah menyatakan sahnya
perjanjian jual beli, sedangkan menganggap bahwa tidak pernah terjadi perjanjian
hutang piutang. Disini hakim terlihat tidak memahami perbedaan perjanjian.
Hakim tidak melihat bahwa perbuatan Tergugat dengan menerima uang cicilan
dari Penggugat adalah suatu perbuatan dimana secara tidak langsung bahwa
Tergugat telah mengakui bahwa perjanjian yang dibuat kedua belah pihak tersebut
dihadapan Turut Tergugat I adalah perbuatan yang termasuk dalam sifat
perjanjian hutang piutang, bukan perjanjian jual beli. Berdasarkan perbuatan
hakim ini jelas merugikan Penggugat karena hakim tidak memahami bagaimana
keberlakuan serta sifat-sifat dari perjanjian yang berlaku di Indonesia. Akibat dari
putusan ini jelas maka Penggugat kehilangan haknya, yang juga jelas timbul
karena adanya ketidakpahaman hakim terhadap pelaksanaan perjanjian. Namun
berdasarkan keseluruhan pembahasan diatas ini, jelas maka perjanjian yang dibuat
oleh Penggugat dan Tergugat adalah perjanjian hutang piutang, bukan perjanjian
jual beli.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
9
Setiap pelaksaaan perjanjian yang tidak dilakukan oleh salah satu pihak
adalah jelas suatu perbuatan ingkar janji atau wanprestasi. Sedangkan bila salah
satu pihak melakukan perbuatan yang tidak ada dalam perjanjian tersebut dan
mengakibatkan kerugian kepada pihak lainnya, maka dapat dikatakan
perbuatannya tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan perjanjian
hutang piutang, perjanjian hutang piutang mengatur bahwa jika salah satu pihak
melakukan wanprestasi maka piutang tersebut dapat beralih kepada kreditur atau
dimiliki kepada kreditur, namun peralihan hak milik tersebut tidak dapat
berpindah begitu saja, harus diketahui dan disepakati kedua belah pihak sekalipun
salah satu pihak telah melakukan wanprestasi. Penggugat tidak memenuhi unsur
wanprestasi, jika diperhatikan dalam putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam perjanjian tersebut tidak dicantumkan ketentuan waktu untuk pembayaran
setiap bulannya, hanya dicantumkan waktu terakhir pelunasan hutang tersebut.
Hal ini juga dilihat dari adanya bukti yang dapat diberikan oleh Penggugat bahwa
tidak adanya pencantuman pembayaran setiap bulannya. Berdasarkan hal ini maka
jelas pembayaran hutang tersebut dapat dibayarkan seluruhnya pada tanggal 20
Desember 2002. Dalam kasus ini sekalipun Penggugat tidak melakukan
pembayaran setiap bulannya, namun Penggugat memberikan pelunasan hutang
tersebut pada tanggal 20 Desember 2002, maka jelas bahwa pengugat tidak
melakukan wanprestasi atau memenuhi unsur wanprestasi.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
10
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
11
debitur. Namun hal ini berlaku bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya tepat
waktu. Terkait dengan kasus diatas, Penggugat jelas tidak melakukan wanprestasi
karena pada saat Penggugat menyerahkan hutangnya, ia berada pada waktu jatuh
temponya hutang tersebut harus dibayarkan, maka berdasarkan hal ini seharusnya
ketika Penggugat telah selesai melaksanakan kewajibannya, Tergugat juga
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dengan itikad baik sebagaimana
itikad baik adalah hal yang penting dilaksanakan dalam suatu perjanjian.
Adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat. Hal ini dapat
dilihat dengan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat dan Tergugat I dengan
adanya sertifikat jual beli tanah yang dilakukan mereka tanpa seijin penggugat.
