Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

“PSEUDO-SYNDROMES” ASSOCIATED WITH PARKINSON DISEASE,


DEMENTIA, APATHY, ANXIETY, AND DEPRESSION

Disusun Oleh:
Rizkia Ima Ardanti
1820221076

Pembimbing:
dr. Teuku Reyhan, SpS

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN’ JAKARTA
RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
PERIODE 13 JANUARI 2020 – 14 FEBRUARI 2020
PENGESAHAN
Journal Reading

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Saraf
RSUP Persahabatan Jakarta

Disusun Oleh:
Rizkia Ima Ardanti
1820221076

Telah disetujui,
Pada tanggal Januari 2020

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Teuku Reyhan, SpS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Journal Reading ini. Penulis berharap agar Journal
Reading berjudul ‘“Pseudo-syndromes” associated with Parkinson disease,
dementia, apathy, anxiety and depression’ bermanfaat bagi diri sendiri, teman
sejawat, tenaga kesehatan dan instansi.

Dalam penyelesaian Journal Reading ini penulis ingin menyampaikan


terimakasih kepada:

1. dr. Teuku Reyhan, SpS selaku penguji dan pembimbing.


2. Teman-teman Departemen stase Saraf yang selama ini selalu memberikan
dukungan.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan ini, penulis masih mempunyai
banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis menerima saran dan kritikan untuk
menyempurnakan laporan kasus ini.

Jakarta, 18 Januari 2020

Penulis
“PSEUDO-SYNDROMES” ASSOCIATED WITH PARKINSON DISEASE,
DEMENTIA, APATHY, ANXIETY, AND DEPRESSION
“PSEUDO-SYNDROMES’ TERKAIT DENGAN PARKINSON, DEMENSIA,
APATIS, KECEMASAN DAN DEPRESI

Howard D. Weiss and Gregory M, Pontone

Abstrak
Tujuan review: Dokter yang merawat pasien dengan Parkinson perlu mengevaluasi tidak
hanya gejala motoric pada pasien namun juga perlu memiliki keahlian utnuk menilai
perilaku kompleks yang sering menyertai penyakit Parkinson, seperti demensia, apatis,
gangguan cemas dan depresi.
Temuan terbaru: Terdapat resiko kesalahan diagnostic akibat banyaknya gejala perilaku
dan gejala motorik yang ditonjolkan, tumpeng tindih ataupun meniru satu sama lain.
Kesimpulan: Perlu meningkatkan kesadaran akan potensi kesalahan diagnosis dan
adanya “Pseudo-syndromes” harus mengarah pada penilaian klinis yang lebih akurat
untuk perawatan yang lebih baik bagi pasien.

Disfungsi motorik pada Penyakit Parkinson / Parkinson disease (PD) atau


gangguan parkinsonian lainnya seringkali disertai dengan tanda dan gejala
nonmotorik, termasuk gangguan kognitif, apatis, kecemasan dan depresi.1
Fenomena ini dinilai dengan interpretasi dari riwayat pasien, hasil pemeriksaan
neurologis serta evaluasi status mental. Namun, klinis motoric dan gejala perilaku
terkait dengan Parkinsonism seringkali tumpeng tindih ataupun saling meniru satu
sama lain. Akibatnya, ada risiko bahwa tanda dan gejala pada penyakit
parkinsonian dapat disalahartikan atau disalahpahami oleh pasien, mitra perawat
serta dokter. Jurnal tinjauan ini menganalisa kesalahan umum yang dapat
mengarahkan pada kesalahan diagnosis dan adanya pseudo-syndromes (kondisi
klinis yang mudah disalahartikan sebagai kondisi lain): Psuedo-demensia
parkinsonism, Pseudo-depresi parkinsonism, Pseudo-parkinsonism depresi,
Pseudo-ansietas parkinsonism dan Pseudo-parkinsonism ansietas (Tabel).

