Anda di halaman 1dari 14

Tugas Laporan Jurnal

Mata Kuliah Metodologi Penelitian


Dosen Prof. Bermawy Munthe
Oleh: Muttaqin

Tugas I
Judul Artikel: Ateisme dalam Perspektif Barat dan Timur
Penulis: Tonny Ilham Prayogo & Hadi Fathurrizka

A. Pengarang atau Penulis Artikel


Artikel ini ditulis oleh dua penulis, Tonny Ilham Prayogo sebagai penulis
pertama, dan Hadi Fathurrizka sebagai penulis kedua.
Tonny Ilham Prayogo adalah alumni KMI Pondok Modern Darussalam
Gontor tahun 2010. Kemudian melanjutkan studi S1 di ISID (Institut Studi Islam
Darussalam) sekarang UNIDA, program studi Perbandingan Agama (sekarang
Studi Agama Agama). Demikian juga dengan S2, ia melanjutkan pada almamater
yang sama, dengan mengambil program studi Akidah dan Filsafat Islam.
Diantara karyanya adalah, ia pernah menggarap riset bersama rektor
UNIDA Gontor, Prof. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A dengan judul “Ibn Rushd on
Mutakallimin’s Idea of God’s Exsistence.” Artikel dari hasil riset ini kemudian ia
presentasikan di International Conference on Science, Technology and
Environment (ICoSTE), yang diselenggarakan oleh Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya di Grand Inna Malioboro, Yogyakarta pada 29-30 Agustus 2019.1
Selain itu, ia juga pernah menjadi pembicara pada Forum Kajian Studi
Agama- Agama (FOKSAA), yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Prodi
(HMP) SAA Unida Gontor. Pada kesempatan ini Tonny berbicara tentang
“Historiografi of Blasphemy: Penistaan Figur Suci dalam 3 Agama Samawi.”
Pengalaman akademis lainnya adalah, Tonny juga menjadi peserta Program
Kaderisasi Ulama (PKU) Unida Gontor pada tahun 2017 selama 6 bulan. Di akhir
program ia menulis sebuah artikel sebagai tugas wajib peserta dengan judul
“Perkawinan Sesama Jenis dalam Prespektif Hukum Positif di Indonesia (Studi
Kasus LGBT).”
Tidak jauh berbeda dengan Hadi Fathurrizka. Ia lulus KMI Gontor pada
tahun 2008, kemudian melanjutkan studi S1 ISID dengan program studi Akidah
Filsafat Islam. Hadi menulis skripsi dengan judul “Filsafat Akhlaq menurut al-
Farabi.” Demikian juga dengan studi S2-nya. Ia melanjutkan di UNIDA Gontor dan
lulus dengan judul tesis “Konsep Kepribadian menurut Miskawaih dan Sigmund
Freud.”
Adapun karya ilmiah yang pernah ia tulis, “Kritik Konsep Ahl al-Bait dalam
Pandangan Syi’ah Imamiyah,” diterbitkan di Jurnal Kalimah vol. 12, no. 1, tahun
2014.
Dilihat dari artikel yang pernah ditulis keduanya memang belum menulis
secara langsung tema ateisme menurut Barat dan Timur. Hanya berkaitan dengan

1
Lihat: http://saa.unida.gontor.ac.id/dosen-saa-icoste/#.XfGhZZMzbIU. Artikel diakses pada 12
Desember 2019. 09:23 WIB.
tema ateisme. Namun program studi yang diambil sudah cukup mendukung dan
bisa dikatakan keduanya layak menulis artikel ini.

B. Isi Pokok atau Garis Besar Artikel


Artikel ini membahas tentang sebuah pandangan filosofis, yaitu ateisme.
Agar lebih fokus, penulis hanya membahas ateisme di Barat dan Timur (Islam).
Selain itu, penulis juga menyampaikan pembuktian terhadap eksistensi Tuhan,
sebagai jawaban, atau kritik terhadap pemikiran ateisme.
Dilihat dari gaya penyajian artikel, dan sumber rujukan yang digunakan,
jenis penulisan artikel ini adalah literatur (library research). Kemudian
menggunakan metode deskriptif, analisis dan kritik.
Pada bagian pendahuluan, penulis memaparkan fenomena umum tentang
ateisme yang ada di Barat sebagai problem akademis. Seperti protes untuk
menghilangkan sloga “In God We Trust” oleh kelompok bernama Freedom From
Religion Foundation (FFRF) kepada Departemen Keuangan Amerika Serikat. Selain
itu, penulis juga mengutip pendapat tokoh, Don Juan, untuk menguatkan bahwa
tema ini layak dan penting untuk ditulis.
Pada bagian selanjutnya, sebagai sub-judul pertama, penulis membahas
tentang Ateisme dalam perspektif Barat. Pembahasan ini diawali dengan
penjelasan definisi ateis. Selanjutnya dijelaskan secara historis tentang gugatan
Barat terhadap agama, dimana dalam perjalanannya ateisme melahirkan
skeptisisme. Untuk menguatkan penjelasan di bagian ini, penulis mengutip buku
Karen Amstrong, “History of God.”
Artikel ini juga menjelaskan bagaimana pemikiran ateistik di Barat
berpengaruh pada disiplin ilmu psikologi. Sebagai sampelnya, penulis mengambil
pemikiran Sigmund Freud yang menegaskan bahwa doktrin-doktrin agama adalah
ilusi.
Setelah memaparkan pendapat dari pendukung ateisme, penulis membuat
analisa kenapa ateisme tumbuh subur di Barat. Dalam pandanganya, penyebabnya
adalah sains telah menjadi produk yang nyata dan berharga karena segala hasilnya
telah melalui serangkaian pengujian dan terbuka untuk selalu dikritik dan
disempurnakan. Alasan ini juga didukung oleh fakta dimana Barat menjauhkan
agama dalam usaha untuk mewujudkan manusia yang rasional. Barat juga
mengajak berpikir untuk berevolusi dengan sains yang bisa diterima oleh akal dan
bukan hanya sebagai khayalan belaka.
Pada bagian sub-judul kedua, dipaparkan tentang ateisme menurut Timur.
Pada paragraf pertama, dijelaskan bagaimana Islam yang menjadikan wahyu
sebagai sumber utama dalam ilmu. Kemudian langsung ditegaskan pada paragraf
kedua bahwa Islam menolak ateisme dan Islam bisa menunjukkan bukti eksistensi
Tuhan yang berbeda dengan makhluk.
Yang menarik, pada bagian selanjutnya penulis menguaraikan bagaimana
sains dalam Islam justru menjadi bukti adanya Tuhan. Dengan kata lain, alam
semesta sebagai objek dalam sains menjadi ayat-ayat dan bukti eksistensi Allah.
Untuk menguatkan itu, penulis mengutip pemikiran dari dua saintis Muslim
terkenal, Abu Rayhan al-Biruni dan Ibnu al-Haytsam.
Pada bagian akhir sub-judul ini, penulis mengutip pemikiran al-Ghazali
tentang akal dan konsep Ibnu Khaldun tentang klasifikasi ilmu. Kemudian
menutup bagian ini dengan kesimpulan bahwa Timur tidak menerima ateisme.
Bahkan Timur justru membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional
sebagaimana yang diungkapkan ulama-ulama terdahulu. Ateisme bahkan dikritik
oleh Islam karena melakukan pemaknaan secara sepihak terhadap agama dan
keyakinan kepada Tuhan.

