Anda di halaman 1dari 9

Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017

Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

Etika dan Akuntabilitas Sektor Publik

Ethics and Accountability of Public Sector

Febrie Hastiyanto
Perencana Muda Bappeda dan Litbang Kabupaten Tegal

Abstrak
Relasi antara birokrasi (atau administrasi publik) dengan politik dalam pemerintahan
(governance) bersifat komplementer. Bahkan ilmu administrasi publik lahir sebagai respons
terhadap perilaku politik dalam pemerintahan. Ilmu Administrasi Publik lahir dari kejengahan
Woodrow Wilson Guru Besar Ilmu Politik Amerika Serikat terhadap perilaku politik Presiden
Amerika ke-7 Andrew Jackson (1767-1845). Sesaat setelah terpilih Jackson mengganti semua
jabatan birokrasi dengan orang-orang dari partainya. Kondisi ini menyebabkan birokrasi tidak
netral yang berpotensi menyebabkan salah urus negara (Thoha, 2006: 85). Artikel ini
membahas mengenai etika dan akuntabilitas sektor publik.
Kata kunci: Akuntabilitas, Birokrasi, Etika

Abstract
The relationship between bureaucracy (public administration) and politics in government
(governance) is complementary in nature. Even public administration science results from the
response to political behavior in government. Public Administration science was born from
reluctance of Woodrow Wilson, An American Professor in Political Science, to political
behavior of the 7th President of America, Andrew Jackson (1767-1845). Soon after being
elected, Jackson replaced all bureaucratic positions with those from his party. It is this
condition that results in non-neutral bureaucracy potentially resulting in state mismanagement
(Thoha, 2006: 85). This article discussed ethics and accountability of public sector.
Keywords: Accountability, Bureaucracy, Ethics

A. Latar Belakang Pola Jacksonian ini justru lebih


Wilson menulis gagasannya secara ilmiah mendekatkan birokrasi pada nepotisme,
di jurnal Political Science Quarterly edisi kolusi dan korupsi (Effendi, 2006: 56-57)
Juli 1887 bertajuk The Study of Public meskipun bisa jadi Jackson bermaksud
Administration. Wilson yang dikemudian ingin memperkuat birokrasinya dengan
hari menjadi Presiden Amerika Serikat menempatkan orang-orang yang berada
melakukan kritik terhadap pengelolaan dalam kliknya ke dalam posisi-posisi
negara yang diadopsi dari kebijakan strategis di pemerintahan. Konsep yang
Jackson yang mengelola Amerika Serikat hendak dibangun Wilson adalah netralitas
menurut sistem kroniisme (spoil system). birokrasi terhadap politik. Dalam struktur
75
Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017
Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