Tabel. Pseudo-syndromes pada Penyakit Parkinson


Fenomena Klinis Faktor yang berpotensi menyebabkan kesalahan
diagnosis
Pseudo-demensia Parkinsonism Bradyphrenia
Apatis
Off period gejala kognitif
Halusinasi dan psikosis
Depresi
Pseudo-depresi Parkinsonism Hypomimia (wajah topeng)
Pseudobulbar Affect (PBA)
Apatis
Fluktuasi nonmotor dengan disforia
Gangguan tidur
Anhedonia
Demoralisasi
Pseudo-parkinsonism Depresi Ekspresi sedih menyerupai hypomimia
Postur bungkuk dan gaya berjalan lambat
Bradyphrenia
Neuroleptik-terkait parkinsonism
Gangguan ansietas vs Pseudo- Akathisia
ansietas Parkinsonism Fluktuasi nonmotor dengan ansietas dan panic
Tremor berat dengan dyskinesia
Gangguan motoric PD Ansietas dan panik yang dijelaskan dengan
(Parkinson disease) vs Pseudo- terminology motorik untuk mendapatkan lebih
parkinsonism Ansietas banyak obat Dopaminergik

Pseudo-demensia Parkinsonism
Fungsi kognitif umumnya berubah pada pasien dengan PD.2 Penilaian
fungsi kognitif yang akurat merupakan aspek penting dalam mengevaluasi pasien
dengan PD. Namun, keluhan kognitif subjektif seringkali muncul pada pasien
dengan PD tanpa adanya gangguan yang yang signifikan.3
Bradyphrenia (kelambatan berpikir, kelambatan proses mental dan
kurangnya spontanitas) umum ditemukan pada pasien PD dan gangguan
parkinsonian lainnya. Bradyphrenia sering dipandang sebagai ekuivalen mental
dari bradykinesia, meskipun keparahan dari kedua fenomena ini hanya berkolerasi
sedang pada masing-masing pasien.
Keterlambatan dalam menemukan kata dan mengatur urutan pemikiran,
banyak ditemukan pada pasien yang lebih tua, dan pada pasien parkinsonian
dengan bradyphrenia. Beberapa pasien menjadi frustasi karena ketidakmampuan
mereka untuk aktif berpartisipasi dalam sebuah diskusi atau percakapan dengan
orang lain, terutama dalam sebuah grup. Pasien dengan bradyphrenia sering
mengeluh seperti “Pada saat saya sudah menyatukan pikiran saya dan siap untuk
bicara, teman saya sudah berpindah pada topik lain” atau “Pasangan saya selalu
menjawab pertanyaan untuk saya”.
Dokter yang mengevaluasi status mental di kantor mungin akan merasa
tidak sabar atau bingung dengan respon lambat pasien yang tidak biasa (misalnya,
saat pasien ingin menyampaikan riwayatnya). Jika pasien tidak diberikan cukup
waktu untuk menjawab dengan baik, kelambatan dapat disalahartikan oleh
keluarga dan Dokter sebagai indikasi dari demensia. Kesalahpahaman ini sangat
mungkin terjadi, terutama jika terdapat faktor klinis lain pada perilaku pasien
seperti sikap apatis, gangguan kognitif ringan ataupun gangguan mood.
Bradyphrenia umum terjadi pada pasien dengan PD demensia dan
merupakan elemen penting dalam nosology “frontal-subcortical demensia”.
Namun, bradyphrenia bukanlah gejala dengan gangguan intelektual yang
signifikan dan dapat mempengaruhi seseorang yang sangat kompeten ataupun
seseorang dengan gangguan kognitif ringan.4
Membahas fenomena bradyphrenia dengan pasien dan keluarganya
memungkinkan mereka untuk lebih memahami dan mengatasi gejala.
Mengizinkan pasien dengan bradyphrenia waktu tambahan untuk mengatur proses
berpikir untuk berpartisipasi dalam percakapan dan pengambilan keputusan,
sehingga membantu mengembalikan rasa harga diri mereka.
Perubahan status mental yang meniru gangguan kognitif pada PD seringkali
iatrogenic. Obat antikolinergik yang kadang diberikan untuk mengatasi tremor
pada pasien PD diketahui dapat menyebabkan hilangnya memori, kelambatan
respon dan delirium. Benzodiazepine, analgetik, alcohol dan obat penenang
malam hari merupakan agen tambahan yang dapat memicu atau memperburuk
gangguan kognitif.
Psikosis dengan halusinasi dan delusi merupakan kunci dari PD demensia
dan demensia Lewy Body.5 Namun, halusinasi visual yang tidak mengancam
ataupun fenomena halusinasi minor (misal, halusinasi dengan ‘rasa kehadiran’)
cukup umum sebagai gejala awal yang mendahului gejala motoric pada pasien
PD.6 Psikosis juga bisa terjadi sebagai akibat iatrogenik, diprovokasi oleh
komplikasi pengobatan (terutama agonis dopamine, tetapi juga amantadine atau
levodopa) pada pasien dengan atau tanpa gangguan kognitif yang mendasari.
Dokter harus menyadari bahwa psikosis tidak selalu berindikasi pada demensia
karena perbedaan ini berdampak besar pada terapi pasien, konseling serta
prognosis.7
Dalam konteks terapi PD dengan dopaminergic jangka panjang, pasien
seringkali mengalami fluktuasi keparahan gejala motoric, dengan “off” period
yang ditandai degan peningkatan kekakuan, ketidakseimbangan, bradykinesia,
tremor, dystonia, ataupun nyeri. Fluktuasi nonmotorik juga dapat terjadi dan
berdampak besar pada pasien, terkadang dapat menyebabkan gangguan yang lebih
8,9
besar dibandingkan dengan fluktuasi motoric. Prevalensi fluktuasi nonmotorik
pada pasien yang mengalami fluktuasi motoric sangatlah tinggi, dengan gejala
neuropsikiatrik sebagai gejala yang paling umum. Fluktuasi motoric dan
nonmotorik merupakan fenomena independen yang tidak harus terjadi secara
bersamaan.
Gejala neuropsikiatrik transien/sementara yang ditemui selama fluktuasi
nonmotorik termasuk gangguan kecemasan/ansietas, dysphoria, dan adanya
perasaan bingung sementara. Pasien sering berkomentar “Otak saya seperti
membeku sebentar”, “pemikiran saya melambat”, ataupun “Saya merasa bingung
seperti pikiran saya berkabut” selama periode episode. Bradyphrenia dan
penurunan kefasihan verbal juga sering terjadi saat off spells.10 Fluktuasi
nonmotorik sering tidak terdeteksi oleh Dokter, terutama ketika gejala tidak
berkolerasi dengan waktu maupun tingkat keparahan dari fluktuasi motoric.11
Namun, gejala kognitif elama fluktuasi nonmotor dapat sangat mengganggu bagi
pasien, menyebabkan kecurigaan adanya gangguan intelektual yang signifikan,
meskipun saat ini belum tentu demikian.
Gangguan kognitif (gangguan kognitif ringan dan demensia) cukup umum
pada PD, namun seringkali tidak terdeteksi secara klinis. Keadaan ini cukup
menantang bagi Dokter yang menangani pasien karena terdapat masalah
neuropsikologikal yang besar dan heterogenitas klinis fungsi kognitid pada pasien
dengan PD.12 Namun, “Pseudo-demensia parkinsonism” yang berkaitan dengan
bradyphrenia, fluktuasi nonmotorik, efek samping pengobatan serta depresi berat
merupakan gangguan kognitif yang mungkin dapat ditaksir secara berlebihan
ataupun didiagnosa keliru.