C. Kelebihan Artikel
Ada beberapa kelebihan dari artikel ini;
Pertama, penyebutan contoh kasus ateisme pada bagian pendahuluan
berupa protes kelompok FFRF terhadap Dapartemen Keuangan Amerika. Isu ini
bisa menjadi daya tarik artikel dan sekaligus meyakinkan pembaca betapa tema ini
menarik untuk dikaji.
Kedua, secara umum penyampaian alur tulisan sudah cukup baik. Dimulai
dengan pendahuluan yang menyuguhkan fakta dan data umum tentang ateisme,
kemudian sub-judul selanjutnya dipecah menjadi ateisme menurut Barat dan
ateisme menurut Timur. Sub-judul ateisme menurut Barat didahulukan sebagai
uraian detail tentang problem akademis yang diangkat dalam artikel ini.
Ketiga, mengutip pendapat-pendapat tokoh yang menurut hemat kami,
pemikiran mereka sudah cukup untuk mewakili pembicaraan tentang ateisme.
Keempat, dari segi gaya bahasa, diksi atau redaksi yang digunakan mudah
dipahami namun tidak lepas dari kaidah-kaidah penulisan artikel ilmiah. Artinya,
penulis tidak terpancing untuk menyajikan artikelnya dalam gaya opini murni,
berita, atau bahkan gaya materi untuk ceramah.
Kelima, latar belakang akademis penulis yang sama-sama alumni dari
program studi filsafat sudah cukup menguatkan bahwa artikel ini ditulis oleh
orang yang memang pakar di bidangnya.

D. Kekurangan Artikel
Adapun beberapa poin kekurangan dari artikel ini adalah;
Pertama, penggunaan istilah Timur dirasa kurang tepat. Karena Timur bisa
jadi bukan hanya Islam. Timur bisa bermakna budaya Cina dan Jepang, dalam hal
ini agama Konghuchu dan Sinto, juga bisa bermakna budaya India, dalam hal ini
agama Budha, Hindu, Jain, Sikh dan sebagainya. Sementara jika dilihat dalam
abstrak dan pada sub-judul Ateisme Perspektif Timur, tidak ada penjelasan
ateisme menurut Timur kecuali hanya perspektif Islam saja. Sehingga, istilah
Timur lebih tepat diganti dengan Islam. Jadi judulnya bisa berubah menjadi
Ateisme dalam Perspektif Barat dan Islam, atau Kritik Islam terhadap Ateisme,
pada bagian pendahuluan dijelaskan, ateisme ini dari Barat dan artikel ini akan
melihat fenomena ateisme ini dari kacamata Islam.
Ketiga, pada bagian abstrak penulis tidak menyebutkan jenis metode
penelitian apa yang digunakan. Hal ini penting agar sisi keilmiahan artikel terlihat.
Sehingga benar-benar berbeda dengan artikel biasa (non-ilmiah), dan sekaligus
menunjukkan sisi pertanggung jawaban ilmiah penulis.
Keempat, pada bagian pendahuluan, hal 102, paragraf ke tiga. Dalam
pandangan kami pada paragraf ini terdapat dua kalimat topik, padahal semestinya
satu paragraf berisi satu kalimat topik. Masih dalam pendahuluan, contoh isu
ateisme (kasus FFRF) lebih efektif jika ditempatkan pada paragraf pertama dari
pendahuluan. Karena bisa menjadi daya tarik bagi pembaca.
Kelima, contoh kasus ateis yang disajikan hanya satu. Akan bertambah
menarik jika menyebutkan contoh kasus lain terkait ateisme terutama yang terjadi
pada beberapa tahun terakhir. Sehingga ada nuansa kebaruannya (novelty).
Keenam, pada sub-judul “Ateisme Perspektif Timur” footnote no 43 hingga
47 penulis terlalu fokus pada akal dan ilmu dalam Islam. Memang, akal dan ilmu
dalam Islam bisa dijadikan jawaban terhadap ateisme, namun melihat jumlah
halaman yang tidak terlalu banyak, akan lebih baik penjelasan pada bagian ini
diringkas.
Ketujuh, jika pada bagian “Ateisme Perspektif Barat” diawali dengan
penjelasan definisi ateisme dalam bahasa Yunani, agar menyeimbangi substansi
artikel, maka idealnya pada bagian “Ateisme Perspektif Timur” semestinya juga
diawali dengan penjelasan definisi ateisme menurut Timur. Sekurang-kurangnya
definisi ateisme dalam bahasa Arab. Maka, seharusnya footnote no 9 yang
menjelaskan tentang lhad, -makna ateisme dalam bahasa Arab- pada sub judul
“Ateisme Perspektif Barat” dipindahkan ke sub judul “Ateisme Perspektif Timur.”
Demikian juga dengan footnote no 30, yang menjelaskan bahwa dalam kamus
bahasa Arab kata ateisme tidak ada dan hanya sekadar disebut dengan lhad oleh
orang Arab zaman sekarang. Footnote itu lebih baik diletakkan pada bagian awal
sub judul “Ateisme Persfektif Timur.” Dan agar lebih menarik lagi, referensi
tentang istilah ilhad ini ditambah. Dalam perspektif kami hal ini justru bisa
dijadikan salah satu daya tarik dari informasi yang disampaikan dalam artikel ini.
maka baik saja jika rujukannya ditambah.
Kedelapan, artikel ini tidak menyinggung ketokohan Friedrich Nietzsche.
Padahal ia dikenal sebagai pencetus ide tuhan telah mati “Gott ist tot.” Ide ini
sangat ateis, dan untuk sebuah artikel yang membahas tentang ateis dalam
perspektif Barat, rasa-rasanya wajib mencantumkan pemikiran Nietzsche tentang
bagaimana ia “membunuh” tuhan.
Kesembilan, artikel ini bicara tentang ateisme dalam perspektif Timur.
Dimana orang Arab zaman sekarang menyebutnya ilhad. Sayangnya rujukan buku
berjudul ilhad sama sekali tidak ada. Padahal buku yang demikian sangat banyak.
Sebagai contoh; Min Târîkh al-Ilḥâd fî al-Islâm karya Abdurrahman Badawi, Naqd
al-‘Aql al-Mulḥid karya Doktor Khalid Kabir Ilal, Naqd al-Tsaqâfah al-Ilḥâdiyah
karya Ahmad Abd al-Rahman Ibrahim, dsb.
Kesepuluh, bagian penutup terkesan membuat rangkuman dari apa yang
telah dipaparkan sebelumnya. Menurut hemat kami, akan lebih baik jika bagian
penutup diisi dengan rekomendasi, saran, dan kemungkinan untuk dijadikan
penelitian lanjutan.

