Anda di halaman 1dari 6

Analisis Penerapan Supply Chain Management

di Industri Tas Tanggulangin, Sidoarjo


Trisna Yulia Junita Johan K.Runtuk John E. Batubara
Program Studi Teknik Program Studi Teknik Program Studi Teknik
Industri Industri Industri
Universitas Pelita Harapan Universitas Pelita Harapan Universitas Pelita Harapan
Surabaya Surabaya Surabaya
Surabaya, Indonesia Surabaya, Indonesia Surabaya, Indonesia
trisna.y@gmail.com johan.runtuk@uphsurabaya.a john.batubara@uphsurabaya.
c.id ac.id

Abstrak – Supply chain mencakup semua aktivitas dengan biaya yang rendah dan meningkatkan
mulai dari datangnya material dari supplier yang pelayanan kepada pelanggan melalui ketersediaan
kemudian diolah menjadi produk setengah jadi produk dan pengurangan waktu siklus pemesanan
ataupun produk jadi hingga produk tersebut sampai [2]. Oleh karena itu, suatu supply chain dapat
ke tangan konsumen akhir. Sebagai industri yang
meningkatkan daya saing dan memenangkan
berkembang sejak lama, industri kerajinan tas di
Tanggulangin telah memproduksi banyak jenis tas persaingan di pasar bila mampu menyediakan
yang dipasarkan bukan hanya di wilayah Jawa produk yang murah, berkualitas, tepat waktu dan
Timur melainkan juga di luar pulau Jawa bahkan bervariasi [6]. Setiap perusahaan tentunya terlibat
beberapa jenis tas telah diekspor. Hal ini dalam suatu supply chain, baik itu sebagai
mengidentifikasikan bahwa industri kerajinan tas supplier, produsen, dan konsumen. Hal ini terjadi
Tanggulangin juga memiliki struktur supply chain karena mustahil bagi perusahaan untuk
yang cukup kompleks. Tujuan penelitian ini adalah menciptakan produk dengan biaya yang rendah
untuk mengetahui pengaruh dari penerapan supply jika harus mengusahakan sendiri seluruh
chain management di Usaha Kecil Menengah.
komponen yang dibutuhkan dalam berproduksi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Supply Chain Management Assessment Tools dan mengantarkan produk kepada konsumen.
(SCPAT) untuk mengukur kinerja supply chain Lagipula, sudah menjadi anggapan umum bahwa
management dan Strategic Management Assessment persaingan sekarang ini bukan lagi antara
and Reporting Technique (SMART) untuk mengukur perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain
kinerja bisnis. Berdasarkan SCPAT, terdapat 27 melainkan antar supply chain [8].
KPI yang terbagi ke dalam 3 dimensi yaitu biaya, Perusahaan - perusahaan besar yang
waktu dan kehandalan sedangkan berdasarkan melibatkan banyak pihak di dalam maupun di luar
SMART, teridentifikasi 24 KPI untuk menilai perusahaan tentunya memiliki struktur supply
kinerja usaha. Uji korelasi rank Spearman antara
chain yang cukup kompleks. Perusahaan-
kinerja supply chain management dan kinerja bisnis
menunjukkan adanya keeratan hubungan yang kuat perusahaan ini juga menyadari bahwa untuk
dalam arah positif antara penerapan supply chain meningkatkan daya saing mereka dan memuaskan
management dengan kinerja usaha dengan koefisien kebutuhan konsumen, supply chain tersebut perlu
korelasi 0,689. Hasil uji korelasi juga menunjukkan dikelola dengan baik. Penerapan SCM di
adanya hubungan yang kuat antara dimensi biaya, perusahaan besar dapat berjalan dengan efektif
waktu dan kehandalan dengan KPI kinerja usaha. karena ditunjang oleh berbagai sumber daya yaitu
modal, teknologi dan manusia. Kondisi ini tentu
Kata kunci – supply chain management, UKM saja berbeda dengan yang terjadi di UKM.
Tanggulangin, KPI, SCPAT, SMART
Salah satu UKM yang memiliki peranan yang
cukup penting dalam kemajuan ekonomi daerah
I. PENDAHULUAN
adalah Industri Kerajinan Tas di Tanggulangin,
Supply chain mencakup semua aktivitas mulai Sidoarjo. Industri ini sudah sejak lama menjadi
dari datangnya material dari supplier yang industri andalan di wilayah Jawa Timur. Sebagai
kemudian diolah menjadi produk setengah jadi industri yang berkembang sejak lama, industri
ataupun produk jadi hingga produk tersebut kerajinan tas di Tanggulangin telah memproduksi
sampai ke tangan konsumen akhir. Supply chain banyak jenis tas yang dipasarkan bukan hanya di
management (SCM) yang efektif memungkinkan wilayah Jawa Timur melainkan juga di luar pulau
suatu perusahaan untuk menciptakan produk Jawa bahkan beberapa jenis tas telah diekspor. Hal
ini mengidentifikasikan bahwa industri kerajinan