Pseudo-depresi Parkinsonism
Gangguan mood sangat sering terjadi pada PD, sekitar 25% pasien
mengalami depresi berat.13 Namun, beberapa fenomena klinis yang sering
menyertai depresi pada PD juga dapat terjadi tanpa adanya gangguan mood yang
serius, sehingga berpotensi sebabkan kesalahan diagnosis. Penerapan ketat kriteria
diagnosis untuk depresi berpotensi menyesatkan dan diperlukan analisis yang
lebih cermat sebelum memberikan gejala spesifik pada sindrom depresi daripada
PD itu sendiri.14
Hilangnya ekspresi wajah (hypomimia-“masked face”) karena bradykinesia
otot wajah, umum pada pasien PD dan gangguan parkinsonian lain. Gerakan otot
wajah volunteer maupun involunter juga dapat melambat pada pasien depresi
tanpa PD, menyebabkan ekspresi “masked face” yang serupa, keadaan ini
berkaitan dengan tingkat keparahan depresi. Hypomimia pada PD dapat
memberikan kesan pasien depresi atau tidak bahagia. Adanya perilaku tidak biasa
lainnya yang umumnya berkaitan dengan parkinsonism (seperti Pseudo-bulbar
affect, apatis, kelambatan psikomotor, afek datar, kelelahan atau gangguan tidur),
dapat menyebabkan pasien PD hipomimetik didiagnosis salah menjadi depresi.
Pseudo-bulbar affect (ditandai dengan serangan involunter tak terkendali
untuk menangis maupun tertawa yang tidak proporsional atau tidak sesuai dengan
konteks social saat itu) ditemui pada banyak gangguan neurologis, termasuk PD
dan gangguan parkinsonian ainnya (terutama vascular parkinsonism, multiple
system atrophy, dan progressive supranuclear palsy). Perbedaan antara
pengalaman emosional pasien dengan ekspresi emosional dianggap terjadi karena
hilangnya input penghambatan dati korteks somatosensory ke serebelum, yang
berfungsi sebagai gerbang kontrol untuk perilaku demonstrative. Keluardan dan
teman pasien sering salah menginterpretasikan tangisan pasien sebagai indikasi
dari kesedihan hebat atau depresi. Meskipun pasien dengan Pseudo-bulbar affect
cenderung akan memiliki beberapa gejala depresi, pasien tersebut tidak memiliki
gangguan mood yang signifikan.15
Apatis, ditandai dengan kurangnya motivasi, kurangnya minat, hilangnya
rasa ingin tau, kurangnya spontanitas, afek datar dan kurangnya perhatian, sangat
lazim pada pasien PD. Sebuah metaanalisis dari 23 penelitian mengemukakan
bahwa sikap apatis mempengaruhi hampir 40% pasien PD, yang sebagian besar
diantaranya tidak mengalami depresi atau gangguan kognitif secara bersamaan.16
Kurangnya motivasi, ketidakaktifan, kurangnya spontanitas dan perubahan
perilaku lainnya pada pasien PD dengan sikap apatis, seringkali disalahartikan
oleh keluarga pasien dan Dokter sebagai tanda dari kemalasan atau depresi.
Kecurigaan adanya gangguan mood yang serius meningkat pada pasien apatis
yang juga mengalami bradyphrenia, kelambatan respon seringkali disalah artikan
sebagai retardasi psikomotor akibat depresi.
Meskipun sikat apatis sering menyertai depresi, dapat juga terjadi sebagai
suatu fenomena. Pada sebuah penelitian dengan subjek 95 pasien PD yang tidak
diobati secara dini, 18 pasien memiliki sikap apatis, dan hanya 5 dari 18 yang
secara bersamaan juga mengalami depresi.17 Penelitian sampel berbasis popolasi
pada 232 pasien PD di berbagai tahapan sakit, ditemukan bahwa 88 (38%)
memiliki sikap apatis, termasuk 9% dengan sikap apatis tidak ada bukti
mengalami depresi maupun demensia, 6.5% dengan sikap apatis dan demensia
tanpa depresi, 10% dengan sikap apatis dan depresi tanpa demensia, dan 11%
dengan sikap apatis, depresi dan demensia.18
