Anda di halaman 1dari 14

Anatomi Dan Fisiologi Proses Eliminasi Urin

A. Ginjal
Ginjal merupakan organ seperti buncis yang berwarna cokelat kemerah-merahan dan berbada di
kedua sisi kolumna vertebral posterior terhadap peritoneum dan terletak pada otot punggung
bagian dalam. Ginjal terbentang dari vertebra torakalis kedua belas sampai vertebra lumbalis
ketiga. Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan ikat longgar yang disebut kapsula.
Ginjal pada dasarnya dapat dibagi dua zona, yaitu korteks (luar) dan medulla (dalam). Korteks
meliputi daerah antara dasar malfigi pyramid yang juga disebut pyramid medulla hingga ke
daerah kapsula ginjal. Daerah kortes antara pyramid-pyramid tadi membentuk suatu kolum
disebut Kolum Bertini Ginjal. Pada potongan ginjal yang masih segar, daerah kortek terlihat
bercak-bercak merah yang kecil (Petichie) yang sebenarnya merupakan kumpulan veskuler
khusus yang terpotong, kumpulan ini dinamakan renal corpuscle atau badan malphigi. Kortek
ginjal terutama terdiri atas nefron pada bagian glomerulus, tubulus Konvulatus proximalis,
tubulus konvulatus distalis. Sedangkan pada daerah medulla dijumpai sebagian besar nefron
pada bagian loop of Henle’s dan tubulus kolectivus. Tiap-tiap ginjal mempunyai 1-4 juta filtrasi
yang fungsional dengan panjang antara 30-40 mm yang disebut nefron .

Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta buah
dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat
terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi
cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan
dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan
arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (atau badan
Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus).
Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada
dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding
kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring
melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena
adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk
ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen.
Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula Bowman terdapat
tiga lapisan:
1. Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus
2. Lapisan kaya protein sebagai membran dasar
3. Selapis sel epitel melapisi dinding kapsula bowman (podosit)
Dengan bantuan tekanan, cairan dalam darah didorong keluar dari glomerulus, melewati ketiga
lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula Bowman dalam bentuk filtrat
glomerular.
Filtrat plasma darah tidak mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein
dalam bentuk molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal
sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrat
glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsi
ginjal.
Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat
glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian selanjutnya
adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal.
Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk
filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan
memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam amino, dan
berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus
konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis.
Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari:
o Tubulus penghubung
o Tubulus kolektivus kortikal
o Tubulus kolektivus medularis
Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus juxtaglomerular,
mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat
terjadinya sintesis dan sekresi rennin. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan
saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter.

B. Ureter
Urin meninggalkan tubulus dan memasuki duktus pengumpul yang akan mentranspor urin ke
pelvis renalis. Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis renalis sebagai rute keluar pertama
pembuangan urin. Ureter merupakan struktur tubular yang memiliki panjang 25 sampai 30 cm
dan berdiameter 1,25 cm pada orang dewasa. Ureter membentang pada posisi retroperitoneum
untuk memasuki kandung kemih di dalam rongga pelvis pada sambungan ureterovesikalis. Urin
yang keluar dari ureter ke kandung kemih umumnya steril. Gerakan peristaltik ureter
menyebabkan urin masuk ke kandung kemih dalam bentuk semburan. Ureter masuk ke dalam
dinding posterior kandung kemih dengan posisi miring agar mencegah refluks urin dari
kandung kemih ke ureter.

C. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi dan tersusun atas
jaringan otot serta merupakan wadah tempat urin dan merupakan organ ekskresi. Apabila
kosong, kandung kemih berada dalam rongga panggul di belakang simfisis pubis. Pada pria,
kandung kemih terletak pada rectum bagian posterior dan pada wanita terletak pada dinding
anterior uterus dan vagina. Kandung kemih dapat menampung sekitar 600 ml urin, walaupun
pengeluaran urin normal sekitar 300 ml.
D. Uretra
Urin keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui meatus uretra.
Dalam kondisi normal, aliran urin yang mengalami turbulensi membuat urin bebas dari bakteri.
Merman mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra mensekresi lendir ke dalam saluran uretra.
Lendir dianggap bersifat bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk menecegah
masuknya bakteri. Lapisan otot polos yang tebal mengelili uretra.

Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Urin


1. Tingkat pertumbuhan
Bayi dan anak kecil tidak dapat memekatkan urin secara efektif. Bayi dan anak mengekskresi
urin dalam jumlah yang besar dari ukuran tubuh. Anak berusia 6 bulan dengan BB 6 sampai 8
kg mengekskresi 400 sampai 500 ml urin setiap hari.Orang dewasa mengekskresi 1500 sampai
1600 ml urin tiap hari. Proses penuaan mengganggu mikturisi karena perubahan fungsi ginjal
dan kandung kemih.
2. Faktor psikologis
Ansietas, stres, dan emosional dapat menimbulkan dorongan untuk berkemih meningkat.
Ansietas dapat membuat individu tidak mampu berkemih. Ketegangan emosional membuat
relaksasi otot abdomen dan otot perineum menjadi sulit.
3. Faktor sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Peraturan sosial mempengaruhi waktu
berkemih seperti istirahat sekolah.
4. Kebiasaan pribadi
Privasi dan waktu yang adekuat untuk berkemih. Beberapa individu memerlukan distraksi
seperti membaca untuk rileks.
5. Pengobatan
Diuretik mencegah reabsorpsi air dan elektrolit tertentu untuk meningkatkan haluaran urin.
Retensi urin dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin). Beberapa obat
mengubah warna urin seperti vitamin B membuat urin berwarna kuning.
6. Tonus Otot
Lemahnya otot abdomen dan otot panggul merusak kontraksi kandung kemih dan control
sfingter uretra eksterna. Control mikturasi yang buruk dapat diakibatkan oleh otot yang tidak
dipakai karena lamanya imobilitas, peregangan otot selama melahirkan, atrofi otot setelah
menopause, dan kerusakan otot akibat trauma. Drainase urin berkelanjutan melalui kateter tetap
menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan system perkemihan dapat mempengaruhi berkemih. Pembatasan asupan cairan
umumnya akan mengurangi haluaran urin.
8. Status Volume
Cairan yang diminum akan mengingatkan plasma yang bersirkulasi di dalam tubuh sehingga
meningkatkan volume filtrate glomerolus dan ekskresi urin. Jumlah haluan urin bervariasi
sesuai dengan asupan makanan dan cairan. Jumlah volume urin yang terbentuk pada malam hari
sekitar setengah dari jumlah urin siang hari, akibat penurunan asupan dan metabolism sehingga
terjadi penurunan darah ke ginjal.
9. Kondisi Penyakit
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi kemampuan untuk berkemih. Adanya luka pada saraf
perifer menuju kandung kemih menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya
sensasi penuh kandung kemih dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi.
Misalnya, diabetes mellitus dan sklerosis mulipel menyebabkan kondisi neuropatik yang
mengubah fungsi kandung kemih. Penyakit yang memperlambat atau menghambat aktivitas
fisik yang mengganggu kemampuan berkemih yaitu penyakit arthritis reumatoid, Parkinson,
dan penyakit sendi degenerative.
10. Prosedur Bedah
Klien post bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan analgetik narkotik dan
anestesi dapat memperlambat laju filtrasi glomerolus, mengurangi haluaran urin. Anastesi
spinalis terutama menimbulkan risiko retensi urin. Perubahan struktur panggul dan abdomen
bagian bawah dapat merusak urinasi akibat trauma local pada jaringan sekitar. Pembentukan
diversi urinarius melalui pembedahan di daerah kandung kemih atau uretra yang bersifat
sementara (kanker kandung kemih), memiliki stoma untuk mengeluarkan urin.
Anatomi Fisiologi Eliminasi Fekal

A. Lambung
Dalam lambung, makanan disimpan sementara dan dipecahkan secara mekanik dan
kimiawi untuk pencernaan dan absorpsi. Lambung mensekresi HCl, mukus, enzim pepsi, dan
faktor intrinsik. Konsentrasi HCl mempengaruhi keasaman lambung dan keseimbangan asam
dalam tubuh. Setiap molekul HCl yang disekresi di lambung, sebuah molekul bikarbonat
memasuki plasma darah. HCl membantu pencampuran dan pemecahan makanan di lambung,
mukus melindungi mukosa lambung dari keasaman dan aktivitas enzim. Pepsin mencerna
protein, walaupun tidak banyak pencernaan yang terjadi di lambung. Faktor intrinsik
merupakan komponen penting yagn dibutuhkan untuk penyerapan vitamin B12 di usus dan
pembentukan sel darah merah. Kekurangan faktor intrinsik menyebabkan anemia.
Sebelum makanan meninggalkan lambung ia diubah menjadi bahan yang semifluid yang
disebut chyme.Chyme lebih mudah dicerna dan diabsorpsi dari pada makanan yang padat. Klien
yang sebagian lambungnya hilang atau menderita gastritis mempunyai masalah pencernaan
yang serius karena makanan tidak diubah menjadi chyme. Makanan memasuki usus halus
sebelum dipecah menjadi makanan yang benar-benar semifluid.
B. Usus Halus
Selama proses pencernaan chyme meninggalkan lambung dan memasuki usus halus. Usus
halus merupakan suatu saluran yang diameternya 2,5 cm dan panjangnya 6 m. Usus halus terdiri
dari 3 bagian yaitu duodenum, jejenum, ileum. Chyme tercampur dengan enzim pencernaan
(seperti empedu dan amilase) ketika berjalan melewati usus halus. Segmentasi (berganti-
gantinya kontraksi dan relaksasi dari otot polos) mengaduk chyme untuk selanjutnya memecah
makanan untuk dicerna ketika chyme diaduk, gerakan peristaltik berhenti sementara agar
absorpsi terjadi. Chyme berjalan dengan lambat di saluran cerna untuk diabsorpsi. Banyak
makanan dan elektrolit yang diabsorpsi di usus halus. Enzim dari pankreas (amilase) dan
empedu dari kandung empedu. Usus memecah lemak, protein dan karbohidrat menjadi elemen-
elemen dasar. Hampir seluruh makanan diabsorpsi oleh duodenum dan jejenum. Ileum
mengabsorpsi beberapa vitamin, zat besi dan garam empedu. Jika fungsinya terganggu, proses
pencernaan berubah secara drastis. Contohnya inflamasi, bedah caesar, atau obstruksi dapat
mengganggu peristaltik, mengurangi ares absorpsi, atau memblok jalan chyme.

C. Usus Besar
Bagian bawah dari saluran gastrointestinal adalah usus besar (kolon) karena diameternya
lebih besar dari usus halus. Meski panjangnya lebih pendek yaitu antara 1,5-1,8 m. Usus besar
terbagi atas caecum, kolon, dan rektum. Ini adalah organ penting dari eliminasi b.a.b.
CAECUM
Chyme yang diabsorpsi memasuki usus besar pada caecum melalui katup ileocecal, dimana
lapisan otot sirkular mencegah regurgitasi (makanan kembali ke usus halus).
KOLON
Chyme yang halus ketika memasuki kolon volume airnya berkurang. Kolon terdiri dari
ascending, transverse, descending, & sigmoid. Kolon mempunyai 4 fungsi yaitu absorpsi,
proteksi, sekresi, dan eliminasi. Sejumlah besar air dan sejumlah natrium dan clorida diabsorpsi
setiap hati. Ketika makanan berjalan melalui kolon, terjadi kontraksi haustral. Ini sama dengan
kontraksi segmental dari usus halus, tetapi lebih lama hingga mencapai 5 menit. Kontraksi
menghasilkan pundi-pundi besar di dinding kolon yagn merupakan area untuk absorpsi.
Air dapat diabsorpsi oleh kolon dalam 24 jam, rata-rata 55mEq dari natrium dan 23mEq
dari klorida diabsorpsi setiap hari. sejumlah air yagn diabsorpsi dari chyme tergantung dari
kecepatan pergerakan kolon. Chyme biasanya lembut, berbentuk massa. Jika kecepatan
kontraksi peristaltik cepat (abnormal) berarti ada kekurangan waktu untuk mengabsorpsi air dan
feses menjadi encer. Jika kontraksi peristaltik lambat, banyak air yang diabsorpsi dan terbentuk
feses yang keras sehingga menyebabkan konstipasi.
Kolon memproteksi dirinya sendiri dengan mengeluarkan sejumlah mucous. Mucous
biasanya bersih sampai buram dengan konsistensi berserabut. Mucous melumasi kolon,
mencegah trauma pada dinding dalam. Pelumas adalah sesuatu yagn penting di dekat distal dari
kolon dimana bagiannya menjadi kering dan keras.
Fungsi sekresi dari kolon membantu dalam keseimbanan elektrolit. Bikarbonat disekresi
untuk pertukaran clorida. Sekitar 4-9 mEq natrium dikeluarkan setiap hari oleh usus besar.
Berubahnya fungsi kolon dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.
Akhirnya kolon memindahkan sisa produk dan gas (flatus). Flatus dihasilkan dari
tertelannya udara, difusi gas dari pembuluh darah ke usus dan kerja bakteri pada karbohidrat
yang tidak bisa diserap. Fermentasi dari karbohidrat (seperti kol dan bawang) menghasilkan gas
pada usus yang dapat merangsang peristaltik. Orang dewasa biasanya membentuk 400-700 ml
flatus setiap hari.
REKTUM DAN KANAL ANAL

Rektum pada oranga dewasa biasanya mempunyai panjang 10-15 cm. Bagian distal yang
panjangnya 2,5-5 cm adalah kanal anus. Panjang rektum bervariasi menurut umur :
1. infant : 2,4-,8 cm
2. toddler : 4 cm
3. prasekolah : 7,6 cm
4. sekolah : 10 cm
Pada rektum terdapat 3 lapisan jaringan yang bentuknya saling berseberangan terhadap
rektum dan beberapa lipatan letaknya vertikal. Setiap lipatan yang vertikal terdiri dari sebuah
vena dan arteri. Dipercaya bahwa lipatan-lipatan ini membantu pergerakan feses pada rektum.
Ketika vena dilatasi dapat terjadi dengan tekanan yang berulang-ulang, kondisi ini dikenal
dengan hemorhoid.
Kanal anal dikelilingi oleh spinkter anal internal dan eksternal. Spinkter anal internal
berada di bawah kontrol syaraf involunter, dan spinkter anal eksternal secara normal
dipengaruhi syaraf volunter. Kerja dari spinkter eksterna diperbesar oleh otot levator ani pada
dasar pelvik. Spinkter internal dapat dipengaruhi oleh sistem syaraf otonom, spesime syaraf
eksternal dipengaruhi oleh sistem syaraf somatic

Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :
Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu sinyal yang
menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4)
dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal
parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anal internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anal individu duduk ditoilet atau bedpan,
spingter anal eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diafragma yang akan
meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul
yang menggerakkan feses melalui saluran anus.
Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam
perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks
defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan
muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat
menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses.
Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal
1. Umur
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-anak
tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya
antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang dapat
mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus
otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik
dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga
menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga
mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada
proses defekasi.
2. Diet
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa,
serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa
orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan,
di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi.
Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan
pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
3. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang
adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon. Dampaknya
chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi
berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal,
sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme.
4. Tonus otot
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi. Aktivitasnya juga
merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang
lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau
pada pengontrolan defekasi. Otot-otot yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan
(exercise), imobilitas atau gangguan fungsi syaraf.
5. Faktor Psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit tertentu
termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi.
Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas
peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas
intestinal, yang berdampak pada konstipasi.
6. Gaya Hidup
Gaya hidup mempengaruhi eliminasi feses pada beberapa cara. Pelathan buang air besar
pada waktu dini dapat memupuk kebiasaan defekasi pada waktu yang teratur, seperti setiap hari
setelah sarapan, atau bisa juga digunakan pada pola defekasi yang ireguler. Ketersediaan dari
fasilitas toilet, kegelisahan tentang bau, dan kebutuhan akan privacy juga mempengaruhi pola
eliminasi feses. Klien yang berbagi satu ruangan dengan orang lain pada suatu rumah sakit
mungkin tidak ingin menggunakan bedpan karena privacy dan kegelisahan akan baunya.
7. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang
normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer
tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan konstipasi.
Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang
merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,
mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl),
menekan aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare.
8. Prosedur Diagnostik
Prosedur diagnostik tertentu, seperti sigmoidoscopy, membutuhkan agar tidak ada makanan
dan cairan setelah tengah malam sebagai persiapan pada pemeriksaan, dan sering melibatkan
enema sebelum pemeriksaan. Pada tindakan ini klien biasanya tidak akan defekasi secara
normal sampai ia diizinkan makan. Barium (digunakan pada pemeriksaan radiologi)
menghasilkan masalah yagn lebih jauh. Barium mengeraskan feses jika tetap berada di colon,
akan mengakibatkan konstipasi dan kadang-kadang suatu impaksi.

9. Anastesi dan Pembedahan


Anastesi umum menyebabkan pergerakan colon yang normal menurun dengan
penghambatan stimulus parasimpatik pada otot colon. Klien yang mendapat anastesi lokal akan
mengalami hal seperti itu juga.
Pembedahan yang langsung melibatkan intestinal dapat menyebabkan penghentian dari
pergerakan intestinal sementara. Hal ini disebut paralytic ileus, suatu kondisi yang biasanya
berakhir 24 – 48 jam. Mendengar suara usus yang mencerminkan otilitas intestinal adalah suatu
hal yang penting pada manajemen keperawatan pasca bedah.
10.Nyeri
Klien yang mengalami ketidaknyamanan defekasi seperti pasca bedah hemorhoid biasanya
sering menekan keinginan untuk defekasi guna menghindari nyeri. Klien seperti ini akan
mengalami konstipasi sebagai akibatnya.
11. Iritan
Zat seperti makanan pedas, toxin bakteri dan racun dapat mengiritasi saluran intestinal dan
menyebabkan diare dan sering menyebabkan flatus.
12.Gangguan Syaraf Sensorik dan Motorik
Cedera pada sumsum tulang belakang dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori untuk
defekasi. Gangguan mobilitas bias membatasi kemampuan klien untuk merespon terhadap
keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya,
klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena
sangat berkurangnya fungsi dari spinkter ani.

DAFTAR PUSTAKA
Potter, P.A. and Perry, A. G. 2005. Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice.
6 th Ed. St. Louis, MI: Elsevier Mosby.
Gunstream, S. E. 2000. Anatomy and physiology. 2nd Ed. USA: McGraw-Hill Companies.

Anda mungkin juga menyukai