Anda di halaman 1dari 2

BABAD LONING

Dahulu, desa Loning dipimpin oleh seorang Kuwu (kepala suku). Diyakini, pada
zaman itulah babad alas desa terjadi. Kini, tidak ada yang tahu mengenai siapa saja
yang pernah menjadi Kuwu di desa ini. Masyarakat desa Sadangwetan percaya bahwa
Kuwu merupakan seorang pelarian dari Kerajaan Mataram Yogyakarta. Sebagai
bentuk penghormatan, Kuwu dimakamkan di tanah tertinggi yang ada di desa,
tepatnya di dusun Legok.
Loning merupakan akronim dari Lo yang merujuk pada pohon Lo yang dahulu banyak
terdapat di sepanjang sebuah sungai yang mengalir di tengah desa, dan ning yang
merujuk pada air sungainya yang bening. Sungai tersebut pada akhirnya juga dinamai
sungai Loning. Sayangnya, kini pohon Lo sudah tidak bisa dijumpai di sekitaran
sungai ini, dan air sungainya meskipun masih bening, tapi sudah tidak sebening
dahulu.
Nama Loning berubah menjadi Sadangwetan, yang hingga kini menjadi nama
resminya, pada jangka waktu pasca musibah kebakaran melanda kawedanan Sadang.
Begitu juga dengan Sadangkulon, yang awalnya bernama Sadang, kala itu berubah
menjadi Sadangkulon.
Kepala desa pertama setelah masa Kuwu adalah Kertadrana, seorang playon sama
seperti Kuwu, dari Yogyakarta. Di waktu yang sama, Anggawangsa menjadi
pemimpin di desa Sadang.
Sejak awal terbentuknya desa, masyarakat Loning hidup dengan bertani, baik sebagai
tani (petani) maupun sebagai ode (buruh tani). Kehidupan pertanian di wilayah
Loning berlangsung dengan sangat baik. Meski petak lahannya sempit, sawah di desa
ini bisa mengalami dua hingga tiga kali masa panen tiap tahunnya. Ini dikarenakan
tanahnya yang subur dan didukung oleh salur irigasi yang selalu mengalir.
Di wilayah Loning, terdapat tempuran (pertemuan) tiga aliran sungai. Pertama, sungai
Lukulo yang airnya keruh kecoklatan dan hangat, bersumber dari mata air di daerah
Wonosobo. Kedua, aliran sungai Loning yang airnya selalu jernih serta suhunya lebih
dingin, berasal dari mata air Curug Pletuk, Pesangkalan, Banjarnegara. Ketiga, sungai
Kalitengah, bersumber di wilayah desa Kedunggong. Ketiganya merupakan jantung
irigasi desa.
Suatu ketika, terjadi perselisihan antara Kertadrana dan Anggawangsa. Hal tersebut
dikarenakan Anggawangsa ingin menguasai wilayah kekuasaan Kertadrana, yang kala
itu menguasai irigasi.
Setelah perselisihan tak kunjung menemui titik terang, Kertadrana berjalan kaki
menuju satu titik di antara kedua desa, kemudian menancapkan tombak dan bersila di
atas tombak tersebut. Bekas tancapan tombak tersebut pada akhirnya menjadi batas
desa Sadangwetan dan Sadangkulon hingga kini.
Melihat kesaktian Kertadrana, Anggawangsa pun bersiasat menjodohkan Kertadrana
dengan kakak perempuannya, Naya Diwangsa. Kertadrana pun mengiyakan, dan pada
akhirnya, salur irigasi bisa mengairi persawahan di Sadangkulon, meskipun pintu
airnya masih dikuasai Sadangwetan. Setelah meninggal, Kertadrana beserta istrinya
dimakamkan di dusun Karangtengah.
Sejak zaman kepemimpinan Ketradrana, desa Sadangwetan, sudah memiliki empat
sub-wilayah yang kini dikenal sebagai dusun Krajan, Karangtengah, Legok, dan
Tungku.

Anda mungkin juga menyukai