Anda di halaman 1dari 13

Pengantar Hukum Perikatan

Muhamad Rizky Fajar1; Muhammad Ghaly Kamil2; Najma Fauziyah Rabbani3

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

E-mail: najmafauziyah2002@gmail.com

Abstract

The law of engagement is a relationship based on law between the two parties in
the context of assets which the parties are called creditors and debtors. The
purpose of making this scientific paper is to broaden knowledge for us writers
and also readers to know more about what the law of engagement is. The
research method used in making this scientific paper is using descriptive
analytical method using a qualitative approach and literature study techniques.
The result of this research is that we found a number of understandings
regarding contract law, which is a law that regulates the relationship of every
legal person in the context of assets between two or more people, which gives
rights and obligations for an achievement. So in conclusion, the law of
engagement is the law that regulates a relationship between two or more people
that gives rights and obligations for an achievement.

Key words: law of engagement, rights, obligation, affairs.

Abstrak

Hukum perikatan merupakan suatu hubungan yang berlandaskan hukum


antara kedua pihak dalam konteks harta kekayaan yang para pihaknya disebut
kreditur dan debitur. Adapun tujuan dibuatnya karya tulis ilmiah ini yaitu
untuk memperluas ilmu pengetahuan bagi kami para penulis dan juga para
pembaca untuk lebih mengetahui apa itu hukum perikatan. Adapun metode
penelitian yang dipakai dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini yaitu
menggunakan metode deksriptif analitis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dan teknik study literature. Hasil dari penelitian ini yaitu kami
menemukan sejumlah pengertian mengenai hukum perikatan, yaitu merupakan
sebuah hukum yang mengatur hubungan setiap orang hukum dalam konteks harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak dan kewajiban atas
sesuatu prestasi. Jadi kesimpulannya, hukum perikatan yaitu hukum yang
mengatur suatu hubungan antara dua orang ataupun lebih yang memberikan hak
dan kewajiban atas suatu prestasi.

Kata kunci: hukum perikatan, hak, kewajiban, prestasi.


PENDAHULUAN

Kata “Perikatan” atau verbintenis merupakan arti dari hubungan yang


mengandung unsur hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian dalam
konteks harta kekayaan yang para pihaknya disebut kreditur (pihak yang berhak
atas suatu prestasi) dan juga debitur (pihak yang berkewajiban memenuhi
prestasi itu). Maka dari itu, hubungan antara debitur dan kreditur ini merupakan
hubungan yang mengandung hukum yang tentunya dijamin oleh undang-undang
yang berlaku. Kemudian hal ini kembali dijelaskan dan ditegaskan dengan
ketentuan dalam BW atau yang biasa kita sebut sebagai Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (1) yang mengemukakan bahwa semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang atau aturan
bagi mereka yang membuatnya. Adapun unsur dari perikatan itu sendiri yaitu
adanya suatu hubungan yang berlandaskan hukum, adanya kekayaan, adanya
pihak-pihak yang terikat, dan prestasi. Kemudian untuk menilai suatu hubungan
yang berlandaskan hukum tersebut merupakan perikatan atau bukan yaitu
terdapat ukuran atau kriteria tertentu yaitu kriteria yang dapat dinilai dengan
uang dan/atau adanya rasa keadilan.1

METODE PENELITIAN
Penelitian mengenai “Pengantar Hukum Perikatan” memakai metode
deskriptif analitis dengan pendekatan melalui kualitatif dan tekniknya
yaitu study literature. Teknik atau metode ini merupakan metode penelitian
kegiatan yang dimana menggunakan metode pengumpulan data-data
penelitian, menelaah, membaca, mengutip, serta mengolah bahan
penelitian. Study literature ini juga merupakan penelitian dengan cara
untuk menemukan dan membereskan suatu masalah dengan menelusuri
sumber-sumber karya sebelumnya. Dengan istilah lain, study literature ini
juga sangat akrab dengan istilah studi pustaka.
Adapun dalam hal ini, kami memecahkan masalah dan melakukan
penelitian dengan cara mengumpulkan data pustaka dan jurnal ilmiah.
Kemudian kami membaca serta mengambil poin tersebut untuk kemudian
kami olah menjadi bahan penelitian yang pada akhirnya menghasilkan
kesimpulan. Adapun tujuan penelitian dari metodelogi study literature ini
ialah mendapatkan informasi yang akurat dengan pembahasan yang sedang
dibahas serta diteliti dan juga menelaah kembali teori-teori fundamental
yang akurat dengan pembahasan yang sedang diteliti atau dikaji. Metode ini
kami pilih karena metode studi literature ini memudahkan kami para
peneliti untuk mencari informasi, dimana cara untuk memperoleh
informasi tersebut yang simple karena tidak harus turun atau terjun
langsung ke lapangan.

