FIBRILASI ATRIUM
Disusun Oleh:
Preseptor:
dr. Masrul Sp.PD, Sp.JP (K)
Fibrilasi Atrium (FA) merupakan suatu aritmia jantung paling umum yang
melibatkan peran dari bagian-bagian jantung, terutama atrium1. Pengertian kata FA
berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium, jadi bukan
merupakan suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi dengan
peningkatan denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan untuk
indicator untuk mementukan ada tidaknya FA adalah tidak adanya gelombang P pada
elektrokardiogram (EKG), yang secara normal ada saat kontraksi atrium yang
terkoordinasi2.
Fibrilasi Atrium merupakan aritmia yang paling umum ditemukan dalam
praktek klinis3. Hal ini juga menyumbang 1/3 dari penerimaan pasien rumah sakit
untuk gangguan irama jantung4. Hal itu juga sesuai dengan pernyataan bahwa tingkat
penerimaan untuk FA telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir5. Sedangkan
untuk presentase stroke yang berasal dari FA berkisar 6-24% dari semua stroke
iskemik, sedangkan 3-11% dari mereka yang secara struktural terdiagnosis FA,
memiliki jantung yang normal6. Dari sekitar 2,2 juta orang di Amerika Serikat,
ditemukan kurang lebih 160.000 kasus baru setiap tahun. Pada prevalensi umum FA,
terdapat peningkatan seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar 1-2%. Pada usia
kurang dari 50 tahun (<50 tahun), prevalensi FA kurang lebih berkisar pada nilai
presentase 1 % dan kemudian meningkat menjadi 9 % pada usia 80 tahun. FA lebih
banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, walaupun sebenarnya
tidak ada kepustakaan yang mengatakan adanya perbedaan yang relevan antara jenis
kelamin pria dengan wanita yang mempengaruhi prevalensi FA7.
Pada dasarnya, jantung bisa melakukan kontraksi karena adanya system
konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada FA, nodus SA
tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak
teraturnya konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibat dari hal tersebut,
detak jantung menjadi tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan
ini dapat terjadi dan berlangsung dari menit ke minggu atau dapat terjadi sepanjang
waktu selama bertahun-tahun. Kecenderungan alami dari FA sendiri adalah
kecenderungan untuk menjadi kondisi kronis dan menyebabkan adanya komplikasi
lain8.
FA seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang FA dapat
menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung kongestif.
Orang dengan FA biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7
kali populasi umum). Pada FA, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan
adanya pembentukan gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan
kontraksi jantung, khususnya pada atrium kiri jantung9. Disamping itu, tingkat
peningkatan risiko stroke tergantung juga pada jumlah faktor risiko tambahan. Tetapi,
banyak orang dengan FA memang memiliki faktor risiko tambahan dan FA juga
merupakan penyebab utama dari stroke10.
FA dapat diobati dengan pengobatan yang baik dengan memperlambat denyut
jantung atau mengembalikan irama jantung kembali normal. Elektrik kardioversi juga
dapat digunakan untuk mengkonversi irama jantung FA kembali ke irama jantung
yang normal. Disamping hal tersebut, bedah dan terapi berbasis kateter juga dapat
digunakan untuk mencegah terulangnya FA dalam individu-individu tertentu.
Pengetahuan dan keterampilan dokter umum dalam mendiagnosa dan
menatalaksana pasien dengan FA sangat dibutuhkan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas. Oleh karna itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai FA.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui definisi, tanda serta gejala, patofisiologi dan tata laksana
Fibrilasi Atrium.