Kurangnya perhatian adalah gejala klinis utama dari sikap apatis sehingga
pasien jarang tersiksa sendiri akibat gejala tersebut. Namun, sikap apatis dikaitkan
dengan memburuknya hasil jangka panjang dan prognosis.19 Selain itu, sikap
apatis menciptakan rasa menderita bagi keluarga dan teman pasien, akibat
kurangnya partisipasi pasien dan kurangnya motivasi pada pasien. Memberikan
penjelasan bagi keluarga pasien dapat membantu untuk lebih memahami dan
dapat mengatasi kebingungan dan frustasi akibat perubahan perilaku pasien.
Sikap apatis, depresi dan ansietas dapat terjadi setelah pasien dengan PD
menjalani operasi stimulasi otak dalam. Gejala tersebut merupakan manifestasi
yang berpotensi terjadi akibat sindrom penarikan dopamine yang tertunda pada
pasien yang mengalami pengurangan regimen pengobatan post operasi.20
Anhedonia, ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan fisik maupun
social, umum terjadi pada pasien PD dan telah dikaitkan dengan disfungsi sirkuit
frontotemporal dopaminergik. Anhedonia biasanya timbul berdampingan dengan
depresi dan ansietas, meskipn belum tentu demikian. Anhedonia juga dapat terjadi
pada pasien PD dengan sikap apatis yang tidak mengalami deprsi atau sebagai
fenomena klinis yang terisolasi tanpa adanya depresi, ansietas maupun sikap
apatis.21
Demoralisasi mengacu pada perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak
kompeten dan kegagalan. Sebuah penelitian melaporkan bahwa terdapat
demoralisasi pada 18% pasien PD dibandingkan dengan 8% subjek kontrol
dengan usia yang sesuai.22 Meskipun demoralisasi merupakan gejala umum
depresi, keadaan ini seringkali tumpang tindih. Dokter harus cermat menilai
bahwa tidak semua pasein PD dengan demoralisasi juga mengalami depresi.
Pemberian dorongan social dan terpai perilaku kognitif lebih baik untuk pasie
demoralisasi PD yang tidak depresi dibandingkan dengan pemberian obat
antidepresan.
Pedoman praktik klinis untuk depresi dan ansietas pada PD sangat terbatas
dari bukti penelitian yang signifikan. Tidak ada biomarker maupun stardar baku
dalam mendiagnosa depresi.13 Kuesioner yang digunakan untuk menyaring pasien
dengan depresi memiliki pertanyaan yang relevan dengan sikap apatis,
demoralisasai, gejala somatic dan anhedonia, serta gangguan mood dan tidak serta
merta membedakan antar berbagai fenomena.
Akibatnya, instrument penyaring untuk mendeteksi depresi memiliki
tingkat sensitivitas lebih tinggi disbanding spesifisitas. Gejala utama pada depresi:
kesedihan batin, suasana hati yang rendah, negatifitas, rasa bersalah, kehilangan
rasa percaya diri serta harga diri, kurang sering terjadi pada pasien apatis atau
anhedonia yang tidak mengalami depresi secara bersamaan.23 Perbedaan keadaan
klinis antara pasien dengan sikap apatis dan depresi sangat relevan dengan terapi
untuk pasien, karena pasien apatis jika diberikan obat antidepresan serotonin
selektif reuptake inhibitor, dapat memperburuk kurangnya motivasi pada pasien
tersebut.24
Depresi adalah aspek yang paling umum pada PD dan gangguan
parkinsonian lainnya yang sering tidak terdiagnosis dan tidak diterapi,
menyebabkan hasil yang buruk bagi pasien dan keluarganya.13 namun, depresi
juga berpotensi overdiagnosis dan diobati secara berlebihan. Penting bagi Dokter
untuk mengetahui bahwa hypomimia, apatis, pseudo-bulbar affect, bradyphrenia,
anhedonia dan demoralisasi, tanpa depresi dan dapat merupakan fenomena
tersendiri (sehingga menciptakan “pseudo-depresi dari Penyakit Parkinson) tanpa
adanya gangguan mood yang signifikan.