HASIL DAN DISKUSI


1
Setiawan, I. K. O, (2021), Hukum Perikatan, Bumi Aksara, hlm. 1-3.

2│
A. Pengertian Istilah Perikatan
Perikatan merupakan hasil pengertian dari kata verbintenis yang berasal
dari bahasa Belanda yang artinya ikatan/hubungan. Perikatan artinya hal yang
mengikat antara orang yang satu kepada orang yang lain. Suatu hal yang mengikat
itu dalam kenyataannya dapat berupa perbuatan, contohnya jual-beli barang,
berupa peristiwa contohnya yaitu lahirnya seorang bayi. Dikarenakan semua hal
yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat, maka oleh masyarakat
itu sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Oleh karena itu, suatu perikatan yang
terjadi diantara orang yang satu dengan yang lainnya disebut sebagai hubungan
hukum. Jika disimpulkan, perikatan merupakan suatu hubungan hukum yang
terjadi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya karena perbuatan,
peristiwa, atau keadaan. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan kembali bahwa
perikatan terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan, hukum keluarga, hukum
waris, dan hukum pribadi. Perikatan-perikatan yang terdapat dalam bidang hukum
yang disebutkan diatas contohnya yaitu:

a.
Dalam bidang hukum harta kekayaan, contohnya perikatan jual-beli
dan sewa-menyewa.
b. Dalam bidang hukum keluarga, contohnya perikatan karena
perkawinan.
c. Dalam bidang hukum waris, contohnya perikatan untuk mewaris
karena kematian pewaris.
d. Dalam bidang hukum pribadi, contohnya perikatan untuk mewakili
badan hukum oleh pengurusnya.2
Kemudian perikatan juga merupakan hasil terjemahan dari bahasa lain
seperti bahasa latin yaitu obligatio, obligation dari bahasa Prancis dan Inggris.
Adapun pengertian lain dari verbintenis yaitu:

1. Perikatan: para pihak yang saling terikat oleh kewajiban atau prestasi.
(pengertian ini dipakai oleh para ahli hukum, diantaranya yaitu
Subekti dan Sudikno)
2. Perutangan: hubungan terikat hutang piutang antara kedua pihak atau
lebih. (pengertian ini dipakai oleh para ahli hukum, yaitu diantaranya
Sri Soedewi, Vollmar, Kusumadi).
3. Perjanjian atau yang disebut overeenkomst, (pengertian ini digunakan
oleh ahli hukum Wiryono Prodjodikoro).
Adapun pengertian perikatan menurut para ahli, diantaranya yaitu:
1. Menurut Prof. Subekti, S.H. mengatakan bahwa perikatan merupakan
suatu hubungan hukum diantara dua orang atau berjumlah dua pihak
yang didasarkan dari satu pihak berhak menuntut dan pihak lainnya
wajib untuk memenuhi tuntutan itu.
2. Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., mengatakan bahwa
perikatan ialah sesuatu yang mengikat antara satu orang dan orang
lainnya. Dalam hal ini yang disebut mengikat yaitu sebuah peristiwa
hukum yang berupa perbuatan (jual beli, sewa menyewa), kejadian
(kematian, kelahiran), dan keadaan.
2
Abdulkadir, M., (1992), Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 5-8.

│3
3. Menurut R. Setiawan, S.H., perikatan merupakan hubungan hukum,
dalam hal ini hubungan hukum tersebut diatur dan diakui secara sah
oleh hukum.

