Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

APPLICABLE ACROSS PROFESSION

Disusun Oleh:
Ahmad Fariz A. Lilis Setyaningsih
Bayu Adi S. Belliana Pertiwi
Listiana Wanhar
Wisnu Andha M. Hernanda Yunia R.
Rahita Sari Dewy Sulistyaningrum
Retno Pinasti Muhammad Taufiq R.
Toto Wahyono Sri Supriatin
Rukhi Sholikhah Rakhmadan Alqadri N.
Lutfiani Syabana Oktavia Bintarawati
M. Syah Haris S. VitaMara
Julmawadi Casmita
Triana Indriasari Y. Rino Pratama P.
Eko Yulianto

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tiada pernah terputus rahmat dan karunia-
Nya. Sholawat serta salam teruntuk baginda Nabi dan Rasul kita Muhammad SAW
kepada keluarganya, para sahabat, dan sampailah pada kita sebagai pengikutnya.

Alhamdulillah berkat bantuan dari semua pihak, akhirnya kami dapat


menyelesaikan makalah mengenai “Applicable Across Profession” ini untuk
memenuhi salah satu tugas Manajemen Keperawatan Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini, masih terdapat banyak
kekurangan yang harus diperbaiki. Dengan demikian, Penulis mangharapkan kritik
dan saran dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi para pembaca guna menambah pembendaharaan ilmu
pengetahuan. Semoga dengan amal dan usaha kita untuk menggali ilmu pengetahuan
di ridhoi dan dimudahkan oleh Allah SWT.

