Anda di halaman 1dari 36

2

REFERAT

PEMBERIAN ANTIKOAGULAN PADA ATRIAL


FIBRILASI

Oleh:
Mega Febriana
19710018

Pembimbing:
dr. Arief Bowo Kurniawan , SpJP (K)

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA
KUSUMA SURABAYA
2021
3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berbagai kemudahan

kepada penulis untuk menyelesaikan Tugas Referat. Tugas ini penulis selesaikan untuk

memenuhi persyaratan ujian di SMF Ilmu Penyakit Dalam Sidoarjo dan untuk menambah

wawasan serta ilmu di bidang Ilmu Penyakit Dalam.

Tugas Referat ini berhasil penulis selesaikan karena dukungan dari berbagai pihak.

Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Tim Dokter Pembimbing

di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo dan segenap pihak yang membantu

penyelesaian tugas ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas referat ini masih belum sempurna, oleh

karena itu penulis mengharapkan segala masukan demi sempurnanya tulisan ini. Sehingga

penulis berharap semoga Laporan Kasus ini nantinya dapat bermanfaat bagi berbagai

pihak yang terkait.

Sidoarjo, 02 Juni 2021

Penulis
4

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan gangguan fungsi

jantung dan pembuluh darah. Berdasarkan data dari badan kesehatan dunia

(WHO) menempatkan abnormalitas jantung sebagai urutan teratas daftar

penyebab utama kematian di seluruh dunia. Kelainan bentuk isyarat ECG

biasanya disebut aritmia. Aritmia yang paling umum dan yang sering dijumpai

adalah Atrial Fibrilasi (AF). AF didefinisikan sebagai irama jantung yang

abnormal 1,2

Atrial Fibrilasi merupakan gangguan irama pada jantung dengan

karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi yang disebabkan karena

kerusakan fungsi mekanik pada atrium jantung yang menyebabkan tidak

beraturnya aktivitas atrium. Seringkali terdiagnosis secara tidak sengaja selama

medical check up. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa

secara langsung, tetapi atrial fibrilasi berhubungan dengan peningkatan angka

morbiditas dan mortalitas.1,5 Atrium Fibrilasi dapat bersifat akut maupun kronik

dan umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun. AF memang telah menjadi jenis

aritmia yang paling umum dan paling banyak terjadi dengan prevalensi meningkat

setiap tahunya.3

Pada populasi umum prevalensi atrial fibrilasi terdapat 1-2% dan

meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umur 50 tahun prevalensi atrial

fibrilasi kurang dari 1% dan meningkat menjadi 9% pada usia 80 tahun. Data dari

studi observasional (MONICA-multinational Monitoring of trend and determinant


in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta ditemukan angka

kejadia atrial fibrilasi sebanyak 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2.

Selain itu, akibat dari peningkatan presentase lanjut usia di Indonesia, WHO

mengestimasi bahwa pada tahun 2045-2050 prevalensi Atrial Fibrilasi akan

meningkat secara signifikan.2,5

Pasien dengan atrial fibrilasi memiliki resiko stroke 5 kali lebih tinggi dan

resiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa atrial fibrilasi.

Kecenderungan alami dari Atrial fibrilasi sendiri adalah kecenderungan untuk

menjadi kondisi kronis dan menyebabkan adanya komplikasi lain. Adanya

penyakit kardiovaskular semakin meningkatkan risiko AF. Pemahaman tentang

manajemen serta masalah dan opsi perawatan yang tersedia untuk pasien atrial

fibrilasi sangat penting. Oleh karena itu, sangat penting untuk dokter perawatan

primer untuk memahami atrial fibrilasi.2

Deteksi Atrium Fibrilasi dapat dilakukan dengan bantuan alat

Elektrokardiograf. Elektrokardiograf merupakan alat instrumentasi medis yang

digunakan untuk merekam aktifitas listrik pada jantung. Hasil rekaman

elektrokardiograf berupa sinyal biolistrik jantung yang disebut sebagai sinyal

elektrokardiogram. Sinyal elektrokardiogram nantinya akan di analisis oleh

seorang dokter untuk mendeteksi kelainan atau penyakit Atrial Fibrilasi pada

jantung.4

Atrium Fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain

seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes


melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium,

kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart

Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun

sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung

dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan

gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban

volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis.

Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien

penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek

septal atrium. Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit jantung

koroner meskipun keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner masih

belum jelas.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Atrial fibrilasi adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan

aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi sehingga kontraksi atrium tidak

terjadi.2 Atrial fibrilasi ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung

dan peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit.

Pada elektrokardiogram (EKG), tidak terdapat gelombang P sejati, yang

digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk

dan durasinya.6

Menurut Heeringa et al AF adalah aritmia jantung yang ditandai

dengan kontraksi atrium yang cepat dan tidak teratur serta respons ventrikel

yang tidak teratur. Konsekuensi utama atrial fibrilasi adalah potensi

pengurangan curah jantung dan pembentukan trombus dalam atrium. Pasien

dengan atrial fibrilasi dapat memiliki gejala yang signifikan yang

mempengaruhi kualitas hidup.5 Risiko stroke untuk orang dengan AF adalah

hingga lima kali lipat dari orang yang tidak memiliki AF. Risiko ini dapat

dikurangi secara signifikan dengan pengobatan antitrombotik, pada pasien

berisiko tinggi.5

Pada orang yang didiagnosis dengan AF, ada dua masalah terpisah

namun sama pentingnya yang harus dipertimbangkan, yaitu adalah

manajemen dari gejala dan keluhan pasien, yang kedua adalah penilaian dan
manajemen risiko tromboemboli. Tujuan pengobatan AF adalah untuk

meredakan gejala (jika ada), untuk mencegah komplikasi tromboemboli dan

mencegah komplikasi serius lainnya seperti gagal jantung. Pada sebagian

besar pasien dengan AF pengobatan yang paling tepat dan efektif adalah

untuk mengontrol heart rate. Perawatan antitrombotik harus dimulai pada

pasien yang dianggap berisiko tinggi terjadinya komplikasi tromboemboli.5

B. Epidemiologi

Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohor pada

tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek penelitian sehat (tidak menderita

penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun, angka

kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.

Sementara itu data dari studi observasional (MONICA multinational

MONItoring of trend and determinant in CArdiovascular disease) pada

populasi urban di Jakarta menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2%

dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2. Selain itu, karena terjadi

peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yaitu

7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-

2050), maka angka kejadian FA juga akan meningkat secara signifikan.

Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data di Rumah Sakit

Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa

persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya,

yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012)

dan 9,8% (2013). Pasien dengan atrial fibrilasi memiliki resiko stroke 5 kali
lebih tinggi dan resiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibandingkan pasien

tanpa atrial fibrilasi.2,5

C. Faktor Risiko

Faktor usia berpengaruh terhadap atrial fibrilasi karena dengan

bertambahnya umur maka semakin tinggi resiko terjadinya atrial fibrilasi.

Usia merupakan salah satu faktor terkuat dalam kejadian atrial fibrilasi.

Sebuah studi di Framingham menyebutkan bahwa meningkatnya kejadian

atrial fibrilasi pada beberapa kondisi yaitu usia di atas 50 tahun.

Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah1 :

1. Diabetes Melitus

2. Hipertensi

3. Penyakit Jantung Koroner

4. Penyakit Katup Mitral

5. Cerebrovascular disease

6. Penyakit Tiroid

7. Penyakit Paru Kronik

8. Usia ≥ 60

9. Infeksi

10. Alcoholism

D. Patofisiologi

Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya

dipahami dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak


dianut tentang mekanisme AF adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger); dan

2) faktor-faktor yang melanggengkan. Pada pasien dengan AF yang sering

kambuh tetapi masih dapat konversi secara spontan, mekanisme utama yang

mendasari biasanya Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium 3 karena adanya

faktor pemicu (trigger) AF, sedangkan pada pasien AF yang tidak dapat

konversi secara spontan biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang

melanggengkan.2

1. Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya AF

Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu

remodelling yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun

atrium. Proses remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan

proliferasi dan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat

meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses

remodelling atrium menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot

dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi faktor pemicu sekaligus

faktor yang melanggengkan terjadinya AF. Substrat elektroanatomis ini

memfasilitasi terjadinya sirkuit reentri yang akan melanggengkan

terjadinya aritmia.2

Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga

memiliki peran yang penting dalam patofisiologi AF, yaitu melalui

peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan pemendekan

periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis (vagal).

Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan terangsangnya AF


melalui vena pulmoner (VP), sehingga pleksus ganglionik dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu target ablasi. Namun, manfaat ablasi

pleksus ganglionik sampai sekarang masih belum jelas. 2

Setelah munculnya AF, perubahan sifat elektrofisiologis atrium,

fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu dan

dengan konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Sebuah studi melaporkan

terjadinya pemendekan periode refrakter efektif atrium pada hari-hari

pertama terjadinya AF. Proses remodelling elektrikal memberikan

kontribusi terhadap peningkatan stabilitas AF selama hari-hari pertama

setelah onset. Mekanisme selular utama yang mendasari pemendekan

periode refrakter adalah penurunan (downregulation) arus masuk kalsium

(melalui kanal tipe-L) dan peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium.

Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus, maka periode refrakter

atrium akan kembali normal.2

Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari

setelah terjadinya AF. Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah

penurunan arus masuk kalsium, hambatan pelepasan kalsium intraselular

dan perubahan pada energetika miofibril.2

2. Mekanisme elektrofisiologis

Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya

pemicu (trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis

AF dapat dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan

mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya


substrat. Meskipun demikian, keberadaan kedua hal ini dapat berdiri

sendiri atau muncul bersamaan.2

a. Mekanisme Fokal

Mekanisme fokal adalah mekanisme AF dengan pemicu dari daerah-

daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%) bervariasi dari

vena kava superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista

terminalis (3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall

(8,2%), dan septum interatrium. Mekanisme seluler dari aktivitas fokal

mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan reentri. Vena

pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan

melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode

refrakter yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi

serat miosit.

Pada pasien dengan AF paroksismal, intervensi ablasi di daerah pemicu

yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada

atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan

pelambatan frekuensi AF secara progresif dan selanjutnya terjadi

konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan AF

persisten, daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar

di seluruh atrium, sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi

atau konversi ke irama sinus.2

b. Mekanisme Reentri Mikro (Multiple Wavelet Hypothesis)


Dalam mekanisme reentri mikro, AF dilanggengkan oleh adanya

konduksi beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar

melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama

kali dikemukakan oleh Moe yang menyatakan bahwa AF

dilanggengkan oleh banyaknya wavelet yang tersebar secara acak dan

saling bertabrakan satu sama lain dan kemudian padam, atau terbagi

menjadi banyak wavelet lain yang terus-menerus merangsang atrium.

Oleh karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa menghilang,

sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki Panjang

siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet

mandiri untuk melanggengkan AF.2

Gambar 2.1 Mekanisme elektrofisiologis FA. A. Mekanisme fokal. B.


Mekanisme reentri mikro.

c. Fibrilasi atrium menyulut AF (AF begets AF)

Konsep AF menyulut AF dikemukakan pertama kali oleh Alessie dkk.

Dalam sebuah eksperimen pada kambing. Observasi mereka

menunjukkan bahwa pemacuan atrium dengan teknik pacurentet (burst

pacing) akan menyebabkan AF, yang akan kembali ke irama sinus.


Kemudian bila dilakukan pacu-rentet lagi akan muncul AF kembali.

Apabila proses ini dilakukan terus menerus, maka durasi AF akan

bertambah lama sampai lebih dari 24 jam. Oleh karena itu pada pasien

yang mengalami AF paroksismal dapat berkembang menjadi AF

persisten atau permanen.2,8

3. Predisposisi Genetik

Atrium Fibrilasi memiliki komponen herediter, terutama AF awitan

dini. Selama beberapa tahun terakhir, banyak sindrom jantung bawaan

terkait dengan AF telah diidentifikasi. Sindrom QT pendek dan QT

panjang, serta sindrom Brugada berhubungan dengan supraventrikular

aritmia, termasuk AF. Fibrilasi atrium juga sering terjadi pada berbagai

kondisi yang diturunkan (inherited), termasuk kardiomiopati hipertrofi,

dan hipertrofi ventikel kiri abnormal yang terkait dengan mutasi pada gen

PRKAG. Bentuk herediter lain dari AF berhubungan dengan mutasi pada

gen yang mengode peptida atrial natriuretik, mutasi loss-of-function pada

gen kanal natrium SCN5A, atau gain-of-function pada gen kanal kalium.

Selain itu, beberapa lokus genetik yang dekat dengan gen PITX2 dan
ZFHX3 berhubungan dengan AF dan stroke kardioembolik.2,8

Gambar 2.2 Komponen mayor remodeling atrium yang mendasari


patosifiologi FA.6
E. Klasifikasi

Menurut AHA ( American Heart Association), klasifikasi dari atrial

fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu9:

1. AF deteksi pertama

Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.

Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF

sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.

2. Paroksismal AF

AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode

pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF

jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam

waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.

3. Persisten AF

AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang

dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu

penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali

normal.

4. Permanen AF

AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari.

Pada permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena

dinilai cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.


Klasifikasi AF seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama

lain. Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode

AF paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang AF persisten, atau

sebaliknya. Untuk itu, secara praktis, pasien dapat dimasukkan ke salah

satu kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan.

Gambar 2.3. Klasifikasi AF menurut waktu presentasinya. Fibrilasi atrium


dapat mengalami progresivitas dari paroksismal menjadi persisten, persisten
lama atau permanen. Seluruh tipe AF tersebut dapat merupakan presentasi
awal atas dasar riwayat sebelumnya

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama

ditentukan oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA

tambahan menurut ciri-ciri dari pasien10 :

1. AF sorangan (lone): AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular

lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas

anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60

tahun.
2. FA non-valvular: AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,

katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.

3. AF sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu

AF, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,

hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.

Sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut AF

valvular.

Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF

dapat dibedakan menjadi2:

1. AF dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit

Gambar 2.4. Rekaman EKG Atrial Fibrilasi dengan respon cepat


2. AF dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60- 100x/menit

Gambar 2.5. Rekaman EKG Atrial Fibrilasi dengan respon normal

3. AF dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/ menit

Gambar 2.6. Rekaman EKG Atrial Fibrilasi dengan respon lambat

Menentukan laju jantung dapat menggunakan interval RR. Laju jantung

yang tidak beraturan seperti pada AF, dapat dihitung dengan mengalikan

rerata laju jantung dalam 6 detik (30 kotak besar) dikalikan dengan 10.

Interval RR yang reguler mungkin terjadi apabila terdapat blok

atrioventrikular dengan irama pengganti (escape rhythm) junctional,


subjunctional atau ventrikular. Pada pasien dengan pacu jantung permanen,

diagnosis AF mungkin memerlukan inhibisi sementara dari pacu jantung agar

aktivitas fibrilasi atrium dapat terlihat. Takikardi yang cepat, ireguler, dan

menetap dengan kompleks QRS yang lebar mengindikasikan AF dengan

konduksi melalui jaras tambahan atau FA dengan blok berkas cabang.2

F. Diagnosis

Anamnesis harus dilakukan dengan baik, meskipun tidak semua

pasien dengan AF akan menunjukkan gejala. Gejala khas meliputi; palpitasi,

takikardia, kelelahan, lemah, pusing, dan nafas pendek. Pasien juga dapat

datang dengan gejala yang lebih parah termasuk; sesak napas, nyeri dada, dan

pingsan. Sejak kapan gejalanya dimulai, seberapa sering terjadi dan berapa

lama berlangsung. Nilai tingkat keparahan gejala dan adanya kelainan yang

mungkin menunjukkan penyebab yang mendasarinya (seperti

hipertiroidisme). Tanyakan tentang kegiatan-kegiatan seperti olahraga,

alkohol, atau stres.3 Secara sistematis, penegakan diagnose dilakukan sebagai

berikut:

1. Anamnesis

Spektrum presentasi klinis AF sangat bervariasi, mulai dari

asimtomatik hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat.

Hampir >50% episode AF tidak menyebabkan gejala (silent atrial

fibrillation). Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien

antara lain:
- Palpitasi, umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan

genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.

- Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik

- Presinkop atau sinkop

- Kelemahan umum, pusing

Selain itu, AF juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,

kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme

sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali

terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.2,5

Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap

pasien yang dicurigai mengalami AF harus meliputi pertanyaanpertanyaan

yang relevan, seperti:

- Penilaian klasifikasi AF berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan

frekuensi gejala.

- Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol).

Peran kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.

- Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).

- Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.

- Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.

- Riwayat prosedur ablasi AF secara pembedahan (operasi Maze) atau

perkutan (dengan kateter).

- Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk

berkontribusi terhadap inisiasi AF (misalnya hipertensi, penyakit


jantung koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung

valvular, dan PPOK).2,5

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas

(Airway), pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-

tanda vital, untuk mengarahkan tindak lanjut terhadap AF. Pemeriksaan

fisis juga dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab dan gejala

sisa dari AF.2,5,6

a. Tanda Vital

Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi

oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan

kendali laju yang adekuat pada AF. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi

umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang

melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan

toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia.

b. Kepala dan Leher

Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus,

pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis.