Dalam buku ketiga KUHPerdata secara garis besar tidak memberikan


penjelasan secara rinci bagaimana pengertian “perikatan”. Namun, para ahli
mengemukakan pendapatnya dan memberikan penjelasan dan pengertian tentang
perikatan ini. Contohnya Munir Fuady yang menjelaskan perikatan yaitu
keserasian dari istilah “verbintenis”.3 Yaitu suatu hal yang mengikat antara para
pihak.4 Hukum perikatan juga merupakan hukum yang mengatur hubungan antar
dua orang atau lebih yang didasari hukum dalam konteks harta kekayaan yang
didalamnya memberi hak dan memberi kewajiban atas suatu prestasi.5

Adapun unsur-unsur dalam hukum perikatan, diantaranya:

1. Adanya suatu kaidah hukum. Kaidah hukum alam hukum perikatan dibagi
menjadi dua, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis
meliputi peraturan perundang-undangan, traktat, juga yurisprudensi.
Kemudian kaidah hukum tidak tertulis yaitu hukum yang timbul dan
tumbuh dalam kebiasaan hidup masyarakat.

2. Adanya subjek hukum, yaitu manusia dan badan hukum. Dalam hukum
perikatan, subjek hukumnya yaitu seorang kreditur dan debitur.

3. Adanya prestasi

B. Objek dan Subjek Hukum


Objek dan subjek hukum dari hukum perikatan ini diantaranya:

a. Prestasi digunakan sebagai objek dari hukum perikatan, dan


b. Pihak-pihak atau para pihak diartikan sebagai subjek dari perikatan.

Prestasi merupakan objek perikatan, dan merupakan kewajiban yang harus


dilaksanakan. Kewajiban dalam konteks ilmu hukum merupakan suatu hal yang
wajib dan ditanggung oleh seseorang yang sifatnya mengikat. Hak dan kewajiban
ini bisa timbul jika terjadinya hubungan antar pihak yang melaksanakan suatu
perjanjian atau kontrak. Jadi, selama belum berakhirnya suatu hubungan hukum
yang lahir dari perjanjian tersebut, maka salah satu pihaknya wajib memenuhi
atau mempunyai kewajiban untuk berprestasi.6

3
Munir Fuady, (1991), Hukum Kontrak (dari sudut pandang Hukum Bisnis). Bandung:
Citra Aditya Bakti, hlm. 1.
4
Abdulkadir Muhammad, (2000), Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, hlm. 198.
5
R. Setiawan, (1978), Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta, hlm. 1-2.
6
Joko, D., Joko Sriwidodo, S. H., Kristiawanto, D., & Kristiawanto, S. H., (2020),
Memahami Hukum Perikatan, hlm. 25.

4│
Subjek hukum perikatan yaitu para pihak yang memperoleh hak nya atau
disebut sebagai kreditur, dan juga para pihak yang diberikan kewajiban atas suatu
prestasi atau disebut debitura. Kembali pada prinsipnya, semua orang dapat
menjadi subjek hukum perikatan. Subjek hukum perikatan ini dapat disebut huga
sebagai pelaku perikatan.7

C. Sumber Hukum Perikatan


Hukum perikatan merupakan produk hukum yang baru dalam sistem
tatanan hukum Indonesia. Adapun sumber hukum perikatan yang terdapat di
Indonesia yaitu hukum perjanjian dan undang-undang. Pada setiap perikatan pasti
terjadi karena adanya perjanjian. Selain karena perjanjian, suatu perikatan juga
dapat terjadi karena adanya suatu peristiwa atau tindakan yang sesuai atau tidak
sesuai dengan undang-undang.8 Hal ini tertuang dalam ketentuan KUHPdt Pasal
1233 yang dimana perikatan dapat timbul baik karena perjanjian ataupun timbul
karena undang-undang.

Dengan demikian, hukum perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-


undang.

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)


Dalam ketentuan BW atau yang biasa disebut KUHPerdata dalam Pasal
1313 menjelaskan bahwa suatu perjanjian merupakan perbuatan yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Prof. Subekti, seorang ahli hukum
mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian” bahwa
yang dimaksud dengan perjanjian yaitu peristiwa dimana seseorang
berjanji untuk melaksanakan sesuatu kepada pihak lainnya. Dari
peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah perjanjian dapat
menimbulkan suatu perikatan.

2. Perikatan yang timbul dari undang-undang.


Dalam ketentuan BW atau KUHPerdata Pasal 1352 menjelaskan bahwa
suatu perikatan yang lahir demi undang-undang, timbul dari undang-
undang, atau dari undang-undang sebagai bagian dari akibat perbuatan
seseorang. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata
tersebut, perikatan yang timbul dari undang-undang, dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu:

a) Perikatan yang hanya lahir karena undang-undang.


b) Perikatan yang lahir dari undang-undang karena peristiwa yang
ditimbulkan manusia.

