6 Perenungan
6 Perenungan
Satu waktu sang Bhagava sedang berdiam di vihara Nigrodha wilayah kaum Sakya. Kemudian Mahanama dari
suku Sakya mendekati Sang Bhagava, memberikan penghormatan, duduk disatu sisi dan berkata pada sang
Bhagava[1]:
Mahanama: Yang mulia guru, ketika siswa mulia yang telah mencapai hasil dan memahami
pengajaran, apa yang terbiasa Ia lakukan dalam menjalani hidupnya?
Buddha: Mahanama, siswa mulia yang telah mencapai hasil dan memahami pengajaran menjalani
hidupnya dengan terbiasa melakukan[2]:
ATAU
Mahanama: Yang mulia Guru, Kami tinggal pada banyak macam kediaman, Yang mana kediaman
terbaik bagi kami berdiam?
Buddha: Bagus, Bagus, Mahanama, Ini adalah baik Mahanama, keluarga perumah tangga sepertimu
menemui sang Tathagata dan bertanya, "Yang mulia Guru, Kami tinggal di banyak macam kediaman,
yang mana kediaman terbaik bagi kami berdiam?
Dengan keyakinan, Mahanama, kesuksesan terjadi, bukan tanpa keyakinan; Dengan kegigihan
kesuksesan terjadi, bukan dengan kemalasan; Dengan perhatian penuh kesuksesan terjadi bukan
dengan kekacauan perhatian; Dengan keterpusatan konsentrasi kesuksesan terjadi bukan tanpa
terpusatnya konsentrasi; Dengan kebijaksanaan kesuksesan terjadi bukan tanpa kebijakan
6 (enam) Perenungan:
Seseorang yang TIDAK PERNAH menerima pengajaran atau TIDAK mempelajari ajaran atau juga TIDAK
mengalami sendiri hasil praktek ajaran ini (misal: perubahan sikap dan prilaku, pencapaian hasil meditasi),
maka TIDAK MUNGKIN Ia dapat melihat keindahan 3 perenungan di atas, untuk itu, sebaiknya Ia lewati 3
perenungan di atas dan mencoba 3 PERENUNGAN berikutnya.
Kemudian,
Pencapaian sotapanna (sedang dan telah mencapai dan juga pencapaian-pencapaian selanjutnya) dapat dicapai
melalui dua cara yaitu: Saddhanusari dan Dhammanusari.
Saddha (keyakinan) adalah keyakinan yang kuat pada Buddha, dhamma dan sangha. Sehingga ketika membaca
3 perenungan diatas, namun tetap tidak dapat melihat keindahannya, maka ia belumlah dapat disebut
Saddhanusari.
Dhammanusari adalah mereka yang melihat dan mengetahui bahwa segala yang berkondisi tidak kekal (anicca).
Tidak peduli apakah ADA atau TIDAK seorang Buddha di alam ini, maka anicca (tidak kekal), dukkha (tidak
memuaskan) dan anatta (bukan diri/landasan/inti) tetaplah ada. Jika kemudian, anda merasa telah memahami
anicca dan/atau dukkha dan/atau anatta dan/atau melakukan praktek anatta, namun masih tetap tidak dapat
melihat keindahan 3 perenungan di atas, maka anda belumlah melihat dan mengetahui Dhamma. (Tentu saja
tidak serta merta mereka yang dapat melihat keindahan 3 perenungan di atas, lantas dapat disebut saddhanusari
atau dhammanusari, karena seorang yang benar-benar melihat keindahan 3 perenungan di atas, tidak akan ia
melakukan perbuatan-perbuatan akusala/tidak bermanfaat)
Note:
Praktek yang dilakukan adalah dengan menjalankan 5 sila [Sila ke-1: tidak menyakiti mahluk hidup.
Sila ke-2: tidak mengambil yang tidak diberikan. Sila ke-3: menjaga indriya dari perbuatan yang tidak
patut. Sila ke-4: tidak menyatakan yang tidak benar (tidak berdusta, fitna, berkata kasar dan mengadu-
domba). Sila ke-5: tidak memasukan makanan/minuman yang dapat melemahkan kesadaran].