Sebagaimana jelasnya perjanjian ini adalah perjanjian ini adalah perjanjian yang
memenuhi unsur perjanjian hutang piutang. Perjanjian ini dibantah oleh Tergugat
dan Tergugat yang menyebutkan perjanjian yang telah terjadi ini adalah perjanjian
jual beli yang dilakukan dihadapan tergugat I. Hal ini juga dapat dilihat dengan
adanya bukti cicilan pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat
sebagai bukti bahwa perjanjian yang telah terjadi adalah perjanjian yang
memenuhi unsur perjanjian hutang piutang. Hal lain adanya itikad tidak baik
yang dilakukan oleh Tergugat adalah diterimanya oleh Tergugat setiap kali
pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat. Namun pada kenyataannya pada saat
persidangan Tergugat mengatakan tidak pernah terjadi perjanjian hutang piutang
melainkan adanya perjanjian jual beli. Apabila diperhatikan kasus ini lebih teliti,
maka seharusnya jikalau memnag telah terjadi perjanjian jual beli seperti yang
dikatakan Tergugat, seharusnya ia tidak menerima cicilan pembayaran dari
Penggugat. Adanya sikap tergugat dengan menerima uang dari Penggugat tersebut
adalah suatu sikap yang mengakui telah terjadi perjanjian hutang piutang. Namun
sayangnya dalam kasus ini, hakim pada tingkat Pengadilan Negeri tidak
memeriksa dengan teliti perbuatan yang dilakukan Tergugat adalah suatu
perbuatan yang menyatakan sikap telah terjadinya kesepakatan perjanjian hutang
piutang sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Selain itu hakim juga tidak
memperhatikan adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat. Sama
halnya dengan hakim pada tingkat Pengadilan Tinggi seperti kurang memahami
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
12
sifat dari perjanjian hutang piutang dan perjanjian jual beli yang berlaku menurut
KUH Perdata.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
13
berbatasan dengan milik siapa, jumlah barang dan lain-lain. Sedangkan Isi yang
fakultatif yaitu yang berisi hal-hal yang secara fakultatif dimuat. Yaitu yang berisi
janji-janji/beding yang diadakan antara pihak-pihak (debitur dan kreditur). Tetapi
sekalipun janji-janji ini merupakan isi yang fakultatif dari hipotik namun janji-
janji demikian lazim dimuat dalam akte demi kepentingan para pihak sendiri agar
lebih zeef/kuat.
Sebagaimana Hipotik yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1186 ayat 2
menetapkan janji-janji yang dimuat dalam suatu akte hipotik salah satunya ialah
“Janji untuk menjual sendiri yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1178 ayat (2).
Maksud dari pasal ini adalah jika debitur itu nanti tidak memenuhi kewajibannya
(wanprestasi) maka kreditur itu nanti atas kekuasaan sendiri berhak untuk menjual
benda yang dihipotikkan untuk pelunasan hutang-hutangnya. Dengan ketentuan
bahwa menjualnya harus di muka umum dan hasil penjualan itu setelah dikurangi
dengan hutang debitur sisanya di kembalikan kepada debitur. Janji yang demikian
ini terutama ialah untuk melindungi kepentingan si kreditur. Karena baik pada
hipotik maupun pada pand, kreditur tidak dapat mengadakan verval beding. Yaitu
suatu janji untuk memiliki barang yang dihipotikkan dalam hal si debitur
melakukan wanprestasi. Janji untuk menjual barang-barang tersebut untuk
pelunasan hutangnya. Hanya saja bedanya dengan pand/gadai, wewenang untuk
menjual bendanya atas kekuasaan sendiri itu pada gadai adanya dan diberikan
oleh undang-undang sedangkan pada hipotik wewenang untuk menjual bendanya
atas kekuasaan sendiri itu adanya harus diperjanjikan lebih dahulu. Maka
berdasarkan hal ini, jika memang Penggugat telah melakukan wanprestasi,
Tergugat tetap tidak memiliki hak untuk melakukan peralihan hak miliki tanah
milik Penggugat melalui perjanjian hutang piutang. Dalam halnya Tergugat
sebagai kreditur diberikan hak untuk menjual tanah sebagai jaminan hutang
sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian, namun tetap saja Tergugat tidak
memiliki hak untuk mengalihkan kepemilikan tanah tersebut tanpa seijin
Penggugat. Dalam kasus ini hakim juga membenarkan tindakan Tergugat
berdasarkan keyakinan bahwa perbuatan dan bukti yang tidak benar oleh Tergugat
adalah suatu hal benar. Disini hakim tidak memahami bagaiman perlihan
kepemilikan tanah yang lahir berdasarkan Hipotik. Sekali lagi dapat dilihat,
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
14
18
Indonesia (d), Undang-undang Tentang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, ps. 1
ayat (1) berbunyi “Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
15
sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang hak tanggungan
tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi hak tanggungan yang menjadi
jaminan hutang. Ketentuan ini memang jelas mengatur pemberian hak tanggungan
kepada kreditur, namun ketentuan ini menimbulkan penafsiran yang berbeda
terhadap akibat hukum yang timbul. Hal ini dapat diartikan bahwa jika debitur
tidak melakukan prestasinya, maka kreditur tidak memerlukan izin dari debitur
untuk melakukan pelelangan terhadap objek yang diperjanjikan dalam hak
tanggungan. Kembali melihat kepada kasus diatas, dapat dilihat bahwa apa yang
dilakukan tergugat dengan mengalihkan sertifikat hak milik atas nama penggugat
adalah perbuatan yang timbul atas penafsiran yang berbeda dari arti yang
dimaksudkan oleh undang-undang ini. Dalam kasus ini perbuatan tergugat adalah
perbuatan atas dasar penafsiran yang berbeda dari maksud UUHT pasal 6 ini.
