Anda di halaman 1dari 6

Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dikenal dengan nama Gusti Raden Mas Dorojatun
lahir pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.

Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School (taman
kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian pindah ke Neutrale
Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau melanjutkan
pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan Bandung. Jenjang pendidikan HBS
belum tuntas ditempuh ketika ayahanda memutuskan mengirim beliau bersama beberapa
saudaranya, ke Belanda. Setelah menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan
di Rijkuniversitet di Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif
mengikuti klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke.

Pada 8 Maret 1940 Sultan Hamengku Buwono ia dinobatkan menjadi Sultan Keraton
Yogyakarta. Dalam pidato penobatannya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengatakan
bahwa meskipun telah mengenyam pendidikan barat, dia tetaplah orang Jawa. Perjuangan
Hamengku Buwono IX sangat panjang, ia berada di grada depan saat masa penjajahan Jepang
dan berusaha agar rakyat tidak menjadi romusha dalam rangka pembuatan selokan Mataram.
Belia juga menyerukan supaya Indonesia bisa merdeka dan Yogyakarta mendapatkan status
istimewa. Lalu pada tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII menyatakan
bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Awal proklamasi, Indonesia ini menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial yang
datang kembali, Sultan Hamengku Buwono mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke
Yogyakarta. Beliau menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota negara Republik
Indonesia. Selama pemerintahan berada di Yogyakarta, segala hal yang meliputi gaji
Presiden/ Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi
delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri diambil dari kas keraton. Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagi
beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan beliau memberi amanat
kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton
yang diberikan untuk republik tersebut.

Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff kabinet RI harus
kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan
dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan
lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX
menjalankan sabda pandita ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah
proklamasi, bahwa beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.

Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini mengalami
fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih
kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di
titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto. Indonesia sebagai
negara juga sedang dijauhi karena sikap anti-asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama.
Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya,
keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia
masih ada, dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan
internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali.

Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang pejuang
kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era
Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d
4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga
masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan.
Dan menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April
1951). Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973
menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai
pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri.

Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University
Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di
Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut berduka.
Biografi Tohri Ismail

M. Arizal Tohri Ismail merupakan anak dari pasangan Zainudin dan Nurhasanah. Beliau
lahir di desa Rumbuk kecamatan Sakra pada tanggal 18 November 1973. Beliau anak ke-6
dari 7 bersaudara. Ia mengenyam pendidikan pada tahun 1980 di SD 2 Rumbuk, lalu
melanjutkan pendidikan di SMP 2 Selong pada tahun 1986 dan pada tahun 1989 melanjutkan
pendidikan di STM (Sekolah Teknologi Menengah) dengan jurusan Gambar Bangunan.

Sejak kecil beliau terbiasa hidup mandiri dengan keluarga yang tingkat
perekonomiannya kurang. Karena kedua orang tua beliau hanya seorang petani dan pedagang
yang memiliki penghasilan tidak terlalu besar, mereka juga harus membiayai ketujuh
anaknya.

Setelah selesai mengenyam pendidikan di STM Mataram pada tahun 1992, beliau
mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Udayana jurusan Arsitektur namun kedua
orang tuanya menentang keras karena tidak sanggup membiayai kebutuhannya selama kuliah
disana. Dengan keberanian dan tekad yang kuat beliau pergi tanpa sepengetahuan orang
tuanya ke Bali untuk kuliah dan tanpa membawa uang sepeserpun.

Sesampai di Bali, beliau langsung mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan untuk


kuliah nanti. Setelah itu beliau pun langsung mencari pekerjaan guna memenuhi
kebutuhannya, dengan susah payah keliling Bali akhirnya beliau mendapat pekerjaan di salah
satu Usaha Mebel Interior milik Pak Ketut. Disana ia bekerja sambil belajar sedikit demi
sedikit tentang barang-barang mebel interior. Dilingkungan baru ini beliau harus
menyesuaikan diri, terlebih ia tidak tinggal bersama orang tua dan saudaranya. Tidak hanya
bekerja di toko Mebel, beliau melakukan semua pekerjaan yang selagi bisa beliau kerjakan
dan halal.

Kegiatan itulah yang mengisi hari-hari beliau yang penuh dengan banyak tantangan
demi tetap bisa bertahan di daerah orang. Beliau selalu menerima semua yang terjadi
dikehidupannya dan tak pernah meminta lebih kepada orang lain Dengan penuh kerja keras
akhirnya beliau menyelesaikan kuliahnya, dan dirasa telah mengumpulkan beberapa hasil
jerih payah yang cukup, pada tahun 1997 beliau memutuskan untuk kembali ke kampung
halaman.

Lalu pada tahun 2001 beliau menikah dengan pujaan hatinya yaitu Parhatun dan
dikaruniai 5 orang anak. Untuk menghidupi kebutuhan keluarga, beliau bekerja sebagai
kontraktor bangunan, beliau semakin bekerja keras siang dan malam tanpa kenal lelah untuk
memberikan yang terbaik kepada keluarganya. Tak sedikit cobaan atau masalah datang dalam
pekerjaan beliau, seperti pembatalan proyek tiba-tiba tanpa alasanya yang jelas dan ditipu
oleh rekan kerja sendiri dan berbagai masalah lainnya.

Tetapi beliau menangani masalah yang ada dengan penuh ketenangan karna beliau
yakin kecurangan pasti akan kalah dari kebenaran dan kejujuran. Sebanyak apapun masalah
yang yang akan datang, yang penting beliau selalu bekerja dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai kebaikan dan kebenaran. Karena dalam suatu proyek pekerjaan beliau bekerja untuk
kebaikan bersama bukan untuk kepentingan sendiri.

Maka dari itu, beliau selalu memberikan pesan moral kepada anak-anaknya untuk
selalu berusaha dan berdoa dalam menggapai cita-cita mereka. Dan selalu menanamkan
prinsip-prinsip kehidupan, bahwa dalam melakukan apapun itu harus jujur dan bertanggung
jawab dan selalu mengingat Allah SWT.
Kesimpulan

Hal-hal inspiratif dari sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Tohri Ismail ialah
merupakan salah satu sosok yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan kejujuran.
Segala perilaku atau sikap yang diambil hanya semata-mata untuk kebaikan bersama dan
bukan untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Setidaknya ada beberapa cerita hidup
Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang bisa dijadikan contoh, Beliau dan Paku Alam VIII
bersepakat untuk Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia.

Dalam mengambil keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Tohri Ismail dalam
menyelesaikan masalah, mereka selalu bersikap tenang dan tidak menggunakan emosi yang
meluap luap. Meskipun Sultan Hamengku Buwono IX sekolah atau mengeyam pendidikan di
luar negeri dia tidak melupakan bahwa dia adalah orang jawa. Sosok Tohri Ismail selalu
bekerja keras, memiliki tekad yang kuat dan tanpa mendengar perkataan atau ocehan orang
lain dan dalam mengejar dan meraih mimpinya untuk kuliah.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX ialah sosok yang sangat dermawan dan penuh
pengorbanan. Ia rela menggunakan kas keraton miliknya untuk membiayai segala sesuatu
keperluan negara Indonesia saat itu ibukota pindah ke Yogyakarta. Ia juga memiliki jiwa
nasionalisme terhadap bangsa Indonesia.

Beberapa hal inspiratif dari kedua tokoh tersebut, untuk kedepannya saya akan
menanamkan sikap selalu bekerja keras,optimis,berani mengambil resiko,bersikap jujur dalam
berperilaku dan meraih mimpi . Saya juga ingin menjadi seseorang yang berguna bagi sesama
manusia dan bangsa. Dalam menghadapi setiap masalah dan cobaan saya akan berusaha
tenang dan selalu memikirkan segala keputusan yang saya ambil dengan matang.

Andaikata saya menjadi seorang pemimpin di masa depan, saya akan menjadi
pemimpin yang fleksibel. Yang berarti pemimpin yang selalu melayani dan mengayomi
masyarakat, memiliki sifat jujur dan bertanggung jawab guna untuk menyejahterakan
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai