Penyalahgunaan NAPZA Terhadap Pasien Dengan Gangguan Jiwa
Penyalahgunaan NAPZA Terhadap Pasien Dengan Gangguan Jiwa
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di
kota besar maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran
NAPZA sudah sangat mengkhawatirkan sehingga cepat atau lambat
penyalahgunaan NAPZA akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut
dengan lost generation (Joewana, 2005).
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori
NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak
koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya
semakin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA
tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model
perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).
Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya
pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan
untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena
pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu,
faktor keluarga dan faktor lingkungan.
Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut;
faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga; faktor lingkungan
lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya
ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000). Dampak yang
terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan
dan ketergantungan. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang
dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu
mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi
penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya
terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada
penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001). Berdasarkan permasalahan yang terjadi
di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga
keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan
perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan
dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai
setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah
dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku
psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat
terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan
jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan
toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).
Respon adaptif - maladaptif dari rentang respon penggunaan zat kimiawi sebagai
kopingadalah sebagai berikut :
Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang
ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan
oleh pengguna NAPZA.
Keterangan :
a. Eksperimental
Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tau dari remaja.
Sesuai kebutuhan pada masa tubuh kembangnya, klien biasanya ingin
mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
b. Rekreasional
Penggunaan zat aditif pada waktu berkumpil dengan teman sebaya,
misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acar ulang tahun.
Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya.
c. Situasional
Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi
dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk
melarikan diri atu mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu
menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan
frustasi.
d. Penyalahgunaan
Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan
secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku
mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan
pekerjaan.
e. Ketergantungan
Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik
dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan
sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa
menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertyentu menurunkan
jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan
kumpilan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan). Sedangkan
toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan
dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang bisa diinginkannya.
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang
dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi
hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan
ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika
yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan
lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat
berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk.
1999).
2.Psikotropika
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih
cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu
biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah.
Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh
ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah
cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.
b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang
untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada
pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.
c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan
narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan,
dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua,
narkoba digunakan sebagai obat penenang.
2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab
seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim
UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun
1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota
keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami
ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari
pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan
ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya
penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik.
Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan
anak, maupun antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut
anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang
harus dicapai dalam banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan
dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering
berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut
sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Pengalaman feel good saat
mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk
memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang
dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus
atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara
beruntun akibat dari satu faktor tertentu.
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga
sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat
yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat
berbeda pada jenis zat yang berbeda.
1. Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala
putus zat, dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat
yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk
menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja
sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat
misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna
sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya
diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis
secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
2. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan
terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar
pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat
mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.Tujuannya
pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan
spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga
kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Rehabilitasi dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas terapi Therapeutic
Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Therapeutic
Community direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah
penggunaan NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk
berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari NAPZA. TC dapat digambarkan
sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang membutuhkan
lingkungan yang mendukung dan dukungan lain yang bermakna dalam
mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau abstinen. Gambaran dari TC adalah
sebagai berikut:
a. Program dan struktur yang tinggi/ketat
b. Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan
c. Program pengobatan
d. Program pendidikan
e. Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien
mengalami gangguan fungsi kehidupan yang serius)
f. Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal
g. Mengembangkan system dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
i. Rehabilitasi vokasional
Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang
diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap
residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan
tersebut ( pasien peserta TC lazim disebut residen ).
Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai
berikut:
a) Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu);
1. Wawancara awal
2. Informed consent
3. Pemeriksaan fisik
4. Pengisian formulir
5. Orientasi program (walking paper}
6. Pengenalan program dan fasilitas layanan
b) Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan)
1. Aktif mengikuti program
2. Penerapan sanksi (reward and punishment)
3. Dikunjungi keluarga
4. Kegiatan Family Support Group
5. Kegiatan Kelompok
c) Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan)
1. Mulai bertanggungjawab terhadap sebagian operational
fasilitas/rumah
2. Menjadi buddy bagi younger member
3. Sudah dapat keluar fasilitas TC dengan pendamping
4. Kegiatan dalam kelompok
5. Dilakukan Family Support Group (FSG)
d) Untuk Older member (anggota lama 6-8 bulan)