pemerintahan demokratik modern terdapat terhadap birokrasi dianggap sebagai


dua struktur yang memiliki karakteristik pelanggaran etika birokrasi. Bahkan
dan kewenangan berbeda. Struktur Wilson setelah kemudian menjadi Presiden
pertama adalah pejabat negara sebagai AS ke-28 mengeluarkan Undang-Undang
representasi pemerintah (government) dan yang dikenal sebagai Pendleton Act yang
sekaligus negara (state), sementara menyatakan setiap upaya partai politik
struktur kedua adalah aparatur birokrasi untuk menjadikan birokrasi pemerintahan
yang membantu tugas-tugas pejabat negara sebagai buiding block bagi partainya
melaksanakan konstitusi yang telah dianggap sebagai tindakan ilegal (Thoha,
disusun bersama antara pemerintah 2006: 85). Dari uraian singkat tersebut
(executive) dan lembaga perwakilan rakyat kajian ini dapat ditarik perumusan masalah
(legislative) sebagai representasi yang akan dikaji dalam penelitian yaitu
masyarakat (society). Ditinjau dari proses bagaimana karakteristik etika dan
rekrutmennya, pejabat negara umumnya akuntabilitas sektor publik di Indonesia.
dipilih melalui Pemilihan Umum atau
ditunjuk oleh kepala negara, sementara B. Metode Penelitian
aparatur birokrasi diangkat setelah Penelitian ini merupakan penelitian
dianggap memiliki kompetensi tertentu. kualitatif dengan menggunakan metode
Aparatur birokrasi membangun kariernya studi kepustakaan. Menurut Miles dan
dalam pemerintahan secara profesional Huberman penelitian kualitatif merupakan
berdasarkan sistem meritokrasi (merit penelitian yang mendeskripsikan
system). Dalam bahasa Djowadono (2006, penjelasan, alur peristiwa secara
2) pejabat negara sebagai representasi kronologis, dan sebab akibat dari obyek
“negara” dan aparatus birokrasi yang yang diteliti (Miles dan Huberman, 1992).
melaksanakan fungsi administrasi publik Sementara studi kepustakaan merupakan
dibedakan menurut kewenangannya. Bila penelitian dengan menggunakan data
aparatur birokrasi menjadi pelaksana sekunder yang dapat diperoleh dari
kebijakan, pejabat negara yang dipilih literatur, arsip media massa maupun
secara politik memiliki peran lebih sebagai dokumen-dokumen (Moleong, 2002).
pengambil keputusan (decision making)—
meskipun pada praktiknya aparatur C. Landasan Teori
birokrasi membantu mempersiapkan Secara sederhana etika (ethics) dapat
rumusan-rumusan keputusan yang akan dipahami sebagai seperangkat sistem nilai
diambil oleh pejabat negara dalm bentuk terhadap sesuatu yang dianggap baik,
naskah akademik atau rancangan seharusnya dan dengan demikian menjadi
keputusan. pedoman perilaku dalam masyarakat. Rohr
(dalam Holbrook dan Meier, 1993: 29)
Birokrasi yang mempengaruhi politik mendefiniskan etika birokrasi sebagai
secara berlebihan, atau dominasi politik perilaku yang mencerminkan keadilan,
75
Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017
Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

kejujuran dan kesempatan yang sama b. Munculnya teori pembuatan


dalam kehidupan. Masih menurut Rohr, keputusan yang memungkin birokrasi
perilaku etis juga bersifat situasional sebagai bagian integral sistem
bergantung pada kondisi dan tempat kenegaraan untuk memproduksi
(lingkungan) seseorang berinteraksi. keputusan. Keputusan-keputusan yang
Meski demikian perilaku birokrasi ilegal diterbitkan birokrasi dan menyangkut
tidak dilakukan secara institusional hajat hidup orang banyak sudah
meskipun perilaku tersebut menggejala selayaknya mempertimbangkan
pada banyak aparatur birokrasi—atau aspek-aspek etis agar keputusan yang
dalam bahasa kita sehari-hari disebut diambil dapat menunjukkan wajahnya
“oknum.” yang manusiawi dan tidak hitam-
putih.
Kebutuhan etis dalam birokrasi setidaknya c. Terjadi serangan balik budaya, yakni
disebabkan oleh kebutuhan untuk kritik terhadap state of the art
mewujudkan birokrasi yang (berkinerja) administrasi publik yang dianggap
baik. Birokrasi yang dilingkupi situasi tidak manusiawi, terlampau
tidak etis cenderung menunjukkan perilaku teknokratik, impersonal dan tak
yang patologis seperti menutup diri, kaku, berwajah.
angkuh, jauh dari warga, lamban, boros
dan tidak efektif. Merton (dalam Makmur, Sementara Titus (dalam Makmur, 2003:
2003: 78) menyebutnya sebagai 78) menyebutkan argumentasi bahwa etika
dysfunction, sementara Crozier (dalam perlu menjadi spirit code of conduct bagi
Makmur, 2003: 78) menyebutnya sebagai birokrasi karena:
malady of bereaucracy, sedangkan a. Etika diperlukan sebagai metode untuk
Wibawa (2011, 25) menyebutnya sebagai menemukan cara yang benar dalam
“ketidakbertanggungjawaban yang pelaksanaan kehidupan berbangsa,
terorganisir.” b. Etika diperlukan sebagai kode moral
dalam masyarakat meliputi prosedur,
Henry (dalam Makmur, 2003: 77) prinsip dan aturan perilaku.
menyebut kebutuhan etika birokrasi c. Etika dapat mendorong manusia
disebabkan oleh tiga situasi, yakni: menuju kesejatian hidupnya, yakni
a. munculnya dikotomi yang semakin perilaku yang didasarkan pada nilai-
tegas antara birokrasi (administrasi nilai kebaikan universal.
publik) dengan politik yang d. Sistem etika juga tetap perlu dikritik
melahirkan perspektif baru manusia secara wajar, agar nilai-nilai etis dapat
sebagai homo administratikus dan berkembang kompatibel (selaras)
homo ethicus di samping persepektif menyesuaikan perkembangan zaman,
sebagai homo economicus dan zoon
politicon yang lebih dulu dikenal.
76
Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017
Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

Pertanyaannya kemudian, bagaimana etika 2003: 18) merupakan tipe birokrasi ideal
menjiwai pelaksanaan administrasi publik? yang menerapkan prinsip-prinsip etika.
Secara ringkas, menurut The Liang Gie Birokrasi Weberian memiliki karakteristik
(Makmur, 2003: 80) asas-asas pokok utama, yakni:
dalam sistem nilai (etika) administrasi a. Terdapat pembagian tugas (divison of
modern harus memuat: labour) dan deskripsi tugas (job
a. Aspek tanggung jawab description) yang jelas,
b. Aspek pengabdian, b. Terdapat hirarkhi dalam organisasi (the
c. Aspek kesetiaan, principle of hierarchi)
d. Aspek persamaan, c. Terdapat system kerja yang baku
e. Aspek kepantasan. (system of rules)
Melengkapi perspektif Gie, perspektif d. Kinerja pegawai didasarkan pada spirit
Waldo (dalam Makmur, 2003: 81) netral dan impersonal (formalistic
terhadap asas etis administrasi publik impersonality; sine ira et studio).
dapat menjadi pedoman perilaku birokrasi. Netralitas birokrasi menurut Weber
Perspektif Waldo tersebut adalah: merupakan aspek utama pembentukan
a. Kepatuhan terhadap konstitusi etika birokrasi, yakni birokrasi yang
b. Kepatuhan terhadap hukum bekerja secara profesional.
c. Kepatuhan terhadap bangsa dan Negara e. Terdapat sistem karier bagi pegawai
d. Kepatuhan terhadap demokrasi (carier system), di mana perekrutan
e. Kepatuhan terhadap norma birokrasi- pegawai berdasarkan pada system
organisasi meritokrasi (merit system) sesuai
f. Kepatuhan terhadap profesi dan kompetensi yang dimiliki masing-
profesionalisme masing pegawai.
g. Kepatuhan terhadap famili dan teman
h. Kepatuhan terhadap dirinya sendiri Namun birokrasi Weberian—meskipun
i. Kepatuhan terhadap kolektivitas ideal—perlu diimplementasikan secara
j. Kepatuhan terhadap kepentingan umum hati-hati. Sistem administrasi yang
k. Kepatuhan terhadap humanitas dan terlampau efektif justru akan menghambat
dunia pembangunan, karena birokrasi yang kuat
l. Kepatuhan terhadap agama atau Tuhan. cenderung menyebabkan pranata sosial
politik yang lain melemah. Intervensi
D. Pembahasan pemerintah dalam banyak bidang
Birokrasi macam apa yang mampu pembangunan (misalnya ekonomi,
melaksanakan prinsip etis dalam pola pertanian, industri, kelautan, kehutanan)
kerjanya, menjadi diskusi yang menarik dapat menumpulkan partisipasi kelompok
sehingga teoretikus adminsitrasi publik masyarakat (society) dalam pembangunan.
merumuskan bermacam-macam metode. Sistem administrasi yang dominan
Konsep birokrasi Weber (dalam Makmur, cenderung menghambat kebebasan dan
77
Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017
Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

melahirkan sistem yang bersifat etatis. Hal tergelincir menjadi birokrasi yang
ini oleh Bryant dan White (dalam Effendi, sewenang-wenang dan korup (Thoha,
2006: 61-62) disebut sebagai the paradox 2006: 76). Akibat lemahnya kontrol rakyat
of development administration. pula, maka birokrasi akan senantiasa
berorientasi pada kekuasaan (power
Dengan bahasa yang lain, Thoha (2006, driven). Dalam formulasi dan
83) menyebut bahwa kekuasaan birokrasi implementasi pembangunan maka aspirasi
yang besar dikombinasikan dengan sistem negara lebih didahulukan ketimbang
pemerintahan feodal dan sentralistik akan aspirasi publik. Celakanya, yang disebut
melemahkan kontrol masyarakat (the sebagai “negara’ adalah sekelompok elite
governed). Apabila mekanisme kontrol yang berkuasa—yang seringkali cara
publik tidak berjalan, maka demokrasi untuk memperoleh kekuasaan dilakukan
dalam pemerintahan menjadi sulit secara tidak demokratis. Birokrasi akan
diwujudkan. Sistem pemerintahan yang berpihak pada elite yang akan semakin
tidak demokratis dalam perspektif ilmu menjauhkan birokrasi dengan demokrasi
administrasi modern dianggap sebagai dan tata pemerintahan yang baik (good
sistem pemerintahan yang tidak berpihak governance) yang diidealkan.
kepada rakyat. Padahal, berpihak kepada
rakyat tidak saja menjadikan tindakan Untuk mewujudkan tata pemerintahan
pemerintah disebut sebagai tindakan etis yang baik (good governance) dengan
tetapi juga menjadi sebab mengapa negara mendorong terwujudnya etika birokrasi
dan pemerintahan dibentuk. dan partisipasi kelompok masyarakat sipil
(civil society), baik Effendi maupun Thoha
Dalam kaitannya dengan politik, birokrasi merumuskan alternatif solusi yang
yang kuat dan melakukan aliansi jahat menarik untuk didiskusikan.
dengan politik juga sama buruknya dengan Effendi (2006, 66) menyebutkan bahwa
birokrasi yang etatis. Perselingkungan reformasi sektor publik akan mendorong
birokrasi-politik akan mendorong terjadi birokrasi bergerak menuju kondisi
salah urus birokrasi, birokrasi asyik demokratis. Reformasi sektor publik
dengan dirinya sendiri dan birokrasi dilakukan dengan sejumlah cara, yakni:
cenderung akan mempertahankan status a. Selain berorientasi pada pencapaian
quo dengan segala cara (Effendi, 2006, pembangunan (ekonomi) dan stabilitas
62). Kejumudan kehidupan berbangsa politik, perlu dibuka ruang partisipasi
dengan demikian dimulai. publik (society) seluas-luasnya.
Paradigma pembangunan seharusnya
Lemahnya kontrol rakyat terhadap diubah dari crisis politics menuju
birokrasi pemerintah akan menjadikan interest poilitics.
birokrasi sebagai kerajaan tanpa kendali. b. Reformasi sektor publik diarahkan bagi
Birokrasi otoritarian akan mudah terwujudnya desentralisasi, deregulasi,
78
Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017
Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

partisipasi masyarakat, penciptaan dibatasi oleh periode kekuasaan tertentu


sistem pemerintahan yang semakin (umumnya 5 tahunan) sementara masa
terbuka serta peralihan dari pengabdian birokrasi dibatasi oleh masa
otoritarianisme birokrasi (bureaucratic kerja (hingga pensiun). Birokrasi harus
authoritarianism) menuju otonomi bersikap netral agar selalu dapat bekerja
demokrasi (democratic autonomy). sama dengan kekuasaan politik yang
c. Menata ekonomi nasional agar tujuan sedang berkuasa.
pembangunan dapat dicapai, yaitu
peningkatan kualitas hidup, pemerataan Selain itu Thoha (2006, 90-92)
kesempatan berusaha meliputi proteksi menyebutkan sejumlah perubahan
terhadap usaha kecil, menengah dan paradigma yang perlu dilakukan birokrasi
koperasi. agar demokratisasi birokrasi dapat
terwujud. Paradigma-paradigma tersebut
Sementara Thoha (2006: 83-85) adalah:
merumuskan formulasi untuk mewujudkan a. Perubahan orientasi manajemen
birokrasi yang etis dan demokratis, yakni pemerintahan yang berorientasi negara
dengan mendorong terwujudnya netralitas menjadi berorientasi pasar (market),
birokrasi. Jika birokrasi memihak pada b. Perubahan orientasi manajemen negara
kekuatan politik tertentu maka birokrasi yang otoritarian menjadi egalitarian dan
tidak bersikap independen, dan itu artinya demokratis.
ia menjadi tidak demokratis. Partai politik c. Perubahan paradigma dari sentralisasi
perlu dijauhi oleh birokrasi karena menjadi desentralisasi dan otonomi.
menurut Thoha menurut pengalaman d. Perubahan paradigma pengelolaan
empiris di negara-negara demokratis hanya negara dari hanya menekankan pada
memiliki motivasi tunggal: menguasai batas maupun aturan yang berlaku pada
pemerintahan. Latar belakang profesional suatu negara menuju tipe masyarakat
dan pengalaman antara partai politik dan global yang boundaryless organization,
birokrasi berbeda sehingga diantara e. Perubahan paradigma dari a low trust
keduanya cenderung tidak mungkin dapat society ke arah a high true society yakni
bekerja sama dalam konteks yang positif. usaha menumbuhkan kepercayaan
Birokrasi terbiasa bekerja secara masyarakat terhadap pemerintahnya
professional, memiliki kompetensi khusus, sehingga masyarakat bersedia
sistem meritokrasi sementara partai politik berpartisipasi aktif dalam
terbiasa bekerja untuk mempengaruhi pembangunan.
bahkan merebut kekuasaan yang meskipun
dilakukan secara demokratis berbeda Sementara itu, bila paradigma pengelolaan
perspektif dengan cara kerja birokrasi. negara hendak diarahkan pada konsep new
Netralitas juga perlu dilakukan birokrasi public management untuk lebih banyak
karena masa kekuasaan partai politik memberikan pelayanan kepada publik,
79
Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017
Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

birokrasi menurut Komisi Asosiasi dianggap sebagai pelanggaran tertinggi


Pemerintah Kota untuk Penyederhanaan karena etika adalah pembentuk hukum.
Administrasi (Kommunale
Gemeinschaftsstelle fuer Verwaltung Penghormatan terhadap nilai-nilai etika
svereinfachung / KGSt)—komisi yang akan menuntun birokrat dalam mengambil
menerapkan Neues Steuerungsmodell keputusan untuk berpihak kepada
(NSM) sebagai NPM-nya Jerman—harus kebenaran. Bahkan Plato menyebut sistem
tampil sebagai “perusahaan jasa” yang pemerintahan yang ideal adalah sistem
efisien, ramah dan cepat (Blanke, Kissler pemerintahan aristokratik (Makmur, 2006:
dalam Samodra, 2011: 25) melalui 77). Sistem pemerintahan aristokratik
strategi: merupakan pemerintahan yang dipimpin
a. wewenang politik (parlemen kota) dan oleh sekelompok cerdik cendekia yang
birokrasi (walikota dan jajarannya) memahami filsafat dengan baik. Filsafat,
dibatasi secara jelas dalam suatu sesuai akar katanya philos (cinta) dan sofia
kontrak, (kebijaksanaan) akan mendorong birokrat
b. tanggungjawab terhadap sumberdaya untuk bertindak bijaksana. Dengan
dan personalia didesentralisasikan— bertindak bijaksana maka kebijakan
sudah barang tentu tetap dibarengi (policy) yang dihasilkan birokrasi akan
dengan kontrol dan pengendalian, sekaligus menjadi kebijaksanaan
c. kinerja dikendalikan melalui (wisdom). Pemerintahan aristokrat yang
pendefinisian produk, analisis biaya- “otoritarian namun tetap bijaksana” juga
hasil, penganggaran dan manajemen disebut sebagai pemerintahan yang
kualitas yang berorientasi warga. verlicht despot (Djojowadono, 2006: 4).