E. Rekomendasi
Deskripsi substansi integrasi dan interkoneksi isi artikel dengan mata
kuliah Metodologi Penelitian.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, artikel ini bicara tentang filsafat
ateisme yang berkembang di Barat. Paham filsafat ini jelas harus ditolak oleh
seorang penganut agama, tidak hanya Islam. Artinya ateis bisa menjadi musuh bagi
agama-agama.
Metodologi penelitian, mendorong seorang peneliti untuk mengembangkan
diskusi tentang praktek sosial keagamaan, juga memetakan dan menguji kelayakan
sebuah penelitian. Dari sini, seorang peneliti Muslim yang akan fokus pada filsafat
ateisme, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan Islam, maka dituntut harus mampu
melahirkan teori, atau setidaknya mengkritik teori ateisme dengan bahan atau
data dari pemikiran ulama terdahulu dan mengkolaborasikannya dengan ulama-
ulama kontemporer. Dalam artikel Tonny dan Hadi seperti pemikiran Imam
Ghazali.

Tugas II
Judul Artikel: Pemikiran Teodisi Said Nursi tentang Bencana Alam: Perpaduan
Pemikiran al-Ghazali dan al-Rumi
Penulis: Dr. Maftukhin, M.Ag

A. Pengarang atau Penulis Artikel


Penulis artikel ini bernama Dr. Maftukhin, M.Ag, berasal dari Pekalongan
yang sekarang menjabat sebagai dosen tetap IAIN Tulungagung. Maftukhin
menyelesaikan studi S1-nya di Lirboyo, kemudian melanjutkan S2 di IAIN Sunan
Kalijaga dan sekalian S3 yang saat itu berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga.
Sementara pendidikan non-formalnya, ia sempat mondok di beberapa
pondok pesantren sebagai berikut. PP Rohmatul Mubtadi’in Pekalongan 1981-
1987, PP Miftahul Ulum Pageraji Purwokerto 1986, PP APIK Kaliwungu Kendal
1985, PP Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo 1987-1992, PP Miftahul Ulum Pare Kediri
1988-1989 dan PP Al-Munawir Krapyak Yogyakarta 1993-1994.
Pengalaman jabatan akademis, ia pernah menjadi Ketua Prodi Ahwalu
Sahsiyah, Sekretaris Jurusan fak. Syari'ah, Sekretaris Progam Pasca Sarjana, dan
setelah itu pada tahun 2008, Maftukhin menjadi Pembantu Rektor 1 di IAI Tribakti.
Baru tahun 2010 terpilih jadi Ketua STAIN.

B. Isi Pokok atau Garis Besar Artikel


Artikel ini berbicara tiga tokoh, al-Ghazali, al-Rumi dan Said Nursi.
Topiknya adalah tentang keadilan Tuhan terhadap bencana alam.
Setelah menjelaskan isu teodisi dan bencana alam pada bagian
pendahuluan, penulis melanjutkan dengan wacana teodisi di kalangan pemikir
Muslim. Pada bagian ini, penulis mengawalinya dengan penjelasan kata syarr yang
terbagi dalam dua kategori. Penulis mengupas makna kata syarr dalam al-Qur’an.
Selanjutnya, penulis mengutip pendapat Mu’tazilah sebagai kelompok
rasional dalam Islam. Dimana menurut kelompok ini, Tuhan Menciptakan
perbuatan manusia termasuk perbuatan kejahatan. Diskusi dilanjutkan dengan
counter dari Ibnu Rusyd yang melawan pernyataan Mu’tazilah. Bahwa unsur
keadilan tidak boleh dilekatkan kepada Tuhan. Manusia berusaha mencapai
kebaikan, sedangkan Tuhan bersifat adil karena kesempurnaan-Nya. Sementara
Ibnu Sina menjelaskan perbedaan dua bentuk kejahatan.
Diskusi semakin menarik ketika penulis memaparkan pendapat al-
Asy’ariah dan Syi’ah. Sayangnya, pendapat dari Syi’ah hanya diambil dari dua
tokohnya saja, Morteza Mutahhari dan Mulla Sadra. Sub-judul ini diakhiri dengan
pernyataan, selain tokoh di atas, ada juga al-Ghozali yang berbeda pendapat
dengan mereka.
Sub-judul selanjutnya, penulis mulai fokus pada pemikiran al-Ghozali
tentang teodisi. Disini penulis memulai dengan pengalaman al-Ghozali sendiri yang
pernah mengalami kegalauan pada autentisitas semua pengetahuan yang telah ia
pelajari. Kemudian ditegaskan bahwa menurut al-Ghozali alam adalah karya Tuhan
paling sempurna. Penjelasan pada bagian ini dituntaskan dengan memaparkan
pendapat al-Ghozali seperti, dunia ini diciptakan dalam bentuk yang sempurna
oleh Penciptanya Yang Maha Sempurna.
Sementara pada sub-judul Teodisi al-Rumi, di awal tulisan penulis sedikit
menceritakan tentang kesengsaran manusia direfleksikan dengan turunnya Adam
ke bumi. Selanjutnya menjelaskan bahwa umat manusia memiliki kapasitas untuk
menjadi bayangan atas sifat dan nama-nama Tuhan yang Maha Sempurna. Penulis
menjabarkan bagaimana al-Rumi dalam melihat bala, seperti penyakit, dan reaksi
seorang manusia terhadap bala itu. Al-Rumi juga berbicara tentang cinta Tuhan
memainkan peran penting dalam proses perkembangan spiritual seseorang.
Sebagai bagian inti dari artikel ini, sub-judul “Teodisi Said Nursi”
ditempatkan pada bagian akhir sebelum penutup. Dalam sub-judul ini tulisan
dimulai dengan kondisi Turki pada abad ke-19, dimana kelompok ateis Turki
menyerang agama dan menentang wujud Tuhan dengan alasan bencana alam dan
kesengsaraan adalah bukti tidak adanya Tuhan.
Serangan itu mendapat respon dari Said Nursi. Dari sinilah, penulis
memulai penjelasan panjang bagaimana konsep teodisi Nursi. Menurut Nursi, apa
yang awalnya terlihat buruk, pada akhirnya bisa saja memberi manfaat yang lebih
besar. Selalu saja ada sisi kemanfaatan dari hal-hal yang buruk. Hingga akhir dari
sub-judul, penulis kemudian menyebutkan sisi-sisi kesamaan pemikiran antara al-
Ghazali, al-Rumi dan Nursi.

C. Kelebihan Artikel
Ada empat kelebihan yang kami dapatkan dari artikel ini:
Pertama, pendahuluan artikel sudah baik. Dimulai dengan mengungkapkan
isu teodisi. Dalam hal ini penulis memulainya dengan memaparkan pendapat John
Hick yang mempertanyakan eksistensi Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha
Kuasa, tetapi dengan sifat-Nya yang Maha itu Tuhan belum mampu menghilangkan
bencana alam dan kesengsaran pada umat manusia. Isu ini kemudian sangat
koheren ketika penulis melanjutkan pada paragraf selanjutnya dengan penjelasan
bagaimana sikap filsuf Muslim terhadap wujud Tuhan dan bencana alam. Sebagai
penutup yang manis di bagian pendahuluan, penulis lantas memancing daya tarik
pembaca dengan pendapat pemikir Muslim, baik yang dulu atau kontemporer yang
pada kalimat terakhir ditegaskan, bahwa artikel ini akan mendiskusikan
bagaimana Said Nursi melihat konsep teodisi.
Kedua, secara umum cara penyajian tulisan sudah cukup baik, mudah
dipahami dan sistematis. Tidak ada pengulangan yang berkesan bertele-tele. Hal
ini juga didukung dengan susunan paragraf dan kalimat yang saling berhubungan
(koheren).
Ketiga, artikel ini mengandung nilai kebaruan (novelty). Hasil penelusuran
dari google menunjukkan, judul artikel dengan kata kunci “Pemikiran Teodisi Said
Nursi” 90% menuju ke artikel yang ditulis oleh Maftukhin. Artinya tema ini
memang belum banyak dibahas.
Keempat, penulis sudah berhasil mencapai tujuan dari tulisan, yaitu
mengungkapkan konsep teodisi Said Nursi yang dipadu dengan pemikiran al-
Ghazali dan al-Rumi. Hal ini terlihat pada bagian sub-judul Teodisi Said Nursi.
Kelima, pada bagian akhir dari penutup, penulis memberi pernyataan
bahwa cara pandang Nursi ini ada kemungkinan ditelusuri dalam riset berikutnya.
Kemudian sedikit memberi penjelasan bagaimana kemungkinan dijadikan riset
selanjutnya itu. Menurut kami, jarang ditemukan artikel yang memberi saran
semacam ini. Sehingga, ini menjadi kelebihan tersendiri dari artikel saudara
Maftukhin.

D. Kekurangan Artikel
Sementara kekuranganya adalah sebagai berikut:
Pertama, rujukan yang digunakan kurang otoritatif. Karena dalam
menjelaskan pemikiran al-Ghazali dan al-Rumi, penulis tidak merujuk ke buku asli
dari dua tokoh ini. Akan tetapi menggunakan rujukan sekunder. Hal ini sangat
terlihat pada footnote 14 hingga 25. Selain itu, pada footnote 13, penulis
mengambil pendapat Mulla Sadra tetapi merujuk ke buku Fazlur Rahman. Lebih
baik jika merujuk langsung ke buku Mulla Sadra.
Kedua, definisi teodisi tidak dibahas lebih spesifik, hanya pada bagian
pendahuluan itupun dengan redaksi “Keadilan Tuhan (teodisi) dipertanyakan”
hanya dalam kurung. Seharusnya istilah ini dibahas secara bahasa dan istilah,
minimal satu paragraf dibagian sub-judul “Wacana Teodisi di Kalangan Pemikir
Muslim,” sehingga lebih bisa memudahkan pembaca dalam memahami wacana
yang diangkat dalam artikel.
Ketiga, masih di footnote 13, dikatakan Syi’ah tidak spendapat dengan al-
Asy’ariyyah. Sementara pendapat yang dikutip hanya dari dua tokoh Syi’ah firqoh
Imam Dua Belas, Morteza Mutahhari dan Mulla Sadra. Padahal, Syi’ah terbagi
menjadi beberapa firqoh. Dengan mengambil dari dua tokoh saja, nampaknya
belum mewakili pendapat Syi’ah secara umum tentang keadilan Tuhan.
Keempat, komponen abstrak yang ideal setidaknya terdiri dari
pendahuluan, tujuan, metode dan hasil. Dalam artikel ini, penulis tidak
menyebutkan metode apa yang digunakan dalam penulisan. Sehingga sedikit
mengurangi kualitas abstrak.
Kelima, pada sub-judul “Wacana Teodisi di Kalangan Pemikir Muslim”
paragraf ke enam, penulis menjelaskan pernyataan Mu’tazilah tentang perbuatan
manusia. Sayangnya dalam paragraf ini tidak dicantumkan, pendapat ini diambil
dari rujukan mana atau buku apa. Dalam pandangan kami, sebuah pendapat, ide
yang diambil dari seseorang atau bahkan mewakili suatu kelompok, sebaiknya
mencantumkan sumber rujukan.
Keenam, pada bagian sub-judul “Teodisi al-Ghazali” paragraf 1-3, penulis
terlalu fokus pada biografi al-Ghazali. Sebaiknya, tiga paragraf ini diringkas, atau
jika dirasa memang perlu cukup dicantumkan dalam footnote.