Pseudo-parkinsonism Depresi
Pasien depresi berat seringkali memiliki ekpresi wajah yang sedih yang
menyerupai mimic “masked face” (hypomimia) yang berkaitan dengan PD. Pasien
depresi biasanya bicara dengan pelan, berjalan pelan dengan postur membungkuk,
mengalami gangguan tidur, bradyphrenik dan mengalami gejala lain yang
mungkin mengarahkan pada PD sebagai penyakit yang mendasarinya. Tidak
adanya tremor asimetris saat istirahat dan bradykinesia yang melelahkan, dapat
membantu menyingkirkan diagnosis dari manifestasi PD pada pasien depresi.
Namun, depresi pada usia lanjut sering dikaitkan dengan peningkatan risiko
mengalami PD dan gangguan neurodegeratif lainnya.25 Akibatnya, beberapa
pasien dengan “pseudo-parkinsonism depresi” mungkin saja berada dalam tahap
prodromal PD.
Ketika pengobatan antidepresan tidak memberikan remisi dari depresi
berat, Dokter biasanya akan menambahkan obat antipsikotik generasi kedua
(misalnya, aripiprazole atau risperidone). Antipsikotik generasi kedua ini mampu
menyebabkan parkinsonism yang diinduksi oleh obat. Sebuah penelitian
retrospektif dengan 25,000 pasien usia lanjut mengemukakan resiko parkinsonism
yang diinduksi obat relative sama pada pasien yang diobati dengan obat
neuroleptic generasi pertama dan kedua.26 Sayangnya, kegagalan dalam
mendeteksi situasi dimana gejala Parkinson mungkin diinduksi oleh obat masih
menjadi masalah pada praktik klinis.27