1. Sudah bertanggungjawab penuh terhadap rumah/fasilitas.
2. Pelaksanaan reward dan punishment secara penuh
3. Boleh meninggalkan fasilitas/rumah
4. Dilakukan kegiatan FSQ
5. Mengikuti kegiatan kelompok
6. Dinyatakan graduate/lulus
e) Tahapan Re-Entry (3 sampai 6 bulan):
a. Fase Orientasi (2 minggu);
1. Pengenalan program re-entry
2. Didampingi buddy
3. Tidak boleh dikunjungi keluarga
4. Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC
5. Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas
6. Mengikuti kegiatan kelompok
b. Fase A (1,5 - 2 bulan);
1. Mengikuti kegiatan kelompok
2. Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu
3. Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali
4. Boleh menerima uang jajansetiap minggu secara teratur
5. Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
c. Fase B (2 bulan);
1. Mengikuti kegiatan kelompok
2. Dapat dikunjungi setiap waktu
3. Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu
4. Boleh meminta tambahan uang jajan
5. Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
d. Fase C (2 bulan);
1. Mengikuti kegiatan kelompok
2. Dapat dikunjungi setiap waktu
3. Diberi ijin pulang
4. Boleh meminta tambahan uang jajan
5. Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC
6. Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk
persiapan pulang
Aftercare Program
a. Program yang ditujukan bagi mantan residen/alumni TC, Program
ini dilaksanakan di luar fasilitas TC dan dikuti oleh semua angkatan
dibawah supervisi staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati bersama
b. Program ini bertujuan agar alumni TC mempunyai
tempat/kelompok yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta
mempunyai lingkungan hidup yang positif
c. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah :
1. Sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi
2. Meminta anggota untuk menanggapi suatu topik
3. Waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama
Intervensi Psikososial, suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah
psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk
meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah (Coping
Mechanism).
1. Intervensi psikososial merupakan komponen kunci untuk terapi
gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif baik secara individu
maupun kelompok
2. Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam
keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang disesuaikan
dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran penuh
3. Untuk melaksanakan intervensi ini diperlukan pelatihan
ketrampilan yang khusus dan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan
jenis intervensi
4. Pendekatan psikososial saja bukan yang superior, program terapi
harus didesain sesuai kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan
faktor budaya, umur, gender serta komorbiditas
PENCEGAHAN KEKAMBUHAN
Program 12 Langkah
Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-langkah itu dalam
kehidupan sehari-hari. Disinilah penggunaan istilah falsafah menjadi lebih
relevan, karena langkah-langkah ini menjadi panduan untuk menjalani kehidupan
sebagai seorang pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan
membina perjalanan spiritualnya. Jadi, lebih dari sekedar peraturan 12 Langkah
menjadi "Falsafah Hidup" seorang pecandu untuk diamalkan ketika menjalani
kehidupan kesehariannya. Dan berdasarkan paradigma Disease Model of
Addiction, penyakit kecanduan mempunyai potensi untuk kambuh sewaktu-waktu
apabila tidak diredam oleh program pemulihan yang berkesinambungan. Dengan
pengamalan atau praktek dari langkah-langkah inilah para pecandu akan dapat
meredam penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang hayatnya. Pada penjelasan
ini, setiap langkah akan diuraikan secara singkat maknanya dan karena setiap
langkah di targetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam penyakit
kecanduan, uraian ini akan mencakup fungsi klinikal yang dapat diterapkan baik
dalam kondisi di dalam atau diluar institusi/panti rehabilitasi. Berikut ini adalah
contoh 12 langkah seperti yang tertera dalam program Narcotic Anonymous (NA).
Menurut Willis (2010: 177) Keluarga merupakan salah satu kekuatan pendukung
yang dapat mempercepat penyembuhan pasien,sehingga dukungan keluarga
sangat dibutuhkan bagi pasien dalam menghadapi masa masa pemulihannya.
Menurut Mann dalam Willis (2010: 174) pemulihan pasien yang mengalami
ketergantungan narkoba tidak bisa hanya dengan detoksifikasi tetapi juga harus
dengan pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual spiritual dan fisik.
Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa peran sosial termasuk
dalam hal ini keluarga dalam upaya penyembuhan pasien memang tidak bisa
dikesampingkan.
Selanjutnya Menurut Ali (2010: 38) tugas keluarga ketika pasien menjalani
perawatan dirumah sakit adalah mentaati semua anjuran tim profesional, serta
memberikan dukungan dalam bentuk perhatian. Berdasarkan pemaparan diatas
maka peneliti menyimpulkan bahwa tugas keluarga tentang pemeliharaan
kesehatan berhubungan dengan periode perawatan remaja ketergantungan
narkoba.
