Anda di halaman 1dari 3

Roro Jonggrang

Pengging dan Prambanan. Dua kerajaan bertetangga. Keduanya tidak bermusuhan, namun juga
tidak bersekutu. Hubungan keduanya menyimpan bara yang setiap saat bisa mengobarkan api peperangan.
Kerajaan Pengging berada di kaki gunung Merbabu yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu
Damar Maya, ia memiliki seorang anak yang gagah perkasa yaitu Raden Bandung Bondowoso. Siapa
yang tak mengenalnya? Sudah pasti orang orang mengenal Bandung Bondowoso karena keberaniannya,
ketampanannya dan tentu saja keahliannya dalam memainkan pedang maupun berperang. Tapi sayangnya
ada 1 hal yang belum dimiliki oleh Bandung Bondowoso, yaitu seorang istri. Perambanan, kerajaan yang
memiliki kekuasaan luas di lereng kaki Merapi dengan dipimpin seorang raja bernama Gusti Prabu Baka
Geni yang mempunyai seorang putri cantik jelita yaitu, Roro Jonggarang.

Kehidupan kerajaan Prambanan yang makmur lebih baik dibanding kerajaan Pengging yang
hanya mengandalkan pertanian sebagai sandaran hidup. Karena hal itu pula,Pengging memiliki ambisi
besar untuk memperluas kekuasaan kerajaannya dengan menaklukkan wilayah kerajaan Prambanan.
Namun jika, hal itu terjad. Tentu saja, Gusti Prabu Baka Geni tidak akan tinggal diam jika sewaktu -
waktu Pengging menyerang. Suatu ketika Roro Jonggrang menyampaikan niatnya kepada ayahanda untuk
membentuk barisan prajurit perempuan (6 ksatria pedang perempuan: Dyah Tantra, Dyah Mranti, Gendis
Wangi, Arum Dalu, Kembang Gadung, dan Sekar Menur) untuk memperkuat kekuatan kerajaan
Prambanan. Bandung Bandawasa juga tidak mau kalah dengan memanggil seorang pendekar dari
Tiongkok untuk melatih pasukan khusus kerajaan Pengging. Seiring berjalannya waktu, kekuatan 2
kerajaan itupun meningkat. Roro Jonggrang banyak memberi tahu rahasia kepada 6 Pendekar wanita
tersebut mengenai pedang pusaka, dan tempat persembunyian milik kerajaan Prambanan yang hanya
diketahui oleh Roro Jonggrang dan Prabu Baka Geni. Ketika Gusti Prabu Damar Maya bertapa di Candi
Cepogo. Ada seseorang yang mengirimkan pasukan bayaran untuk membunuh raja Pengging. Maka Gusti
Prabu Damar Maya pun akhirnya tewas dibunuh pembunuh bayaran. Setelah peristiwa itu kerajaan
Pengging dirundung duka mendalam atas kematian raja mereka.

Gusti Pangeran Bandung Bandawasa akhirnya menyusun kekuatan untuk menyerang Prambanan.
dengan bantuan pendekar dari Tiongkok. Ketika Bandung Bondowoso tau Gusti Prabu Baka Geni sedang
bertapa di candi Prambanan, Bandung Bondiwoso segera menyusun rencana untuk membunuh Prabu
Baka Geni, setelah melalui perang antara Prabu Baka Geni melawan Bandung Bondowoso, Perang pun
dimenangkan oleh Bandung Bondowoso. Peristiwa tersebut menyulut pertempuran sengit antara
Prambanan dan Pengging. Mereka saling membakar rumah rakyat dari 2 kerajaan tersebut. Banyak
korban yang berjatuhan, pengkhianatan ada dimana-mana. Roro Jonggrang kembali menuju Candi
Prambanan untuk menjembut jasad ayahandanya. Sesampainya di depan pintu candi Ciwa, Bandung
Bondowoso menghadang. Keduanya bertempur secara sengit dengan menghunus pedang pusaka. Roro
Jonggrang berhasil melukai bandung Bondowoso. Bandung Bondwoso kemudian menggunakan Ajian
Sewu Gunting akhirnya keris pusaka melesat menancap di tubuh Gusti Puteri Jonggrang. Perempuan itu
terjatuh dari kudanya kemudian ditolong pengawal setia Dyah Tantra dibawa menuju persembunyian
terakhir. Lahar dan api gurung Merbabu meluluh lantakkan kerajaan Pengging dan Candi Prambanan
bersamaan dengan tewasnya Bandung Bandawasa yang tertimpa batu candi. Gusti Roro Jonggrang
berpesan agar Dyah Tantra bersama 4 pengawal yang masih hidup untuk meneruskan sejarah Prambanan.
Dari mulut mereka lah cerita permusuhan antara Pengging dan Prambanan bergulir dari zaman ke zaman.
 Identitas Novel
a. Judul : Roro Jonggrang (Pesona Maut Senapati Perang Wanita)
b. Pengarang : Budi Sardjono
c. Editor : Ratna Mariastuti
d. Penerbit : DIVA Press
e. Tahun : 2013
f. Tempat : Yogyakarta
g. Jumlah Hal : 432 Halaman
 Unsur Instrinsik Novel
1. Tema :
2. Alur : Campuran
3. Tokoh dan Penokohan :
 Roro Jonggrang : Cantik, mempunyai tekad yang kuat, pantang menyerah,
pemberani, kuat, tidak serakah, baik, mengabdi kepada prambanan, pendendam,
percaya diri, ramah, lincah
 Bandung Bondowoso : Tampan, berpikir dewasa, gagah, pemberani, kuat,
bijaksana, rendah hati, disegani, pandai, berwibawa, lincah, sopan, berbakti
terhadap yang tua, menghormati kaum perempuan dan anak kecil, pelindung
rakyat
 Prabu Damar Maya : Bijaksana, rendah hati, tidak menyukai perperangan,
berwibawa, gelisah
 Prabu Baka Geni : Kejam, kuat, Gagah, Serakah, arogan
 Dyah Mranti : Pemberani, rendah hati, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi,
penurut, pandai dalam berperang, mempunyai tekad yang kuat, percaya diri
4. Latar / setting :
 Latar tempat : Kerajaan Pengging, kerajaan Prambanan, Candi Cepogo, Candi
Ciwa, Bukit Kaswargan, Kali Progo, Tepi Bengawan Solo, kademangan-
kademangan, lereng Gunung Lawu, Hutan Grobog, Candi Gedono,
 Latar Waktu : Pagi, siang dan malam
 Latar Suasana : Mencekam, bahagia, ramai, sedih, menakutkan, mengharukan,
meresahkan
5. Sudut Pandang : Orang ketiga
6. Amanat : Kita harus menjalin hubungan baik dengan setiap orang, jangan sedikitpun
memiliki rasa iri hati atau pendendam kepada orang lain.

