Dan
DISUSUN OLEH
1. BAMBANG HIRAWAM
2. BASARUDIN
3. SALMAN PARIS
4. DEDI IRAWAN
1
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
Contoh Pilihan Etika Terapan Dalam Administrasi Negara
Humanisme radikal tidak hanya memberikan pedoman kepada para pelaksaan administrasi
negara, didalam pedoman kepada para pelaksanaan administrasi negara, didalam
merumuskan suatu keputusan, dalam rangka memajukan kepentingan masyarakat.
Humanisme radikal menyatakan bahwa manusia harus menjadi tujuan akhir dalam
pembuatan keputusan birokrasi, tetapi altematif mana yang harus dipilih pelaksana
administrasi dalam suatu kasus.
Justice As Fairness: Suatu Pandangan Mengenai Kepentingan Masyarakat
Prinsip-prinsip keadilan menurut Hobbes adalah
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama bagi kebebasan dasar yang paling luas seperti
yang dimiliki orang lain
2. Mereka patas diharapkan menjadi orang beruntung dan dipekerjakan pada kedudukan
dan jabatan yang terbuka bagi semua.
Intuisionisme, Perfeksionisme, Dan Utilitarianisme
Filsafat intuisionis tidak membantu pelaksanaan administrasi negaraq yang teliti
untuk membuat keputusan yang rasional berdasarkan pada teori eksplisit tentang
kepentingan masyarakat, tidak lebih dari memberikan hiburan untuk membenarkan
pelaksanaan pekerjaan sekarang. Dengan kata lain para pelaksana administrasi telah
membuat keputusan keputusan berdasarkan teori intuisionis yaitu mereka menjalankan apa
yang bagi mereka nampak paling mendekati kebenaran pada basis individu dan situasi
khusus.
Perfeksionisme merupakan tandingan keseimbangan (counter poise) terhadap
pemikiran-pemikiran egalitarian yang banyak terdapat dalam masyarakat yang demokratis,
oleh karena itu kita tidak dapat akan memikirkan ini sebagai kerangka pembuatan
keputusan etika yang layak bagi para pelaksana administrasi negara.
Kerangka kerja ketiga bagi penentuan kepentingan masyarakat adalah
utilitarianisme sebagaimana yang diwakili. Karena filsafat yang paling berpengaruh
terhadap para pelaksana administrasi negara dalam hal kekakuan pemikiran dan kelayakan
sosial, utilitarianisme mendapat tempat pertama kali dalam teori, jikalau bukan dalam
pelaksanaan nyata.
Pemikiran utilitarianisme adalah demokratis didalam nilai-nilai dan sistematis
didalam pemikiran, paham ini berpegang pada pendapat suatu kebijakan umum akan
berada dalam kepentinagn masyarakat yang memberikan kebijakan yang meningkatkan
taraf kepuasan sosial bagi semua individu yang menjadi anggota masyarakat.
Tambahan pula, dari kerangka kerja etika yang dipertimbangkan, hanya filsafat
justice-as-fairness dengan dasar pikirannya, mengijinkan pilihan keputusan pelaksana
administrasi untuk mengusahakan secara khusus untuk mempekerjakan anggota-anggota
dari kelompok yang tidak beruntung. Utilitarianisme akan menuntut bahwa yang baik bagi
keseluruhan adalah prioritas pertama, tanpa memandang konsekuensi-konsekuensinya bagi
kelompok masyarakat yang dalam keadaan paling tidak baik.
Perfeksionisme, sebenamya akan berkata masa bodoh dengan masyarakat yang
dalam keadaan paling tidak baik, karena mereka sama sekali tidak dipertimbangkan dalam
struktur niIainya. Intuisionisme, yang paling serin g dipraktikkan oleh para pelaksana
administrasi negara, mengijinkan untuk memilih mempekerjakan anggota kelompok
2
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
minoritas, tetapi hanya sebagai kejadian yang secara kebetulan bersamaan dan bukan
karena teori ini sendiri.
Dilema Moral Pelaksana Administrasi Negara
Dalam bab ini, akhirnya adalah kesimpulan yang dapat diambil tidak mungkin,
pelaksana administrasi negara secara khas dihadapkan dengan pilihan-pilihan keputusan
yang melibatkan penggunaan secara sadar pikiran Aristoteles, Nietzsche, atau siapapun.
Satu penyebab mengapa demikian adalah (seperti ditunjukkan oleh Herbert Simon) bahwa
pi1ihan-pi1ihan di dalam pembuatan keputusan organisasi jarang yang sangat jelas.
Dengan demikian, penjelasan dari pilihan-pilihan memunyai beberapa hal penting, dan ahli
administrasi negara telah mencurahkan pada berbagai usaha demi kemajuan teknik-teknik
kuantitatif yang dapat membantu pembuatan keputusan dengan menjelaskan berbagai
alternatif.
3
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB II
BIROKRASI PEMERINTAH
Pengertian
Dinyatakan oleh Almond dan Powel (1966: 95), Birokrat pemerintahan adalah
sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal, berkaitan dengan jenjang
yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal (role makers).
Birokrasi modern, menurut Max Weber, memiliki karakter yang kompleks dengan
orientasi kualitas yang tinggi. Karakterisfik birokrasi menurut rumusan Weber secara garis
besar adalah: 1) mobilisasi yang sistematik dari energi manusia dan sumber daya material
untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan atau rencana-rencana yang secara eksplisit
telah didefinisikan; (2) pemanfaatan tenaga karier yang terlatih, yang menduduki jabatan-
jabatan bukan atas dasar keturunan dan batas-batas yuridiksinya telah ditetapkan secara
spesifik; dan 3) spesialisasi keahlian clan pembagian kerja yang bertanggung jawab
kepacla suatu otoritas atau konstitusi (Parenti, 1988).
Birokrasi Dan Administrasi
Dalarn studi empirik menunjukkan bahwa birokrasi pemerintahan seringkali
diidentikkan dengan aparatur pemerintah yang mempunyai tiga dimensi pokok seperti
”organisasi, sumber daya manusia dan manajemen”. Selain itu data empirik, juga
menunjukkan adanya dimensi-dimensi birokrasi dalam pemerintahan. Dimensi-dimensi
birokrasi itu diberi predikat kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan yang kita
kenal sebagai unsur-unsur administrasi negara (Kristiadi dalam Thoha, 1999).
Di sini terdapat rangkaian perbuatan kelompok manusia, tetapi berlangsung dalam
suatu lingkungan suasana keanekaragaman yang memunyai ciri-ciri antara lain:
1. Kegiatan yang dilaksanakan berupa pemberian pelayanan terhadap kepentingan semua
orang.
2. Kegiatan itu dilakukan oleh aparatur yang menjadi penguasa dalam masyarakat
(instansi pemerintah);
3. Tujuan yang hendak dicapai ditetapkan oleh para anggota masyarakat atau wakil-
wakilnya;
4. Kegiatan itu bersifat sangat urgen sehingga sebaiknya dimonopoli oleh pemerintah;
5. Kegiatan itu terkait oleh peraturan-peraturan hukum.
Birokrasi Di Indonesia
Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari, suatu organisasi birokrasi
sekurang-kurangnya dapat dibedakan menjadi tiga kategori (Abdullah, 1991: 223) yaitu:
1. Birokrasi Pemerintah Umum
Yaitu unit organisasi yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk
memelihara ketertiban dan keimanan, dari tingkat pusat sampai daerah, ialah provinsi,
kabupaten, kecamatan dan desa. Tugas-tugas tersebut lebih bersifat “mengatur” atau
regulative function.
2. Birokrasi Pembangunan
Yaitu organisasi pemerintah yang menjalankan satu bidang sektor khusus guna
mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, keseha tan, pendidikan, industri, dan
lain-lain. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function.
4
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
3. Birokiasi Pelayanan
Yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan bagian atau
berhubungan dengan masyarakat, fungsi utamanya adalah service (pelayanan)
langsung kepada masyarakat.
Birokrasi Dan Demokrasi
Setidaknya ada lima hal yang sekaligus menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi
oleh administrasi negara atau birokrasi publik dalam memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat (Irfan Islamy, 199813) yaitu:
1. Derasnya tuntutan agar pemerintah menumbuhkan adanya good governance, yaitu
sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, dan
profesional;
2. Semakin tajanmya kritik masyarakat atas semakin rendahnya kualitas pelayanan
publik;
3. Semua aparatur pemerintahan dituntut unfuk memunyai sense of crisis, sehingga
mereka benar-benar paham bahwa kita sekarang sangat membutuhkan aparat
pelayanan yang mampu to do more with less artinya dalam situasi yang penuh dengan
krisis ini aparat pelayanan harus bekerja lebih keras dan lebih produktif dengan serba
kelangkaan sumber-sumber;
4. Aparat pemerintah dituntut agar bekerja lebih profesional dengan mengedepankan
terpenuhinya public accountability yaitu dengan menekan sekecil mungkin
pemborosan penggunaan sumber-sumber dan sekaligus memperkuat peraturan
perundangan yang berlaku (the body of rules) sebagai pondasi untuk melaksanakan
tugas-tugasnya;
5. Masyarakat sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi kepentingannya (public
interest), menuntut agar pemerintah memperhatikan sunguh-sungguh aspiari mereka
dan sejauh bisa memenuhinya.
5
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB III
AKUNTABILITAS PUBLIK
6
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
memastikan kepada pemimpin-pemimpin lernbaga bahwa mereka telah melaksanakan
pekerjaannya dengan sebaik-baiknya.
Responsibilitas Politis
Aparat harus memiliki daya tanggap terhadap kepentingan publik. Dalam
pertanggungjawaban politik, pertanyaan utamanya adalah untuk siapa para administrator
publik bertindak.
Petugas administrasi pemerintahan harus mernunyai hasrat besar untuk
melaksanakan fungsi-fungsi secara efektif, sepenuh kemampuan dan dengan cara yang
paling memuaskan pihak yang menerirna pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban itu
dapat ditujukan kepada masyarakat atau publik, instansi pemerintah maupun kepada pihak
lain apapun dalihnya harus disingkirkan dan pada petugas pemerintahan.
Setiap administrator harus bersedia memikul pertanggungjawaban mengenai apa
saja yang dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa dirinya hanya
menjalankan perintah atau menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan
pemerintah.
Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian yaitu faktor penghambat dalam
pelaksanaan akuntabilitas dan responsibilitas publik:
1) Struktur Administrasi yang Memusat
2) Sistem Administrasi yang ketinggalan Jaman
3) Pembengkakan Birokrasi
4) Kompleksitas dan Kekakuan Peraturan
5) Struktur Gaji dan Perpindahan Pegawai
6) Kurangnya Pelatihan dan Pendidikan bagi Pegawai
7
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB IV
CLEAN GOVERMENT
8
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
Pemerintahan yang wirausaha. Birokrasi lebih berorientasi menghasilkan atau
menggali sumber-sumber produktif dari pada rnernbelanjakan. Hal ini dapat mencegah
pemborosan dalam birokrasi;
8. Anticipatory government: prevention rather than cure
Pemerintahan yang antisipatif. Lebih baik mencegah atau mengantisipasi keadaan dan
kemungkinan-kemungkinan memperbaiki setelah ada kejadian;
9. Decentralized government: from hierarchy to articitation and teamwork
Melakukan desentralisasi dalam berbagai aspek fungsi dan kewenangan birokrasi. Ada
kecenderungan hal ini merupakan kebutuhan riil dalam proses pernbangunan sekarang
ini;
10. Market-oriented government: leveranging change trought the market
Birokrasi sebaiknya berorientasi pasar atau pembangun kemampuan untuk
memfungsikan kekuatan mekanisme pasar sebagai upaya mengarahkan inisiatif dan
dinamika masyarakat.
9
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB V
GOOD GOVERNANCE
Bersamaan dengan reformasi dari sistem politik ke arah yang lebih demokratis,
perkembangan dari ekonomi pengarahan (plan) ke ekonomi pasar, berkembang pula
pemikiran tentang good governance. Dalam good governance tidak lagi pemérintah (state),
tetapi masyarakat madani (civil society), dan terutama sektor swasta (privatee sector) yang
berperan dalam kepemerintahan (governance). Hal ini juga karena adanya perubahan
paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan,
yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana
menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung
dunia usaha. Sudah barang tentu ini bisa dilakukan apabila masyarakat dan sektor swasta
sendiri sudah semakin berdaya.
Paradigma Governance
'Tussman (1989) menyatakan bahwa ‘governance non by the best among all of us
but by the best within each of us. Maksudnya adalah: pemerintahan itu dilaksanakan
sebaiknya bukan oleh ,orang-Orang yang terbaik di antara para aparatur negara, tetapi
justru oleh kemampuan terbaik dari setiap individu aparatur negara yang bersangkutan.
Hal ini merupakan Konsekuensi dari suatu sistem administrasi publik yang secara
seutuhnya berfungsi memberikan pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat.
Perkembangan paradigma governance sebagaimana diuraikan diatas mencerminkan
bahwa terdapat rincian dari keempat unsur utama yang dapat memberikan gambaran
bagaimana seharusnya administrasi publik yang bercirikan good governance tersebut.
1. Akuntabilitas
Akuntabilitas artinya adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak
selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan
yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti clari pemerintahan yang baik (good
governance).
2. Transparansi
Pemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik ditingkat
pusat maupun di daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa
ada yang ditutup-tutupi tentang proses perumusan kebijakan publik dan tindakan
pelaksanaannya (implementasinya). Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijakan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, harus selalu dilaksanakan secara terbuka
dan diketahui umum.
3. Keterbukaan
Keterbukaan di sini mengacu kepada keterbukaannya kesempatan bagi rakyat untuk
mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak
transparan. Pemerintah yang baik, yang bersifat transparan dan terbuka akan
memberikan informasi data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk
melakukan penilaian atau jalannya pemerintahan.
4. Aturan Hukum (Rule of Law)
Prinsip rule of law di sini diartikan bahwa good governance mempunyai karakteristik
berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap
kebijakan publik yang ditempuh.
10
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB VI
PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS,
DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
11
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
5. Bahwa ada probabilitas yang tinggi bahwa suatu kelompok yang aktif dan legitimate
dalam suatu populasi bisa membuat dirinya mendengar secara efektif terhadap
tahapan-tahapan yang krusial dalam proses pembuatan kebijaksanaan;
6. Bahwa kompetisi di antara institusi pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan
non pemerintah bisa menyebabkan terjadinya suatu bargaining dan kompromi, dan
juga bisa menghasilkan suatu keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat;
Akuntabilitas dan Transparansi
Salah satu sebab kurangnya akuntabilisas dan transparansi dalam birokrasi
pemerintah adalah karena adanya perubahan korupsi, kolusi dan nepotisrne. Sejarah
mengatakan bahwa korupsi setua umur manusia, dan di dunia ini tanpa korupsi tidak
seramai sekarang ini. Di mana-mana ada korupsi baik korupsi besar maupun keci1-kecilan,
baik yang terungkap maupun tersembunyi, dan baik yang dilakukan oleh pejabat tinggi
maupun pejabat rendah di garis depan.
Korupsi di departemen pemerintah terjadi karena kekuasaan yang benar tanpa
diimbangi oleh pengawasan yang tegas. Dan jika kekuasaan absolut telah terjadi, maka
berlakulah adagium politik ”power tends to corrupt, absolute power tends to absolute
corrupt".
Dalam birokrasi pemerintah selama ini kekuasaan itu sangat sentral, mengalahkan
kekuasaan yang semestinya berada di tangan/rakyat. Dalam hirarki birokrasi kekuasaan
yang ada di hirarki atas sangat besar dan di hirarki bawah sangat kecil. Tidak adanya
kebiasaan dalam birokrasi, pejabat di bawah berani menolak pemerintah atau berbeda
pendapat dari pejabat pada hirarki atas.
Rakyat yang mestinya memperoleh pelayanan dari birokrasi pemerintah, karena
konstelasi kekuasaan seperti itu lebih memberikan penekanan pada sisi power dilihat dari
perspektif capacity to act (hindess, 1996). Oleh karena penekanannya pada kemampuan
untuk melakukan ytindakan, maka kekuasaan dijadikan sebagai sarana dominasi (an
instrument of domination). Birokrasi pemerintah mendominasi rakyat melalui kekuasaan
yang disandangnya, sehingga terbentahg hubungan yang tidak imbang (unequal relation)
antara birokrasi pemerintah yang berkuasa dengan rakyat yang dikuasai.
Pemahaman peranan rakyat terhadap eksistensi birokrasi pemerintah selama ini,
kurang memperoleh perhatian dan penekanan dalam kehidupan birokrasi.
Satunya solusi dalam mencankan power dalam birokrasi pemerintahan Pejabat
birokrasi pemerintah seharusnya bukannya takut kepada atasannya melainkan harus takut
kepada rakyat yang mempercayainya. Kontrol masyarakat harus dijadikan perhatian bagi
perbaikan kinerja birokrasi pemerintah.
Birokrasi pemerintah tidak lagi seperti yang dipostilatkan oleh para pakar politik
selarna ini sebagai satu-satunya puset kekuasaan (the only power center).Dahulu mungkin
benar, akan tetapi perubahan yang terjadi menjelang abad 21 ini mempuat situasi dan
konstelasinya harus dibalik. Pusat kekuasaan ada di tangan rakyat.
Lembaga Kontrol Masyarakat
Selain itu, korupsi terjadi karena lembaga pengawasan tidak efektif. Fungsi
pengawasan selama ini bukannya mencari kesalahan, melainkan méncari kedamaian.
Demikian juga pengawasan itu tidak dikembalikan kepada rakyat. Lembaga pengawasan
itu dilakukan oleh birokrasi kepada birokrasi. Iika kita menginginkan birokrasi yang bebas
12
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
KKN dan yang demokratis maka pendapat pakar pemerintahan yang mengatakan control
of government by the governed (pengawasan kepada pemerintahan itu harus dilakukan
oleh rakyatnya) itu harus diterapkan.
Kontrol rakyat ini bisa dilakukan oleh rakyat yang terorganisasi melalui lembaga
perwakilan rakyat, melalui partai politik, kelompok kepentingan, LSM, melalui partai
politik, kelompok kepentingan, LSM, perkumpulan mahasiswa, pers, dan perkumpulan
masyarakat lainnya. Pengaduan rakyat dalam rangka melakukan kontrol sebaiknya
dilakukan melalui suatu organisasi tersebut, rakyat biasanya belum atau kurang berani
rnenyarnpaikan pengaduan individual kecuali melalui surat kaleng. Untuk menghindari
legitimasi surat kaleng dan agar pengaduan rakyat berhasil sebaiknya di1akukan melalui
organisasi formal. Sekaligus upaya seperti ini merupakan pendidikan politik yang baik,
mengajari rakyat untuk berlaku tertib dalam berpolitik, berbangsa, bernegara dan
berdemokrasi.
Tindakan Hukum yang Tidak Tegas
Mesin birokrasi berjalan di atas aturan hukum. Tanpa aturan atau hukum birokrasi
tidak mampu menunjukkan kinerja yang efektif dan bersih. Iika birokrasi berjalan di luar
tatanan aturan formal, maka birokrasi tidak lagi bisa menjamin terselenggaranya kinerja
yang bersih. Dengan hukum dan peraturan birokrasi rnelakukan impersonalitas terhadap
bermacam-macam kepentingan orang-orang yang di atur dan dilayani.
13
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB VII
MEMBANGUN AKUNTABLILITAS PUBLIK (ENSURING PUBLIC
ACCOUNTABLLLTY)
Derivasi yang cukup gemilang atas uraian Chaiden itu kemudian dapat kita
temukan dalam tulisan munishi. Ia mencoba melakukan penyelidikan atas akuntabilitas
pelayanan masyarakat dalam kaitannya terhadap manajemen perekonomian Tanzania. Di
samping itu ia juga akan memperlihatkan bagaimana kurangnya bertanggung jawab
membuat frustrasi proses perkembangan manajemen diberbagai institusi di tanzania.
Kemudian dari situ munishi melakukan deduktifikasi atas keadaan akuntabilitas di negara
dunia ketiga yang disebut sebagai ”bureaucra ticfeudalism”.
Macam Akuntabilitas
Pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai istilah dalam teori dan praktik tentang
kebijakan publik memerlukan penjelasan yang cukup terperinci, di mana secara tradisional
istilah tersebut memiliki makna sebagai kemampuan untuk memberi jawaban terhadap
perilaku atau tindakan seseorang. Secara urmun, para pegawai publik dan organisasinya
hanya dikenai tanggung jawab terhadap tindakan legal saja, hal inipun baru diberikan jika
diminta oleh pihak yang berwenang, atau dengan kata lain pertanggungjawaban hanya
mementingkan segi administrasinya saja.
Pertanggungjawaban Organisasi dan Profesi
Pertanggungjawaban organisasi terhadap agen memerlukan suatu batasan
hubungan hierarkis antara pusat-pusat responsibilitas if dan unit-unit di mana garis
komando dilakukan. Hubungan hierarkis cukup jelas pada umumnya dibatasi baik dalam
bentuk jaringan hubungan kerja secara formal maupun informal. Dalam
pertanggungjawaban ini prioritas-prioritas komando ditentukan pada tingkat atas yang
harus dipatuhi para bawahannya, dan kontrol supervisori diterapkan secara intensif untuk
rnenghindari penyimpangan yang bisa dilakukan organisasi akibat berkembangnya volume
kerja dari organisasi yang bersangkutan.
Pertanggung Jawaban Legal
Ketika pertanggungjawaban birokrasi bersandar pada sarana kontrol internal, maka
pertanggungjawaban legal rnenghubungkan tindakan dalam wilayah publik dengan proses
yudisial dan legislatif yang berlaku. Hal ini bisa ditempuh baik melalui suatu tingkat
peradilan atau melalui suatu tinjauan yudisial (yudicial review) terhadap tindakan
administratif dari organisasi atas tindakan pegawainya yang dimintai pertanggungjawaban
atas pelanggaran yang telah Dilakukannya karena tidak mengikuti kewajiban legal atau
jalur legislatif, namun ketika power yang dimiliki pihak legislator ( ingin menghukum
pihak administrasi menjadi sangat tidak ekstensif, karena pertanggungjawaban legal bisa
diterapkan kemudian.
Pertanggungjawaban Politik
Legitimasi dari suatu program publik, dan tanggung jawab organisasi politik, pihak
administrator pada semua pemerintahan yang demokratik berkewajiban untuk menerima
serta melakukan suatu tugas sesuai dengan keinginan publik (masyarakat) dan bentuk
penerimaan tugas ini harus disertai suatu power atau kewenangan yang harus
dipertanggungjuwabkan dikemudian hari.
14
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
Pertanggungjawaban Profesi
Dengan munculnya profesionalisme organisasi sektor publik, maka para pegawai
sipil yang terlatih secara profesional, seperti para doktor, insinyur, pengacara, termasuk
para akuntan diharapkan bila menampilkan kerjanya den gan baik, serta mampu
menempatkan kepentingan publik sesuai dengan semesfinya, karena pemerintahan yang
modern sernakin memerlukan para ahli yang profesional, maka sifat dari kepentingan
publik diartikan oleh mereka yang memiliki kemampuan profesional bisa berbeda
prinsipnya dengan pengertian masyarakat luas.
Pertanggungjawaban Moral
Sekarang bisa diakui secara luas bahwa pemerintah seharusnya secara legal
bertanggung jawab secara moral terhadap tindakan yang dilakukannya, jika tindakan
tersebut dianggap bertentangan dengan norma-norma umum, baik bersifat politis maupun
ekonomi.
Negara, menurut Hegel, merupnkan suatu organisasi moral yang berarti bukan sekedar
suatu sistem legal atau norma-norma organisasi semata.
Reksplanasi Birokrasi Yang Tidak Jujur
Harus diakui bahwa pertikaian antara Iockson dan Wilson di abad XIX dulu, telah
menjadi dosa turunan. Meskipun ada banyak kompromi dari para pakar di belakang, tapi
soal sampai sejauh mana politik itu korelatif terhadap administrasi negara ditingkat
empirik keadaannya seringkali eklektik. Sehingga kita kemudian tidak dapat begitu saja
menutup mata terhadap dimensi politik ketika kita sedang mengurai soal administrasi.
Otoritas dan pembangunan;karakteristik umum negara dunia ketiga dalam usaha
pembangunannya adalah, mereka lebih menekankan pada penumpukan modal untuk
mencapai berbagai prioritas ekonominya; Pada tahap-tahap awal strategi pembangunan ini
memang menampakan hasilnya. Salah satu indikasinya adalah tumbuh dan
berkembangnya pola-pola pemerataan pendapatan yang relatif lebih adil di negara-negara
itu.
Oleh karena itu usaha-usahanya mengurangi kemiskinan massal mencapai tingkat
yang mengesankan. Sementara itu pula, kesadaran politik (political aware-ness)
masyarakat negara dunia ketiga bertambah mantap yang biasanya dihubungkan dengan
proses perkémbangan dan per-tumbuhan urbanisasi negara itu. Tetapi justru situasi
semacam inilah yang menyebabkan munculnya pernerintahan otoriter. Sebab, kuat
perkembangan dan pertumbuhan negara-negara itu tidak mendapat basis pijakan yang kuat
dari struktur sosial dan kultur negara itu.
Ilustrasi semacam ini, oleh Susetiawan, direpresentasikan bagi umumnya cara
pandang bangsa-bangsa di wilayah Asia Timur, Tenggara dan Selatan. Untuk di Indonesia
kita seringkali menemukan etos semacam ini dalam tiap perilaku pejabat publik dan
(bahkan) masyarakatnya sendiri. Mereka yang menduduki jabatan tertentu selalu menuntut
harga kesetiaan dan kepatuhan bawahan atau orang yang mestinya dilayani, sebagai hal
yang sama ketika ia melakukan kesetiaan dan kepahihan bawahan atau orang yang
mestinya dilayani, sebagai hal yang sama ketika ia melakukan kesetiaan dan kepatuhan
pada atasannya yang pernah ia lakukan.
Netralitas aparat pemerintah, masalah netralitas aparat pemerintah telah lama
menjadi perdebatan yang ramai. Hal ini disebabkan karena posisi aparat yang mendua
15
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
seringkali bersifat dilematis. Dilematis itu ditunjukkan dengan peran ganda aparat
pemerintah dimana di satu sisi ia berperan sebagai pegawai pemerintah dan di sisi lain
berperan sebagai warga negara biasa. Sebagai pegawai pemerintah ia harus bertanggung
jawab dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan tanpa mernihak, dan
sebagai warga negara biasa di masyarakat yang demokaratis ia berpartisipasi dalam proses
politik.