1.3 Manfaat
Faktor lain yang dapat menyebabkan fibrilasi atrium adalah sistem simpatis
dan parasimpatis di dalam jantung. Simpatis akan meningkatkan ca2+ intraselluler dan
parasimpatis akan menyebabkan pemendekan refrakter di atrium. Selain itu stimulasis
pleksus ganglionik melalalui vena pulmoner akan mempermudah rangsangan fibrilasi
atrium. 11
Mekanisme fibrilasi atrium pada dasarnya juga dibagi melalui dua proses,
yaitu mekanisme fokal dan mekanisme reentry. Proses mekanisme aktivasi fokal bisa
melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Proses mekanisme
aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan berasal dari vena pulmonalis sebanyak 72
%. Fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan (38,8 %), vena cava superior
21
(37 %) dan sinus coronarius (1,4 %). Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal
elektrik yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu
potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA). Sedangkan mekanisme
reentry atau multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang
dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry
tidak tergantung 16 pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau
wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari
fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya
sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang
atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran
atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi
penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan
sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan
terjadinya Fibrilasi Atrium.22,24
Gambar 1. A. Mekanisme Fokal B. Mekanisme Reentry11
Fibrilasi atrium juga dapat terjadi karena fibrilasi atrium sebelumnya atau biasa
disebut dengan FA begets FA. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Allesia, yang melakukan percobaan pada kambing yang fibrilasi atrium lalu diberikan
burst pacing akan menyebabkan irama jantung kembali ke irama sinus. Setelah itu
dilakukan lagi burst pacing maka akan menyebabkan fibrilasi atrium yang lebih lama
dari sebelumnya.11
Fibrilasi atrium yang terjadi turut andil dalam terjadinya tromboemboli. Hal ini
didasari oleh abnormalitas aliran darah, abnormalitas endokard, dan unsur darah.
Abnormalitas aliran daarah dapat terjadi akibat kontraksi yang tidak terkoordinasi
sehingga aliran darah menjadi stasis. Abnormalitas endokard dapat terjadi akibat
infiltrasi fibroelastik akibat kontraksi atrium yang kacau. Darah akan menyebabkan
peningkatan trombosit dan faktor pembekuan. Tiga hal tersebut akan menyebabkan
munculnya tromboemboli pada pasien yang mengalami fibrilasi atrium. 11
Gejala yang ditimbulkan oleh pasien dengan fibrilasi atrium sangat bervariasi,
pasien dapat muncul tanpa keluhan atau asimptomatik sampai dengan syok
kardiogenik atau kejadia serebrovaskular berat. Hampir setengah dari pasien fibrilasi
atrium tidak menimbulkan gejala (Silent atrial fibrilation). Adapun gejala yang
muncul adalah palpitasi, diekspresikan oleh pasien sebagai pukulan genderang,
gemuruh guntur, dan kecipak ikan di dalam dada. Pasien juga mengeluh mudah lelah,
dan tidak toleransi dengan aktifitas ringan. Pasien sering kali mengalami presinkop
dan sinkop. Pasien juga mengalami kelemahan umum, pusing, dan sesak nafas. 25
Pasien akan muncul dengan keadaan takikardi, yaitu dengan denyut nadi 110-
140 kali per menit. Pasien dengan hipotermia biasanya mengalami
bradikardia.Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien
FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi
penyakit jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau
adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan
peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan
adanya hipertensi pulmonal. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium 23 Pulsus
defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju
jantung dapat ditemukan pada pasien FA.25
Risiko stroke pada fibrilasi atrium adalah 15 % per tahun pada usia 50-59
tahun dan meningkat hingga 23,5 % pada kelompok usia 80-89 tahun. Pasien
fibrilasi atrium juga memiliki insiden stroke dan emboli sistemik berkisar 5 %.1
Paduan stratifikasi risiko stroke pada pasien fibrilasi atrium lebih inklusif
terhadap berbagai faktor risiko stroke. Skor CHA2 DS2 –VASc mencakup seluruh
fakto risiko yang muncul pada praktok klinis. CHA2 DS2 –VASc, yaitu
Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥75 years (skor 2), Diabetes mellitus,
Stroke history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years,
Sex Category (female). Riwayat gagal jantung bukan merupakan faktor risiko
stroke, tetapi yang dimaksud dengan huruf “C” pada skor CHA2 DS2 VASc
adalah adanya disfungsi ventrikel kiri sedang hingga berat (Left Ventricular
Ejection Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien gagal jantung baru yang memerlukan
rawat inap tanpa memandang nilai fraksi ejeksi. Hipertiroid juga bukan
merupakan faktor risiko independen stroke pada analisis multivariat. Jenis
kelamin perempuan meningkatkan risiko stroke secara independen, tetapi
perempuan yang berusia kurang dari 65 tahun tidak meningkatkan faktor
terjadinya stroke. 27
Gambar 2. CHA2 DS2 VASc27
Selain mempertimbangkan risiko terjadinya stroke, klinisi juga perlu
mempertimbangkan risiko perdarahan pasien fibrilasi atrium dengan
menggunakan skor HAS-BLED yang merupakan, Hypertension, Abnormal renal
or liver function, history of Stroke, history of Bleeding, Labile INR value, Elderly,
dan antithrombotic Drugs and alcohol. Stratifikasi risiko perdarahan harus
dilakukan pada pasien dengan fibrilasi atrium, jika skor HAS-BLED lebih dari
tiga maka perlu mendapat perhatian khusus. Skor ini digunakan untuk mengoreksi
faktor risiko seperti hipertensi dan penggunaan obat-obat NSAIDs. 11
Gambar 3. Diagram pemilihan terapi antikoagulan30
Pilihan obat anti-trombotik yang dapat digunakan adalah warfarin dengan
target INR 2.0 – 3.0, dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban. Pasien yang
mendapat warfarin harus memeriksakan INR setiap minggu pada awal
pengobatan dan disarankan memeriksa INR setiap bulan jika target INR telah
tercapai dan stabil. Dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban dapat diberikan
apabila target INR tidak tercapai dengan warfarin, namun sebelumnya diperlukan
pemeriksaan fungsi ginjal dan berkala. Dabigatran dan rivaroxaban tidak
direkomendasikan pada pasien fibrilasi atrium dengan penyerta gagal ginjal
kronis tahap akhir atau dalam terapi dialisis karena belum ada penelitiannya;
warfarin merupakan anti-trombotik pilihan utama untuk pasien kelompok
tersebut. Dabigatran dan rivaroxaban dapat diberikan pada penderita gagal ginjal
kronis, namun dengan dosis dimodifikasi. 28
Jika akan mengubah dari AVK (antagonis vitamin K) seperti warfarin ke
AKB (antikoagulan baru) seperti dabigatran, rivaroxaban, apixaban, maka harus
dicapai nilai INR ≤2 terlebih dahulu. Sebaliknya, jika akan mengganti dari AKB
ke AVK maka AVK harus dimulai secara tumpang tindih dengan AKB dalam
periode tergantung jenis AKB dan fungsi ginjal. AKB dihentikan jika INR >2.
Misalnya, jika memakai dabigatran dibutuhkan tumpang tindih AVK 2-3 hari
karena awitan kerja AVK membutuhkan beberapa hari untuk mencapai efek
terapi. Penaksiran fungsi ginjal (memakai creatinin clearance) wajib dilakukan
pada pemberian AKB karena seluruh obat tersebut sedikit banyak diekskresi
melalui ginjal. Pada pasien dengan nilai awal klirens kreatinin normal (≥80
mL/min) atau gangguan ginjal ringan (klirens kreatinin 50–79 mL/min) dilakukan
pemeriksaan klirens kreatinin 1 kali per tahun, sedangkan pada pasien dengan
gangguan ginjal sedang (klirens kreatinin 30- 49 mL/ min) dianjurkan
pemeriksaan klirens kreatinin 2-3 kali per tahun.28
3.1 Kesimpulan
1. Fibrilasi atrium merupakan suatu aritmia jantung yang melibatkan peran dari
bagian-bagian jantung, terutama atrium. Fibrilasi atrium dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, baik dari jenis kelamin, usia, maupun penyakit
kardiovaskular seperti hipertensi, gagal jantung,penyakit jantung koroner,
hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan.