E. Rekomendasi
Setelah membaca artikel yang ditulis saudara Maftukhin, kami melihat
artikel ini akan lebih berkualitas jika sumber rujukan ditambah dari buku-buku
karya al-Ghazali dan al-Rumi. Sehingga artikel ini kaya dengan rujukan primer.
Secara metodologi, teodisi mengajarkan sebab-akibat, casuality dalam sebuah
musibah, jika direnungkan lebih dalam akan membuat seorang hamba bersyukur.

Tugas III
Judul Artikel: Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika
Penulis: Media Zainul Bahri

A. Pengarang atau Penulis Artikel


Media Zainul Bahri adalah........

B. Isi Pokok atau Garis Besar Artikel


Artikel ini membicarakan tentang kesamaan hubungan mendasar antar
agama-agama yang fokus pada ranah teologi dan etika. Isi atau badan artikel fokus
pada hubungan dasar tentang konsep Tuhan dalam agama-agama, tentang etika,
konsep para pembawa pesan (Nabi) dan diakhiri dengan sebuah sub-judul yang
bernada pertanyaan, “Tuhan atau Manusia yang Gagal.”
Sesuai dengan judulnya, maka pada bagian pertama dari badan artikel
penulis langsung berbicara tentang konsep Tuhan yang diwakili oleh Islam,
Kristen, Hindu, Buddha dan Tao. Islam dan Kristen menjadi satu pembahasan
tersendiri, demikian pula Buddha dan Tao, sementara Hindu dibahas secara
terpisah.
Pada pembahasan Islam dan Kristen, penulis berbicara tentang konsep
monoteisme Tuhan dalam Islam dan Trinitas dalam Kristen. Menurutnya, konsep
Trinitas menjadi pemicu konflik antara Islam dan Kristen.
“Namun, konsep Trinitas, Tritunggal atau Triteis Kristen sulit dipahami (secara
rasional) oleh Yahudi dan Islam. Karena paham Trinitas ini kaum Muslim dan Yahudi
sering berkonflik dengan kaum Kristiani. Islam dan Yahudi sering menuduh doktrin
Trinitas sebagai politeis, dan karena itu tauhid agama Kristen dianggap sudah
menyimpang, sesat dan kufur.”2

Disini penulis berusaha meyakinkan pembaca, sebenarya letak perbedaan


ini pada sudut pandang yang berbeda tentang doktrin tauhid. Menurutnya, Yahudi
dan Islam menganut paham tauhid rasional, sementara Kristen memandangnya
dari sudut mistik, bukan rasio.

2
Media Zainul Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” dalam jurnal
Tajdid, Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014, hal. 259.
Untuk mempertegas hal itu, penulis mengajak pembaca menelaah Trinitas
dari pandangan filosofis-mistis Kristen. Telaah ini diawali dengan sebuah statemen
penegas, bahwa dari awal kaum Kristiani sudah menyakini Tuhan itu Esa. Sebagai
buktinya, penulis mencantumkan beberapa ayat dari Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru.
Selain kutipan ayat, penulis juga mencantumkan pendapat beberapa tokoh
teolog dan sejarah Kristen seperti; Olaf Schumann, B.J. Boland, Kurt Aland, Keith
Ward, Thomas Aquinas, Karl Barth, Karl Rahner, Bambang Noorsena, P. Wahyo,
Geoffrey Parrinder,
Pernyataan tokoh tersebut mengarah pada kesalahpahaman non-Kristiani,
terutama Muslim terhadap konsep Trinitas Kristen. Bahkan dijelaskan juga,
terdapat kritik al-Qur’an terhadap konsep Trinitas yang kurang tepat, sebagaimana
yang tertera dalam surat Maryam.3
Penulis banyak menjelaskan tentang sejarah Kristen di Arabia dan yang
ditemui oleh Nabi Muhammad. Penjelasan itu untuk menegaskan bahwa Kristen
yang selama ini dikritik al-Qur’an bukan Kristen penganut paham Trinitas resmi
yang diakui gereja Romawai dan Konstantinopel, sehingga secara tidak langsung
seolah-olah penulis ingin mengatakan, kritik al-Qur’an salah alamat. Karena yang
dikritik sekte Kristen (sempalan).
Bagian kedua, tentang agama Hindu. Penjelasan di bagian ini tidak
sebanyak dengan bagian sebelumnya. Penulis langsung memulai argumennya
dengan pernyataan bahwa agama Hindu meyakini Tuhan Yang Maha Esa.
Menurutnya, problem dalam Hindu karena adanya konsep Trimurti yang
menyebabkan Hindu dituduh sebagai agama politeis.
Seperti pada bagian sebelumnya, penulis juga mengutip dari beberapa kitab
suci Hindu untuk menguatkan argumen ke-moneteisme-an Hindu. Di antara ayat
yang dikutip adalah; Chandoga Upanishad, IV, 2.1, Rgveda, III, 55.1, Rgveda, VIII, 1.
27, Rgveda, III, 54.8, Upanishad, VI, 11, Veda Smrti Manawa Dharmasastra: 1, 16
dan Veda Srti Bhagavad: I, 1-2. Berdasarkan ayat-ayat ini, penulis berani
menyatakan Tuhan Hindu Maha Esa.
“Dengan demikian, jelas bahwa Tuhan orang Hindu adalah Maha Esa, Maha Tunggal,
Maha Ada, berada dimana-mana, di awal, di tengah, dan di akhir zaman. Ia berada jauh
di luar jangakauan manusia (transenden), namun sekaligus juga dekat dalam diri dan
hati manusia (imanen). Bagi umat Hindu, Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan
kebenaran abadi (ekam sad Brahman), “Dia adalah sumber dari segalanya, kelahiran
dan kematian berada di tangan-Nya” (Rgveda, VIII, 58, 2).”4