E. Penutup Di samping segala prosedur pengawasan


Perilaku etis oleh birokrasi merupakan yang melekat pada birokrasi, pada
sesuatu yang tak dapat ditawar lagi. Salah akhirnya pengawasan melekat dalam
satu praktik tidak etis yang dilakukan dirinyalah yang akan menuntun birokrasi
birokrasi adalah berselingkuh dengan untuk bertindak sesuai harapan
politik. Politisasi birokrasi atau birokrasi masyarakatnya (society). Pengawasan
yang politis menurut Pendleton Act disebut melekat dalam institusi birokrasi tersebut
sebagai tindakan melanggar hukum. Hal adalah nilai-nilai etis dan pengetahuan
ini dapat dimaklumi, karena menurut filsafat, yakni pengetahuan yang menuntun
perspektif ilmu hukum, hukum disusun seseorang untuk memahami dan bertindak
berdasarkan sistem nilai (etika) yang bijaksana. Situasi ideal ini memang nyaris
berlaku dalam masyarakatnya. Dengan utopis. Namun dalam setiap zaman
demikian, pelanggaran hukum sekaligus manusia selalu berusaha bergerak menuju
juga dianggap sebagai pelanggaran etika. titik utopis ini. Sesuatu yang utopis bukan
Pelanggaran etika menurut perspektif ini, tidak mungkin diwujudkan. Manusia
80
Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017
Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

kemudian menggantungkan harapannya Wibawa, Samodra. 2011. Dari Birokratis


pada nilai-nilai utopis sembari terus Menjadi “Biro Jasa”: Contoh Kota
memperbaiki dirinya—yang dalam Jerman. Proceeding Simposium
konteks ilmu adalah usaha Nasional Otonomi Daerah 2011.
menyempurnakan epistemologinya agar Lab. Ane FISIP Untirta: Banten.
dapat menjadi aksiologi bagi kemanusiaan.

Daftar Pustaka
Djojowadono, Soempono. 2006.
Pembinaan Administrasi Negara
sebagai Bagian dari Pembangunan
Nasional Indonesia dalam Dari
Administrasi Negara ke Administrasi
Publik. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
Effendi, Sofian. 2006. Revitalisasi Sektor
Publik Menghadapi Keterbukaan
Ekonomi dan Demokratisasi Politik
dalam Dari Administrasi Negara ke
Administrasi Publik. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Holbrook, Thomas M dan Kenneth J.
Meier. 1993. Politics, Bureaucracy
dan Political Corruption: A
Comparative State Analysis dalam
Ethics and Publik Administration
editor H. George Frederickson, M.E.
Sharpe: New York dan London.
Makmur, M. 2003. Dasar-Dasar
Administrasi Publik dan Manajemen
Publik. FIA UB: Malang.
Thoha, Miftah. 2006. Demokrasi dalam
Birokrasi Pemerintah: Peran
Kontrol Rakyat dan Netralitas
Birokrasi dalam Dari Administrasi
Negara ke Administrasi Publik.
Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.

81
Spirit Publik Volume 12, Nomor 1, Oktober 2017
Halaman 75-82
P-ISSN. 1907-0489 E-ISSN 2580-3875

82

Anda mungkin juga menyukai