Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“Teori Evolusi Kelelawar”

Disusun Oleh :
Muhammad Youri Azreal
XII MIPA 2

SMA NEGERI 1 LEUWILIANG


TAHUN AJARAN
2019/2020

i
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Teori Evolusi
Kelelawar ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Ir. Nana pada mata pelajaran Biologi Kelas XII. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Kelelawar dan teori tentang evolusinya bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir.Nana, selaku Guru Mata Pelajaran
Biologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan kepada saya.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini, baik di
internet/buku.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bogor,4 Februari 2020

Muhammad Youri Azreal

2
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................ i


Daftar isi ......................................................................... ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ................................................ 4

BAB II Pembahasan

A. Moyang Kelelawar .......................................... 6

B. Evolusi Kelelawar ........................................... 7

C. Bukti Evolusi Kelelawar ............................... 13

BAB III Penutup

A. Kesimpulan................................................... 22

Daftar Pustaka .............................................................. 23

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Evolusi adalah ilmu yang mempelajari sejarah asal-usul makhluk hidup dan
keterkaitan genetik antar makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup
yang lain. Hassan, dkk., 2014 mengemukakan bahwa evolusi, atau sering juga
disebut evolusi organik atau evolusi Biologi, adalah perubahan dari waktu ke
waktu pada satu atau lebih sifat terwariskan yang dijumpai pada populasi
organisme. Ciri-ciri yang terwariskan ini mencakup anatomi, biokimia, ataupun
perilaku yang berjalan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Evolusi
mempengaruhi setiap aspek bentuk dan perilaku organisme. Yang paling
menonjol adalah perilaku spesifik dan adaptasi fisik yang merupakan hasil
seleksi alam. Dalam jangka waktu yang sangat lama, evolusi akan
menyebabkan terjadinya spesiasi yaitu terbentuknya spesies baru.

Pada tahun 1859, Charles Darwin mengemukakan teorinya tentang evolusi


melalui seleksi alam sebagai penjelasan atas adaptasi dan spesiasi, dalam
bukunya yangberjudul On the Origin of Species. Darwin dalam bukunya The
Origin of Species menyatakan bahwa makhluk hidup yang ada di bumi ini
merupakan hasil keturunan dari moyang yang sama yang mengalami
modifikasi, ada suatu mekanisme untuk menjelaskan bagaimana perubahan
evolusi itu berlangsung yang disebut dengan teori seleksi alam. Gagasan
tentang evolusi itu telah memberikan suatu penjelasan yang masuk akal
tentang sejumlah fakta yang sukar dimengerti (Kimball, 1983).

Tantangan utama dalam Biologi adalah untuk memahami bagaimana spesies


berevolusi. Hari ini, tentang 156 tahun setelah penerbitan Darwin “On the Origin of
Species” kita benar-benar masih tidak mengerti proses spesiasi. Hal ini sebagian
disebabkan oleh kenyataan bahwa kebanyakan studi klasik spesiasi didasarkan pada
spesies yang telah menyimpang, dan karena itu, kami berspekulasi kembali pada
waktunya untuk menyimpulkan penyebab spesiasi.

Pada makalah ini akan dibahas tentang evolusi hewan yaiu evolusi kelelawar.
Kelelawar merupakan salah satu anggota mamalia yang termasuk ke dalam ordo
Chiroptera yang berarti mempunyai “sayap tangan”, karena kaki depannya
bermodifikasi sebagai sayap yang berbeda dengan sayap burung (DeBlase dan
Martin, 1981). Sayap kelelawar dibentuk oleh perpanjangan jari kedua sampai kelima
yang ditutupi oleh selaput terbang atau patagium, sedangkan jari pertama bebas dan
berukuran relatif normal. Antara kaki depan dan kaki belakang, patagium ini
membentuk selaput lateral, sedangkan antara kaki belakang dan ekor membentuk
interfemoral.

4
B. Rumusan Masalah

Mempelajari lebih jauh tentang evolusi kelelawar, menimbulkan beberapa pertanyaan


yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah moyang dari kelelawar?
2. Bagaimanakah proses evolusi kelelawar?
3. Apa sajakah bukti-bukti evolusi kelelawar?
4. Bagaimanakah taksonomi kelelawar?
5. Bagaimana keterkaitan genetik kelelawar dengan makhluk hidup yang lain?
C. Tujuan

Berdasarkan pada rumusan masalah, dapat ditetapkan tujuan sebagai berikut:


1. Mengetahui moyang kelelawar.
2. Mengetahui proses evolusi kelelawar.
3. Mengetahui bukti-bukti evolusi kelelawar.
4. Mengetahui taksonomi kelelawar.
5. Mengetahui keterkaitan genetik kelelawar dengan makhluk hidup yang lain.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Moyang Kelelawar

Informasi yang diketahui sangat sedikit mengenai evolusi kelelawar, karena fosil yang
ditemukan 55 juta tahun yang lalu ternyata sudah seperti kelelawar yang ada pada
saat ini. Kelelawar pertama yang diketahui diberi nama Icaronycteris, hidup di
Amerika Utara dan memiliki lebar sayap sepanjang 37 cm. Sayapnya pendek dan
lebar. Kelelawar tidak sejak awal diciptakan dengan kemampuan navigasi untuk
melakukan manuver di kegelapan. Kelebihannya itu mungkin baru berkembang
setelah kelelawar bisa terbang. Hal tersebut dapat dilihat dari fosil spesies kelelawar
primitif yang ditemukan di Wyoming, AS. Kelelawar tersebut diperkirakan hidup
sekitar 52 juta tahun lalu. Dilihat dari tulang-belulangnya, kelelawar tersebut sudah
dapat terbang. Namun, hewan tersebut tidak memiliki tulang yang berfungsi dalam
proses navigasi berbasis gelombang suara yang sering disebut echolocation.
Kemampuan ini digunakan untuk menghindari penghalang di depannya saat terbang
atau posisi mangsanya. Kelelawar mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi dan
menerima pantulannya untuk mengukur jarak.

Sejauh ini, semua fosil kelelawar yang pernah ditemukan memiliki


kemampuan tebang maupun echolocation. Jadi, para peneliti hewan masih
memperdebatkan sejak kapan kemampuan tersebut muncul. Temuan
kelelawar primitif tanpa echolocation dilaporkan Nancy Simmons, Kepala
Divisi Vertebrata Museum Sejarah Nasional Amerika, New York dan timnya
dalam jurnal Nature edisi terbaru. Mereka memberi nama ilmiah
Onychonycteridae finneyi untuk menghargai Bonnie Finney, seorang kolektor
yang menemukannya pada tahun 2003. Ukurannya sedikit lebih kecil daripada
kelelawar yang masih hidup, dengan lebar kepakan sayap sekitar 30
centimeter. Struktur giginya menunjukkan bahwa ia makan serangga. Seluruh
jari kukunya berkuku, tidak seperti kelelawar umumnya yang hanya pada satu
atau dua jari.

6
B. Evolusi Kelelawar

1. Evolusi Sayap Kelelawar

Sayap telah berkembang secara mandiri dalam vertebrata setidaknya tiga kali:
di pterosaurus, burung, dan kelelawar. Meskipun para ilmuwan tahu bahwa
pterosaurus, seperti kelelawar, terbang dengan sayap yang terdiri dari kulit
membentang dari tangan ke tubuh. Sayap burung, di sisi lain terdiri dari bulu.
Burung dan kelelawar, mempunyai sayap tebal di depan, cembung di atas,
dan cekung atau flat di bagian bawah. Sebagai bentuk ini irisan melalui udara,
zona tekanan rendah yang terbentuk oleh udara lebih cepat bergerak ke atas,
dan tekanan udara tinggi mendorong sayap ke bawah, menciptakan daya
angkat. Untuk meringankan tubuh mereka dan meminimalkan jumlah daya
angkat yang mereka harus membuat, baik burung dan kelelawar biasanya
relatif kecil, dan burung memiliki tulang berongga.

7
Penelitian terbaru dari Brown University menunjukkan kelelawar telah
berevolusi, khususnya pada bagian sayap. Sayap yang dimiliki hewan
tersebut diketahui mampu menyimpan energi pada saat terbang dari satu
tempat ke tempat lain. Dilansir Softpedia, Kamis (12/4/2012), salah satu
alasan mengapa hewan mamalia yang mampu terbang tersebut mampu
menyimpan energi adalah karena sayap mereka yang sangat fleksibel. Para
ilmuwan mengatakan bahwa temuan ini bisa bermanfaat bagi insinyur yang
bergelut di bidang penerbangan untuk desain sayap pesawat terbang.

Sayap kelelawar memiliki membran tipis yang memungkinkan mereka untuk


terbang dan menjaga berat badan mereka secara keseluruhan. Studi baru ini
dipimpin oleh tim interdisipliner dari ahli Biologi, Fisikawan dan insinyur di
Brown University, Providence, Amerika Serikat. Dengan menganalisis
dinamika gerakan sayap kelelawar ketika terbang dengan detail yang tajam,
para ilmuwan dapat mengetahui bahwa hewan itu bisa melipat sayap mereka
ke dalam tubuh mereka. Gerakan lipatan tersebut dipercaya oleh para
ilmuwan sebagai sebuah jeda atau istirahat, sehingga dikatakan mampu
menghemat hingga 65 persen energi. Kemudian, energi yang tersimpan itu
digunakan untuk kepakan selanjutnya sehingga kelelawar bisa terbang lebih
lama dan lebih tinggi. Menurut ilmuwan, hal ini sangat penting karena
kelelawar memiliki otot dan persendian di sayapnya seperti otot pada tangan
manusia. Ilmuwan percaya sayap fleksibel seperti kelelawar, memungkinkan
hewan itu untuk dapat mengimbangi berat badannya.

2. Evolusi Tengkorak Kelelawar

Sebuah studi baru, yang melibatkan tengkorak kelelawar, pengukuran


kekuatan gigitan dan sampel kotoran, dikumpulkan oleh tim
ahli biologi evolusi internasional, membantu dalam memecahkan pertanyaan
yang mengganggu evolusi: Mengapa beberapa kelompok hewan
mengembangkan sejumlah spesies yang berbeda dari waktu ke waktu
sementara yang lain hanya sedikit berevolusi. Temuan mereka muncul dalam
edisi terbaru Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Elizabeth Dumont dari University of


Massachusetts Amherst serta Liliana Davalos dari Stony Brook University
bersama rekan-rekan dari UCLA dan Leibniz Institute for Zoo and Wildlife
Research, Berlin, menyusun sejumlah besar data pada pola makan, kekuatan

8
gigitan dan bentuk tengkorak dalam keluarga kelelawar Dunia Baru, dan
memanfaatkan teknik statistik baru untuk melakukan penanggalan dan
pendokumetasian perubahan-perubahan dalam tingkat evolusi pada sifat-sifat
ini serta jumlah spesies dari waktu ke waktu.

Mereka menyelidiki mengapa ada lebih banyak spesies dari kelelawar


Berhidung-Daun Dunia Baru, hampir 200 spesies, sedangkan kerabat
terdekat mereka hanya menghasilkan 10 spesies selama periode waktu yang
sama. Kebanyakan kelelawar adalah pemakan serangga, sedangkan
kelelawar Berhidung-Daun Dunia Baru adalah pemakan nektar, buah, katak,
kadal dan bahkan darah.

Tengkorak dan wajah kelelawar pemakan nektar (kiri), kelelawar pemakan


serangga (tengah) dan kelelawar pemakan buah (kanan).

Tengkorak pendek kelelawar buah memungkinkan mereka menggigit dengan


lebih keras dibandingkan kelelawar pemakan nektar atau serangga. (Kredit:
Elizabeth Dumont, UMass Amherst). “Jika ketersediaan buah memberikan
kesempatan ekologis yang menyebabkan peningkatan signifikan dalam
kelahiran spesies baru, maka morfologi tengkorak seharusnya memprediksi
pola makan maupun kekuatan gigitan,” kata para peneliti. Mereka
menemukan dukungan untuk prediksi ini dengan menganalisis ribuan pohon
evolusi lebih dari 150 spesies, mengukur lebih dari 600 tengkorak 85 spesies
individu kelelawar, menguji kekuatan gigitan pada lebih dari 500 ekor
kelelawar dari 39 spesies di lapangan serta memeriksa ribuan sampel kotoran
untuk mengidentifikasi pola makan kelelawar.

Mereka menemukan bahwa munculnya bentuk tengkorak yang baru pada


kelelawar Berhidung-Daun Dunia Baru sekitar 15 juta tahun lalu menyebabkan
ledakan banyak spesies kelelawar baru. Bentuk baru pada masa itu berupa
tengkorak rendah dan lebar yang memungkinkan kelelawar kecil
menghasilkan gigitan kuat yang diperlukan untuk memakan buah yang keras.
Tingkat kelahiran spesies baru meningkat sebagaimana bentuk baru ini
berevolusi, dan kelompok kelelawar ini dengan cepat meningkatkan proporsi
buah dalam pola makan mereka. Perubahan bentuk melambat saat tengkorak
baru ini berevolusi.

9
Bisa menjadi sulit bagi para ahli Biologi evolusi untuk menunjukkan bahwa
sifat-sifat yang terkait dengan perubahan anatomi, juga disebut “inovasi
morfologi” seperti bentuk tengkorak yang baru, memberikan keuntungan
bertahan hidup bagi kelompok-kelompok tertentu ketika sumber makanan
baru, seperti buah keras, menjadi tersedia.

“Studi ini dilakukan selama Tahun Kelelawar Internasional (International Year


of the Bat) menawarkan contoh yang jelas tentang bagaimana evolusi sifat
baru, dalam hal ini sebuah tengkorak dengan bentuk yang baru,
memungkinkan hewan-hewan untuk menggunakan sumber daya baru dan
pada akhirnya, dengan cepat berevolusi menjadi spesies baru,” kata Dumont.
“Kami menemukan bahwa ketika ceruk ekologi baru terbuka dengan sebuah
peluang bagi kelelawar yang bisa memakan buah keras, mereka menggeser
pola makan mereka secara signifikan, yang pada gilirannya menyebabkan
evolusi spesies baru.”

3. De-evolusi Kelelawar

Evolusi selalu bergerak maju dan mahluk hidup yang mengalaminya


kehilangan kemampuan-kemampuan yang sudah tidak terpakai lagi yang dulu
dimiliki spesies nenek moyang mahluk hidup tersebut. Melalui pengamatan
yang lebih cermat, sebenarnya evolusi juga bisa bergerak mundur, ini disebut
de-evolusi atau devolusi.

Contoh lain yang unik dari devolusi adalah kelelawar. 2 spesimen


Onychonycteris yang merupakan nenek moyang kelelawar ditemukan di tahun
2003. Fosil tersebut berusia 52,5 juta tahun, jadi berasal dari era Eocene.
Onychonycteris sudah mengembangkan sayap-sayap tapi masih memiliki
cakar di 5 jari tangannya. Sebagai perbandingan, kelelawar masa kini hanya
memiliki 2 atau 3 cakar. Perbedaan lainnya adalah Onychonycteris tidak
memiliki telinga besar seperti pada kelelawar masa kini. Telinga besar pada
kelelawar masa kini digunakan sebagai pendeteksi gema saat terbang, baik
untuk menentukan halangan, lokasi serta menemukan serangga terbang yang
menjadi makanannya.

Onychonycteris memiliki 5 jari bercakar yang tampaknya digunakan untuk


memanjat pohon. Cakar-cakar di ujung jari serupa dengan binatang pemanjat
pohon yang tidak bisa terbang seperti kukang. Saat kelelawar purba
menemukan serangga terbang, dia akan meloncat ke udara untuk
mendapatkan serangga tersebut. Awalnya binatang ini terbang meluncur
serupa dengan tupai atau kadal terbang, tanpa mengepak-ngepakkan sayap,
belakangan Onychonycteris mengembangkan kemampuan mengepakkan
sayap sehingga dia bisa melakukan manuver di udara supaya lebih lincah
menangkap serangga terbang atau menghindari hewan pemangsa. Secara
bersamaan berkembang pula kemampuan terbangnya sehingga dia berubah
menjadi mahluk terbang yang tidak lagi memanjat pohon.

Karena fosil-fosil Onychonycteris terkena tekanan dan meratakan tulang-


tulang kepalanya, tidak jelas apakah rongga mata hewan ini besar atau kecil.
Mata yang besar terkait pada kemampuan hewan ini melihat di malam hari

10
sebaliknya mata yang kecil menunjukkan kalau hewan ini hidup di siang hari.
Walau petunjuk tidak langsungnya adalah hewan ini belum memiliki telinga
yang besar sehingga kemungkinannya condong kalau kelelawar purba aktif
mencari makan di siang hari. Keberadaan pemangsa seperti nenek moyang
burung memaksanya untuk berburu di malam hari, sehingga seperti pada
kelelawar masa kini, terbentuklah mata yang besar dan sistem indra sonar
yang bisa membantunya untuk mencari makan di malam hari. Sebagian
peneliti menduga sistem sonar canggih pada kelelawar pada awalnya
berkembang karena kelelawar purba berusaha mendengarkan suara-suara
halus dari gerakan serangga mangsanya di tengah gelapnya hutan yang
penuh dengan daun, ranting dan batang pohon.

Di masa kini di Selandia Baru ada spesies kelelawar ekor pendek (Mystacina
tuberculata) atau disebut pekapeka-tou-poto dalam bahasa Maori. Panjang
badan dari kepala sampai ujung badan antara 6 – 7 cm dan lebar sayap antara
28 – 30 cm. Berat kelelawar dewasa antara 10 – 22 gram sebelum diberi
makan. Hebatnya, setelah berburu dan makan semalaman, berat badannya
bisa bertambah 30%. Itu setara seorang manusia yang berat badannya 60 kg
bertambah 18 kg setelah makan. Selandia Baru hanya memiliki 2 spesies
kelelawar dan bisa dibedakan dengan mudah karena yang satunya memiliki
ekor, selain ada telinga yang besar dan runcing.

Kelelawar ekor pendek pemakan segala yang ada di hutan, tentunya yang
sesuai dengan ukuran badannya yang mungil. Mereka bisa terbang selain
juga mengorek-orek timbunan sampah daun di dasar hutan demi
mendapatkan serangga. Selain makan serangga mereka juga makan buah,
bunga dan spora.

Siang hari mereka tidur dan baru muncul antara 20 – 150 menit sebelum
matahari terbenam, lalu berburu sepanjang malam. Mereka hanya
menggunakan sekitar 30% waktu mereka untuk menangkap serangga yang
sedang terbang dan tinggi terbangnya biasanya kurang dari 2 meter dari atas
tanah. Sekitar 40% waktu berburu mereka digunakan untuk makan dari
tanaman, sisa 30% waktu digunakan untuk berburu di dasar hutan. Mereka
bisa berjalan dan berlari sambil melipat sayap-sayap mereka. Dengan
kelakuan ini, kelelawar ekor pendek menjadi spesies kelelawar yang paling
sedikit menggunakan sayapnya dan spesies kelelawar yang paling banyak
menggunakan kakinya untuk berjalan dan berlari. Spesies ini juga sudah
mengembangkan tulang panggul yang cocok untuk aktivitas berburu seperti
ini.

Spesies kelelawar ekor pendek di Selandia Baru sedang terancam punah


karena serangan tikus hutan. Kalau tanpa campur tangan manusia, spesies
kelelawar ini tidak bisa bertahan, jadi para peneliti dari Universitas Massey di
Selandia Baru berinisiatif memasang umpan-umpan berisi racun tikus demi
mengurangi populasi tikus. Awalnya ditemukan beberapa kelelawar ekor
pendek ikut mati karena racun tikus, setelah para peneliti memperbaiki cara
pemasangan umpan berisi racun tikus, tidak ditemukan ada kelelawar yang
mati. Kotoran kelelawar masih mengandung racun tikus dalam dosis kecil.
Setelah beberapa kelelawar ekor pendek ditangkap untuk diteliti, terutama

11
kelelawar betina yang sedang hamil, untuk melihat apakah mereka akan
keguguran karena konsumsi racun tikus, ternyata tidak ditemukan gejala sakit
pada kelelawar-kelelawar. Para peneliti yang mengawasi kelelawar juga
mendapati kalau sebenarnya kelelawar-kelelawar ini tidak secara langsung
memakan umpan berisi racun tikus, tapi karena sebagian serangga yang
dimakan sudah memakan umpan-umpan untuk tikus.

Jadi kelelawar purba adalah binatang pemanjat pohon yang tidak bisa terbang
dan tidak memiliki indra sonar, hanya memiliki kemampuan meloncat serta
meluncur. Kelelawar-kelelawar saat ini, hampir semuanya, menangkap
serangga sambil terbang. Lalu ada spesies kelelawar ekor pendek yang
kembali menggunakan kaki-kakinya sambil mengurangi penggunaan sayap-
sayapnya. Ini sebuah devolusi yang disebabkan oleh pola makan dan
ketersediaan mangsa.

Contoh-contoh di atas menunjukkan, kalau alam bisa mendorong spesies-


spesies hewan untuk menjalani devolusi, yang bisa terjadi karena perubahan
lingkungan seperti ada atau tidak adanya ketersediaan makanan di suatu
wilayah, juga ancaman hewan-hewan pemangsa. Sebelum pemahaman yang
semakin berkembang tentang devolusi, sudah diketahui kalau perubahan
iklim, ketersediaan air untuk diminum hewan, aktivitas-aktivitas manusia juga
mendorong evolusi.

4. Evolusi Konvergen Ekolokasi

Ekolokasi adalah penggnaan gelombang sara untk menentukan letak obyek-


obyek yang ada berdasarkan pantlan gelombang suara itu. Selain
penglihatan, kelelawar lebih mengandalkan pada suaranya yang nyaring
untuk menuntunnya terbang. Ia mengeluarkan bunyi yang dinamakan
"Ultrasonic" yang tidak dapat didengar manusia. Getaran bunyi ini mempunyai
frekuensi antara 25.000 - 50.000 Hz. Jika menabrak suatu obyek atau benda,
getaran suaranya itu memantul kembali, lalu ditangkap telinganya yang lebar
yang berfungsi sebagai radar baginya.

Proses ini hanya memakan waktu sepersepuluh detik, cukup bagi kelelawar
untuk mengetahui apa yang ada di depannya, kemana arahnya dan berapa
kecepatannya. Hidungnya yang berbentuk aneh seperti misalnya kaki kuda,
trisula dengan tonjolan, membuatnya dapat mengeluarkan ultra bunyi.
Meskipun dalam kegelapan malam, kelelawar mampu melakukan manuver
kompleks untuk menangkap mangsanya karena memiliki kemampuan
ekolokasi. Kelelawar menentukan letak dinding, pohon, atau mangsanya
melalui pantulan gelombang ultrasonik yang dihasilkannya.

Laporan Penelitian - Kelelawar dan lumba mengevolusi echolocation dengan


cara yang sama. Kelelawar dan lumba-lumba tidak memiliki banyak
kesamaan. Alam penuh contoh evolusi konvergen dimana organisme tampak
sama atau memiliki kemampuan dan sifat-sifat sama. Burung, kelelawar dan
serangga memiliki sayap. Ilmuwan berasumsi hal baru terbentuk pada tingkat
genetik dengan cara berbeda secara fundamental. Namun beberapa bukti
menunjukkan echolocating kelelawar dan lumba-lumba memiliki mutasi pada

12
protein sama disebut prestin yang mempengaruhi sensitivitas pendengaran.
Peneliti lainnya menemukan beberapa sifat pada protein juga terjadi pada
mamalia lain.

Sekarang sebuah tim memperluas pencarian konvergensi molekuler pada


seluruh genom. Stephen Rossiter dan Joe Parker di Queen Mary College,
University of London, menarik dataset besar untuk mencari evolusi konvergen
2.326 gen secara bersama pada 22 mamalia termasuk 6 kelelawar dan lumba-
lumba botol. Kelelwar dan lumba-lumba berburu mangsanya dengan
memancarkan suara bernada tinggi dan mendengarkan gema. Rossiter dan
rekan menunjukkan kemampuan yang muncul secara independen pada setiap
kelompok mamalia tapi memiliki tahapan mutasi genetik yang sama.

Sebuah tanda tangan konvergensi di hampir 200 wilayah genom. Gen yang
terlibat dalam pendengaran lebih mungkin berevolusi sama di seluruh spesies
yang terlibat dalam sifat biologis lainnya. Beberapa gen yang terlibat dalam
penglihatan juga membawa sinyal terkuat konvergensi. "Kejutan terbesar.
Evolusi molekuler konvergen tampaknya meluas dalam genom" kata Frédéric
Delsuc, filogenetikawan Montpellier University di Perancis. Evolusi kadang-
kadang muncul dengan sifat-sifat baru melalui urutan langkah-langkah yang
sama, bahkan pada hewan yang sangat berbeda. Penelitian ini juga
menunjukkan evolusi konvergen adalah hal umum dalam genom.

C. Bukti Evolusi Kelelawar

Bukti-bukti evolusi kelelawar adalah sebagai berikut:

1. Fosil

13
Gambar: Fosil kelelawar Onychonycteridae finneyi (Sumber Vaughan 1987)

Studi Analisis Fosil Kelelawar

Tim ahli paleontology dari Amerika Serikat dan Inggris telah berhasil
menentukan warna pada kelelawar yang telah punah berdasarkan fosil
dengan penanggalan sekitar 50 juta tahun. Penemuan ini merupakan pertama
kalinya bagi ilmuwan untuk mendeskripsikan warna tubuh mamalia yang telah
punah melalui analisis fosil. Tim yang dikepalai oleh Dr Jakop Vinther dari
University of Bristol, Inggris, menentukan warna dua spesies kelelawar,
Palaeochiropteryx sp. dan Hassianycteris sp., yang hidup di era Eocene,
sekitar 56-33,9 juta tahun lalu.

Dengan mempelajari bola mikroskopis dan struktur berbentuk persegi panjang


pada fosil, para ilmuwan menemukan bahwa kelelawar tersebut berwarna
cokelat kemerah-merahan. “Struktur mikroskopis tradisional yang diyakini fosil
bakteri sebenarnya melanosom - organel dalam sel yang mengandung
melanin, pigmen yang memberikan warna pada rambut, bulu, kulit, dan mata,"
kata Dr Vinther. “Yang sangat penting, kami melihat adanya melanin berbeda
yang ditemukan di dalam organel dengan berbagai bentuk: melanosom
berwarna kemerah-merahan berbentuk seperti bakso kecil, sementara itu,
melanosom warna hitam berbentuk seperti sosis kecil. Kita dapat melihat hal
semacam ini juga terdapat pada fosil,” tutur Dr Vinther.

Artinya, korelasi antara warna melanin dan bentuknya merupakan warisan


nenek moyang, sehingga kita dapat mengetahui warna berdasarkan fosil
hanya dengan melihat bentuk melanosom saja. Selain bentuknya, melanosom
secara kimiawi juga berbeda. Dalam rangka mengidentifikasi asal usul struktur
ini, tim ilmuwan kemudian mereplikasi kondisi dimana fosil dibentuk dengan
menggunakan tekanan tinggi dan suhu tinggi percobaan autoclave. Mereka
menunjukkan bahwa fosil mengandung fosil melanin dengan menggunakan
waktu penerbangan spektroskopi massa ion sekunder, yang komposisi
kimianya telah berubah dari waktu ke waktu. “Dengan menggabungkan
percobaan ini kami dapat melihat bagaimana melanin secara kimiawi berubah
selama jutaan tahun, membangun cara baru yang sangat menarik dalam
mengungkap informasi fosil yang sebelumnya misterius,” kata anggota tim,

14
Caitlin Colleary, mahasiswa pascadoktoral di Virginia Polytechnic Institute and
State University.

2. Homologi dan Analogi

3. Embriologi Perbandingan

Semua anggota Vertebrata dalam perkembangan embrionya menunjukkan


adanya persamaan. Persamaan perkembangan embrio dimulai dari tahap
berikut ini : peleburan sperma dengan ovum à zigot à pembelahan (cleavage)
morulla à blastula à gastrula à tahap awal perkembangan embrio.

Adanya persamaan perkembangan pada semua golongan Vertebrata,


tersebut menunjukkan adanya hubungan kekerabatan. Perkembangan
individu mulai dari sel telur dibuahi hingga individu itu mati disebut Ontogoni.
Kalau kita bandingkan dengan filogeni, yaitu sejarah perkembangan
organisme dari filum yang paling sederhana hingga yang paling sempurna,
maka akan kita lihat adanya kesesuaian. Sehingga kita dapat mengatakan
bahwa ontogeni merupakan filogeni yang dipersingkat. Dengan kata lain,
ontogeni merupakan ulangan (rekapitulasi) dari filogeni.

15
4. Variasi Kelelawar

Dalam pokok-pokok pikiran Darwin dinyatakan bahwa tidak ada dua individu
di dunia ini yang bener-benar sama. Variasi antar individu juga merupakan
petunjuk terjadinya evolusi. Variasi menunjukka adanya perbedaan sifat yang
diturunkan oleh induk ke generasi berikutnya. Berikut adala variasi pada
kelelawar.

5. Spesiasi

Tantangan utama dalam biologi adalah untuk memahami bagaimana spesies


berevolusi. Hari ini, tentang 156 tahun setelah penerbitan Darwin “On the
Origin of Species” kita benar-benar masih tidak mengerti proses spesiasi. Hal
ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa kebanyakan studi klasik
spesiasi didasarkan pada spesies yang telah menyimpang, dan karena itu,
kami berspekulasi kembali untuk menyimpulkan penyebab spesiasi.

Gambar Bumblebee kelelawar, terkecil mamalia di dunia; foto diambil di


Burma 2006 oleh tim lapangan.

16
Dr. Emma Teeling mengemukakan penelitian ini adalah unik dalam arti bahwa
spesiasi yang “sedang beraksi” pada populasi yang saat ini menyimpang
secara ekologis. Populasi ini adalah mamalia terkecil di dunia, kelelawar lebah
(Craseonycteris thonglongyai) hanya ditemukan di Thailand dan Burma.
Proses evolusi ini memiliki skala waktu untuk mengidentifikasi sifat dari
proses-proses yang mengakibatkan spesiasi alam. Studi ini menunjukkan
bahwa dalam kasus spesies ini ada aliran gen terbatas yang dihasilkan dari
jarak geografis.

Dr. Sebastien Puechmaille menyatakan bahwa untuk melakukan penelitian ini


kami memeriksa tata ruang, struktur gnetik dan sifat-sifat ekologis sensorik
yang hanya diketahui dari mamalia terkecil di dunia, kelelawar lebah
(Craseonycteris thonglongyai). Kami menghasilkan dan mengumpulkan satu
set data yang besar tentang molekul, ekologi dan akustik menunjukkan bahwa
jarak geografis memainkan peran penting dalam membatasi aliran gen
daripada perbedaan dari echolocation.

Hasil ini mendukung gagasan bahwa ekologi sensorik bertindak sebagai


mekanisme penguatan dalam proses spesiasi. Hasil ini juga mengangkat
pertanyaan apakah spesiasi sympatric benar-benar terjadi, atau jika beberapa
tingkat isolasi geografis dan aliran gen terbatas masih diperlukan untuk
memulai proses spesiasi.

Temuan lain yang menarik dari studi ini adalah identifikasi gen “echolocation”
(RBP-J) menunjukkan tanda-tanda seleksi yang berbeda sesuai dengan
perbedaan dari echolocation pada populasi Thailand. Ini adalah asosiasi
pertama dari gen diidentifikasi dengan kapasitas echolocation. Gen ini terlibat
dalam pembentukan sel-sel rambut di koklea (organ reseptor terdengar di
telinga dalam). Seperti kelelawar menggunakan frekuensi tertinggi (di atas
200 kHz) dari semua mamali sistem pendengaran, terutama sel-sel rambut di
organ Corti, di mana suara diterima dan diperkuat, membutuhkan adaptasi
khusus.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada kompetisi interspesifik dengan


spesies kelelawar, Myotis siligorensis, mungkin adalah penyebab lokalisasi
sensorik atau faktor abiotik seperti suhu dan kelembaban.

Dari sudut pandang konservasi, ini adalah studi pertama untuk menyelidiki
struktur populasi dan sejarah evolusi mamalia terkecil di dunia, kelelawar
lebah, Craseonycteris thonglongyai. “Ini spesies kelelawar langka dan
terancam punah, terbatas pada wilayah 2000 km2 di daerah perbatasan
antara Thailand dan Burma dan dianggap salah satu dari sepuluh spesies
evolusioner yang berbeda dan secara global terancam punah. Secara
filogenetik diwariskan oleh kedua orang tua dan data ekologi menunjukkan
adanya dua spesies kelelawar lebah, satu di Thailand dan Burma, yang
dipisahkan ada sekitar 0,4 juta tahun. Terbatas penyebaran kemampuan
individu dikombinasikan dengan rentang yang sangat terbatas (kurang 2000
km2) menunjukkan bahwa kedua spesies terancam dan memerlukan rencana
pengelolaan dan konservasi yang berbeda.

17
6. Taksonomi Kelelawar

Kelelawar merupakan salah satu anggota mamalia yang termasuk ke dalam


ordo Chiroptera yang berarti mempunyai “sayap tangan”, karena kaki
depannya bermodifikasi sebagai sayap yang berbeda dengan sayap burung
(DeBlase dan Martin, 1981). Sayap kelelawar dibentuk oleh perpanjangan jari
kedua sampai kelima yang ditutupi oleh selaput terbang atau patagium,
sedangkan jari pertama bebas dan berukuran relatif normal. Antara kaki
depan dan kaki belakang, patagium ini membentuk selaput lateral, sedangkan
antara kaki belakang dan ekor membentuk interfemoral.

Anatomi atau bagian tubuh dari kelelawar dapat dilihat dari gambar 2 berikut
ini :

Gambar 2. Anatomi/Bagian tubuh kelelawar (Sumber : Rajesh Rajchal)

Sedangkan perubahan bentuk pertulangan lengan pada kelelawar


dibandingkan dengan mamalia lainnya sebagaimana gambar 3 dibawah ini :

Gambar 3. Perbandingan perluasan kerangka lengan kelelawar


dibandingkan jenis mamalia lainnya. (Sumber : Bats Biology, 2008)

Taksonomi /Klasifikasi Kelelawar

Klasifikasi kelelawar menurut Corbet & Hill (1992) adalah sebagai berikut :

18
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Infra kelas : Eutheria
Ordo : Chiroptera
Subordo : Megachiroptera
Famili : Pteropodidae
Subordo : Microchiroptera
Famili : Rhinolophidae, Hipposideridae, Megadermatidae, Craseonycteridae,
Rhinopomatidae, Nycteridae, Emballonuridae, Phyllostomidae, Mormoopidae,
Noctilionidae, Furipteridae, Thyropteridae, Mystacinidae, Myzopodidae,
Vespertilionidae, Molosidae dan Natalidae.

7. Keterkaitan Genetik

a. Tinjauan Sub Ordo

Kelelawar merupakan fauna troglozene utama di gua-gua karst di Indonesia


(Whitten et al. 1999; Suyanto 2001). Kelelawar adalah Mamalia yang termasuk
dalam ordo Chiroptera. Ciri khas ordo ini adalah tulang telapak tangan
(metacarpal) dan tulang jari (digiti) mengalami pemanjangan sehingga
berfungsi sebagai kerangka sayap. Sayap tersebut terbentuk dari selaput tipis
(petagium) yang membentang antara tulang-tulang telapak dan jari tangan
sampai sepanjang sisi tubuh (Nowak 1994; Altringham 1996).

Ordo Chiroptera terdiri atas 2 subordo, yaitu Megachiroptera dan


Microchiroptera. Kedua subordo ini diduga tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dan merupakan hasil evolusi konvergen, yaitu evolusi yang
terjadi pada dua spesies yang berbeda tetapi beradaptasi dengan cara yang
sama sehingga menghasilkan morfologi yang mirip (Altringham 1996).

Salah satu alasan yang mendukung adalah: saraf superior colliculus (s.c)
kanan pada otak tengah Microchiroptera mengatur retina mata kiri dan
sebaliknya s.c kiri mengatur retina mata kanan. Hal ini ditemukan pada semua
Mamalia, kecuali primata.

Pada Megachiroptera, saraf superior colliculus kanan otak tengah mengatur


retina mata kiri dan mata kanan sekaligus. Keadaan ini hanya ditemukan pada
Primata, Dermoptera, dan Megachiroptera (Corbet & Hill 1992; Altringham
1996). Karena alasan tersebut maka diduga Megachiroptera berasal dari
nenek moyang Primata, sedangkan Microchiroptera diduga berasal dari nenek
moyang bukan Primata (M’Boy 2014).

Penelitian HanGuan et al. (2006) mengenai filogenetika kelelawar juga


mendapatkan bahwa kelelawar Megachiroptera memiliki kekerabatan lebih
dekat dengan primata dibandingkan dengan Microchiroptera. Saat ini
diketahui terdapat 18 famili, 192 genus dan sekitar 1111 jenis kelelawar yang

19
ada di dunia (Safi & Kerth 2004). Menurut Suyanto et al. (1998) terdapat 10
famili, 49 genus, dan sekitar 151 jenis terdapat di Indonesia.

Anggota subordo Megachiroptera makanan utamanya adalah buah


(frugivora), selain itu juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo
ini terdiri atas 1 famili, yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies
(Nowak 1994). Subordo Megachiroptera memiliki ukuran yang relatif besar
(bobot minimum 10 gram maksimum 1500 gram dengan bentangan sayap
maksimum 1700 mm); memiliki mata besar; telinga tidak memiliki tragus;
moncong sederhana dan ekor tidak berkembang; jari kedua dan jari ketiga
terpisah relatif jauh dan memiliki cakar pada jari kedua, kecuali pada
Eonycteris, Dobsonia, dan Neopterix (Altringham 1996).
Anggota subordo Microchiroptera kebanyakan pemakan serangga
(insectivora). Selain itu, ada juga yang penghisap darah (sanguivora),
misalnya Desmodus vampirus; dan penghisap madu misalnya (Leptonycteris
curasoae). Subordo ini terdiri atas 17 famili, 150 genus, dan 945 spesies. Ciri
subordo Microchiroptera adalah berukuran kecil (bobot minimum 2 gram,
maksimum 196 gram dengan bentangan sayap maksimum 70 mm); memiliki
mata kecil; telinga memiliki tragus (tonjolan dari dalam daun telinga) atau anti
tragus (tonjolan dari luar daun telinga); jari sayap tidak bercakar dan moncong
sangat bervariasi, terutama famili Rhinolophidae & Hipposideridae memiliki
daun hidung (noselea) yang kompleks.

b. Tinjauan Evolusi Perkembangan Mamalia.

Mamalia muncul pada zaman Trias sekitar 200 juta tahun lalu. Masa eksaknya
belum pasti dan hal ini terutama karena masalah definisi semata. Jenkins et
al (1997) berpendapat mamalia pada masa yang lebih tua (Trias tengah) dari
ilmuan lainnya, berdasarkan fosil yang menunjukkan keanekaragaman yang
berarti saat 200 juta tahun lalu.

Mamalia berevolusi dari sejenis reptil, sejalan dengan evolusi dinosaurus yang
juga berasal dari jenis lain reptil purba. Transisi dari reptil menjadi mamalia
berada dalam deretan yang halus, diperkuat oleh bukti fosil dengan sejumlah
bentuk perantara, begitu mirip secara anatomi sehingga sulit memilih salah
satunya dan mengatakan “inilah mamalia pertama.” Salah satu perbedaan
kerangka penting antara reptil dan mamalia terletak pada telinga dalam,
dimana reptil hanya memiliki satu tulang sementara mamalia memiliki tiga
tulang, sehingga memperkuat jangkauan frekuensi dan sensitivitas telinga
mereka.

Mamalia mesozoikum purba berukuran kecil dan sangat mungkin bersifat


nokturnal, mirip dengan shrew modern namun merupakan anggota kelompok
yang kini telah punah. Diversifikasi plasenta menjadi ordo-ordo mamalia
sekarang, dari perissodactyl hingga primata, tidak terjadi hingga hampir 150
juta tahun setelah mamalia pertama muncul.

Mamalia plasenta atau secara formal bernama Eutheria, adalah mamalia yang
dilengkapi dengan plasenta, dan karenanya mampu merawat anak mereka di
dalam tubuh mereka sendiri untuk periode yang lebih panjang, berbeda

20
dengan marsupial dan monotremata petelur. Masa kemunculan mamalia
plasenta juga berada pada sekitar masa kepunahan massa di perbatasan
Kapur-Tersier (KT boundary). Masa kepunahan ini paling terkenal karena
punahnya dinosaurus.

Mamalia memiliki karakteristik dengan adanya rambut, kelenjar mamae, otak


yang lebih besar bila dibandingkan dengan vertebrata lain dengan ukuran
yang sama, diferensiasi geligi. Mamalia berkembang dari leluhur reptilia lebih
awal dari burung. Fosil tertua diyakini merupakan mamalia berumur 220 juta
tahun, masa Trias.

Leluhur mamalia merupakan salah satu di antara hewan terapsida, yang


merupakan bagian dari cabang sinapsida dari filogeni reptilia. Terapsida
menghilang saat dinosaurus berlimpah, tetapi mamalia yang berasal dari
terapsida hidup berdampingan dengan dinosaurus selama zaman
Mesozoikum. Sebagian besar mamalia zaman Mesozoikum berukuran kecil
dan sebagain besar mungkin merupakan pemakan serangga. Beragam bukti,
seperti ukuran lubang mata, menyiratkan bahwa mamalia kecil adalah hewan
nokturnal.

Setelah kepunahan massal di masa Kretasesus, saat zaman Senozoikum


datang, mamalia sedang melakukan radiasi adaptif besar-besaran.
Keanekaragaman itu diwakili oleh tiga kelompok utama, yaitu monotrema
(mamalia bertelur), marsupial (mamalia berkantung), dan mamalia eutheria
(mamalia berplasenta).

21
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tentang evolusi kelelawar dapat disimpulkan


sebagai berikut:

1. Moyang kelelawar adalah Icaronycteris.


2. Sayap kelelawar berevolusi berdasarkan pada keadaan lingkngannya
dari kemampannya untuk mencari makan di pohon-pohon kemudian
berubah menjadi mencari makan dengan cara menangkap mangsa
dengan cara terbang. Sedangkan evolusi tengkorak berdasarkan pada
jenis makanannya. Kelelawar juga mengalami de-evolusi dan evolusi
konvergen ekolokasi.
3. Bukti-bukti evolusi kelelawar adalah ditemukannya fosil kelelawar,
homologi dan analogi, embriologi perbandingan, variasi, dan spesiasi.
4. Taksonomi kelelawar menurut Klasifikasi kelelawar menurut Corbet &
Hill (1992) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Filum :
Chordata, Sub Filum : Vertebrata, Kelas : Mamalia, Infra Kelas :
Euteria, Ordo : Chiroptera, Subordo : Megachiroptera, Famili :
Pteropodidae, Subordo : Microchiroptera, Famili : Rhinolophidae,
Hipposideridae, Megadermatidae, Craseonycteridae, Rhinopomatidae,
Nycteridae, Emballonuridae, Phyllostomidae, Mormoopidae,
Noctilionidae, Furipteridae, Thyropteridae, Mystacinidae,
Myzopodidae, Vespertilionidae, Molosidae dan Natalidae.
5. Keterkaitan genetik kelelawar ditinjau dari tingkat ordo bahwa diduga
Megachiroptera berasal dari nenek moyang Primata, sedangkan
Microchiroptera diduga berasal dari nenek moyang bukan Primata.
Keterkaitan genetik ditinjau dari evolusi perkembangan mamalia bahwa
Leluhur mamalia merupakan salah satu di antara hewan terapsida,
yang merupakan bagian dari cabang sinapsida dari filogeni reptilia.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Ahli Paleontologi Berhasil Tentukan Warna Kelelawar yang


Telah Punah. www.climatechange.umm.ac.id. Rekonstruksi
Palaeochiropteryx sp (Obsidian Soul / CC BY-SA 3.0). Nationalgeographic.
Studi ini telah dipublikasikan di jurnal ilmiah Proceedings of the National
Academy of Sciences.
Arsenal, Arsal. 2015. Kelelawar Sebagai Kelompok Fauna Troglozene. html.
Djuri, Sudarsono. Mengenal Dunia Kelelawar. Pendidikan Lingkungan dan
Konservasi Seri 2.1 Pengenalan Dnia Fauna. Pdf.
Gun, HS. 2011. Mempelajari Tengkorak Kelelawar, Ilmuwan Menemukan
Bagaimana Spesies Berevolusi. http://FaktaIlmiah. Html.
Hassan, M. S., Ferial, E.W., dan Soekendarsih, E. 2014. Pengantar Biologi
Evolusi. Erlangga: Jakarta.
http://katakutu.com. De-evolusi Kelelawar. html
http://kliksma.com.html. Evolusi Hewan Terbang.
Kimball, John W. 1983. Biologi Jilid 3, Edisi Kelima. Erlanga: Jakarta.
www.jendelasarjana.com/ Ekolokasi. html.

23

Anda mungkin juga menyukai