3. Perikatan yang terjadi karena tindakan atau perbuatan yang melanggar


hukum dan perwakilan sukarela (zaak waarneming).

7
Ibid, hal.28
8
Ibid, hal.15

│5
Dalam KUHPerdata Pasal 1353, dijelaskan bahwa suatu perikatan yang
dilahirkan atau timbul dari undang-undang merupakan akibat dari
suatu perbuatan yang ditimbulkan oleh seseorang, baik perbuatan yang
halal maupun melawan hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu
perikatan terbagi menjadi dua hal, yaitu perbuatan yang taat terhadap
hukum dan juga perbuatan yang melawan hukum.

D. Schuld dan Haftung


Berdasarkan KUHPerdata Pasal 1131 dan 1132, hubungan antara para
pihak yang terikat atau disebut hubungan antara para pihak kreditur dan debitur,
dalam konteks pihak debitur, pihak debitur bukan sekedar mempunyai kewajiban
dalam hal memenuhi prestasi, namun lebih dari itu harus mempunyai jaminan.
Schuld merupakan kewajiban seorang debitur untuk berprestasi dan Haftung
merupakan penjaminan pemenuhan dari prestasi tersebut dengan seluruh
kekayaan hartanya. Schuld dan Haftung tentunya selalu ada pada pihak debitur,
sehingga sebagai konsekuensinya, maka terjadi upaya pembatalan terhadap
perbuatan hukum debitur yang dapat merugikan krediturnya atau yang disebut
actio paulina9

Setiap debitur pasti mempunyai hutang terhadap kreditur. Oleh karena itu,
pihak kreditur mempunyai hak untuk menagih piutang tersebut kepada debitur.
Apabila seorang debitur tidak dapat berkewajiban untuk membayar hutangnya,
maka kreditur mempunyai hak untuk menagih kekayaan debitur sebagai
piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).10

E. Prestasi dan Wanprestasi


Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para debitu
dalam hukum perikatan. Dalam ketentuan KUHPdt Pasal 1234, setiap perikatan
merupakatan hal untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu. Oleh karena itu, wujud prestasi yaitu memberi, berbuat, dan tidak berbuat
sesuatu.

a. Perikatan untuk memberikan sesuatu

Perikatan untuk memberikan sesuatu ini tertuang dalam KUHPdt Pasal


1235 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “kewajiban seorang debitur untuk
menyerahkan benda yang bersangkutan”, maksud dari hal tersebut yaitu
menyerahkan kekuasaan secara nyata atas benda dari seorang debitur
kepada debitur. Contohnya, perjanjian jual-beli, hibah, dan tukar menukar.

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

9
Januar, I., (2016), Kewajiban dan Tanggung Jawab Memenuhi Prestasi dalam Hukum
Jaminan, to-ra, 2(1), hlm. 287-294.
10
Mariam Darus B, (2010), Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Bandung : Alumni,
hlm. 10.

6│
“Berbuat sesuatu” maksudnya melaksanakan suatu perbuatan sesuai
ketetapan dalam perjanjian yang sudah dibuat. Adapun mengenai “tidak
berbuat sesuatu”, yaitu tidak melakukan perbuatan yang telah
diperjanjikan. Contohnya tidak melakukan persaingan yang telah
diperjanjikan.

c. Sifat prestasi

Prestasi merupakan suatu “esensi” dari sebuah perikatan. Apabila suatu


“esensi” ini tercapai oleh debitur, maka perikatan tersebut berakhir.
Adapun sifat-sifat dari prestasi diantaranya: harus dapat ditentukan, harus
mungkin, harus diperbolehkan (halal), harus mempunyai manfaat bagi
kreditur, terdiri dari satu perbuatan atau lebih. Apabila semua sifat ini
tidak dipenuhi, maka sebuah perikatan tidak berarti.