Deskripsi Pengawasan Akuntabilitas Peiabat Publik Di Indonesia
Pengawasan akuntabilitas pejabat publik yang mencakup segala tindakan menjamin
agar pengelolaan keuangan negara berjalan sesuai dengan rencana, aturan, dan ketentuan
perundangan yang berlaku (Baswir, 1995). Sedangkan berdasarkan objeknya, pengawasan
publik meliputi baik pengawasan aparatur negara, pengawasan APBN, pengawasan
BUMN, maupun pengawasan barang-barang milik negara.
Bila ditelusuri lebih jauh, mekanisme pengawasan publik dapat dibedakan menjadi
pengawasan internal dan pengawasan ekstemal. Pengawasan internal adalah mekanisrne
pengawasan keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah secara internal dalarn
lingkungan birokra si pemerintah. Dalam garis besarnya, penyelenggaraan pengawasan
internal ini dapat dipilih menjadi pengawasan intemal melalui sistem pengawasan internal
melalui lembaga-lembaga pengawasan. Di samping itu pengawasan juga dibedakan
menjadi pengawasan dalam arti sempit dan pengawasandalam arti luas.
Sedangkan pengawasan eksternal adalah pengawasan publik yang dilakukan oleh
suatu lembaga pengawasan yang sama sekali di luar birokrasi pemerintah. Dalam
mekanisme pengawasan eksternal ini, hubungan antara pengawas dan pihak yang dimintai
akuntabilitasnya tidak lagi mengandung sifat kedinasan. Di Indonesia fungsi pengawasan
eksternal ini antara lain diselenggarakan oleh DPR, BPK dan secara langsung oleh
masyarakat. Pengawasan oleh DPR dikenal sebagai pengawasan legislatif. Sedangkan
BPK dalarn penyelenggaraan pengawasan dibatasi pada aspek pengelolaan keuangan
negara. Tugas pokoknya adalah melakukan pemeriksaan terhadap perhitungan anggaran
negara (PAN) yang disusun oleh direktorat jenderal anggaran.
16
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB VIII
LIMA STRATEGI MENEMUKAN KEMBALI PEMERINTAHAN
17
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
3. Mitos bisnis adalah bahwa pemerintah dapat diperbaiki dengan menjalankan seperti
sebuah bisnis. Kenyataannya, sementara metafora bisnis dan teknis manajernen
seringkali menolong, ada perbedaan kritis antara realita sektor negeri dan swasta;
4. Mitos pegawai adalah bahwa para pegawai dapat melaksanakan tugas dtenganbaikflika
mempunyai cukup uang.
5. Mitos rakyat adalah bahwa pemerintah dapat diperbaiki dengan menggaji orang-orang
secara lebih baik. Kenyataannya, problem bukan terletak pada orang-orang, tetapi pada
sistem di mana mereka terperangkap.
Mencari Titik-Titik Pengaruh
Reinvention merupakan kolaborasi antara pejabat-pejabat yang dipilih dan para
pegawai negeri, antara apa yang disebut dengan sektor politik dan kelembagaan. Banyak
hal yang tidak akan pernah dilakukan sendiri oleh para pegawai negeri.
Dengan strategi, kita maksudkan bukan perencanaan yang terinci namun
penggunaan poin-poin pengaruh untuk membuat perubahan-perubahan fundamental yang
menyusutkan seluruh pemerintahan, mengubah semua hal lainnya. Reinvention adalah
perlakuan yang berskala besar. Ini mernerlukan intense, perjuangan yang diperpanjang
dalam arena politik, pada lembaga-lembaga pemerintah, dan dalam komunitas serta
masyarakat. Tantangan para reinventor adalah memengaruhi sumber-sumber kecil ke
dalam perubahan-perubahan besar.
Strategi berarti menggunakan pengaruh-pengaruh yang cukup mendasar di dalam
suatu sistem, dengan suatu Cara yang dapat mengubah perilaku-perilaku setiap orang.
Pengujian Pasar: Meningkatkan Konsekuensi Terhadap Kinerja
Mereka telah mengamati privatisasi menghasilkan kenaikan produktivitas yang
besar sekali secara cepat. Eksperimen-eksperimen awal mereka dengan kontrak kompetitif
pada level nasional dan daerah, juga telah menghasilkan banyak penghematan, mereka
ingin menginjeksikan arti urgensi yang dihasilkan oleh privatitasan.
18
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB IX
POTRET PROFESIONALIME PELAYANAN PUBLIK
Pendahuluan
Ronald Reagan secara konsisten menyatakan bahwa pemerintah memang sedang
mengalami masalah. Gambaran di sektor bisnis juga nampak negatif dengan adanya
skandal ”Wallstreet". Kepercayaan kepada pemerintah mulai hilang dengan tumbuhnya
masyarakat yang lebih kompleks, karena penambahan tugas yang sangat luar biasa dan
pemerintah tidak menunjukkan prestasinya. Tetapi dia yakin sebenamya banyak hal yang
dapat meningkatkan lingkungan profesionalisme pelayanan publik, situasi negara-negara
bagian di AS dalam hal pelayanan publik, hampir sama dengan negara bagian lainnya,
namun hal ini tidak mendapat tanggapan yang cukup atas meningkatnya masalah birokrasi
yang kian menyusahkan. Gerakan pembaharuan publik di daerah, merupakan ilustrasi
tersendiri dan merupakan semacam barang rampasan bagi mereka yang mendapat
kekuasaan.Makin seenaknya kinerja pemerintah akan semakin sulit melihat
profesionalisme pelayanan publik.
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme pelayanan publik ini Sherwood
menganjurkan agar:
1. Profesionalisme merupakan hal yang penting bagi kemampuan untuk dilaksanakan;
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung profesionalisme pelayanan publik akan
membuat suatu perbedaan;
3. Perilaku pemerintah akan membentuk lingkungan yang mendukung profesionalisme
pelayanan publik;
4. Sangat mungkin untuk membangun ulang dorongan-dorongan lingkungan agar lebih
mengarah pada profesionalisme.
Dimensi Profesionalisme Dan Tantangan Sekarang
Green, Keller, dan Wansley menyatakan bahwa profesionalisme pelayanan publik
sebagian besarmelibatkan nilai-nilai dan pengetahuan politik, yang seringkali menodai
dasar-dasar tradisional.
Permasalahan dalam mengembangkan profesionalisme pemerintahan sering
terletak pada kegagalan badan legislatif dalam menghargai keahlian pegawai, ketidak
inginan pejabat menghargai keahlian dan nilai-nilai profesional.
Lntrenasional City Management Asociation menyimpulkan bahwa manajer tidak semata-
mata mengatur tetapi juga harus berfungsi dalam lingkungan yang kompleks, tetapi
tampaknya mereka membaca lingkungan sebagai musuh karena mereka memandang
sebagai suatu cara membangun ulang lingkungan.
Lingkungan Dan Perubahannya
Diakui bahwa pemerintah telah banyak melaklukan hal-hal yang tidak populer
terhadap masyarakat. Pemimpin diangkat karena mandat politis bukan karena jasanya.
Harus diakui pula bahwa pelabat sekarang bukanlah merupakan birokrasi permanen
mereka adalah Representasi transisi dari Partai yang berkuasa. Akibatnya, dalam dua
dekade terakhir ini pelayanan publik mengalami penurunan secara drastis sehingga
menimbulkan ketegangan antara yang ditunjuk secara politis dan pejabat karier dan sulit
membuat hubungan kerja yang wajar.
19
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
Pengaruh Potensial
Organisasi merupakan faktor dalam membentuk profesionalisme pelayanan publik.
Struktur juga memengaruhi cara bagaimana kepemimpinan pada pemerintah, Sherwood
merasa yakin bahwa cara-cara yang lebih hati-hati, usaha-usaha yang lebih baik dapat
membangun kapasitas dan komitmen akan membawa penghargaan yang lebih baik dan
meningkatkan tanggung jawab terhadap profesionalisme pelayanan.
Manajemen Sumber Daya Manusia: Potensi Utama Untuk Memengaruhi
Jika dibandingkan, situasi yang digambarkan oleh Sherwood tersebut dengan di
Indonesia, tampaknya tdak jauh berbeda, karena kemerosotan profesionalisme dalam
pelayanan publik saat ini juga dialami Indonesia. Hampir di seluruh sektor pemerintahan
berada pada kondisi yang dikenal dengan istilah organization yang di tandai dengan
menurunnya kualitas pelayanan diberikan kepada masyarakat. Banyak keluhan yang telah
kemukakan oleh pengguna pelayanan.
Profesionalisme timbul akibat adanya fitness (kususilaan, kecocokan) antara
bureaucratic competency dan task requirement dan hanya dapat dikembangkan kalau ada
kehendak politik (political will) pemerintah untuk mengubah fillafat birokrasi, tutur nilai
dan struktur serta prosedur birokrasi. Profesionalisme juga ditandai oleh kemampuan untuk
melihat peluang-peluang yang ada untuk di kembangkan dengan keberanian
memanfautkan kemampuan menggeser produktivitas yang rendah yang diiringi dengan
itikad baik bagi pelayanan publik.
20
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
BAB X
NILAI ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK
Pengertian Etika Pelayanan Publik
Etika berasal dari bahasa yunani, ethos; yang artinya kebiasaan atau watak
(Kumorotomo, 1997: 7). Etika merujuk pada dua hal, yaitu ilmu yang memelajari nilai-
nilai yang dianut oleh manusia beserta pernbelaannya, dan nilai-nilai hidup dan hukum-
hukum yang mengatur tingkah laku manusia (The Laing Gie 1989: 1-19).
Pelayanan adalah cara melayani, membangun menyiapkan, dan mengurus,
menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau kelompok orang, artinya obyek yang
dinilai adalah individu, pribadi (seseorang) dan organisasi/sekelompok organisasi
(Sianipar, 1998:5). Sedangkan publik dapat diartikan sebagai masyarakat/rakyat (Shadily
dan Echols, 1995: 455). Dengan, demikian, yang dimaksud dengan etika pelayanan publik,
yaitu cara melayani masyarakat/rakyat dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang
mengandung nilai hidup dan hukum/ norma yang mengatur tingkah laku manusia yang
dianggap baik.
Pendekatan Etika Pelayanan Publik
Kartasasmita (1997: 28) berpendapat bahwa ada dua pendekatan dalam etika
pelayanan publik, yaitu pertama: pendekatan teleologi dan kedua pendekatan deontologi.