Pseudo-ansietas Parkinsonism
Gangguan kecemasan atau ansietas sangat lazim pada pasien PD,
mempengaruhi 10-40% pasien, dan seringkali disertai dengan depresi.28 Ansietas
pada PD dikaitkan edngan peningkatan gejala motoric subjektif, dan masalah gaya
berjalan yang lebih parah, dyskinesias maupun dengan ada/tidaknya fluktuasi.
Terdapat 6 alat validasi untuk mendeteksi ansietas pada pasien PD.29 Namun,
beberapa gejala pada PD dapat meniru atau tumpang tindih dengan ansietas,
menyebabkan potensi kesalahan diagnosis.
Akathisia mengacu pada perasaan gelisah dengan “inner tremor”, “inner
tension” dan kelelahan. Akathisia muncul sebagai keluha subjektif tanpa adanya
gerakan involunter yang berlebihan (namun kadang berkaitan dengangerakan
gelisah volunteer). Akathisia dianggap sebagai manifestasi akibat kurangnya
dopamine atau sinyal dopamine sentral yang tidak adekuat, mengacu pada terapi
dopaminergic yang tidak adekuat atau mencerminkan off time pada pasien PD
dengan fluktuasi motoric dan nonmotorik.30
Pasien PD yang mengalami akathisia seringkali mengalami kesulitan
dalam menjelaskan gejala yang dialami. Dokter yang merawat pasien dapat secara
keliru menginterpretasikan keluhan tersebut berkaitan dengan akathisia sebagai
cerminan gangguan kecemasan (“Pseudo-ansietas” parkinsonism) atau sebagai
keluhan yang meningkatkan tremor pada parkinsonian atau dyskinesia. Mengenali
fenomena akathisia dan menyesuaikan regimen pengobatan dopaminergic pada
pasien PD untuk mengurangi off time sehingga mampu meredakan akathisia serta
menghindari pengobatan yang tidak perlu.
Gangguan kecemasan akut dan serangan panic pada sebagian pasien
dengan PD sebagai bagian dari fluktuasi gejala off period motoric dan
nonmotorik. Meskipun off period panic lebih mungkin terjadi pada pasien dengan
ansietas, dapat pula terjadi pada pasien tanpa gangguan ansietas yang mendasari.31
Identifikasi gangguan kecemasan sebagai fluktuasi nonmotorik pada PD memiliki
implikasi terapi yang penting. Gejala neuropsikologis mungkin mendapat manfaat
dari penyesuaian terapi dopaminergic untuk mengurangi off spells, dan
menghindari kebutuhan terapi simptomatik.30
Gerakan yang tidak disengaja, baik berat maupun halus, meningkat secara
signifikan ketika pasien mengalami stress, cemas atau gugup. Kelompok pasien
PD dengan tremor atau dyskinesia yang sangat menonjol mungkin memberikan
akan kesan cemas atau gugup.

Pseudo-parkinsonism Ansietas
Pasien dengan PD mengalami kecemasan yang berlebihan, serangan panic,
dysphoria, atau rasa nyeri saat fluktuasi off period nonmotorik. Sayangnya,
keadaan ini mengarahkan pada beberapa pasien untuk menggunakan terapi
dopaninergik secara berlebihan (levodopa atau dopamine agonis) untuk
menghindari gejala yang tidak menyenangkan tersebut. Perilaku yang tidak umum
atau abnormal seperti impulsive, hiperaktivitas, keinginan meminum obat dan rasa
euphoria yang dapat mencapai tingkat manik pada pasien yang menyalahgunakan
terapi dopaminergic (dopamine dysregulation syndrome).32
Ansietas dikaitkan dengan peningkatan gangguan motoric pada PD.33
Akibatnya, pasien sering menggunakan terminology motoric untuk
mendeskripsikan gejala yang dialami sehingg menuntut dokter untuk memberikan
terapi lebih lanjut. Pemeriksaan pada keadaan ini seringkali tidak menemukan
adanya perburukan motoric, meskipun terdapat keluhan subjektif yang dramatis
seperti bertambahnya kekakuan, imobilitas dan tremor. Sayangnya, “pseudo-
parkinsonism ansietas” sering tidak terdeteksi oleh Dokter yang memberikan
tambahan terapi dopamine diatas dosis yang seharusnya didapatkan pasien untuk
mengurangi gejala motoric mereka, yang mana berpotensi sebabkan dpamin
dysregulation syndrome.
Dopamine dysregulation syndrome merupakan gangguan perilaku yang
tidak sesuai dan adanya peningkatan penggunaan terapi dopaminergic. Pasien
merasa euphoria dari kelebihan dopamine dan sangat bersemangat untuk mencoba
lebih banyak obat (secara diam-diam jika perlu) untuk menghindari rasa tidak
nyaman ketika off period. Identifikasi dini dopamine dysregulation syndrome
sangat penting dalam mencegah konsekuensi yang berkaitan dengan terapi
dopaminergic yang berlebihan, seperti psikosis, gangguan kontrol impuls dan
mania,32,34 Membatasi akses ke terapi dopaminergic untuk mencegah
overmedikasi kompulsif adalah kuncinya, namun tidak akan berhasil tanpa adanya
pengawasan dari perawat, farmasi dan Dokter.35

Diskusi
Salah satu tantangan dalam merawat pasien PD adalah pentingnya
mengandalkan keterampilan klinis tradisional (amanesis dan pemeriksaan)
daripada melalui tes laboratorium atau penunjang lain. Namun, diagnose klinis
berpotensi mengalami kesalahan dan harus dipertimbangkan secara cermat.
Diagnosis PD itu sendiri seringkali merupakan “pseudo-syndromes” yang salah.
Meskipun Dokter sudah menggunakan kriteria yang ditentukan, akurasi dari
diagnosis klinis PD hanya 85% dibandingkan dengan temuan saat otopsi, dengan
15% pasien yang memiliki diagnosis neuropathologic alternaltif. 36
Disfungsi motoric mendominasi manajemen klinis dan berbagai penelitian
mengenai PD. Namun, pada beberapa pasien, tingginya beban masalah
nonmotorik, perubahan perilaku dan masalah kognitif memiliki pengaruh yang
lebih besar pada prognosis dan kualitas hidup dibandingkan dengan disfungsi
motoric yang dialami.37
Gambaran klinis dari disfungsi kognitif, apatis, gangguan mod dan
ansietas umumnya berkaitan dengan PD, saling tumpang tindih dan seringkali
disalahartikan. Menggunakan skala penilaian klinis sangat meningkatkan
konsistensi diagnosis, terutama ketika diterapkan pada kelompok pasien untuk
studi penelitian. Namun, sensitifitas dan spesifisitas yang tidak sempurna dari
daftar periksa dan skala penilaian mengurangi nilainya ketika diterapkan pada
masing-masing pasien, terutama jika diterapkan tanpa kriteria spesifik terhadap
PD.38-40 Bahkan skala yang menghilangkan pertanyaan yang mengacu pada gejala
somatic yang mungkin dikaitkan dengan PD memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tidak sempurna, terutama pada pasien dengan gangguan kognitif secara
bersamaan.23
Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa spesialis saraf sekalipun masih
gagal dalam mendeteksi adanya gangguan mood, ansietas, sikap apatis dan
gangguan kognitif serta gejala nonmotorik lainnya pada pasien PD dalam proporsi
kasus yang tinggi.41 Penelitian saat ini berupaya meningkatkan skala penilaian
atau alat penilaian singkat dan membuat pedoman yang dapat membantu
ketajaman praktisi medis. Namun, alat ini hanya akan melengkapi tetapi tidak
menggantukan kebutuhan untuk evaluasi klinis yang akurat dan menyeluruh pada
masing-masing pasien. Bahkan ketika mencurigai pasien dengan PD, kegagalan
untuk membedakan apatis dvs depresi, bradyphrenia vs demensia, akathisia vs
ansietas atau gejala neuropsikiatrik dari “fluktuasi nonmotorik” merupakan
potensi kesalahan diagnosis.
Kesalahan diagnosis dapat menyebabkan terapi yang tidak tepat dan tidak
adekuat sehingga menimbulkan hasil yang merugikan. Peningkatan kesadaran
akan banyaknya pseudo-syndromes terkait PD diharapkan dapat mengarah pada
perawatan yang lebih baik bagi pasien.
PARKINSON DISEASE