Yogyakarta, 03 April 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional
yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim
akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam
memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi :
pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan
apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang
efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Proses sinergi dan pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak calon-
calon tenga professional ini duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas
bersama untuk menyelesaikan suatu masalah yang dapat dilihat dari berbagai
macam perspektif profesi akan meningkatkan kesadaran diri tentang
keterbatasan profesi, meningkatkan pemahaman arti pentingya kerja tim profesi
dan pada akhirnya memunculkan perasaan penghargaan antar anggota tim
kesehatan. Saat ini peraturan yang jelas tertulis hanyalah rumah sakit
pendidikan untuk dokter dan dokter gigi, sementara profesi lain tidak diatur.
Pertanyaanya adalah, apakah akan tercipta generasi dokter yang baik jika tenaga
kesehatan lain di dalam rumah sakit tidak diatur untuk menciptakan sistem
pelayanan kesehatan rumah sakit yang lebih baik, Siapakah yang bisa dijadikan
contoh peran kolaborasi professional dalam melayani pasien, Bila dokter
memiliki keunggulan dalam menegakan diagnosa penyakit, bukankah farmasi
lebih tahu tentang pilihan obat yang paling tepat, Bukankah perawat yang lebih
tahu tentang respon akibat penyakit dan pengobatanya.
Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan klien,
pper group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan dalam
praktek di lapangan sangat penting untuk memperbaiki. Agar perawat dapat
berperan secara optimal dalam hubungan kolaborasi tersebut, perawat perlu
menyadari akuntabilitasnya dalam pemberian asuhan keperawatan dan
meningkatkan otonominya dalam praktik keperawatan. Faktor pendidikan
merupakan unsur utama yang mempengaruhi kemampuan seorang profesional
untuk mengerti hakikat kolaborasi yang berkaitan dengan perannya masing-
masing, kontribusi spesifik setisp profesi, dan pentingnya kerja sama. Setiap
anggota tim harus menyadari sistem pemberian asuhan kesehatan yang berpusat
pada kebutuhan kesehatan klien, bukan pada kelompok pemberi asuhan
kesehatan. Kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman setiap anggota
terhadap nilai-nilai profesional. yaitu melakukan sharing perencanaan,
pengambilan keputusan, pemecahan masalah, membuat tujuan dan tanggung
jawab, melakukan kerja sama dan koordinasi dengan komunikasi terbuka.
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini,
Bagaimana pasien menanganinya,, bantuan apa yang dibutuhkannya, Dan apa
yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai
status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana,
mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik
menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar
argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang
membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang
mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Perbedaan antara dokter dan perawat dalam upaya kolaboratif terlihat
cukup mencolok. Dokter dapat menentukan atau memandang kolaborasi dalam
perspektif yang berbeda dari perawat. Mungkin dokter berpikir bahwa
kerjasama tersirat dalam tindak lanjut sehubungan dengan mengikuti perintah
/instruksi dari pada saling partisipasi dalam pengambilan keputusan. Meskipun
komunikasi merupakan komponen yang diperlukan, itu saja tidak cukup untuk
memungkinkan kolaborasi terjadi. Gaya maupun cara berkomunikasi juga
berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi. Pelaksanaan instruksi dokter oleh
perawat dipandang sebagai kolaborasi oleh dokter sedangkan perawat merasa
mereka sedang diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Kemungkinan kedua
adalah bahwa perawat tidak merasa nyaman “menantang” dokter dengan
memberikan sudut pandang yang berbeda.. Atau, mungkin input yang perawat
berikan tidak dihargai atau ditindak lanjuti, sehingga interaksi tersebut tidak
dirasakan oleh perawat sebagai kolaborasi.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Setelah penulisan makalah ini penulis memahami hubungan perawat dan
dokter serta profesi kesehatan lainnya.
2. Tujuan khusus
Setelah penulisan makalah ini penulis dapat :
a. Memahami tentang kolaborasi antara perawat dengan profesi kesehatan
yang lain
b.Gambaran kinerja tenaga kesehatan dilahan praktik
c. peran perawat terhadap kolaborasi
d. Kesenjangan antara profesi keperawat dengan dokter
e. Penerapan hubungan antara perawat – pasien, perawat dan perawat,
perawat – profesi lain dan perawatan dengan masyarakat.
f. Memahami etika hubungan tim keperawatan
g. Memahami hubungan perawat dengan dokter.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan teori
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi
sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang
ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat
dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja
saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-
nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi
terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
2.2 Definisi perawat
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di
dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Jadi dari pengertian perawat tersebut dapat artikan
bahwa seorang dapat dikatakan sebagai perawat dan mempunyai tanggungjawab
sebagai perawat manakala yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa
dirinya telah menyelesaikan pendidikan perawat baik diluar maupun didalam
negeri yang biasanya dibuktikan dengan ijazah atau surat tanda tamat belajar.
Dengan kata lain orang disebut perawat bukan dari keahlian turun temurun,
malainkan dengan memalui jenjang pendidikan perawat.( Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1239/MenKes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik
Perawat pada pasal 1 ayat 1)
2.3 Definisi dokter
Secara operasional, definisi “Dokter” adalah seorang tenaga kesehatan
(dokter) yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk
menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis
penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat
mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi
serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan
prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung
jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya
adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama
pendidikan kedokteran.
Perasaan saling tergantung (interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja
sama. Bekerja bersama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi
yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan
atau target yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu, menggunakan catatan
klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi anatar
profesi secara formal tentang asuhan klien. Untuk hasil akhir asuhan kesehatan
dapat dioptimalkan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kolaborasi Dalam Profesi Kesehatan
Proses sinergi dan pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak calon-
calon tenga professional ini duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas
bersama untuk menyelesaikan suatu masalah yang dapat dilihat dari berbagai
macam perspektif profesi akan meningkatkan kesadaran diri tentang
keterbatasan profesi, meningkatkan pemahaman arti pentingya kerja tim profesi
dan pada akhirnya memunculkan perasaan penghargaan antar anggota tim
kesehatan. Saat ini peraturan yang jelas tertulis hanyalah rumah sakit
pendidikan untuk dokter dan dokter gigi, sementara profesi lain tidak diatur.
Pertanyaanya adalah, apakah akan tercipta generasi dokter yang baik jika tenaga
kesehatan lain di dalam rumah sakit tidak diatur untuk menciptakan sistem
pelayanan kesehatan rumah sakit yang lebih baik, Siapakah yang bisa dijadikan
contoh peran kolaborasi professional dalam melayani pasien, Bila dokter
memiliki keunggulan dalam menegakan diagnosa penyakit, bukankah farmasi
lebih tahu tentang pilihan obat yang paling tepat, Bukankah perawat yang lebih
tahu tentang respon akibat penyakit dan pengobatanya.
Ronde bersama di rumah sakit, diskusi kasus dan pengelolaan kasus
bersama akan sangat bermanfaat bukan hanya untuk profesi atau mahasiswa
kesehatan namun juga untuk pasien. Dengan kerjasama, duplikasi pemeriksaan
dan wawancara serta duplikasi tindakan akan dapat dihindarkan. Melalui kerja
tim, pemeriksaan dan tindakan serta monitoring data penting tidak akan
terlewatkan. Dari kegiatan ini calon-calon profesioanal tahu bagaimana
menjadikan pelayanan yang efektif dan efisien yang berfokus pada kebutuhan
pasien. Kebutuhan pembelajaran dilakukan tetap dalam koridor beneficiency
dan non maleficiency.
Setiap profesi tenaga kesehatan memiliki keunggulan yang tidak bisa
digantikan oleh profesi lain. Namun dalam beberapa area, setiap profesi
memiliki kemiripan dan kedekatan hubungan yang luar biasa yang sering
dikenal sebagai area abu-abu atau gray area. Pada wilayah ini setiap profesi
merasa memiliki kemampuan dan hak untuk menjalankan praktek
profesionalnya. Sehingga area abu menjadi daerah yang ‘diperebutkan’.
Paradigma perebutan wilayah seperti ini harus dirubah menjadi paradigma baru
yang lebih konstruktif, yaitu menjadikan daerah abu-abu menjadi area of
common interest. Area yang menjadi perhatian bersama para profesi karena
besarnya magnitude area itu dan resiko dampak yang juga luar biasa sehingga
harus ditangani bersama. Area ini bila tidak ditangani dapat menimbulkan
potensi bahaya penyakit dan bahaya social yang sangat besar bagi masyarakat.
Contoh masalah ini adalah persalinan normal, imunisasi dan vaksinasi serta
pengobatan rutin masyarakat. Bila karena suatu hal profesi kesehatan lain tidak
ada dan profesi kesehatan lainya tidak diperkenankan menangani masalah ini,
maka dimanakah nurani para hamba-hamba kesehatan, Apakah persalinan bisa
ditunda, Apakah hanya demam tinggi dan diare yang tidak spesifik harus
dirujuk hingga 45 kilometer atau ditunda hingga dua hari, Bila kesepakatan
antar profesi tenaga kesehatan dalam menangani area of common interest ini
dapat dilakukan dengan baik, kehidupan bersama profesi-profesi kesehatan akan
lebih mulia dan dimuliakan oleh masyarakat.
3.2 Komponen Dalam Kolaborasi Pelayanan Kesehatan
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional
yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim
akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam
memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi :
pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan
apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang
efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien
dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana
menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat
dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam
interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat
berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan
kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan
mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan
seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan
anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja
dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai
kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab,
komunikasi, otonomi dan koordinasi seperti skema di bawah ini.
Dasar-dasar kompetensi koaborasi :
a. Komunikasi
b. Respek dan kepercayaan
c. Memberikan dan menerima feed back
d. Pengambilan keputusan
e. Manajemen konflik
Komunikasi sangat dibutuhkan daam berkolaborasi karena kolaborasi
membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan
komunikasi efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada dasar
kompetensi yang lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor dan harga
diri, sedangkan kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan hasil. Respek
dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupu non verbal serta dapat
dilihat dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari.Feed back dipengaruhi
oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri,
kepercayaan, emosi, lingkungan serta waktu, feed back juga dapat bersifat
negatif maupun positif. Dalam melakukan kolaborasi juga akan melakukan
manajemen konflik, konflik peran umumnya akan muncul dalam proses. Untuk
menurunkan konflik maka masing-masing anggota harus memahami peran dan
fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi
kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta melakukan negosiasi
peran dan tanggung jawabnya.
3.3 Keberhasilan Kolaborasi Perawat Dalam Pelayanan Kesehatan
Menurut Hanson & Spross, 1996 terwujudnya suatu kolaborasi tergantung
pada beberapa kreiteria yaitu:
1. Adanya rasa saling percaya dan menghormati.
2. Saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing.
3. Memiliki citra diri positif.

4. Memiliki kematangan profesional yang setara (yang timbul dari


pendidikan dan pengalaman.

5. Mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan.

6. Keinginan untuk bernegosiasi


Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
a. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
b. Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
c. Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
d. Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang
tergabung dalam tim.
Model Praktek Kolaborasi :
a. Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek.
b. Kolaborasi Perawat – Dokter, dalam memberikan pelayanan.
c. Tim Interdisiplin atau komite.
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar
jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses
kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi.
Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami
oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Penerapan hubungan antara perawat dan profesi lain yang memiliki bidang
kesehatan yang saling berketergantungan satu sama lain misalnya seorang
dokter pasti membutuhkan, perawat, apoteker dan lain-lain , yang saling
berkaitan satu sama lain.
Selain penerapan-penerapan dengan perawat dan profesi lain, perawat juga
harus menerapkan hubungan antara perawat dan masyarakat Perawat
mengemban tugas tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai
dan medukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan
masyarakat.dan tetap menghargai privasi yang ada dalam masyarakat berupa
Privasi pasien. Menghargai harkat martabat pasien,Sopan santun dalam
pergaulan,saling menghormati, saling membantu, peduli terhadap lingkung.
3.2 Kolaborasi Antara Dokter Dan Perawat
Pada saat ini berkembang paradigma baru dalam upaya pemberian
palayanan kesehatan yang bermutu dan konfrehensif, tentu hal ini dipicu ketika
WHO pada tahun 1984 mendefinisikan sehat yang meliputi sehat fisik,sehat
psikis,sehat sosial, dan sehat spiritual. Dulu orang memandang masing –masing
berdiri sendiri, hanya sedikit keterkaitan antara satu sama lainnya. Oleh karena
itu penanganan kesehatan pada umumnya akan melibatkan berbagai elemen
disiplin ilmu yang saling menunjang.
Hubungan dokter dan perawat dalam pemberian asuhan kesehatan kepada
pasien merupakan hubungan kemitraan ( partnership) yang lebih mengikat
dimana seharusnya terjadi harmonisasi tugas, peran dan tanggung jawab dan
sistem yang
Terbuka.Sebagaimana American Medical Assosiasi ( AMA ), 1994,
menyebutkan kolaborasi yang terjadi antara dokter dan perawat dimana mereka
merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagai
nilai – nilai yang saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang
berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.
Apabila kolaborasi antara dokter dan perawat berjalan sebagaimana
dimaksudkan tentu berdampak langsung terhadap pasien, karena banyak aspek
positif yang dapat dihasilkan tetapi pada kenyataannya terutama dalam praktek
banyak hambatan kolaborasi antara dokter dan perawat sehingga kolaborasi sulit
tercipta.
3.4 Hambatan Kolaborasi Dokter dan Perawat
a. Dominasi Kekuasan
Dari pengamatan penulis terutama dalam praktek Asuhan Keperawatan
perawat belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi dengan baik khususnya
dengan dokter walaupun banyak pekerjaan yang seharusnya dilakukan dokter
dikerjakan oleh perawat, walaupun kadang tidak ada pelimpahan tugasnya
dan wewenang. Hal ini karena masih banyaknya dokter yang memandang
bahwa perawat merupakan tenaga vokasional.
Degradasi keperawatan ke posisi bawahan dalam hubungan kolaborasi
perawat-dokter, secara empiris hal ini menunjukkan bahwa dokter berada di
tengah proses pengambilan keputusan dan perawat melaksanakan keputusan
tersebut. Pada tahun 1968, psikiater Leonard Stein menggambarkan
hubungan perawat-dokter pada kenyataanya perawat menjadi pasif.