Dimana tergugat mengalihkan hak kepemilikan sertifikat milik penggugat
berdasarkan penafsiran bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum dengan
mengalihkan atas namanya jika penggugat melakukan cidera janji. Sebagaimana
perbuatan tergugat dalam kasus ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan
hukum sebagaimana maksud dari undang-undang ini. Dalam kasus ini tergugat
mengalihkan kepemilikan tersebut dengan menafsirkan ketentuan ini dengan
berdiri sendiri, dimana seharusnya ia menafsirkan ketentuan ini tidak lepas dari
ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan
hal ini jelas bahwa tergugat tidak berhak untuk mengalihkan kepemilikan
sertifikat rumah tanpa seijin penggugat apabila memang ditemukan penggugat
melakukan wanprestasi terhadap perjanjian hutang piutang tersebut.
Adanya perbuatan lain yang dilakukan tergugat dengan mengatakan bahwa
tidak terjadinya perjanjian hutang piutang tersebut dalam kasus ini dapat dilihat
adanya itikad tidak baik yang ditunjukan oleh tergugat. Hal ini didasarkan dengan
perbuatan yang dilakukan tergugat dengan menyatakan bahwa tidak terjadinya
perjanjian hutang piutang. Adapun dalil yang dikatakan tergugat bahwa yang
terjadi adalah perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan turut tergugat I
melalui bukti Akta Jual Beli (AJB). Sebagaimana dalam kasus ini tergugat
memang dapat membuktikan adanya AJB tersebut tanpa memperlihatkan adanya
perjanjian hutang piutang yang telah disepakati para pihak tersebut. Namun itikad
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
16
tidak baik yang dapat dilihat dari tergugat disini dapat dilihat dengan cicilan
pembayaran yang selalu diterima oleh tergugat dari penggugat. Apabila perjanjian
yang dilakukan tergugat dan penggugat adalah perjanjian jual beli, maka
seharusnya tergugat tidak menerima seluruh cicilan yang diberikan penggugat.
Untuk perjanjian hutang piutang perseorangan atas tanah maka pengaturan
tersebut haruslah memperhatikan ketentuan yang diatur dalam UUHT. UUHT
mengatur bahwa yang menjadi objek perjanjian hutang piutang tidak dapat
berpindah begitu saja. Hal ini dapat berpindah kepada kreditur apabila waktu
perjanjian tersebut juga sudah melampaui batas perjanjian. Namun untuk
peralihannya pun tetap harus memperhatikan apa yang diatur dalam UUHT, yaitu
bahwa jika objek sengketa adalah tanah, dan debitur tidak dapat membayar tetap
pada waktu, maka peralihan hak milik atas tanah tersebut tidak dapat begitu saja
berpindah, seharusnya Kreditur memberitahukan kepada debitur bahwa terhadap
tanah tersebut apakah akan ditindaklanjuti atau tidak sebagaimana yang diatur
dalam UUHT mengenai tahapan peralihan hak milik. Dalam kasus ini peralihan
yang terjadi adalah peralihan tanpa seijin debitur yang jelas peralihan tersebut
adalah peralihan yang bertentangan dengan hukum.
Pengaturan mengenai hak tanggungan mengatur bahwa ada beberap hal
yang tidak boleh dicantumkan dalam perjanjian. Salah satunya adalah Janji yang
memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki
obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. 19
Penjelasan Pasal 12
Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi
kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai
obyek Hak Tanggungan melebihi besar-nya utang yang dijamin. Pemegang Hak
Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik obyek Hak
Tanggungan karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang
bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli obyek Hak Tanggungan
asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20. Dalam kasus ini sekalipun
Penggugat mungkin kedapatan wanprestasi namun ia sebenarnya tetap dilindungi
oleh undang-undang untuk mempertahankan hak milik tanahnya, tetapi pada
19
Ibid., ps. 12.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
17
5.2. Saran
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
18
tidak dapat memahami ini dengan baik, maka akan banyak kasus yang
merugikan pihak yang memang memiliki hak-hak kepemilikan tersebut.
2. Peralihan hak milik tanah dalam kasus ini jelas adalah peralihan yang
tidak sesuai dengan hukum, maka terhadap peralihan ini, seharusnya
hakim memberikan putusan untuk menyatakan bahwa perbuatan yang
dilakukan tergugat adalah perbuatan yang tidak seharusnya dibenarkan dan
harus dibatalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hadisoeprapto. Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
Yogyakarta: Liberty, 1984.
Prodjodikoro. Wirjono (a), Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. 10, Bandung: Bale
Bandung, 1986.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
19
Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus), Edisi 1, Cet. 4, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2004.
Sri Soedewi Masjehoen, Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty: Yogyakarta, 1975.
S. Salim H., Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 5,
Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
diterjamahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 31, Jakarta:
Pradnya Paramita, 2001.
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
20
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013