Sementara untuk pendapat tokoh, penulis mengutip pernyataan dari I Gusti


Ketut Widana, seorang sarjana ahli (dan beragama) Hindu.
Dari semua pendapat tersebut, penulis menyimpulkan adanya kemiripan
konsep Tuhan antara Hindu, Islam, Kristen, dan Yahudi. Sebagaimana dalam
artikelnya ditulis;
“Jika kita perhatikan tampak dengan jelas bahwa esensi ajaran Hindu tentang
keesaan, keagungan dan kemahakuasaan Tuhan mirip dengan Islam, Kristen, dan

3
Ibid, hal. 268.
4
Ibid, hal. 277.
Yahudi. Kemiripan itu, untuk tidak menyebut kesamaan, terlihat pula pada doktrin
transendensi dan imanensi Tuhan. Bukankah Tuhan yang jauh (transenden) sekaligus
dekat (imanen) juga merupakan ajaran-ajaran teologis agama-agama Semitik?
Keadaan Tuhan yang imanen sekaligus transenden beserta dengan sifat-sifat-Nya
yang “paradoks” seperti Maha Kasih (al-rahmān) sekaligus Maha
Pembalas/Pendendam (al-muntaqim), Maha Lembut (al-Lathīf) dan Maha Pengampun
(al-‘Afuww) sekaligus Maha Pemaksa (al-Jabbār, al-Qahhār), Maha Penimpa
kemudharatan (al-dhārr) dan Maha Megah [Sombong] (al-Mutakabbir), dijelaskan
secara rumit, kompleks sekaligus indah dalam uraian Sufisme Yahudi, Kristen, dan
Islam.
Ajaran Dewa-dewi dalam Hindu sesungguhnya mirip juga dengan nama-nama Tuhan
yang indah (al-Asmā al-Husnā) dalam Islam. Saya katakan mirip, bukan sama, jika
dianalogkan dengan doktrin tentang Dewa. Nama-nama Tuhan dalam Asmā al-Husnā
sekaligus menunjukkan fungsi-fungsi-Nya atau kekuatan-Nya. Fungsi Tuhan sebagai
Yang Maha Kasih dan Maha Damai termanifestasi dalam nama-nama seperti al-
rahmān, al-rahīm, al-lathīf, al-wadūd, al-halīm, al-salām dan lain-lain. Sifat sebaliknya,
yaitu Kekuatan Tuhan sebagai Yang Maha Perkasa, Maha Pemaksa, Maha Penimpa
kemudharatan, dan Maha Pembalas terlihat pada nama-nama al-qahhār, al-jabbār, al-
syadīd, al-muntaqim, al-dharr, al-mudzill dan lain-lain. Seringkali kaum Muslim
berdoa dengan cara memanggil nama-nama Allah itu. Dalam Hindu, Dewa-dewa juga
diyakini sebagai sifat, fungsi atau kekuatan Tuhan. Seperti kekuatan untuk menjaga,
memelihara, dan fungsi kasih dipanggil dengan sebutan Dewa Wisnu dan Dewa-dewa
lain yang memiliki fungsi yang sama. Sebaliknya, Dewa Syiwa adalah panggilan untuk
kekuatan/fungsi Tuhan dalam hal kemadharatan, proses daur ulang (kerusakan) dan
hal-hal lain yang menyakitkan. Dan kaum Hindu-pun dengan suka hati memanggil
nama-nama Tuhan itu dalam berdoa dan beribadah. Bahkan, sifat Tuhan yang imanen
adalah yang lebih disukai umat Hindu dibanding memanggil Tuhan yang transenden.
Karena itulah mereka lebih akrab dengan nama-nama Dewa dibanding dengan
Brahman sendiri Yang Maha Absolut dan sulit dikenali.”