177
tas Tanggulangin juga memiliki struktur supply kinerja supply chain berdasarkan metrik atau
chain yang cukup kompleks. Akan tetapi, sebagai indikator yang diusulkan oleh Banomyong dalam
usaha kecil menengah yang cenderung bermodal Supply Chain Performance Assessment Tool
kecil dan berteknologi rendah serta kemampuan (SCPAT) dan kuesioner penilaian kinerja bisnis
sumber daya yang terbatas, kinerja yang berdasarkan metode SMART. Adapun pertanyaan
ditunjukkan oleh industri tas dalam penerapan yang disusun untuk penilaian kinerja supply chain
SCM tidaklah sama dengan perusahaan besar. terdiri atas 14 pertanyaan untuk dimensi waktu, 9
Sejumlah penelitian memang menunjukkan pertanyaan untuk dimensi biaya dan 12 pertanyaan
bahwa penerapan SCM memiliki pengaruh positif untuk dimensi kehandalan sedangkan untuk
terhadap kinerja bisnis perusahaan. Penelitian mengukur kinerja usaha, disusun 24 pertanyaan
yang dilakukan oleh Tan (2002) terhadap 411 dengan skala likert. Ketiga, tahap pengumpulan
responden di USA menunjukkan bahwa penerapan data yaitu data primer dan sekunder. Pengumpulan
SCM secara positif berdampak terhadap kinerja data primer dilakukan dengan menggunakan
perusahaan [7]. Selanjutnya, penelitian yang kuesioner yang telah disusun sebelumnya.
dilakukan oleh Green et.all (2008) menunjukkan Kuesioner ini disebarkan kepada 40 pengusaha tas
bahwa strategi SCM berdampak secara positif yang bertindak sebagai produsen dalam struktur
terhadap kinerja logistik dan kinerja pemasaran [4]. supply chain. Selain menggunakan kuesioner,
Penelitian La Hatani (2007) di Kawasan Industri sejumlah data juga diperoleh melalui wawancara
Perikanan Kendari juga menunjukkan hasil yang dengan pemilik usaha dan pihak yang memahami
serupa [5]. Meskipun demikian, tidak dapat proses bisnis di Tanggulangin. Data sekunder
dipungkiri bahwa implementasi SCM diperoleh melalui buku-buku dan artikel yang
membutuhkan biaya, berisiko, dan memiliki terkait dengan penelitian. Keempat, tahap
banyak tantangan [8]. Selain itu, terdapat indikasi pengolahan dan analisis data. Pada tahap ini
bahwa industri kecil menengah kurang mampu dilakukan pengolahan dan analisis terhadap
memanfaatkan keuntungan dari SCM atau kinerja SCM dan kinerja bisnis usaha. Penilaian
menghadapi kendala yang lebih besar ketika kinerja SCM dilakukan dengan menggunakan
mencoba menerapkan SCM. Beberapa penelitian metode Supply Chain Performance Assessment
mengidentifikasikan bahwa implementasi SCM Tool (SCPAT) yang dikembangkan oleh
memiliki korelasi negatif dengan kinerja UKM itu Banomyong [2]. Dari hasil pengolahan data
sendiri [1]. tersebut, selanjutnya dikelompokkan industri yang
Tujuan penelitian ini adalah untuk telah menerapkan SCM dengan baik (best practice)
mengetahui apakah terdapat pengaruh penerapan dan yang masih tergolong rata-rata (average class).
supply chain management terhadap kinerja bisnis Pengelompokan ini ditinjau berdasarkan nilai rata-
di UKM. Industri Tas Tanggulangin dipilih rata kinerja untuk keseluruhan aktivitas supply
sebagai objek penelitian karena sebagai UKM, chain. Oleh karena itu, tidak menutup
industri ini memiliki struktur supply chain yang kemungkinan industri yang tergolong “best
cukup kompleks. Penelitian berupa pengukuran practice” memiliki nilai yang rendah pada metrik
kinerja baik itu kinerja supply chain maupun tertentu dan sebaliknya.
kinerja bisnis belum banyak dilakukan di UKM Pada akhir penelitian dilakukan
terutama di Industri Tas Tanggulangin. Oleh pembandingan nilai kelompok best practice dan
karena itu, untuk mengetahui pengaruh dari average class dalam “Supply Chain Performance
penerapan SCM terhadap kinerja bisnis di industri Level” (SCPL). SCPL yang digunakan dalam
kerajinan tas Tanggulangin, maka kegiatan rantai penelitian ini merupakan diagram level kinerja
pasok di Industri Kerajinan Tas Tanggulangin yang juga digunakan oleh Banomyong dalam
perlu untuk dianalisis dan dievaluasi. Penelitian ini penelitiannya mengenai kinerja UKM di Thailand
dilakukan terhadap 40 produsen tas dan penelitian [2]. SCPL terbagi atas tiga level yang berbeda
dilakukan hanya pada internal supply chain. yaitu Superior, Similar dan Inferior. Level
superior mengidentifikasikan bahwa kelompok
II. METODOLOGI PENELITIAN tersebut memiliki kinerja yang tertinggi atau
unggul dibandingkan kebanyakan usaha, level
Penelitian ini menggunakan pendekatan similar mengidentifikasikan bahwa kelompok
dengan beberapa tahapan sebagai berikut: pertama, tersebut memiliki kinerja yang rata-rata atau sama
tahap identifikasi permasalahan. Pada tahapan ini dengan kebanyakan usaha, dan inferior
dilakukan identifkasi masalah, penetapan tujuan mengidentifikasikan bahwa kelompok memiliki
penelitian, studi lapangan dan pustaka serta nilai kinerja yang rendah. Pengolahan data untuk
pemilihan model pengukuran kinerja supply chain. kinerja bisnis usaha dilakukan dengan
Kedua, tahap perancangan kuesioner. Pada tahap menjumlahkan hasil penilaian kinerja setiap
ini dilakukan pembuatan kuesioner penilaian