Pada saat tertentu, misal: setiap awal minggu tiap bulan, bulan baru dan bulan purnama, perayaan ulang
tahun, perayaan-perayaan yang dianggap penting lainnya dilakukan dengan menjalankan 8 sila [4 Sila
di atas tetap sama, Sila ke-3 berubah menjadi: Abrahmacariya yaitu menjaga pikiran, ucapan dan
perbuatan dari hal yang tidak senonoh. Sila ke-6: tidak makan setelah tengah hari. Sila ke-7: tidak
menari, menyanyi, melihat tontonan, mendengarkan musik, memakai wangi2an, berhias, menggunakan
perhiasan yang ditujukan untuk menghibur diri dan mempercantik diri. Sila ke-8: tidak tidur dan duduk
ditempat tinggi/besar dan mewah]
Cāgānussati (Perenungan tentang kemurahan hati):
Kemudian, Mahanama, siswa mulia merenungkan kemurahan hatinya sendiri sebagai berikut:
keberuntungan bagiku, bermanfaat besar bagiku, di antara mereka yang tergairahkan noda ketamakan,
Aku berdiam dalam pikiran bebas dari noda ketamakan, melepas dengan kemurahan hati, murni dengan
tangan terbuka tanpa mencela, selalu siap bagi yang membutuhkan, bergembira karena berkesempatan
dapat memberi[8]
Note:
Ini menunjukan pada prilaku gemar memberi sedekah kepada apapun juga (Manusia, binatang dan non
(dengan menyampaikan sedekah ini ada juga bagian mereka)
Dengan keyakinan (saddhāya) yang dimiliki para dewa ini, mereka wafat dari sini, dan dilahirkan
kembali di sana, Akupun memiliki keyakinan yang demikian pula
Dengan moralitas (sīlena) yang dimiliki para dewa ini, mereka wafat dari sini, dan dilahirkan kembali
di sana, Akupun memiliki moralitas yang demikian pula
Dengan pemahaman pembelajaran (sutena) yang dimiliki para dewa ini, mereka wafat dari sini, dan
dilahirkan kembali di sana, Akupun memiliki pemahaman pembelajaran yang demikian pula
Dengan kemurahan hati (cāgena) yang dimiliki para dewa ini, mereka wafat dari sini, dan dilahirkan
kembali di sana, Akupun memiliki kemurahan hati yang demikian pula
Dengan kebijaksanaan (paññāya) yang dimiliki para dewa ini, mereka wafat dari sini, dan dilahirkan
kembali di sana, Akupun memiliki kebijaksanaan yang demikian pula[9]
Note:
Beberapa Deva terlahir di sana adalah karena menjalankan ajaran Sang Buddha. Beberapa lagi TIDAK,
namun karena menjalankan praktek SAMADHI hingga mencapai jhana atau praktek MORALITAS
atau praktek KEMURAHAN HATI atau praktek TIDAK MEMBENCI atau praktek TIDAK MUDAH
MARAH atau praktek TIDAK MENYAKITI atau praktek MENYATAKAN YANG BENAR selama
hidup.