Bagian ketiga Agama Buddha dan Tao. Agama ini tidak membicarakan
Tuhan yang personal tapi meyakini Zat Yang Absolut, Yang Kekal, Yang
Transenden sekaligus Imanen.
Di bagian ini, penulis tidak mengutip dari kitab suci, atau pandangan tokoh
kedua agama tersebut, tapi langsung mengambil kutipan dari pendiri agamanya,
Lao Tzu dan Buddha Gautama. Ia menjelaskan kemiripan kedua konsep Tuhan
dalam agama ini, dimana kedua-duanya sama-sama tidak menyebutkan nama
Tuhan. Lao Tzu menyebut Zat Yang Abadi (the eternal), yang tak bernama, tak
bersifat dan tak berbentuk itu sebagai the One. Sementara Gautama ketika
berceramah di depan para Bhikku mengatakan “Ketahuliah para Bhikku bahwa
ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta,
Yang Mutlak....” keduanya sama-sama tidak memberi nama atau sifat kepada Yang
Mutlak itu. Pendapat lain dikutip oleh penulis dari Majelis Buddha Mahayana
Indonesia. Majelis ini menegaskan bahwa Yang Mutlak atau Yang Tak Dilahirkan
itu tak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Memasuki pada bagian kedua dari badan artikel, penulis memaparkan
tentang etika. Ia menyatakan hampir semua agama besar dan kecil memiliki
kesamaan etika, seperti; etika kepada Tuhan, etika kepada sesama yang lebih tua,
lebih muda, sejajar, kepada makhluk hidup, tumbuhan dan alam, baik secara
umum maupun khusus, konsep mengenai hidup yang mulia, jujur, bersih, santun,
disiplin, kerja keras, konsisten, dan memenuhi anjuran (kewajiban) untuk
menghindari hidup yang tidak bermartabat, hina, kotor, yang dapat menjatuhkan
harkat manusiawi.
Selanjutnya penulis berbicara beberapa kemiripan bahkan kesamaan
antara agama-agama semitik. Dimulai dengan ajaran The Ten Commandements.
Sementara dalam Injil ia mengutip Matius, V: 17-18, berisi khotbah Yesus
menegaskan Sepuluh Perintah Tuhan. Adapun dalam al-Qur’an penulis
mencantumkan surat al-Ikhlas, Luqman 14-15, al-Isra’ 23-40, dan al-An’am 51-53.
Tidak hanya dalam tiga agama tersebut, penulis juga menjelaskan kemiripan dalam
agama Zoroaster yang mengajarkan ajaran etika mengenai “Humata, Hukhata, dan
Hvarsta”: berpikir baik, berkata baik, dan berbuat baik.
Ajaran etika juga sangat ditekankan dalam agama Agama Buddha, Hindu,
Konghucu dan Tao. Penulis menjelaskan dalam Buddhisme ada 8 jalan mulia.
Dalam Konghucu dan Tao penulis mengutip konsep etika yang disebut Hukum
Emas (Golden Rule) yang berbunyi: “Do unto others as you would have them do unto
you” (“Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat
kepadamu).
Pada bagian ketiga dari badan artikel, disini penulis fokus pada konsep para
pembawa pesan (Nabi). Menariknya, ia memulai argumen dari al-Qur’an dan
Hadis. Ia mengutip hadis Nabi; “Kami, golongan para nabi, agama kami adalah
satu,” dan “Para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah dan lain ibu,” dan
“Yang paling berhak kepada Isa putera Maryam adalah aku.”
Menurutnya, di sini ada hal pokok kesamaan tugas para nabi, yaitu
mengajarkan monoteisme dan etika hubungan antar manusia untuk hidup yang
mulia dan bermartabat. Kesatuan tugas itu menciptakan hubungan esensial yang
tak terpisahkan. Untuk menguatkan penjelasan ini, penulis mengutip pendapat
Jalaluddin Rumi. Ia mengatakan, “bahwa para nabi dan para pembawa pesan
ketika mereka membawa lampu Tuhan kepada umat manusia, mereka jelas
berbeda satu sama lain, namun cahaya yang dibawanya adalah sama.” Lantas
mengutip kata dari Rumi sebagai penguatnya.
Dengan modal pemahaman seperti itu, penulis tanpa ragu pada halaman
selanjutnya mengungkapkan pendapat beberapa sarjana Muslim seperti Seyyed
Hossein Nasr. Pendapat mereka, adalah para filosof seperti Plato, Aristoteles dan
lain-lain adalah nabi, begitu pula Zarathustra, Sidharta Gautama, Kung Fu Tze
(Konghucu), Lao Tze adalah para utusan Tuhan. Komentar lain dari Nasr yang
merujuk kepada beberapa komentator Muslim India dan dimuat dalam artikel ini
adalah, bahwa nabi Dzulkifli dalam al-Qur`an adalah Buddha dari Kifl, Kavilawastu,
karena itu ia disebut dzū al-Kifl, dan “pohon arasy” yang disebut dalam surat al-Tin
adalah pohon Bodhi yang dibawahnya Buddha memperoleh pencerahan
(Iluminasi).
Ia juga mencantumkan pendapat dari Komaruddin Hidayat yang
mengisyaratkan, kemungkinan Lao Tze sebagai nabi Luth, meskipun belum
ditemukan suatu referensi tentang itu. Di sini penulis terlihat kurang yakin dengan
statemen ini karena tidak ada satu referensi pun tentang hal ini.
Hal lain yang menarik diperhatikan pada bagian ini adalah ketika penulis
menjelaskan istilah “Nabi” dan “Rasul” yang merupakan istilah Arab dan tidak
mungkin dikenal oleh masyarakat non-Arab. Maka tidak heran jika utusan Tuhan
di India disebut Maharesi atau Resi (Rsi). Disini penulis menegaskan, boleh jadi
pembawa agama di tempat lain adalah utusan Tuhan juga karena mereka memiliki
esensi yang sama.
Bagian terakhir dari badan artikel, penulis berbicara tentang siapa yang
gagal, Tuhan atau manusia. Bagian ini diawali dengan tiga catatan penting.
Pertama, tidak ada agama yang datang dengan membawa ajaran yang “benar-
benar baru” secara keseluruhan. Kedua, banyaknya nabi yang membawa agama-
agama beserta dengan orang-orang suci-bijaksana adalah untuk membagi
Kebenaran Yang Satu menjadi banyak. Ketiga, manusia pada naturnya sendiri
sesungguhnya senang melakukan penyelewengan atau pembangkangan terhadap
aturan-aturan Tuhan.
Sebagai penutup, penulis mengutip pendapat dari Chaim Potok, seorang
Rabbi dan penulis Yahudi Amerika. Di antara pendapat Potok yang dimuat dalam
artikel ini adalah; Tuhan membuat rencana berkali-kali namun gagal. Tuhan
mencipta Adam dan Hawa namun mereka membangkang. Tuhan begitu banyak
membuat rencana dan mengimplementasikannya, tapi Dia sering gagal. Bahkan
hingga saat ini, Dia terus berkonflik dengan makhluk ciptaan-Nya sendiri.
Meskipun pernyataan yang menggelitik ini dicantumkan dalam artikelnya, tetapi
penulis tidak menyatakan apakah ia sepakat sepenuhnya dengan pernyataan
Potok, atau sebaliknya.
Terakhir, bagian penutup. Disini penulis menyadarkan pembaca bahwa
agama pada ekspresi kulturalnya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tapi
secara ontologis, semua agama dan keyakinan sejatinya berasal dari sumber yang
sama, dari Tuhan Yang Esa dan Sama.

C. Kelebihan Artikel
Sejauh penelusuran kami, kelebihan dari artikel ini terdapat pada cara
sistematika pembab-ban, atau penyusunan sub-judul sudah baik. Artinya alur
tulisan dari satu sub-judul ke sub-judul setelahnya tidak membingungkan
pembaca. Meskipun ada beberapa bagian dari sub-judul tersebut yang
penjelesannya terlalu melebar.
Selanjutnya, pemilihan kata (diksi) sarat istilah-istilah ilmiah. Menarik dan
enak dibaca. Penulis juga mengutip dari sumber kitab suci, -terlepas dari
kebenaran isi- tapi dari segi ia mengutip ke sumber agama, itu sudah menjadi
kelebihan tersendiri.