b. Perbedaan Tingkat Pendidikan/Pengetahuan


Perbedaan tingkat pendidikan dan pengetahuan dokter dan perawat
secara umum masih jauh dari harapan hal ini dapat berdampak pada
interprestasi terhadap masalah kesehatan pasien yang berbeda, tentu juga
akan berdampak pada mutu asuhan yang diberikan.
c. Komunikasi
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar kolaborator, catatan
kesehatan pasien akan menjadi sumber utama komunikasi yang secara
terbuka dapat dipahami sebagai pemberi informasi dari disiplin profesi untuk
pengambilan keputusan. Kesenjangan tingkat pendidikan dan pengetahuan
akan menghambat proses komunikasi yang efektif.
d. Cara Pandang
Perbedaan antara dokter dan perawat dalam upaya kolaboratif terlihat
cukup mencolok. Dokter dapat menentukan atau memandang kolaborasi
dalam perspektif yang berbeda dari perawat. Mungkin dokter berpikir bahwa
kerjasama tersirat dalam tindak lanjut sehubungan dengan mengikuti perintah
/instruksi dari pada saling partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Meskipun komunikasi merupakan komponen yang diperlukan, itu saja tidak
cukup untuk memungkinkan kolaborasi terjadi.
Gaya maupun cara berkomunikasi juga berpengaruh terhadap efektivitas
komunikasi. Pelaksanaan instruksi dokter oleh perawat dipandang sebagai
kolaborasi oleh dokter sedangkan perawat merasa mereka sedang
diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Kemungkinan kedua adalah bahwa
perawat tidak merasa nyaman “menantang” dokter dengan memberikan sudut
pandang yang berbeda.. Atau, mungkin input yang perawat berikan tidak
dihargai atau ditindak lanjuti, sehingga interaksi tersebut tidak dirasakan oleh
perawat sebagai kolaborasi.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setiap profesi tenaga kesehatan memiliki keunggulan yang tidak bisa
digantikan oleh profesi lain. Namun dalam beberapa area, setiap profesi
memiliki kemiripan dan kedekatan hubungan yang luar biasa yang sering
dikenal sebagai area abu-abu atau gray area. Pada wilayah ini setiap profesi
merasa memiliki kemampuan dan hak untuk menjalankan praktek
profesionalnya. Sehingga area abu menjadi daerah yang ‘diperebutkan’.
Paradigma perebutan wilayah seperti ini harus dirubah menjadi paradigma baru
yang lebih konstruktif, yaitu menjadikan daerah abu-abu menjadi area of
common interest. Area yang menjadi perhatian bersama para profesi karena
besarnya magnitude area itu dan resiko dampak yang juga luar biasa sehingga
harus ditangani bersama. Area ini bila tidak ditangani dapat menimbulkan
potensi bahaya penyakit dan bahaya social yang sangat besar bagi masyarakat
4.2 Saran
1. Untuk Pendidikan: Perlu adanya sosialisasi praktik kolaborasi dan managed
care diantara tim kerja kesehatan atau profesi kesehatan mulai dari situasi
pendidikan.
2. Untuk Rumah sakit: Untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
kesehatan perlu adanya peningkatan pendidikan perawat dan komunikasi
yang baik ke pasien maupun antar tim kerja, dan untuk meningkatkan praktik
kolaborasi perlu adanya komitmen bersama antara pemimpin (struktural) dan
fungsional (profesi kesehatan), dimana pimpinan dapat mengadopsi managed
care dan mensosialisasikan serta dapat diterapkan pada pelayanan.

Daftar Pustaka

Departemen kesehatan RI (2004). Profile Indonesia 2004.


Ismani, Nila.2001. Etika Keperawatan. Jakarta: Widia Medika
http://bankdata.depkes.go.id/Profil/Indo04/
http://chairulums.wordpress.com/2009/06/30/hubungan-perawat-dokter/
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/14/humaniora/3531067.htm.
http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0711/01/184756.htm ( 14 Mei 2008).
Rachmawati, Evy. 2007 Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan Masih Rendah.
www. Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi
Mitra Dokter.
www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership.
www. Nursingworld. Gardner. 2005. Ten Lessons in Collaboration.

Anda mungkin juga menyukai