Bruit pada arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan

kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung koroner.

c. Paru

Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung

(misalnya ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi


mengindikasikan adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari

terjadinya FA (misalnya PPOK, asma)

d. Jantung

Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada

pasien AF. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting

untuk mengevaluasi penyakit jantung katup atau kardiomiopati.

Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung

tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan

tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan

adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih

jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan

pada pasien AF.

e. Abdomen

Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang

dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik.

Nyeri kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat

embolisasi perifer.

f. Ekstremitas Bawah

Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari

tabuh atau edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin

mengindikasikan embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat

mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung yang

menurun.
g. Neurologis

Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian

serebrovaskular terkadang dapat ditemukan pada pasien FA.

Peningkatan refleks dapat ditemukan pada hipertiroidisme.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/

penyakit yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit

dikontrol. Satu studi menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I saat

masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan kejadian kardiak yang

lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.6

Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:6

- Darah lengkap (anemia, infeksi)

- Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal

ginjal)

- Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard

sebagai pencetus AF)

- Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki

asosiasi dengan AF. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut

meningkat pada pasien dengan AF paroksismal maupun persisten, dan

menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.

- D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)

- Fungsi tiroid (tirotoksikosis)


- Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)

- Uji toksikologi atau level etanol

b. Elektrokardiogram (EKG)

Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis AF dan

biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat

gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler

dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula. Manifestasi

EKG lainnya yang dapat menyertai AF antara lain:2,6

- Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang

melebihi 160-170x/menit.

- Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar)

Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium 25 setelah siklus interval R-R

panjang-pendek (fenomena Ashman)

- Preeksitasi

- Hipertrofi ventrikel kiri

- Blok berkas cabang

- Tanda infark akut/lama

Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT

dan QRS dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk AF.6

c. Foto Toraks

Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang kadang

dapat ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi

parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).


d. Uji latih atau uji berjalan enam-menit

Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah

strategi kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi).

e. Ekokardiografi

Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah

dalam mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi

transesofageal adalah modalitas terpilih untuk tujuan ini.

Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk:5

- Evaluasi penyakit jantung katup

- Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding

- Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel

- Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)

- Evaluasi penyakit perikardial

Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk :

- Trombus atrium kiri (terutama di AAK)

- Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus

ditunda).6

f. Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging

(MRI)

Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin

diperlukan untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi

seperti CT scan atau MRI seringkali berguna untuk mengevaluasi


anatomi atrium bila direncanakan ablasi FA. Data pencitraan dapat

diproses untuk menciptakan peta anatomis dari atrium kiri dan VP.2

g. Monitor Holter atau event recording

Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk Pedoman

Tata Laksana Fibrilasi Atrium 27 menegakkan diagnosis AF

paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada EKG.

Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat

dalam kendali laju atau kendali irama.2

h. Studi Elektrofisiologi

Studi elektrofisiologi dapat membantu mengidentifikasi

mekanisme takikardia QRS lebar, aritmia predisposisi, atau penentuan

situs ablasi kuratif.2

G. Tatalaksana

Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol

ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan

menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboemboli. Pilihan antara

menurunkan denyut jantung atau irama tergantung oleh jenis AF dan faktor-

faktor lain seperti usia, adanya komorbiditas, dan ada atau tidak adanya

gejala. Uji klinis belum menunjukkan perbedaan yang signifikan antara

pengontrolan denyut jantung atau irama sehubungan dengan tingkat stroke

dan kematian. Akan tetapi ada perbaikan kualitas hidup dilihat dengan kedua

pendekatan pengobatan tersebut.5


1. Kendali Denyut Jantung

Laju ventrikel dapat dikontrol menggunakan beta blocker, calcium

channel bloker (verapamil atau diltiazem) atau digoxin. Pilihan obat untuk

pengendalian laju pada pasien dalam perawatan primer harus diperhatikan

adanya komorbiditas dan juga oleh tingkat aktivitas pasien. Sebagai

panduan, target denyut jantung harus ≤ 80 per menit saat istirahat dan ≤

115 per menit dengan aktifitas sedang.5

Co-morbidity First line Second line Third line Fourth line


No heart
disease
Beta-
Hypertension Calcium
blockers*
channel Digoxin
(not
blockers**
Ischaemic sotalol)
heart disease Amiodarone
Ablation
Metoprolol and pacing
Congestive
or Digoxin Diltiazem may be
heart failure carvedilol considered
Beta-
blockers*
Calcium
(provided no
COPD channel Digoxin
significant
blockers**
reversible
bronchospasm)
Tabel 2.1. Terapi Kendali Denyut Jantung pada Atrial Fibrilasi.5

a. Digitalis

Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan

menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi

lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal


elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini

mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium

yang abnormal.

b. β-blocker

Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf

simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan

denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam

efisiensi kinerja jantung.

c. Antagonis Kalsium

Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung

akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler

melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.

2. Kendali Irama Jantung

Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan

gangguan hemodinamik pada pasien AF. Pasien yang mengalami

hemodinamik tidak stabil akibat AF harus segera dilakukan kardioversi

elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Pasien yang masih simtomatik

dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali laju telah

optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia

intravena atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia

intravena pasien harus dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia

akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial (henti sinus atau jeda sinus) atau
blok atrioventrikular. Obat intravena untuk kardioversi farmakologis yang

tersedia di Indonesia adalah amiodaron.2

Semua pasien yang membutuhkan terapi untuk memperbaiki irama

jantung harus dirujuk ke spesialis jantung. Irama sinus dapat dipulihkan

menggunakan kardioversi listrik atau farmakologis, mis. dengan flecanide

atau amiodarone. AF dapat kambuh setelah kardioversi listrik atau

farmakologis sehingga terapi jangka panjang mungkin dibutuhkan untuk

kontrol irama jantung pada pasien AF.5

Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat

dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,

kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk

mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada

dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi

(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik ( Electrical

Cardioversion).

a. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)

- Amiodarone

- Dofetilide

- Flecainide

- Ibutilide

- Propafenone

- Quinidine

b. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat

logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini

adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai

dengan NSR (nodus sinus rhythm).

c. Ablasi dan modifikasi nodus atrioventikular (NAV)

Ablasi NAV dilanjutkan dengan pemasangan pacu jantung permanen

merupakan terapi yang efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada

pasien AF. Ablasi NAV adalah prosedur yang ireversibel sehingga

hanya dilakukan pada pasien dimana kombinasi terapi gagal mengontrol

denyut atau strategi kendali irama dengan obat atau ablasi atrium kiri

tidak berhasil dilakukan.2

3. Terapi Antitrombotik pada AF

a. Penaksiran Risiko Stroke Dan Perdarahan

Panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien FA harus bersikap

lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke yang umum

sehingga akan mencakup seluruh spektrum pasien FA. Skor CHA2 DS2

-VASc mencakup faktor-faktor risiko umum yang sering ditemukan

pada praktik klinik sehari-hari. CHA2 DS2 -VASc masing-masing

hurufnya merupakan awal dari kata tertentu yaitu Congestive heart

failure, Hypertension, Age ≥75 years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke

history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74

years, Sex Category (female). Riwayat gagal jantung bukan merupakan

faktor risiko stroke, tetapi yang dimaksud dengan huruf ‘C” pada skor
CHA2 DS2 VASc adalah adanya disfungsi ventrikel kiri sedang hingga

berat (Left Ventricular Ejection Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien

gagal jantung baru yang memerlukan rawat inap tanpa memandang nilai

fraksi ejeksi.2,5

Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan

dengan risiko perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan

intrakranial yang bersifat fatal atau menimbulkan disabilitas. Skor

HAS-BLED yang merupakan kependekan dari Hypertension, Abnormal

renal or liver function, history of Stroke, history of Bleeding, Labile

INR value, Elderly, dan antithrombotic Drugs and alcohol telah

divalidasi pada banyak studi kohor berkorelasi baik dengan perdarahan

intrakranial. Evaluasi risiko perdarahan pada setiap pasien FA harus

dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥3 maka perlu perhatian khusus,

pengawasan berkala dan upaya untuk mengoreksi faktor-faktor risiko

yang dapat diubah. Skor HAS-BLED tidak digunakan untuk melakukan

eksklusi pemakaian antikoagulan tetapi sebagai panduan sistematis

dalam menaksir risiko perdarahan dan memikirkan faktor-faktor risiko

yang dapat dikoreksi seperti tekanan darah yang belum terkontrol,

penggunaan aspirin atau non-steroid anti-inflammatory drugs

(NSAIDs), dsb. Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa pada skor

HAS-BLED yang sama, risiko perdarahan intrakranial dan perdarahan

mayor lain dengan pemberian aspirin atau warfarin sama saja.