Wanprestasi merupakan suatu istilah yang artinya tidak dapat memenuhi


kewajiban yang telah ditetapkan dalam suatu prestasi. Adapun alasan terjadinya
wanprestasi diantaranya yaitu:

a. Karena kesalahan seorang debitur (sengaja ataupun tidak)


b. Keadaan memaksa (force majeure).
Untuk menentukan apakah seorang debitur tersebut bersalah atau
melakukan wanprestasi perlu ditentukan dalam keadaan apa seseorang
itu, contohnya:

1. Seorang debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali


Hal ini dikarenakan pemenuhan prestasi tidak mungkin lagi dilaksanakan
(contohnya: barang telah musnah), selain itu hal tersebut dapat
dikarenakan karena prestasi sudah tidak berguna lagi)
2. Memenuhi tetapi keliru
Dalam hal ini sebuah prestasi tidak diberikan sebagaimana mestinya.
(contohnya seorang kreditur yang membeli sepatu kemudian yang dikirim
yaitu sandal. Dalam hal ini kita tetap mempunyai anggapan bahwa pihak
debitur tersebut tidak berprestasi)
3. Memenuhi tetapi tidak tepat waktu.

Adapun akibat hukum yang ditimbulkan akibat melakukan wanprestasi


diantaranya:

1. Debitur diharuskan membayar ganti rugi (Pasal 1243 KUHPdt)


2. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan
perjanjian disertai dengan pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 KUHPdt)11
3. Perikatan akan tetap ada
Pihak kreditur masih dapat menuntut kepada pihak debitur atas
pelaksanaan suatu prestasi jika ia terlambat dalam memenuhi suatu
prestasi. Dilain hal, kreditur juga berhak menuntut sebuah ganti rugi akibat

11
Lia Amaliya, S. H. Hukum Perikatan. Cipta Media Nusantara, hlm. 9.

│7
terlambatnya pelaksanaan prestasi. Semua hal ini dikarenakan pihak
kreditur akan mendapat sebuah keuntungan jika pihak debitur melakukan
prestasi tepat pada waktunya.
4. Beban resiko beralih untuk kerugian pihak debitur apabila halangan
tersebut lahir setelah pihak debitur melakukan wanprestasi. Kecuali dalam
hal ini apabila ada kesengajaan atau kekeliruan yang besar dari pihak
kreditur. Maka dari itu, pihak debitur tidak dibenarkan untuk berpegang
pada keadaan memaksa.

F. Sistem Pengaturan Hukum Perikatan


Dalam pengaturan hukum perikatan menurut BW atau yang disebut
KUHPerdata, sistem hukum perikatan menganut open system, yaitu sistem terbuka
yang dimana setiap orang berhak untuk melakukan suatu perjanjian, baik
perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang maupun belum. Selama hal
tersebut tidak ada pertentangan dengan penjelasan dari Pasal 1320 KUHPerdata.
Adapun akibat hukumnya apabila suatu ketentuan umum berbanding terbalik
dengan ketentuan khusus, maka ketentuan yang digunakan yaitu ketentuan
khusus. Contohnya yaitu perjanjian sewa kosan, kredit, dan hal lainnya. Kemudian
dalam BW atau KUHPerdata Pasal 1320 juga memberikan penjelasan yang
mengatur mengenai syarat sahnya suatu “perjanjian”, yaitu:
a. Mereka yang bersepakat untuk mengikatkan dirinya; (dalam arti lain tidak
adanya unsur paksaan, kekeliruan, dan penipuan)
b. Kecakapan suatu orang untuk membuat suatu perikatan; (dewasa, tidak
dibawah pengampuan)
c. Suatu hal tertentu (objeknya jelas, ukuran, bentuk, dan lain-lain.)
d. Sesuatu sebab yang halal; (tidak berbanding terbalik dengan hukum,
aturan/ undang-undang yang berlaku dan kesusilaan)
Kemudian dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) secara tegas menjelaskan
bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat secara sah, berlaku sebagai aturan atau
undang-undang bagi siapapun yang membuatnya. 12 Jika dianalisis lagi secara
mendalam, maka ketentuan dalam pasal tersebut memberikan suatu kebebasan
kepada para pihak untuk:
1) Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian;
2) Melaksanakan “perjanjian” dengan siapapun;
3) Membuat sebuah isi dari perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.13

G. Asas-asas Perikatan

Asas dalam hukum perikatan yaitu ada tiga, diantaranya:

1. Asas Kesepakatan (konsensualisme)


12
Ahmadi Miru, (20120, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta: Rajawali Pers, hlm.
22
13
Salim HS., (2008), Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, hlm. 34.

8│
Maksud dari asas ini yaitu suatu perikatan terjadi sejak lahirnya kata
“sepakat” diantara para pihak. Hal ini sesuai dengan Pasal 1320 ayat 1
KUHPdt. Hal tersebut dapat dibentuk secara lisan ataupun tulisan.
2. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan Pasal 1338 KUHPdt yang menyatakan
bahwa semua persetujuan yang dibentuk secara sah berlaku sebagai
aturan bagi pihak-pihak yang membuatnya. Dengan arti lain, istilah pacta
sunt servanda ini yaitu sebuah janji yang harus ditepati oleh para pihak
yang melakukan perikatan.
3. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu wujud dari kehendak bebas
hak asasi manusia. Asas ini merupakan perwujudan dalam hal melakukan
kebebasan kepada setiap orang untuk membuat, mengadakan,
menentukan, dan menentukan bentuk perjanjian.14

H. Jenis-Jenis Perikatan

1. Perikatan Murni
Jenis ini mrupakan jenis perikatan yang paling sederhana karena
jumlah pihak yang terikat hanya masing-masing satu. Baik dari pihak
yang dituntut maupun yang menuntut. Contohnya membeli kopi di
warung madura.

2. Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat merupakan suatu perikatan yang digantungkan
pada sebuah peristiwa yang belum tentu terjadi. Contohnya perikatan
bersyarat tangguh, yaitu perikatan yang timbul pada detik terjadinya
peristiwa itu. Contohnya: Seseorang berjanji kepada temannya untuk
menjual jam tangan apabila ia sudah menemui temannya itu di Kota
Jakarta. Maka perikatan tersebut terjadi apabila seseorang tersebut
sudah menemui temannya di Jakarta. Kemudian contoh yang kedua
yaitu perikatan bersyarat batal yang artinya sebuah perikatan tersebut
sudah lahir dan berakhir apabila peristiwa tersebut terjadi. Misalnya:
Neli menempati rumah Najma, dan Neli harus mengosongkan rumah
Najma ketika Najma sudah pulang dari perjalanan umrohnya. Ketika
Najma pulang umroh, maka Neli harus menyerahkan kembali rumah
tersebut kepada Najma.
3. Perikatan dengan ketentuan waktu
Ketentuan waktu dalam perikatan ini maksudnya yaitu peristiwa yang
akan terjadi dan pasti sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata
Pasal 1268 yang berbunyi “suatu ketetapan waktu tidak
menangguhkan sebuah perikatan, melainkan menangguhkan
pelaksanaannya”. Dalam perikatan dengan ketetapan waktu ini,

14
Hs, S., (1979), A, Hukum Perikatan, hlm. 1-6.

│9
kreditur tidak mempunyai hak untuk menagih suatu pembayaran
sebelum waktu yang telah dijanjikan tiba.
4. Perikatan Mana Suka/Alternatif
Perikatan mana suka atau alternatif ini merupakan perikatan yang
terdiri dari prestasi dan seorang debitur wajib memenuhi suatu
perikatan tersebut dengan salah satu prestasi. Perikatan ini diatur
sesuai ketentuan dalam KUHPerdata Pasal 1272 yang berbunyi dalam
perikatan manasuka, seseorang yang berutang dibebaskan jika ia
menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam
perikatan tersebut, tetapi ia tidak dapat memaksakan seorang yang
berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan
lainnya. Dalam hal ini, objek prestasinya ada dua macam barang.
Mengapa hal ini dikatakan alternatif karena seorang debitur boleh
memenuhi prestasinya dengan memilih salah satu dari dua barang
yang dijadikannya objek perikatan. Tetapi dalam hal ini seorang
debitur tidak dapat memaksa seorang kreditur untuk menerima
sebagian barang yang satu dan lainnya. Jika seorang debitur tersebut
sudah memenuhi salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam
perikatan, maka ia dibebaskan dan perikatan telah berakhir. Pada hal
ini juga hak memilih prestasi itu diberikan kepada debitur apabila hak
tersebut tidak secara jelas diberikan pada seorang kreditur.
Contohnya:
Neli mempunyai utang kepada Najma sebesar satu juta rupiah.
Kemudian Neli tidak bisa membayar hutangnya, lantas kedua orang
tersebut membuat perjanjian bahwa untuk menebus hutang Neli, ia
dapat membayarnya dengan sekilo beras dan keduanya bersepakat.
5. Perikatan Tanggung Menanggung/Tanggung Renteng
Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng ini
merupakan perikatan yang terdiri dari beberapa orang kreditur dan
debitur. Perikatan tanggung renteng ini diatur dalam Pasal 1278
KUHPerdata yang berbunyi: suatu perikatan tanggung menanggung
atau perikatan tanggung renteng terjadi diantara beberapa orang yang
berpiutang. Apabila dalam persetujuan tersebut secara tegas kepada
masing-masing untuk diberikan hak menuntut pemenuhan seluruh
utangnya, sedang pembayaran yang dilakukan kepada salah satunya
membebaskan orang yang terutang. Meskipun perikatan sifatnya
dapat dipecah dan dibagi.
Artinya, perikatan tanggung menanggung dapat terjadi apabila
seorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur ataupun
sebaliknya. Perikatan tanggung menanggung ini terdiri dari dua jenis,
yaitu perikatan tanggung menanggung aktif dan perikatan tanggung
menanggung pasif.
a. Perikatan tanggung menanggung aktif
Perikatan tanggung menanggung aktif ini terjadi jika pihak
kreditur terdiri dari beberapa orang atau banyak orang. Hak
memilih diberikan kepada pihak debitur. Hal ini jelas tertuang
dalam Pasal 1279 KUHPerdata yang berbunyi adalah terserah

10 │
kepada si berutang untuk memilih apakah ia akan membayar
utang kepada yang satu atau lainnya diantara orang yang
berpiutang, selama ia belum digugat oleh salah satu.
Dari hal tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan:
Masing-masing dari setiap kreditur berhak menuntut untuk
dipenuhinya seluruh hutang dari pihak debitur. Dan debitur
dapat membayar seluruh utangnya kepada salah satu kreditur.
Pembayaran seluruh utang kepada salah satu kreditur ini
artinya membebaskan seluruh utang seorang debitur kepada
seluruh kreditur.
Perikatan tanggung menanggung ini masih lemah karena jika
prestasinya diterima oleh salah satu kreditur dan seorang
kreditur tersebut tidak menghitung, maka kreditur lain akan
dirugikan.
b. Perikatan tanggung menanggung pasif
Perikatan tanggung menanggung secara pasif ini akan terjadi
jika pihak debitur terdiri dari beberapa orang atau lebih dari
satu orang. Pada perikatan tanggung menanggung pasif ini
juga setiap debitur mempunyai kewajiban untuk memenuhi
prestasi seluruh utang, dan apabila hutang tersebut sudah
dipenuhi oleh seorang debitur saja, maka hal tersebut dapat
membebaskan debitur lain yang mempunyai tuntutan hutang
dari kreditur dan kemudian perikatan selesai atau dihapus.
Hal ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1280 yang berbunyi
adalah terjadi suatu perikatan tanggung menanggung di
pihaknya orang-orang yang berutang manakala mereka
kesemuanya diwajibkan melakukan suatu hal yang sama,
sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya,
dan pemenuhan oleh salah satunya dapat membebaskan
orang-orang yang berutang terhadap pihak yang berpiutang.
Perikatan tanggung menanggung ini hanya dapat diadakan jika
perikatan tersebut secara tegas dinyatakan.
6. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi dan juga tidak dapat dibagi jika suatu
barang yang menjadi objek prestasi dapat atau tidak dapat dibagi
menurut imbangan. Hal ini diatur dan tercantum dalam KUHPerdata
Pasal 1296 yaitu suatu perikatan dapat dibagi ataupun tidak dapat
dibagi hanya karena perikatan tersebut mengenai suatu barang
penyerahannya atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat
dibagi ataupun tidak dapat dibagi, baik secara nyata, maupun
perhitungan.
Sifat perikatan dalam hal ini dibagi menjadi dua, yaitu sifat barang
yang menjadi objek dan juga maksud dari perikatannya apakah dapat
dibagi atau tidak dapat dibagi.
a. Menurut sifat barang
Suatu perikatan tidak dapat dibagi, jika objek daripada
perikatan tersebut berupa penyerahan barang.