Itulah mengapa perenungan terakhir ini sungguhlah menarik, karena membuat kita dengan sekuat-
kuatnya berusaha menjalankan PRAKTEK KEBAJIKAN selama hidup
(Sang Tathagata atau Dhamma atau Sangha atau moralitas atau kemurahan hati atau 'Keyakinan, moralitas,
pemahaman pembelajaran, kemurahan hati dan kebijaksanaan dari para Deva')
maka pikirannya tidak terobsesi oleh: nafsu (raga), kebencian (dosa), kekeliruan tahu (moha); Pikirannya
menjadi terarah pada:
(Sang Tathagata atau Dhamma atau Sangha atau moralitasmu sendiri atau kemurahan hatimu sendiri atau
para Deva)
Dengan terarahnya pikiran, mahanama, siswa mulia memperoleh (Labhati) pemahaman makna (Atthavedam),
pemahaman ajaran (dhammavedam), sukacita sehubungan dengan pemahaman ajaran (dhammūpasaṃhitaṃ
pāmojjaṃ). sukacita memunculkan kegembiraan (Pamuditassa pīti jāyati), kegembiraan di pikiran
meredakan/menenangkan jasmani (pītimanassa kāyo passambhati), tenangnya jasmani merasakan kebahagiaan
(passaddhakāyo sukhaṃ vediyati), pikiran yang bahagia menjadikan terkonsentrasi (sukhino cittaṃ
samādhiyati)[10]
Ini dikatakan, Mahanama, Siswa mulia yang sukses berdiam dalam kumpulan yang tidak harmonis, hidup tidak
bermasalah dalam kumpulan yang bermasalah, memasuki arus Dhamma dengan mengembangkan perenungan
pada: (Buddha atau Dhamma atau Sangha atau moralitasmu sendiri atau kemurahan hatimu sendiri atau para
Deva)[11]
Demikian Mahanama, seharusnya engkau kembangkan perenungan pada: (Buddha atau Dhamma atau Sangha
atau moralitasmu sendiri atau kemurahan hatimu sendiri atau para Deva) ketika berjalan, berdiri, duduk,
berbaring, sibuk di pekerjaan, bersantai di rumah bersama anak-anakmu[12]
---
Tulisan di atas merupakan ringkasan dari 3 sutta dengan nama yang sama, yaitu "Mahanama Sutta" (AN 6.10,
AN 11.12-13, kerangka utamanya saya gunakan AN 6.10).
Mahanama dalam sutta ini adalah sepupu dari Sidharta Gautama. Sidhartha Gautama melepaskan haknya
sebagai pewaris tahta Kapilavatthu untuk menjadi petapa dan kemudian menjadi Buddha. Pangeran lainnya
termasuk Rahula (Putera Sidharta Gautama) juga memilih menjadi petapa. Menjelang wafatnya raja
Suddhodana, Mahanama ditunjuk menjadi pewaris tahta. Wafatnya Mahanama terjadi di banyak tahun
kemudian, yaitu ketika raja baru Kosala, Vidudabha, menginvasi Kapilavasttu.
Dalam suttanya, setiap masing-masing dari 6 perenungan di atas, seharusnya dilanjutkan dengan kalimat
"Kemudian, Mahanama, ketika siswa mulia merenungkan:..pikirannya tidak terobsesi oleh: nafsu (raga),..",
namun untuk MENYINGKAT, saya letakkan bagian tersebut di akhir perenungan ke-6.
Perenungan ini mengindikasikan perlunya CHECK dan RE-CHECK antara KENYATAAN DIRI vs KONDISI
PERENUNGAN. Ketika ada GAP, maka diperlukan UPAYA memperbaiki diri agar mernjadi SELARAS
dengan perenungannya. Sehingga, perenungan ini juga merupakan ALAT UKUR untuk mengetahui seberapa
jauh keberhasilan praktek diri dan menjadi arah menuju pemasuk arus (sotapanna)
1. Praktek DANA - SILA yang dilakukan dapat berbuah pencapaian kesucian jika ia melihat dan
mengetahui anicca, dukkha dan anatta. Ini berlawanan dengan anggapan beberapa orang bahwa praktek
DANA - SILA tidak dapat mencapai kesucian.
2. Pencapaian jhana ke-1 (vitakka, vicara, piti, sukha, keterpusatan konsentrasi) dapat dicapai melalui
jalur perenungan
3. Pun jika gagal menapak tingkat kesucian, perenungan ini membuka peluang besar bagi yang
melakukannya untuk terlahir kembali di alam brahma dan meneruskan latihan di alam itu. Bahkan
ketika gagal mencapai alam brahma sekalipun, perenungan ini pun masih memiliki kegunaan, CHECK
dan RE-CHECK antara KENYATAAN DIRI vs KONDISI PERENUNGAN, mengakibatkan adanya
upaya diri yang berakibat memperkecil peluang terlahir kembali di kondisi merugi bahkan menderita di
alam bawah.