Pendekatan teleologi terhadap etika pelayanan publik berpangkal tidak bahwa apa
yang baik dan buruk dan apa yang seharusnya dilakukan oleh pejabat publik memiliki
acuan utama, yaitu nilai kemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan, yakni baik atau
buruk dilihat dari konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam konteks
pelayanan publik, pendekatan teleologis rnengenai baik dan buruk itu, diukur antara lain
dari pencapaian sasaran kebijakan-kebijakan pubik seperti pertumbuhan ekonomi
pelayanan kesehatan, kesempatan mengikuti pendidikan, kualitas pelayanan bahkan
kekuasaan perorangan apabila hal itu menjadi tujuan dari pelayanan publik. Pendekatan ini
bermuara kepada Cara mengembangkan kebaikan bagi diri pejabat publik dan nilai guna
atau mengusahakan yang terbaik untuk publik.
Pendekatan dentologi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan
karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi
dari keputusan atau tindakan yang dilakukan. Pendekatan ini berdasarkan dan
berlandaskan pada nilai-nilai moral yang mengikat.
Dalam dunia empiris, memasukkan nilai-nilai moral ke dalam manajemen
pelayanan publik merupakan upaya yang tidak mudah, karena harus mengubah pola pikir
yang sudah lama menjiwai pejabat negara (birokrasi). Namun demikian, semuanya ini
sangat tergantung pada pejabat negara (birokrasi) itu sendiri. Dan lebih baik jika birokrasi
selalu melakukan kebijakan-kebijakan, dan berkewajiban moral untuk mengupayakan agar
kebijakan tersebut juga menjadi karakter masyarakat. ]ika hal ini sudah melembaga dalam
diri pejabat publik dan masyarakat maka birokrasi patuf menjadi teladan. Mereka tidak
akan melakukan segala sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat misaln.ya korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Nilai Dan Prinsip Etik Pelayanan Publik
Terdapat nilai dan sikap yang dianut bersama, terdiri dari:
a. Nilai-nilai politis yaitu efektivitas, efisiensi, kepedulian, dan pertanggungjawaban;
21
RESUME : Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Karangan : Prof. Dr. Hj. Sjamsiar Sjamsuddin Indradi
b. Nilai—nilai bersama yaitu adanya komitmen terhadap inisiatif bersama untuk berperan
memberantas korupsi melalui ”gerakan antikorupsi, penyuapan/sogok dan pemberian
upeti/hadiah secara multinasional, dan penanaman kesadaran diri untuk menaati
norma-norma/aturan serta program-program etika pelayanan publik. Komitmen
bersarna tersebut harus direalisasikan karena pandangan masyarakat terhadap aparat
pemerintah dan korporasi bahwa masih membudayakan ”warisan korupsi” dari tahun
ke tahun karena faktor keluarga, suku, kelompok dan struktur yang berlaku, dan justru
masyarakat melihat bahwa warisan korupsi tersebut akan meneruskan moral
kepemimpinan dan kepercayaan masyarakat térhadaf) pemimpin sehingga aktivitas
pegawai selalu diikuti masyarakat dengan penuh kecurigaan.
Ada satu aspek yang tidak bisa diabaikan mengenai persoalan nilai-nilai dan sikap
yang dianutybersama tersebut di atas, yaitu:
a. Tunjukkan integritas fiskal, artinya bagaimana cara mengatur uang. Di sini diusahakan
agar tidak terjadi penyelewengan keuangan organisasi;
b. Hindari abstraksi moral, artinya perlunya tindakan pencegahan agar tidak
menimbulkan persoalan-persoalan moral;
c. Libatkan abstraksi moral, artinya mengorbankan kesenangan dan kekayaan pribadi
demi kebaikan masyarakat serta negara
d. Akui teori pluralitas, artinya bahwa pluralis terjadinya proses tawar menawar untuk
mencapai kesepakatan dari sekian banyak perbedaan;
e. Percaya pada dikotonomi, artinya perlu pemisahan tegas antara fungsi politik sebagai
pembuat kebijakan dan administrasi sebagai pelaksana kebijakan tidak boleh terlalu
intervensi fungsi politik malahan mendominasi pun tidak boleh;
f. Tidak memercayai dikotonomi, artinya: pemisahan fungsi administrasi dan politik
masih perlu dipertanyakan karena praktiknya saling berkaitan malahan fungsi yudikatif
pun masih terkait dengan fungsi administrasi;
g. Menjunjung tinggi keadilan sosial, artinya birokrasi harus bersikap netral dan tidak
boleh memih ak kepada salah satu pihak;
h. Mengupayakan wacana profesi, artinya Inelaksanakan tugas harus berlanda skan pada
kode etik profesi;
i. Mempertahankan tatanan konstitusional, artinya dalam menarapkan/melaksanakan
tugasnya, birokrasi harus berlandaskan pada konstitusi terutama dalam hal
mendistribusikan sumber daya untuk kesejahteraan rakyat/umum;
j. Melayani masyarakat, artinya birokrasi yang dipilih rakyat harus kembali melayani
rakyat, bukan dilayani.
Kesepuluh ajaran etis di atas dalam konteks aplikasi di Indonesia telah diatur dalam
undang-undang nomor 11 tahun 1980 tentang korupsi/suap; Peraturan pemerintah nomor
30 tahun 1980 tentang hak dan kewajiban pegawai negeri sipil; PP nomor 10 tahun 1980;
Sumpah Jabatan, Sapta Prasetya Korpri (lama) sedangkan yang baru sekarang adalah
Pasca Prasetya Korpri, Peraturan Pemerintah nomor 5 tahun 1999 jo. PP no. 12 tahun 1999
tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil, dan Undang-Undang no. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas sebagai penjabaran dari TAP
MPR/No.XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi,
kolusi dan nepotisme.
22