178
KPI/variabel pada setiap usaha. Secara matematis, tidak cukup memuaskan karena seluruh kinerja
dapat dinyatakan sebagai berikut: biaya hanya berada pada level similar atau setara
dengan sebagian besar usaha lainnya. Kondisi ini
݆ܲ= ‫݆݅ܫܲܭ‬ (1) mengindikasikan bahwa tidak ada keunggulan
Keterangan : dalam hal biaya untuk usaha yang tergolong
Pj = Kinerja usaha ke-j ; j = 1, 2, 3……., 40 average di industri Tas Tanggulangin. Best
KPIij = Nilai KPI ke-i (Xi) untuk usaha ke-j ; practice memperlihatkan kinerja yang cukup baik
i = 1,2,3……..,24 dalam procurement cost dan returned goods cost.
Hal ini terlihat dalam diagram level kinerja di
Setelah penilaian kinerja SCM dan kinerja mana untuk kedua metrik tersebut, kelompok best
usaha dilakukan, langkah selanjutnya adalah practice berada pada level superior. Ini berarti
melakukan uji korelasi dengan momen rank bahwa best practice memiliki keunggulan biaya
Spearman terhadap kinerja supply chain dan atau berada di atas pesaingnya dalam biaya
kinerja usaha serta dimensi kinerja supply chain pengadaan dan biaya pengembalian produk. Akan
dan variabel-variabel kinerja usaha. Selanjutnya tetapi, untuk metrik biaya yang lainnya, Best
dilakukan analisis terhadap hasil uji korelasi Practice tidak jauh berbeda dengan average class.
tersebut. Jadi, jika dilihat berdasarkan dimensi biaya, dapat
dikatakan bahwa penerapan SCM di Industri Tas
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Tanggulangin masih belum optimal.

Berdasarkan hasil pengumpulan dan Gambar 2. Grafik Level Kinerja Dimensi Biaya
pengolahan data yang dilakukan maka diperoleh
pola aliran supply chain industri tas Tanggulangin Pada gambar 3, kelompok average berada
yang dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Pola Aliran Produk dan Informasi


Supply Chain Industri Tas

Keterangan :
1. Pemasok kulit mentah lokal pada level superior untuk metrik procurement
2. Pemasok kulit mentah asing cycle time dan inventory cycle time. Kondisi ini
3. Supplier aksesoris dan benang tidak jauh berbeda dengan kelompok best practice
4. Penyamak kulit yang juga hanya unggul pada kedua metrik
5. Supplier kulit imitasi tersebut meskipun average masih sedikit lebih
6. Produsen (industri tas) rendah dibandingkan best practice. Akan tetapi,
7. Pasar grosir jika diamati secara menyeluruh, kinerja kelompok
8. Pedagang tas average untuk dimensi waktu juga tidak
9. Foreign retails memuaskan karena pada metrik order cycle time
10. Konsumen lokal (end user) dan cycle time for customer return kelompok ini
11. Konsumen asing berada di bawah kinerja rata-rata yaitu berada
12. Supplier bahan kemas pada level inferior.
13. Supplier sarana produksi
Aliran produk
Aliran informasi

3.1 Penilaian Kinerja SCM

Secara umum, pada gambar 2 dapat dilihat


bahwa kinerja kelompok average dalam hal biaya

179
Berdasarkan hasil penilaian secara
keseluruhan baik itu dimensi biaya, waktu dan
kehandalan, rata – rata kinerja untuk kedua
kelompok berada pada level yang sama meskipun
terdapat sedikit perbedaan nilai kinerja. Akan
tetapi, ketika indikator kunci dianalisis lebih lanjut
terlihat bahwa penerapan SCM di Industri Tas
Tanggulangin masih belum optimal baik itu untuk
average class maupun best practice. Oleh karena
itu, Industri Tas di Tanggulangin perlu melakukan
perbaikan untuk meningkatkan kemampuan supply
Gambar 3. Grafik Level Kinerja Dimensi Waktu
chain dalam hal biaya, waktu dan kehandalan.
Padahal dalam menilai kinerja supply chain, 3.2 Pengaruh Penerapan SCM Terhadap
metrik order cycle time, procurement cycle time, Kinerja Usaha
delivery cycle time, inventory cycle time dan
inventory days merupakan representasi yang Hasil uji korelasi antara kinerja SCM dan
robust [2]. Oleh karena itu, penerapan SCM di kinerja usaha sebagaimana yang terdapat pada
Industri Tas Tanggulangin khususnya average tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat korelasi
class berdasarkan dimensi waktu dapat dikatakan antara dimensi biaya, waktu maupun kehandalan
masih belum optimal dan membutuhkan perbaikan terhadap sejumlah variabel kinerja usaha. Hal ini
lebih lanjut. berarti bahwa penerapan SCM di Industri Tas
Tanggulangin memiliki korelasi yang cukup
berarti terhadap kinerja bisnis usaha itu sendiri.
Keeratan hubungan antara penerapan SCM dengan
kinerja usaha juga cukup kuat karena koefisien
korelasi hasil pengujian rata-rata bernilai ≥ 4 - ≤7
dan dalam arah positif. Jadi, penerapan SCM di
Industri Tas Tanggulangin yang masih belum
optimal juga akan mempengaruhi kinerja usaha
secara menyeluruh.
Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa
dimensi waktu memiliki pengaruh yang paling
kuat diantara dimensi lainnya. Hal ini terlihat dari
nilai koefisien determinasi yaitu 78,32% untuk
variabel pemanfaatan teknologi; 64,48% untuk
variabel kapasitas produksi; 63,36% untuk
variabel penggunaan peralatan dan 59,14% untuk
pelanggan baru.
Gambar 4. Grafik Level Kinerja Dimensi
Kehandalan Tabel 1. Hasil Uji Korelasi