Penggabungan skor CHA2 DS2 -VASc dan HAS-BLED sangat


bermanfaat dalam keputusan tromboprofilaksis pada praktik sehari-

hari.2,5

Tabel 2.2. Sistem skor CHA2DS2-VASc

Tabel 2.3. Sistem skor HAS-BLED

b. Terapi Antitrombotik
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke

pada pasien FA meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan

antikoagulan baru), dan antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu

trombolitik tidak digunakan untuk prevensi stroke pasien FA. 2

Antagonis vitamin K (AVK) (warfarin atau coumadin) adalah obat

antikoagulan yang paling banyak digunakan untuk pencegahan stroke

pada FA. Antikoagulan Baru (AKB) Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang

bukan merupakan AVK di pasaran Indonesia, yaitu dabigatran,

rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara

menghambat langsung trombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban

keduanya bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.2


BAB III
KESIMPULAN

Atrial Fibrilasi merupakan takiaritmia supraventrikular yang khas

gangguan irama pada jantung dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak

terkoordinasi yang disebabkan karena kerusakan fungsi mekanik pada atrium

jantung yang menyebabkan tidak beraturnya aktivitas atrium. Atrial fibrilasi

ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi

denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. AF Seringkali terdiagnosis secara

tidak sengaja selama medical check up. Deteksi Atrium Fibrilasi dapat dilakukan

dengan bantuan alat Elektrokardiograf. Elektrokardiograf merupakan alat

instrumentasi medis yang digunakan untuk merekam aktifitas listrik pada jantung.

Hasil rekaman elektrokardiograf berupa sinyal biolistrik jantung yang disebut

sebagai sinyal elektrokardiogram. Pada elektrokardiogram (EKG), tidak terdapat

gelombang P sejati, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang

bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya.

Gejala khas meliputi; palpitasi, takikardia, kelelahan, lemah, pusing, dan

nafas pendek. Pasien juga dapat datang dengan gejala yang lebih parah termasuk;

sesak napas, nyeri dada, dan pingsan. Menurut AHA (American Heart

Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu AF

deteksi pertama, paroksismal AF, persisten AF dan kronik/permanen AF. Sasaran

utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama

jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah

adanya komplikasi tromboemboli.


Atrium Fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain

seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes

melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium,

kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK).
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia 2009. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Ed V. Jakarta. Interna Publishing:1612-1614.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2014. Pedoman
Tatalaksana Fibrilasi Atrium. Ed pertama. Jakarta. p.1-27.
3. Rofi'i M. 2018. Identifikasi Fibrilasi Atrium Pada Isyarat Elektrokardiogram
(EKG) Menggunakan Support Vector Machine (SVM). Jurnal Simetris. Vol. 9
No. 1 April 2018
4. Nurhidayah, et al. 2018. Program Deteksi Penyakit Jantung Fibrilasi Atrium
(FA) pada Rekaman Elektrokardiograf (EKG) Melalui Interval RR. Seminar
Nasional
5. Devlin Gerry. 2011. Management of Atrial Fibrillation In General
Practice.BPJ. Issue 39: 23-28.
6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2017. Buku Ajar Kardiovaskular.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI:523-540.
7. Heeringa J, van der Kuip D, Hofman A, et al. Prevalence, incidence and
lifetime risk of atrial fibrillation: the Rotterdam study. Eur Heart J 2006;
27:949-53.
8. Stanley Nattel, Masahide Harada. 2014. Atrial Remodeling and Atrial
Fibrillation: Recent Advances and Translational Perspectives.Journal of the
American College of Cardiology. Volume 63, Issue 22. Pages 2335-2345
9. Wyndham CRC. 2000. "Atrial Fibrillation: The Most Common arrhythmia".
Texas Heart Institute Journal 27 (3): 257-67.
10. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, et al. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for
the Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice
Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001 Guidelines for the
Management of Patients With Atrial Fibrillation): developed in collaboration
with the European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society.
Circulation 2006;114:e257-354.

Anda mungkin juga menyukai