D. Kekurangan Artikel
Ada beberapa catatan untuk artikel ini;
Pertama, artikel ini tidak membahas agama Yahudi. Padahal Yahudi
termasuk salah satu agama besar dunia. Selain itu melihat pada abstrak, penulis
menyatakan pentingnya bahasan ini karena agama-agama yang ada sering terlibat
dalam konflik. Sebagaimana kita lihat saat ini, Yahudi juga salah satu agama yang
memenuhi kategori ini, sehingga melahirkan pertanyaan, mengapa penulis tidak
membahas agama Yahudi?
Kedua, pemilihan kata “perenial” (perennial) sebagai kata kunci sepertinya
kurang tepat. Karena setelah membaca artikel ini, kata ini kurang berperan dan
hanya sedikit dicantumkan oleh penulis dalam artikelnya. Hanya ditemukan 3 kali,
pada bagian kata kunci sendiri (tertulis perennial), di dalam abstrak (perenial),
dan pendahuluan (perenial). Itupun dengan penulisan yang tidak konsisten.
Mestinya, jika kata ini tidak banyak berperan, maka tidak perlu dicantumkan.
Ketiga, pada bagian pendahuluan perlu dijelaskan apa contoh konflik yang
disebabkan perbedaan antara agama-agama. Seberapa besar daya, efek dari
konflik yang ditimbulkan? Sehingga lebih meyakinkan pembaca sisi urgensi dari
artikel ini.
Keempat, pernyataan; “Karena itu, orang-orang Hindu menolak disebut
politeis,” halaman 276, baris 8. Nampaknya pernyataan ini perlu diperhatikan
seksama. Karena pada beberapa literatur tertulis .
“Karena itu, keragaman ras, bangsa, suku bahkan perbedaan ruang dan
waktu meniscayakan adanya perbedaan syariat. Sejauh menyangkut aturan-
aturan rinci, tak mungkin ada ajaran tunggal dan universal yang bisa dipakai di
setiap masa, situasi, dan kondisi.” Hal, 286.
“Karena “pada setiap umat pasti ada utusan” maka beberapa sarjana
Muslim meyakini bahwa para filosof seperti Plato, Aristoteles dan lain-lain
adalah nabi, begitu pula Zarathustra, Sidharta Gautama, Kung Fu Tze
(Konghucu), Lao Tze adalah para utusan Tuhan. Seyyed Hossein Nasr misalnya,
merujuk kepada beberapa komentator Muslim India yang menyatakan
bahwa nabi Dzulkifli dalam al-Qur`an adalah Buddha dari Kifl, Kavilawastu,
karena itu ia disebut dzūal-Kifl,dan “pohon arasy” yang disebut dalam surat al-Tin
adalah pohon Bodhi yang dibawahnya Buddha memperoleh pencerahan
(Iluminasi),” hal 287.
ADA BAGIAN PENTING YG TIDAK DICANTUMKAN SUMBER RUJUKANNYA,
SEPERTI: “Jelas, doktrin resmi Gereja Kristen hanya percaya kepada Tuhan Yang Esa
namun dalam tiga persona, tiga pribadi, tiga oknum atau tiga topeng yang menjadi satu-
kesatuan. Ketiga persona itu adalah Tuhan Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sementara, kritik-
kritik al-Qur`an terhadap Trinitas yang tertera dalam surat maryam misalnya, adalah
keyakinan terhadap Allah, ‘Isa sebagai Tuhan dan ibunya Siti Maryam, bukan Roh Kudus.
Penjelasan al-Qur`an inilah yang dijadikan rujukan oleh mayoritas ulama Muslim. Hal ini
yang menjadi catatan kritis para sarjana dan teolog Kristen bahwa kritik al-Qur`an tersebut
merupakan pandangan teologis yang sangat sederhana—seperti yang dipahami oleh
orang-orang Arab dan Muslim-- dan tidak dialamatkan kepada doktrin Kristen/Gereja
resmi. Dalam catatan sejarah Kristen yang juga ditulis oleh sejarawan Kristen, ada
beberapa sekte Kristen sempalan di Hijaz, di mana Muhammad hidup dan menyebarkan
Islam, yang memang memiliki paham tentang Tuhan Bapa, Anak dan Maryam. Inilah model
Kristen yang menyimpang atau sempalan yang tidak diakui oleh Gereja yang resmi dan
mayoritas umat Kristiani.” Hal. 268 JUGA BAGIAN PENDAHULUAN, TIDAK ADA
RUJUKANNYA.

Pertanyaan besar untuk artikel ini, APAKAH KONFLIK ANTARA AGAMA ITU
SELAMANYA DISEBABKAN OLEH PERBEDAAN? BUKANKAH KONFLIK AGAMA ITU
ADA JUGA DISEBABKAN OLEH KEPENTINGAN POLITIK? DIMANA KONFLIK AGAMA
AKHIRNYA MENJADI BAMPER DEMI KEPENTINGAN SEGELINTIR ORANG DAN
KELOMPOK?

E. Rekomendasi
Niat si penulis baik, agar antarpemeluk agama tidak terjaddi konflik. Tapi
caranya salah. Agama2 itu tidak bisa disatukan, mereka jelas berbeda, dan biarkan
perbedaan itu apa adanya. Yg perlu dibangun adalah toleransi, bukan memaksakan
kehendak, keyakinannya ke orang lain. Maka konsep Islam sudah tepat, lakum
diinukum waliya diin. Justu, antar pemeluk agama harus mengakui kekafiran
pemeluk lain menurut agama mereka. jika tidak, berarti agama yg mereka anut itu
salah. Maka Islam yg demikian kan. Yg berani tegas dan tidak perlu takut jika
dikatakan kafir oleh orang Tao misalkan. Justru sebagai Muslim patut bangga
menjadi kafirnya dalam pandangan orang Tao.

Setelah membaca artikel yang ditulis saudara Maftukhin, kami melihat


artikel ini akan lebih berkualitas jika sumber rujukan ditambah dari buku-buku
karya al-Ghazali dan al-Rumi. Sehingga artikel ini kaya dengan rujukan primer.
Secara metodologi, teodisi mengajarkan sebab-akibat, casuality dalam sebuah
musibah, jika direnungkan lebih dalam akan membuat seorang hamba bersyukur.

Kemungkinan penelitian lanjutan,


Koreksi dan kritik, jika ada kesalahan dan kesilapan, sehingga ada
pembenaran,

Anda mungkin juga menyukai