Anda di halaman 1dari 6

journalofsurgicalresearch d e c e m b e r 2 0 1 7 ( 2 2 0 ) 1 1 2 e1 1 8

Tersedia Secara Online di www.sciencedirect.com

ScienceDirect

j o u r n a l h o m e p a g e : w w w . J o u r na l o f S u r g i c a l R e s e a r c h . c o m

Hasil Jangka Panjang Fungsi Tiroid Pasca Tiroidektomi


Subtotal pada Pasien Penderita Hipertiroidisme Graves

Yann-Sheng Lin, MD,a Jen-Der Lin, PhD,b Chih-Chieh Hsu, MD,a


and Ming-Chin Yu, PhDa,*
a Departemen Bedah, Chang Gung Memorial Hospital Linkou Branch, Chang Gung University, Kota Taoyuan, Taiwan
(R.O.C.)
b Divisi Endokrinologi dan Metabolisme, Departemen Penyakit Dalam, Chang Gung Memorial Hospital Linkou Branch,
Chang Gung University, Kota Taoyuan, Taiwan (R.O.C.)

Info Artikel abstrak

Sejarah Artikel Latar Belakang: Managemen bedah untuk penyakit Graves (Grave Disease or GD) telah beralih dari
Diterima 14 April 2017 tiroidektomi subtotal menjadi tiroidektomi total karena tiroidektomi total dapat menghilangkan risiko
Diterima setelah revisi kekambuhan. Namun, untuk mempertahankan fungsi tiroid dalam keadaan eutiroid, tiroidektomi subtotal
22 Juni 2017 masih seringkali dilakukan dalam kasus penyakit Graves (GD) yang terjadi di negara-negara non-Barat. Oleh
Disetujui 29 Juni 2017 karena itu, kami merancang penelitian guna menyelidiki hasil (akibat) jangka panjang yang muncul pada
Tersedia Online pada 26 July 2017 pasien GD pasca tiroidektomi subtotal. Kami juga meneliti korelasi antara berat sisa tiroid dan fungsi tiroid
pasca operasi
Kata Kunci:
Penyakit Graves Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan observasi kohort retrospektif. Terhitung mulai dari Januari 2005
Hipertiroidisme sampai Desember 2011, ada sekitar 415 pasien GD yang berturut-turut menjalani perawatan tiroidektomi
Tiroidektomi Subtotal subtotal. Data penelitian yang terkumpul meliputi data dari 385 pasien yang menjalani perawatan
Kekambuhan tiroidektomi subtotal bilateral dan data dari 57 pasien yang menjalani operasi Hartley-Dunhill. Rata-rata
waktu tindak lanjut pasce operasi adalah 72 bulan (dari kisaran 12-144 bulan)

Hasil: Rata-rata berat sisa tiroid yang dipertahankan adalah 5.1 g. Hipertiroidisme persisten atau berulang
diamati pada 119 pasien (28,7%). Rata-rata masa/ waktu terjadinya sakit yang berulang (kekambuhan) adalah
36 bulan (dari kisaran 12-120 bulan). Hipotiroidisme berkembang/ terjadi pada lebih dari 50% pasien.
Keadaan eutiroid dicapai hanya pada 19,3% pasien, dan angka ini tidak meningkat secara signifikan
disebabkan peningkatan berat sisa tiroid. Berdasarkan analisis regresi Cox, berat sisa merupakan faktor risiko
independen untuk hipertiroidisme persisten atau berulang (rasio risiko: 1,323; interval kepercayaan pada level
95%: 1,198-1,461, P<0,001).

Kesimpulan: Tiroidektomi subtotal dengan tujuan untuk mempertahankan keadaan eutiroid bukanlah strategi
bedah optimal untuk pengobatan definitif GD karena tingkat persistensi atau kekambuhannya cukup tinggi
sedangkan tingkat eutiroidnya lebih rendah dari yang diharapkan.
linetal surgicaltreatmentforgraves’diseas e 113

Pendahuluan Prosedur Operasi

Semua pasien menerima terapi ATD dengan atau tanpa badrenergic


Graves’ disease (GD) atau gangguan autoimum adalah etiologi yang
blockade untuk membuat mereka berada dalam keadaan eutiroid sebelum
paling umum terjadi untuk hipertiroidisme, mencapai hingga 60 – 80%
operasi dilakukan. Tiroidektomi subtotal meliputi dua prosedur yakni
kasus. 1 Saat ini, ada tiga macam pengobatan/ perawatan (modalitas) yang
Bilateral Subtotal Thyroidectomy (BST) yang menyisakan jaringan tiroid
dapat dilakukan untuk hipertiroidisme Graves, yaitu dengan obat anti-
tiroid (ATDs), terapi yodium radioaktif , dan tiroidektomi. Dibandingkan pada kedua sisi/ lobus, dan operasi Hartley Dunhill (HD) yang hanya
dengan modalitas yang lainnya, tiroidektomi adalah terapi definitif yang menyisakan jaringan tiroid pada satu sisi. Dalam praktek penelitian ini,
sifatnya lebih konsisten karena memiliki beberapa kelebihan yakni remisi tidak ada kriteria pasien yang pasti untuk penentuan BST atau HD.
yang lebih cepat dan tingkat penyembuhan hipertiroidisme GD yang lebih Namun, sebagian besar ahli bedah melakukan HD jika pasien memiliki
tinggi.2,3 Menurut pedoman managemen hipertiroidisme yang pemeriksanaan sonografi pra operasi, serta jika ditemukan lesi nodular
dipublikasikan oleh Asosiasi Tiroid Amerika tahun 2016, tiroidektomi tertentu serta pembesaran asimetris lobus tiroid unilateral . Sisa tiroid
total dan hampir total lebih direkomendasikan sebagai perawatan bedah terletak dekat dengan ligamen Berry, dan suplai darah dari arteri tiroid
untuk hipertiroidisme Graves dibandingkan tiroidektomi subtotal. Ini inferior dipertahankan. Ukuran sisa tiroid tersebut kemudian dinilai oleh
karena tiroidektomi total dapat menghilangkan risiko terjadinya ahli bedah berdasarkan pengalamannya, yakni berdasarkan ukuran total
kekambuhan,4 sedangkan tiroidektomi subtotal masih memungkinkan kelenjar tiroid dan tingkat hipertiroidisme. Berat sisa dihitung berdasarkan
terjadinya kekambuhan (sekitar 1 – 20%).5 Namun, tiroidektomi subtotal panjang X lebar X ketebalan kemudian diperbandingkan dengan spesimen
(yang masih menyisakan kelenjar tiroid pada satu atau dua sisi/lobus) tiroid yang direseksi. Setelah pasca operasi, tingkat kalsium serum dan
cenderung menjadi prosedur bedah yang paling banyak digunakan untuk
konsentrasi hormon paratiroid diukur setidaknya sekali selama opname,
pasien-pasien GD di negara-negara non-Barat sebat obat pengganti
dan terus dipantau secara intensive terkait adanya hipokalsemia atau
hormon tiroid pasca operasi tidak tersedia.6 Kekhawatiran mengenai
hipoparatiroidisme. Hipokalsemia didefinisikan sebagai rendahnya
kebutuha terapi hormon seumur hidup dapat mempengaruhi persepsi
kadar/konsentrasi kalsium serum dalam plasma darah, yaitu < 8.0 mg/dL.
pasien dalam menentukan apakah mereka harus menjalani tiroidektomi
Hipoparatiroidisme permanen merupakan kelainan berupa rendahnya
total untuk penyakit tiroid jinak. Berdasarkan latar bekalang permasalahan
yang dijelaskan tersebut, kami merancang studi ini untuk menyelidiki konsentrasi hormon paratiroid serum, yaitu dibawah 14.0 pg/mL dengan
hasil/ akibat jangka panjang yang muncul pada pasien hipertiroidisme pengobatan yang terus menerus guna mempertahankan normo-kalsemia
Graves pasca tiroidektomi subtotal, dan meneliti korelasi antara berat sisa lebih dari 6 bulan. Jika pasien memiliki gejala cidera saraf laring berulang
tiroid dan fungsi tiroid pasca operasi. Selanjutnya, faktor-faktor risiko (Recurrent Laryngeal Nerve (RLN)) klinis atau mencurigakan, pasien
kambuhnya hipertiroidisme pasca operasi juga dianalisa dan tersebut harus dirujuk ke ahli/ departemen otolaringologi untuk evaluasi
diidentifikasi. Oleh karena itu, kami merasa tertarik untuk meneliti apakah laringoskopi pada kelumpuhan pita surara. Cidera RLN permanen
tiroidektomi subtotal akan menjadi prosedur bedah yang praktis untuk didefinisikan sebagai kelumpuhan pita suara persisten selama lebih dari 6
pengobatan GD di era modern ini. bulan tanpa intervensi apapun.

Bahan dan Metode Tindak Lanjut Fungsi Tiroid Pasca Operasi

Pasien Upaya tindak lanjut dilakukan pada bulan ke 1,3,6, dan 12 pasca operasi
dan selanjutnya dilakukan setiap 6 bulan. Upaya tindak lanjut tersebut
Penelitian observasi kohort retrospektif ini disetujui oleh Institutional meliputi pengukuran triiodothyronine (T3) serum (kisaran yang
Review Board (IRB) dari Chang Gung Medical Foundation, Taiwan direferensikan: 58-159 ng/dL), pengukuran free thyroxine (FT4) (kisaran
(Nomor Referensi IRB: 201601543B0). Dengan kata lain, IRB yang direferensikan: 0.76-1.64 ng/dL), dan thyroid-stimulating hormone
memberikan persetujuan terkait hasil penelitian ini. Diagnosis GD dibuat (TSH) (kisaran yang direferensikan: 0.35-5.50 uIU/mL). Jika fungsi tiroid
berdasarkan gejala/ tanda-tanda hipertiroidisme, hasil tes fungsi tiroid, pasien dipertahankan dalam keadaan eutiroid tanpa adanya pengobatan
dan autoantibody antitiroid serum. Dari Januari 2005 hingga Desember apapun selama 6 bulan, maka uji fungsi tiroid dilakukan setiap tahunnya.
2011, sebanyak 629 pasien yang didiagnosis menderita GD menjalani Untuk mengevaluasi perubahan-perubahan dalam fungsi tiroid pasca
operasi tiroid di institusi kami. Sebanyak 13 pasien menjalani tiroidektomi operasi, kami mengklasifikasikan hypotiroidisme menjadi dua tipe yaitu
total karena berdasarkan diagnosis pra-operatif, mereka menderita hipotiroidisme klinis (peningkatan kadar TSH dengan kadar T3/FT4
hipertiroid dengan status ganas dan berulang (kambuh) setelah menjalani dibawah kisaran normal) dan hipotiroidisme subklinis (penurunan kadar
operasi primer. Pasien yang tidak mendapatkan tindakan lanjut pasca TSH dengan kadar T3/FT4 diatas kisaran normal). Hipertiroidisme
operasi/ pasien yang tidak mendapatkan hasil test fungsi tiroid yang persisten, yang ditentukan oleh penurunan kadar TSH, diukur secara
lengkap tidak dilibatkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian teratur di atas 6 bulan pada tahun pertama setelah operasi. Di lain sisi,
ini hanya melibatkan sebanyak 415 pasien yang mendapatkan perawatan hipertiroidisme berulang ddefinisikan sebagai penurunan kadar TSH yang
tiroidektomi subtotal secara berturut-turut. Semua data dari pasien-pasien diukur 1 tahun setelah operasi dan dilanjutkan selama lebih dari 6 bulan.
tersebut dikumpulkan. Kunjungan (visit) terakhir dokter yang tercantum
dalam data penelitian ini adalah kunjungan yang dilakukan pada 31
Januari 2017. Rata-rata waktu tindak lanjut pasca operasi adalah 72 bulan
(dari kisaran 12-144 bulan)
114 journalofsurgicalresearch d e c e m b e r 2 0 1 7 ( 2 2 0 ) 1 1 2 e1 1 8

Statistik

Variabel-variabel nominal dianalisa dengan menggunakan uji Pearson’s Rata-rata pasien yang dioperasi berusia 32 tahun. Sementara itu, rata-rata
2
chi-squared (c ) atau uji eksak Fisher apabila nilai yang diobservasi < 5, waktu antara diagnosis dan tindakan operasi adalah 2 tahun. Sebanyak
358 pasien (86.3%) menjalani BST, dan 57 pasien (13.7%) lainnya
sedangkan variabel-variabel kontinu dianalisa dengan menggunakan uji
menjalani HD. Alasan-alasan yang paling umum dilakukannya operasi
Mann-Whitey U. Korelasi antara berat sisa dan hipertiroidisme persisten/
tiroid untuk pasien yang menderita GD antara lain adalah preferensi
berulang dianalisa menggunakan kurva Kaplan-Meier dengan uji log-
pasien untuk menjalani terapi ATD, diikuti dengan terjadinya pembesaran
rank. Analisis regresi Cox digunakan untuk menguji potensi korelasi
gondok dengan gejala-gejala komprehensif, adanya rasa sakit yang
antara variabel-variabel yang ditentukan dengan hipertiroidisme persisten/
berulang (kekambuhan), dan kontrol yang tidak rutin/ buruk. Meskipun
berulang, diinterpretasikan menggunakan rasio risiko dengan interval
tidak signifikan secara statistik, HD lebih sering dilakukan pada pasien-
kepercayaan 95%. Penelitian ini menggunakan software SPSS 22.0 (IBM
pasien dengan status tiroid tak tentu atau ganas pada biopsi sedotan jarum
Corp, Armonk, NY) untuk semua analisis yang dilakukan. Semua uji
halus (fine needle aspiration biopsy) pra operasi. Untuk berat kelenjar
statistik dilakukan pada kedua sisi, dan nilai P < 0,05 dianggap signifikan.
Data dilaporkan dalam bentuk angka (persentase) atau pernyataan. tiroid yang tereseksi dan berat kelenjar total, tidak ada perbedaan yang
signifikan diantara kedua kelompok (BST dan HD). Namun, kelompok
HD menunjukkan berat sisa yang secara signifikan lebih kecil dan juga
Hasil proporsi kelenjar tereseksi yang secara signifikan lebih tinggi. Selain itu,
tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok (BST dan
Data demografik, indikasi pembedahan, metode operasi, dan hasil operasi HD) terkait waktu operasi, pendarahan (hilangnya darah) intraoperasi,
pasien ditunjukkan pada Tabel 1. durasi (lamanya) rawat inap di rumah sakit, dan komplikasi.Meskipun
secara statistik tidak signifikan, volume pendarahan (hilangnya darah)
pada kelompok BST cenderung lebih besar. Pada kelompok HD, tidak
ada pendarahan yang terjadi pasca opeasi. Tidak ada mortalitas bedah
yang terjadi pada kedua kelompok.
Selama periode penelitian ini, ada sebanyak 119 pasien (28,7%) yang
tercatat menderita hipertiroidisme, baik hipertiroidisme persisten maupun
berulang. 63 kasus (52.9%) diantaranya mengalami hipertiroidisme
persisten, sementara 56 kasus lainnya adalah hipertiroidisme berulang
(kambuh) dimana rata-rata masa/waktu kekambuhan adalah 36 bulan (dari
kisaran 12 – 120 bulan).
Table 2 menyajikan analisis variabel dengan menggunakan regresi Tingkat pencapaian keadaan eutiroid secara keseluruhan adalah sebesar
Cox guna mengevaluasi faktor-faktor risiko independen untuk 19.3% (80 dari 415 pasien); angka ini sedikit meningkat karena berat sisa
hipertiroidisme persisten maupun berulang, termasuk gender (perempuan), juga mengalami peningkatan menjadi 4,0-6,0 g, dan kemudian menurun
umur, waktu antara diagnosis dan operasi, metode operasi (BST vs HD), ketika berat sisa meningkat melebihi 6,0 g. Ketika kami melibatkan 15
berat sisa, berat kelenjar total, dan proposi kelenjar yang terereksi. Berat pasien tersebut dengan remisi spontan dari hipertiroidisme subklinis atau
sisa adalah satu-satunya faktor independen untuk hipertiroidisme persisten hipotiroidisme, tingkat pencapaian keadaan eutiroid diperkirakan
maupun berulang (rasio risiko: 1,323; interval kepercayaan pada 95% : meningkat menjadi 22,9% (95 dari 415 pasien).
1,198-1,461), dan kami menemukan adanya peningkatan tingkat
hipertiroidisme sebesar 32,3% untuk setiap gram sisa tiroid. Meskipun
secara statistik signifikan, persistensi maupun kekambuhan Berdasarkan masa tindak lanjut pasca operasi, kurva Kaplan-Meier
hipertiroidisme pada pasien dengan prosedur operasi BST memiliki digunakan untuk menganalisa korelasi antara berat sisa dan risiko
tingkatan yang lebih besar dibandingkan dengan HD (113 dari 358 pasien hipertiroidisme persisten dan berulang. Kami menemukan bahwa risiko
vs 6 dari 57 pasien, P ¼ 0.069), begitu juga dengan kelenjar tiroidnya persistensi maupun kekambuhan secara signifikan lebih tinggi ketika berat
yang juga lebih besar daripada HD (P ¼ 0.258).
sisa melebihi 6,0 g (X2 ¼ 39,851, P < 0,001) (Gambar. 1).

Dari 119 pasien penderita hipertiroidisme persisten maupun berulang,


Fungsi tiroid pasca operasi pada tahun pertama cenderung tidak stabil
91 (76.5%) diantaranya memiliki hipertiroidisme klinis dan mendapatkan
pada semua pasien. Persentase pasien dengan fungsi tiroid biokimia pada
terapi ATD lebih lanjut. Dari 91 pasien tersebut, 4 pasien mendapatkan
interval waktu yang ditentukan adalah sebagai berikut: 18,3% (76/ 415)
terapi radioiodine secara berturut-turut, dan 5 pasien lainya menjalani
pada bulan ketiga, 10,1% (42/ 415) pada bulan keenam, dan 13,0% (54/
operasi ulang dengan menggunakan prosedur BST sebagai prosedur
415) pada bulan kedua belas. Data terkait tindak lanjut fungsi tiroid
operasi primernya. Dua pasien diantaranya (40,0%) mengalami
selama 5 tahun tersedia untuk 287 pasien (69,2%). Kami kemudian
komplikasi dengan cidera RLN permanen, dan satu pasien (20,0%)
menganalisa lebih lanjut subkelompok ini untuk menggambarkan
mengalami komplikasi dengan hipoparatiroidisme permanen.
perubahan-perubahan dalam fungsi tiroid dari waktu ke waktu pasca
operasi (Gambar 2). Dibandingkan dengan kelompok-kelompok pasien
Fungsi tiroid pasca operasi dianalisis berdasarkan berat sisa (Tabel 3).
lainnya, kelompok dengan hipotiroidisme pada tahun pertama ini
Disini, fungsi tiroid digambarkan sebagai status hormon tiroid primer
memiliki lebih sedikit fluktuasi fungsi tiroid dari waktu ke waktu, dimana
setelah tiroidektomi subtotal tanpa perawatan/pengobatan lanjutan untuk
lebih dari 85,0% dari pasien-pasien ini memerlukan terapi penggantian
hipertiroidisme atau hipotiroidisme. Tingkat hipotiroidisme secara
hormon tiroid persisten. Dari 62 pasien yang mencapai keadaan eutiroid di
signifikan lebih rendah pada kelompok pasien dengan berat sisa lebih
tahun pertama, 9 pasien (14,5%) diantaranya mengalami perkembangan
besar dari 6,0 g , tetapi peluang terjadinya hipertiroidisme persisten
hipotiroidisme. Sementara itu, 3 pasien (4,9%) mengalami perkembangan
maupun berulang juga secara signifikan lebih tinggi pada kelompok ini.
hipotiroidisme di tahun kelima. Tingkat hipertiroidisme, eutiroidisme dan
Selain itu, terjadinya hipertiroidisme persisten secara signifikan lebih
hipotiroidisme secara berurutan adalah 22,0% (63 dari 287 pasien), 21,6%
tinggi ketika berat sisa lebih besar dari 6,0 g (37 dari 345 pasien vs 26 dari
(62 dari 287 pasien), dan 56,4% (162 dari 287 pasien) di tahun pertama.
70 pasien, 10,7% vs 37,1%, P <0,001).
116 journalofsurgicalresearch d e c e m b e r 2 0 1 7 ( 2 2 0 ) 1 1 2 e1 1 8

Gambar 2. Perubahan fungsi tiroid pasca tiroidektomi subtotal dari


waktu ke waktu pada 287 pasien dengan upaya tindak lanjut selama 5
Gambar 1. Hubungan anatara berat sisa dan hipertiroidisme pasca
tahun
operasi dari waktu ke waktu

Menurut meta-analysis,6 tingkat terjadinya hipertiroidisme persisten


maupun berulang pasca tiroidektomi subtotal, dengan berat sisa tiroid rata
Di tahun kelima, tingkat hipertiroidisme dan hipotiroidisme menurun rata sebesar 3,0 g, diperkirakan mencapai 8,0%. Hasil analisis kami ini
hingga 20,9% (60 dari 287 pasien) dan 51,2% (147 dari 287 pasien) jauh lebih tinggi daripada rata-rata. Ini bisa jadi karena berat sisa tiroid
secara berurutan dikarenakan perawatan/ pengobatan lebih lanjut umtuk pada kasus-kasus yang kami teliti relatif lebih besar, yakni dengan berat
hipertiroidisme maupun hipotiroidisme klinis, atau pemulihan spontan rata-rata sebesar 5,1 g. Berbeda dari beberapa studi lainnya, dalam
eutiroidisme dari hipotiroidisme subklinis atau remisi dari hipertiroidisme penelitian ini, tidak ada kebijakan pembedahan/ operasi yang seragam/
subklinis. Oleh karena itu, tingkat pencapaian status eutiroid meningkat sama dalam menentukan ukuran sisa-sisa tiroid yang perlu untuk
hingga 27,9% (80 dari 287 pasien). dipertahankan, dan variasi berat sisa tiroid cenderung relatif banyak.
Namun, dari sejumlah variasi berat sisa tiroid yang cukup banyak
tersebut, kami menyimpulkan bahwa berat sisa tiroid adalah faktor paling
penting yang dapat menunjukkan korelasi positif dengan terjadinya
hipertiroidisme persisten maupun berulang, sesuai dengan hasil studi
Pembahasan
sebelumnya yang diterbitkan oleh Kasuga, dkk dan Sugino, dkk.8, 12 Selain
itu, berat sisa tiroid yang lebih besar dari 6,0 g meningkatkan risiko
Di rumah sakit kami, alasan utama yang mendasari para ahli bedah
persistensi hipertiroidisme, seperti yang ditunjukkan oleh data kami.
melakukan tiroidektomi subtotal untuk pasien dengan hipertiroidisme
Singkatnya, risiko dari peningkatan sisa berat tiroid (yaitu terjadinya
Graves adalah untuk mencapai remisi hipertiroidisme dan secara
hipertiroidisme persisten atau berulang) cenderung lebih besar
bersamaan mencoba untuk mempertahankan agar fungsi tiroid pasca
dibandingkan manfaatnya untuk mencapai keadaan eutiroid.
operasi tetap berada dalam keadaan eutiroid. Namun, dalam literatur,
tingkat pencapaian keadaan eutiroid bervariasi dari 8% hingga 60%.7
Dalam penelitian kami, pasien-pasien yang menjalani HD memiliki
Variasi ini dapat berupa perbedaan-perbedaan ukuran sisa kelenjar tiroid
kecenderungan yang lebih rendah untuk mengalami hipertiroidisme
yang dipertahankan, definisi-definisi yang digunakan, dan durasi/ masa
persisten maupun berulang daripada pasien-pasien yang menjalani BST,
tindak lanjut. Dalam penelitian kami, hipotiroidisme berkembang atau
Beberapa studi prospektif dan non-acak juga memunjukkan hasil yang
terjadi pada 50% pasien GD pasca tiroidektomi subtotal. Keadaan eutiroid
dicapai/ terjadi pada 19,3% pasien dan cenderung meningkat hingga konsisten dengan tingkat kekambuhan lebih rendah yaitu 2 -3% pada
22,9% ketika kami memasukkan/ melibatkan pasien-pasien dengan remisi pasien-pasien yang menjalani prosedur operasi HD. 10,13,14 Perbedaan
spontan dari hipertiroidisme maupun hipotiroidisme subklinis (Tabel 3). tingkat kekambuhan pada kedua prosedur operasi tersebut (BST dan HD)
Tapash dkk7 melaporkan bahwa tingkat terjadinya eutiroidisme berkaitan antara lain adalah sisa-sisa tiroid berukuran lebih kecil yang
dengan ukuran sisa tiroid (dengan peningkatan eutiroidisme sebesar 6,9% dipertahankan dalam HD, dengan berat sisa tiroid rata-rata antara 2,0 –
per gram sisa tiroid). Namun, berdasarkan penelitian kami maupun 3,0 g. Seperti yang digambarkan memalui analisis regresi Cox (Tabel 2),
beberapa studi lainnya,8,9 tingkat pencapaian eutiroid tidak meningkat berat sisa tiroid cenderung dapatmenjadi faktor risiko independen utama
secara signifikan karena berat sisa tiroid juga meningkat. yang menentukan terjadinya hipertiroidisme persisten maupun berulang,
ketimbang faktor metode bedah/ operasi yang digunakan. Namun, uji coba
Terjadinya hipertiroid persisten maupun berulang pasca tiroidektomi terkontrol acak yang dirancang dengan baik sangat diperlukan untuk
subtotal tidak dapat diduga karena sisa jaringan tiroid tertinggal ditempat mempelajari apakah sisa-sisa tiroid dengan berat yang sama pada satu
semula. Beberapa studi melaporkan bahwa tingkat potensi terjadinya atau dua sisi memiliki efek / pengaruh yang signifikan pada tingkat
kekambuhan adalah sebesar 2 – 3% dengan berat sisa rata-rata adalah kekambuhan
kurang dari 2,0 g.10,11. Terkait dengan terjadinya kekambuhan, tidak ada
satupun referensi/ rekomendasi yang menentukan pasti seberapa berat Secara statistik, tidak ada perbedaan yang signifikan terkait terjadinya
atau besaran ukuran sisa tiroid yang ideal untuk dipertahankan. komplikasi diantara kedua prosedur tersebut.
linetal surgicaltreatmentforgraves’disease 117

Namun, pada BST, frekuensi pendarahan pasca operasi cenderung lebih


tinggi dan jumlah (volume) kehilangan darah intraoperatif juga lebih Kesimpulan
besar. Hipervaskulariti (hipervascularity) tiroid cenderung menonjol atau
muncul pada penyakit Graves (GD). Berbeda dengan HD, parenkim Tiroidektomi subtotal dengan tujuan untuk mempertahankan keadaan
tiroid bilateral ditranseksikan selama BST; oleh karena itu, volume eutiroid bukanlah strategi bedah yang optimal untuk pengobatan definitif
kehilangan darah/ pendarahan bisa saja meningkat. Selain itu, HD hanya penyakit Garves (GD) karena tingkat kekambuhan dari penyakit ini
membutuhkan satu roidektomi unilateral dalam kasus-kasus terjadinya cenderung tinggi sedangkan tingkat eutiroidisme lebih rendah dari yang
kekambuhan sehingga risiko kelumpuhan RLN bilateral dapat berkurang diharapkan. Bahkan pasien-pasien yang mencapai keadaan eutiroid pada
selama operasi ulang dilakukan. 13 Berdasarkan penemuan-penemuan periode awal pasca operasi dapat mengalami fluktuasi fungsi tiroid dari
yang disebutkan diatas, beberapa penulis lebih merekomendasikan HD waktu ke waktu. Jika pembedahan tiroid direncanakan (meskipun tidak
untuk dilakukan dalam manajemen bedah pada kasus GD. 10,13 direkomendasikan), meminimalkan berat sisa tiroid dibawah 4,0 g sangat
disarankan untuk menurunkan risiko hipertiroidisme persisten maupun
Re-operasi (operasi ulang) untuk pasien-pasien penderita GD berulang karena berat sisa tiroid merupakan satu-satunya faktor risiko
kambuhan/ berulang pasca tiroidektomi subtotal sudah pasti tidak independen terjadinya kekambuhan yang diidentifikasi dalam penelitian
diinginkan/ tidak diharapkan untuk dilakukan bagi ahli bedah maupun ini. Tidak ada korelasi antara berat sisa tiroid dan eutiroidisme pasca
pasien. Jaringan yang membekas atau adhesi fibrosa berat dapat semakin operasi.
mempersulit proses identifikasi kelenjar RLN dan paratiroid secara
intraoperatif, yang dapat meningkatkan terjadinya komplikasi bedah yang
lebih tinggi. Cidera permanen pada kelenjar RLN atau paratiroid juga
akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dengan mempertimbangkan
tingkat morbiditas re-operasi yang tinggi tersebut. Terapi iodin radioaktif
Ucapan Terima Kasih
bisa jadi merupakan pilihan yang lebih tepat untuk pengobatan definitif
pasien-pasien GD yang mengalami kekambuhan pasca tiroidektomi
Penelitian ini didukung oleh Chang Gung Medical Research
subtotal apabila tidak ada kontraindikasi.
(CMRPG3F0121).

Kami tidak membandingkan tingkat komplikasi antara tiroidektomi Kontribusi penulis: Y.-S.L. (penulis pertama) menganalisa dan
total dan tiroidektomi subtotal karena hanya ada sedikit pasien GD yang menafsirkan data serta menulis artikel. J.-D.L. merevisi artikel untuk
menjalani tiroidektomi total di institusi kami selama periode penelitian konten intelektual yang penting. C.-C.H. mengumpulkan dan menganalisa
ini. Namun, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa tiroidektomi total data. M.-C.Y (penulis yang bertanggung jawab) merancang dan mengatur
cukup aman dilakukan untuk pengobatan hipertiroidisme Graves tanpa penelitian dan merevisi artikel.
secara signifikan meningkatkan tingkat komplikasi, kecuali untuk
hipoparatiroidisme sementara, dibandingkan dengan hasil dari
tiroidektomi subtotal.1,2,5-7,15,16 Meskipun hipotiroidisme permanen tidak
dapat dihindarkan pasca tiroidektomi total, manajemen tetap melibatkan
Pengungkapan
terapi suplemen tiroksin, dan status hormon pasien mudah dipelihara dan
diprediksi. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan dalam penelitian kami Para penulis menyatakan bahwa tidakada persaingan kepentingan
dan beberapa studi lainnya 9,17,18, fungsi tiroid pasien GD pasca finansial maupun konflik kepentingan.
tiroidektomi subtotal cenderung sulit untuk diprediksi dikarenakan adanya
fluktuasi dari waktu ke waktu. Bahkan pasien eutiroid pada periode awal
pada akhirnya dapat mengalami disfungsi tiroid. Bahkan, potensi
terjadinya kekambuhan telah diamati selama 10 tahun pasca operasi. Oleh
karena itu, pengawasan status hormon tiroid yang berkelanjutan dan
berkepanjangan sangat diperlukan untuk mendeteksi potensi terjadinya
kekambuhan atau hipotiroidisme laten pasca tiroidektomi subtotal untuk
hipertiroidisme Graves.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Berat sisa tiroid


diperkirakan secara tidak langsung, yakni melalui perbandingan dengan
spesimen tiroid yang direseksi. Tinjauan literatur penelitian ini tidak
menjelaskan metode-metode yang diterbitkan terkait pengukuran berat
sisa tiroid secara objektif dan langsung. Oleh karena itu, kesalahan terkait
berat sisa aktual dan berat sisa prakiraan mungkin saja terjadi. Penelitian
ini adalah tinjauan grafik retrospektif, dan operasi-operasi dalam
penelitian ini dilakukan oleh salah satu dari beberapa ahli bedah umum
spesialisasi bedah tiroid. Oleh karena itu, cukup sulit untuk memberikan
rincian lebih lanjut tentang pengambilan keputusan mengenai berat sisa
tiroid yang tertinggal. Hubungan antara autoantibodi antitiroid dan fungsi
tiroid pasca operasi tidak dapat dianalisis karena imunoasai tidak
dilakukan secara teratur pada kebanyakan pasien selama upaya tindak
lanjut medis pasca diagnosis awal GD. Selain itu, timing (waktu)
imunoasai pra operasi dan pasca operasi tidak identik.

Anda mungkin juga menyukai