 Unsur Ekstrinsik :
1. Latar Belakang Penulis

Budi Sardjono lahir di Yogyakarta, 6 September 1953. Penulis otodidak. Memulai


menulis karya-karya fiksi (cerpen, novelette, novel, naskah sandiwara, dll). Beberapa kali
memenangkan sayembara mengarang, baik cerpen, novelette di majalah Femina, Kartini,
Sarinah, dll. Memenangkan sayembara mengarang naskah sandiwara remaja oleh Dewan
Kesenian Jakarta. Cerpen-cepennya pernah dimuat di Majalah Sastra Horison, Harian Kompas
Minggu, Majalah Sarinah, Femina, Kartini, Nova, Kedaulatan Rakyat Minggu, Minggu
Pagi, dll. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara lain: Topeng Malaikat (Labuh,
2005) dan Dua Kado Bunuh Diri (Labuh, 2005). Kumpulan Novelet Rembulan Putih (Labuh,
2005) Cerpen-cerpennya juga masuk dalam beberapa antologi kumpulan cerpen. Novelnya yang
sudah terbit jadi buku antara lain Ojo Dumeh (Nusatama,1997), Selendang Kawung (Gita
Nagari, 2002), Angin Kering Gunungkidul (Gita Nagari, 2005), Kabut dan Mimpi (Labuh,
2005), Sang Nyai (Diva Press, 2011), Sang Nyai 2 (Diva Press, 2014), Kembang Turi (Diva
Press, 2011), Api Merapi (Diva Press, 2012), Roro Jonggrang (Diva Press, 2013), Nyai Gowok
(Diva Press, 2014), Sang Nyai 3 (Diva Press, 2018), Ledhek Dari Blora (Araska Publiser, 2018).

Juga menulis buku cerita untuk anak-anak. Tahun-tahun terakhir banyak menulis buku-
buku motivasi dan rohani antara lain Hidup Rasa Jeruk, Doa Rasa Capucino (Dioma, 2006), 7
Mukjizat Sehari Semalam (Visi Media 2007), Meditasi Syukur 20 Menit (Kanisius, Cetakan
ke-5, 2014) Meditasi Cinta 20 Menit (Kanisius, Cetakan ke-2, 2014) 7 Meditasi Penyegar
Hidup (Kanisius, Cetakan ke-3, 2014), Aneka Homili Prodiakon (Kanisius, Cetakan ke-5,
2014), 25 Ayat Dahsyat (Benito Editore, 2011), Anugerah-Anugerah Prodiakon (Kanisius,
2013) Membuat Renungan Itu Mudah (Kanisius, 2015) dan masih banyak lagi.

Novel “Sang Nyai” memperoleh Penghargaan Sastra 2012 dari Balai Bahasa D.I. Yogyakarta.

Pengalaman Jurnalistik:

 1986 – 1996 : Wakil Pimpinan Umum Majalah Kebudayaan BASIS


 1989 – 1998 : Koresponden Majalah KARTINI wilayah Jateng – DIY
 1984 – 2009 : Redaktur Pelaksana Majalah UTUSAN
 2013 – sekarang : Pemimpin Redaksi Majalah ADILUHUNG
 2013 – sekarang : Redaktur Majalah SABANA

2. Kondisi Sosial Budaya :


Novel ini sempat menyinggung tata krama yang berlaku di dalam Keraton.
3. Kondisi Nilai Agama
Kepercayaan masyarakat sekitar terhadap para dewa sangat tinggi apalagi
ketika mereka dilanda ketakutan atau kegelisahan akan sesuatu mereka akan terus
meminta atau bertapa di candi

 Struktur Novel Sejarah


a. Orientasi, merupakan bagian pengenalan atau pembuka dari teks cerita sejarah.

b. Urutan Peristiwa, merupakan susunan peristiwa sejarah yang terjadi.

c. Reorientasi, merupakan peninjauan kembali mengenai teks sejarah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai