Anda di halaman 1dari 26

Referat

FIBRILASI ATRIUM

Disusun Oleh:

Rahma Afifah 1840312212


Lisa Elfira 1840312688
Della Rayhani Putri 1840312689
R R Dyana Wisnu Satiti 1840312690

Preseptor:
dr. Masrul Sp.PD, Sp.JP (K)

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Fibrilasi Atrium (FA) merupakan suatu aritmia jantung paling umum yang
melibatkan peran dari bagian-bagian jantung, terutama atrium1. Pengertian kata FA
berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium, jadi bukan
merupakan suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi dengan
peningkatan denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan untuk
indicator untuk mementukan ada tidaknya FA adalah tidak adanya gelombang P pada
elektrokardiogram (EKG), yang secara normal ada saat kontraksi atrium yang
terkoordinasi2.
Fibrilasi Atrium merupakan aritmia yang paling umum ditemukan dalam
praktek klinis3. Hal ini juga menyumbang 1/3 dari penerimaan pasien rumah sakit
untuk gangguan irama jantung4. Hal itu juga sesuai dengan pernyataan bahwa tingkat
penerimaan untuk FA telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir5. Sedangkan
untuk presentase stroke yang berasal dari FA berkisar 6-24% dari semua stroke
iskemik, sedangkan 3-11% dari mereka yang secara struktural terdiagnosis FA,
memiliki jantung yang normal6. Dari sekitar 2,2 juta orang di Amerika Serikat,
ditemukan kurang lebih 160.000 kasus baru setiap tahun. Pada prevalensi umum FA,
terdapat peningkatan seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar 1-2%. Pada usia
kurang dari 50 tahun (<50 tahun), prevalensi FA kurang lebih berkisar pada nilai
presentase 1 % dan kemudian meningkat menjadi 9 % pada usia 80 tahun. FA lebih
banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, walaupun sebenarnya
tidak ada kepustakaan yang mengatakan adanya perbedaan yang relevan antara jenis
kelamin pria dengan wanita yang mempengaruhi prevalensi FA7.
Pada dasarnya, jantung bisa melakukan kontraksi karena adanya system
konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada FA, nodus SA
tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak
teraturnya konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibat dari hal tersebut,
detak jantung menjadi tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan
ini dapat terjadi dan berlangsung dari menit ke minggu atau dapat terjadi sepanjang
waktu selama bertahun-tahun. Kecenderungan alami dari FA sendiri adalah
kecenderungan untuk menjadi kondisi kronis dan menyebabkan adanya komplikasi
lain8.
FA seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang FA dapat
menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung kongestif.
Orang dengan FA biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7
kali populasi umum). Pada FA, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan
adanya pembentukan gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan
kontraksi jantung, khususnya pada atrium kiri jantung9. Disamping itu, tingkat
peningkatan risiko stroke tergantung juga pada jumlah faktor risiko tambahan. Tetapi,
banyak orang dengan FA memang memiliki faktor risiko tambahan dan FA juga
merupakan penyebab utama dari stroke10.
FA dapat diobati dengan pengobatan yang baik dengan memperlambat denyut
jantung atau mengembalikan irama jantung kembali normal. Elektrik kardioversi juga
dapat digunakan untuk mengkonversi irama jantung FA kembali ke irama jantung
yang normal. Disamping hal tersebut, bedah dan terapi berbasis kateter juga dapat
digunakan untuk mencegah terulangnya FA dalam individu-individu tertentu.
Pengetahuan dan keterampilan dokter umum dalam mendiagnosa dan
menatalaksana pasien dengan FA sangat dibutuhkan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas. Oleh karna itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai FA.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui definisi, tanda serta gejala, patofisiologi dan tata laksana
Fibrilasi Atrium.

1.3 Manfaat

Referat ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan


khususnya tentang penyakit jantung Fibrilasi Atrium.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Fibrilasi Atrium


Fibrilasi atrium (Atrial Fibrillation, AF) merupakan kelainan irama yang
paling sering ditemukan pada praktek klinik sehari-hari yaitu berkisar 1-2% dan
akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang. FA ditandai dengan
ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium sebesar 350-650
x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV.
Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV yang terjadi
tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. FA
dapat terjadi secara episodik maupun permanen. Jika terjadi secara permanen,
kasus tersebut sulit untuk dikontrol.11
Fibrilasi atrium terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak
teraturnya impuls listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat
cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di atrium
dan tidak dipompa dengan baik ke ventrikel. Hal ini ditandai dengan heart rate
yang sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat.
Ketika hal ini terjadi, atrium dan ventrikel tidak dapat bekerja sama sebagaimana
mestinya.12

2.2 Epidemiologi Fibrilasi Atrium


Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering muncul pada
praktik klinis sehari-hari dengan jumlah berkisar 33% dari seluruh pasien aritmia
yang dirawat inap.13 Pada dasarnya, prevalensi fibrilasi atrium dengan umur
dibawah 50 tahun kurang dari 1% dan meningkat lebih dari 9% pada umur 80
tahun.12
Menurut data studi kohort Framingham Heart Study pada tahun 1948
yang melibatkan 5209 subyek penelitian sehat, didapatkan bahwa dalam periode
20 tahun, angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada
perempuan. Sedangkan pada studi kohort di Olmstead County, Minnesota,
dilaporkan bahwa insiden FA per 1000 orang/tahun meningkat secara signifikan
antara 1980 dan 2000 dari 4.4 menjadi 5.4 pada laki-laki dan dari 2.4 menjadi 2.8
pada perempuan. Ada peningkatan rata-rata 0,6% per tahun pada insiden FA.
Jumlah pasien dengan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16 FA di
Amerika Serikat 3,2 juta pada tahun 1980 dan 5,1 juta pada tahun 2000
diproyeksikan akan menjadi 12,1 hingga 15,9 juta pada tahun 2050.13
Sementara itu, data dari Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
(RSJP) Harapan Kita menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien
rawat terus meningkat tiap tahunnya, yakni dari 7,1% pada tahun 2010,
meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012), dan 9,8% (2013).12

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab pasti dari fibrilasi atrium belum dapat diketahui sepenuhnya,
namun paling sering akibat kombinasi berbagai faktor. Faktor yang
mempengaruhi di antaranya umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, kebiasaan
merokok, mengonsumsi alkohol, obesitas, dan penyakit penyerta seperti diabetes
mellitus, apnea tidur, hipertensi, infark miokard akut, dan penyakit jantung
lainnya.14
Faktor umur berpengaruh terhadap fibrilasi atrium karena dengan
bertambahnya umur maka fungsi organ tubuh mulai berkurang sehingga semakin
tinggi resiko terjadinya fibrilasi atrium. Umur merupakan salah satu faktor
terkuat dalam kejadian fibrilasi atrium, semakin meningkat kejadiannya pada
umur 65 tahun ke atas. Pada pasien fibrilasi atrium yang berumur 75 tahun risiko
stroke semakin lebih tinggi.15
Jenis kelamin juga mempengaruhi kejadian fibrilasi atrium. Menurut
data studi kohort Framingham Heart Study pada tahun 1948 yang melibatkan
5.209 subyek penelitian sehat, didapatkan bahwa dalam periode 20 tahun, angka
kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan. Walaupun
angka kejadian pada perempuan lebih rendah, tapi memiliki risiko stroke yang
lebih tinggi. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang penting terhadap
insiden FA walaupun masih belum jelas hubungannya.16
Obesitas akan meningkatkan deposit lemak di dalam tubuh termasuk
lemak perikardial yang terletak pada proksimal jantung dan mendapat suplai
darah dari mikrosirkulasi jantung. Hal tersebut diduga menyebabkan atrium
jantung sulit memompa darah dan bekerja ekstra, sehingga miokardium menjadi
menebal dan mengganggu fungsi diastolik. Pada Framingham Heart Study
ditemukan pada 3.217 partisipan bahwa peningkatan ketebalan lemak pada
perikardial berhubungan dengan kejadian FA.17 Ada peningkatan 3-8% risiko
lebih tinggi pada setiap penambahan satu unit Indeks Massa Tubuh (IMT).
Merokok juga menjadi pemicu untuk timbulnya penyakit kardiovaskular
lain yang nantinya akan menjadi pemicu munculnya fibrilasi atrium. Pasien
dengan riwayat merokok akan cenderung menderita fibrilasi atrium simtomatik
daripada yang tidak merokok yang cenderung memunculkan fibrilasi
asimtomatik. Sebuah studi metaanalisis ditemukan bahwa kejadian FA tertinggi
terdapat pada perokok, sekitar 6,7% pada laki-laki dan 1,4% pada perempuan
dari 11.878 orang.18
Alkohol juga menjadi salah satu faktor terjadinya FA. Ada beberapa
kemungkinan mekanisme terjadinya FA pada alkohol. Pertama, alkohol
memberikan efek toksin langsung terhadap miosit jantung. Kedua, selama minum
alkohol tercapai kondisi hiperadrenergik sehingga menyebabkan gangguan tonus
vagal. Selain itu, alkohol menyebabkan peningkatan waktu konduksi atrium dan
memunculkan pemanjangan gelombang P. Pada Framingham Heart Study
didapatkan bahwa dengan kebiasaan meminum alkohol lebih dari 36 g/ hari atau
setara dengan lebih dari tiga kali minum sehari, akan meningkatkan risiko FA
34%. Studi prospektif pada 48.000 orang di Kopenhagen, Denmark,
mendapatkan bahwa kebiasaan meminum alkohol lebih dari 35 kali seminggu
meningkatkan risiko FA.19
Riwayat keluarga juga menjadi faktor risiko terjadinya fibrilasi atrium.
Hal ini diduga terkait dengan adanya mutasi pada gen yang berfungsi untuk
repolarisasi arus potassium yang menyebabkan pemendekan pada refrakter atrial
dan fasilitasi reentry atrial. Polimorfisme pada gen tersebut mempengaruhi kanal
potasium dan sodium, sarcolipin, sistem renin angiotensin, connexin 40,
endothelial nitric oxide sintase, dan interleukin 10. Sehingga dapat memunculkan
perubahan pada pengendalian kalsium, fibrosis, kondusi, dan inflamasi yang
merupakan predisposisi FA.13
Hipertensi didefinisikan sebagai pemakaian antihipertensi atau tekanan
darah berada di atas 140/90 mmHg. Hipertensi menjadi faktor risiko terkuat
munculnya FA. Pada Framingham Heart Study didapatkan bahwa dari 5331
orang yang dipantau perkembangannya, didapatkan ada 698 orang hipertensi
mendapatkan FA setelah 20 tahun follow-up. Ada peningkatan risiko FA 1,26
kali setiap peningkatan tekanan darah 20 mmHg.20
Apnea tidur atau Sleep Apnea merupakan salah satu faktor risiko
meningkatnya kejadian FA. Apnea tidur ditandai dengan adanya periode henti
napas selama tidur karena penyempitan saluran napas atas. Hal ini disebabkan
karena hipoksemia intermiten, hiperkapnia, rangsangan simpatis, dan perubahan
tekanan darah. Peningkatan tekanan intratoraks karena inspirasi pada saluran
napas yang obstuksi menyebabkan peningkatan gradien tekanan intramural yang
menyebabkan atrium meregang. Selain itu, hipoksemia intermiten menyebabkan
vasokonstriksi pulmonal sehingga tekanan arteri pulmonal meningkat. Pada
akhirnya, apnea tidur berhubungan dengan ketidakseimbangan otonom dan
disfungsi diastolik. Kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya FA dan
menjadikan apnea tidur sebagai prediktor kuat.20
Tindakan atau pengobatan yang dilakukan pada pasien akibat penyakit
sebelumnya dapat mempengaruhi terjadinya FA, di antaranya Coronary Artery
Bypass Grafting (CABG) dan Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Pasien yang
pernah dilakukan CABG akan meningkatkan risiko terjadinya FA, semakin
banyak dilakukan tindakan maka semakin besar risiko terjadinya FA. Sedangkan
pada pasien yang pernah dilakukan tindakan IKP, akan cenderung menurunkan
risiko terjadinya FA.
Selain itu, kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung maupun
kelainan lainnya di luar jantung juga menjadi faktor risiko terjadinya FA.
Kelainan jantung yang berhubungan dengan FA di antaranya Penyakit Jantung
Koroner (PJK), kardiomiopati, penyakit katup jantung (reumatik maupun
nonreumatik), aritmia jantung (atrial takikardia, atrial flutter, AVNRT, sindrom
WPW, sick sinus syndrome), dan perikarditis. Sedangkan kelainan di luar
jantung antara lain, diabetes melitus, hipertiroidisme, penyakit paru (Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK), hipertensi pulmonal primer, dan emboli paru
akut), Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20 dan neurogenik, dimana
sistem saraf autonom dapat mencetuskan FA pada pasien sensitif melalui
peninggian tonus vagal atau adrenergik.11
2.4 Patofisiologi Fibrilasi Atrium
Patofisiologi fibrilasi atrium umumnya disebabkan oleh multifaktorial.
Mekanisme utama yang dipercaya sebagai patofisiologi fibrilasi atrium adalah
mekanisme faktor pemicu dan faktor yang melanggengkan. Faktor tersebut sering
disebabkan oleh adanya penyakit jantung struktural yang mengakibatkan remodelling
jantung terjadi secara perlahan dan progresif. Remodelling tersebut selanjutnya
menyebabkan terjadinya proliferasi dan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas.
Hal ini akan meningkatkan fibrosis pada jantung. Munculnya fibrosis tersebut akibat
adanya remodelling mengakibatkan terjadinya gangguan elektris antara serabut otot
11
dan serabut konduksi. Selanjutnya inilah yang akan menjadi faktor pemicu dan
melanggengkan pada fibrilasi atrium. Selain pencetus, terdapat juga mekanisme yang
menyebabkan fibrilasi atrium menetap. Penelitian Li, dkk. pada seekor anjing yang
gagal jantung dan fibrosis daerah atrium menyebabkan terjadinya gangguan
konduksi, sehingga terjadi proses reentry dan fibrilasi atrium. 3

Faktor lain yang dapat menyebabkan fibrilasi atrium adalah sistem simpatis
dan parasimpatis di dalam jantung. Simpatis akan meningkatkan ca2+ intraselluler dan
parasimpatis akan menyebabkan pemendekan refrakter di atrium. Selain itu stimulasis
pleksus ganglionik melalalui vena pulmoner akan mempermudah rangsangan fibrilasi
atrium. 11

Fibrilasi atrium yang terjadi akan menyebabkan perubahan elektrofisiologis


atrium. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pemendekan periode refrakter.
Pemendekan refrakter terjadi akibat peningkatan arus masuk kalsium (up regulation)
dan penurunan arus masuk kalsium (down regulation). Fibrilasi atrium selanjutnya
akan menyebabkan gangguan fungsi kontraksi atriu, sehingga terjadi perubahan
energetika miofibril. 21

Mekanisme fibrilasi atrium pada dasarnya juga dibagi melalui dua proses,
yaitu mekanisme fokal dan mekanisme reentry. Proses mekanisme aktivasi fokal bisa
melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Proses mekanisme
aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan berasal dari vena pulmonalis sebanyak 72
%. Fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan (38,8 %), vena cava superior
21
(37 %) dan sinus coronarius (1,4 %). Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal
elektrik yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu
potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA). Sedangkan mekanisme
reentry atau multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang
dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry
tidak tergantung 16 pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau
wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari
fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya
sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang
atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran
atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi
penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan
sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan
terjadinya Fibrilasi Atrium.22,24
Gambar 1. A. Mekanisme Fokal B. Mekanisme Reentry11

Mekanisme fibrilasi atrium hampir sama dengan mekanisme fibrilasi ventrikel.


Penyebab tersering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat
lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke
dalam ventrikel dan akibat kegagalan ventrikel sehingga menyebabkan
pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi
akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang
demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi
fibrilasi atrium.22

Fibrilasi atrium juga dapat terjadi karena fibrilasi atrium sebelumnya atau biasa
disebut dengan FA begets FA. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Allesia, yang melakukan percobaan pada kambing yang fibrilasi atrium lalu diberikan
burst pacing akan menyebabkan irama jantung kembali ke irama sinus. Setelah itu
dilakukan lagi burst pacing maka akan menyebabkan fibrilasi atrium yang lebih lama
dari sebelumnya.11

Fibrilasi atrium akan berdampak ke konduksi atrioventrikular. Keadaan normal


sistem konduksi, tidak memiliki jaras tambahan dan disfungsi serabut purkinje.
Nodus atrioventrikular berfungsi sebagai filter untuk mencegah laju ventrikel yang
berlebihan. Hal ini dilakukan melalui refrakter instrinsik nodus atrioventrikular dan
konduksi tersembunyi yang memperlambat kontraksi atrium. Fluktuasi tonus simpatis
dan parasimpatis yang terjadi pada fibrilasi atrium akan menyebabkan perubahan
kecepatan konduksi impuls listrik pada nodus atrioventrikular. Hal ini menyebabkan
laju ventrikel meningkat dan mengancam jiwa.22

Fibrilasi atrium juga akan menyebabkan perubahan hemodinamik. Ketika


fibrilasi atrium terjadi atrium akan kehilangan kontraksi yang terkoordianasi,
sehingga menyebabkan cardiac output yang dihasilkan akan menurun. Selanjutnya
tinggunya laju vetrikel akan memperpendek interval diastolik. Ketidakteraturan yang
terjadi pada laju ventrikel akan menyebabkan takikardiomiopati, sehingga
menyebabkan penurunan aliran darah pada miokardium. Perubahan jangka panjang
selanjutnya akan terjadi kardiomiopati pada atrium dan ventrikel. 22

Fibrilasi atrium yang terjadi turut andil dalam terjadinya tromboemboli. Hal ini
didasari oleh abnormalitas aliran darah, abnormalitas endokard, dan unsur darah.
Abnormalitas aliran daarah dapat terjadi akibat kontraksi yang tidak terkoordinasi
sehingga aliran darah menjadi stasis. Abnormalitas endokard dapat terjadi akibat
infiltrasi fibroelastik akibat kontraksi atrium yang kacau. Darah akan menyebabkan
peningkatan trombosit dan faktor pembekuan. Tiga hal tersebut akan menyebabkan
munculnya tromboemboli pada pasien yang mengalami fibrilasi atrium. 11

2.5 Gejala Klinis Fibrilasi Atrium


Fibrilasi atrium dapat tidak menimbulkan gejala; penderita fibrilasi atrium
paroksismal, biasanya tidak menyadari kelainannya. Pada 10% – 25% penderita,
diagnosis fibrilasi atrium ditemukan tanpa gejala atau didiagnosis setelah terjadi
komplikasi. Gejala fibrilasi atrium bergantung pada banyak faktor, seperti: laju
ventrikuler, durasi fibrilasi atrium, serta ada atau tidaknya gangguan struktur jantung.
Mayoritas penderita mengeluhkan palpitasi, rasa tidak nyaman di dada, dispnea,
kelemahan atau pusing. Palpitasi merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan. 24

Gejala yang ditimbulkan oleh pasien dengan fibrilasi atrium sangat bervariasi,
pasien dapat muncul tanpa keluhan atau asimptomatik sampai dengan syok
kardiogenik atau kejadia serebrovaskular berat. Hampir setengah dari pasien fibrilasi
atrium tidak menimbulkan gejala (Silent atrial fibrilation). Adapun gejala yang
muncul adalah palpitasi, diekspresikan oleh pasien sebagai pukulan genderang,
gemuruh guntur, dan kecipak ikan di dalam dada. Pasien juga mengeluh mudah lelah,
dan tidak toleransi dengan aktifitas ringan. Pasien sering kali mengalami presinkop
dan sinkop. Pasien juga mengalami kelemahan umum, pusing, dan sesak nafas. 25

Pasien akan muncul dengan keadaan takikardi, yaitu dengan denyut nadi 110-
140 kali per menit. Pasien dengan hipotermia biasanya mengalami
bradikardia.Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien
FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi
penyakit jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau
adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan
peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan
adanya hipertensi pulmonal. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium 23 Pulsus
defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju
jantung dapat ditemukan pada pasien FA.25

Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis fibrilasi atrium dan


biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P
yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh
kompleks QRS yang ireguler pula. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai
FA antara lain, Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang
melebihi 160-170x/menit. Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS
lebar) Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium setelah siklus interval R-R panjang-
pendek (fenomena Ashman), Preeksitasi, Hipertrofi ventrikel kiri, Blok berkas
cabang, Tanda infark akut/lama. Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor
interval QT dan QRS dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk fibrilasi
atrium.26
2.6 Tatalaksana Fibrilasi Atrium

Gambar : Manajemen Atrial Fibrilasi30


2.6.1 Stratifikasi Risiko stroke dan perdarahan

Risiko stroke pada fibrilasi atrium adalah 15 % per tahun pada usia 50-59
tahun dan meningkat hingga 23,5 % pada kelompok usia 80-89 tahun. Pasien
fibrilasi atrium juga memiliki insiden stroke dan emboli sistemik berkisar 5 %.1
Paduan stratifikasi risiko stroke pada pasien fibrilasi atrium lebih inklusif
terhadap berbagai faktor risiko stroke. Skor CHA2 DS2 –VASc mencakup seluruh
fakto risiko yang muncul pada praktok klinis. CHA2 DS2 –VASc, yaitu
Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥75 years (skor 2), Diabetes mellitus,
Stroke history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years,
Sex Category (female). Riwayat gagal jantung bukan merupakan faktor risiko
stroke, tetapi yang dimaksud dengan huruf “C” pada skor CHA2 DS2 VASc
adalah adanya disfungsi ventrikel kiri sedang hingga berat (Left Ventricular
Ejection Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien gagal jantung baru yang memerlukan
rawat inap tanpa memandang nilai fraksi ejeksi. Hipertiroid juga bukan
merupakan faktor risiko independen stroke pada analisis multivariat. Jenis
kelamin perempuan meningkatkan risiko stroke secara independen, tetapi
perempuan yang berusia kurang dari 65 tahun tidak meningkatkan faktor
terjadinya stroke. 27
Gambar 2. CHA2 DS2 VASc27
Selain mempertimbangkan risiko terjadinya stroke, klinisi juga perlu
mempertimbangkan risiko perdarahan pasien fibrilasi atrium dengan
menggunakan skor HAS-BLED yang merupakan, Hypertension, Abnormal renal
or liver function, history of Stroke, history of Bleeding, Labile INR value, Elderly,
dan antithrombotic Drugs and alcohol. Stratifikasi risiko perdarahan harus
dilakukan pada pasien dengan fibrilasi atrium, jika skor HAS-BLED lebih dari
tiga maka perlu mendapat perhatian khusus. Skor ini digunakan untuk mengoreksi
faktor risiko seperti hipertensi dan penggunaan obat-obat NSAIDs. 11
Gambar 3. Diagram pemilihan terapi antikoagulan30
Pilihan obat anti-trombotik yang dapat digunakan adalah warfarin dengan
target INR 2.0 – 3.0, dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban. Pasien yang
mendapat warfarin harus memeriksakan INR setiap minggu pada awal
pengobatan dan disarankan memeriksa INR setiap bulan jika target INR telah
tercapai dan stabil. Dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban dapat diberikan
apabila target INR tidak tercapai dengan warfarin, namun sebelumnya diperlukan
pemeriksaan fungsi ginjal dan berkala. Dabigatran dan rivaroxaban tidak
direkomendasikan pada pasien fibrilasi atrium dengan penyerta gagal ginjal
kronis tahap akhir atau dalam terapi dialisis karena belum ada penelitiannya;
warfarin merupakan anti-trombotik pilihan utama untuk pasien kelompok
tersebut. Dabigatran dan rivaroxaban dapat diberikan pada penderita gagal ginjal
kronis, namun dengan dosis dimodifikasi. 28
Jika akan mengubah dari AVK (antagonis vitamin K) seperti warfarin ke
AKB (antikoagulan baru) seperti dabigatran, rivaroxaban, apixaban, maka harus
dicapai nilai INR ≤2 terlebih dahulu. Sebaliknya, jika akan mengganti dari AKB
ke AVK maka AVK harus dimulai secara tumpang tindih dengan AKB dalam
periode tergantung jenis AKB dan fungsi ginjal. AKB dihentikan jika INR >2.
Misalnya, jika memakai dabigatran dibutuhkan tumpang tindih AVK 2-3 hari
karena awitan kerja AVK membutuhkan beberapa hari untuk mencapai efek
terapi. Penaksiran fungsi ginjal (memakai creatinin clearance) wajib dilakukan
pada pemberian AKB karena seluruh obat tersebut sedikit banyak diekskresi
melalui ginjal. Pada pasien dengan nilai awal klirens kreatinin normal (≥80
mL/min) atau gangguan ginjal ringan (klirens kreatinin 50–79 mL/min) dilakukan
pemeriksaan klirens kreatinin 1 kali per tahun, sedangkan pada pasien dengan
gangguan ginjal sedang (klirens kreatinin 30- 49 mL/ min) dianjurkan
pemeriksaan klirens kreatinin 2-3 kali per tahun.28

2.6.2 Pengendalian Laju Jantung

Pengendalian laju jantung menggunakan obat golongan beta bloker atau


penghambat kanal kalsium golongan non-dihydropyridine direkomendasikan
untuk pasien fibrilasi atrium jenis paroksismal, persisten, ataupun permanen. Beta
bloker atau penghambat kanal kalsium dapat diberikan secara intravena pada
keadaan akut tanpa disertai pre-eksitasi. Kendali laju dipertimbangkan sebagai
terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan minimal (skor EHRA 1). Kendali
irama direkomendasikan pada pasien yang masih simptomatik (skor EHRA ≥2)
meskipun telah dilakukan kendali laju optimal. Kendali laju sendiri dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu kendali laju longgar dan kendali laju ketat. Pada
permulaan kendali laju longgar dapat dipilih dengan target laju jantung < 80 kali
per menit saat istirahat. Penyekat beta direkomendasikan fibrilasi atrium dengan
gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark
miokard. Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk
kendali laju. Fibrilasi atrium dengan respons irama ventrikel yang lambat,
biasanya membaik dengan pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila
dengan atropin masih simptomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau
pemasangan pacu jantung sementara.22,28

2.6.3 Pengendalian Irama Jantung

Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi gejala. Pengendalian


irama jantung dipilih pada pasien yang masih bergejala meskipun pengendalian
laju jantung telah optimal. Pengubahan irama fibrilasi atrium ke irama sinus
(kardioversi) menggunakan obat paling efektif dilakukan dalam 7 hari setelah
terjadi fibrilasi atrium. Kardioversi farmakologis kurang efektif pada penderita
fibrilasi atrium persisten. Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai
kelebihan mengurangi risiko tromboemboli, memperbaiki hemodinamik, serta
mencegah remodelling atrium yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan
menyebabkan kardiomiopati atrium.28

Kendali irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung akibat


fibrilasi atrium untuk memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik, atau
fibrilasi atrium sekunder akibat kelainan yang telah dikoreksi (iskemia,
hipertiroid). Kondisi klinis yang dapat mempengaruhi tingginya rekurensi antara
lain ukuran atrium kiri >50 mm, durasi >6 bulan, gagal jantung dengan NYHA
>II, gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri (ejection fraction (EF) < 48 jam dan
memiliki risiko tinggi stroke, heparin intravena, atau LMWH (low molecular
weight heparin) dapat direkomendasikan segera diberikan sebelum atau sesaat
setelah dilakukan kardioversi, diikuti dengan pemberian antikoagulan oral sesuai
dengan skor CHA2 DS2 -VASc. Untuk pasien fibrilasi atrium dengan durasi >48
jam atau durasi aktual tak diketahui, dan belum mendapatkan terapi antikoagulan
selama 3 minggu perlu dipertimbangkan echocardiography transesophageal
sebelum kardioversi untuk memastikan tidak ada trombus di atrium kiri.29
Gambar 4. Kardioversi29
2.6.4 Terapi fase akut

Pasien dengan fibrilasi atrium sering kali mengalami gangguan hemodinamik


akibat respon dari irama ventrikel yang terlalu cepat. Pasien dengan hemodinamik
tidak stabil harus dilakukan kardioversi segera. Sedangkan pasien dengan
gangguan hemodinamik dengan simptom masih ada walaupun telah diberikan
kardioversi laju optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis obat
antiaritmia intravena atau kardioversi elektris. Ketika pemberian obat tersebut
pasien perlu dimonitor, untuk mencegah terjadinya obat tersebut menjadi
proaritmia. 11
Gambar 5. Terapi intravena untuk fase akut11
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Fibrilasi atrium merupakan suatu aritmia jantung yang melibatkan peran dari
bagian-bagian jantung, terutama atrium. Fibrilasi atrium dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, baik dari jenis kelamin, usia, maupun penyakit
kardiovaskular seperti hipertensi, gagal jantung,penyakit jantung koroner,
hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan.
2. Pasien fibrilasi atrium dapat mengalami gejala bervariasi, mulai dari yang
dapat dirasakan seperti palpitasi, rasa tidak nyaman pada dada, dispnea,
kelemahan, atau pusing, hingga gejala yang tidak dirasakan (silent atrial
fibrillation). Pada umumnya pasien dapat mendeskripskan gejala yang
dirasakan.
3. Pemeriksaan EKG dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis fibrilasi atrium.
Didapatkan laju ireguler, gelombang P tidak jelas, kompleks QRS ireguler.
Penting sekali mengetahui interval QRS untuk menentukan tatalaksana yang
tepat.
4. Tatalaksana fibrilasi atrium yang dapat dilakukan antara lain: (1) Stratifikasi
risiko stroke dan perdarahan; (2) Pengendalian laju jantung; (3)Pengendalian
irama jantung; (4)Terapi fase akut. Penting sekali memahami setiap tahap
tatalaksana fibrilasi atrium dan terapi yang diberikan agar tercapai tujuan
tatalaksana, yaitu mengembalikan irama dan laju jantung menjadi normal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wyndham CRC (2000). "Atrial Fibrillation: The Most Common arrhythmia".


Texas Heart Institute Journal 27 (3): 257-67.
2. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc.
2008-12-04. Archived from the original on 2009-03-28.
3. Fuster V, Rydén LE, Cannom DS, et al. (2006). "ACC/AHA/ESC 2006
Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of
the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for
Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001 Guidelines for the
Management of Patients With Atrial Fibrillation): developed in collaboration
with the European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society".
Circulation 114 (7): 257–354.
4. Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphioll N, Jensen GB. (2003).
"Relationship between left atrial appendage function and left atrial thrombus
in patients with nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial
flutter".Circulation Journal 67 (1): 68–72.
5. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003).
“Relationship between left atrial appendage function and left atrial thrombus
in patient with nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter”.
Circulation Journal 67.
6. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA
dan Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial
fibrillation A prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 792–
7.
7. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit
Dalaml. Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
8. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation
mortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.
9. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce
stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac. Surg.
61 (2): 755–9.
10. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic
assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham
study". Neurology 28 (10): 973–7.
11. Yuniadi Y (2015). Waspada fibrilasi atrium. Dalam: Rilantono LI. Penyakit
kardiovaskular (pKV) 5 Rahasia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia, pp 390-408.

12. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2014). Pedoman


tatalaksana fibrilasi atrium. Edisi pertama. Jakarta: Centra Communications.

13. Morady F, Zipes DP (2015). Atrial fibrillation: Clinical features, mechanism,


and management. Dalam: Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO,
Braunwald E. Braunwald’s heart disease: A textbook of cardiovascular
medicine. Edisi kesepuluh. Philadelphia: Elsevier, pp 798-820.

14. Magnani JW, Rienstra M, Lin H, Sinner MF, Lubitz SA, McManus D, et al.
(2011). Atrial fibrillation: Current knowledge and future directions in
epidemiology and genomics. Circulation, 124(18):1982-1993.

15. Rathore SS, Berger Ak, Weinfurt KP, Schulman KA, Oetgen WJ, Gersh BJ, et
al. (2000). Acute myocardial infarction complicated by atrial fibrillation in the
elderly: Prevalence and outcomes. Circulation, 101: 967-974.

16. Rienstra M, McManus DD, Benjamin EJ (2012). Novel risk factors for atrial
fibrillation: Useful for risk prediction and clinical decision making?
Circulation, 125: e941-e946.

17. Alonso A, Yin X, Roetker NS, Magnani JW, Kronmal RA, Ellinor PT, et al.
(2014). Blood lipids and the incidence of atrial fibrillation: The multi‐ethnic
study of atherosclerosis and the framingham heart study. Journal of the
American Heart Association: Cardiovascular and Cerebrovascular Disease.
3(5): e001211.

18. Zhu W, Yuan P, Shen Y, Wan R, Hong K (2016). Association of smoking


with the risk of incident atrial fibrillation: A meta-analysis of prospective
studies. International Journal of Cardiology, 218: 259-266
19. Stamboul K, Zeller M, Fauchier, Gudjoncik A, Buffet P, Garnier F, et al.
(2015). Prognosis of silent atrial fibrillation after acute myocardial infarction
at 1 year follow up. Heart (British Cardiac Society), 101 (11): 864-869.

20. Schnabel RB, Yin X, Philimon G, Larson MG, Beiser AS, McManus DD, et
al. (2015). Fifty-year trends in atrial fibrillation prevalence, incidence, risk
factors, and mortality in the community. Lancet (London, England),
386(9989):154-162.

21. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S,


Camm AJ, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task
Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of
Cardiology (ESC). European heart journal 2010;31:2369-429.

22. Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical
arrhythmology and electrophysiology: a companion to Braunwald’s heart
disease. 2nd ed: Saunders; 2012.

23. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS focused
updates incorporated into the ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the
management of patients with atrial fibrillation: a report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines developed in partnership with the European Society of
Cardiology and in collaboration with the European Heart Rhythm Association
and the Heart Rhythm Society. Journal of the American College of
Cardiology 2011;57:e101-98.

24. Alpert JS, Petersen P, Godtfredsen J. Atrial fibrillation: natural history,


complications, and management. Annual review of medicine 1988;39:41-52.

25. Knight BP, Michaud GF, Strickberger SA, Morady F. Electrocardiographic


differentiation of atrial flutter from atrial fibrillation by physicians. Journal of
electrocardiology 1999;32:315-9.

26. Atrial Fibrillation Clinical Presentation. 2013. (Accessed Sep 27, 2013, at
http://emedicine. medscape.com/article/151066-clinical.)

27. January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, Cigarroa JE, Cleveland JC, et al.
AHA/ACC/HRS guideline for the management of patients with atrial
fibrilation. Circulation 2014;129:1-124.
28. Yuniadi Y, Tondas AE, Hanafy DA, Hermanto DY, Maharani E, Munawar
M, et al. Pedoman tatalaksana fibrilasi atrium. 1st ed. Centra
Communications: PERKI; 2014 .p. 1-82.

29. Lip GYH, Tse HF, Lane DA. Atrial fibrillation. Lancet 2012;379: 648–61.
30. Kirchhof P, et al. (2016). 2016 ESC guidelines for the management of atrial
fibrillation developed in collaboration with EACTS. European Heart Journal:
1-90

Anda mungkin juga menyukai