Selanjutnya, pada gambar 4 untuk dimensi


kehandalan, dapat dilihat bahwa kelompok
average memiliki kinerja yang cukup baik
dibandingkan dimensi biaya dan waktu. Pada
dimensi ini, average berada pada level superior
untuk tiga metrik yaitu order accuracy rate,
inventory out of stock rate dan damage rate.
Meskipun kinerja baik itu average class maupun
best practice kelihatan memuaskan untuk dimensi
kehandalan, akan tetapi penerapan SCM di Industri
Tas Tanggulangin berdasarkan dimensi ini belum
dapat dikatakan optimal karena beberapa indikator
kunci seperti DIFOT (Transportation), supplier in
full and on time rate serta inventory accuracy
masih berada pada level similar atau setara dengan
kebanyakan usaha yang ada.

180
Tabel 2. Nilai Koefisien Determinasi Penilaian kinerja SCM dilakukan dengan metode
SCPAT dan penilaian kinerja bisnis dilakukan
dengan metode SMART. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa anggota struktur supply chain
terdiri atas penyamak kulit dan agen sebagai
pemasok bahan baku, Industri Tas Tanggulangin
sebagai produsen atau prosesor dan pedagang tas,
agen, dan masyarakat sebagai konsumen. Aktivitas
supply chain ini juga masih berlangsung secara
alami tanpa adanya perencanaan khusus,
koordinasi ataupun strategi.
Hasil penilaian kinerja SCM juga
menunjukkan bahwa penerapan SCM di Industri
ini belum berlangsung secara optimal. Dalam
Dimensi biaya juga memiliki pengaruh
dimensi biaya, golongan best practice hanya
terhadap kinerja usaha akan tetapi nilai koefisien
unggul pada KPI procurement cost per sale dan
determinasi tertinggi hanya 51%. Hal ini
returned goods cost per sale sedangkan golongan
menunjukkan bahwa meskipun dimensi biaya
average tidak memiliki keunggulan dalam hal
memiliki korelasi yang kuat terhadap variabel-
biaya. Dalam dimensi waktu, golongan best
variabel kinerja usaha, akan tetapi dimensi ini
practice dan golong average sama–sama unggul
hanya mampu mempengaruhi kinerja usaha sekitar
pada KPI procurement cycle time dan inventory
50% saja sedangkan 50% sisanya dijelaskan oleh
cycle time. Namun, nilai kinerja best practice lebih
variabel lain diluar penelitian. Sedangkan untuk
unggul daripada average. Pada penilaian dimensi
dimensi kehandalan, nilai koefisien determinasi
kehandalan, golongan best practice unggul pada
tertinggi ditunjukkan oleh korelasi antara dimensi
KPI DIFOT (CS & support), order accuracy rate,
kehandalan dengan variabel produk tidak
inventory out of stock rate, dan damage rate,
terpenuhi (X20) yaitu sebesar 64,48%. Dengan
sedangkan golongan average unggul pada order
demikian, dapat dilihat bahwa persentasi pengaruh
accuracy rate, inventory out of stock rate, dan
dimensi ini lebih besar daripada persentasi
damage rate.
pengaruh dimensi biaya. Akan tetapi, berdasarkan
aturan Guildford [3], dimensi kehandalan
Hasil uji korelasi antara kinerja SCM dan
berpengaruh kuat hanya pada dua variabel saja
kinerja usaha menunjukkan bahwa penerapan
yaitu variabel X20 dan X21 (Produk rusak
SCM di Industri Tas Tanggulangin memiliki
digudang). Oleh karena itu, dimensi waktu
korelasi atau pengaruh yang kuat terhadap kinerja
merupakan dimensi kinerja SCM yang paling kuat
usaha dengan nilai koefisien korelasi 0,689.
dalam mempengaruhi kinerja usaha, disusul oleh
Selanjutnya, berdasarkan nilai koefisien
dimensi biaya dan kemudian dimensi kehandalan.
determinasi, dimensi yang paling berpengaruh
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat
adalah dimensi waktu sehingga usaha perbaikan
diketahui bahwa perbaikan kinerja SCM untuk
dan diprioritaskan pada dimensi ini.
meningkatkan pertumbuhan bisnis sebaiknya
Grafik level kinerja yang digunakan pada
dilakukan untuk ketiga dimensi yang ada yaitu
penelitian ini merupakan hasil benchmarking di
biaya, waktu dan kehandalan. Akan tetapi,
Thailand karena grafik yang serupa belum tersedia
prioritas perbaikan untuk saat ini dapat dilakukan
di Indonesia. Oleh karena itu, untuk penelitian
terhadap dimensi waktu karena dimensi ini
selanjutnya, sebaiknya menggunakan grafik level
memiliki pengaruh yang paling kuat terhadap
berdasarkan hasil benchmarking UKM di
variabel-variabel kinerja usaha. Adapun strategi
Indonesia sehingga hasil yang diperoleh dapat
supply chain yang akan digunakan sebaiknya
lebih representatif.
disesuaikan dengan kebutuhan usaha dan orientasi
bisnis usaha. Dengan demikian, penerapan SCM REFERENSI
tidak hanya meningkatkan kinerja usaha tetapi
juga memungkinkan usaha menghadapi [1] Arend, R. and J.D. Wisner, “Small Business and Supply
persaingan dan memenangkan persaingan. Chain Management: Is There a Fit?”. Journal of Business
Venturing 20, no. 3 (2005) 403-436.
IV. KESIMPULAN [2] Banomyong, R., and Nucharee S. “Developing A Supply
Chain Performance Assessment Tool for SMEs in Thailand”.
International journal of supply chain management 16, no. 1
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (2011): 20-31.
pengaruh penerapan SCM terhadap kinerja atau [3] Fikom, “ Modul 6, Penelitian Korelasi”, Homepage online.
pertumbuhan bisnis di Industri Tas Tanggulangin. Tersedia dari

181
pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/94010-5-
570595907575.pdf; Internet; diakses 25 April 2012.
[4] Green, Kenneth W. et al. “The Impact of Logistics
Performance on Organizational Performance In a Supply Chain
Context”. International Journal of Supply Chain Management
13, no. 4 (2008) 317-327.
[5] La Hatani. “Pengaruh Integrasi Internal Supply Chain
Management Terhadap Kinerja Perusahaan Perikanan: Studi
Kasus Pada Kawasan Industri Perikanan Kendari”.
WAKAPENDIK 2, no. 1 (2007) 20-37.
[6] Pujawan, I Nyoman dan Mahendrawathi. Supply Chain
Management. Surabaya: Guna Widya, 2010.
[7] Tan, K.C. “Supply Chain Management: Practices, Concerns,
and Performance Issues”. International Journal of Supply
Chain Management 38, no. 1 (2002) 42-53.
[8] Vaaland, Terje I. and Morten Heide. “Can the SME Survive
the Supply Chain Challenges?”. International journal of supply
chain management 12, no. 1 (2007) 20-31.

182

Anda mungkin juga menyukai