2. Pasien fibrilasi atrium dapat mengalami gejala bervariasi, mulai dari yang
dapat dirasakan seperti palpitasi, rasa tidak nyaman pada dada, dispnea,
kelemahan, atau pusing, hingga gejala yang tidak dirasakan (silent atrial
fibrillation). Pada umumnya pasien dapat mendeskripskan gejala yang
dirasakan.
3. Pemeriksaan EKG dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis fibrilasi atrium.
Didapatkan laju ireguler, gelombang P tidak jelas, kompleks QRS ireguler.
Penting sekali mengetahui interval QRS untuk menentukan tatalaksana yang
tepat.
4. Tatalaksana fibrilasi atrium yang dapat dilakukan antara lain: (1) Stratifikasi
risiko stroke dan perdarahan; (2) Pengendalian laju jantung; (3)Pengendalian
irama jantung; (4)Terapi fase akut. Penting sekali memahami setiap tahap
tatalaksana fibrilasi atrium dan terapi yang diberikan agar tercapai tujuan
tatalaksana, yaitu mengembalikan irama dan laju jantung menjadi normal.
DAFTAR PUSTAKA
14. Magnani JW, Rienstra M, Lin H, Sinner MF, Lubitz SA, McManus D, et al.
(2011). Atrial fibrillation: Current knowledge and future directions in
epidemiology and genomics. Circulation, 124(18):1982-1993.
15. Rathore SS, Berger Ak, Weinfurt KP, Schulman KA, Oetgen WJ, Gersh BJ, et
al. (2000). Acute myocardial infarction complicated by atrial fibrillation in the
elderly: Prevalence and outcomes. Circulation, 101: 967-974.
16. Rienstra M, McManus DD, Benjamin EJ (2012). Novel risk factors for atrial
fibrillation: Useful for risk prediction and clinical decision making?
Circulation, 125: e941-e946.
17. Alonso A, Yin X, Roetker NS, Magnani JW, Kronmal RA, Ellinor PT, et al.
(2014). Blood lipids and the incidence of atrial fibrillation: The multi‐ethnic
study of atherosclerosis and the framingham heart study. Journal of the
American Heart Association: Cardiovascular and Cerebrovascular Disease.
3(5): e001211.
20. Schnabel RB, Yin X, Philimon G, Larson MG, Beiser AS, McManus DD, et
al. (2015). Fifty-year trends in atrial fibrillation prevalence, incidence, risk
factors, and mortality in the community. Lancet (London, England),
386(9989):154-162.
22. Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical
arrhythmology and electrophysiology: a companion to Braunwald’s heart
disease. 2nd ed: Saunders; 2012.
23. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS focused
updates incorporated into the ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the
management of patients with atrial fibrillation: a report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines developed in partnership with the European Society of
Cardiology and in collaboration with the European Heart Rhythm Association
and the Heart Rhythm Society. Journal of the American College of
Cardiology 2011;57:e101-98.
26. Atrial Fibrillation Clinical Presentation. 2013. (Accessed Sep 27, 2013, at
http://emedicine. medscape.com/article/151066-clinical.)
27. January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, Cigarroa JE, Cleveland JC, et al.
AHA/ACC/HRS guideline for the management of patients with atrial
fibrilation. Circulation 2014;129:1-124.
28. Yuniadi Y, Tondas AE, Hanafy DA, Hermanto DY, Maharani E, Munawar
M, et al. Pedoman tatalaksana fibrilasi atrium. 1st ed. Centra
Communications: PERKI; 2014 .p. 1-82.
29. Lip GYH, Tse HF, Lane DA. Atrial fibrillation. Lancet 2012;379: 648–61.
30. Kirchhof P, et al. (2016). 2016 ESC guidelines for the management of atrial
fibrillation developed in collaboration with EACTS. European Heart Journal:
1-90