│ 11
b. Menurut maksud perikatan
Menurut maksudnya, suatu perikatan tidak bisa dibagi apabila
maksud dari para pihak sebuah prestasinya harus
dilaksanakan sepenuhnya, sekalipun seharusnya perikatan
tersebut bisa dibagi.
Adapun akibat hukum dari hal diatas yaitu jika perikatan tidak
dapat dibagi, maka tiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasinya
pada pihak debitur. Sedangkan dari pihak debitur masing-masing
mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Kemudian
jika perikatan dapat dibagi, para kreditur hanya berhak menuntut
beberapa bagian. Kemudian persamaan dan perbedaan dari perikatan
diatas yaitu: persamaannya tiap kreditur dapat menuntut masing-
masing dari pihak debitur untuk memenuhi seluruh hutangnya. Dan
perbedannya yaitu suatu perikatan tidak dapat dibagi apabila
menyangkut soal prestasinya itu sendiri, sedangkan pada perikatan
tanggung-menanggung mengenai orang-orang yang berutang dan
berpiutang.
7. Perikatan dengan ancaman hukuman
Perikatan dengan ancaman hukuman ini pada dasarnya memuat
sebuah ancaman kepada pihak debitur jika debitur tersebut lalai dan
tidak dapat memenuhi kewajibannya. Perikatan dengan ancaman
hukuman ini diatur dala KUHPerdata Pasal 1304 yang berbunyi
“ancaman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan
mana seorang untuk menjamin pelaksanaan suatu perikatan yang
diwajibkan untuk melakukan sesuatu manakala perikatan tersebut
tidak dapat dipenuhi”
Arti dari ancaman hukuman tersebut yaitu diantaranya untuk
memberikan sebuah kepastian dari pelaksanaan dalam isi sebuah
perjanjian yang disepakati, sebagai upaya untuk menetapkan jumlah
ganti rugi apabila benar-benar terjadi wanprestasi. Kemudian
selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1304 KUHPerdata juga mempunyai
dua maksud, yaitu: pertama, untuk memotivasi orang atau pihak yang
berutang agar memenuhi kewajibannya, kedua agar terbebasnya pihak
yang berpiutang dari pembuktian tentang jumlah kerugian yang
dideritanya.15

KESIMPULAN
Hukum perikatan merupakan sebuah aturan hukum yang mengatur
hubungan antara para pihak yang jumlahnya dua orang atau lebih, yang
memberikan hak pada salah satu pihak yang disebut kreditur dan memberikan
sebuah kewajiban pada pihak yang lain atas suatu prestasi atau dapat disebut
debitur. Objek dari hukum perikatan yaitu sebuah prestasi dan subjek dari hukum
perikatan yaitu pihak-pihak yang melakukan peristiwa perikatan tersebut. Sumber
perikatan yaitu terbagi menjadi dua, yakni bersumber perjanjian para pihak dan
15

12 │
juga bersumber dari undang-undang. Schuld merupakan suatu kewajiban para
debitur untuk berprestasi dan Haftung merupakan penjamin pemenuhan dari
sebuah prestasi dengan semua kekayaan hartanya. Schuld dan Haftung tentunya
ada pada pihak debitur sehingga sebagai konsekuensinya, adanya upaya
pembatalan perbuatan hukum dari debitur yang dapat merugikan krediturnya
atau disebut actio paulina yang hadir untuk pihak kreditur. Kemudian hukum
perikatan menganut sistem terbuka yang artinya bahwa setiap orang berhak untuk
melakukan sebuah perjanjian, baik perbuatan tersebut sudah diatur dalam aturan
undang-undang maupun belum. Hal ini berdasarkan KUHPerdata.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, M. (1992). Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

B, M. D. (2010). Hukum Perikatan dengan Penjelasannya. Bandung.

Fuady, M. (1999). Hukum Kontrak (dari sudut pandang Hukum Bisnis). Bandung:
Citra Aditya Bakti.

Hs, S. (1979). A. Hukum Perikatan.

HS, S. (2008). Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.

JANUAR, I. (2016). Kewajiban dan Tanggung Jawab Memenuhi Prestasi dalam


Hukum Jaminan. to-ra, 287-294.

Joko, D. J. (2020). Memahami Hukum Perikatan.

Lia Amaliya, S. H. Hukum Perikatan. Cipta Media Nusantara.

Miru, A. (2012). Hukum Kontrak Bernuansa Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Muhammad, A. (2000). Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Setiawan, R. (1987). Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta.

│ 13

Anda mungkin juga menyukai