Pemulihan yang dijalani oleh pecandu selain memperbaiki kualitas hidup dirinya
sendiri juga merupakan kesempatan untuk membangun dan memperbaiki peran
serta fungsi keluarga. Namun ini hanya akan berhasil apabila setiap anggota
keluarga berupaya keras untuk turut serta dalam proses pemulihan tersebut. Untuk
dapat berpartisipasi dalam upaya ini, keluarga perlu memahami fase pemulihan
yang dijalani oleh korban penyalahguna NAPZA. Motivasi keluarga merupakan
tenaga kejiwaan yang dapat membangkitkan seseorang dalam perjuangan
hidupnya dan oleh karenanya menjadi tenaga penggerak yang sangat vital bagi
korban penyalahguna NAPZA untuk keluar dari penderitaannya dan untuk
mengatasi problem-problem yang dihadapi.Motivasi mempunyai pengaruh besar
dalam setiap perbuatan dan merupakan latar belakang perbuatan itu dilakukan,
sehingga motivasi mampu menggerakkan rasa dan pikiran korban penyalahguna
NAPZA untuk kembali menjalani hidup sehat tanpa menggunakan NAPZA lagi.
Melihat bahwa keinginana sembuh seorang korban penyalahguna NAPZA tidak
selalu datang dari dalam diri sendiri dan dalam pengobatan medis tidak selalu
berhasil oleh karena itu dukungan keluarga diperlukan korban penyalahguna
NAPZA dalam pemulihan.
Menurut Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, motif dibedakan kedalam dua
bagian yaitu:
1. Motif intrinsik, yaitu motif yang tidak usah dirangsang dari luar, karena
memang dalam diri individu sendiri telah ada dorongan itu. Misalnya,
seorang korban penyalahguna NAPZA yang datang sendiri ke panti
rehabilitasi bukan karena paksaan dari orang tua atau merasa malu kepada
temannya tetapi ada keinginaan dalam diri sendiri untuk kembali sehat
tanpa menggunakan NAPZA lagi.
2. Motif ekstrinsik, yaitu motif yang disebabkan oleh pengaruh rangsangan
dari luar. Misalnya, seorang penyalahguna NAPZA dibawa untuk
mengikuti program rehabilitasi oleh keluarga. Peran keluarga dan tempat
penyelenggara program rehabilitasi menjadi kekuatan utama penderita
(korban) keluar dari problem yang dihadapi.
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Kaji situasi kondisi penggunaan zat
a. Kapan zat digunakan
b. Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah
c. Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara
Overdosis :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
b. Penurunan output jantung
c. Hipertermi
d. Hipotermi
e. Intoleransi aktivitas
f. Risiko cedera
Putus Zat
a. Nyeri akut
b. Diare
c. (Risiko) Defisit volume cairan
d. Gangguan sensori persepsi
e. Gangguan pola tidur
f. Gangguan proses pikir
g. Ansietas
h. Risiko perilaku kekerasan
Rehabilitasi
a. Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menolak keinginan
menggunakan zat kembali
b. Distres spiritual
c. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
d. Koping keluarga tidak efektif
e. Gangguan proses keluarga
f. Ketidakberdayaan
Pada saat klien telah berada di ruang rehabilitasi, tidak menutup kemungkinan
akan muncul masalah yang sama seperti ketika klien berada pada ruang
detoksifikasi.Penyebabnya adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak
melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan
dalam timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga atau
orang terdekat klien dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan
penggunaan zat.
Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah
Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menolak keinginan
menggunakan zat kembali
Menurut Keliat dkk. (2006), tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga adalah
sebagai berikut:
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga anatara lain: (Keliat
dkk, 2006)
3.4 Evaluasi
4.1 KESIMPULAN
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus
bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan
kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Peran perawat
mempengaruhi pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir
yang diharapkan dalam perawatan. Dimana asuhan keperawatan pada pasien
penyalahgunaan NAPZA ditekankan pada aspek psikososial, kejiwaan,
komunitas dan keagamaan. Peran keluarga dan lingkungan juga sangat
diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan pasien penyalahgunaan
NAPZA. Kebanyakan dari pengguna menjadikan NAPZA sebagai pelarian
atau pemecahan suatu masalah.
4.2 SARAN
Upaya mencegah kekambuhan klien dengan penyalahgunaan
NAPZA sangat tergantung dari motivasi internal dari klien itu sendiri untuk
terlepas dari kecanduan. Tidak kalah penting dari hal itu juga peran serta orang
terdekat untuk senantiasa memberi dukungan dan memberikan pengawasan
kepada penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Purba, Jenny Marlindawani. Et al. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press
rd
Stuart, Gail W. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3 ed. Jakarta : EGC
Winarno, Heri. Et al. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan
Jarum Suntik Bergantian Diantara Pengguna Napza Suntik di Semarang Jurnal
Promosi Kesehatan Indonesia. vol 3 no.2
Wresniwiro. (1999). Narkoba dan Pengaruhnya. Jakarta: Widya Medika.
http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien%20denga
n%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan%20Jiwa_Normal_bab%201.pd
f. diakses pada tanggal 9 Oktober 2013 pukul 14:00 WIB