A. Definisi
Penyakit Parkinson adalah penyakit degenerasi otak terbanyak kedua
setelah penyakit Alzheimer. Pada Penyakit Parkinson terjadi penurunan
jumlah dopamin di otak yang berperan dalam mengontrol gerakan sebagai
akibat kerusakan sel saraf di substansia nigra pars kompakta di batang
otak. Penyakit ini berlangsung kronik dan progresif, dan belum ditemukan
obat untuk menghentikan progresifitasnya. Progresifitas penyakit
bervariasi dari satu orang ke orang yang lain.[1]
B. Gejala Klinis[2,3]
1. Gejala Motorik
- Tremor
- Rigiditas
- Bradykinesia, hypomimia
- Ketidakstabilan postur
- Gangguan berjalan, postur bungkuk, distonia
2. Gejala Non-motorik
- Gejala neuropsikiatrik (depresi, ansietas, apatis, halusinasi,
gangguan kognitif, Dopamine Dysregulation Syndromes, gangguan
mood)
- Gangguan tidur
- Kelelahan
- Gangguan sensoris (nyeri, hyposmia, gangguan penglihatan)
- Gangguan autonom
- Gejala gastrointestinal
C. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis berdasarkan Hughes (1992):
- Gejala klinis kelompok A:
1. Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinak gangguan motorik: tremor,
rigiditaa, bradikinesia, atau
2. 3 dari 4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia dan
ketidakstabilan postural
- Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa
alternaltif, terdiri dari:
1. Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama
2. Fenomen tak dapat bergerak sama sekali (freezing) pada 3
tahun pertama
3. Halusinaai (tidak ada hubungan dengan pengobatan) dalam 3
tahun pertama
4. Demensia sebelum hejala motorik pada tahun pertama
Possible : palingbsedikit 2 dari gejala kelompok A dimana salah satu
diantaranya adalah tremor atau bradikinesia dan tak terdapat gejala
kompok B, lama gejala kurang dari 3 tahun disertai respon jelas terhadap
levodopa atau dopamine agonis.
Probable : paling sedikit 3 dari 4 gejala kelompok A, dan tidak terdaoat
gejala dari kelompok B, lama penyakit paling sedikit 3 tahun dan respon
jelas terhadap levodopa atau dopamine agonis.
Definit : memenuhi semua kriteria probable dan pemeriksaan
histopatologis yang positif

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis
Neurologi. Perdossi, 2016
2. American Parkinson Disease Association. Parkinson’s Disease Handbook.
APDA, 2019
3. Bonnet, AM, Jutras MF, Czernecki V, Corvol JC, Vidailhet M. Nonmotor
Symptoms in Parkinson’s Disease in 2012: Relevant Clinical Aspects,
2012

Anda mungkin juga menyukai