Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS GAYA EKLEKTIK PADA RUMAH KAPITAN DI TUJUH ULU

PALEMBANG

Iqbal Nugraha Surya Pratama

Departemen Pendidikan Seni Rupa, FSD, Universitas Pendidikan Indonesia

Email: ngeresep96@gmail.com

ABSTRAK
Indonesia memiliki keanekaragaman suku dan budaya, dimana mempengaruhi gaya arsitektur
suatu bangunan atau suatu kawasan. Pada zaman dahulu beberapa bangunan dipengaruhi oleh
pengaruh dari bangsa luar mulai dari Inggris, Belanda, sampai dengan Cina. Berikut adalah salah
satu contoh pelestarian atau konservasi pada sebuah bangunan peninggalan masa lalu. Rumah
Kapitan ini masih ada dan bertahan dari dulu hingga sekarang di Tujuh Ulu Palembang. Rumah
yang dibangun pada masa kolonial ini, merupakan tempat tinggal Kapten Cina, Kapiten Tjoa Ham
Hin, merupakan perpaduan arsitektur colonial, arsitektur tradisional Limas Palembang dan
Arsitektur Cina. Rumah Kapitan kini disebut juga Rumah Abu ini merupakan bangunan cagar
budaya yang bernilai penting bagi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, terutama dalam
kaitannya dengan studi perkembangan arsitektural bangunan cagar budaya di Indonesia. Artikel
ini bermaksud menganalisis mengenai gaya eklektik yang ada pada rumah Kapitan yang terletak
di Palembang ini.
Kata Kunci: Rumah Kapitan, Eklektik, Palembang.

ABSTRAK
Indonesia has ethnic and cultural diversity, which influences the architectural style of a building
or region. In ancient times some buildings were influenced by influences from outside nations
ranging from England, the Netherlands, to China. The following is one example of preservation
or conservation in a building from the past. This Kapitan house still exists and survives from the
past until now in the Seven Ulu of Palembang. The house, which was built during the colonial
period, is the residence of the Chinese Captain, Captain Tjoa Ham Hin, a combination of colonial
architecture, traditional architecture of Palembang Limas and Chinese Architecture. The Kapitan
House is now also called the Abu House. It is a cultural heritage building that is of importance to
education, science, and culture, especially in relation to studies of architectural development of
cultural heritage buildings in Indonesia. This article intends to analyze the eclectic style of the
Kapitan house located in Palembang.
Keywords: Kapitan House, Eclectic, Palembang.
LATAR BELAKANG

Kampung Kapiten memiliki luas ±20 ha, berada di kawasan Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan
Seberang Ulu I, Palembang. Penghuninya didominasi marga Tionghoa, meskipun ada juga
penduduk asli terutama masyarakat pendatang dari luar kota Palembang. Disebut Kampung
Kapiten, bermula dari seorang perwira keturunan Cina berpangkat

Kapiten (kapten) yang bekerja untuk pemerintah Kolonial Belanda. Abad 17 Belanda mendarat di
Palembang, terjadi perang Palembang I yang membumihanguskan Keraton Kuto Lamo—simbol
kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Tahun 1823, Belanda membangun kembali
reruntuhan keraton tersebut menjadi tempat tinggal Komisaris Belanda. Pengangkatan seorang
Kapten Cina, dimaksudkan untuk pengawasan pada wilayah disekitar yang merupakan tempat
pribumi yang masih memiliki pengaruh kuat dari Kesultanan Palembang Darussalam.

Sungai Musi membagi Kota Palembang menjadi 2 bagian yaitu seberang Ulu tempat kedudukan
Kapten Cina dan seberang Ilir tempat kedudukan Gubernur Jenderal Belanda. Kampung Kapiten
ini yang menjadi maskotnya adalah Rumah Kapitan, Rumah Abu, dan satu lagi rumah kaki
tangannya/ajudan Kapiten Tjoa Ham Hin, dan sudah masuk dalam kategori cagar budaya.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda kedudukan masyarakat pendatang Tionghoa ini
mengalami perubahan/pergeseran. Semula pada masa Kesultanan Palembang Darussalam
masyarakat Tionghoa/Cina ini diawasi keberadaannya, tidak boleh naik ke daratan, ruang geraknya
terbatas hanya sampai daerah di sepanjang perairan Sungai Musi. Runtuhnya Kesultanan
Palembang Darussalam dan kemenangan Kolonial Belanda mengangkat masyarakat Etnis
Cina/Tionghoa ini, berbalik menjadi masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa. Rumah
Kapitan terdiri atas tiga rumah, memiliki tampilan arsitektur campuran, tetapi memiliki karakter
yang berbeda-beda, ketiganya menghadap ke arah Sungai Musi. Rumah pertama disebut Rumah
Kapitan, sebagai tempat tinggal Kapiten Tjoa Ham Hin memiliki kolom penyangga pada bagian
teras depan kayu; bangunan kedua disebut dengan Rumah Abu, kolomnya berupa batu-bata dengan
gaya klasik Eropa; sedangkan bangunan ketiga mirip dengan bangunan pertama hanya saja
ukurannya lebih kecil.
Gambar 1. Rumah Kapitan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan suatu gejala/konsep/dugaan yang terjadi pada
arsitektur masa lalu, dimana rona, gaya, tampilan arsitekturnya merupakan percampuran dari
beberapa gaya arsitektur.

KAJIAN PUSTAKA

1. Gaya Eklektik

Eklektisme adalah gaya desain dan arsitektur yang muncul pada abad ke-19 dan 20. Gaya ini
menggabungkan unsur gaya historis dari masa sebelumnya untuk menciptakan sesuatu yang baru
dan asli. Dalam arsitektur dan desain interior, elemen-elemen ini mencakup struktur bangunan,
furnitur, motif dekorasi, ornamen sejarah, motif budaya tradisional atau gaya dari negara lain.

Pada abad ke-19, Eropa dan Amerika Serikat mengalami Revolusi Industri besar-besaran, yang
juga memunculkan material baru pada arsitektur. Besi cor, besi tempa, baja, dan kaca muncul
sebagai bahan bangunan yang lebih praktis untuk digunakan. Namun, tanpa petunjuk bagaimana
menggunakan bahan-bahan baru tersebut, banyak arsitek yang mencari inspirasi dan melihat pada
gaya arsitektur masa lalu. Abad ke-19 identik dengan serangkaian ‘revival movements’, di mana
gaya masa lalu kembali muncul sebagai simbol dari kekuasaan modern.

Eklektik muncul pada akhir abad ke-19 karena para arsitek pada saat itu ingin mencari gaya baru
yang belum pernah orang lihat sebelumnya. Dengan dasar gaya-gaya desain masa lalu, mereka
kemudian mencampur dan memadukan berbagai macam gaya yang akhirnya memberikan banyak
inspirasi dengan kebebasan berekspresi. Kekuatan pendorong utama dari Ekletisme adalah
penciptaan, bukan nostalgia dan ingin membuat desain yang original.

Gaya eklektik bersifat ekspresif. Ia lahir dari kebebasan memadukan berbagai gaya desain sesuai
imajinasi dan kreativitas pemilik rumah. Untuk sukses menabrakkan berbagai gaya ke dalam
tampilan ruang agar terlihat harmonis, kepekaan dalam menyeleksi elemen terbaik dari tiap desain
menjadi kunci utama.

Menurut interior desainer Le Priescha, gaya desain eklektik adalah kombinasi dari berbagai macam
gaya desain, ide, dan teori dari berbagai macam periode waktu, yang menghasilkan satu kesatuan
unik.

Penerapannya sudah dimulai sejak abad ke-20 dan makin bertambah peminatnya hingga sekarang.
“Dulu orang lebih terpatok pada aturan- aturan baku dari suatu aliran dekorasi ataupun berusaha
tampil sempurna dengan aturan simetris. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak orang yang
lebih terbuka dengan ide-ide baru dan berani untuk bereksplorasi dengan gaya,” ucap wanita yang
sering mengerjakan proyek-proyek desain high end retail seperti Chopard, Moschino, Van Cleef
& Arpels ini.

Dalam praktik memadukan berbagai macam gaya desain, warna, dan corak yang membentuk satu
kesatuan yang harmonis ini, sangat dibutuhkan kepekaan dan kreativitas yang lebih dalam.
Tujuannya, agar kolaborasi berbagai unsur bisa membuat ruangan tampak menakjubkan dan saling
berhubungan.

“Misalnya, menggabungkan gaya tropis dengan memasukkan unsur gaya klasik. Atau gaya
kontemporer dengan unsur retro. Semua sah saja, asalkan kita cukup peka sehingga bisa
menyeimbangkan berbagai unsur rupa-rupa gaya agar lebih sedap dipandang,” jelas Priescha.
“Inilah kelebihan eklektik, yakni menyeleksi apa saja yang terlihat bagus, baik dalam dekorasi,
suasana, zaman, maupun gaya dalam satu kesatuan,” kata Priescha menambahkan.

2. Estetika Simbiosis

Menurut Kisho Kurokawa (1991), Estetika Simbiosis adalah semua proses, kerumitan,
kompleksitas yang diciptakannya yang dia sebut sebagai ‘Hanasukiya’. Ini merupakan konsep
Ambiguitas seperti halnya ‘estetika bunga’ ia menekankan pentingnya ‘ambiguitas,’ pentingnya
‘simbiosis.’ Seperti halnya ‘sukiya’ sendiri yang berarti ‘gaya arsitektur yang dikarakterisasikan
sebagai cita rasa tinggi (= ‘sophisticated’) yang mem-blending gaya formal dan informal; ‘berat’
dan ‘ringan’ suatu gaya arsitektur ini dipengaruhi oleh keterlibatan estetika upacara minum teh,
dan disebut-sebut sebagai gaya-arsitektur-tak-resmi. Kisho akhirnya menginvensi sebuah istilah
baru dengan ‘hanasuki.’ Segala proses, segala kerumitan yang diciptakan, semua kompleksitas itu
adalah “hanasuki”, hanasuki adalah sebuah simbiosis. Sebuah visi dari sebuah desain. Desain yang
tidak bervisi—berbeda dengan desain ‘sederhana,’ desain tak bervisi bisa saja ramai dan norak,
tapi tetap kosong dan itu bukanlah sebuah desain. Visi dari desain ini adalah simbol, adalah estetika,
adalah Hanasukiya.

METODE

Metode yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah pendekatan deduktif dan metode
komparatif. Metode komparatif ini dengan melakukan perekaman foto obyek penelitian dengan
mengkaitkan, kemungkinan pengaruh gaya arsitektur yang ada di sekitar obyek penelitian. Metode
pendekatan deuktif yaitu dengan menggunakan metode dekskriptif deduktif sebagai cara utama
dalam mencari dan mendapatkan data serta informasi yang menjadi dasar dalam penulisan. Penulis
juga mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan gaya eklektik, arsitektur, dan rumah Kapitan
di Palembang melalui jurnal, website, artikel jurnal dan lain-lain. Dan hasil kajian dikupas dengan
teori-teori para ahli filsafat seni supaya pembaca dapat dengan mudah memahami isi penulisan
dengan pemahami isi teori para ahli dan simpulan akhir.

PEMBAHASAN

Tampilan Arsitektur Rumah Kapitan

Pembahasan tampilan arsitektur Rumah Kapitan, terhadap elemen arsitektur yang terdiri dari atap,
dinding dan tiang penyangga bangunan, dengan bacaan Teori Estetika Simbiosis sebagai variabel
bebas, agar di dapat hasil kajian lebih obyektif.

Tampilan Rumah Kapitan ditinjau dari aspek bentuk atapnya adalah tradisional Limas Palembang,
tetapi jika dilihat dari tampilan tempat kedudukannya, bagian dari panggungnya, merupakan gaya
kolonial, gaya arsitektur Barat. Rumah Kapitan ini memiliki courtyard yang menjadi identitas
rumah-rumah Cina—

seperti yang ada ditulisan Hadinoto.

tentang ciri-ciri dari arsitektur Tionghoa yang ada di Asia Tenggara.

1. Elemen Penyangga – Kaki Bangunan

Kesamaan Karakter Pada Kaki Bangunan Antara Rumah Kapitan Dengan Karakter Rumah Siput
Yang Memiliki Gaya Arsitektur Kolonial – Belanda.

Sementara pada dinding dan kolom, serta atap masih kuat pengaruh tradisional, Limasan
Palembang. Karena itu dugaan bahwa Teori Estetika Simbiosis, untuk mengindikasikan bahwa
tampilan Rumah Kapitan dengan metode komparasi, membandingkan / mensejajarkan dengan
parameter elemen arsitektur. Seperti yang terlihat pada analisis di samping.
2. Elemen Atap dan Kolom/Tiang

Atap sebagai mahkota berpijak/mengacu pada atap arsitektur tradisional Limas Palembang.

Pengaruh bangunan di lingkungan Rumah Kapitan memiliki konstribusi dalam pembentukan


karakter bangunan, dari mulai bagian atap, kolom, dan bagian bawah – kaki bangunan. Adalah
Ambiguitas, Semiosis; memiliki karakter lokal pada atap dan kolom, serta kolonial pada kaki.
Tampilan arsitektur Rumah Abu, jika dikomparasi sama dengan Rumah Kapitan, terutama pada
elemen arsitektur - atap bangunan.

Perbedaannya adalah bahwa parameter yang mempengaruhi, elemen arsitektur, seperti kolom batu
dan dinding bangunan lebih kuat pengaruh gaya kolonialnya. Meskipun secara metode analisis
dengan pendekatan yang sama, tetapi elemen arsitektur sebagai parameter berbeda, sehingga
hasilnya juga berbeda – arah modern kolonialnya lebih jelas.

3. Elemen Dinding dan Kolom Bangunan

Elemen arsitektur yang juga signifikan kuat mempengaruhi tampilan Rumah Abu adalah pada
kolom dan dinding. Kolom dan dinding setelah dilakukan analisis terbuat dari batu, hal ini berbeda
dengan Rumah Kapitan yang dinding dan kolom terbuat dari kayu. Sama halnya dengan yang
terjadi pada Rumah Kapitan, bahwa dugaan Teori Estetika Simbiosis, untuk mengindikasikan
bahwa tampilan Rumah Abu dengan metode komparasi, membandingkan / mensejajarkan dengan
parameter elemen arsitektur. Seperti yang terlihat pada analisis di samping terpenuhi / terbukti.

Semua dinding dan kolom pada lantai bawah dari batu bata, maka konsekuensi logisnya gaya ini
diterima oleh suatu pondasi (tidak dapat dilihat). Sementara untuk lantai 2, dinding luar keliling
batu bata, dan dinding bagian dalam / penyekat ruang dari kayu.

Parameter yang berpengaruh terhadap Rumah Abu berbeda dengan parameternya Rumah Kapitan.
Rumah Abu yang secara fungsional historisnya sebagai tempat penerima tamu – tamu Belanda,
kalau Rumah Kapitan sebagai tempat tinggal Kapiten. Dinding, kolom dari batu bata, kalau Rumah
Kapitan dinding, kolom dari kayu.

Parameter Dari Lingkungan yang Berpengaruh :

a. Karakter Masjid Agung Hasil Renovasi Belanda


b. Gaya Arsitektur Kolonial – Neo Colonialism di Indonesia

Kaki bangunan sebagai konstruksi panggungnya berpijak pada arsitektur Barat/kolonial. Belanda
membangun kembali Mesjid Agung dan memberikan penanda sebuah elemen arsitekturnya seperti
adanya kolom dengan pediamen

KESIMPULAN

Hipotesa yang menyatakan bahwa tampilan arsitektur Rumah Kapitan merupakan percampuran
arsitektur Limas Palembang, arsitektur kolonial dan arsitektur Cina terbukti dengan melakukan
berbagai tahapan analisis.

Seperti halnya Rumah Kapitan, Rumah Abu juga memiliki analogi yang sama. Secara kasat mata
tampilan Rumah Abu memang memiliki karakter yang sedikit berbeda dengan Rumah Kapitan,
Rumah Abu lebih condong pada bangunan kolonial. Hal tersebut terjadi dikarenakan unsur – unsur
konstruksi sebagai kontributor gaya arsitektur tidak sebanyak Rumah Kapitan, unsur – unsur
konstruksinya lebih banyak dari gaya kolonial. Meskipun demikian, masih terlihat ambiguitasnya,
karena atap dari tampilan Rumah Abu masih mengacu pada tampilan atap Lokal, Limas
Palembang.
Perbedaan, konstruksi panggungnya Rumah Kapitan dengan Rumah Abu adalah pada Dinding nya,
Rumah Kapitan dari kayu sementara Rumah Abu dari batu bata. Tetapi pada prinsipnya kajian/
analisis terhadap elemen dan unsur-unsur arsitekturnya sama.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian artikel
ini. Terima kasih kepada dosen saya, Baga Agus Nur Salim yang telah membuat saya mebuat
artikel ini sehingga saya menjadi lebih tahu mengenai tempat yang belum saya kunjungi di kota
asal saya sendiri. Terima kasih kepada Ibu Surti sedalam-dalamnya karena selalu mendukung saya
dalam pembuatan artikel ini dan tak pernah lelah membantu saya untuk mencari referensi
mengenainya. Juga pihak lain yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih

DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/sumarnibayuanita/588230b3559373640bbb3e8d/kampung-
kapitan-sejarah-palembang-yang-terpinggirkan

http://journal.unpar.ac.id/index.php/unpargraduate/article/view/839

https://docplayer.info/46022212-Tektonika-eklektik-sebagai-kajian-tampilan-estetika-simbiosis-
pada-rumah-kapitan-di-tujuh-ulu-palembang.html

https://finifio.wordpress.com/2016/06/06/konservasi-rumah-abu-kampung-kapitan-7-ulu-
palembang/

https://www.femina.co.id/home-interior/dekorasi-rumah-bergaya-eklektik-seperti-apa-sih-

https://www.arsitag.com/article/gaya-desain-eklektik-yang-unik

Anda mungkin juga menyukai